Anda di halaman 1dari 4

Nama : Alvia Mustafidatus S

NIM : 03020420020

Prodi : Sastra Indonesia / 5A

KRITIK SOSIAL DALAM DRAMA EMPAT BABAK “LUKISAN MASA” KARYA


ARMIJN PANE

TEORI KRITIK SASTRA

Kritik sosial merupakan tanggapan dari realisasi kehidupan masyarakat yang


menyimpang dari kesetaraan hidup yang layak, seperti pada disorientasi sosial lingkungan hidup.
Dalam kritik sastra memiliki dua jenis yakni kritik sastra langsung dan kritik sastra tidak
langsung. Kiritk sastra seperti ini termasuk kritik sastra tidak langsung karena pengarang
membangun aspek sosial dari karya sastra. Kajian kritik sosial bertujuan untuk memecahkan
sekaligus memberi respon pembaca terhadap karya sastra yang didalamnya bersumber
problematika kehidupan seorang tokoh dalam masyarakat. Hal ini menandakan bahwa kritik
sosial memberikan terobosan baru terhadap perubahan sosial yang menjadi jembatan pokok
dalam gagasan lama maupun baru. Dengan melalui kritik sosial, dapat memberikan arahan
perubahan yang lebih baik dari sebelumnya. Dalam teori kritik sastra penelitian ini menerapkan
teori dari Soerjono Soekanto, yang meliputi: 1) kritik sosial kemiskinan, 2) kritik sosial
disorganisasi keluarga, 3) kritik sosial pendidikan, 4) kritik sosial lingkungan hidup, dan 5) kritik
sosial politik.

Drama empat babak “Lukisan Masa” ini dikarang oleh Armijn Pane yang mengisahkan
kondisi sosial era kolonial di Indonesia pada tahun 1930-an. Selain itu, terdapat sisi kemelut
ekonomi dengan sebutan zaman malaise. Dengan adanya zaman malaise, mengakibatkan
masalah sosial antar tokoh seperti kondisi perusahaan yang banyak gulung tikar sehingga banyak
karyawan pengangguran dan di PHK yang berdampak rasa takut untuk menikah karena
ketidakmampuan mencukupi ekonomi diri sendiri. Meskipun begitu, terdapat tokoh yang tetap
menikah pula tetapi bergantung pada ekonomi orangtua sehingga menimbulkan disorganisasi
keluarga.
HASIL PEMBAHASAN

Hasil pembahasan dalam teori Soekanto ini dapat diuraikan dengan pemaparan data sebagai
berikut.

1. Kritik sosial kemiskinan


Kemiskinan yatu kondisi yang terjadi kesulitan memenuhi kebutuhan hidup serta
kesulitan memperoleh akses pekerjaan yang ingin didapatkannya.
(data 1) SUPARMAN: “….Dahulu, dahulu aku hendak kelihatan, hendak timbul, hendak
teranjung, hendak jadi buah bibir orang. Sekarang, kini hendak terpendam, hilang, hilang,
lenyap, tiada orang tahu…..”
Kutipan diatas menunjukkan bahwa tokoh Suparman yang notabene pernah
menempuh kuliah di Rotterdam, namun karena dirinya lebih mementingkan dunia
perpolitikan, pendidikannya jadi tak terurus yang membuatnya tidak mendapatkan ijazah.
Karena tak mempunyai ijazah, Suparman akhirnya kesulitan memperoleh pekerjaan, ia
berulang kali melamar sana-sini tetap tidak ada yang menerimanya, karena pada dasarnya
semua perusahaan tinggi akan membutuhkan ijazah S1. Ia menjalani kehidupan sebagai
pengangguran yang membuatnya tekanan mental dan menganggap dirinya tidak berharga
sekaligus merasa tidak dibutuhkan orang-orang sekitar. Hal ini menunjukkan bahwa mindset
tokoh Suparman terlihat dirinya terjerumus sistem hedon dan tidak berani keluar dari zona
nyaman. Ia lebih mengharapkan diterima di perusahaan besar karena gaji yang menjanjikan
akan membuatnya hidup kaya.

2. Kritik sosial disorganisasi keluarga


Disorganisasi keluarga terjadi adanya konflik antara anggota keluarga karena salah
satu tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarga atau bergantung pada ekonomi dari salah satu
anggota keluarga baik dari suami istri, anak maupun orangtua.
(data 2) DOKTER SUMARJO: “Itu dia. Katanya meester in de rechten, nah lihat, kerja
tiada.
PUSPOHADI: “Bukan Sarti dahulu kawin, bakal suaminya masih sekolah juga.”
DOKTER SUMARJO: “Ya, tapi Sarti bekerja jadi guru.”
IBU HARSINI: “Tapi kemudian, waktu hendak beranak, keluar.”
DOKTER SUMARJO: “Kemudian lakinya kelar, pekerjaan tiada dapat, menumpang di
rumah mertuanya, aku ini.”
Konteks dialog diatas mendeskripsikan adanya nilai hidup buruk di kalangan muda
era pra kemerdekaan. Dokter Sumarjo sebagai ayah Sarti bercerita kini anaknya telah
menikah dengan seorang pemuda bernama Mr. Abutalib. Kini kondisi si laki-laki tersebut
hanya menganggur dan mau bagaimana pun seorang istri lah yang mencari nafkah untuk
kebutuhan keluarga kecilnya. Sosok Sarti disini menjadi wanita yang tangguh dan mandiri
meskipun dirinya dididik manja oleh orang tuanya. Hal ini timbul kritikan dari seorang
mertua ketika membicarakan persoalan menantunya kepada tetangganya. Meskipun dirinya
seorang dokter yang mempunyai penghasilan tinggi, namun sebagai orang tua dengan penuh
harap suami anaknya yang harus bertanggung jawab sebagaimana dia telah memberikan
kebahagiaan kepada anak perempuannya semaksimal mungkin dan menyuruh menantunya
berusaha mencari pekerjaan. Tidak hanya mengandalkan alasan karena mertua seorang
dokter yang bisa menjamin kebutuhan hidupnya mendatang, melainkan nilai moral serta
kewajiban seorang suami yang harus mencari nafkah untuk keluarga demi kebahagiaan hidup
istrinya.
3. Kritik sosial pendidikan
(data 3) PUSPOHADI: “Sebenarnya salah kita juga. Kita didik dia hidup besar, kemudian
susah melepaskannya.”
DOKTER SUMARJO: “Disekolahkan, habis sekolah menganggur. Kita orang tua yang
terus membantu. Tiada disekolahkan, semakin celaka lagi.”
Dialog percakapan diatas menggambarkan pembicaraan mengenai tokoh Puspohadi sebagai
orang tua yang salah kaprah dalam mendidik anak. Dimana orang tua terlalu memanjakan
serta membebaskan kemauan sang anak sehingga ia tumbuh besar menjadi pribadi yang
lembek dan tidak mau menerima keadaan yang serba kesulitan ini. Selain itu, tokoh Dokter
Sumarjo mengatakan hal demikian, bahwa banyak kalangan muda yang menganggur selepas
masa sekolah karena sedikitnya lowongan pekerjaan dan juga gaya hidup malas yang hanya
mengandalkan ekonomi orang tua serta mengharapkan pemerintah untuk memperbaiki
tatanan ekonomi ini karena pada masa itu sedang digempar era zaman malaise. Kondisi lain
juga menyangkut adanya ketidakcakapan orang tua dalam menasehati kaum muda. Maka dari
itu, cerminan kalangan muda dahulu tidak jauh berbeda dengan masa sekarang dimana
mereka tidak dapat memilih arah hidupnya sendiri.
4. Kritik sosial lingkungan hidup
(data 4) MARTONO: “Kolot? Modern! Coba pikir, apa perlunya perempuan bekerja
sendiri. Pekerjaan sudah sedikit, lalu perempuan menjadi concurrent pula. Coba lihat di
kantor kami, berapa anak gadis bekerja. Andainya mereka tinggal di rumah, bukan
tempatnya boleh diisi oleh laki-laki? Jadi berkurang jumlah penganggur.”
Kutipan data diatas menunjukkan diskriminasi terhadap stereotipe kaum perempuan
bahwa adanya ketimpangan sosial antara feminim dengan maskulin. Hal ini Martono
mengungkapkan kritikannya terhadap seorang prerempuan yang kini banyak bekerja di
kantor dan ideologi Martono merupakan bentuk penyimpangan dari pandangan feminitas.
Menurutnya perempuan lebih dominan di rumah sebagaimana mestinya menjadi ibu rumah
tangga yang melakukan 3M (memasak, membuat anak, mengurus suami). Tokoh Martono
mengkritik batasan perempuan terjun ke ranah publik untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Para perempuan bekerja menjadikan dirinya wanita yang berkualitas dan kebanyakan dari
mereka tidak memikirkan hal perkawinan karena dirasa ekonomi yang didapatkannya cukup
untuk kebutuhan hidupnya. Tokoh Martono pun menganggap bahwa jika di lingkungan
pekerjaannya tiada banyak para wanita yang bekerja, pasti berkurang angka pengangguran
laki-laki yang termasuk dirinya akan mudah mendapatkan pekerjaan. Nilai hidup seperti ini
bagaimana pun, karakter kaum muda tidak berkembang dengan sendirinya.
5. Kritik sosial politik.
(data 6) KARTONO: “……Ada kubaca tadi dalam surat kabar ini. Mulai lagi masa baik. Di
tahun 1937 ini habislah malaise. Jadi habislah itu semuanya.”
SUPARMAN: “…..Meskipun datang masa baik, bukanlah bagi orang seperti aku ini. Lima
tahun malaise merajalela; siapa yang belum mendapat kedudukan dalam masa itu, meskipun
datang masa baik, dia tiada terhitung lagi.”
Kritik diatas mendeskripsikan adanya gejala sosial politik yang terjadi pada era pra
kemerdekaan dahulu. Para kaum muda hanya terus membicarakan permasalahan zaman
malaise tanpa dirinya berkembang dan mengubah pola gaya hidup. Hal ini karakter mereka
dibentuk berdasarkan asuhan pemerintahan serta lingkungan hidupnya.

Anda mungkin juga menyukai