Anda di halaman 1dari 10

BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sastra adalah sebuah karya seni yang didalamnya berbicara tentang masalah
kehidupan tentang hubungan manusia dengan manusia, alam, dan kehidupan lainnya yang
terjadi di dalam ruang lingkup kehidupan bermasyarakat. Ketika kita membicarakan sebuah
sastra, pasti yang terlintas dalam pikiran kita yakni sebuah keindahan.

Setiap manusia di dunia ini sebenarnya memiliki kesempatan dan kemampuan untuk
berkreasi dalam menghasilkan sebuah karya sastra yang indah misalnya puisi, novel, dan
sebagainya. Namun sebagian besar dari manusia itu sendiri tidak menyadari akan karunia
yang diberikan itu dengan alasan yang kurang tepat. Sebaiknya kita peka akan karunia itu.

Misalnya Puisi. Puisi merupakan suatu karya yang terbentuk atas susunan kata penuh
makna, dimana kata mengalami pemadatan bentuk dan perluasan arti. Pemadatan bentuk
dalam puisi dilakukan dengan mengganti kata yang sebenarnya menjadi kata kias atau dengan
menciptakan kata baru yang dianggap mewakili kata. Hal ini dalam puisi dibenarkan karena
mengingat puisi merupakan penciptaan kembali atas kenyataan yang ada, juga menjadi rekam
jejak susasana hati dan pengalaman pribadi dari penyair.

Puisi juga merupakan bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan
penyair secara imajinatif yang disusun dengan mengonsentrasikan struktur fisik dan struktur
batinnya (Herman J. Waluyo). Dengan susunan struktur-struktur tersebut akan membentuk
rangkaian kata indah yang bermakna. Rangkaian karya indah ini selain memiliki efek atau
mengandung sesuatu yang ingin diungkapkan pada pembaca, puisi juga merupakan curahan
hati dari pengarang. Salah satunya dalam puisi “Kesangsian Merampas Jiwa” karya Evan Ys.
Melalui puisi tersebut, penulis mencoba untuk menganalisisnya dalam teori heuristik dan
teori hermeneutik dalam pendekatan semiotika riffaterre.

Riffattere mengungkapkan ciri dasar mimesis adalah produksi rangkaian semantik


yang selalu berubah. Hal ini dipengaruhi oleh representasi itu didirikan di atas referensial
bahasa, yaitu di atas relasi langsung antara kata-kata (sebagai bentuk atau referensial bahasa)
dengan benda tertentu. Hal ini tentu erat kaitannya dengan teks. Sementara itu, teks sendiri
selalu melakukan pelipatgandaan detail-detail dan kemudian mengubah fokusnya demi
mencapai kesamaan agar dapat diterima dengan realitas. Hal ini tentu mengingat sifat realitas
itu sendiri yang sangatlah kompleks. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
sesungguhnya mimesis itu merupakan variasi dan multiplisitas.

Karya sastra oleh Riffattere dipandang sebagai suatu bentuk respons atas karya sastra
lain , maka kemudian yang penting dalam analisis atau pencapaian makna puisi
adalah respon puisi tersebut. Tugas pembaca adalah menemukan dan menafsirkan
response yang terkandung dalam puisi tersebut (Teuuw 1983). Satu prinsip yang
penting dalam kaitan dengan ini, yang diungkapkan oleh Riffattere adalah prinsip
intertekstualitas: bahwa karya sastra memiliki hubungan dengan karya yang lain.
Seorang pembaca puisi akan dapat memperoleh makna puisi secara lengkap (penuh)
atas puisi yang dibacanya jika dapat menemukan hubungan (pertentangan)-nya suatu
karya sastra dengan karya sastra yang lain. Untuk hal ini Riffattere menyebutnya
dengan istilah hipogram. Hipogram ini merupakan latar penciptaan karya sastra itu
sendiri; merupakan tulisan dasar untuk penciptaan baru, dengan memutarbalikan
esensi, amanat karya sebelumnya. Teeuw (1983: 65) menyebutkan bahwa latar
penciptaan karya sastra bisa meliputi masyarakat, perstiwa dalam sejarah, ataupun
alam dan kehidupan. Satu hal yang perlu dicermati oleh pambaca sastra adalah bahwa
intertekstualitas sama sekali tidak perlu berdasarkan niat eksplisit atau kesengajaan
seorang penyair; bahkan seringkali seorang penyair tidak menyadari hipogram yang
menjadi latar karyanya.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dalam
penulisan ini adalah bagaimana tinjauan semiotika riffaterre dalam puisi Kesangsian
Merampas Jiwa karya Evan Ys ?

C. TUJUAN
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka tujuan penulisan ini adalah
untuk mengetahui kajian semiotika riffaterre dalam puisi Kesangsian Merampas Jiwa
karya Evan Ys.
BAB II
PEMBAHASAN

A. KAJIAN TEORI SEMIOTIKA RIFFATERRE

Semiotika merupakan ilmu yang mempelajari hubungan antara sign (tanda-tanda)


berdasarkan kode-kode tertentu. Aart van Zoest dan Sudjiman (1992: 5) mendefinisikan
semiotika merupakan studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya: cara
berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya, dan penerimaannya
oleh mereka yang mempergunakannya. Semiotika menurut Pierce (dalam Ratna, 2009: 256)
bersinonim dengan logika karena pemahaman mengenai tanda-tandalah yang justru
memungkinkan manusia untuk berpikir dan bernalar. Dalam perkembangan berikutnya
semiotika didefinisikan sebagai 20 studi sistematis yang melibatkan produksi dan interpretasi
tanda dalam proses pemaknaan.

Menurut Eco (dalam Faruk, 1994: 43-44), secara general semiotik dapat didefinisikan
sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objekobjek, peristiwa-peristiwa, seluruh
kebudayaan sebagai tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang, atas dasar
konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain.
Konvensi yang memungkinkan suatu objek, peristiwa, atau suatu gejala kebudayaan, menjadi
tanda itu disebut juga sebagai kode (kode) sosial.

Riffaterre menganggap puisi sebagai salah satu aktivitas bahasa. Akan tetapi, bahasa
puisi berbeda dari bahasa yang digunakan sehari-hari. Karena itu, orang seringkali merasa
sulit untuk memahami sabdah puisi. Puisi dianggap karya sastra yang penuh teka-teki
(enigmatic) karena puisi berbicara mengenai sesuatu dengan maksud yang lain. Dengan kata
lain, bahasa puisi berbicara mengenai sesuatu secara tidak langsung. Perhatikan contoh-
contoh
berikut ini.

Untuk mengatakan bahwa seseorang sangat tertekan apabila mendapat cobaaan, dan
menghadapi cobaan tersebut sesorang melakukan sesuatu yang salah, digunakan ekspresi
puisi sebagai berikut : ‘’Berpulang keruang ilusi. Mencuci luka-luka dengan wiski’’.
Menurut Riffaterre, puisi menjadi sukar dipahami karena maknanya dinyatakan tidak
secara langsung. Ketidaklangsungan dalam pernyataan puisi disebabkan oleh tiga hal:
penggantian arti, penyimpangan arti, dan penciptaan arti.Penggantian arti (displicing of
meaning) dalam puisi terutama disebabkan oleh penggunaan kata-kata kiasan, yaitu metafora
dan metonimi. Metafora adalah bahasa kiasan yang menyatakan sesuatu seharga dengan hal
lain yang sesungguhnya tidak sama. Seringkali istilah metafora digunakan untuk
menyebutkan bahasa-bahasa kiasan seperti: perbandingan, personifikasi, sinekdokhe, dan
metonimi. Metafora melihat sesuatu dengan perantaraan hal lain.
Arti kata-kata, frase, dan kalimat dalam puisi seringkali secara sengaja dibuat menyimpang
dari konvensi pemakaian bahasa sehari-hari. Penyimpangan arti (distorting of meaning)
dalam puisi terjadi bila dalam puisi itu terdapat (a) ambiguitas, (b) kontradiksi, dan (c)
nonsense. Penciptaan arti (creating of meaning) terjadi bila ruang teks ditata sedemikian rupa
sehingga menimbulkan kode-kode makna baru, di luar arti ketatabahasaan. Dengan kata lain,
kode-kode sastra yang secara linguistik tidak memiliki makna. Penciptaan arti (sastra)
ini ditimbulkan oleh simitri (keseimbangan atau kesejajaran arti antarbait atau antarbaris
dalam sajak), rima (persamaan bunyi akhir/persajakan), enjambement (pemenggalan kata
dalam puisi), dan homologues (ekuivalensi-ekuivalensi makna semantik dan persamaan
posisi dalam bait). Homologues (persamaan posisi) misalnya tampak dalam pantun/puisi
yang menyerupai pantun. Semua tanda di luar aspek kebahasaan itu menciptakan makna baru
di luar aspek kebahasaan. Misalnya, makna intensitas (pengerasan arti) dan kejelasan yang
diciptakan oleh ulangan bunyi dan paralelisme.

Tahap I : Pembacaan Heuristik

Menurut KBBI (1.997: 348), heuristik berarti hal yang bersangkutan dengan prosedur
analitis, yang dimulai dengan perkiraan yang tepat dan mengeceknya lagi sebelum memberi
kepastian. Dalam kamus Longman Dictionary of Applied Linguistics Taum, Semiotika
Riffaterre dalam "Bulan Ruwah" 75 (1985: 129), makna heuristik dibedakan atas dua. Dalam
dunia pendidikan, heuristik berarti prosedur pengajaran yang memungkinkan siswa belajar "
dari pengalaman" (through experience, Iearning by doing) atau dari penemuan personal
mereka sendiri; 2)

Dalam belajar heuristik adalah proses kesadaran ataupun ketidak sadaran,


pembelajaran ataupun penemuan. Misalnya, dalam mencoba menemukan makna kata dalam
sebuah bahasa asing, pelajar mungkin mengulang-ulangi dengan suara keras sebuah kalimat
yang mengandung kata tersebut beberapa kali, kemudian mencoba menemukan sendiri
kemungkinan artinya.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembacaan heuristik adalah sebuah
prosedur analisis untuk menafsirkan arti (sebuah) kata dengan mengandalkan'penemuan'
sendiri oleh sang penafsir. Secara kasar dapat dikatakan bahwa dalam tahap pembacaan
heuristik ini, pembaca mencoba-coba sendiri secara spontan
menafsirkan makna kata dalam puisi secara bebas.
Pembacaan heuristik adalah pembacaan menurut sistem semiotik tingkat pertama,
yaitu pembacaan menurut konvensi bahasa. Sebelum bahasa itu digunakan dalam sebuah
karya sastra, bahasa itu sendiri sudah merupakan sistem tanda yang memiliki makna.
Kata "deru campur debu" (Chairil Anwar) merupakan kata sehari-hari yang sudah punya
makna. sebelum digunakan dalam karya sastra. Karena itulah, Jurij Lotman (Taum,1997:42)
mengatakan bahwa sistem bahasa merupakan Ein Primares Modellbildendes System (sistem
tanda primer). Sedangkan sistem sastra merupakan Ein sekundares Modellbildendes system
(sistem tanda sekunder). Sastra merupakan sistem tanda sekunder karena sastra menggunakan
bahasa sebagai alat pengucapannya. Dalam pembacaan heuristik, puisi dibaca secara linear,
sesuai dengan struktur bahasa sebagai sistem tanda semiotik tingkat pertama. Secara teknis,
tahap pembacaan ini ditandai dengan melakukan parafrase terhadap puisi. Parafrase dapat
dipahami sebagai sebuah kegiatan 'memprosakan puisi". Untuk menjelaskan arti bahasa
(bilamana perlu) susunan kalimat dikonkretisasikan/dinaturalisasikan (diwajarkan) sesuai
dengan susunan bahasa yang wajar/normatif. Kata-kata dalam puisi tersebut (bilamana perlu)
diberi tambahan kata sambung (dalam kurung). Kata-kata (bilamana perlu) dikembalikan ke
bentuk morfologinya yang normatif.
Kata atau kalimat dalam puisi tersebut (bilamana perlu) diberi I
DrDryar[-DrDrP6u[ I\ara Lrcur.Ndlcr Dltullurlrlycr, LurgulyclLr\cnr. \ll \lclrcllrt
kurung agar artinya menjadi jelas.

Tahap II: Pembacaan Hermeneutik


Istilah hermeneutik berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti teori atau
ilmu penafsiran (Makaryk, 1993: 90; Preminger, 1993: 51,6-517). Kata itu diturunkan dari
nama seorang tokoh mitologi Yunani 'Hermes', seorang dewa yang hidup diantara dunia
manusia dan dunia dewa-dewa (Iiminal god of margins and boundaries). Hermes adalah dewa
pembawa pesan, dewa tidur, pencuri, dan dewa yang bertugas mengantarkan orang mati ke
dunia akhirat. Dalam mitologi Yunani, Hermes menginterpretasikan pesan dewa tentang
kematian. Hermeneutika selalu dihubungkan dengan pengungkapan hal-hal yarrg
tersembunyi. Itulah sebabnya sebagai sebuah disiplin, hermeneutika dimulai dengan
penafsiran kitab suci dan lebih dekat dengan filologi.
Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa hermeneutik adalah sebuah prosedur
analisis makna dengan cara menginterpretasikan atau menerjemahkan ke dalam pemahaman
orang itu sendiri, membuat makna itu menjadi lebih jelas dan lebih dapat dimengerti.
Pembaacaan heuristik hanya sampai pada tahap memperjelasarti kebahasaannya,
tetapi makna sajak itu sebagai karya sastra belum terungkap dengan jelas. Oleh karena itu,
pembacaan heuristik harus diulang lagi dengan pembacaan hermeneutik dan diberi tafsiran
(dibaca secara hermeneutik) sesuai dengan konvensi sastra sebagai sistem semiotik tingkat
kedua. Pembacaan hermeneutik, atau dalam istilah Rifatterre pembacaan retroaktif, adalah
pembacaan ulang dengan memberikut punafsiran. Bacaan ini berdasarkan sistem tanda
semiotik kedua, yang merupakan pembacaan berdasarkan konvensi sastra. Dengan I
demikian, karya sastra dapat dipahami tidak saja arti kebahasaan- I, tetapi juga makna
(significance) kesastraannya (Pradopo, 2000:268)
Puisi

KESANGSIAN MERAMPAS JIWA

Resah yang menggelora tikam jiwa


Larutpun tak beri cahaya
Jiwaku tertatih dalam kelam
Merantas bimbang tak bermuara

Gamang palunkan sangsi atas garangnya matahari


Redupnya rembulan, dan kerlip bintang

Tafakur dalam rentangan malam


Memaknai tiap aksara dan suara
Kesangsian merampas jiwaku
Menggelepar,
Sekarat...
Dan mungkin juga mati
Tahap I : Pembacaan Heuristik

Resah(gelisah) yang menggelora(bergejolak) tikam(tusukan) jiwa(roh manusia)


Larutpun(luluh) tak(tidak) beri cahaya(sinar) Jiwaku(roh manusia)
tertatih(melamban) dalam kelam(gelap) Merantas(menghilang) bimbang(perasan
ragu-ragu) tak bermuara(berakhir). Gamang(ketakutan) palunkan(berbelit)
sangsi(bimbang) atas garangnya(kejamnya) matahari(kehidupan)
Redupnya(remang) rembulan, dan kerlip(cahaya yang terputus) bintang.
Tafakur(renungan) dalam rentangan(uluran/perjalanan) malam(waktu).
Memaknai(mengartikan) tiap aksara(sistem tulisan/tanda) dan suara( bunyi dari
alat ucap manusia). Kesangsian(kebimbangan) merampas(mengambil) jiwaku(roh
manusia). Menggelepar(bergerak). Sekarat(menjelang ajal). Dan mungkin juga
mati!

Hasil pembacaan heuristik ini memperjelas beberapa arti kebahasaan dan kovensi
kebahsaan. Selanjutnya, pembacaan meningkat ketaraf pembacaan hermeneutik, pembacaan
retroaktif untuk menangkap makna sastranya.

Tahap II: Pembacaan Hermeneutik


 Pada bait pertama puisi ini menceritakan tentang : rasa gelisah seseorang
yang bergejolak, menusuk jiwanya dan luluh tak bercahaya lagi. Jiwanya
berjalan dalam kegelapan dan mencoba menghilangkan rasa ragu yang
tidak ada akhirnya. Hal ini diperkuat oleh pemknaannya (Resah yang
menggelora tikam jiwa, Larutpun tak beri cahaya, Jiwaku tertatih dalam
kelam, Merantas bimbang tak bermuara)

 Pada bait kedua puisi ini menceritakan tentang : ketakutannya


membelitkan bimbang atas kejamnya kehidupan,yang membuat hidupnya
sunyi dan tak bercahaya lagi. Hal ini diperkuat oleh pemknaannya
(Gamang palunkan sangsi atas garangnya matahari,Redupnya rembulan,
dan kerlip bintang).
 Pada bait ketiga puisi ini menceritakan tentang : renungan kehidupan
dalam perjalanan di suatu malam yang dapat mengartikan tiap tanda dan
suara dalam suatu kebimbangan yang mengambil jiwanya dan tidak
mampu lagi untuk bergerak, tak berdaya dan mungkin juga mati. Hal ini
diperkuat oleh pemaknaannya (Tafakur dalam rentangan malam,
Memaknai tiap aksara dan suara, Kesangsian merampas jiwaku
Menggelepar, Sekarat....Dan mungkin juga mati!).
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Puisi merupakan suatu bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran serta
perasaan dari penyair dan secara imajinatif serta disusun dengan mengonsentrasikan
kekuatan bahasa dengan pengosentrasian struktur fisik serta struktur batinnya.

Secara umum semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari


sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai
tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang, atas dasar
konvensi sosial yang terbangun sebelumnya,dapat dianggap mewakili
sesuatu yang lain.

Karya sastra oleh Riffattere dipandang sebagai suatu bentuk respons atas karya
sastra lain , maka kemudian yang penting dalam analisis atau pencapaian makna puisi
adalah respon puisi tersebut.

B. SARAN
Dalam penulisan ini saya rasa masih banyak kekurangan dan butuh banyak
kritikan untuk mengetahui dimana letak kesalahan untuk lebih terampil dari segi
kepenulisan.
DAFTAR PUSTAKA

Ys, Evan.2017.Per-empu-an dalam Semedi tanpa Dupa.Yogyakarta:Oceania Press

http://www.academia.edu/27383069/MAKALAH_Semiotika_Riffaterre_MATA_KULIAH_
TEORI_SASTRA_I_Dari_Klasik_Sampai_Modern

http://eprints.uny.ac.id/21452/1/Khusnul%20Arfan%2006203244015.pdf

Anda mungkin juga menyukai