Anda di halaman 1dari 26

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan oleh peneliti pada bab

sebelumnya, penelitian ini terfokus pada kritik sosial yang terdapat dalam puisi

Ne Faites Pas Honte À Votre Siècle karya Daria Colonna. Oleh sebab itu,

beberapa teori yang dianggap relevan dengan permasalahan yang diteliti akan

dipaparkan. Hal ini bertujuan untuk memperkuat kebenaran serta keakuratan data

yang ditemukan. Berikut ini teori-teori yang akan digunakan oleh peneliti:

A. Deskripsi Teoritis

Pada deskripsi teoritis ini, teori-teori yang akan digunakan sebagai

landasan penelitian meliputi puisi, unsur intrinsik puisi, kritik sosial, jenis-

jenis kritik sosial, dan hakikat sosiologi sastra.

1. Puisi

Dalam berbagai jenis karya sastra, puisi hadir dengan bentuk dan

ciri khas tersendiri yang membedakan diantara yang lainnya. Puisi

sebagai karangan bahasa menampung sebuah pengalaman yang disusun

secara khas melalui kepadatan bahasa. Hal ini lah yang membuat puisi

menjadi berbeda dengan bentuk karya sastra lainnya. Perrine (dalam

Siswantoro, 2010: 23) beliau mendefinisikan puisi sebagai sejenis

bahasa yang mengatakan lebih banyak dan lebih intensif dari pada apa

yang dikatakan oleh bahasa harian.


Altenbernd (dalam Pradopo, 2010: 5) berpendapat bahwa puisi

merupakan pendramaan dari pengalaman yang bersifat penafsiran

dalam bahasa berirama atau bermetrum. Pendapat tersebut

membuktikan bahwa selain kepadatan bahasa yang tersusun, puisi

juga memiliki keindahan yang terletak pada proses pemaknaan serta

keistimewaan pada puisi lainnya berupa pemaknaan sebuah kata

yang dapat diubah menjadi sebuah lagu atau dapat dikatakan bahwa

puisi dapat dilagukan. Puisi yang dilagukan ataupun diiringi dengan

lagu sudah hadir sejak lama pernyataan ini dapat terlihat dari Campa

(2005 : 57) yang menyatakan bahwa:

À l’origine, la poèsie est un texte chanté accompagné de

musique (la lyre) propre à exprimer des sentiments, notamment

l’amour.

Pada awalnya, puisi adalah sebuah teks yang dinyanyikan

dengan iringan kecapi untuk menyatakan perasaan khususnya

perasaan cinta. Selain itu, masih dengan pendapat Campa (2005 :

57), selain itu beliau berpendapat bahwa puisi juga merupakan seni

mengekspresikan emosi melalui hubungan harmonis antara ritme

dan suara

La poèsie est aussi l’art d’exprimer des émotions grâce à une

association harmonieuse des rythmes et des sons.

Selain bentuk dan keistimewaan yang dimiliki puisi dalam

karya sastra yang berperan sebagai media hiburan, puisi juga


memiliki peranan penting dalam dunia sosial ataupun

bermasyarakat. Puisi sering kali digunakan sebagai media untuk

mengekspresikan kejadian, keresahan, maupun kritik di lingkungan

sosial. Seperti pendapat yang dilontarkan oleh Wahyuni (2014:13),

dalam kesehariannya, puisi tidak hanya digunakan sebagai sarana

hiburan belaka, melainkan juga sebagai sarana untuk melontarkan

kritik-kritik pemerintahan, seperti puisi- puisi yang banyak

ditulisoleh sastrawan W.S. Rendra ketika zaman pemerintahan

Presiden Soeharto. Sering kali kejadian dalam kehidupan sehari-

hari ditulis dalam bentuk puisi dan menjadi karya besar. Maka dari

itu, dapat dikatakan bahwa puisi bukan hanya bentuk ekpresi

maupun pencerminan dari pikiran sang penyair namun puisi juga

dapat mencerminkan keadaan sosial lingkungan sekitar. Sejalan

dengan pendapat ini, Bancquart (via Stout, 2010:10) melontarkan

bahwa:

la poésie est faite pour dire aux gens que le développement


actuel de la communication dans la société, qui est un
développement superficiel, n’est pas le bon.
Pernyataan ini dapat diartikan bahwa puisi dibuat untuk

memberitahu orang-orang bahwa perkembangan komunikasi di

lingkungan yang sebenarnya berupa perkembangan yang dangkal,

bukan yang benar.

Puisi digunakan untuk menulis karya-karya besar yang

berkaitan erat dengan kehidupan sehari-hari. Maka, dapat


dikatakan pula bahwa puisi diciptakan tidak hanya mencerminkan

pemikiran dan perasaan sang penyairnya tetapi juga dapat

mencerminkan atau menggambarkan semua cerita kehidupan

manusia atau antara puisi dengan keadaan sosial memiliki

hubungan.

Dari beberapa definisi puisi diatas, maka dapat disimpulkan

bahwa puisi meupakan salah satu jenis karya sastra yang

didalamnya memiliki ciri khas berupa penggunaan bahasa yang

padat, dipersingkat serta hubungan antara irama dan ritme yang

terjalin menjadikan puisi lebih indah dalam hal mengekspresikan

perasaan. Puisi hadir dalam masyarakat sebagai bentuk dari

pencerminan zaman serta kehidupan sosial yang terkadang

dijadikan pula sebagai media kritik, tentunya dengan pemilihan

kata-kata kias atau imajinatif.

2. Unsur Pembentuk Puisi

Puisi dibangun dari perpaduan unsur intrinsik dan

ekstrinsik. Unsur intrinsik puisi adalah unsur pembentuk puisi yang

berasal dari dalam puisi itu sendiri. Unsur intrinsik puisi antara lain

tema, amanat, rima, diksi, dan majas. Unsur ekstrinsik puisi adalah

latar belakang penulis puisi yang meliputi pendidikan, sosial,

budaya, ekonomi, dan keyakinan yang dianut. Dengan demikian,

latar belakang penulis puisi sangat mewarnai puisi yang ditulisnya.


Dalam puisi prancis unsur pembentuk puisi Menurut

Roman Jakobson dan Levi Strauss (Rifaterre, 1977 :311), unsur

bentuk dan isi merupakan elemen pembentuk suatu puisi. Unsur

bentuk terdiri atas unsur bunyi (fonologis), unsur tata kalimat

(sintaksis), dan unsur makna (semantik). Ketiga unsur tersebut

akan membantu dalam memahami sebuah puisi. Unsur fonologis

dalam puisi meliputi unsur bunyi yang dihasilkan dari katakata

yang diucapkan. Analisisnya berpusat pada masalah permainan

bunyi, rima, irama, jumlah suku kata, asonansi, dan aliterasi.

Analisis fonologis mengkaji keterkaitan bunyi dengan efek atau

sugesti dalam puisi. Analisis unsur sintaksis berpusat pada struktur

kalimat yang membentuk larik-larik dalam puisi dan memiliki

makna tertentu. Makna merupakan unsur yang paling utama dalam

sebuah puisi. Dalam analisis semantik, yang dilakukan adalah

pendekatan terhadap makna denotatif dan makna konotatif.

3. Kritik Sosial

karya sastra melalui medium bahasa figurative konotatif

memiliki kemampuan yang lebih luas dalam mengekspresikan

masalah-masalah yang berkembang dalam masyarakat (Ratna,

2003:23) sesuai dengan pendapat ini, maka karya sastra tercipta

bukan hanya sekedar sebagai media hiburan lewat kata-kata indah

ataupun jalan cerita yang menarik, melainkan dari kata-kata

tersebut terkadang tercantum makna secara eksplisit mengenai


permasalahan sosial yang ada di masyarakat. Dengan demikian

wajar adanya sebuah penggambaran masyarakat melalui sebuah

karya. Penggambaran sosial yang tertulis dalam karya sastra bisa

dikatakan sebagai bentuk kritik terhadap kondisi yang terjadi pada

saat itu.

La critique « fait parler » ce que l’œuvre doit taire


à tout prix simplement pour rester elle-même. Son travail
n’est pas d’extraire quelque vérité cachée de l’œuvre, mais
de démontrer que sa « vérité » s’ofre à la vue, dans la
divergence historiquement nécessaire entre ses diverses
composantes. (Macherey, 2014: 10)
Pendapat tersebut dapat diartikan bahwa kritik “membuat

berbicara” sebuah karya yang seharusnya terbungkam dengan

segala cara untuk tetap menjadi dirinya sendiri, tugasnya bukan

untuk mengambil beberapa kebenaran yang tersembunyi dari

sebuah karya, melainkan untuk menunjukan bahwa kebenarannya

tersembunyi dari pandangan, dalam perbedaan yang secara historis

diperlukan antara berbagai komponennya. Sebuah karya sastra jika

dilihat secara general tanpa ada pemaknaan yang mendalam

hanyalah berupa tulisan dengan kata-kata indah bermajas. Namun,

Ketika seseorang dapat memaknainya secara lebih mendalam maka

karya sastra dapat berubah menjadi sesuatu yang dapat berbicara

atau bahkan mengungkap kebenaran mengenai keadaan sosial yang

terjadi.
Dalam menulis suatu karya, beberapa pengarang mencoba untuk

merefleksikan realita sosial yang berkembang dalam masyarakat ke

dalam karyanya. Hal ini dilakukan karena karya sastra dapat

dijadikan sebagai media penyalur pemikiran agar masyarakat dapat

lebih terbuka pikirannya bahwasannya terkadang keadaan

lingkungan sosial ini sedang tidak dalam keadaan yang baik-baik

saja. Seperti yang dikatakan oleh Marc Angenot dalam (Popovic,

2014: 16) menyampaikan pandangannya dalam proses kritik sosial

pada sebuah teks karya sastra. Sebelumnya ia berpendapat bahwa

kritik sosial selaras dengan penelitian potensi singularitas teks

yaitu berupa kritikan dan evaluasi kondisi sosial. Angenot

melontarkan bahwa sastra dapat hadir ditengah-tengah kondisi

masyarakat yang sedang kacau serta kalut sehingga karya sastra

mengungkap kebenaran yang tidak hadir di dunia ini serta

memaparkan kesenjangan yang terjadi.. Harapan yang tidak sesuai

dengan kenyataan yang dihadapi oleh masyarakat lah yang

menyebabkan timbulnya kritik sosial.

la sociocritique est une perspective définissable par le


geste critique qui la fonde, lequel fournit les linéaments d’une
pratique de lecture des textes attentive à leur interaction avec la
semiosis sociale qui les environne (Popovic, 2014:33)

kritik sosial adalah perspektif yang dapat didefinisikan melalui

gerakan kritis yang menjadi dasarnya, yang menyediakan

keselarasan antara praktik membaca teks yang memperhatikan

interaksi mereka dengan semiosis sosial yang mengelilingi mereka.


Kritik sosial menjadi sebuah pandangan yang tergambarkan lewat

pemikiran kritis sang pengarang. Pengarang mengilustrasikan

keadaan sosial yang terjadi di sekitaran mereka dan

menuangkannya ke dalam karya yang indah. Lebih lanjut lagi

Popovic mendefinisikan kritik sosial secara ringkas sebagai

hermeneutika sosial teks yang dapat dikatakan sebagai

« sosiosemiotik ». hal ini memungkinkan kritik sastra dapat

mengungkap makna dari teks dalam karya sastra, menilai dan

menyoroti historisnya, pemikiran kritis para sastrawan yang

berhubungan dengan dunia sosial di sekelilingnya.

 la sociocritique – qui s’appellerait tout aussi bien «

sociosémiotique » – peut se définir de manière concise

comme une herméneutique sociale des textes. (Popovic,

2014: 16) 

Kritik sosial merupakan sindiran, tanggapan, yang ditujukan pada

suatu hal yang terjadi dalam masyarakat manakala terdapat sebuah

konfrontasi dengan realitas berupa kepincangan atau kebobrokan

(Amalia, 2006:1). Manusia tidak dapat lepas dengan sesamanya

untuk berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan adanya

interaksi sosial itulah yang menyebabkan manusia menghadapi

permasalahan-permasalahan sosial dalam hidupnya.

Ketidakberhasilan interaksi sosial yang terjalin antar sesama

manusia itulah yang dapat memicu ketimpangan sosial sehingga


timbulah reaksi masyarakat berupa kritik. Reaksi kritik ini dapat

dilakukan oleh orang yang langsung mengalami hal tersebut

maupun orang yang hanya melihat keadaan ini, begitupun dengan

beberapa sastrawan.

Berbagai karya sastra dapat dijadikan media kritik sosial, salah

satunya adalah puisi. Menurut Laely Nurul (dalam Ahmat Sodiqin

(2006: 4-5) kritik sosial dalam puisi tidaklah berhenti pada kritik

semata, melainkan memiliki tujuan yang lebih jauh lagi, yaitu

menampilkan dimensi pendidikan bagi masyarakat luas. Kritik

sosial yang dilakukan melalui puisi ataupun karya sastra lainnya

dapat dijadikan bahan pelajaran maupun bahan pertimbangan bagi

pihak lain yang membacanya. Karya sastra memiliki hubungan yang

erat dengan masyarakat. Tulisan yang tertuang dalam karya sastra

merupakan hasil dari hubungan yang era tantara sastra dengan

masyarakat.

Pengarang sebagai salah satu masyarakat menuangkan pikirannya

serta menyampaikan kritik sosialnya melalui kumpulan puisi

diantaranya W.S Rendra terkenal sebagai sastrawan yang

mengungkapkan kegelisahannya mengenai masalah sosial di

Indonesia melalui kumpulan puisinya yang berjudul Sajak Orang

Kepanasan, menggambarkan pertentangan orang yang berkuasa dan

orang yang tidak memiliki kuasa apa-apa. Begitupun dengan

sastrawan prancis, ada banyak sekali sastrawan yang


menggambarkan dan mengkritisi keadaan sosial sekitar melaui

karya sastra. Salah satu sastrawan yang terkenal misalnya seperti

Victor Hugo dalam karya sastranya yang berjudul Les Misérable.

Lewat karya sastranya ia menggambarkan kemiskinan yang terjadi

pada abad ke-19. Selanjutnya ada pula sastrawan yang

mengekspresikan keadaan sosial lewat puisi pada abad sekarang

seperti karya Daria Colonna yang akan diteliti pada penilitian kali

ini.

Dari beberapa definisi mengenai kritik sosial yang telah

dipaparkan, maka dapat disimpulkan bahwa kritik sosial yang

terdapat dalam karya sastra merupakan media penyalur pemikiran

sastrawan dalam mengekpresikan kondisi sosial sekitar. Karya

sastra yang hadir di tengha masyarakat dapat di katakana pula

sebagai cerminan sosial serta penggambaran realita kehidupan nyata

yang didalamnya tercantum unsur kritik terhadap permasalahan dan

kesenjangan sosial yang terjadi. Kritik sosial dalam sastra memiliki

peran untuk membuka pemikiran masyarakat untuk lebih terbuka

dan lebih kritis untuk melihat kondisi sosial sekitar. Kritik sosial

dapat dikatakan pula sebagai bentuk usaha yang dilakukan

seseorang untuk menyalurkan penilaian mengenai permasalahan

sosial dan kenyataan yang terjadi di masyarakat.

Adapun batasan kritik sosial yang akan dibahas dalam penilitian ini

yaitu kritik sosial berdasarkan kenyataan sosial yang terjadi dalam


masyarakat tertentu. Kenyataan sosial yang di kritik dalam karya

satra tentunya merupakan kenyataan sosial yang menyimpang

dalam kurun waktu tertentu. Penulis akan menganalisis masalah

sosial yang muncul dalam masyarakat tertentu serta dikritisi oleh

sastrawan lewat karya sastranya.

4. Jenis-Jenis Kritik Sosial

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan teori dari Pierre Bordieu

dalam mengklasifikasikan jenis-jenis kritik sosial. Karya sastra yang

sering kali dipandang sebagai cermin sosial yang membutuhkan

beberapa teori yang berhubungan dengan perilaku masyarakat.

Salah satu teori yang dapat digunakan untuk menentukan perilaku

masyarakat yang terdapat karya sastra adalah teori dari Pierre

Bordieu yang menekankan usaha dalam membongkar relasi-relasi

kuasa yang terdapat dalam masyarakat. Dalam membongkar relasi

kuasa tersebut, ia mencetuskan konsep habitus, ranah atau arena ,

dan kapital. Montousse memberikan pemikirannya terkait

pendekatan kritik sosial dari Pierre Bordieu dengan menyatakan :

les critiques d’une telle approche s’avèrent nombreuses et portent


tant sur les concepts employés (habitus, champ, stratégies, capital)
que sur les résultats, qui dénient toute autonomie culturelle aux
agents sociaux et qui transforment la culture en un instrument de
la lutte des classes. (Marc Montoussé, 2008: 135)
Pernyataan diatas dapat diartikan bahwa kritik terhadap pendekatan

semacam itu terbukti sangat banyak dan banyak berhubungan

dengan konsep-konsep yang digunakan (habitus, arena, ranah,


kapital) dengan hasil, yang menyangkal otonomi budaya terhadap

agen sosial dan yang mengubah budaya menjadi instrumen

perjuangan kelas.

4.1. Habitus

Pierre Bordieu (dalam Bastien, dkk, 2010 :16) menyebut

habitus sebagai hubungan antara dua keadaan sosial yaitu antara

sejarah objektif dalam hal-hal terkait, dalam bentuk institusi, dan

sejarah yang terdapat dalam tubuh serta dalam bentuk disposisi

abadi. Menurut Bordieu, sosial bukan berada di luar individu,

melainkan berada dalam individu itu sendiri seperti interiorisasi

pengalaman-pengalaman masa lalu yang tidak disadari dan situasi

di bidang sosial. Ini bermaksud bahwa tatanan sosial terukir dalam

individu melalui konfrotansi sosial yang selalu memberi ruang

untuk terjadinya interaksi dengan lingkungan sosial atau dapat

dikatakan bahwa habitus memiliki dua kata kunci yaitu interaksi

dan ruang sosial.

Kemudian Bourdieu kembali mendefinisikan habitus yaitu :

l’habitus est en effet à la fois principe générateur de pratiques


objectivement classables et système de classement (principium
divisionis) de ces pratiques. C’est dans la relation entre les deux
capacités qui définissent l’habitus, capacité de produire des
pratiques et des œuvres classables, capacité de différencier et
d’apprécier ces pratiques et ces produits (goût), que se constitue le
monde social représenté, c’est-à-dire l’espace des styles de vie.
(Bourdieu, 2016 :251)
habitus sebenarnya adalah prinsip yang menghasilkan praktik-

praktik yang dapat diklasifikasikan secara objektif dan sistem

klasifikasi (principium divisionis) dari praktik-praktik ini. Ini

merupakan hubungan antara dua kapasitas yang mendefinisikan

habitus, yaitu kapasitas untuk menghasilkan praktik dan sebuah

karya yang dapat diklasifikasikan, kapasitas untuk membedakan

dan menghargai praktik-praktik dan produk-produk (rasa), dapat

dikatakan bahwa dunia sosial yang ditampilkan merupakan ruang

gaya hidup.

Bourdieu mengatakan habitus sebagai « structures structurées

prédisposées à fonctionner comme structures structurantes » atau

dapat diartikan bahwa habitus merupakan susunan terstruktur yang

cenderung digunakan agar berfungsi sebagai susunan yang

tersusun. Maksud dari structure structurée adalah habitus itu

sendiri merupakan hasil dari proses sosialisasi individu atau

struktur yang menstrutktur kehidupan sosial.

Habitus bagi Bourdieu (via Hidayat, 2010 :47) menjadi konsep

yang sangat penting dalam upayanya mendamaikan ide tentang

struktur dengan ide tentang praktek. Kemudian ia mengkonsepkan

kebiasaan dalam berbagai cara, yaitu :

a. Sebagai kecenderungan-kecenderungan empiris untuk

bertindak dalam cara-cara yang khusus (gaya hidup)


b. Sebagai motivasi, preferensi, cita rasa atau perasaan (emosi)

c. Sebagai perilaku yang mendarah daging

d. Sebagai suatu pandangan tentang dunia (kosmologi)

e. Sebagai keterampilan dan kemamapuan sosial praktis

f. Sebagai aspirasi dan harapan berkaitan dengan perubahan

hidup dan jenjang karier

4.2.Ranah atau Arena

Ranah adalah sejenis pasar kompetitif yang di dalamnya

berbagai jenis modal (ekonomi, kultural, sosial, simbolis)

digunakan dan dimanfaatkan (Ritzer, Goodman, 2012 : 583).

Dapat dikatakan pula bahwa ranah merupakan bentuk sosialisasi

antara individu dengan dunia luarnya. Pierre Bourdieu

mengibaratkan masyarakat bagaikan sebuah sebuah ranah yang

tersusun dan saling berkaitan. Para agen sosial baik itu sebuah

institusi maupun individu langsung bergerak dalam sebuah

arena bukan dalam ruang kosong. Arena yang dimaksud disini

merupakan realita sosial yang disusun dan tertata oleh hubungan

sosial objektif. Arena digambarkan pula sebagai tempat

perjuangan para agen sosial untuk merebut kekuasaan.

4.2. Kapital

Konsep mengenai kritik sosial yang dipaparkan oleh

Bourdieu saling berkaitan satu sama lain yaitu antara habitus,

arena, dan satu lagi yaitu kapital. Seperti misalnya habitus yang
baik dan mudah beradaptasi diperlukan agen sosial agar dapat

berinteraksi kedalam arena atau tempat pertempuran adu

kekuatan. Selain itu, untuk dapat bertahan di dalam arena maka

agen harus memiliki segelintr kemampuan, keterampilan dan

pengetahuan yang tepat atau bisa disebut juga sebagai kapital.

Lebih lanjut lagi Pierre Bourdieu mendeskripsikan kapital

sebagai keseluruhan sumber daya sosial yang muncul dari

proses akumulasi dan memungkinkan pelaku sosial memperoleh

hasil.

Berbeda dengan Karl Marx, Bourdieu mencentuskan konsep

kapital yang bukan hanya melihat kapital dallam pandangan

ekonomi saja. Ia memasukan berbagai unsur lain seperti unsur

budaya, sosial, dan simbolik. Memang tidak dapat dipungkiri

bahwa kapital ekonomi masih menjadi dominan dalam

mendorong perbedaan kelas namun bukan berarti kapital budaya

tidak memiliki peran besar karena menurut Bourdieu kapital

budaya menjadi bagian dari modal dalam memasuki arena.

Penggolongan konsep kapital menurut Bourdieu dapat

disimpulkan menjadi 4 yaitu :

1. Kapital ekonomi

Definisi dari kapital ekonomi yang dikemukakan oleh Pierre

Bourdieu tidak terlalu berbeda dengan ilmu ekonomi lainnya

yang pastinya bersangkut paut dengan perekonomian. Kapital


ekonomi tersusun dari beberapa jenis faktor produksi, kumpulan

kekayaan ekonomi yang menguntungkan.

2. Kapital budaya

Kapital budaya meyangkut keseluruhan kualifikasi

intelektual yang dapat diperoleh melalui jenjang pendidikan

baik formal maupun informal seperti pendidikan keluarga.

Kapital budaya terbagi menjadi tiga yaitu ada yang terintegrasi

dari diri sendiri berupa pendidikan yang selama ini didapat.

Kedua bersangkut paut dengan seluruh kekayaan budaya seperti

karya seni. Ketiga berupa gelar pendidikan yang diperoleh dari

sebuah institusi.

3. Kapital sosial

Kapital sosial merujuk pada jaringan sosial yang dimili antar

agen sosial baik individu maupun kelompok dalam

hubungannya dengan pihak lain yang mempunyai kuasa.

Kegiatan sosial juga termasuk kedalam unsur ini

4. Kapital simbolik

Merupakan pengumpulan kehormatan serta penghargaan

yang dimiliki oleh agen sosial. Kapital simbolik sendiri

menyangkut hal tentang status, otoritas, prestise serta legitimasi.

Selain itu, dalam kapital simbolik ranah agama dan hukum

merupakan dua arena dominan.


Berdasarkan pemaparan diatas maka pada penelitian ini

pengklasifikasian kritik sosial terbagi menjadi beberapa aspek

yaitu menyangkut habitus atau kebiasaan, agama, hukum,

ekonomi, budaya, sosial dan simbolik. Ketujuh aspek tersebut

didapat berdasarkan ketiga konsep kritik sosial yang

dikembangkan oleh Pierre Bordieu yaitu habitus, ranah atau arena

dan kapital.

5. Hakikat Sosiologi Sastra

Dalam sebuah kajian studi sastra, sosiologi sastra sering kali

didefinisikan sebagai salah satu pendekatan dalam kajian sastra

yang memahami dan menilai karya sastra dengan

mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan (sosial), pernyataan

ini dipaparkan oleh Damono (via Wiyatmi, 2013:5). Sosiologi sastra

dapat dikatakan juga sebagai pendekatan sastra dari segi sosial,

dalam hal ini pemahaman fenomena sastra dengan aspek sosial

merupakan pendekatan atau cara memahami sastra. Menurut

Bastien Sosiologi diibaratkan sebagai suatu ilmu disiplin yang telah

terpecah yaitu antara orientasi ilmiah dan orientasi sastra.

« la sociologie en tant que discipline naissante était tiraillée entre

l’orientation scientifique et l’orientation littéraire. » (Bastien,

2010 : 409-428)
Sosiologi sastra sendiri mengkaji karya sastra melalui perpaduan

antara ilmu sastra dengan ilmu sosiologi (interdispliner). Ilmu

interdisiplin ini memperhatikan dua objek kajian yaitu ihwal fakta

estetis serta fakta kemanusiaan. Sastra yang berperan sebagai fakta

estetis akan menguraikan kehidupan manusia yang dikemas dalam

bentuk fiksi yaitu karya sastra. Hubungan sastra dan manusia inilah

yang dapat menarik pemahaman sosiologi sastra.

Para ilmuwan sastra terdahulu mencoba menjelaskan batasan

sosiologi sebagai sebuah ilmu, batasan sastra, baru kemudian

menguraikan perbedaan dan persamaan antara sosiologi dengan

sastra. Swingewood (dalam Wiyatmi, 2013 :5) menguraikan bahwa

sosiologi merupakan studi yang ilmiah dan objektif mengenai

manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan

proses sosial. Selain itu menurut Fananie (2002: 132), sosiologi

merupakan ilmu penegtahuan yang objek studinya berupa kegiatan

manusia. Sedangkan sastra merupakan karya seni yang terbentuk

dari ekspresi kehidupan manusia. Antara sastra dan sosiologi

merupakan dua bidang yang berbeda namun keduanya saling

melengkapi serta memiliki objek kajian yang sama berupa manusia

dalam masyarakat, memahami interaksi sosial berupa proses yang

timbul dari hubungan-hubungan antar manusia di dalam

masyarakat. Pada sosiologi kajian yang digali


Baik sosiologi maupun sastra memiliki objek kajian yang sama,

yaitu manusia dalam masyarakat, memahami hubungan-hubungan

antarmanusia dan proses yang timbul dari hubungan-hubungan

tersebut di dalam masyarakat. Bedanya, kalau sosiologi melakukan

telaah objektif dan ilmiah tentang manusia dan masyarakat, telaah

tentang lembaga dan proses sosial, mencari tahu bagaimana

masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung, dan

bagaimana ia tetap ada; maka sastra menyusup, menembus

permukaan kehidupan sosial dan menunjukkan cara-cara manusia

menghayati masyarakat dengan perasaannya, melakukan telaah

secara subjektif dan personal (Damono,1979).

Beberapa uraian di atas sejalan dengan pendapat Bruno


Péquignot (dalam Heinich: 2004 :93-94) yaitu
« il prouve la possibilité d’une sociologie des œuvres,
capable de repérer des phénomènes généraux (le
changement du rapport au pouvoir) dans des thèmes (un
portrait de cour) et des structures formelles (l’usage de la
perspective)»
Sastra sebagai objek yang sah dalam ilmu sosiologi menggunakan

konsep « kesustrasaan » untuk mengatasi pertentangan antara

analisis ekternal dan analisis internal. Publikasi ini kemudian

menjadi kesempatan bagi sosiolog untuk mempertimbangkan

kembali objek "sastra", sebuah objek yang lama diabaikan, dengan

memungkinkan pertukaran antara dua disiplin ilmu yaitu studi

sastra dan sosiologi secara khusus.


Selanjutnya, mengutip pendapat dari wingewood (dalam

Wiyatmi, 2013 : 8) beliau memandang adanya dua corak

penyelidikan sosiologi yang mengunakan data sastra. Yang

pertama, penyelidikan yang bermula dari lingkungan sosial untuk

masuk kepada hubungan sastra dengan faktor di luar sastra yang

terbayang dalam karya sastra. Oleh Swingewood, cara seperti ini

disebut sociology of literature (sosiologi sastra). Penyelidikan ini

melihat faktor-faktor sosial yang menghasilkan karya sastra pada

masa dan masyarakat tertentu. Kedua, penyelidikan yang

menghubungkan struktur karya sastra kepada genre dan

masyarakat tertentu. Cara kedua ini dinamakan literary of

sociology (sosiologi sastra). Perspektif mengenai analisis sosiologi

sastra juga dapat tergambarkan dari analisi Viart (dalam Ledent,

2013 :2-3) :

Deux perspectives analytiques prometteuses de Viart:


– Ce que la littérature dit de la sociologie, une perspective
qui appréhenderait la représentation du savoir sociologique
ou des sociologues dans des œuvres littéraires.
– Ce que la littérature fait à la sociologie, une dernière
perspective qui s’intéresserait à l’influence de la littérature
sur la sociologie, dans le cadre d’une histoire des idées
et/ou d’une réflexion épistémologique
Maksud dari pernyataan tersebut adalah terdapat dua perspektif

analisis dari Viart yaitu apa yang dikatakan literatur tentang

sosiologi, perspektif yang memahami representasi pengetahuan

sosiologis atau sosiolog dalam karya sastra. Apa yang dilakukan


sastra terhadap sosiologi, perspektif terakhir yang akan tertarik

pada pengaruh sastra pada sosiologi, dalam kerangka sejarah

gagasan dan / atau refleksi epistemologis

Dari beberapa pernyataan diatas maka dapat disimpulkan

bahwa sosiologi sastra merupakan salah satu bentuk pendekatan

dalam menganalisis karya sastra yang berkaitan dengan

masyarakat. Ada beberapa model analisis dalam pendekatan ini

yaitu menganalisis masalah-masalah sosial yang terdapat dalam

karya sastra tersebut lalu menghubungkannya dengan realita sosial

yang pernah terjaadi sebelumnya. Kemudian ada pula model

analisis dengan menganalisis karya sastra tersebut guna

mengetahui informasi tertentu berupa keadaan sosial yang

terkandung dalam karya sastra tersebut. Dalam penelitian ini,

model analisis yang digunakan yaitu model kedua yaitu peneliti

menganalisis karya sastra guna mengetahui jenis-jenis kritik sosial

apasajakah yang akan terdapat dalam karya sastra tersebut.

B. Penelitian Relevan

1. misalnya penelitian yang dilakukan oleh Rosita Praptiwi, Program

Studi Pendidikan Bahasa, dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan


Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Surakarta, tahun 2014

dengan judul penelitian “Kritik Sosial dalam Novel Surga Retak Karya

Syahmedi Dean: Tinjauan Sosiologi Sastra dan Relevansinya Sebagai

Bahan Ajar Sastra Indonesia di SM” pada penelitian ini sumber data

yang dipakai berupa novel dan melalui pendekatan sosiologi sastra

didapatkan hasil berupa 6 jenis kritik sosial.

2. Penelitian lain mengenai kritik sosial juga pernah dilakukan oleh

Ridwan Sugiwardana mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Universitas

Airlangga, tahun 2014 dengan judul penelitian “Pemaknaan Realitas

Serta Bentuk Kritik Sosial Dalam Lirik Lagu Slank”. Sumber data

yang dipakai dalam penelitian ini berupa kumpulan lagu grup band

Slank. Hasil dari penelitian ini adalah terdapat tema kritik sosial dalam

lagu tersebut yaitu ketidakadilan, korupsi, dan kondisi lingkungan.

3. Kritik sosial juga pernah diteliti oleh Ria Rukiyanti, mahasiswi

Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya,

Universitas Diponegoro, tahun 2019 dengan judul penelitian “Kritik

Sosial Dalam Novel Catatan Juang Karya Fiersa Besari”. Sumber data

yang digunakan dalam penelitian ini berupa novel serta hasil yang

penelitian yang ditemukan yaitu terdapat 3 kritik sosial.

Berdasarkan beberapa penelitian relevan yang telah dipaparkan,

terdapat perbedaan dengan penelitian yang akan diteliti saat ini yaitu

berupa sumber data yang digunakan. Pada penelitian pertama dan ketiga
sumber data yang digunakan berupa novel, penelitian relevan kedua

menggunakan lirik lagu sebagai sumber data. Sedangkan penelitian ini

akan menggunakan puisi berbahasa prancis sebagai sumber data. Selain

sumber data yang berbeda, dalam penelitian kali ini konsep kritik sastra

yang digunakan juga berbeda dari ketiga penelitian sebelumnya. Diantara

ketiga penelitian tersebut belum ada yang menggunakan konsep kritik

sosial yang dikembangkan oleh Pierre Bourdieu.

C. Kerangka Berpikir

Setelah pemaparan beberapa teori kritik sosial dan jenis-jenisnya,

maka didapati kerangka berpikir yang dilandasi dari beberapa konsep.

Pertama mengenai konsep kritik yang diartikan sebagai proses

mengevaluasi dan memberi nilai pada sesuatu dan salah satunya keadaan

sosial yang berkebembang dalam masyarakat. Kritik sosial merupakan

hasil dari proses pemikiran yang mendalam dari para pengarang setelah

melihat maupun mengalami suatu kejadian sosial sehingga mereka

menuangkannya kedalam bentuk karya sastra. Pierre Bourdieu

mengembangkan pemikirannya mengenai kritik sosial sehingga

terciptahlah tiga konsep yaitu l’habitus (habitus) berupa kebiasaan yang

ada dalam diri yang tercipta berdasarkan pengalaman pribadi maupun

lingkungan keluarga dan masyarakat. Konsep kedua yaitu ranah atau arena

yang menjadi sebuah tempat berinteraksi antar manusia dan tempat daya

juang mereka sebagai agen sosial. Terakhir yaitu mengenai kapital yang
terbagi menjadi empat usnur yaiu kapital ekonomi, kapital sosial, kapital

budaya, dan kapital simbolim.

Dari teori yang telah dijelaskan sebelumnya, peneliti menemukan

beberapa jenis kritik sosial yang akan dijadikan sub-fokus dalam

penelitian ini, yaitu habitus atau kebiasaan, agama, hukum, ekonomi,

budaya, sosial dan simbolik. Puisi yang diciptakan oleh Daria Colonna

dipilih karena dalam puisi tersebut pengarang mencoba mengkritisi

keadaan sosial pada abad sekarang ini dengan menampilkan juga sebuah

paradoks sosial.

Daftar Pustaka:

Rendra. 2001. Penyair dan Kritik Sosial. Yogyakarta:Kepel Press.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2010. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gajah Mada

UniversityPress.

Siswantoro.2010.MetodePenelitianSastra.Yogyakarta:PustakaPelajar.

Wahyuni, Ristri. 2014. Kitab Lengkap Puisi, Prosa, dan Pantun Lama.

Jogjakarta:Saufa

Campa, Cosino. 2005. La Littérature Européenne. Prancis: Studyrama

Stout, John C. 2010. L’énigme-poésie: Entretiens avec 21 poètes françaises. New

York: Rodopi

Montoussé, Marc. 2008. 100 fiches de lecture: en économie, sociologie, histoire

et géographie économiques. Bréal


Ritzer & Goodman. Teori Sosiologi Klasik – Post Modern Edisi Terbaru (Trans:

Nurhadi). Yogyakarta: Kreasi Wacana. 2012. Hlm: 583

Gartman, D. 2002. Bourdieu’s theory of cultural change: Explication, application,

critique. Sociological Theory, 20(2), 255-255. Diakses dari

http://search.proquest.com/ docview/213360140?accountid=62692

Littérature et sociologie - Sociologie et littérature (de Balzac à Bourdieu), in : C.


Bastien, S. Borja, D. Naegel (éd.), Le Raisonnement sociologique à l'ouvrage.
Paris, L'Harmattan, 2010, p.409-428. (https://www.academia.edu/28721549/Litt
%C3%A9rature_et_sociologie_-_Sociologie_et_litt%C3%A9rature_de_Balzac_
%C3%A0_Bourdieu_in_C._Bastien_S._Borja_D._Naegel_
%C3%A9d._Le_Raisonnement_sociologique_
%C3%A0_louvrage._Paris_LHarmattan_2010_p.409-428)

Popovic, Pierre. 2016. La sociocritique. Définition, histoire, concepts, voies


d’avenir. Pratiques : 151-152

Pierre Popovic, « La sociocritique. Définition, histoire, concepts, voies d’avenir »,

Pratiques [En ligne], 151-152 | 2011, mis en ligne le 13 juin 2014, consulté le 04

décembre 2018. URL : http:// journals.openedition.org/pratiques/1762 ; DOI :

10.4000/pratiques.1762

MACHEREY, Pierre. Pour une théorie de la production littéraire. Nouvelle

édition [en ligne]. Lyon : ENS Éditions, 2014 (généré le 05 mai 2019). Disponible

sur Internet : <http://books.openedition.org/ enseditions/628>. ISBN :

9782847885903. DOI : 10.4000/books.enseditions.628.

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari

Stukturalisme hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sodiqin, Ahmad. 2006. “Telaah Kritik Sosial dan Nilai-nilai Pendidikan Kumpulan Puisi

Malu (Aku) jadi Orang Indonesia”. Surakarta: Universitas Sebelas Maret

Anda mungkin juga menyukai