Anda di halaman 1dari 17

ANALISIS GEGURITAN

“PRAHARA” DAN “TANGIS TENGAH WANA”


BERDASARKAN MODEL TEORI RIFFATERRE

Disusun oleh :
Niswatun Aulia Hanifah
B0117042
Sastra Daerah
Mata Kuliah Semiotika

FAKULTAS ILMU BUDAYA


UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2019
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil ‘alamin, rasa syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWAT, Tuhan yang
Maha Kuasa yang telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesehatan, kesempatan serta
pengetahuan sehingga makalah semiotika tentang ‘Analisis Dua Geguritan Berdasarkan Model
Riffaterre’ ini bisa selesai sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.

Saya berharap agar makalah ini bisa bermanfaat untuk menambah pengetahuan rekan-rekan
mahasiswa pada khususnya dan para pembaca umumnya tentang teori Riffaterre yang
merupakan salah satu bagian dari mata kuliah Semiotika.

Mudah-mudahan makalah sederhana yang telah berhasil saya susun ini bisa dengan mudah
dipahami oleh siapapun yang membacanya. Sebelumnya saya meminta maaf bilamana terdapat
kesalahan kata atau kalimat yang kurang berkenan. Serta tak lupa saya juga berharap adanya
masukan serta kritikan yang membangun dari pembaca demi terciptanya makalah yang lebih
baik lagi.

Surakarta, 31 Mei 2019

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Secara umum semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan
luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Tanda itu sendiri
didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya
dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Konvensi yang memungkinkan suatu objek,
peristiwa, atau suatu gejala kebudayaan, menjadi tanda itu disebut juga sebagai kode sosial,
menurut Eco dalam Faruk (1994:43-44). Artinya tanda-tanda dari setiap objek, peristiwa
maupun kebudayaan memiliki makna yang tersirat dalam sebuah teks. Oleh karenanya
makna dalam karya sastra merupakan hal yang sangat penting.
Makna merupakan sebuah hal penting dalam sebuah teks karya sastra. Tanpa makna
teks dalam karya sastra tak memiliki arti apapun untuk dikaji menjadi sebuah
penelitian.Pentingnya mengupas sebuah makna ibarat kita menggali secara mendalam
dari setiap teks. Bahkan dalam kehidupan kitapun tak lepas dari makna kehidupan maupun
individual sehingga memperkenalkan kita pada hal yang diluar akal kita. Semiotik Riffaterre
merupakan teori yang tepat untuk memahami makna sebuah sajak. Pembahasan terhadap
makna sebuah sajak dengan teori semiotik Riffaterre menggunakan metode pembacaan yang
dilakukan melalui dua tahap pembacaan, yaitu pembacaan heuristik dan hermeneutik. Pada
pembacaan heuritik, setiap satuan linguistik yang digunakan dalam teks (sajak) diartikan
sesuai dengan konvensi bahasa yang berlaku, sedangkan pada tahap berikutnya, yaitu tahap
hermeneutik, makna teks (sajak) ditafsirkan sesuai dengan konvensi sastra dan budaya yang
melatarbelakanginya. Selanjutnya dicari matriks, model,varian dan hubungan
intertekstualnya. Dua geguritan yang akan dianalisis yaitu yang berjudul “Negeriku Negeri
Pangimpen” karya Tegar alfi S. dan “Ibu” karya Yossanti. Dua geguritan tersebut akan
dianalisis menggunakan teori model Riffaterre.

B. Rumusan Masalah
1) Bagaimana analisis penerapan teori model Riffaterre pada geguritan/puisi Jawa?
2) Bagaimana penilaian antar dua geguritan tersebut mengenai maknanya?
C. Tujuan
1) Untuk mengetahui analisis penerapan teori model Riffaterre pada geguritan/puisi
Jawa
2) Untuk memberikan penilaian makna dari dua geguritan yang menggunakan model
Riffaterre

D. Teori Dasar

Penjelasan sebelumnya telah menyebutkan bahwa semiotika Riffaterre ada empat langkah yang
harus dilalui yang akan di paparkan sebagai berikut:
1. Ekspresi tidak langsung (ketidaklangsungan ekspresi)
Dalam pembacaan puisi maupun kosa kata yang dipakai dalam puisi tidak ada makna
yang menggambarkan secara langsung. Pasti penggunaan kata-kata dalam puisi memiliki
makna yang di sampaikan dengan mengiaskan atau mengandaikan. Tentu melalui
proses pemaknaan masing-masing individu. Seperti yang Riffatterre kemukakan
dalam bukunya yang berjudul “semiotics of poetry” mengatakan bahwa puisi dari waktu ke
waktu senantiasa berubah. Perubahan itu disebabkan oleh perbedaan konsep estetik dan
evolusi selera. Namun ada satu hal yang tidak mengalami perubahan yakni puisi/geguritan
itu merupakan ekspresi tidak langsung (1978:1). Ekspresi tidak langsung menurut Riffaterre
diakibatkan oleh tiga hal yaitu displacing (penggantian), distorting (perusakan) dan creating
(penciptaan) of meaning (arti) (1978:1).
 Penggantian arti (displacing of meaning)
Penggantian arti (displacing of meaning) adalah perubahan arti dari kata-kata
yang ada pada puisi tidak menggunakan arti yang sebenarnya. Biasanya puisi seperti itu
menggunakan majas. Majas yang digunakan dalam penggantian arti adalah metonimi dan
metafora. Dalam buku karangan Pradopo, Alterbernd menjelaskan bahwa metafora
adalah kiasan yang menyatakan sesuatu sebagai hal yang sama dengan sesuatu lain yang
sebenarnya tidak ada kaitannya sama sekali. Metonimi adalah kiasan pengganti nama
seperti Sungai Ciliwung yang diganti namanya dengan Sungai Kesayangan dalam sajak
Toto Sudarto Bachtiar (Setyarini, 2010: 22).
 Perusakan atau penyimpangan arti (distorting of meaning)
Dikebanyakan puisi, kata-kata atau kalimat yang digunakan sering terjadi
sebuah penyimpangan arti yang di akibatkan tiga hal menurut Riffaterre, yakni
ambiguitas, kontradiksi dan nonsense (1978:2). Ambiguitas dapat terjadi pada kata, frasa,
kalimat, maupun wacana yang disebabkan oleh munculnya penafsiran yang berbeda-beda
menurut konteksnya. Kontradiksi adalah penggunaan kata-kata yang paradoks, ironi dan
antitheis. Sedangkan non-sense adalah kata-kata yang tidak mempunyai arti (sesuai
kamus) tetapi mempunyai makna “gaib” sesuai dengan konteks (Salam, 2009:4)
 Penciptaan arti (Creating Of Meaning)
Hal ini terjadi karena disebabkan oleh adanya bentuk visual yang meliputi: rima,
dan tipografi (Riffaterre,1978:2). Artinya visualisasi dalam puisi mampu menciptakan
sebuah arti baru seperti, rima, emjambement dan tipografi yang membuat penciptaan arti
baru dalam puisi. Sehingga dalam pemaknaan dalam puisi terjadi pemaknaan baru
(creating meaning)

2. Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik


Heuristik adalah pembacaan tahap pertama pada puisi yang dilakukan oleh pembaca.
Dimana dalam tahap pertama ini pembacaan teks sesuai dengan tata bahasa yang sintaksis,
morfologis, normatif dan semantik. Artinya dalam pembacaan heuristik menghasilkan teks
secara menyeluruh sesuai tata bahasa yang normatif dengan sistem semiotik. Segala
sesuatuyang berhubungan dengan tanda-tanda dari tingkat mimetik ke tingkat pemaknaan
yang lebih tinggi. Dalam pembacaan heuritsik ini disebut sebagai pembacaan tahap pertama
karena pembaca dituntut untuk memahami puisi dari keseluruhan. Artinya
dalam tahap pertama ini, pembaca hanya membaca di bagian luarnya sebelum memahami ke
tahap yang kedua atau yang disebut hermeneutik. Ditahap yang pertama ini, proses dekoding
terjadi dengan membaca teks secara keseluruhan untui mendapatkan arti keseluruhan.
Pembacaan heuristik tidaklah cukup untuk memahami dan menangkap makna dalam puisi
yang sesungguhnya, oleh karena itu diperlukan tahap hermeneutic atau disebut pembacaan
tahap kedua. Dalam pembacaan hermeneutik, tentu tak lepas dari tahap pembacaan heuritik
terlebih dahulu yang harus dilalui karena heuritik merupakan proses pembacaan pertama
untuk mengetahui makna teks keseluruhan secara menyeluruh yang hanya dipahami bagian
luar saja. Hermeneutik sebagai lanjutan dari tahap heuristik sebelumnya, menyajikan sebuah
pemahaman yang lebih mendalam dan rinci. Hermeneutik disebut juga pembacaan tahap
kedua atau retroaktif. Artinya pembaca melakukan pencarian makna secara mendalamyang
didasarkan pada konvensi sastra. Proses decoding terjadi dalam tahap ini karena dalamtahap
pertama dimana pembaca sudah membaca secara keseluruhan meskipun masih tahapawal
namun di tahap hermeneutik, pembaca lebih paham untuk memahami teks lebih jauh d a n
m e n d a l a m . Segala sesuatu yang pada tahap heuristic, pembaca sesuatu yang tidak
koheren antar kata atau kalimat, dalam tahap ini menemukan fakta-fakta yang berhubungan
satu sama lain. Pembaca mulai dapat memahami dari yang awalnya mendapatkan makna
atauarti yang ambigu menjadi jelas.

3. Matriks, Varian dan Model (kata kunci)


Puisi menjadi sebuah impian untuk seorang penyair cinta maupun kehidupan. Namun
dalam perkembangannya matriks menjadi model yang di transformasikan menjadi varian-
varian oleh seorang penyair yang dalam bentuk puisi. Riffaterre dalam bukunya yang
berjudul semiotics of poetry mengatakan bahwa matriks ini berupa satu kata, gabungan
kata, bagian kalimat sederhana (Riffaterre, 1978:25). Itu artinya bahwa matriks dalam karya
sastra, puisi khususnya sangatlah menentukan keindahannya dikarenakan matriks di poles
atau dibungkus oleh model yang biasanya berupa kiasan untuk mengiaskan sebuah kata-
katadalam puisi. Sehingga, keindahan matriks dalam puisi sangatlah menentukan karena
matriks tidak secara jelas (butuh penafsiran hermeneutik) di gambarkan dalam puisi, bentuk
varian yang menjelaskan matriks dalam puisi secara lugas dan gamblang. Untuk “membuka”
sajak supaya dapat mudah dipahami, dalam konkretisasi puisi, haruslah dicari matriks atau
kata-kata kuncinya. Kata-kata kunci adalah kata yang menjadi kunci penafsiran sajak yang
dikonkretisasikan (Pradopo, 2010:299). Artinya matriks adalah kata kunci yang terdapat
dalam teks puisiyang menjadi model-model dalam kata-kata puisi dan ditransformasikan
kedalam varian-varian.

4. Hipogram (hubungan intertekstual)


Untuk mengetahui makna dalam puisi diperlukan cara lain yakni dengan cara
hipogram atau melihat makna hubungan antar sajak dalam teks sastra. Dikemukakan oleh
Riffaterre dalam Pradopo (2010:300) bahwa sajak itu adalah response (tanggapan) terhadap
sajak sebelumnya. Artinya sajak satu dengan sajak yang lain adalah jawaban atau tanggapan
dari sajak sebelumnya yang membuat puisi itu mengalami sebuah ambiguitas,
kontradiksi maupun nonsense. Riffaterre mengatakan bahwa sajak itu adalah jawaban atau
tanggapan terhadap sajak sebelumnya. Tanpa menempatkan sajak pada urutan kesejarahan,
maka makna sebenarnya sajak itu tidak akan terungkap. Menurut Riffaterre dikutip dalam
bukunya Teeuw meyakini bahwa karya sastra tidak lahir dalam kekosongan budaya. Karya
sastra ada sebagai sarana komunikasi, yang maknanya dapat berupa penyimpangan atau
tanggapan dari karya sastra sebelumnya (2003, p.67). Artinya karya sastra lahir dari
sebuah fenomena-fenomena sosial maupun konflik sosial dari gejala itulah karya sastra lahir.
Sehingga karya di sebutkan bahwa karya sastra lahir tidak dalam kekosongan budaya
melainkan dari segala bentuk permasalahan sosial yang dituangkan kedalam karya sastra,
sehingga dalam karya sastra memiliki makna yang tersirat yang harus dikupas secara
mendalam.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sajian Data
Geguritan 1
PRAHARA
Dening : Sri Rahayu Yustina

Anyeping hawa ngrasuk sukma


Lonjaking prahara ngambra-ambra
Dukita kasandhang manungsa
Kana kene gawe dosa
Gusti duka
Kabeh kalipyan
Bandha donya nutupi netra
Bareng katerak prahara
Lagi eling marang Kang Maha Murbeng Dumadi
Kang nyedyani sabarang
Manungsa tanpa rasa nrima ati
Ndonga kok cethil
Wayah rina wengi ngoyak bandha
Lali marang Kang Maha Kuwasa
Elinga sawanci-wanci
Sukma oncat saka angga

Girimulya, Juni 2018

Sumber : ANTOLOGI GEGURITAN “Weling Sinangling”

Geguritan 2

TANGIS TENGAH WANA


Dening : Sri Rahayu Yustina

Ana swara tanpa rupa


Nelangsa ngaru-ara
Ngundhamana manungsa
Nalika aku liwat tengah wana
Tak ambakake kupingku
Tak remake mripatku
Swara sansaya ngreridhu
Nggrantes ngeres ing atiku
Tumapaking sikil iki
Kaya nglarani bumi
Lambe ndemimil wedi
Nyuwun pangayomaning Gusti
Byaaar, ketok mata
Wit gedhe ambruk tanpa daya
Nanging isih nyuwara sora
Iki pokalmu, manungsa

Girimulyo, 18 Juni 2018

Sumber : ANTOLOGI GEGURITAN “Weling Sinangling”

B. Analisis Data
Analisis geguritan 1 “Prahara” karya Sri Rahayu Yustina. menggunakan model Michael
Riffaterre, sebagai berikut:
a. Ketidaklangsungan Ekspresi
Dalam ketidaklangsungan ekspresi ini diakibatkan oleh tiga hal yaitu:
1. Penggantian Arti (Displacing Of Meaning)
Dalam geguritan 1 yang berjudul “Prahara” tidak terdapat aliterasi. Asonansi
juga didominasi oleh huruf vokal a/a (ͻ). Misalnya pada baris ketiga, Dukita
kasandhang manungsa, Bareng katerak prahara (baris kedelapan), Lagi eling
marang Kang Maha Murbeng Dumadi (baris kesembilan), Kang nyedyani sabarang
(baris kesepuluh), Manungsa tanpa rasa nrima ati (baris kesebelas), Wayah rina
wengi ngoyak bandha (baris ketiga belas), Lali marang Kang Maha Kuwasa (baris
keempat belas), Sukma oncat saka angga (baris keenam belas).
Gaya bahasa atau majas yang digunakan dalam geguritan ini adalah gaya bahasa
simbolik, yaitu gaya bahasa yang menyamakan sepatah kata dengan kata atau nama
benda lain, terdapat pada baris terakhir: Sukma oncat saka angga. Maksud dari baris
ini ialah mati. Dan juga pada baris keempat: Kana kene gawe dosa, merupakan majas
sinisme yakni gaya bahasa yang mengungkapka sindiran secara kasar dan
umumnyadigunakan untuk mengkritik atau mencemooh sesuatu baik berupa
ide/maksud/rencana.
2. Penyimpangan Arti (Distorsing Of Meaning)
Menurut Riffaterre (dalam Pradopo, 1995:148) penyimpangan arti terjadi bila
dalam sajak ada ambiguitas, kontradiksi ataupun nonsense. Dalam geguritam 1 yang
berjudul “Prahara”, tidak ada hal-hal tersebut. Karena pengarang lebih banyak
menggunakan ungkapan langsung berupa sindiran sehingga terkesan sinis ataupun
sarkastik.
3. Penciptaan Arti (Creating Of Meaning)
Penciptaan arti dipengaruhi oleh sajak (rima), enjambemen, dan tipografi. Dalam
geguritan 1 hanya terdiri dari satu bait yang mana satu bait tersebut mempunyai 15
baris. Baris pertama sampai dengan baris kedelapan bersajak a-a-a-a-a-a-a,
sedangkan baris kesembilan sampai dengan baris terakhir bersajakan b-a-b-b-a-a-b-a.
Pada geguritan 1 tidak terdapat enjambemen. Sedangkan tipografi geguritan 1 dibuat
rata kiri.
b. Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik
1. Pembacaan Heuritik
Pembacaan heuritik, pada dasarnya merupakan interpretasi tahap pertama, yang
bergerak dari awal ke akhir teks sastra, dari atas ke bawah mengikuti rangkaian
sintagmatik. Pembacaan tahap pertama akan menghasilkan serangkaian arti yang
bersifat heterogen. Judul geguritan “Prahara” mengandung arti “Prahara”. Dalam
geguritan ini, pembacaan heuritik sebagai berikut:

Anyeping hawa ngrasuk (ing njero) sukma


Lonjaking prahara (saya) ngambra-ambra
Dukita kasandhang (ing ati) manungsa
Kana kene (mung) gawe dosa
(marai) Gusti duka
Kabeh (padha) kalipyan
Bandha donya (wis) nutupi netra (manungsa)
Bareng katerak (karo) prahara
Lagi eling marang Kang Maha Murbeng Dumadi
(Gusti) Kang nyedyani sabarang
Manungsa tanpa rasa nrima ati
Ndonga kok cethil
Wayah rina wengi (mung) ngoyak bandha
Lali marang Kang Maha Kuwasa
Elinga (yen) sawanci-wanci
Sukma(mu) oncat saka angga

2. Pembacaan Hermeneutik

Setelah pembacaan heuristik, selanjutnya pada tahap kedua yaitu pembacaan


hermeneutik, agar ditemukan makna geguritan secara keseluruhan. Judul geguritan
“Prahara” ini menandakan arti suatu keadaan, dimana keadaan itu sedang kacau
balau penuh dengan kejahatan. Jika diuraikan artinya per baris, menjadi berikut ini:

Dinginnya udara merasuk ke dalam jiwa. Kekacauan mulai meningkat dan


menyebar luas. Perasaan susah menyerbu hati manusia. Kesana kemari membuat
dosa. Sehingga Tuhan marah. Semua orang menjadi lupa. Harta dunia sudah
menutupi mata mereka. Setelah ditimpa kemalangan. Baru ingat kepada sang
Penciptanya. Yang sudah memberikan segala hal di dunia. Setelah diberi
segalanya, manusia tidak merasa harus berterimakasih. Sekedar berdoa saja tidak
dilakukan. Siang malam hanya mengejar harta dunia. Lupa kepada Yang Maha
Kuasa. Ingatlah suatu saat nanti. Nyawau akan pergi meninggalkan tubuhmu.

Jika diambil makna secara keseluruhan, bahwasannya geguritan ini berisi tentang
kekecewaan pengarang terhadap sikap manusia di dunia, yang hanya mengejar
kesenangan dunia saja. Tetapi tidak memikirkan bahwasannya hidup di dunia hanya
sementara. Jika sudah mati, penyesalan akan menyelimuti diri mereka.

c. Model, Varian-Varian, dan Matriks


Model dari geguritan “Prahara” ini adalah Lonjaking prahara ngambra-ambra, baris
yang menggambarkan awal mula kegelisahan yang dihadapi pengarang. Karena
semakin hari keadaan disekitarnya semakin memburuk. Bentuk model “Lonjaiking
prahara ngambra-ambra” ekuivalen dengan baris-baris sajak yang terdapat pada
geguritan “Prahara” berikut ini:

Lonjaking prahara ngambra-ambra


Dukita kasandhang manungsa
Kana kene gawe dosa
Gusti duka
Kabeh kalipyan
Bandha donya nutupi netra

Baris-baris sajak di atas melukiskan akibat dari kelalaian manusia untuk tetap
beribadah kepada Tuhannya. Apapun situasi yang dialaminya, seharusnya tetap
meakukan kewajibannya menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya masing-masing.
Model “Lonjaking prahara ngambra-ambra” diekspansi ke dalam wujud varian-varian
yang menyebar ke seluruh sajak, yaitu (1) kana kene gawe dosa, (2) ngoyak bandha.
Varian pertama, “kana kene gawe dosa”, merupakan penyataan untuk menyindir
terlalu fokus dalam bekerja tanpa memperdulikan ibadah, hal itu tetap saja mendatangkan
dosa dan merupakan perbuatan yang sia-sia. Varian ini divisualisasikan dalam baris-baris
sajak berikut.

Kana kene gawe dosa


Gusti duka
Kabeh kalipyan

Varian pertama ini menggambarkan jika terlalu banyak melakukan perbuatan


dosa tentu saja akan mendatangkan kemurkaan dari Tuhan. Varian kedua “ngoyak
donya”, merupakan perwujudan dari sifat manusia yang tidak mengenal waktu hanya
untuk mencari kesenangan dunia. Varian kedua divisualisasikan dalam baris-baris sajak
berikut:

Wayah rina wengi ngoyak bandha


Lali marang Kang Maha Kuwasa
Elinga sawanci-wanci
Sukma oncat saka angga

Varian kedua menggambarkan bahwasannya terlalu memfokuskan salah satunya saja


tanpa adanya keseimbangan dari keduanya (dunia dan akhirat) itu merupakan tindakan yang
sia-sia. Setelah diketahui model dan varian-variannya, matriks geguritan “Prahara” ini dapat
ditentukan, yaitu “kegelisahan melihat keadaan moral dunia semakin buruk”. Berdasarkan
proses pembacaan, masalah pokoknya dapat ditentukan sebagai berikut: Seiring berjalannya
waktu kejahatan dari bentuk apapun semakin merajalela. Yang paling berbahaya adalah
ketika lupa kepada sang Pencipta, yang sudah memberikan segala kebutuhan untuk
ciptaannya.

Analisis geguritan 2 “Tangis Tengah Wana” karya Sri Rahayu Yustina

Berikut analisis geguritan 2 menggunakan model Riffaterre yaitu:


a. Ketidaklangsungan ekspresi
Dalam tahap ini ekspresi tidak langsung diakibatkan oleh 3 hal yaitu:
1. Penggantian makna (Distorting Of Meaning)
Dalam geguritan “Tangis Tengah Wana” tidak terdapat aliterasi. Sedangkan
asonansi didominasi oleh vokal a/a (ͻ), misalnya pada baris pertama: Ana swara
tanpa rupa, Nelangsa ngaru-ara (baris kedua), Ngundhamana manungsa (baris
ketiga), Nalika aku liwat tengah wana (baris keempat).
Gaya bahasa atau majas yang mengawali geguritan “Tangis Tengah Wana” ini
adalah majas Antitetis, yaitu mamadukan pasangan kata yang artinya bertentangan.
Seperti pada bait pertama: Ana swara tanpa rupa. Kemudian terdapat majas simile
pada bait kesembilan dan kesepuluh: Tumapaking sikil iki, Kaya nglarani bumi.
Yang terakhir majas personifikasi terdapat pada bait keempat belas dan lima belas:
Wit gedhe ambruk tanpa daya, Nanging isih nyuwara sora.
2. Penyimpangan makna (Displacing Of Meaning)
Dalam geguritan “Tangis Tengah Wana” tidak terdapat ambiguitas, kontradiksi,
dan nonsense.
3. Penciptaan makna (Creating Of Meaning)
Geguritan “Tangis Tengah Wana” hanya terdiri dari satu bait dengan 16 baris di
dalamnya. Memiliki rima a-a-a-a-b-b-b-b-c-c-c-c-a-a-a-a. Meskipun dibuat saling
sambung-menyambung antar barisnya, tetapi pengarang tidak membuatnya
enjambemen. Seakan-akan kalimat itu berdiri sendiri. Tipografi dalam geguritan ini
dibuat rata kiri.
b. Pembacaan heuritik dan hermeneutik
1. Pembacaan heuritik
Pembacaan heuritik ini diambil dari arti kamus karena prinsipnya pembacaan
heuritik ini adalah pembacaan karya sastra (geguritan) berdasarkan sistem
kebahasaan. Berikut pembacaan heuritik pada geguritan “Tangis Tengah Wana”

Ana swara (nanging) tanpa rupa


Nelangsa ngaru-ara
Ngundhamana (jeneng) manungsa
Nalika aku liwat (ing) tengah wana
Tak ambakake kupingku
Tak remake mripatku
Swara (sing) sansaya (dirungokake saya) ngreridhu
(Swara) Nggrantes (iku nggawe) ngeres ing atiku
Tumapaking sikil iki
Kaya nglarani bumi
Lambe ndemimil wedi
Nyuwun pangayomaning (marang) Gusti
Byaaar, ketok mata
Wit (sing) gedhe ambruk tanpa daya
Nanging isih (bisa) nyuwara sora
Iki (kabeh merga) pokalmu, manungsa

2. Pembacaan hermeneutik

Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan karya sastra berdasarkan semiotik


tingkat kedua atau berdasarkan konvensi sastranya. Pembacaan ini merupakan
pembacaan ulang (retroaktif) sesudah pembacaan heuritik dengan memberikan
konvensi sastranya. Pembacaan hermeneutik, judul geguritan “Tangis Tengah Wana”
menggambarkan suasana sedih yang sangat mendalam, hal ini ditulis dengan kata
“Tangis”. Sedangkan “Tengah Wana”, menggambarkan tengah hutan yang mana
dapata diartikan sebagai daerah yang sunyi atau sepi. Di dalam geguritan ini
digambarkan suasana ketika malam hari. Hal ini lebih menambah suasana sedih itu
sendiri. Jika diuraikan per barisnya menjadi seperti berikut:

Ada suara tetapi tak ada wujudnya. Sedih mengharu-biru. Disebut-sebutnya


nama manusia. Ketika aku lewat di tengah hutan. Ku tajamkan telingaku. Ku
tutup mataku. Suara semakin terdengar memilukan. Suara kesedihan itu membuat
tidak nyaman hatiku. Jejak langkah kaki ini. Seperti membuat bumi kesakitan.
Bibir bergetar ketakutan. Meminta perlindungan kepada Tuhan. Byaaar terlihat
oleh mata. Pohon besar tumbang tanpa daya. Tetapi seakan masih bisa berteriak.
Ini semua karena ulahmu, manusia.

Jika diambil makna secara keseluruhan, bahwasannya geguritan ini berisi tentang
kesedihan pengarang melihat hutan sekarang ini. Pengarang menggunakan pohon yang
seakan-akan berteriak menyalahkan manusia, karena tidak bertanggung jawab dengan
alam. Suasana kesedihan sangat terasa dalam geguritan ini.
c. Model, Varian-Varian, dan Matriks
Model dari geguritan “Tangis Tengah Wana” adalah nelangsa ngaru-ara, baris yang
mengawali suasana kesedihan yang amat sangat. Ketika si aku melewati tengah hutan,
suasana sedih terasa semakin kuat. Bentuk model “nelangsa ngaru-ara” ekuivalen
dengan baris-baris sajak yang terdapat pada geguritan “Tangis Tengah Wana” berikut
ini:

Ana swara tanpa rupa


Nelangsa ngaru-ara
Ngundhamana manungsa
Nalika aku liwat tengah wana
Tak ambakake kupingku
Tak remake mripatku
Swara sansaya ngreridhu
Nggrantes ngeres ing atiku

Baris-baris sajak di atas melukiskan bagaimana suasana kesedihan itu sangat


terasa. Ketika si aku menajamkan telinga, dan menutup matanya. Seakan-akan hatinya
juga merasakan kesedihan itu. Model “nelangsa ngaru-ara” diekspansi ke dalam wujud
varian-varian yang menyebar ke seluruh sajak, yaitu (1) swara saya ngreridhu dan (2) isih
nyuwara sora.

Varian pertama, “swara saya ngreridhu”, merupakan perwujudan dari rasa


kesedihan itu sendiri. Di dukung oleh keadaan hutan yang sunyi membuat si aku
merasakan kegelisahan di hatinya. Varian ini divisualisasikan dengan sajak-sajak berikut

Swara sansaya ngreridhu


Nggrantes ngeres ing atiku
Tumapaking sikil iki
Kaya nglarani bumi
Lambe ndemimil wedi

Varian pertama ini menggambarkan sangat sensitifnya hati si aku, karena setelah
si aku merasakan kesedihan hutan di sekitarnya. Seakan-akan sedikit langkah dari si aku
akan menyakiti hutan. Varian kedua, “isih nyuwara sora”, merupakan perwujudan dari
suara hutan yang si aku dengar. Varian ini divisualisasikan dengan sajak-sajak berikut.
Byaaar, ketok mata
Wit gedhe ambruk tanpa daya
Nanging isih nyuwara sora
Iki pokalmu, manungsa

Varian ini menggambarkan bahwa si aku ketika berjalan di tengah hutan tiba-tiba
pohon di depannya tumbang. Semakin sedihlah si aku melihat pohon tumbang itu, dan
seolah si aku mendengar ratapan kesedihan si pohon yang menyalahkan manusia karena
sudah bertindak semena-mena terhadap hutan dan isinya. Setelah diketahui model dan
varian-variannya, matriks geguritan “Tangis Tengah Wana” ini dapat ditentukan, yaitu
“ratapan alam dan perasaan marah untuk manusia. Berdasarkan proses pembacaan,
masalah pokoknya dapat ditentukan sebagai berikut: Kesedihan ratapan hutan yang tidak
dapat diungkapkan, hanya dapat dipendam sendiri.

d. Hipogram: Hubungan Intertekstualitas

Setelah dibahas model, varian-varian, dan matriks, berikut ini akan dibahas
hubungan intertekstualitas. Dalam konsep Semiotika Riffaterre, geguritan biasanya baru
bermakna penuh dalam hubungannya (pertentangannya) dengan geguritan lain. Oleh
karena itu, perlu dicari hubungan intertekstualitasnya. Geguritan “Prahara” dan “Tangis
Tengah Warna” mempunyai pengarang yang sama. Dan jika ditelaah kembali isinya juga
hampir sama. Seakan geguritan “Prahara” dan “Tangis Tengah Wana” saling
berhubungan. “Tangis Tengah Warna”, bagaikan dampak asal mulanya “Prahara”.
Karena dari tindakan buruk manusia terhadap hutan, Tuhan akan marah dengan
memberikan bencana kepada manusia.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari dua analisis geguritan di atas dapat diambil kesimpulan, pengarang ketika membuat
suatu geguritan pasti memuat simbol-simbol yang tersembunyi untuk diungkapkan.
Sehingga sebagai pembaca kita harus bisa menerjemahkan simbol-simbol itu sendiri.
Pengarang ingin mengungkapkan sesuatu dengan cara menyamarkannya sebagai majas.

Anda mungkin juga menyukai