Anda di halaman 1dari 12

BASINDO : Jurnal Kajian Bahasa, Sastra Indonesia, dan

Pembelajarannya

Volume 6 Nomor 1, 2022


Journal homepage : http://journal2.um.ac.id/index.php/basindo

Representasi Fenomena Sosial


dalam Puisi Aku Karya Chairil Anwar
Yulifa Roselawati & Yunia Kurniasari
UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung
ARTICLE INFO A B S T RAK
Article history: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan gambaran fenomena
Received: sosial yang terkandung dalam puisi karya Chairil Anwar yang
Accepted:
Published: berjudul “Aku’. Metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan
sosiopsikologi digunakan sebagai metode dalam analisis ini, yaitu
Kata kunci: representasi, dengan melakukan pengumpulan data puisi kemudian dianalisis
fenomena sosial, puisi aku,
chairil anwar. untuk mengemukakan realitas sosial dalam eksotisme diksi.
Representasi realitas sosial politik merupakan satu topik yang
digunakan oleh Chairil Anwar sebagai tema yang muncul dalam puisi
yang berjudul “Aku”. Representasi merupakan bagian dalam proses
pembentukan makna yang dibenturkan dengan budaya. Melalui teori
ini dapat diketahui bagaimana relevansi sebuah puisi dalam
kehidupan nyata yang terjadi di Indonesia. Peran puisi “Aku” karya
Chairil Anwar terlihat sangat penting dalam keadaan sosial politik.
Penciptaan puisi “Aku” oleh Chairil Anwar dijadikan sebagai media
untuk mengungkapkan wujud realitas sosial politik yang dituangkan
dalam bahasa puisi. Kejadian-kejadian yang terjadi dalam
masyarakat pada umumnya dijadikan sumber ilham bagi para
sastrawan untuk membuat suatu karya sastra puisi.

PENDAHULUAN

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia puisi berarti; (1) ragam sastra yang
bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait; (2) gubahan
dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam
kesadaran orang akan berpengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat
penataan bunyi, irama dan makna khusus; (3) sajak.
Melihat penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa puisi adalah sebuah seni
dengan bahasa sebagai mediumnya. Puisi merupakan cerminan realita kehidupan. Tidak
ada satu pun karya puisi yang tidak bertolak dari realita. Realita dalam puisi merupakan
replika dari sejumlah kejadian yang ada dalam kehidupan manusia, karena sebuah karya
tidak lahir dari kekosongan keadaan, puisi tercipta dari fenomena-fenomena sosial yang
terjadi pada zamannya. Jika dengan realita puisi membentuk suatu hubungan yang kreatif,

| BASINDO : Jurnal Kajian Bahasa, Sastra Indonesia, dan Pembelajarannya


dengan orang lain maka pencipta menyediakan suatu dialog. Sebab puisi dengan
sendirinya akan mendistorsi realita kehidupan sesuai dengan idealisme penciptanya.
Hal ini pernah diungkapkan oleh Seno Gumira bahwa dari fakta ke fiksi, yang terjadi
hanyalah perubahan bingkai atas kenyataan akibat polesan-polesan yang dilakukan oleh
pengarangnya. Tentang apa yang digambarkan dan dihadirkan dalam sebuah puisi, itu
semua semacam proses kreatif yang menghubungkan antara alam kejiwaan dan
keberpikiran seorang penyair dengan fenomena alam serta fenomena sosial yang terjadi
di sekitar. Hal ini senada dengan pendapat Goenawan Mohamad,
“Orang mengatakan bahwa zaman berbeda dari masa sekitar 1945, bahwa suasana
telah berganti. Tapi meskipun kesusastraan adalah suatu kesaksian atas kondisi
manusia dalam keadaan dan waktu tertentu, ia bukanlah replika yang lengkap dari
sang zaman. Lagi pula perlu diingat bahwa ciri kesusastraan di suatu masa terkadang
dilahirkan oleh beberapa pribadi yang punya latar belakang pengalamannya sendiri
tanpa ada hubungannya secara langsung dengan keadaan sosial di masanya.”
Lebih jauh Goenawan Mohamad menganalogikan bahwa sastrawan adalah manusia
dengan semua masalahnya, dalam suatu kehidupan, hasil sastranya pun bukan hasil suatu
eksemplar dari suatu jumlah, melainkan hasil perseorangan yang betul-betul utuh.
Fenomena-fenomena sosial yang terjadi di sekitaran sastrawan ditransformasikan ke
dalam bentuk estetika oleh pengarang dengan seperangkat bahasa. Melalui eksplorasi
bahasa pengarang akan menampilkan sebuah realita kehidupan dalam bentuk yang
berbeda, salah satunya yaitu lewat puisi dengan aspek keindahan yang optimal. Namun
oleh Suwardi Endaswara keindahan ini dibedakan pengertiannya menjadi tiga aspek
yaitu: (a) keindahan yang identik dengan kebenaran, (b) keindahan dalam estetik murni,
yaitu keindahan dalam pengalaman sastrawan, yang mempengaruhi seseorang untuk
merasa indah atau tidak indah suatu karya dan (c) keindahan sederhana yang terbatas
pada panca indera.
Puisi merupakan semacam proses dan hasil dialektika, dan hal ini ternyata dapat
merujuk pada pernyataan Acep Zamzam Noor, “Sebuah puisi pasti memiliki inti persoalan,
meskipun puisi itu berbicara tentang banyak hal. Semua hal yang disinggung dalam
sebuah puisi harus melalui proses menuju pada inti persoalan, semacam memperkuat inti
persoalan. Jika sebuah puisi bicara langsung pada inti persoalan, tanpa proses, tanpa
tahapan-tahapan, tanpa gambaran-gambaran pendukung, maka hasilnya akan terasa
kering “kurang greget‟ dan tidak menunjukkan kekayaan makna”. Akan tetapi, jika sebuah
puisi telah menemukan tema atau inti persoalan maka semua gambaran pendukung yang
disajikan penyair akan makin jelas fungsinya dalam keseluruhan bangunan puisi.
Imajinasi lahir dari intuisi penyair yang muncul dari totalitas diri atau pribadi
seorang penyair, dan tanpa totalitas itu tadi maka intuisi tak akan pernah muncul. Itulah
sebabnya puisi yang dapat dipercaya bersumber pada totalitas hidup penyairnya. Pada
waktu penyair sedang menciptakan puisinya, dalam waktu yang bersamaan puisi itu
memuat sebuah momentum, situasi dan kondisi yang mewakili keadaan ketika puisi itu

| BASINDO : Jurnal Kajian Bahasa, Sastra Indonesia, dan Pembelajarannya


diciptakan sehingga seseorang yang membaca puisi itu seakan-akan melihat, mendengar,
merasakan bahkan ikut terlibat pada suatu kondisi atau peristiwa yang digambarkan
lewat puisi tersebut.
Hal di atas ternyata senada dengan apa yang dikemukakan Emha Ainun Najib
berpendapat bahwa “Membaca puisi adalah memasuki suatu kelangsungan pengalaman
rohani yang tidak hanya memerlukan kerja pikirannya, tapi juga hati dan perasaan, yang
sedianya dilengkapi oleh kemampuan imajinatif dan kepekaan intuitif”. Ini berarti puisi
dimulai dengan daya imajinatif dan intuitif. Penyair yang mencipta dengan sungguh-
sungguh tahu bahwa dalam kesenian terdapat semacam komunikasi atau sebuah
dialektika antara manusia dengan realita sosial yang melingkupinya dan tak akan pernah
selesai. Usaha untuk menghidupkan gejala-gejala sosial agar mencapai realitas yang
tergambar sebagai puisi, hanya mungkin terjadi ketika penyair cermat dan hemat kata-
kata, jeli dan hati-hati mengamati gejala alam dan yang terpenting ditopang dengan
penguasaan berpuisi yang baik.
Menurut Sapardi Djoko Damono, sosiologi sastra merupakan pendekatan sastra
yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Dari buku Theory of Literature, yang
ditulis oleh Wellek dan Warren, Sapardi menemukan setidaknya ada tiga sub pembahasan
yang berbeda dalam sosiologi sastra, yaitu sosiologi pengarang, sosiologi karya sastra
yang mempermasalahkan karya sastra itusendiri; dan sosiologi sastra yang
mempermasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra. Mengacu pada penemuan
Sapardi, maka sosiologi sastra juga bisa dikaitkan dengan pendapat Kutha Ratna yang
beranggapan bahwa sosiologi sastra dapat juga disebut sebagai sosiokritik sastra, dengan
mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatannya.
Salah satu tugas penyair memang memberi tenaga dan jiwa pada kata-kata. Tanpa
ambil peran itu, penyair akan menulis esai dan bukan puisi. Singkatnya, puisi di sini juga
boleh diartikan sebagai karya sastra hasil refleksi dari kejadian-kejadian yang ada di
tengah masyarakat. Realita yang terjadi di tengah masyarakat tersebut kemudian
dituangkan oleh penyair berdasarkan alam imajinasinya kedalam bentuk puisi. Dengan
demikian sebuah puisi dapat memberikan alternatif untuk menggambarkan situasi yang
terjadi dalam arus masyarakat, pembaca diharapkan mendapat manfaat dari sebuah karya
sastra yang dibaca.
Menurut Tuhusetya (2007), sebuah karya sastra yang baik mustahil dapat
menghindari dari dimensi kemanusiaan. Kejadian-kejadian yang terjadi dalam
masyarakat pada umumnya dijadikan sumber ilham bagi para sastrawan untuk
membuat suatu karya sastra. Seorang sastrawan memiliki penalaran yang tinggi, mata
batin yang tajam, dan memiliki daya intuitif yang peka. Kelebihan-kelebihan itu jarang
sekali ditemukan pada orang awam. Dalam hal ini, karya sastra yang lahir pun akan
diwarnai oleh latar belakang sosiokultural yang melingkupi kehidupan sastrawannya.
Tentunya sudah tidak asing lagi mendengar nama Chairil Anwar. Sebagai
pelopor angkatang 45, Chairil muncul dengan karyanya yang bernafas baru. Lain

| BASINDO : Jurnal Kajian Bahasa, Sastra Indonesia, dan Pembelajarannya


dengan angkatan sebelumnya, karangan Chairil disajikan dengan menggunakan
bahasa yang lekat dengan kehidupan sehari-hari. Namun, hal ini tidak menjadikan
karangan tersebut menjadi tak berarti. Hal ini, lebih disebabkan gaya bahasa dan
tatanan Chairil yang berbeda dengan tatanan kesusastraan pada masa itu. Jika pada
angkatan Balai Pustaka, karya sastra yang muncul pada saat itu, masih menunjukan
keterkaitannya pada problem kultural. Sehingga, karya sastra yang dihasilkan masih
mengangkat persoalan adat seperti kawin paksa dan seputar romantisme yang
hampir mendominasi novel Indonesia.
Pada angkatan Pujangga Baru dinilai mengkhianati identitas bangsa karena
terlalu berkiblat ke Barat, Sedangkan Kehadiran Angkatan 45 meletakkan pondasi
kokoh bagi Sastra Indonesia. Sehingga, membawa dampak yang sangat besar pada
sastrawan lain pada zaman itu dan setelahnya. Oleh karena itu, saat karya-karya
Chairil Anwar telah dikenal, menjadi gebrakan baru dalam kesusastraan Indonesia
yang sangat penting hingga bisa membentuk gaya puisi modern.

METODE PENELITIAN
Artikel ini dianalisis menggunakan metode kualitatif pendekatan
sosiopsikologis. Sosiologi sastra merupakan pendekatan sastra yang
mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Puisi “AKU” karya Chairil Anwar
dianalisis melalui langkah pengumpulan data, (1) membaca biografi pengarang; (2)
menafsirkan pemahaman terhadap unsur-unsur yang terdapat dalam karya sastra,
seperti tema, gaya bahasa/diksi, amanat, dantinjauan psikologis pengarang.
Pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi yaitu satucara pencarian
data mengenai hal-hal atau variabel nerupa catatan, buku majalah, berita online atau
surat kabar.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Penelitian ini akan membahas mengenai representasi fenomena sosial pada
puisi Aku melalui pendekatam sosiopsikologis dengan menganalisis makna dan unsur
intrinsik puisi dan menghubungkan makna dan unsur intrinsik terhadap fenomena
sosial dan psikologis pengarang yang terjadi pada penulisan puisi Aku.
“Aku”
Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

| BASINDO : Jurnal Kajian Bahasa, Sastra Indonesia, dan Pembelajarannya


Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

Chairil Anwar
Maret 1943

A. MAKNA PUISI ‘AKU’


Membaca dan memahami makna puisi Aku karya Chairil Anwar, ada banyak hal
yang bisa dipelajari. Khususnya, bagi generasi yang hidup di era kemerdekaan. Karena,
pada generasi ini tentu tidak pernah hidup dan mengalami secara nyata apa yang
terjadi di era awal kemerdekaan Indonesia. Beberapa makna puisi Aku, di antaranya
adalah :
Wujud kesetiaan dan keteguhan hati atas pilihan kebenaran yang diyakininya. Hal ini
tercermin melalui dua kalimat di awal puisi tersebut, yakni:
“Kalau sampai waktuku 'Ku mau tak seorang kan merayu”
Keberanian dalam berjuang meskipun banyak resiko yang akan dihadapi. Termasuk
resiko untuk kehilangan nyawa atau terluka karena senjata musuh. Inilah yang
digelorakan oleh Chairil Anwar, yang tersurat pada bait ketiga puisi tersebut.
Semangat yang tak pernah padam. Sebagaimana yang dinyatakan melalui kalimat
“aku mau hidup seribu tahun lagi”.
Hal tersebut adalah cermin dan betapa semangat Chairil Anwar untuk berjuang, tidak
ingin dibatasi oleh waktu.

B. UNSUR INTRINSIK PUISI ‘AKU’


 Tema
Tema pada puisi “Aku” karya Chairil Anwar adalah menggambarkan
kegigihan dan semangat perjuangan untuk membebaskan diri dari belenggu
penjajahan, dan semangat hidup seseorang yang ingin selalu memperjuangkan
haknya tanpa merugikan orang lain, walaupun banyak rintangan yang ia hadapi.
Dari judulnya sudah terlihat bahwa puisi ini menceritakan kisah ‘AKU’ yang
mencari tujuan hidup.

| BASINDO : Jurnal Kajian Bahasa, Sastra Indonesia, dan Pembelajarannya


 Pemilihan Kata (Diksi)
Ketepatan pemilihan kata sering kali penyair menggantikan kata yang
dipergunakan berkali-kali yang dirasa belum tepat, diubah kata-katanya. Seperti
pada baris kedua: bait pertama “Ku mau tak seorang ’kan merayu” merupakan
pengganti dari kata “ku tahu”. “Kalau sampai waktuku” dapat berarti “kalau aku
mati”, “tak perlu sedu sedan“dapat berarti “berarti tak ada gunannya kesedihan
itu”. “Tidak juga kau” dapat berarti “tidak juga engkau anaku, istriku, atau
kekasihku”.
 Rasa
Rasa adalah sikap penyeir terhadap pokok permasalahan yang terdapat
pada puisinya. Pada puisi “Aku” karya Chairil Awar merupakan eskpresi jiwa
penyair yang menginginkan kebebasan dari semua ikatan. Di sana penyair tidak
mau meniru atau menyatakan kenyataan alam, tetapi mengungkapkan sikap
jiwanya yang ingin berkreasi. Sikap jiwa “jika sampai waktunya”, penyair tidak
mau terikat oleh siapa saja, apapun yang terjadi, penyair ingin bebas sebebas-
bebasnya sebagai “aku”. Bahkan jika terluka, akan di bawa lari sehingga perih luka
itu hilang. Penyair memandang bahwa dengan luka itu, akan lebih jalang, lebih
dinamis, lebih vital, lebih bergairah hidup. Sebab itu penyair ingin hidup seribu
tahun lagi. Uraian di atas merupakan yang dikemukakan dalam puisi “Aku” adalah
sikap chairil yang lahir dari ekspresi jiwa penyair.
 Nada dan Suasana
a) Nada
Dalam puisi tersebut penulis menggambarkan nada-nada yang berwibawa,
tegas, lugas dan jelas dalam penyampaian puisi ini, karena banyak bait-bait puisi
tersebut menggandung kata perjuangan. Dan menggunanakan nada yang syahdu
di bait yang terkesan sedikit sedih.
b) Suasana
Suasana yang terdapat dalam puisi tersebut adalah suasana yang penuh
perjuangan, optimis dan kekuatan emosi yang cukup tinggi tetapi ada beberapa
suasana yang berubah menjadi sedih karena dalam puisi tersebut menceritakan
ada beberapa orang yang tak mengaangap perjuangannya si tokoh.
 Majas
Dalam puisi tersebut menggunakan majas hiperbola. Pada puisi “Aku” ada
kalimat “Aku tetap meradang menerjang”. Terdapat juga majas metafora pada
kalimat “Aku ini binatang jalang”
 Pencitraan/pengimajian
Di dalam sajak ini terdapat beberapa pengimajian, diantaranya :‘Ku mau tak
seorang ’kan merayu (Imaji Pendengaran), ‘Tak perlu sedu sedan itu’ (Imaji

| BASINDO : Jurnal Kajian Bahasa, Sastra Indonesia, dan Pembelajarannya


Pendengaran), ‘Biar peluru menembus kulitku’ (Imaji Rasa), ‘Hingga hilang pedih
perih’ (Imaji Rasa).
 Amanat
Amanat adalah hal yang mendorong penyair untuk menciptakan puisinya.
Amanat berhubungan dengan makna karya sastra. Makna bersifat kias, subjektif,
dan umum. Makna berhubungan dengan individu, konsep seseorang dan situasi
tempatpenyair mengimajinasikan puisinya.Amanat dalam Puisi ‘Aku’ karya Chairil
Anwar yang dapat saya simpulkan dan dapat kita rumuskan adalah sebagai
berikut.
1) Manusia harus tegar, kokoh, terus berjuang, pantang mundur meskipun
rintangan menghadang.
2) Manusia harus berani mengakui keburukan dirinya, tidak hanya menonjolkan
kelebihannya saja.
3) Manusia harus mempunyai semangat untuk maju dalam berkarya agar pikiran
dan semangatnya itu dapat hidup selama-lamanya.

C. Kajian Berdasarkan Psikolgogis Pengarang


Kajian bersasarkan tinjauan psikologi / kejiwaan pengarang dipengaruhi oleh
suasana kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berasa pada situasi setengah sadar
setelah jelas, baru dituangkan ke dalam bentuk secara sadar. Dan kekuatan karya
sastra dapat dilihat dari seberapa jauh pengarang mampu mengungkapkan ekspresi
kejiwaan yang tak sadar itu kedalam sebuah cipta sastra. Pada puisi “Aku” ini, chairil
Anwar mengungkapkan ekspresi kejiwaannya tentang keadaan seseorang yang
berjuang untuk menggapai tujuan dan yang merasuk dalam imajinasi dan
pemikirannya semangat hidup dalam memperjuangkan haknya yang tak mau
mengalah.
1) Pada lirik pertama, chairil berbicara masalah waktu seperti pada kutipan
“Kalau sampai waktuku”. Waktu yang dimaksud adalah tujuan yang dibatasi
oleh waktu. Jadi, pengarang berandaiandai tentang suatu masa saat ia sampai
pada apa yang dicari selama ini.
2) Kutipan kedua “Ku mau tak seorang ‘kan merayu” Inilah watak pengarang
sangat tampak. Puisi “Aku” akan memunculkan banyak protes dari berbagai
kalangan, terutama dari kalangan penyair.
3) Watak ketidak pedulian pada lirik selanjutnya pada kutipan “Tidak juga kau
Aku ini binatang jalang. Dari kumpulannya terbuang” Pengarang tidak peduli
dengan semua orang yang pernah mendengar atau membaca puisi tersebut,
entah itu baik, atau buruk.
4) Dalam kutipan “binatang jalang” Menggambar seperti binatang yang hidup
dengan bebas, semaunya sendiri.

| BASINDO : Jurnal Kajian Bahasa, Sastra Indonesia, dan Pembelajarannya


5) Dalam kutipan dibawah “Biar peluru menembus kulitku Aku tetap meradang
menerjang Luka dan bisa kubawa berlari Berlari Hingga hilang pedih peri
Peluru tak akan pernah lepas dari pelatuknya, yaitu pistol”Pada bait tersebut
tergambar bahwapengarang sedang ‘diserang’ dengan adanya ‘peluru
menembus kulit’, tetapi ia tidak mempedulikan peluru yang merobek kulitnya
itu. Meskipun dalam keadan diserang dan terluka, pengarang masih
memberontakdantiodak mau mengalah.
6) Pada kutipan selanjutnya, “Dan aku akan lebih tidak peduli Aku mau hidup
seribu tahun lagi” Inilah yang menegaskan watak penyair dari puisi ini, suatu
ketidakpedulian. Bait ini menjadi penutup dari puisi tersebut. Karya tulis,
penutup terdiri atas kesimpulan dan harapan. Kesimpulannya adalah ‘Dan
aku akan lebih tidak perduli’, ia tetap tidak mau peduli. Chairil berharap
bahwa ia masih hidup seribu tahun lagi agar ia tetap bisa mencari-cari apa
yang diinginkannya.
Disamping Chairil ingin menunjukkan ketidakpeduliannya kepada pembaca, dalam
puisi ini juga terdapat pesan lain dari Chairil, bahwa manusia itu adalah makhluk yang
tak pernah lepas dari salah. Oleh karena itu, janganlah memandang seseorang dari
baik-buruknya saja, karena kedua hal itu pasti akan ditemui dalam setiap manusia.
Selain itu, Chairil jugaingin menyampaikan agar pembaca tidak perlu ragu dalam
berkarya. Berkaryalah dan biarkan orang lain menilainya, seperti apa pun bentuk
penilaian itu.

D. Representasi Feomena Sosial Puisi AKU


Chairil Anwar di Medan, 22 Juli 1922. Mulai muncul di dunia kesenian pada zaman
Jepang. Dilihat dari esai-esai dan sajak-sajaknya terlihat bahwa ia seorang yang
individualis yang bebas dan berani dalam menentang lembaga sensor jepang. Chairil
pun seorang yang mencintai tanah air dan bangsanya, hal ini tampak pada sajak-
sajaknya: Diponegoro, Karawang-Bekasi, Persetujuan dengan Bung Karno, dll.
Hubungan karya sastra dengan kondisi sosial masyarakat pada saat karya sastra
lahir sajak AKU ini, banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial masyarakat pada zaman itu.
Bahkan sebagai akibat dari lahirnya sajak AKU ini, Chairil Anwar ditangkap dan
dipenjara oleh Kompetai Jepang. Hal ini karena sajaknya terkesan membangkang
terhadap pemerintahan Jepang. Sajak AKU ini ditulis pada tahun 1943, di saat jaman
pendudukan Jepang. Kondisi masyarakat pada waktu itu sangat miskin dan menderita.
Bangsa Indonesia berada di bawah kekuasaan Jepang, tanpa mampu berbuat banyak
untuk kemerdekannya.Kerja paksa marak terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia.
Bangsa Indonesia menjadi budak di negaranya sendiri. Chairil Anwar mulai banyak
dikenal oleh masyarakat dari puisinya yang paling terkenal berjudul Semangat yang
kemudian berubah judul menjadi Aku. Puisi yang ia tulis pada bulan Maret tahun 1943
ini banyak menyita perhatian masyarakat dalam dunia sastra. Dengan bahasa yang

| BASINDO : Jurnal Kajian Bahasa, Sastra Indonesia, dan Pembelajarannya


lugas, Chairil berani memunculkan suatu karya yang belum pernah ada sebelumnya.
Pada saat itu, puisi tersebut mendapat banyak kecaman dari publik karena dianggap
tidak sesuai sebagaimana puisi-puisi lain pada zaman itu.
Puisi yang sebelumnya berjudul Semangat ini terdapat dua versi yang berbeda.
Terdapat sedikit perubahan lirik pada puisi tersebut. Kata ‘ku mau’ berubah menjadi
‘kutahu’. Pada kata ‘hingga hilang pedih peri’, menjadi ‘hingga hilang pedih dan peri’.
Kedua versi tersebut terdapat pada kumpulan sajak Chairil yang berbeda, yaitu versi
Deru Campur Debu, dan Kerikil Tajam. Keduanya adalah nama kumpulan Chairil
sendiri, dibuat pada bulan dan tahun yang sama. Mungkin Chairil perlu uang, maka
sajaknya itu dimuat dua kali, agar dapat dua honor (Aidit:1999).
Penjelajahan Chairil Anwar berpusar pada pencariannya akan corak bahasa ucap
yang baru, yang lebih ‘berbunyi’ daripada corak bahasa ucap Pujangga Baru. Chairil
Anwar pernah menuliskan betapa ia betul-betul menghargai salah seorang penyair
Pujangga Baru, Amir Hamzah, yang telah mampu mendobrak bahasa ucap penyair-
penyair sebelumnya. Idiom ‘binatang jalang’ yang digunakan dalam sajak tersebut pun
sungguh suatu pendobrakan akan tradisi bahasa ucap Pujangga Baru yang masih
cenderung mendayu-dayu.
Secara makna, puisi Aku tidak menggunakan kata-kata yang terlalu sulit untuk
dimaknai. Bukan berarti dengan kata-kata tersebut lantas menurunkan kualitas dari
puisi ini. Sesuai dengan judul , puisi “Aku” menggambarkan tentang semangat dan tak
mau mengalah, seperti Chairil sendiri.
Puisi “Aku” karya Chairil Anwar ini menceritakan tentang perjuangan seseorang
yang mempunyai semangat yang tinggi yang tidak mengenal kata lelah, sakit,
walaupun ia terluka. Dengan tekadnya yang kuat, ia terus berusaha untuk mencapai
tujuannya tanpa memperdulikan banyaknya rintangan yang mengahampiri. Juga
menceritakan tentang perjuangan sampai titik darah penghabisan. Tak peduli berapa
banyak rintangan yang menanti, perjuangan tak akan pernah berhenti. “Aku” dalam
puisi ini ingin hasil perjuangan Chairil Anwar dikenang dan memberikan dampak baik
untuk orang lain di masa yang akan datang.
Meski kini dikenal sebagai salah satu karya paling fenomenal Chairil Anwar,
rupanya puisi ini sempat ditolak. Penolakan datang dari redaktur Balai Pustaka Armijn
Pane karena dianggap terlalu individualistis dan berbau pemujaan pada diri sendiri.
Pesan yang ingin Chairil Anwar sampaikan melalui puisi "Aku" adalah kegigihan dan
semangat perjuangan untuk membebaskan diri dari penjajahan.

KESIMPULAN
Hasil penelitian ini setelah dilakukan analisisis fenomena sosial yang
direpresentasikam yaitu perjuangan dalam mengusir penjajah yang begitu gigih serta
berada di suasana yang mencekam karena keadaan di medan perang pasti terdengar
riuh peluru dan korban jiwa. Dalam puisi ini digambarkan seorang Chairil Anwar

| BASINDO : Jurnal Kajian Bahasa, Sastra Indonesia, dan Pembelajarannya


seperti memposisikan dirinya ikut dalam peperangan tersebut, pantang menyerah
demi kemerdekaan negara ini. Meskipun ia tidak ikut perang, namun puisi Aku ini
mampu menjelaskan betapa semangatnya Chairil Anwar dalam menjaga bumi pertiwi
ini meskipun hanya melalui puisi. Bahkan seolah-olah meskipun ia tertembak atau
terluka parah pun, ia akan tetap berdiri tegak hanya untuk merebut kemerdekaan
negaranya. Puisi Chairil Anwar ini berpengaruh besar terhadap masyarakat Indonesia,
tidak hanya tentang pola pikir masyarakat mengenai arti sebuah perjuangan tetapi
juga sebagai perwakilan masyarakat Indonesia baik hati maupun pikiran pada masa
itu.

DAFTAR PUSTAKA
Acep Zamzam Noor, Puisi dan Bulu Kuduk: Perihal Apresiasi dan Kreatif, (Bandung:
Penerbit Nuansa, 2011), h.24.
Ahmad. 2021. “Pengertian Puisi : Jenis-jenis, Contoh dan Cara Membuat Puisi”. (online)
dari website https://www.gramedia.com/literasi/pengertian-puisi/. Diakses
pada 5 Desember 2022.
Ardiansyah, N., Sabri, Y., Sudrajat, R. T., Muslim, F., & Aprian, R. S. (2018). “Analisis nilai
religius dalam film negeri 5 menara yang diadaptasi dari novel Ahmad Fuadi”.
Parole, 1(5), 839.
Bambang Setyadi. (2006). “Metode penelitian untuk pengajaran bahasa asing
pendekatan kuantitatif dan kualitatif”. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi
Keempat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 1112. 2
Dirman, R., Syukur, L. O., &Balawa, L. O. (2019). “Analisis struktur puisi dalam
kumpulan “aku ini binatang jalang” karya chairilanwar”. Bastra, 4(2), 333–334.
Emha Ainun Najib, Budaya Tanding, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 131. 8.
Goenawan Mohamad, Di Sekitar Sajak , (Jakarta: PT Tempint, 2011), h.2.
Muhammad, M., Hawari, R. solehudi, & Permana, I. (2018). “Analisis nilai moral dan
sosial dalam cerpen „dilarang bernyanyi di kamar mandi‟ karya Seno. Gumira
Aji darma”. Parole, 1(September), 693–694.
Nugraha, V., &Pramon, D. H. (2019). “Isu-isu nilai sosial entitas budaya dalam puisi
„kamus kecil‟ karya jokopinurbo”. Edutechconsultantbandung, 3(2), 60–61.
Suwardi Endaswara, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka
Widyatama, 2004), h.68.

| BASINDO : Jurnal Kajian Bahasa, Sastra Indonesia, dan Pembelajarannya


ISSN : 2579-3799 (Online) - BASINDO : Jurnal Kajian Bahasa, Sastra Indonesia, dan Pembelajarannya
is licensed under Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License
(http://creativecommons.org/licenses/BY/4.0/).

| BASINDO : Jurnal Kajian Bahasa, Sastra Indonesia, dan Pembelajarannya


12

Anda mungkin juga menyukai