Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Berbahasa merupakan salah satu komponen terpenting dalam proses


keberlangsungan interaksi manusia. Manusia sangat membutuhkan bahasa dalam
berkomunikasi untuk menyalurkan pikirannya dengan lawan tutur dan berkembang menjadi
bahasa yang beragam. Dari tujuan bahasa kepada manusia dapat disisipkan bahwasanya
bahasa terdapat objek yang memiliki suatu fungsi secara dua kajian, yakni kajian internal
dan eksternal. Kajian melalui internal yaitu analisis kajian yang dilakukan oleh struktur
dalam bahasa, seperti fonologi, morfologis, sintaksis, dan semantik. Penggunaan kajian
internal ini berlaku sesuai aturan dan ketentuan yang sudah ada dalam interdisipliner.
Sementara dalam kajian eksternal yaitu analisis kajian yang dilakuan secara terarah yang
berada di luar bahasa, seperti psikolinguistik, sosiolinguistik, neurolinguistik, dan jajaran
lainnya. Berdasarkan uraian dalam kedua kajian tersebut, penulisan makalah ini hanya
memfokuskan pada salah satu kajian internal bahasa yaitu semantik.

Semantik adalah salah satu bagian dari unsur-unsur bahasa yang berkaitan dengan
tataran makna. Menurut Chaer (1989:60), semantik merupakan hubungan antara kata
dengan konsep atau makna dari kata tersebut, serta benda atau hal-hal yang dirujuk oleh
makna itu yang berada diluar bahasa. Makna dari sebuah kata, ungkapan atau wacana
ditentukan oleh konteks yang ada. Makna adalah maksud pembicaraan, pengaruh satuan
bahasa dalam pemahaman persepsi, serta perilaku manusia atau kelompok
(Kridalaksana, 2001:1993). Maka dari itu, berdasarkan penulisan makalah ini membahas
tentang pandangan dan pendekatan yang berhubungan dengan kajian tentang makna
dalam bidang semantik. Dari pengkajian semantik ini melalui penyelarasan dari
pandangan filosofis. Hasil kajian pandangan-pandangan filosofis para ahli filsafat
(filosof) dan ahli bahasa (linguis) terhadap bahasa ada tiga pandangan filosofis yang
dikaji dalam tulisan ini, yaitu pandangan realisme, nominalisme, dan konseptualisme.
Selain itu, metode pendekatan yang berkaitan dengan kajian makna diantaranya yaitu,
pendekatan referensial, pendekatan struktural, pendekatan idealisme, dan pendekatan
behavioral.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa hakikat kajian makna dalam semantik?
2. Bagaimanakah kajian makna dari pandangan realisme?
3. Bagaimanakah kajian makna menurut pandangan nominalisme?
4. Bagaimanakah kajian makna menurut pandangan konseptual?
5. Apa saja jenis-jenis pendekatan yang digunakan dalam kajian makna?

1.3. Tujuan Penelitian


Dari perincian rumusan masalah pada makalah ini, tujuan dari penulisan makalah
semantik adalah untuk:
1. Dapat mengetahui hakikat kajian makna dalam bidang semantik
2. Dapat memahami tentang kajian makna dari pandangan realisme.
3. Dapat memahami tentang kajian makna menurut pandangan nominalisme.
4. Dapat memahami tentang kajian makna menurut pandangan konseptual.
5. Dapat menambah wawasan terkait jenis-jenis pendekatan yang digunakan dalam
kajian makna.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Hakikat Kajian Makna

Kajian makna bahasa merupakan sebuah pengkajian ilmu semantik yang tidak dapat
dilepaskan dari dorongan pemikiran filosofis. Maka dari itu, kajian makna dapat dilakukan
dengan diatur dan terstruktur pada pandangan-pandangan filosofis. Pandangan filosofis
merupakan pemikiran filosofis yang berhubungan dengan studi kajian linguistik yang
mencakup hakikat kaitan antara bahasa yang komponennya makna dan bunyi dengan dunia
luar serta gagasan pengguna bahasa. Kajian seperti ini dalam filsafat dikenal dengan istilah
filsafat linguistik (philosophy of linguistics) yang merupakan cabang filsafat. Sebagai suatu
filsafat, pemikiran filosofis memusatkan perhatian pada kajian tentang hakikat realitas bahasa
dalam kaitannya dengan entitas-entitas yang berada di dunia luar dan pikiran manusia
sebagai pemakai dan pengembang bahasa. Hasil kajian pandangan-pandangan filosofis para
ahli filsafat (filosof) dan ahli bahasa (linguis) terhadap bahasa. Ada tiga pandangan filosofis
yang dikaji dalam tulisan ini, yaitu pandangan realisme, nominalisme, dan konseptualisme.

2.2 Kajian Makna Menurut Pandangan Realisme

Kata realisme berasal dari gabungan kata “real” yang mempunyai makna yaitu nyata
atau ada, dan “isme” mempunyai makna yaitu ajaran atau keyakinan. Kata “real”
menujukkan sesuatu yang nyata dan dapat dirasakan oleh panca indera, yang didukung
dengan kata “reality” yang berarti kenyataan. Realisme merujuk pada doktrin atau ujaran
bahwa objek-objek yang dapat diraba oleh pancaindera adalah nyata (real) dalam wujudnya
yang dapat dimaknai beberapa poin berikut:

1) kecenderungan berpikir dan bertindak dalam sesuatu yang berwujud apa adanya; paham
yang selalu mengacu pada fakta dan realitas;
2) paham yang menekankan segi objektivitas dan keilmiahan, menolak subjektivitas dan
sesuatu yang spekulatif (Titus, 1959: 257).
Salah satu hal yang orang tidak mengerti paham realisme adalah bahwa seluruh dunia
berada di bawah ancaman dari aktivitas manusia (pikiran manusia). Meskipun demikian,
kaum realis dalam pandangannya mengakui adanya bentuk-bentuk realitas berupa peristiwa-
peristiwa mental dan entitas-entitas mental yang dibedakan dari suatu gagasan karena
acuannya adalah objek nyata. Dalam pernyataan sebelumnya, jelas bahwa pemahaman
realisme memiliki dua implikasi: 1) mengenali dan menekankan tikungan tertentu sebagai
realitas yang berasal dari persepsi manusia; dan 2) mengembangkan metode berpikir atau
gagasan yang menekankan hubungan dengan tikungan tertentu. Pandangan realisme berhasil
membuat pembahasan tentang makna bahasa alamiah yang mengingat pembahasan tentang
makna bahasa. Dalam hal ini sistem bahasa secara keseluruhan tidak terlepas dari kaitannya
dengan realitas-realitas yang berada di dunia. Bentuk keterkaitan antara makna dan
pemaknaan terhadap bahasa dengan realitas tersebut selalu mewarnai teori-teori makna sejak
dulu.

Menurut pandangan realisme, terutama realisme moderat, bahasa di dalam dan di


tempat-tempat di dunia selalu menunjukkan hubungan dengan langsung. Misalnya, dalam
pandangan ini, fokusnya selalu pada objek-objek yang berada di negara lain. Dalam konteks
ini, makna kata atau makna kalimat terletak pada hakikian antara makna kata atau makna
kalimat dengan wujud atau objek yang dimaknai. Dalam teori jaringan semantik, jenis
koneksi ini disebut sebagai koneksi referensial, yaitu proses menganalisis kata atau angka
dan kemudian menghubungkannya ke dunia di luar bahasa aslinya (objek, entitas, atau
gagasan).

2.3 Kajian Makna Menurut Pandangan Nominalisme

Nominalisme berasal dari kata “nomen/names” yang artinya istilah atau nama.
Nominalisme merupakan ajaran yang menunjukkan peristilahan dengan mengacu pada
definisi filsafat bahasa. Pandangan filosofis yang mengacu pada teori-teori pengkajian makna
sebagai bentuk penegasan ekspresi bahasa lainnya dengan bertujuan menamai benda-benda
dan melekatkan kata-kata yang tidak dihubungkan dengan benda yang dinamainya
merupakan sebuah pengertian dari pandangan nominalisme. Dalam hal ini menunjukkan
bahwa pandangan nominalis tidak menerima adanya hubungan yang hakiki antara kata-kata
dengan objek yang didasari. Sebagaimana pandangan ini didasarkan pada konvensi yang
berisi aturan-aturan penggunaan yang diiringi oleh penutur bahasa. Maka dari itu, pemaparan
makna kata atau kaimat tidak bersifat individu melainkan bersifat kolektif. Dalam pemberian
makna bahasa, pandangan nominalisme ini lebih menekankan pada fungsi bahasa sebagai
simbol bahasa yang dipakai untuk menandai entitas-entitas luar bahasa yang tidak
merelasikannya secara langsung dengan entitas yang diberi pemaknaan oleh bentuk bahasa.
Pandangan nominalisme ini dikenal dalam teori semantik yang bersifat behavioral yang
artinya pengkajian makna bahasa dalam tutur bahasa secara langsung dalam situasi dan
kondisi sosial tertentu.

2.4 Kajian Makna Menurut Pandangan Konseptualisme

Konseptualisme berasal dari kata “concept” yang merupakan penggunaan bahasa


Inggris dapat diartikan sebagai konsep, rancangan, bagian, atau pengertian. Dari kata
“konsep” ini berkaitan dengan kata “konsepsi” yang maknanya suatu gambaran yang ada
dalam pikiran atau rancangan. Dapat dilihat dari kata konseptualisme yang berarti mengarah
pada suatu aliran yang memprioritaskan peran konsep. Sebagaimana dalam melakukan
pengkajian perkembangan teori-teori makna bahasa, dapat dimulai dari teori yang sangat
tradisional yang berhubungan dengan konsep sebagai perantara pemaknaan antara kata dan
benda hingga ke teori yang lebih modern yang lebih menekankan konsep sebagai peran
sumber makna bahasa yang diatur oleh konseptualisasi dalam pikiran penutur bahasa dengan
didominasi oleh teori semantik. Menurut (Chomsky dalam Katz, 1985: 14) teori ilmu bahasa
dalam pandangan konseptualisme ini selalu mengakui bahwa realitas bahasa berada dalam
keadaan psikologis (psychological states) penuturnya. Maka dari itu, penjabaran makna
mendasar pada pandangan ini dengan memposisikan pengertian makna bahasa, baik
menyangkut makna kata maupun makna kalimat yang timbul dalam pikiran penutur bahasa
tanpa memfokuskan hubungannya dengan realitas objek di luar bahasa. Kecenderungan
seperti ini tampak jelas dalam pengertian makna berikut: “makna bahasa, baik makna kata
maupun makna ekspresi lainnya, adalah konsep yang diasosiasikan dengan kata itu dalam
akal budi (mind) pemakai bahasa dan tidak mempunyai wujud tersendiri di luarnya. Dengan
demikian, dalam pandangan kaum konseptualis makna bahasa seluruhnya ditentukan oleh
asosiasi dan konseptualisasi pemakai bahasa yang terlepas dari dunia luar bahasa.

2.5 Jenis Pendekatan Dalam Kajian Makna


A. Kajian makna berdasarkan pendekatan referensial
Dari penegasan (Alston dalam Feisal, 1991: 17) pendekatan referensial yaitu
suatu pernyataan yang mempunyai makna dimana ujaran itu saling berhubungan dengan
konteks luar bahasa, baik yang bersifat konkret maupun abstrak. Sehingga pendekatan
referensial melahirkan dua variasi yaitu (a) varian yang menegaskan bahwa makna suatu
ujaran atau ekspresi adalah apa yang diacu oleh ujaran atau ekspresi itu sendiri. Dalam
varian ini makna ekspresi ditentukan oleh hubungan langsung antara ujaran atau ekspresi
dengan referennya (objek, entitas, atau peristiwa di luar bahasa), (b) varian yang
menyatakan bahwa makna suatu ujaran atau ekspresi adalah identifikasi bentuk hubungan
antara ujaran atau ekspresi dengan referennya. Menurut Alston, pandangan yang pertama
kurang memadai karena dalam kenyataan sering terdapat dua ekspresi yang bermakna
berbeda, tetapi memiliki referen yang sama. Misalnya kata meja dan kursi termasuk kata
yang bermakna referensial karena keduanya mempunyai referen, yaitu sejenis perabot
rumah tangga yang disebut “meja” dan “kursi”.
B. Kajian makna berdasarkan pendekatan struktural
Kajian makna berdasarkan pendekatan struktural ini berpedoman pada pandangan
strukturalisme Saussure yang dipengaruhi dari pandangan filsafat realisme. Berbagai
macam pengaruh dari pendekatan strukturalisme yaitu bentuk (form) dan substansi
(substance), serta dikotomi sistem bahasa (langue) dan tuturan (parole). Bentuk (form)
yang dimaksud adalah struturalisasi makna bahasa yang menerapkan sistem relasi
dengan penggabungan makna dan bunyi. Substansi (substance) yaitu ruang medium
yang dapat dipakai sebagai pengungkapan bahasa lisan maupun tulisan. Langue
didefinisikan sebagai sistem bahasa yang dimiliki oleh seluruh masyarakat pengguna
bahasa, sedangkan parole dimaknai sebagai tuturan bahasa yang sifatnya cenderung
menerapkan pola bunyi yang dipilih sendiri (individual), tetapi tetap berpedoman pada
bahasa masyarakat yang digunakan. Struktur bunyi berasal dari struktur yang ditentukan
oleh sistem bahasa atas substansi bunyi dan makna. Dalam kaitan ini, makna bahasa
secara keseluruhan digambarkan dalam implikasi timbal balik antara citra bunyi dengan
makna yang menjelma dalam tanda (sign). Bila implikasi timbal balik ini terjadi,
masing-masing disebut signifier (kata yang merujuk pada realitas benda atau objek) dan
signified (entitas, realitas benda atau objek yang dimaknai).
C. Kajian makna berdasarkan pendekatan ideasional
Kajian makna berdasarkan pendekatan ideasional mengkaji tentang makna bahasa
yang berperan sebagai konsep yang berada dalam pikiran penutur bahasa. Pendekatan
ideasional banyak diterapkan oleh pandangan konseptualisme yang sebagai arti suatu
paham yang memprioritaskan peran konsep dalam pemaknaan bahasa. Pada teori
semantik ini pendekatan ideasional cenderung mengabaikan mengabaikan makna pada
aspek bunyi, kata, dan frasa. Hal ini telah diungkapkan oleh Katz (1971: 24) bahwa
penanda semantis dari bunyi, kata, dan frasa sebagai unsur pembangun kalimat dapat
langsung diidentifikasi melalui kalimat. Pendekatan idealisme berpijak pada fungsi
bahasa sebagai media dalam mengolah pesan dan menerima informasi. Dalam
pendekatan ini makna diartikan sebagai gambaran gagasan dan suatu bentuk kebahasaan
yang bersifat sewenang-wenang, tetapi memiliki konvensi sehingga dapat saling
dimengerti. Dengan demikian, pendekatan ini mengaitkan makna dengan kegiatan
menyusun dan menyampaikan gagasan melalui bahasa (bagaimana menyampaikan
makna melalui struktur kebahasaan tanpa mengabaikan keselarasan hubungannya
dengan realitas). Menurut pendekatan ini, “kata” memiliki potensialitas makna yang
bermacam-macam setelah berada dalam komunikasi. Seperti pada kalimat “air teh ini
panas”. Kalimat tersebut bermakna air teh panas. Kalimat “anak itu baik”, kata “baik”
tidak hanya diartikan tidak jahat, dan juga tidak dapat diartikan jujur, karena tidak jahat
dan jujur hanya ciri dari sifat baik.
D. Kajian makna berdasarkan pendekatan behavioral
Kajian makna berdasarkan pendekatan behavioral lebih dipusatkan pada hal-hal
yang melibatkan penggunaan bahasa dalam proses komunikasi atau pada makna ekspresi
bahasa dalam situasi tuturan tertentu. Oleh karena itu, menurut pendekatan ini analisis
makna bahasa ditekankan pada penggunaan bahasa dalam konteks, situasi, dan kondisi
tertentu. Jika dilihat kesejajarannya dengan pandangan filosofis, kajian makna yang
berdasarkan pendekatan behavioral ini mendapat pengaruh dari pandangan nominalisme,
yaitu pandangan yang menyatakan bahwa hubungan antara bahasa dengan dunia tuar
bersifat manasuka (arbitrer). Meskipun penentuannya seperti itu, kajian makna dengan
pendekatan behavioral didasarkan atas adanya konvensi berupa aturan-aturan
penggunaan bahasa yang diikuti oleh pemakai bahasa.
Misalnya, satuan ujaran yang berbunyi “Masuk!” dapat berarti
a) ‘di dalam garis’ bila muncul dalam permainan bulu tangkis;
b) ‘berhasil’ bila muncul dalam permainan lotere;
c) ‘silakan ke dalam’ bila diujarkan oleh tuan rumah kepada tamu;
d) ‘hadir’ bila diujarkan oleh mahasiswa yang dipresensi dosen.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Ada tiga pandangan tentang hubungan antara makna dengan dunia luar, yaitu:
pandangan realisme, nominalisme, dan konseptualisme. Pandangan realisme beranggapan
bahwa terhadap wujud dunia luar manusia selalu memiliki jalan pikiran tertentu. Makna kata
dengan wujud yang dimaknai selalu memiliki hubungan yang hakiki. Menurut pandangan
nominalisme, hubungan antara makna kata dan dunia luar bersifat manasuka atau arbitrer,
tetapi dilatari konvensi (kesepakatan). Oleh karena itu, penunjukan makna kata tidak bersifat
perseorangan, melainkan bersifat kolektif (memiliki kebersamaan). Menurut pandangan
konseptualisme, pemaknaan sepenuhnya ditentukan oleh adanya asosiasi dan konseptualisasi
pemakai bahasa, terlepas dari dunia luar yang diacunya. Ketiga pandangan filosofis di atas
turut melahirkan pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam memahami makna.
Pandangan realisme melahirkan pendekatan referensial dan struktural, pandangan
konseptualisme melahirkan pendekatan idealisme, dan pandangan nominalisme melahirkan
pendekatan behavioral. Pendekatan referensial dan struktural berpijak pada fungsi bahasa
sebagai wakil realitas yang menyertai proses berpikir manusia. Dalam pendekatan referensial
dan struktural, makna diartikan sebagai label yang berada dalam kesadaran manusia untuk
merujuk (menunjuk) dunia luar. Makna hadir karena adanya kesadaran pengamatan terhadap
fakta dan penarikan simpulan yang keseluruhannya berlangsung, baik secara objektif maupun
subjektif.
Dengan demikian, pendekatan ini mengaitkan makna dengan masalah nilai serta
proses berpikir manusia dalam memahami realitas melalui bahasa secara benar. Hal ini
terjadi karena manusia adalah makhluk berpikir dan pencari makna mengolah makna suatu
realitas. Misalnya, berdasarkan kesadaran pengamatan dan penarikan simpulan, kata “hujan”
tidak hanya merujuk pada air yang turun dari langit, tetapi juga merujuk pada "rahmat",
"kegagalan", atau "hambatan". Pendekatan idealisme berpijak pada fungsi bahasa sebagai
media dalam mengolah pesan dan menerima informasi. Dalam pendekatan ini makna
diartikan sebagai gambaran gagasan dan suatu bentuk kebahasaan yang bersifat sewenang-
wenang, tetapi memiliki konvensi sehingga dapat saling dimengerti. Dengan demikian,
pendekatan ini mengaitkan makna dengan kegiatan menyusun dan menyampaikan gagasan
melalui bahasa (bagaimana menyampaikan makna melalui struktur kebahasaan tanpa
mengabaikan keselarasan hubungannya dengan realitas). Menurut pendekatan ini, “kata”
memiliki potensialitas makna yang bermacam-macam setelah berada dalam komunikasi.
Pendekatan behavioral berpijak pada fungsi bahasa sebagai fakta sosial yang mampu
menciptakan berbagai bentuk komunikasi. Pendekatan ini mengkaji makna dalam peristiwa
ujaran (speech event) yang berlangung dalam situasi tertentu (speech situation). Dengan
demikian, pendekatan ini mengaitkan makna dengan fakta pemakaian bahasa dalam konteks
sosio-situasional.

3.2 Saran

Anda mungkin juga menyukai