Anda di halaman 1dari 12

1

MAKALAH
Semiotika Riffaterre
MATA KULIAH: TEORI SASTRA I: Dari Klasik Sampai Modern

OLEH:

Saddam Husien (121514153021)

FAKULTAS ILMU BUDAYA


KAJIAN SASTRA DAN BUDAYA
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2016

Semiotika Riffaterre
2

Secara umum semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan
luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Tanda itu sendiri
didefinisikan sebagai sesuatu yang, atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya,
dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Konvensi yang memungkinkan suatu objek,
peristiwa, atau suatu gejala kebudayaan, menjadi tanda itu disebut juga sebagai kode sosial
Menurut Eco dalam Faruk (1994: 43-44). Artinya tanda-tanda dari setiap objek, peristiwa
maupun kebudayaan memiliki makna yang tersirat dalam sebuah teks. Oleh karenanya makna
dalam karya sastra merupakan hal yang sangat penting.

Makna merupakan sebuah hal penting dalam sebuah teks karya sastra. Tanpa makna
teks dalam karya sastra tak memiliki arti apapun untuk dikaji menjadi sebuah penelitian.
Pentingnya mengupas sebuah makna ibarat kita menggali secara mendalam dari setiap teks.
Bahkan dalam kehidupan kitapun tak lepas dari makna kehidupan maupun individual
sehingga mempekenalkan kita pada hal yang diluar akal kita. Sepeti halnya, ketika kita
bertemu dengan sales tentu sales tentu sales tersebut akan menawarkan kita produk mereka
yang mau dijualkan untuk kita beli. Tetapi kalau kita melihat dari sisi makna tentu akan
berbeda dalam melihat hal itu, bisa saja makna yang ada dalam dunia sales merupakan
symbol perbudakan yang kekinian yang dalam bentuk halus tanpa harus melakukan
kekerasan dan bisa saja yang lain. Tentu interpretasi setiap orang akan berbeda tergantung
latar belakang masing-masing kita.

Kalau sebelumnya mengambil contoh sales sebagai makna perbudakan kekinian.


Berbeda halnya dengan semiotic, karena dalam semiotika riffatere khsusnya lebih mengupas
makna yang ada dalam teks puisi. Menggali makna yang terdapat dalam puisi merupakan
bentuk apresiasi yang sangat menarik untuk di bahas, karena dalam puisi memiliki
kandungan makna yang sangat mendalam sehingga perlu sebuah kajian untuk mengupas dan
membongkar secara rinci untuk mengetahui kronologis pembentukan makna yang ada dalam
puisi. Dalam semiotika Riffaterre menggagas sebuah teori semiotika puisi melalui dialek
antara teks dan pembaca (Teeuw, 1991:64). Artinya teks dan pembaca memiliki hubungan
yang saling berkesinambungan untuk sebuah proses pembentukan makna. Teks tanpa
pembaca tak akan ada artinya karena hanya akan bernilaihampa, begitupun berlaku
sebaliknya. Untuk mengungkap sebuah makna tentu dibutuhkan orang yang dinamakan
pembaca. Dengan adanya pembaca, makna dalam teks dapat di ketahui dan di analisis.
Dengan pembaca makna dalam tek diberikan oleh si pembaca untuk mengetahui unsur-unsur
3

maupun propaganda yang terdapat dalam teks. Kehadiran pembaca sangat di butuhkan dalm
proses analisi semiotika ini khususnya semiotika Riffaterre.

Secara garis besar semiotika Riffaterre dibagi menjadi empat, pertama ekspresi tidak
langsung, pembacaan teks secara heuristik dan hermeneutik, matriks, model dan varian, dan
hipogram (Pradopo, 2005, p. 281). Dengan keempat langkah-langkah yang di tawarkan oleh
Riffaterre, menganalisis makna yang terdapat dalam puisi akan lebih mudah di dapat dan si
pahami. Keempat langkah tersebut harus dilakukan untuk mendapatkan makna maupun kode-
kode dalam puisi.

Substansi Teori Semiotika Riffaterre

Penjelasan sebelumnya telah menyebutkan bahwa semiotika Riffaterre ada empat


langkah yang harus di lalui yang akan di paparkan sebagai berikut:

 Ekspresi tidak langsung

Dalam pembacaan puisi maupun kosa kata yang dipakai dalam puisi tidak ada makna
yang menggambarkan secara langsung. Pasti penggunaan kata-kata dalam puisi memiliki
makna yang di sampaikan dengan mengiaskan atau mengandaikan. Tentu melalui proses
pemaknaan masing-masing individu. Seperti yang Riffatterre kemukakan dalam bukunya
yang berjudul semiotics of poetry mengatakan bahwa puisi dari waktu ke waktu senantiasa
berubah. Perubahan itu disebabkan oleh perbedaan konsep estetik dan evolusi selera. Namun
ada satu hal yang tidak mengalami perubahan yakni, puisi itu merupakan ekpresi tidak
langsung (1978: 1). Ekpsresi tidak langsug menurut Riffaterre diakibatkan oleh tiga hal
yakni, displacing (penggantian), distorting (perusakan) dan creating (penciptaan) of meaning
(arti) (1978: 1).

a. Penggantian arti (displacing meaning)

Penggantian arti (displacing of meaning) adalah perubahan arti dari kata-kata yang
ada pada puisi tidak menggunakan arti yang sebenarnya. Biasanya puisi seperti itu
menggunakan majas. Majas yang digunakan dalam penggantian arti adalah metonimi dan
metafora. Dalam buku karangan Pradopo, Alterbernd menjelaskan bahwa metafora adalah
kiasan yang menyatakan sesuatu sebagai hal yang sama dengan sesuatu lain yang sebenarnya
tidak ada kaitan sama sekali. Metonimi adalah kiasan pengganti nama seperti Sungai
4

Ciliwung yang diganti namanya dengan Sungai Kesayangan dalam sajak Toto Sudarto
Bachtiar (Setyarini, 2010, p 22).

b. Perusakan atau penyimpangan arti (Distorting meaning)

Dikebanyakan puisi, kata-kata atau kalimat yang digunakan sering terjadi sebuah
penyimpangan arti yang di akibatkan tiga hal menurut Riffaterre, yakni ambiguitas,
kontradiksi dan nonsense (1978: 2). Ambiguitas dapat terjadi pada kata, frasa, kalimat,
maupun wacana yang disebabkan oleh munculnya penafsiran yang berbeda-beda menurut
konteksnya. Kontradiksi adalah penggunaan kata-kata yang paradok, ironi dan antithesis.
Sedangkan, non-sense adalah kata-kata yang tidak mempunyai arti (sesuai kamus) tetapi
mempunyai makna “gaib” sesuai dengan konteks (Salam, 2009:4).

c. Penciptaan arti (creating meaning)

Penciptaan arti baru terjadi karena di sebabkan oleh adanya bentuk visual yang
meliputi, rima, enjambement, dan tipografi (Riffaterre, 1978:2). Artinya visualisasi dalam
puisi mampu menciptakan sebuah arti baru seperti, rima, emjambement dan tipografi yang
membuat penciptaan arti baru dalam puisi. Sehingga dalam pemaknaan dalam puisi terjadi
pemaknaan baru (creating meaning).

 Heuristik dan Hermeneutik

Heuristik adalah pembacaan tahap pertama pada puisi yang dilakukan oleh pembaca.
Dimana dalam tahap pertama ini pembacaan teks sesuai dengan tata bahasa yang sintaksis,
morfologis, normatif dan semantik. Artinya dalam pembacaan heuristik menghasilkan teks
secara menyeluruh sesuai tata bahasa yang normatif dengan sistem semiotik. Segala sesuatu
yang berhubungan dengan tanda-tanda dari tingkat mimetik ke tingkat pemaknaan yang lebih
tinggi. Dalam pembacaan heuritsik ini disebut sebagai pembacaan tahap pertama karena
pembaca dituntut untuk memahami puisi dari keseluruhan. Artinya dalam tahap pertama ini,
pembaca hanya membaca di bagian luarnya sebelum memahami ke tahap yang kedua atau
yang disebut hermeneutik. Di tahap yang pertama ini, proses dekoding terjadi dengan
membaca teks secara keseluruhan untui medapatkan arti keseluruhan. Pembacaan heuristik
tidaklah cukup untuk memahami dan menangkap makna dalam puisi yang sesungguhnya,
oleh karena itu diperlukan tahap hermeneutic atau disebut pembacaan tahap kedua.

Dalam pembacaan hermeneutik, tentu tak lepas dari tahap pembacaan heuristik
terlebih dahulu yang harus dilalui karena heuristik merupakan proses pembacaan tahap
5

pertama untuk mengetahui makna teks keseluruhan secara menyeluruh yang hanya dipahami
bagian luar saja. Hermeneutik sebagai lanjutan dari tahap heuristik sebelumnya, menyajikan
sebuah pemahaman yang lebih mendalam dan rinci. Hermeneutik disebut juga pembacaan
tahap kedua atau retroaktif. Artinya pembaca melakukan pencarian makna secara mendalam
yang didasarkan pada konvensi sastra. Proses decoding terjadi dalam tahap ini karena dalam
tahap pertama dimana pembaca sudah membaca secara keseluruhan meskipun masih tahap
awal namun di tahap hermeneutik, pembaca lebih paham untuk memahami teks lebih jauh
dan mendalam. Segala sesuatu yang pada tahap heuristic, pembaca sesuatu yang tidak
koheren antar kata atau kalimat, dalam tahap ini menemukan fakta-fakta yang berhubungan
satu sama lain. Pembaca mulai dapat memahami dari yang awalnya mendapatkan makna atau
arti yang ambigu menjadi jelas.

 Matriks, Varian dan Model (kata kunci)

Puisi menjadi sebuah impian untuk seorang penyair cinta maupun kehidupan. Namun
dalam perkembangannya matriks menjadi model yang di transformasikan menjadi varia-
varian oleh seorang penyair yang dalam bentuk puisi. Riffaterre dalam bukunya yang
berjudul semiotics of poetry mengatakan bahwa matriks ini berupa satu kata, gabungan kata,
bagian kalimat sederhana (Riffaterre, 1978:25). Itu artinya bahwa matriks dalam karya sastra,
puisi khususnya sangatlah menentukan keindahannya dikarenakan matrik di poles atau
dibungkus oleh model yang biasanya berupa kiasan untuk mengiaskan sebuah kata-kata
dalam puisi. Sehingga, keindahan matriks dalam puisi sangatlah menentukan karena matriks
tidak secara jelas (butuh penafsiran hermeneutic) di gambarkan dalam puisi, bentuk varian
yang menjelaskan matriks dalam puisi secara lugas dan gamblang. Untuk “membuka” sajak
supaya dapat mudah dipahami, dalam konkretisasi puisi, haruslah dicari matriks atau kata-
(kata) kuncinya. Kata-kata kunci adalah kata yang menjadi kunci penafsiran sajak yang
dikonkretisasikan (Pradopo, 2010: 299). Artinya matriks adalah kata kunci yang yang
terdapat dalam teks puisi yang menjadi model-model dalam kata-kata puisi dan
ditransformasikan kedalam varian-varian.

 Hipogram (hubungan intertekstual)

Untuk mengetahui makna dalam puisi diperlukan cara lain yakni dengan cara hipogram
atau melihat makna hubungan antar sajak dalam teks sastra. Dikemukakan oleh Riffaterre
dalam Pradopo (2010: 300) bahwa sajak itu adalah response (jawaban, tanggapan) terhadap
sajak sebelumnya.Artinya sajak satu dengan sajak yang lain adalah jawaban dari sajak
6

sebelumnya yang membuat puisi itu mengalami sebuah ambiguitas, kontradiksi maupun
nonsense. Riffaterre mengatakan bahwa sajak itu adalah jawaban atau tanggapan terhadap
sajak sebelumnya. Tanpa menempatkan sajak pada urutan kesejarahan, maka makna
sebenarnya sajak itu tidak akan terungkap. Menurut Riffaterre dikutip dalam bukunya Teeuw
meyakini bahwa karya sastra tidak lahir dalam kekosongan budaya. Karya sastra ada sebagai
sarana komunikasi, yang maknanya dapat berupa penyimpangan atau tanggapan dari karya
sastra sebelumnya (2003, p. 67). Artinya karya sastra lahir dari sebuah fenomena-fenomena
sosial maupun konflik sosial dari gejala itulah karya sastra lahir. Sehingga karya di sebutkan
bahwa karya sastra lahir tidak dalam kekosongan budaya melainkan dari segala bentuk
permasalahan sosial yang dituangkan kedalam karya sastra, sehingga dalam karya sastra
memiliki makna yang tersirat yang harus dikupas secara mendalam.

Dengan adanya gejala maupun konflik yang ada, maka penyair melakukan peresapan dan
penghayatan terhadap peristiwa yang di transformasikan kedalam sajak. Transformasi ini
disebut sebagai hipogram oleh Rifatterre (Pradopo, 2005, p. 300). Dalam artian lain hipogram
merupakan sebuah sistem tanda yang berisi setidaknya sebuah pernyataan yang bisa saja
sebesar sebuah teks, bisa hanya berupa potensi sehingga terlihat dalam tataran kebahasaan,
atau bisa juga aktual sehingga terlihat dalam teks sebelumnya (Riffaterre, 1978, p. 23).
Sehingga dapat di artikan bahwa hipogram adalah teks tidak dapat terlepas dari teks
sebelumnya yang menjadi latar penciptaan teks baru.

Puisi Menyesal karya Ali Hasjmi

Menyesal
Pagiku hilang sudah melayang
Hari mudaku sudah pergi,
Sekarang petang datang membayang,
Batang usiaku sudah tinggi

Aku lalai di hari pagi


Beta lengah di masa muda,
Kini hidup meracun hati,
Miskin ilmu, miskin harta
7

Ah, apa gunanya kusesalkan


Menyesal tua tiada berguna
Hanya menambah luka sukma
Kepada yang muda kuharapkan
Atur barisan di hari pagi
Menuju ke arahpadang bakti!

Oleh : Ali Hasjmy


(Sumber : Hardianti, 2012)

Puisi Ali Hasjmy yang berjudul “menyesal” menjelaskan sebuah penyesalan di masa
muda dan merupakan nasehat untuk kaula muda. Untuk mengetahui makna secara mendalam,
teori semiotik Riffaterre akan digunakan untuk mengupas seluruh seluk-beluk dalam puisi
tersebut. Riffaterre menyebutkan bahwa arti dalam puisi secara semiotika ada empat macam
yaitu, ekspresi tidak langsung, heuristic dan hermeneutic, matriks dan hipogram (Pradopo,
2005, p. 281). Dalam buku Pradopo, Alterbernd menjelaskan metafora adalah kiasan yang
menyatakan sesuatu sebagai hal yang sama dengan sesuatu lain yang sebenarnya tidak ada
kaitan sama sekali. Metonimi adalah kiasan pengganti nama seperti Sungai Ciliwung yang
diganti namanya dengan Sungai Kesayangan dalam sajak Toto Sudarto Bachtiar (Setyarini,
2010, p 22).

Pada bait pertama dan kedua terlihat operasi metafora menggambarkan sebuah kiasan
waktu di masa muda. Penulis memberikan sebuah nasehat untuk menghargai masa muda,
jangan sampai masa muda berlalu tanpa apa-apa. Masa muda memang masa yang indah tapi
akan lebih berharga apabila digunakan untuk sesuatu yang bermanfaat untuk masa depan
kelak. Pesan tidak langsung digambarkan dengan majas metafora dalam puisi. Untuk
memperindah dan memperdalam makna dalam puisi, penulis tidak secara langsung
menyampaikan pesan yang ada dalam puisi. Dengan itu pembaca akan merasa diajak ke
dunia lain ketika membaca puisi sehingga kesan katarsis dalam pembacaan puisi terasa
berbeda dengan membaca teks-teks biasa lainnya. Inilah yang di sebut dengan ekresi tidak
langsung dalam puisi. Begitupun tampak pada bait selanjutnya yang berisi “sekarang petang
datang membayang”,metafora dalam bait tersebut terlihat jelas bagaimana kiasan masa tua
yang digambarkan “petang”, yang sebenarnya adalah masa tua. Penulisan bahasa sepeti itulah
yang membuat puisi memiliki magnet dan berdampak terhadap pembaca.
8

Penyimpangan arti dalam puisi di atas, terdapat pada bait pertama “pagiku hilang sudah
melayang. Ambiguitas yang ada pada bait pertama yang mana “pagiku hilang”. Sebuah
ambiguita yang tidak selaras di waktu pagi yang bisa hilang padahal hilang adalah sesuatu
yang bisa diutarakan pada suatu barang namun disini ketidaklangsungan ekpsresi berlanjut
kepada ambiguitas arti pada puisi.Yang mana pagi yang memiliki arti sebuah awal sinar
matahari yang muncul untuk memulai sebuah aktivitas namun dibait ini ambigu menuliskan
“pagiku hilang”, sesuatu yang kurang jelas bagamana pagi menjadi hilang, bukannya pagi
adalah seseuatu yang segar, yang sehat dan juga awal yang cerah untuk mengawali kegiatan.
Keambiguitasan kata terdapat pada kata selanjutnya yang mengatakan“ sudah melayang”,
bagaimana sebuah waktu hilang dan melayang, sunggah ambigu dan ironi jika kita lihat
secara kasap mata. Jika kita melihat pagi hari tentu itu sebuah kedatangan yang baru seperti
kedatangn sinar, masa depan dan juga kedatangan ide untuk sebuah aktivitas yang akan
dilakukan. Namun disini keambiguitasan terlihat juga ketika kata “sudah melayang” seolah-
olah pagi bisa terbang seperti burung ataupun awan.

Selanjutnya, penciptaan arti (creating meaning), penciptaan arti baru terjadi di sebabkan
oleh adanya bentuk visual yang meliputi, rima, enjambement, dan tipografi (Riffaterre,
1978:2). Oleh sebab itu penciptaan arti yang dipengaruhi oleh visualisasi dalam puisi
menyebabkan puisi semakin menarik dan misterius untuk diteliti. Rima yang terdapat pada
puisi yakni “ABAB” (rima bersilang) dan “ABBA” (rima berpeluk), itu bisa di lihat pada
puisi dibawah:

Pagiku hilang sudah melayang = A


Hari mudaku sudah pergi, = B
Sekarang petang datang membayang, = A
Batang usiaku sudah tinggi = B

Ah, apa gunanya kusesalkan = A


Menyesal tua tiada berguna = B
Hanya menambah luka sukma = B
Kepada yang muda kuharapkan = A
Dari sajak di atasterlihat dimana terdapat 2 jenis rima, yakni yang pertama rima silang
(letak rima berselang atau abab) dan yang kedua terjadi rima berpeluk (letak rima baris
pertama berima dengan yang keempat dan rima kedua dan ketiga bersama) dimana letak
akhiran yang sama ada ditengah-tengah, sehingga menimbulkan arti loncatan yang begitu
9

jauh antara rima a.dalam penciptaan arti terdapat 3 hal yakni, rima, enjambement dan
tipografi, namun dalam puisi menyesal karya Ali Hasjmi hanya terdapat rima silang dan
berpeluk.

Pembacaan heuristic yakni pembacaan yang dilakukan pada tahap awal atau disebut juga
pembacaan secara keseluruhan. Menurut Nurgiyantoro kerja heuristik menghasilkan
pemahaman makna secara harfiah, makna tersurat, actual meaning (2009: 33). Artinya
pembacaan heuristic merupakan pembacaan yang memahami secara garis-garis besar masih
pada tahap awal belum pada tahap inti. Dalam puisi menyesal jikan di baca secara heuristic
seperti:

Pagiku hilang sudah melayang


Hari mudaku sudah pergi,
Sekarang petang datang membayang,
Batang usiaku sudah tinggi

Dalam sajak puisi diatas memiliki struktur bahasa yang sangat rumit, karena kata pagi
yang hilang setelah itu pergi dan melayang. Kemudian, pada bait kedua menunjukkan hari
yang hari muda yang sedang pergi namun setelah petang datang membayang dan batang
usiaku sudah tinggi. Secara tersurat puisi tersebut memiliki bahasa yang kompleks dan benar.
Namun untuk secara hermeneutic atau pembacaan tahap kedua tentu akan mneghasilkan
pemaknaan yang berbeda dan perlu pemaknaan secara mendalam, kerena menurut Teeuw
dalam Nurgiyantoro (2009: 34) Cara kerja hermeneutik untuk penafsiran karya sastra,
dilakukan dengan pemahaman keseluruhan berdasarkan unsur-unsurnya, dan sebaliknya,
pemahaman unsur-unsur berdasarkan keseluruhannya. Dari sinilah kemudian, antara lain,
muncul istilah lingkaran hermeneutik (hermeneutic circle) (Nurgiyantoro, 2009: 34). Artinya
pemahaman yang sesungguhnya terjadi ditahap hermeneutic. Keseluruhan unsur-unsur yang
ada dalam puisi menjadi bahan kajian yang harus diperhatikan. Pembacaan hermeneutic
dalam puisi menyesal dalam puisi “menyesal” pada baris pertama “pagiku hilang sudah
melayang” memiliki makna masa muda yang diandaikan pada waktu masih pagi artinya
masih segar, baru bersinar dan memiliki waktu yang cukup panjang untuk dihabiskan dalam
bermain. Namun masa muda yang dilewatkan begitu saja akan menjadikan masa muda
menjadi hal yang lalai. Pada baris kedua menyebutkan “Hari mudaku sudah pergi”, sebuah
penyesalan dimasa muda yang tak akan kembali lagi pada masa tua. Bentuk nasehat yang
ingin disampaikan bahwa masa muda adalah waktu yang harus benar-benar dimanfaatkan
10

untuk merau ilmu sebanyak mungkin agar tidak menjadi manusia yang menyesal di masa tua.
Selamjutnya, di baris ketiga “Sekarang petang datang membayang”, masa tua adalah waktu
yang akan bisa lembali pada masa muda. Apabila kita melewatkan masa muda kita hanya
dengan sesuatu yang sia-sia kita akan menjadi manusia yang menyesal pada akhirnya. Waktu
tua masa dimana kita akan mendapatkan apa yang kita perjuangkan selama masih muda,
karena waktu terus berputar dan tak akan kembali. “Batang usiaku sudah tinggi”, di bait yang
ke empat ini mengandung makna dimana usia sudah tua dan senja menjadi sebuah hasil dari
proses di masa muda. Umur yang semakin berkurang menjadi sebuah penyesalan apabila kita
melalui waktu muda tidak dengan ilmu-ilmu yang bermanfaat. Karena banyak anak-anak di
zaman sekarang mereka sibuk dengan kehidupan dunia yang serba hura-hura. Tanpa berpikir
bagaimana menggali keilmuan mereka supaya kelak menjadi orang yang kaya akan ilmu dan
tidak menjadi orang yang menyesal di hari tua nanti, terlebih menjadi orang yang bermanfaat
untuk keluarga dan orang sekitar.

Untuk “membuka” sajak supaya dapat mudah dipahami, dalam konkretisasi puisi,
haruslah dicari matriks atau kata-(kata) kuncinya. Kata-kata kunci adalah kata yang menjadi
kunci penafsiran sajak yang dikonkretisasikan (Pradopo, 2010: 299).Matriks merupakan kata
kunci dalam sebuah puisi untuk menjadikan model kata-kata yang ditransformasikan kedalam
varia-varian. Dengan adanya matriks, puisi memiliki target utama dalam pembacaan puisi
atau inti dalam sebuah puisi. Sehingga, semua isi dalam puisi ada titik inti dari keseluruhan
kata-kata yang ada. Meskipun setiap kata dalam puisi memiliki arti mendalam, namun
matriks menentukan alur setiap cerita sehingga mampu menciptakan model-model kata dan
ditransformasikan kedalam varian. Matriks dalam puisi “menyesal” karya Ali Hasjmi:

Pagiku hilang sudah melayang


Hari mudaku sudah pergi,
Sekarang petang datang membayang,
Batang usiaku sudah tinggi
Dari sajak puisi tersebut terdapa 4 matriks yang beroperasi yaitu, pagiku, mudaku, petang dan
usiaku. Pagiku menjadi kata kunci dalam baris pertama karena kata pagiku menggambarkan
masa muda yang benar-benar harus dijaga dan dimanfaatkan jangan sampai menjadi waktu
yang sia-sia. Sehinngga dengan kata pagiku memunculkan model-model kata di sekitarnya
yang dilanjutkan “hilang sudah melayang”, kata tersebut muncul dikarenakan matriks
mampu memberikan magnet yang kuat untuk mendukung setia model-model dan sekaligus
membentuk varian-varian. Begitupun dengan matriks mudaku, petang dan usiaku. Petang
11

melukiskan usia yang sudah mulai tua dan hanya mejadi bayang-bayang penyesalan yang
tiada arti. Kata “petang” menjadi matriks karena petang memiliki gambaran bahwa ketika
usiayang sudah udzur dan hanya menjadi bayang-bayang penyesalan semua takkan berarti
apa-apa. Dari matriks petang mampu menimbulkan model-model dan varian-varian baru
dalam puisi dan menjadi kesatuan yang kompleks.

Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa dalam semiotika Riffaterre
yang menjelaskan teori dengan objek kajian puisi melakukan analisis puisi dengan empat hal
yakni, ekspresi tidak langsung, heuristic dan hermeneutic, matriks dan hipogram. Meskipun
terdapat empat langkah dalam teori Riffaterre, penulis tidak mengemukakan hipogram dalam
analisisnya karena berfokus pada tiga aspek yakni, ekspresi tidak langsung, heuristic dan
hermeneutic dan matriks. Semoga dengan adanya makalah ini dapat membantu pembaca dan
mahasiswa mampu mendapatkan manfaat dari teori semiotika Riffaterre dan juga pencerahan
baru.

Daftar Pustaka
Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Faruk. 2012. Metode Penelitian Sastra, Sebuah Penjelajahan Awal. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar

Hardianti, Andi Sri. 2012. Biografi Ali Hasjmy.


12

http://andisrihardianti.blogspot.co.id/2012/11/biografi-ali-hasjmy.html (Diakses : 24
Desember 2015)

Nurgiyantoro, Burhan. 2009. Penilaian Pengajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: BPFE.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2005. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2010. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.

Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington : Indiana University Press

Salam. 2009. “Pembelajaran Menulis Puisi Dengan Metode Michael Riffaterre”.


http://gerbangpendidikan.blogspot.co.id/2009/01/pembelajaran-menulis-puisi-
dengan.html (Diakses : 25 Desember 2015)

Setyarini, Anna. 2010. Bahasa Figuratif Pada Kumpulan Cerpen Wayang Mbeling: Prahara
Di Alengkadiraja (Wmpda) Karya Teguh Hadi Prayitno: Kajian Stilistika. Skripsi.
Surakarta : Universitas Muhammadiyah.
http://eprints.ums.ac.id/8507/1/A310060282.pdf (Diakses : 5 Januari 2016)

Teeuw, A. 1991. Sastra dan Ilmu Sastra : Pengantar Teori sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Anda mungkin juga menyukai