Anda di halaman 1dari 31

Hubungan Berbahasa, Berpikir

dan Berbudaya

Menurut Chaer (2009:51) Berbahasa adalah penyampaian pikiran atau


perasaaan dari orang yang berbicara mengenai masalah yang dihadapi dalam
kehidupan budayanya. Jadi, kita lihat berbahasa, berpikir, dan berbudaya adalah
tiga hal atau tiga kegiatan yang saling berkaitan dalam kehidupan manusia.
Berbahasa, dalam arti berkomunikasi, dimulai dengan membuat enkode semantik
dan enkode gramatikal didalam otak pembicara, dilanjutkan dengan membuat
enkode fonologi. Kemudian di lanjutkan dengan penyusunan dekode fonologi,
dekode gramatikal, dan dekode semantik pada pihak pendengar yang terjadi di
dalam otaknya. Berikut dalam pembahasan ini akan hanya akan dikemukakan
pendapat sejumlah pakar. Kemudian dicoba membuat konklusi atau komentar
terhadap teori-teori mengenai masalah tersebut yang telah ada sejak abad yang
silam.
1. Teori Wilhelm Von Humboldt
Wilman Helm Von Humboldt, sarjana jerman abad ke-19, menekankan
adanya ketergantungan pemikir manusia pada bahasa. Maksudnya, pandangan
hidup dan budaya masyarakat ditentukan oleh bahasa masyarakat itu sendiri.
Anggota-anggota masyarakat itu tidak dapat menyimpang lagi dari garis-garis
yang telah ditentukan oleh bahasanya itu. Kalau salah seorang dari anggota
masyarakat ini ingin mengubah pandangan hidupnya, maka dia harus
mempelajari dulu satu bahasa lain. Maka dengan demikian dia akan menganut
cara berpikir (dan juga budaya) masyarakat bahasa lain.
Mengetahui bahasa itu sendiri Von Humbolt berpendapat bahwa
substansi bahasa itu terdiri dari dua bagian. Bagian pertama berupa bunyi-
bunyi, dan bagian lainnya berupa pikiran-pikiran yang belum terbentuk. Bunyi-
bunyi dibentuk oleh lautform, dan pikiran-pikiran dibentuk oleh ideeform atau
innereform. Jadi, bahasa menurut Von Humboldt merupakan sintese dari
bunyi(lautform) dan pikiran (ideeform).
Dari keterangan itu bias disimpulkan bahwa bunyi bahasa merupakan
bentuk-luar, sedangkan pikiran adalah bentuk-dalam. Bentuk luar bahasa itulah
yang kita dengar, sedangkan bentuk dalam bahasa berada di dalam otak. Kedua

1
bentuk inilah yang “membelenggu” manusia, dan menentukan cara
berpikirnya. Dengan kata lain, Von Humboldt berpendapat bahwa struktur
suatu bahasa menyatakan kehidupan dalam( otak,pemikir) penutur bahasa itu.
2. Teori Sapir-Whorf
Sapir (dalam Chaer, 2009:52) memiliki pendapat yang hampir sama
dengan Von Humboldt. Sapir mengatakan bahwa manusia hidup di dunia ini di
bawah “belas kasih” bahasanya yang telah menjadi alat pengantar dalam
kehidupannya bermasyarakat. Menurut sapir, telah menjadi fakta bahwa
kehidupan suatu masyarakat sebagian “didirikan” diatas tabiat-tabiat dan sifat-
sifat bahasa itu. Karena itulah, tidak ada dua buah bahasa yang sama sehingga
dapat dianggap mewakili satu masyarakat yang sama.
Whorf (dalam Chaer, 2009:52), murid sapir, menolak pandangan klasik
mengenai hubungan bahasa dan berpikir yang mengatakan bahwa bahasa dan
berpikir merupakan dua hal yang berdiri sendiri-sendiri. Sama halnya dengan
Von Humboldt dan sapir, Whorf juga menyatakan bahwa bahasa menentukan
pikiran seseorang sampai kadang-kadang bisa membahayakan dirinya sendiri.
Sebagai contoh, whorf yang bekas anggota pemadam kebakaran menyatakan
“kaleng kosong” bekas minyak bisa meledak. Kata kosong digunakan dengan
pengertian tidak ada minyak di dalamnya.
Setelah meneliti bahasa Hopi, salah satu bahasa Indian di California
Amerika Serikat, dengan mendalam, whorf mengajukan satu hipotesis yang
lazim disebut hipotesis Whorf (atau juga hipotesis Sapir-Whorf) mengenai
relatifitas bahasa. Menurut hipotesis itu, bahasa-bahasa yang
berbeda’’membedah’’ alam ini dengan cara yang berbeda, sehingga terciptalah
satu relatifitas sistem-sistem konsep yang tergantung pada bahasa-bahasa yang
beragam itu.
Berdasarkan hipotesis Sapir-Whorf itu dapatlah dikatakan bahwa hidup
dan pandangan hidup bangsa-bangsa di Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia,
Filipina, dan lain-lain) adalah sama karena bahasa-bahasa mereka mempunyai
struktur yang sama. Sedangkan hidup dan pandangan hidup bangsa-bangsa lain
seperti Cina, Jepang, Amerika, Eropa , Afrika, dan lain-lain adalah berlainan
karena struktur bahasa mereka berlainan. Untuk memperjelas hal ini Whorf
membandingkan kebudayaan Hopi di organisasi berdasarkan peristiwa-

2
peristiwa (event), sedangkan kebudayaan eropa diorganisasi berdasarkan ruang
(space) dan waktu (time).
3. Teori Jean Piaget
Berbeda dengan pendapat Sapir dan Whorf, Piaget, sarjana perancis,
berpendapat justru pikiranlah yang membentuk bahasa. Tanpa pikiran bahasa
tidak akan ada. Pikiranlah yang menentukan aspek-aspek sintaksis dan leksikon
bahasa bukan sebaliknya. Mengenai hubungan bahasa dengan kegiatan-
kegiatan intelek (pikiran) Piaget mengemukakan dua hal penting berikut:
a. Sumber kegiatan intelek tidak terdapat dalam bahasa, tetapi dalam periode
sensomotorik, yakni satu sistem skema, dikembangkan secara penuh, dan
membuat lebih dahulu gambaran-gambaran dari aspek-aspek struktur
golongan-golongan dan hubungan-hubungan benda-benda (sebelum
mendahului gambaran-gambaran lain) dan bentuk-bentuk dasar
penyimpanan dan opersai pemakaian kembali.
b. Pembentukan pikiran yang tepat dikemukakan dan berbentuk terjadi pada
waktu yang bersamaan dengan pemerolehan bahasa. Keduanya miliki suatu
proses yang lebih umum, yaitu konstitusi fungsi lambing pada umumnya.
Fungsi lambing ini mempunyai beberapa aspek. Awal terjadi fungsi
lambing ini ditandai oleh bermacam-macam perilaku yang terjadi serentak
dalam perkembangannya. Ucapan-ucapan bahasa pertama yang keluar
sangat erat hubungannya dan terjadi serentak dengan permainan lambing,
peniruan,dan bayangan-bayangan mental.

Piaget juga menegaskan bahwa kegiatan intelek (pemikiran) sebenarnya


adalah aksi dan perilaku yang telah dinuranikan dan dalam kegiatan-kegiatan
sensomotor termasuk juga perilaku bahasa. Yang perlu diingat adalah bahwa
dalam jangka waktu sensormotor ini kekekalan benda merupakan pemerolehan
umum.
4. Teori L.S. Vygotsky
Vygotsky, sarjana bangsa Rusia, berpendapat adanya satu tahap
perkembangan bahasa sebelum adanya pikiran, dan adanya satu tahap
perkembangan pikiran sebelum adanya bahasa. Kemudian, kedua garis
perkembangan ini saling bertemu, maka terjadilah secara serentak pikiran

3
berbahasa dan bahasa berpikir. Dengan kata lain, pikiran dan bahasa pada
tahap permulaan berkembang secara terpisah, dan tidak saling mempengaruhi.
Jadi, mula-mula pikian berkembang tanpa bahasa, dan bahasa mula-mula
berkembang tanpa pikiran. Lalu pada tahap berikutnya, keduanya bertemu dan
bekerja sama, serta saling mempengaruhi. Begitulah anak-anak berpikir dengan
menggunakan bahasa dan berbahasa dengan menggunakan pikiran.
Selanjutnya Vygotsky (dalam Chaer, 2009:56) menjelaskan bahwa
hubungan antara pikiran dan bahasa bukanlah merupakan suatu benda,
melainkan merupakan satu proses, satu gerak yang terus-menerus dari pikiran
ke kata (bahasa) dan dari kata (bahasa) ke pikiran. Menurut Vygotsky dalam
mengkaji gerak pikiran ini kita harus mengkaji dua bagian ucapan dalam yang
mempunyai arti yang merupakan aspek semantik ucapan, dan ucapan luar yang
merupakan aspek fonetik atau aspek bunyi-ucapan. Penyatuan dua bagian atau
aspek ini sangat rumit dan kompleks.
5. Teori Noam Chomsky
Mengenai hubungan bahasa dan pikiran Noam Chomsky mengajukan
kembali teori klasik yang disebut Hipotesis nurani (Chomsky, 1957, 1965,
1968). Sebenarnya teori ini tidak secara langsung membicarakan hubungan
bahasa dengan pemikiran, tetapi kita dapat menarik kesimpulan mengenai hal
itu karena Chomsky sendiri menegaskan bahwa pengkajian bahasa
membukakan perspektif yang baik dalam pengkajian proses mental (pemikiran)
manusia.
Hipotesis nurani mengatakan bahwa struktur bahasa-dalam adalah
nurani. Artinya, rumus-rumus itu di bawa sejak lahir. Pada waktu seorang
anak-anak mulai mempelajari bahasa ibu, dia telah dilengkapi sejak lahir
dengan satu peralatan konsep dengan struktur bahasa-dalam yang bersifat
unifersal. Peralatan konsep ini tidak ada hubungannya dengan belajar atau
pembelajaran, misalnya dengan aksi atau perilaku seperti yang dikatakan
Piaget, dan tidak ada hubungannya dengan apa yang disebut kecerdasan.
6. Teori Eric Lenneberg
Berkenaan dengan masalah hubungan bahasa dan berfikir, Eric
mengajukan teori mengajukan teori yang disebut Teori Kemampuan Bahasa
Khusus (Lenneberg, 1964). Menurut Lenneberg banyak bukti yang

4
menunjukkan bahwa manusia menerima warisan biologi asli berupa
kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang khusus untuk
manusia, dan yang tidak ada hubungannya dengan kecerdasan dan pemikiran.
Bukti bahwa manusia telah dipersiapkan secara biologis untuk berbahasa
menurut Leeneberg adalah sebagai berikut:
a) Kemampuan berbahasa sangat erat hubungannya dengan bagian-bagian
anatomi dan fonologi manusia, seperti bagian-bagian, otak tertentu yang
mendasari bahasa.
b) Jadwal perkembangan bahasa yang sama berlaku bagi semua anak-anak
normal. Semua anak-anak bias dikatakan mengikuti strategi dan waktu
pemerolehan bahasa yang sama, yaitu lebih dulu menguasai prinsip-prinsip
pembagian dan pola persepsi.
c) Perkembangan bahasa tidak dapat dihambat meskipun poda anak-anak yang
mempunyai cacat tertentu seperti buta, tuli, atau memiliki orang tua pekak
sejak lahir. Namun, bahasa anak-anak ini tetap berkembang dengan hanya
sedikit kelambatan.
d) Bahasa tidak dapat diajarkan pada makhluk lain. Hingga saat ini belum
pernah ada makhluk lain yang mampu menguasai bahasa, sekalipun telah di
ajar dengan cara-cara yang luar biasa.
e) Setiap bahasa, tanpa kecuali, didasarkan pada prinsip-prinsip semantic,
sintaksis, dan fonologi yang universal.

Jadi, terdapat semacam pencabangan dalam teori Leenneberg ini. Dia


seolah-olah bermaksud membedakan perkembangan bahasa dari segi
ontogenetis (pemerolehan bahasa oleh individu) dan dari segi filogenetis
(kelahiran bahasa suatu masyarakat). Dalam hal ini pemerolehan bahasa secara
ontogenetis tidak ada hubungannya dengan kognisi; sedangkan secara
filogenetis kelahiran bahasa suatu masyarakat sebagiannya ditentukan oleh
kemampuan bahasa nurani, dan sebagian lagi oleh kemampuan kognitif nurani,
bukan bahasa yang lebih luas.
Lenneberg dalam Teori Kemampuan Bahasa Khusus telah
menyimpulkan banyak bukti yang menyatakan bahwa upaya manusia untuk
berbahasa didasari oleh biologi yang khusus untuk manusia dan bersumber

5
pada genetik tersendiri secara asal. Namun, dalam bukunya yang ditulis
kemudian (1967), beliau mulai cenderung beranggapan bahwa bahasa
dihasilkan oleh upaya kognitif, bukan linguistik yang lebih luas, sehingga
menyerupai pandangan Piaget.
7. Teori Bruner
Bruner memperkenalkan teori yang disebutnya Teori Instrumentalisme.
Menurut teori ini bahasa adalah alat pada manusia untuk mengembangkan dan
menyempurnakan pemikir itu. Dengan kata lain, bahasa dapat membantu
pemikiran manusia supaya dapat berpikir lebih sistematis. Bruner berpendapat
bahwa bahasa dan pemikiran berkembang dari sumber yang sama. Oleh karena
itu, keduanya mempunyai bentuk yang sangat sempurna. Lalu, karena sumber
yang sama dan bentuk yang sangat serupa, maka keduanya dapat saling
membantu.
Di samping adanya dua kecakapan yang melibatkan bahasa, yaitu
kecakapan linguistik dan kecakapan komunikasi, teori Bruner ini juga
memperkenalkan adanya kecakapan analisis yang dimiliki oleh setiap manusia
yang berbahasa. Kecakapan analisis ini akan dapat berkembang menjadi lebih
baik dengan pendidikan melalui bahasa yang formal karena kemampuan
analisis ini hanya mungkin dikembangkan setelah seseorang mempunyai
kecakapan komunikasi yang baik.
8. Kekontroversian Hipotesis Sapir-Whorf
Teori-teori atau hipotesis-hipotesis yang dibicarakan di atas tampak
cenderung saling bertentangan. Teori pertama dari Von Humboldt mengatakan
bahwa adanya pandangan hidup yang bermacam-macam adalah karena adanya
keragaman sistem bahasa dan adanya system bahasa dan adanya system
unifersal yang dimiliki oleh bahasa-bahasa yang ada di dunia ini. Teori kedua
dari Sapir-Whorf menyatakan bahwa struktur bahasa nenentukan struktur
pikiran. Teori ketiga dari Piaget Menyatakan bahwa struktur pikiran di bentuk
oleh perilaku, dan bukan oleh struktur bahasa. Struktur pikiran mendahului
kemampuan-kemampuan yang dipakai kemudian untuk berbahasa. Teori
keempat dari Vygotsky menyatakan bahwa pada mulanya bahasa dan pikiran
berkembang sendiri-sendiri dan tidak saling mempengaruhi; tetapi pada
pertumbuhan selanjutnya keduanya saling mempengaruhi; bahasa

6
mempengaruhi pikiran dan pikiran mempengaruhi bahasa. Teori kelima dari
Chomsky menyatakan bahwa bahasa dan pemikiran adalah dua buah system
yang bersaingan yang memiliki keotonomiannya masing-masing. Pada tingkat
struktur-dalam bahasa-bahasa di dunia ini sama karena di dasari oleh system
unifersal; tetpi pada tingkat struktur-luar bahasa-bahasa itu berbeda-beda. Teori
ke enam dari Lennerberg mengatakan bahwa manusia telah menerima warisan
biologi ketika dilahirkan, berupa kemampuan berkomunikasi dengan bahasa
yang khusus untuk manusia; dan tidak ada hubungannya dengan kecerdasan
atau pemikiran. Kemampuan berbahasa ini mempunyai korelasi yang rendah
dengan IQ manusia. Teori ketujuh dari Bruner menyatakan bahwa bahasa
adalah alat bagi manusia untuk berpikir, untuk menyempurnakan dan
mengembangkan pemikirannya itu. Beberapa uraian para ahli mengenai
keterkaitan antara bahasa dan pikiran antara lain:
a) Bahasa mempengaruhi pikiran
Pemahaman terhadap kata mempengaruhi pandangannya terhadap
realitas. Pikiran dapat manusia terkondisikan oleh kata yang manusia
digunakan. Tokoh yang mendukung hubungan ini adalah Benyamin Whorf dan
gurunya, Edward Saphir. Whorf mengambil contoh Bangsa Jepang. Orang
Jepang mempunyai pikiran yang sangat tinggi karena orang Jepang mempunyai
banyak kosa kata dalam mejelaskan sebuah realitas. Hal ini membuktikan
bahwa mereka mempunyai pemahaman yang mendetail tentang realitas.
b) Pikiran mempengaruhi bahasa
Pendukung pendapat ini adalah tokoh psikologi kognitif yang tak asing
bagi manusia, yaitu Jean Piaget. Melalui observasi yang dilakukan oleh Piaget
terhadap perkembangan aspek kognitif anak. Ia melihat bahwa perkembangan
aspek kognitif anak akan mempengaruhi bahasa yang digunakannya. Semakin
tinggi aspek tersebut semakin tinggi bahasa yang digunakannya.
c) Bahasa dan pikiran saling mempengaruhi
Hubungan timbal balik antara kata-kata dan pikiran dikemukakan oleh
Benyamin Vigotsky, seorang ahli semantik berkebangsaan Rusia yang teorinya
dikenal sebagai pembaharu teori Piaget mengatakan bahwa bahasa dan pikiran
saling mempengaruhi. Penggabungan Vigotsky terhadap kedua pendapat di
atas banyak diterima oleh kalangan ahli psikologi kognitif.

7
Latihan:

1. Apa pendapat Wilhelm Von Humboldt mengenai berbahasa dan berpikir?


2. Jelaskan defenisi berbahasa menurut pendapat ahli?
3. Jelaskan teori berbahasa dan berpikir menurut Bruner?
4. Jelaskan teori berbahasa dan berpikir menurut Noam Chomsky?
5. Dari beberapa uraian para ahli diatas dapat disimpukan keterkaitan antara
berbahasa dan berpikir yaitu?

8
Kunci Jawaban:

1. Bahasa merupakan bentuk luar, sedangkan pikiran adalah bentuk-dalam.


Bentuk luar bahasa itulah yang kita dengar, sedangkan bentuk dalam
bahasa berada di dalam otak.
2. Menurut Chaer (2009:51) Berbahasa adalah penyampaian pikiran atau
perasaaan dari orang yang berbicara mengenai masalah yang dihadapi
dalam kehidupan budayanya.
3. Bruner memperkenalkan teori yang disebutnya Teori Instrumentalisme.
Menurut teori ini bahasa adalah alat pada manusia untuk mengembangkan
dan menyempurnakan pemikir itu. Dengan kata lain, bahasa dapat
membantu pemikiran manusia supaya dapat berpikir lebih sistematis.
Bruner berpendapat bahwa bahasa dan pemikiran berkembang dari sumber
yang sama. Oleh karena itu, keduanya mempunyai bentuk yang sangat
sempurna. Lalu, karena sumber yang sama dan bentuk yang sangat serupa,
maka keduanya dapat saling membantu.
4. Mengenai hubungan bahasa dan pikiran Noam Chomsky mengajukan
kembali teori klasik yang disebut Hipotesis nurani. Hipotesis nurani
mengatakan bahwa struktur bahasa-dalam adalah nurani. Artinya, rumus-
rumus itu di bawa sejak lahir. Pada waktu seorang anak-anak mulai
mempelajari bahasa ibu, dia telah dilengkapi sejak lahir dengan satu
peralatan konsep dengan struktur bahasa-dalam yang bersifat unifersal.
Peralatan konsep ini tidak ada hubungannya dengan belajar atau
pembelajaran, misalnya dengan aksi atau perilaku seperti yang dikatakan
Piaget, dan tidak ada hubungannya dengan apa yang disebut kecerdasan.
5. Dari beberapa pendapat ahli diatas dapat disimpukan sebagai berikut:
a) Bahasa mempengaruhi pikiran
Pemahaman terhadap kata mempengaruhi pandangannya
terhadap realitas. Pikiran dapat manusia terkondisikan oleh kata yang
manusia digunakan. Tokoh yang mendukung hubungan ini adalah
Benyamin Whorf dan gurunya, Edward Saphir. Whorf mengambil
contoh Bangsa Jepang. Orang Jepang mempunyai pikiran yang sangat
tinggi karena orang Jepang mempunyai banyak kosa kata dalam

9
mejelaskan sebuah realitas. Hal ini membuktikan bahwa mereka
mempunyai pemahaman yang mendetail tentang realitas.
b) Pikiran mempengaruhi bahasa
Pendukung pendapat ini adalah tokoh psikologi kognitif yang
tak asing bagi manusia, yaitu Jean Piaget. Melalui observasi yang
dilakukan oleh Piaget terhadap perkembangan aspek kognitif anak. Ia
melihat bahwa perkembangan aspek kognitif anak akan mempengaruhi
bahasa yang digunakannya. Semakin tinggi aspek tersebut semakin
tinggi bahasa yang digunakannya.
c) Bahasa dan pikiran saling mempengaruhi
Hubungan timbal balik antara kata-kata dan pikiran
dikemukakan oleh Benyamin Vigotsky, seorang ahli semantik
berkebangsaan Rusia yang teorinya dikenal sebagai pembaharu teori
Piaget mengatakan bahwa bahasa dan pikiran saling mempengaruhi.
Penggabungan Vigotsky terhadap kedua pendapat di atas banyak
diterima oleh kalangan ahli psikologi kognitif.

10
Bahasa dan Otak

A. Otak Manusia
Menelaah bahasa tidaklah mungkin tanpa menelaah manusia
pemakainya. Otak seperti kita ketahui merupakan organ yang menyimpan
berjuta rahasia mengenai cara kerjanya dalam mengatur organ-organ lain yang
ada dalam tubuh kita. Tak terkecuali peranannya dalam membuat kita
berbahasa dan mampu berkomunikasi dengan baik. Perlu diketahui pula bahwa
berbahasa juga merupakan salah satu pembeda antara hewan dan manusia. Jika
ditinjau dari segi struktur otaknya pun berbeda. Mungkin ada yang
beranggapan bahwa hewan juga bisa berbahasa. Namun pada kenyataannya, itu
merupakan persepsi yang salah. Sebagai salah satu contoh, pada mahluk seperti
simpanse dan gorilla tidak terdapat daerah-daerah yang dipakai untuk
memproses mental, termasuk proses kebahasaan, hewan seperti simpanse lebih
banyak memakai otaknya untuk kebutuhan fisik dan pemenuhan naluri atau
instingnya. Dapat disimpulkan, jelas sangat berbeda dengan kita yang memang
berbahasa untuk berkomunikasi dalam segala hal untuk berbagai tujuan dalam
kehidupan.
Kemampuan otak yang luar biasa itu antara lain ditunjang oleh adanya
proses-proses generik selama beribu-ribu tahun telah mengakibatkan
perkembangan otak manusia yang dilengkapi dengan segala komponen,
diperlukan bagi perkembangannya secara penuh sejak lahir, misalnya
dianugaerahinya kecerdasan-kecerdasan dasar dan atribut-atribut fisik khusus
bagi manusia untuk bisa bertahan hidup.

Sebagai umat Muslim tentu kita sudah mampu memahami bahwa kita
merupakan mahluk yang paling sempurna dibandingkan dengan mahluk
lainnya. Karena kita diberi kemampuan untuk berpikir sebagai kontekstualisasi
dari wahyu Allah yang menyatakan bahwa kita diberikan akal, tidak seperti
mahluk lainnya.

B. Struktur Otak
Kejelasan lokasi bahasa bermanfaat bagi pemetaan otak. Dengan adanya
pemetaan yang tepat, memungkinkan kita untuk mencegah jangan sampai

11
terjadi gangguan atau cedera pada daerah atau bagian yang menjalankan peran-
peran vital, misalnya peran bahasa. Namun, kalau itu terjadi dan menimbulkan
kemampuan berbahasa, kita dapat melakukan penanganan medis pada lokasi
tersebut secara dini dan tepat. Berdasarkan sisi atau belahannya, otak manusia
terbagi menjadi dua sisi atau hemisfer, yaitu hemisfer kanan dan kiri dan
dihubungkan oleh sebuah “jembatan” yang disebut corpus callosum.
Selanjutnya hemisfer itu masing-masing terbagi menjadi empat lobus atau
daerah, yaitu lobus depan (frontal), lobus parietal, lobus occiptal, dan lobus
temporal yang menurut beberapa ahli masing-masing melakukan peran yang
berbeda-beda.

Permukaan otak yang disebut sebagai korteks serebri tampak berkelok-


kelok membentuk lekukan (disebut sulkus) dan benjolan (disebut girus).
Dengan adanya sulkus dan girus ini permukaan otak yang disebut korteks
serebri itu menjadi lebih luas. Korteks serebri ini mempunyai peranan penting
baik pada fungsi elementer, seperti gerakan, perasaan, dan panca indera,
maupun pada fungsi yang lebih tinggi dan kompleks yaitu fungsi mental, atau
fungsi luhur atau fungsi kortikal (dari kata korteks). Fungsi kortikal ini antara
lain terdiri dari pikiran manusia, ingatan atau memori, emosi, persepsi,
organisasi gerak dan aksi, dan juga fungsi bicara (bahasa).

Ada yang meyakini bahwa ada representasi biologis bawaan (innate) dari
struktur bahasa yang abstrak secara alamiah terbentuk (built in) dalam sistem
saraf manusia. Satu asumsi melandasi beberapa teori psikolinguistik
menegaskan bahwa otak, atau paling tidak bagian otak yang menangani bahasa,
merupakan sebuah sistem simbolis. Kalangan psikolinguis batiniah (innatist
psycolinguists) meyakini bahwa semua bahasa manusia mengikuti aturan.
Dengan kata lain, kaidah-kaidah atau aturan bahasa tersebut merupakan piranti
bawaan (built in). Sehubungan dengan itu, Lenneberg (1967) mengatakan
bahwa terbentuknya struktur bawaan (innate predisposition) juga didorong
oleh adanya peristiwa evolusi yang dialami manusia.

C. Fungsi Kebahasaan Otak


Sudah dikemukakan bahwa kedua hemisfer otak mempunyai peranan
yang berbeda bagi fungsi kortikal. Fungsi bicara-bahasa dipusatkan pada
12
hemisfer kiri bagi orang yang tidak kidal (cekat tangan kanan, right handed).
Hemisfer kiri ini disebut juga hemisfer dominan bagi bahasa, dan korteksnya
dinamakan korteks bahasa. Hemisfer dominan atau superior secara morfologis
memang agak berbeda dari hemisfer yang tidak dominan atau inferior.
Hemisfer dominan lebih berat, lebih besar girusnya dan lebih panjang.
Hemisfer kiri yang terutama mempunyai arti penting bagi bicara-bahasa, juga
berperan untuk fungsi memori yang bersifat verbal (verbal memory).
Sebaliknya, hemisfer kanan penting untuk fungsi emosi, lagu isyarat (gesture),
baik yang emosional maupun verbal. Hemisfer kiri memang dominan untuk
fungsi bicara bahasa, tetapi tanpa aktifitas hemisfer kanan, maka pembicaraan
seseorang akan menjadi monoton, tak ada prosodi, tak ada lagu kalimat; tanpa
menampakkan adanya emosi; dan tanpa disertai isyarat-isyarat bahasa.

Pada tahun 1861, seorang ahli bedah Perancis, Paul Broca menemukan
seorang pasien yang tidak dapat berbicara, hanya dapat mengucapkan “tan-
tan”. Kemudian setelah pasien itu meninggal dan dibedah ditemukan kerusakan
otak di daerah frontal, yang kemudian dareah itu disebut daerah Broca; sesuai
dengan namanya sebagai penemu. Jadi kerusakan pada daerah broca itu
menyebabkan seseorang mendapatkan kesulitan menghasilkan ujaran.
Penemuan ini menjadi dasar teori bahwa kemampuan bahasa terletak di
belahan atau hemisfer kiri otak; dan daerah Broca berperan penting dalam
proses atau perwujudan bahasa.

Pada tahun 1873 seorang dokter dari Jerman, Carl Wernicke menemukan
kasus pasien yang mempunyai kelainan wicara yakni tidak mengerti maksud
pembicaraan orang lain, tetapi masih dapat bicara sekedarnya. Penyebabnya,
menurut Wernicke, setelah dibedah, terdapat kerusakan otak pada bagian
belakang (temporalis), yang kemudian disebut daerah Wernicke, sesuai dengan
namanya sebagai penemu. Berdasarkan penemuan itu diakui bahwa daerah
Wernicke berperan penting dalam pemahaman ujaran. Penemuan ini
memperkuat teori bahwa letak kemampuan bahasa di belahan kiri otak.

Satu daerah lagi yang terlibat dalam proses ujaran adalah daerah korteks
ujaran superior atau daerah motor suplementer. Bukti bahwa daerah itu
dilibatkan dalam artikulasi ujaran fisik berasal dari ahli bedah saraf, Penfield
13
dan Robert, yang melakukan penelitian dengan teknik ESB (Electrical
Simulation of Brain).

Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa ujaran didengar


dan dipahami melalui daerah Wernicke pada hemisfer kiri; lalu isyarat ujaran
itu dipindahkan melalui ke daerah Broca untuk menghasilkan balasan ujaran
itu. Kemudian sebuah isyarat tanggapan ujaran itu dikirimkan ke dalam motor
suplementer untuk menghasilkan ujaran secara fisik.

Berikut merupakan gambaran letak daerah Wernicke dan Brocca.

Berbicara mengenai fungsi bahasa hemisfer tidak bisa dipisahkan dengan


pembicaraan mengenai eksistensi masa kritis dalam perkembangan
pemerolehan bahasa anak. Dalam kaitannya dengan bahasa, diketahui bahwa
rentang kesempatan yang efektif dalam pemerolehan bahasa (terutama aksen
asli) berkisar pada usia 12-13 tahun (Rose and Nicholls, 2002:79). Dalam
pembelajaran bahasa, rentang usia ini dikenal dengan masa kritis (critical
period), yaitu periode saat pemerolehan bahasa dapat dilakukan dengan lebih
mudah dibandingkan pada waktu lain (Richards, et al., 1992; Nagai, 2007), dan
informasi masa kritis ini harus dipertimbangkan.

14
D. Gangguan dalam berbahasa
Berbahasa berarti berkomunikasi dengan menggunakan suatu bahasa.
Untuk dapat berbahasa diperlukan kemampuan mengeluarkan kata-kata. Ini
berarti, daerah Broca dan Wernicke harus berfungsi dengan baik. Kerusakan
pada daerah tersebut dan sekitarnya menyebabkan terjadinya gangguan bahasa
yang disebut afesia, dalam hal ini Broca sendiri menamai afenia.
Kajian tentang afasia atau afasialogi dalam perkembangannya
menghasilkan berbagai taksonomi yang sangat membingungkan seperti yang
dibuat oleh Benson (1975), Rapin (neurolog kanak-kanak), dan Allen
(psikolinguis) (Rapin dan Allen, 1988); tetapi taksonomi yang telah
disederhanakan oleh Benson, afasia ini dibedakan atas afasia ekspresi atau
afasia motorik, yang dulu dikenal sebagai afasia tipe Broca, dan afasia reseptif
atau afasia sensorik yang dulu dikenal sebagai afasia Wernicke. Berikut
dibicarakan jenis-jenis afasia itu.

1. Afasia Motorik
Kerusakan pada belahan otak yang dominan yang menyebabkan
terjadinya afasia motorik bisa terletak pada lapisan permukaan (lesikortikal)
daerah Broca. Atau pada lapisan di bawah permukaan (lesi subkortikal)
daerah Broca atau juga di daerah otak antara daerah Broca dan daerah
Wernicke (lesi transkortikal). Oleh karena itu, didapati adanya tiga macam
afasia motorik ini.

a. Afasia Motorik Kortikal


Yaitu hilangnya kemampuan untuk mengutarakan isi pikiran dengan
perkataan. Penderita afasia motorik kortikal ini masih bisa mengerti
bahasa lisan dan bahasa tulisan. Namun, ekspresi verbal tidak bisa sama
sekali; sedangkan ekspresi visual (bahasa tulis dan bahasa isyarat)
masih bisa dilakukan.

b. Afasia Motorik Subkortikal


Penderita afasia motorik subortikal tidak dapat mengeluarkan isi
pikirannya dengan menggunakan perkataan; tetapi masih bisa
mengeluarkan perkataan dengan cara membeo. Selain itu, pengertian
15
bahasa verbal dan visual tidak terganggu, dan ekpresi visual pun
berjalan normal.

c. Afasia Motorik Transkortikal


Terjadi karena terganggunya hubungan antara daerah Broca dan
Wernicke. Ini berarti hubungan langsung antara pengertian dan ekspresi
bahasa terganggu. Jadi, penderita afasia motorik transkortikal dapat
mengutarakan perkataan yang singkat dan tepat; tetapi masih mungkin
menggunakan perkataan substitusinya. Misalnya untuk mengatakan
“pensil” dia tidak mampu mengeluarkan perkataan itu. Namun mampu
untuk mengeluarkan perkataan “itu tu, tu, tu, untuk menulis”. Afasia
jenis ini disebut juga dengan afasia nominatif.
Semua penderita afasia motorik jenis apapun bersikap “tidak
berdaya”. Karena keinginan untuk mengutarakan isi pikirannya besar sekali,
tetapi kemampuan untuk melakukannya tidak ada sama sekali. Mereka pun
seringkali jengkel karena apa yang diekspresikan tidak dipahami sama
sekali oleh orang sekelilingnya; padahal untuk menghasilkan curah verbal
yang tidak dipahami itu mereka sudah berusaha keras.

2. Afasia Sensorik
Penyebab terjadinya afasia sensorik adalah akibat adanya kerusakan
pada lestorikal di daerah Wernicke pada hemisferium yang dominan.
Daerah itu terletak di kawasan asosiatif antara daerah visual, daerah
sensorik, daerah motorik, dan daerah pendengaran. Kerusakan di daerah
Wernicke ini menyebabkan bukan saja pengertian dari apa yang di dengar
(pendengaran auditorik) terganggu, tetapi juga pengertian dari apa yang
dilihat (pengertian visual) ikut terganggu. Jadi penderita afasia sensorik ini
kehilangan pengertian bahasa lisan dan bahasa tulis. Namun, dia masih
memiliki curah verbal meskipun hal itu tidak dipahami oleh dirinya sendiri
maupun orang lain.
Curah verbalnya itu merupakan bahasa baru (neologisme) yang tidak
dipahami oleh siapapun. Curah verbalnya itu terdiri dari kata-kata, ada yang
mirip, ada yang tepat dengan perkataan suatu bahasa; tetapi kebanyakan
tidak sama atau sesuai dengan perkataan bahasa apapun.
16
Neologismenya itu diucapkan dengan irama, nada, dan melodi yang
sesuai dengan bahasa asing yang ada. Sikap mereka pun wajar-wajar saja,
seakan-akan dia berdialog dalam bahasa yang saling dimengerti.

17
Latihan:

1. Seperti yang kita ketahui berbahasa merupakan salah satu pembeda antara
hewan dan manusia. Jika ditinjau dari segi struktur otaknya pun berbeda.
Jeaskan perbedaan tersebut?
2. Bagian hemisfir kiri merupakan bagian yang paling besar tugas-tugas
kebahasaannya. Jelaskan bagian hemisfir kiri tersebut?
3. Afasia Motorik Transkortikal, jelaskan bagian apa yang terganggu jika
mengalami gangguan ini?
4. Jika hemisfir kiri lebih dominan dalam produksi bahasa maka hemisfir
kanan memiliki tugas?
5. Siapa ahli yang menemukan daerah broca dan wernicke?

18
Kunci Jawaban:

1. Mungkin ada yang beranggapan bahwa hewan juga bisa berbahasa.


Namun pada kenyataannya, itu merupakan persepsi yang salah. Sebagai
salah satu contoh, pada mahluk seperti simpanse dan gorilla tidak terdapat
daerah-daerah yang dipakai untuk memproses mental, termasuk proses
kebahasaan, hewan seperti simpanse lebih banyak memakai otaknya untuk
kebutuhan fisik dan pemenuhan naluri atau instingnya. Dapat disimpulkan,
jelas sangat berbeda dengan kita yang memang berbahasa untuk
berkomunikasi dalam segala hal untuk berbagai tujuan dalam kehidupan.
2. Bagian hemisfir kiri terdiri dari daerah broca, daerah wernicke, central
cephalic/motor korteks/deretan orlandic, penggerak alat ucap, pusat
pendengaran, pusat penglihatan, dan pusat perabaan.
Daerah broca bertugas dalam mengkoordinasikan masalah pengungkapan
atau ekspresi bahasa. Semua hal yang akan diekspresikan dalam bentuk
bahasa terlebih dahulu harus melalui daerah broca. Sebaliknya, daerah
wernicke bertugas dalam mengkoordinasikan hal-hal yang masuk melalui
bahasa atau dengan kata lain pemahaman bahasa dikoordinasikan oleh
daerah wernicke. Sistem pusat otak merupakan bagian otak yang
mempunyai fungsi sentral atau pusat, yaitu mengontrol dan
mengkoordinasikan daerah broca, wernicke, korteks superior dan
penggerak alat ucap. Penggerak alat ucap berfungsi dalam
mengkoordinasikan alat ucap mulai dari pita suara, rongga mulut, hidung
serta semua alat ucap manusia yang berada di rongga mulut.
3. Terjadi karena terganggunya hubungan antara daerah Broca dan Wernicke.
Ini berarti hubungan langsung antara pengertian dan ekspresi bahasa
terganggu.
4. Hemisfer kanan penting untuk fungsi emosi, lagu isyarat (gesture), baik
yang emosional maupun verbal.
5. Paul Broca dan Carl Wernicke.

19
Gangguan Berbahasa dan Gangguan Berbicara

Gangguan Berbicara
Berbicara merupakan aktivitas motorik yang mengandung modalitas
psikis. Oleh karena itu, gangguan berbicara ini dapat dikelompokkan ke dalam
dua kategori. Pertama, gangguan mekanisme berbicara yang berimplikasi pada
gangguan organik. Kedua, gangguan berbicara psikogenik.
A. Gangguan mekanisme berbicara
Mekanisme berbicara adalah suatu proses produksi ucapan atau
perkataan oleh kegiatan terpadu dari pita suara, lidah, otot-otot yang
membentuk rongga mulut serta kerongkongan, dan paru-paru. Maka
gangguan berbicara berdasarkan mekanisme ini dapat dirinci menjadi
gangguan berbicara akibat kelainan pada paru-paru (pulmonal), pada pita
suara (laringal), pada lidah (lingual), dan pada rongga mulut dan
kerongkongan (resonantal).
1. Gangguan akibat faktor pulmonal
Gangguan berbicara ini dialami oleh para penderita penyakit
paru-paru. Para penderita penyakit paru-paru ini kekuatan bernafasnya
sangat kurang, sehingga cara berbicaranya diwarnai oleh nada yang
monoton, volume suara yang kecil sekali, dan terputus-putus,
meskipun dari segi semantik dan sintaksis tidak ada masalah.
2. Gangguan akibat faktor laringal
Gangguan pada pita suara menyebabkan suara yang dihasilkan
menjadi serak atau hilang sama sekali. Gangguan berbicara akibat
faktor laringal ini ditandai dengan suara yang serak atau hilang tanpa
kelainan semantik, dan sintaksis. Artinya dapat dilihat dari segi
semantik dan sintaksis ucapanya dapat diterima.
3. Gangguan akibat faktor lingual
Lidah yang sariawan atau terluka akan terasa pedih kalau
digerakkan, maka untuk mencegah rasa pedih ini dalam berbicara
gerak lidah dikurangi sesuai dengan kehendak penutur. Dalam
keadaan seperti ini maka pengucapan sejumlah fonem menjadi tidak

20
sempurna. Misalnya, kalimat “sudah barang tentu ia akan menyangkal”
mungkin akan diucapkan menjadi “ Hu ah ba-ang ke-ku ia a-an me-
angkay”.
4. Gangguan akibat faktor Resonansi
Gangguan akibat faktor Resonansi ini menyebabkan suara yang
dihasilkan menjadi bersengau. Misalnya pada orang sumbing menjadi
bersengau atau bindeng.

B. Gangguan akibat Multifaktoral


Akibat gangguan multifaktoral atau berbagai faktor bisa
menyebabkan terjadinya berbagai gangguan berbicara, antara lain sebagai
berikut:
1. Berbicara serampangan
Berbicara serampangan atau sembrono adalah berbicara dengan
cepat sekali, dengan artikulasi yang rusak, ditambah dengan menelan
sejumlah suku kata, sehingga apa yang diucapkan sukar dipahami.
Misalnya kalimat “Kemarin pagi saya sudah beberapa kali ke sini”
diucapkan dengan cepat menjadi “Kemary sdada berali ksni”.
2. Berbicara propulsive
Gangguan berbicara propulsif biasanya terdapat pada para
penderita penyakit Parkinson atau kerusakan pada otak yang
menyebabkan otot menjadi gemetar, kaku dan lemah. Hal ini akan
mempengaruhi proses artikulasi karena elastisitas otot lidah, otot
wajah, dan pita suara sebagian besar lenyap.
3. Berbicara Mutis
Penderita gangguan Mutis ini tidak dapat berbicara sama
sekali, bahkan sebagian dari mereka dianggap bisu. Mutisme ini
bukan hanya tidak dapat berbicara atau berkomunikasi secara verbal
tetapi juga tidak dapat berkomunikasi secara visual maupun isyarat,
seperti dengan gerak-gerik dan sebagainya.

C. Gangguan Psikogenik

21
Gangguan berbicara Psikogenik ini sebenarnya tidak bisa disebut
sebagai suatu gangguan berbicara karena mungkin lebih tepat jika disebut
dengan variasi cara berbicara yang normal tetapi yang merupakan
ungkapan dari gangguan dibidang mental.
Modalitas mental yang terungkap oleh cara berbicara sebagian
ditentukan oleh nada, intonasi, dan intensitas suara, lafal dan piihan kata.
Ujaran berirama lancar atau tersendat-sendat dapat juga mencerminkan
sikap mental si pembicara. Gangguan berbicara psikogenik ini antara lain
sebagai berikut:
1. Berbicara manja
Disebut berbicara manja karena ada kesan anak melakukannya
karena ingin dimanja dapat kepada orang tuanya atau pun kepada
sanak famili yang dekat dengan si anak. Misalnya, anak-anak yang
baru terjatuh, terluka atau mendapat kecelakaan, terdengar adanya
perubahan pada cara berbicaranya. Fonem atau bunyi [s] dilafalkan
sebagai bunyi [c] sehinggakalimat “saya sakit, jadi tidak suka makan,
sudah saja, ya” akan diucapkan menjadi “caya cakit, jadi tidak cuka
makan, udah caja, ya”.
2. Berbicara kemayu
Berbicara kemayu ini berkaitan dengan perangai kewanitaan
yang berlebihan. Yaitu dengan melakukan gerak bibir dan lidah yang
menarik perhatian dan lafal yang dilakukan secara ekstra menonjol dan
gemah gemulai.
3. Berbicara gagap
Gagap adalah berbicara yang kacau karena sering tersendat-
sendat, mendadak berhenti, lalu mengulang-ulang suku kata pertama,
kata-kata berikutnya, dan setelah berhasil mengucapkan kata-kata itu
kalimat dapat diselesaikan.
4. Berbicara latah
Latah sering disamakan dengan ekolalla yaitu perbuatan
membeo atau menirukan apa yang dikatakan orang lain tetapi
sebenarnya latah adalah suatu sindrom yang terdiri dari curah verbal

22
repetitif yang bersifat jorok koprolalla dan gangguan lokomotorik
yang dapat dipancing.

Gangguan Berbahasa
Berbahasa berarti berkomunikasi dengan menggunakan suatu bahasa.
Untuk dapat berbahasa diperlukan kemampuan mengeluarkan kata-kata. Oleh
sebab itu daerah broca dan wernecke harus berfungsi dengan baik, karena
kerusakan pada daerah tersebut dan sekitarnya menyebabkan terjadinya
gangguan bahasa yang disebut dengan afasia. Berikut ini akan dijelaskan
beberapa macam afasia.
A. Afasia motorik
Kerusakan pada belahan otak yang dominan yang menyebabkan
terjadinya afasia motorik bisa terletak pada lapisan permukaan daerah
broca atau pada lapisan di bawah permukaan daerah broca atau juga di
daerah otak antara daerah broca dan daerah wernicke. Oleh karena itu, ada
tiga macam afasia motorik:
1. Afasia motorik kortikal
Afasia motorik kortikal berarti hilangnya kemampuan untuk
mengutarakan isi pikiran dengan menggunakan perkataan. Penderita
afasia kortikal ini masih bisa mengerti bahasa lisan dan bahasa tulisan.
Namun, ekspresi verbal tidak bisa sama sekali, sedangkan ekspresi
visual masih bisa dilakukan.
2. Afasia motorik subkortikal
Penderita afasia motorik subkortikal adalah orang yang tidak
dapat mengeluarkan isi pikirannya dengan menggunakan perkataan
tetapi masih bisa mengeluarkan perkataan secara membeo. Selain itu
pengertian bahasa verbal dan visual tidak terganggu dan ekspresi
visual pun berjalan normal.
3. Afasia motorik transkortikal
Para penderita afasia motorik transkortikal dapat mengutarakan
perkataan yang singkat dan tepat, tetapi masih mungkin menggunakan
perkataan substitusinya. Misalnya, untuk mengatakan `pensil` sebagai

23
jawaban atas pertanyaan `Barang yang saya pegang ini apa namanya? `
dia tidak mampu mengeluarkan perkataan itu. Namun, mampu untuk
mengeluarkan parkataan `itu, tu, tu, untuk menulis. ` afasia jenis ini
juga sering disebut dengan afasia nominatif.

B. Afasia Sensorik
Penyebab afasia sensorik ini adalah akibat adanya kerusakan pada
lesikortikal di daerah wernicne pada hemisferium yang dominan.
Kerusakan di daerah ini tidak hanya menyebabkan pengertian dari apa
yang didengarnya terganggu, tetapi pengertian dari apa saja yang
dilihatnya pun ikut terganggu. Namun, ia masih memiliki curah verbal
meskipun hal itu tidak dapat dipahami oleh dirinya sendiri meupun orang
lain. Curah verbalnya itu merupakan bahasa baru yang tidak dapat
dipahami oleh siapa pun. Curah verbalnya itu terdiri dari kata-kata, ada
yang mirip, ada yang tepat dengan perkataan suatu bahasa, tetapi
kebanyakan tidak sama atau sesuai dengan perkataan bahasa pun.
Neologismenya itu diucapkannya dengan irama, nada, dan melodi
yang sesuai dengan bahasa asing yang ada. Sikap mereka pun wajar-wajar
saja seakan-akan dia berdialog dalam bahasa yang saling dimengerti. Dia
bersikap biasa, tidak tegang, marah, atau depresif. Sesungguhnya apa yang
diucapkannya maupun apa yang didengarnya keduanya sama sekali tidak
dapat dipahami.

Gangguan Berpikir
Ekspresi verbal yang terganggu bersumber atau disebabkan oleh
pikiran yang terganggu. Gangguan ekspresi verbal sebagai akibat dari
gangguan pikiran dapat berupa hal-hal berikut:
A. Pikun (Demensia)
Kepikunan atau dimensia adalah suatu penurunan fungsi memori
atau daya ingat dan daya pikir lainnya yang dari hari ke hari semakin
buruk. Gangguan kognitif ini meliputi terganggunya ingatan jangka
pendek, kekaliruan mengenali tempat, orang dan waktu. Juga gangguan
kelancaran berbicara. Penyebab pikun ini antara lain karena terganggunya

24
fungsi otak dalam jumlah besar, termasuk menurunnya jumlah zat-zat
kimia dalam otak.
B. Sisofrenik
Sisofrenik adalah gangguan berbahasa akibat gangguan berfikir.
Dulu para penderita sisofrenik juga disebut dengan schizophrenik word
salad. Para penderita ini dapat mengucapkan word salad ini dengan lancar
dengan volume yang cukup ataupun lemah sekali. Curah verbalnya penuh
dengan kata-kata neologisme. Irama serta intonasinya menghasilkan curah
verbal yang melodis. Seorang penderita sisofrenia dapat berbicara terus-
menerus. Ocehannya hanya merupakan ulangan curah verbal semula
dengan tambahan sedikit. Gaya bahasa sisofren dapat dibedakan dalam
beberapa tahap dan menurut berbagai kriteria, yang utama adalah
diferensia dalam gaya bahasa sisofrenia halusinasi dan pascahalusinasi.
C. Depresif
Orang yang tertekan jiwanya memproyeksi penderitaanya pada
gaya bahasanya dan makna curah verbalnya. Volume curah verbalnya
lemah lembut dan kelancarannya terputus-putus oleh interval yang cukup
panjang. Namun, arah arus pikiran tidak terganggu. Kelancaran bicaranya
terputus oleh tarikan nafas dalam, serta pelepasan nafas keluar yang
panjang.
Perangai emosional yang terasosiasi dengan depresi itu adalah
universal. Curah verbal yang depresif dicoraki oleh topik yang
menyedihkan, menyalahi dan mengutuk diri sendiri, kehilangan gairah
bekerja dan gairah hidup, tidak mampu menikmati kehidupan. Malah
cenderung mengakhirinya.

Gangguan Lingkungan Sosial


Maksud dari akibat faktor lingkungan adalah terasingnya seorang anak
manusia yang aspek biologis bahasanya normal dari lingkungan kehidupan
manusia. Keterasingan ini dapat disebabkan oleh pergaulan dengan sengaja
maupun yang tidak sengaja. Seorang anak terasing menjadi tidak dapat
berkomunikasi dengan orang disekitarnya atau dengan manusia karena dia
tidak pernah mendengar suara ujaran manusia. Jadi, anak terasing karena tidak

25
ada orang yang mengajak dan diajak berbicara, tidak mungkin dapat
berbahasa. Karena dia sama sekali terasing dari kehidupan sosial masyarakat
maka dengan cepat ia menjadi sama sekali tidak dapat berbahasa. Otaknya
menjadi tidak lagi berfungsi secara manusiawi karena tidak ada yang
membuatnya atau memungkinkannya berfungsi demikian. Maka sebenarnya
anak aterasing yang tidak punya kontak dengan manusia bukan lagi manusia
sebab pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial. Meskipun bentuk
badannya adalah manusia tetapi dia tidak bermartabat sebagai manusia.
Otaknya tidak berkembang sepenuhnya, tidak dapat berfungsi dalam
masyarakat manusia, dan akhirnya menjadi tidak mampu sebagai manusia
setelah beberapa tahun. Anak terasing tidak sama dengan anak primitif, sebab
orang primitif masih hidup dalam suatu masyarakat. Meskipun taraf
kebudayaannya sangat rendah, tetapi tetap dalam suatu lingkungan sosial.
Kanak-kanak mempunyai segala kemungkinan untuk menjadi manusia hanya
selama masa kanak-kanak selepas umur tujuh tahun anak itu tidak dapat
dididik untuk mempelajari kebudayaan yang lebih tinggi.
A. Kasus Genie
Sejak berusia 20 bulan sampai berusia 13 tahun 9 bulan Genie
hidup terkucil dalam ruang yang sempit dan gelap dalam posisi duduk dan
kaki terikat. Pintu ruangan itu selalu tertutup dan jendela berkelambu
tebal. Tidak ada radio atau televisi dirumah itu, dan ayahnya membenci
suara apapun. Ayahnya tidak mengizinkannya mendengar suara apa pun,
dia akan dihukum secara fisik bila membuat suara. Satu–saatunya orang
yang sering ditemuinya adalah ibunya.
Namun, si ibu pun dilarang untuk tinggal lama–lama dengan Genie
saat memberinya makan. Tanpa berbicara apa–apa si ibu memberi makan
Genie dengan selalu tergesa–gesa.Ketika ditemukan tahun 1970, Genie
berada dalam kondisi yang kurang terlibat secara sosial, primitif,
terganggu secara emosional, dan tak dapat berbahasa (berbicara). Dia
dikirim ke rumah anak–anak Los Angeles dengan diagnosis awal sebagai
anak yang menderita kurang gizi yang parah. Pertama kali mendapat
perawatan Genie tidak mampu menggunakan bahasa. Namun, dari
evaluasi perawatan bulan–bulan pertama didapat kesimpulan bahwa Genie

26
adalah anak yang terbelakang, tetapi perilakunya tidak seperti anak lemah
mental. Meskipun dia mengalami gangguan secara emosional, tetapi dia
tidak mengalami gangguan fisik atau mental yang dapat memperkuat
keterbelakangannya. Jadi, keterbelakangannya adalah karena lamanya
tekanan psikososial dan fisik yang dialaminya.
Kemampuan berbahasa Genie, yang jelas ketika ditemukan dia
tidak dapat berbicara, meskipun telah berumur hampir 14 tahun. Untuk
mengetahui apakah dia sudah mengenal bahasa Inggris sebelum
dikucilkan, kepadanya diberikan sebagian tes. Dari tes awal diketahui
bahwa Genie memahami sejumlah kata–kata lepas yang diucapkan orang
lain, tetapi dia hanya memahami sedikit sekali gramatika. Maka dalam hal
ini tampaknya dia mendapat tugas yang sulit dan rumit, yakni memperoleh
bahasa pertama dengan otak yang sudah masa puber. Namun, kenyataan
menunjukkan bahwa Genie mampu memperoleh bahasa itu meski dalam
usia yang sudah melewati masa kritis pemerolehan bahasa. Seperti teori
sebelumnya mengatakan bahwa otak berada dalam kondisi paling siap
untuk mempelajari bahasa tertentu adalah selama masa kanak–kanak
hingga masa puber, atau seperti kata Lenneberg antara usia dua tahun
sampai masa akil balig. Namun, disini Genie yang baru belajar bahasa
pertama, setelah masa kritisnya dilalui ternyata dapat memperoleh
kemampuan berbahasa itu. Dalam banyak hal perkembangan bahasa Genie
sama dengan pemerolehan bahasa pertama kanak–kanak yang normal.
Dari sejumlah tes diperoleh informasi bahwa Genie tidak mamiliki
fasilitas bahasa pada hemisfer kiri melainkan menggunakan hemisfer
kanan, baik untuk fungsi bahasa maupun fungsi nonbahasa. Dalam tes
menyimak rangkap dia mempunyai keunggulan telinga kiri yang sangat
kuat untuk isyarat–isyarat verbal maupun nonverbal.
Hasil tes menyimak rangkap ini memperkuat hipotesis bahwa
Genie menggunakan hemisfer kanan untuk berbahasa. Temuan ini juga
memperkuat hipotesis mengenai adanya hemisfer yang dominan dan yang
tidak dominan.

27
B. Kasus kamala
Kasus adanya anak manusia yang dipelihara oleh serigala yang
terdapat dalam catatan Zingg menurut Chauchard (dalam Chaer,
2003:162). Salah satu diantaranya kamala dan adiknya, kanak-kanak
perempuan India ditemukan oleh seorang misionaris di India.

28
Latihan:

1. Jelaskan apa itu gangguan berbahasa dan gangguan berbicara?


2. Gangguan berbicara ini dialami oleh para penderita penyakit paru-paru.
Para penderita penyakit paru-paru ini kekuatan bernafasnya sangat kurang,
sehingga cara berbicaranya diwarnai oleh nada yang monoton, volume
suara yang kecil sekali, dan terputus-putus, meskipun dari segi semantik
dan sintaksis tidak ada masalah. Nama gangguan ini adalah?
3. Berbicara merupakan aktivitas motorik yang mengandung modalitas
psikis. Oleh karena itu, gangguan berbicara ini dapat dikelompokkan ke
dalam dua kategori. Pertama, gangguan mekanisme berbicara yang
berimplikasi pada gangguan organik. Kedua, gangguan berbicara
psikogenik. Jelaskan maksud dari gangguan organik dan gangguan
psikogenik?
4. Sebutkan contoh gangguan akibat faktor organik dan faktor psikogenik?
5. Afasia merupakan gangguan berbicara yang terjadi pada daerah hemisfir
yaitu tepatnya pada daerah?
6. Jelaskan apa yang diamaksud dengan sisofrenik?
7. Jelaskan apa yang dimaksud dengan gangguan lingkungan sosial?
8. Sebutkan apa saja gangguan berpikir yang mempengarui kemampuan
ekspresi verbal?
9. Jelaskan secara singkat kasus kamala!
10. Jelaskan secara singkat kasus genie!

29
Kunci Jawaban:

1. Berbicara merupakan aktivitas motorik yang mengandung modalitas


psikis. Oleh karena itu, gangguan berbicara ini dapat dikelompokkan ke
dalam dua kategori. Pertama, gangguan mekanisme berbicara yang
berimplikasi pada gangguan organik. Kedua, gangguan berbicara
psikogenik. Berbahasa berarti berkomunikasi dengan menggunakan suatu
bahasa. Untuk dapat berbahasa diperlukan kemampuan mengeluarkan
kata-kata. Oleh sebab itu daerah broca dan wernecke harus berfungsi
dengan baik, karena kerusakan pada daerah tersebut dan sekitarnya
menyebabkan terjadinya gangguan bahasa yang disebut dengan afasia.
Berikut ini akan dijelaskan beberapa macam afasia.
2. Gangguan akibat faktor pulmonal
3. Gangguan organik merupakan gangguan yang terjadi akibat gangguan atau
kelainan yang terjadi pada organ yang berperan dalam bertutur. Sedangkan
gangguan psikogenik merupakan gangguan yang terjadi akibat faktor
mental penutur.
4. Gangguan akibat faktor organik yaitu: gangguan akibat faktor pulmonal,
angguan akibat faktor laringal, gangguan akibat faktor lingual, gangguan
akibat faktor Resonansi. Sedangkan gangguan akibat faktor psikogenik
yaitu: berbicara manja, berbicara gagap, dan berbicara latah.
5. Broca dan wernecke.
6. Sisofrenik adalah gangguan berbahasa akibat gangguan berfikir. Dulu para
penderita sisofrenik juga disebut dengan schizophrenik word salad. Para
penderita ini dapat mengucapkan word salad ini dengan lancar dengan
volume yang cukup ataupun lemah sekali. Curah verbalnya penuh dengan
kata-kata neologisme. Irama serta intonasinya menghasilkan curah verbal
yang melodis. Seorang penderita sisofrenia dapat berbicara terus-menerus.
Ocehannya hanya merupakan ulangan curah verbal semula dengan
tambahan sedikit.
7. Maksud dari akibat faktor lingkungan adalah terasingnya seorang anak
manusia yang aspek biologis bahasanya normal dari lingkungan kehidupan
manusia. Keterasingan ini dapat disebabkan oleh pergaulan dengan

30
sengaja maupun yang tidak sengaja. Seorang anak terasing menjadi tidak
dapat berkomunikasi dengan orang disekitarnya atau dengan manusia
karena dia tidak pernah mendengar suara ujaran manusia.
8. Gangguan berpikir yang mempengaruhi ekspresi verbal yaitu: pikun
(Demensia), sisofrenik, dan depresif.
9. Kasus adanya anak manusia yang dipelihara oleh serigala yang terdapat
dalam catatan Zingg menurut Chauchard (dalam Chaer, 2003:162). Salah
satu diantaranya kamala dan adiknya, kanak-kanak perempuan India
ditemukan oleh seorang misionaris di India.
10. Sejak berusia 20 bulan sampai berusia 13 tahun 9 bulan Genie hidup
terkucil dalam ruang yang sempit dan gelap dalam posisi duduk dan kaki
terikat. Pintu ruangan itu selalu tertutup dan jendela berkelambu tebal.
Tidak ada radio atau televisi dirumah itu, dan ayahnya membenci suara
apapun. Ayahnya tidak mengizinkannya mendengar suara apa pun, dia
akan dihukum secara fisik bila membuat suara. Kemampuan berbahasa
Genie, yang jelas ketika ditemukan dia tidak dapat berbicara, meskipun
telah berumur hampir 14 tahun.

31

Anda mungkin juga menyukai