Disusun oleh :
Niswatun Aulia Hanifah
B0117042
Sastra Daerah
Mata Kuliah Semiotika
Alhamdulillahirabbil ‘alamin, rasa syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWAT, Tuhan yang
Maha Kuasa yang telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesehatan, kesempatan serta
pengetahuan sehingga makalah semiotika tentang ‘Analisis Dua Geguritan Berdasarkan Model
Riffaterre’ ini bisa selesai sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Saya berharap agar makalah ini bisa bermanfaat untuk menambah pengetahuan rekan-rekan
mahasiswa pada khususnya dan para pembaca umumnya tentang teori Riffaterre yang
merupakan salah satu bagian dari mata kuliah Semiotika.
Mudah-mudahan makalah sederhana yang telah berhasil saya susun ini bisa dengan mudah
dipahami oleh siapapun yang membacanya. Sebelumnya saya meminta maaf bilamana terdapat
kesalahan kata atau kalimat yang kurang berkenan. Serta tak lupa saya juga berharap adanya
masukan serta kritikan yang membangun dari pembaca demi terciptanya makalah yang lebih
baik lagi.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara umum semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan
luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Tanda itu sendiri
didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya
dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Konvensi yang memungkinkan suatu objek,
peristiwa, atau suatu gejala kebudayaan, menjadi tanda itu disebut juga sebagai kode sosial,
menurut Eco dalam Faruk (1994:43-44). Artinya tanda-tanda dari setiap objek, peristiwa
maupun kebudayaan memiliki makna yang tersirat dalam sebuah teks. Oleh karenanya
makna dalam karya sastra merupakan hal yang sangat penting.
Makna merupakan sebuah hal penting dalam sebuah teks karya sastra. Tanpa makna
teks dalam karya sastra tak memiliki arti apapun untuk dikaji menjadi sebuah
penelitian.Pentingnya mengupas sebuah makna ibarat kita menggali secara mendalam
dari setiap teks. Bahkan dalam kehidupan kitapun tak lepas dari makna kehidupan maupun
individual sehingga memperkenalkan kita pada hal yang diluar akal kita. Semiotik Riffaterre
merupakan teori yang tepat untuk memahami makna sebuah sajak. Pembahasan terhadap
makna sebuah sajak dengan teori semiotik Riffaterre menggunakan metode pembacaan yang
dilakukan melalui dua tahap pembacaan, yaitu pembacaan heuristik dan hermeneutik. Pada
pembacaan heuritik, setiap satuan linguistik yang digunakan dalam teks (sajak) diartikan
sesuai dengan konvensi bahasa yang berlaku, sedangkan pada tahap berikutnya, yaitu tahap
hermeneutik, makna teks (sajak) ditafsirkan sesuai dengan konvensi sastra dan budaya yang
melatarbelakanginya. Selanjutnya dicari matriks, model,varian dan hubungan
intertekstualnya. Dua geguritan yang akan dianalisis yaitu yang berjudul “Negeriku Negeri
Pangimpen” karya Tegar alfi S. dan “Ibu” karya Yossanti. Dua geguritan tersebut akan
dianalisis menggunakan teori model Riffaterre.
B. Rumusan Masalah
1) Bagaimana analisis penerapan teori model Riffaterre pada geguritan/puisi Jawa?
2) Bagaimana penilaian antar dua geguritan tersebut mengenai maknanya?
C. Tujuan
1) Untuk mengetahui analisis penerapan teori model Riffaterre pada geguritan/puisi
Jawa
2) Untuk memberikan penilaian makna dari dua geguritan yang menggunakan model
Riffaterre
D. Teori Dasar
Penjelasan sebelumnya telah menyebutkan bahwa semiotika Riffaterre ada empat langkah yang
harus dilalui yang akan di paparkan sebagai berikut:
1. Ekspresi tidak langsung (ketidaklangsungan ekspresi)
Dalam pembacaan puisi maupun kosa kata yang dipakai dalam puisi tidak ada makna
yang menggambarkan secara langsung. Pasti penggunaan kata-kata dalam puisi memiliki
makna yang di sampaikan dengan mengiaskan atau mengandaikan. Tentu melalui
proses pemaknaan masing-masing individu. Seperti yang Riffatterre kemukakan
dalam bukunya yang berjudul “semiotics of poetry” mengatakan bahwa puisi dari waktu ke
waktu senantiasa berubah. Perubahan itu disebabkan oleh perbedaan konsep estetik dan
evolusi selera. Namun ada satu hal yang tidak mengalami perubahan yakni puisi/geguritan
itu merupakan ekspresi tidak langsung (1978:1). Ekspresi tidak langsung menurut Riffaterre
diakibatkan oleh tiga hal yaitu displacing (penggantian), distorting (perusakan) dan creating
(penciptaan) of meaning (arti) (1978:1).
Penggantian arti (displacing of meaning)
Penggantian arti (displacing of meaning) adalah perubahan arti dari kata-kata
yang ada pada puisi tidak menggunakan arti yang sebenarnya. Biasanya puisi seperti itu
menggunakan majas. Majas yang digunakan dalam penggantian arti adalah metonimi dan
metafora. Dalam buku karangan Pradopo, Alterbernd menjelaskan bahwa metafora
adalah kiasan yang menyatakan sesuatu sebagai hal yang sama dengan sesuatu lain yang
sebenarnya tidak ada kaitannya sama sekali. Metonimi adalah kiasan pengganti nama
seperti Sungai Ciliwung yang diganti namanya dengan Sungai Kesayangan dalam sajak
Toto Sudarto Bachtiar (Setyarini, 2010: 22).
Perusakan atau penyimpangan arti (distorting of meaning)
Dikebanyakan puisi, kata-kata atau kalimat yang digunakan sering terjadi
sebuah penyimpangan arti yang di akibatkan tiga hal menurut Riffaterre, yakni
ambiguitas, kontradiksi dan nonsense (1978:2). Ambiguitas dapat terjadi pada kata, frasa,
kalimat, maupun wacana yang disebabkan oleh munculnya penafsiran yang berbeda-beda
menurut konteksnya. Kontradiksi adalah penggunaan kata-kata yang paradoks, ironi dan
antitheis. Sedangkan non-sense adalah kata-kata yang tidak mempunyai arti (sesuai
kamus) tetapi mempunyai makna “gaib” sesuai dengan konteks (Salam, 2009:4)
Penciptaan arti (Creating Of Meaning)
Hal ini terjadi karena disebabkan oleh adanya bentuk visual yang meliputi: rima,
dan tipografi (Riffaterre,1978:2). Artinya visualisasi dalam puisi mampu menciptakan
sebuah arti baru seperti, rima, emjambement dan tipografi yang membuat penciptaan arti
baru dalam puisi. Sehingga dalam pemaknaan dalam puisi terjadi pemaknaan baru
(creating meaning)
PEMBAHASAN
A. Sajian Data
Geguritan 1
PRAHARA
Dening : Sri Rahayu Yustina
Geguritan 2
B. Analisis Data
Analisis geguritan 1 “Prahara” karya Sri Rahayu Yustina. menggunakan model Michael
Riffaterre, sebagai berikut:
a. Ketidaklangsungan Ekspresi
Dalam ketidaklangsungan ekspresi ini diakibatkan oleh tiga hal yaitu:
1. Penggantian Arti (Displacing Of Meaning)
Dalam geguritan 1 yang berjudul “Prahara” tidak terdapat aliterasi. Asonansi
juga didominasi oleh huruf vokal a/a (ͻ). Misalnya pada baris ketiga, Dukita
kasandhang manungsa, Bareng katerak prahara (baris kedelapan), Lagi eling
marang Kang Maha Murbeng Dumadi (baris kesembilan), Kang nyedyani sabarang
(baris kesepuluh), Manungsa tanpa rasa nrima ati (baris kesebelas), Wayah rina
wengi ngoyak bandha (baris ketiga belas), Lali marang Kang Maha Kuwasa (baris
keempat belas), Sukma oncat saka angga (baris keenam belas).
Gaya bahasa atau majas yang digunakan dalam geguritan ini adalah gaya bahasa
simbolik, yaitu gaya bahasa yang menyamakan sepatah kata dengan kata atau nama
benda lain, terdapat pada baris terakhir: Sukma oncat saka angga. Maksud dari baris
ini ialah mati. Dan juga pada baris keempat: Kana kene gawe dosa, merupakan majas
sinisme yakni gaya bahasa yang mengungkapka sindiran secara kasar dan
umumnyadigunakan untuk mengkritik atau mencemooh sesuatu baik berupa
ide/maksud/rencana.
2. Penyimpangan Arti (Distorsing Of Meaning)
Menurut Riffaterre (dalam Pradopo, 1995:148) penyimpangan arti terjadi bila
dalam sajak ada ambiguitas, kontradiksi ataupun nonsense. Dalam geguritam 1 yang
berjudul “Prahara”, tidak ada hal-hal tersebut. Karena pengarang lebih banyak
menggunakan ungkapan langsung berupa sindiran sehingga terkesan sinis ataupun
sarkastik.
3. Penciptaan Arti (Creating Of Meaning)
Penciptaan arti dipengaruhi oleh sajak (rima), enjambemen, dan tipografi. Dalam
geguritan 1 hanya terdiri dari satu bait yang mana satu bait tersebut mempunyai 15
baris. Baris pertama sampai dengan baris kedelapan bersajak a-a-a-a-a-a-a,
sedangkan baris kesembilan sampai dengan baris terakhir bersajakan b-a-b-b-a-a-b-a.
Pada geguritan 1 tidak terdapat enjambemen. Sedangkan tipografi geguritan 1 dibuat
rata kiri.
b. Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik
1. Pembacaan Heuritik
Pembacaan heuritik, pada dasarnya merupakan interpretasi tahap pertama, yang
bergerak dari awal ke akhir teks sastra, dari atas ke bawah mengikuti rangkaian
sintagmatik. Pembacaan tahap pertama akan menghasilkan serangkaian arti yang
bersifat heterogen. Judul geguritan “Prahara” mengandung arti “Prahara”. Dalam
geguritan ini, pembacaan heuritik sebagai berikut:
2. Pembacaan Hermeneutik
Jika diambil makna secara keseluruhan, bahwasannya geguritan ini berisi tentang
kekecewaan pengarang terhadap sikap manusia di dunia, yang hanya mengejar
kesenangan dunia saja. Tetapi tidak memikirkan bahwasannya hidup di dunia hanya
sementara. Jika sudah mati, penyesalan akan menyelimuti diri mereka.
Baris-baris sajak di atas melukiskan akibat dari kelalaian manusia untuk tetap
beribadah kepada Tuhannya. Apapun situasi yang dialaminya, seharusnya tetap
meakukan kewajibannya menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya masing-masing.
Model “Lonjaking prahara ngambra-ambra” diekspansi ke dalam wujud varian-varian
yang menyebar ke seluruh sajak, yaitu (1) kana kene gawe dosa, (2) ngoyak bandha.
Varian pertama, “kana kene gawe dosa”, merupakan penyataan untuk menyindir
terlalu fokus dalam bekerja tanpa memperdulikan ibadah, hal itu tetap saja mendatangkan
dosa dan merupakan perbuatan yang sia-sia. Varian ini divisualisasikan dalam baris-baris
sajak berikut.
2. Pembacaan hermeneutik
Jika diambil makna secara keseluruhan, bahwasannya geguritan ini berisi tentang
kesedihan pengarang melihat hutan sekarang ini. Pengarang menggunakan pohon yang
seakan-akan berteriak menyalahkan manusia, karena tidak bertanggung jawab dengan
alam. Suasana kesedihan sangat terasa dalam geguritan ini.
c. Model, Varian-Varian, dan Matriks
Model dari geguritan “Tangis Tengah Wana” adalah nelangsa ngaru-ara, baris yang
mengawali suasana kesedihan yang amat sangat. Ketika si aku melewati tengah hutan,
suasana sedih terasa semakin kuat. Bentuk model “nelangsa ngaru-ara” ekuivalen
dengan baris-baris sajak yang terdapat pada geguritan “Tangis Tengah Wana” berikut
ini:
Varian pertama ini menggambarkan sangat sensitifnya hati si aku, karena setelah
si aku merasakan kesedihan hutan di sekitarnya. Seakan-akan sedikit langkah dari si aku
akan menyakiti hutan. Varian kedua, “isih nyuwara sora”, merupakan perwujudan dari
suara hutan yang si aku dengar. Varian ini divisualisasikan dengan sajak-sajak berikut.
Byaaar, ketok mata
Wit gedhe ambruk tanpa daya
Nanging isih nyuwara sora
Iki pokalmu, manungsa
Varian ini menggambarkan bahwa si aku ketika berjalan di tengah hutan tiba-tiba
pohon di depannya tumbang. Semakin sedihlah si aku melihat pohon tumbang itu, dan
seolah si aku mendengar ratapan kesedihan si pohon yang menyalahkan manusia karena
sudah bertindak semena-mena terhadap hutan dan isinya. Setelah diketahui model dan
varian-variannya, matriks geguritan “Tangis Tengah Wana” ini dapat ditentukan, yaitu
“ratapan alam dan perasaan marah untuk manusia. Berdasarkan proses pembacaan,
masalah pokoknya dapat ditentukan sebagai berikut: Kesedihan ratapan hutan yang tidak
dapat diungkapkan, hanya dapat dipendam sendiri.
Setelah dibahas model, varian-varian, dan matriks, berikut ini akan dibahas
hubungan intertekstualitas. Dalam konsep Semiotika Riffaterre, geguritan biasanya baru
bermakna penuh dalam hubungannya (pertentangannya) dengan geguritan lain. Oleh
karena itu, perlu dicari hubungan intertekstualitasnya. Geguritan “Prahara” dan “Tangis
Tengah Warna” mempunyai pengarang yang sama. Dan jika ditelaah kembali isinya juga
hampir sama. Seakan geguritan “Prahara” dan “Tangis Tengah Wana” saling
berhubungan. “Tangis Tengah Warna”, bagaikan dampak asal mulanya “Prahara”.
Karena dari tindakan buruk manusia terhadap hutan, Tuhan akan marah dengan
memberikan bencana kepada manusia.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari dua analisis geguritan di atas dapat diambil kesimpulan, pengarang ketika membuat
suatu geguritan pasti memuat simbol-simbol yang tersembunyi untuk diungkapkan.
Sehingga sebagai pembaca kita harus bisa menerjemahkan simbol-simbol itu sendiri.
Pengarang ingin mengungkapkan sesuatu dengan cara menyamarkannya sebagai majas.