Anda di halaman 1dari 12

TEORI SEMANTIK

Diajukan untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah: Semantik Al-Qur’an

Dosen Pengampu: Syamsuni, MA

oleh :

Mutia Rahmah (190103020101)

Rizali Rahman (190103020100)

Raudatul Husna (190103020210)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI

FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

BANJARMASIN

2021M/1443H
PENDAHULUAN

Teori semantik digunakan untuk mengkaji makna kata dalam Al-Qur’an yang sudah
sepatutnya pula para mufasir menggunakan teori ini sebagai salah satu metode untuk
menafsirkan Al-Quran. Teori semantik ini merupakan metode yang dianggap sebagai suatu
yang baru dalam menafsirkan Al-Qur’an. Teori semantik dalam hal ini merupakan sebuah
ilmu analitik terhadap suatu bahasa yang pada akhirnya bisa dipahami secara konseptual oleh
masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut.1

Untuk dapat menentukan makna dari sesuatu, maka kita harus memahami pengertian
makna itu sendiri sebagai dasar dari analisis. Oleh karena itu, teori dasar untuk dapat
memahami makna adalah teori semantik. Pada kali ini kami akan memberikan penjelasan
tentang beberapa teori semantic, antara lain: teori referensial, teori konseptual, teori
behavioristik, teori kontekstual, dan teori medan makna.

1
Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik Terhadap Alquran, terj. Agus
Fahri Husein, dkk. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), 1.

1
PEMBAHASAN
A. Pengertian Semantik
Kata semantik berasal dari bahasa Yunani sema yang berarti tanda atau
lambang. Dalam bahasa Yunani, ada beberapa kata yang menjadi dasar kata semantik
yaitu semantikos (memaknai), semainein (mengartikan), dan sema (tanda). Sema juga
berarti kuburan yang mempunyai tanda yang menerangkan siapa yang dikubur
disana.2
Adapun secara istilah semantik adalah ilmu yang menyelidiki tentang makna,
baik yang berkaitan dengan hubungan antar kata-kata dan lambang-lambang dengan
gagasan atau benda yang diwakilinya, maupun berkaitan dengan pelacakan atas
riwayat makna-makna itu beserta perubahan-perubahan yang terjadi atasnya atau
disebut juga semiologi.3 Semantik juga berarti studi tentang hubungan antara simbol
bahasa (kata, ekspresi, frase) dan objek atau konsep yang terkandung di dalamnya,
semantik menghubungkan antara simbol dengan maknanya.
Kata semantik, sebenarnya merupakan istilah teknis yang mengacu pada studi
makna. Makna yang dimaksud disini adalah makna bahasa, baik dalam bentuk
morfem, kata, atau kalimat. Morfem boleh saja memiliki makna, misalnya
reaktualisasi, yang maknanya perbuatan mengaktualisasikan kembali. Coseriu dan
Geckeler mengatakan bahwa istilah semantik mulai populer tahun 50-an yang
diperkenalkan oleh sarjana Perancis yang bernama M. Breal pada tahun 1883.4
Semantik lebih dikenal sebagai bagian dari struktur ilmu kebahasaan
(linguistik) yang membicarakan tentang makna sebuah ungkapan atau kata dalam
sebuah bahasa. Bahasa sendiri menurut plato adalah pernyataan pikiran seseorang
dengan perantara onomate dan rhemata yang merupakan cerminan dari ide seseorang
dalam arus udara lewat mulut. Dalam pengertian ini, bahasa terkait dengan kondisi
sekitar pemakainya sehingga makna dari sebuah kata (ucapan) terkait erat dengan
orang yang mengucapkan dalam konteks diketahu latar belakang sang penutur ketika
dia mengucapkan kata tersebut agar bisa dibedakan dengan pemakai yang lain.
Slamet Muljana menyatakan bahwa yang dimaksud dengan semantik adalah
penelitian makna kata dalam bahasa tertentu menurut sistem penggolongan. Semantik
dapat menampilkan sesuatu yang abstrak, dan apa yang ditampilkan oleh semantik

2
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), 981.
3
Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan (Jakarta: LPKN, 2006), 1016.
4
Mansoer Pateda, Semantik Leksikal (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), 3.

2
dalam hubungan sekedar membayangkan kehidupan mental pemakai bahasa.
Semantik dalam hubungannya dengan sejarah, melibatkan sejarah pemakai bahasa
(masyarakat bahasa). Bahasa berubah, berkembang tidak luput dari suatu hal yang
mempengaruhinya.5
Semantik juga diartikan sebagai kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci
suatu bahasa dengan suatu pandangan yang akhirnya sampai kepada pengertian
konseptual atau pandangan dunia masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut,
tidak hanya sebagai alat bicara dan berfikir, tetapi yang lebih penting lagi
pengkonsepan dan penafsiran yang melingkupinya.6
Jadi semantik lebih berfokus pada kajian data, bukan bahasa secara umum.
Kata sendiri merupakan bagian dari bahasa dimana huruf adalah bagian terkecilnya.
Huruf yang terangkai menjadi frase dan bergabung hingga memiliki suatu rangkaian
yang bermakna, merupakan sebuah simbol yang terdapat dalam bahasa. Ketika
rangkaian huruf dan frase memiliki makna, maka ia disebut sebuah kata. Dalam
perjalanan sejarah perkembangannya, kata yang awalnya hanya memiliki satu makna
asli (dasar) mengalami perluasan hingga memiliki beberapa makna. Hal ini yang
menjadi fokus metode semantik dalam mengungkapkan konsep-konsep yang terdapat
di dalam Al-Qur’an.
B. Teori Semantik
Berbagai macam teori semantik yang telah dikemukakan orang dalam
berbagai buku semantik, yaitu:
1. Teori Referensial (Al-Nazhariyyah Al-Isyariyyah)
Teori Referensial ini kemunculannya dianggap paling awal sebagai teori
semantik dalam menjelaskan dan menguraikan makna. Pengikut yang mendukung
teori ini mereka berpandangan bahwa makna kata adalah apa yang di tunjukkan
atau yang di acu oleh alam nyata.
Teori referensial ini mengartikan makna sebagai label yang berada dalam
kesadaran manusia untuk merujuk dunia luar. Makna hadir disebabkan oleh
adanya kesadaran pengamatan terhadap fakta dan penarikan kesimpulan yang
keseluruhnya berlangsung baik itu secara objektif maupun subjektif dalam
mengkaji makna.

5
J. D. Parera, Teori Semantik (Jakarta: Erlangga, 1990), 27.
6
Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik terhadap al-Qur‟an ....,3.

3
Teori referensial ini lebih menekankan kepada fakta sebagai objek dari
kesadaran pengamatan dan penarikan kesimpulan secara individual. Teori ini
mengaitkan dengan masalah nilai serta proses berfikir manusia dalam memahami
realitas melalui bahasa secara benar, hal tersebut terjadi dikarenakan manusia
adalah makhluk berpikir, sebagai pencari makna dan mengolah makna.
Suatu realitas atau acuan bisa berupa entitas benda, peristiwa, proses, atau
kenyataan. Entitas ditunjukkan oleh lambang jadi kalau ada mengatakan masjid
maka yang ditunjuk oleh lambang tersebut adalah tempat umat Islam menjalankan
aktivitas beribadah seperti sholat, zikir dan hal yang berkaitan dengan
peribadahan lainnya. Masjid langsung dihubungkan dengan acuannya tidak
mungkin timbul asosiasi yang lain bagi mereka yang pernah melihat masjid atau
yang pernah beribadah di masjid, tentunya sangat mudah dipahami apa yang
dimaksud dengan masjid sehingga dalam teori ini terdapat dua pendapat yaitu
makna sebuah kalimat terdapat pada apa yang ditunjuk benda itu sendiri dan
makna merupakan hubungan antara kata dan bendanya.
Teori referensial adalah teori yang merujuk kepada segitiga makna, seperti
yang dikemukakan oleh Odgen dan Richards. Makna adalah hubungan antara
reference (pikiran, makna) dan referent (rujukan) di alam nyata yang disimbolkan
lewat bunyi bahasa, baik berupa kata, frasa atau kalimat. Makna suatu kata itu
menunjuk (mengisyaratkan) kepada sesuatu di luar dirinya. Teori ini mempunyai
2 varian, yaitu:
a. Makna kata itu adalah apa yang ditunjuk atau menjadi rujukan kata itu sendiri.
b. Makna kata itu merupakan hubungan antara ungkapan dan yang menjadi
rujukannya.
Berdasarkan teori ini, muncullah beberapa teori yang memfokuskan kajian
terhadap isyarat dan tanda yang kemudian melahirkan ilmu tentang tanda atau
semiologi atau semiotik. Dengan kata lain, fungsi bahasa menurut teori ini adalah
sebagai wakil realitas yang menyertai proses berpikir manusia secara individul.7
2. Teori Konseptual (Al-Nazhariyyah Al-Tashawwuriyyah)
Makna adalah citra mental yang dilahirkan oleh kata bagi pendengar, atau citra
mental yang dipikirkan oleh penutur. Teori ini merupakan penjabaran konsep

7
Moh. Matsna, Kajian semantik Arab Klasik dan Kontemporer (Jakarta: Predanamedia Group, 2016),
12-13.

4
bapak linguistik modern, Ferdinand de Saussure, yang berpandangan bahwa tanda
bahasa itu terjamin oleh konsep penanda dan petandanya.
Penganut teori ini beranggapan bahwa persoalan makna jika dilihat dari satu
sisi sama dengan prinsip-prinsip psikologi dengan berbagai metodologi dan dasar-
dasar penerapannya. Salah satu indikator yang memperkuat asumsi ini adalah
istilah-istilah yang digunakan dalam studi makna seperti “konsep, citra mental,
relasi pikiran dan seterusnya.”
Teori ini memiliki beberapa istilah lain, yaitu teori idesional, teori intensional,
dan teori mentalistik. Teori ini beranggapan bahwa setiap makna adalah konsep,
dan konsep itu harus ada dibenak penutur. Selanjutnya penutur mengekspresikan
konsep tersebut melalui medium gambaran bahasa (citra akustik kata) yang
diterima oleh pendengar, lalu pendengar menerima citra akustik tersebut.
Jika seorang penutur mengajarkan kata al-Kitab misalnya maka dia
mengisyaratkan sebuah konsep di dalam pikirannya, demikian juga pikiran
pendengar, karena masing masing keduanya sama sama memiliki konsep tentang
kata al-Kitab. Persamaan konsep ini yang memicu terjadinya komunikasi.
Sebaliknya, jika antara penutur dan mitra tutur memiliki perbedaan mengenal
konsep al-Kitab, maka besar kemungkinan komunikasi antara keduanya gagal.
Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa makna yang dimaksudkan oleh teori
konseptual bersifat mentalistik, yang mengasumsikan entitas makna berada di
pikiran penutur bahasa. Dengan demikian, teori ini mengaitkan makna dengan
kegiatan menyusun dan menyampaikan gagasan melalui bahasa (bagaimana
menyampaikan makna melalui struktur kebahasaan tanpa mengabaikan
keselarasan hubungannya dengan realitas) misalnya kata Qolam tidak hanya
bermakna pena, namun memiliki arti yang lebih luas lagi yang digambarkan oleh
pikiran, yaitu alat yang digunakan untuk menulis dan sebagainya.8
Semantik konseptual sebenarnya sama dengan makna leksikal, deotatif dan
makna referensial. Misalnya kata kuda memiliki makna konseptual sejenis
binatang berkaki empat yang biasa dikendarai.
3. Teori Behavioristik (Nazhariyyah Al-Sulukiyyah)
Teori semantik ini memfokuskan kajian makna bahasa sebagai bagian dari
prilaku manusia yang merupakan manifestasi dari adanya stimulus dan respons.

8
Muhammad Kholison, Semantik Bahasa Arab; Tinjauan Historis, Teoritik & Aplikatif (Sidoarjo: CV.
Lisan Arabi, 2016), 116-117

5
Teori ini mengkaji makna dalam peristiwa ujaran (speech event) yang berlangsung
dalam situasi tertentu (speech situation). Unit terkecil yang mengandung makna
penuh dari keluruhan speech event yang berlangsung dalam speech situation
disebut speech act. Penentuan makna dalam speech act menurut John Searle harus
bertolak dari kondisi dan situasi yang melatarbelakangi pemunculannya. Unit
ujaran yang berbunyi “Masuk!” misalnya, dapat berarti “di dalam garis” bila
muncul dalam pertandingan bulu tangkis atau tenis “Silakan masuk ke dalam”
bagi tamu yang diperkenalkan oleh tuan rumah, “Hadir” bagi mahasiswa yang
dipresensi oleh dosen, dan “Berhasil” bagi yang main lotre. Jadi, makna
keseluruhan unit ujaran itu harus disesuaikan dengan latar situasi dan bentuk
interaksi sosial itu harus disesuaikan dengan latar situasi dan bentuk interaksi
sosial.9
Teori ini juga dikembangkan oleh Charles W. Morris, filsuf Amerika.
Menurutnya, respons yang beragam itu dapat muncul hanya karena adanya sebuah
stimulus. Artinya, makna satu kata bisa beragam, jika situasi dan kondisinya
menghendaki demikian. Hal ini dapat terjadi jika dalam diri manusia terdapat
kecenderungan atau hasrat untuk memberikan reaksi terhadap stimulus yang ada.
Menurut Polmer dan Pavlov dalam penelitiannya, semantik behavoris
dipengaruhi oleh psikologi. Paham teori behavioris secara umum ditandai dengan
hubungan antara rangsangan dan reaksi yang digambarkan dengan makna berada
diantara stimulus dan respon. Makna ditentukan oleh situasi yang berarti
ditentukan oleh lingkungan sehingga makna hanya dipahami jika ada data yang
diamati. Misalnya seorang ibu berkata “Mam.. Mam..” dan bersamaan dengan ini
si ibu menyuapkan makanan ke dalam mulut bayi. Karena hal ini dilakukan secara
berulang-ulang maka si bayi memahami kegiatan memasukkan makanan ke dalam
mulut dang mengunyah sesuatu disebut makan. Contoh lain misalnya, seorang
anak yang mengadahkan tangannya kepada seorang ibu, kemudian si ibu itu
memberikan sesuatu maka bila ada yang mengamatinya anak tersebut sedang
meminta. Maka dapat disimpulkan pemahaman makna diperoleh melalui proses
pengamatan.10

9
Moh Matsna, Kajian Semantik Arab Klasik dan Kontemporer ...., 13-14.
10
Herlina Ginting, Adelina Ginting, “Beberapa Teori dan Pendekatan Semantik” Vol. 2 No. 2, 2019.
73-74.

6
Leonard bloomfield dia adalah tokoh linguistik Amerika yang menerapkan
prinsip prinsip Behaviorisme dalam studi bahasa. Hal ini dapat dilihat dari
karyanya Language diterbitkan pada tahun 1933 untuk pertama kali yang mana
karya ini selalu dikaitkan dengan aliran strukturalisme Amerika.
Bloomfield berpandangan, bahwa sesungguhnya makna bahasa ialah situasi di
mana pembicara menuturkan bahasa, dan respons yang dibutuhkan oleh
pendengar melalui pengungkapan struktur bahasa baik merespon situasi. Situasi
inilah yang dinamakan makna struktur linguistik.11
4. Teori Kontekstual (Al-Nazhariyyah Al-Siyaqiyyah)
Sistem bahasa merupakan sistem relasi antar unit, yang bekerja secara
serempak untuk melahirkan makna. Analisis sistem ini selalu inklusif, dapat
diinovasi, dan menerima perubahan, baik dalam struktural leksikal maupun
struktural. Jadi, mengidentifikasi makna kata perlu menentukan seperangkat
konteks yang menyertainya. Konsep tersebut yang di usung oleh teori
Kontekstual. eori ini dikembangkan oleh John Rupert Firth (1890-1960) Yang
menolak secara tegas makna makna struktur bahasa yang tidak dikemas dalam
konteks bahkan secara ekstrim Martini mengatakan “ kata yang berada di luar
konteks belum memenuhi syarat untuk memiliki makna.”12
Teori semantik yang berasumsi bahwa sistem bahasa itu saling berkaitan satu
sama lain di antara unit-unitnya, dan selalu mengalami perubahan dan
perkembangan. Karena itu, dalam menentukan makna, diperlukan adanya
penentuan berbagai konteks yang melingkupinya. Teori yang dikembangkan oleh
Wittgenstein (Ludwig Josef Johann Wittgenstein) menegaskan bahwa makna
suatu kata dipengaruhi oleh empat konteks, yaitu:
a. Konteks kebahasaan (Linguistic context)
Konteks kebahasaan berkaitan dengan struktur kata dalam kalimat

yang dapat menentukan makna yang berbeda. Misalnya, kata dalam

bahasa Arab kata tersebut merupakan al-Musytarak al-Lafdzi, akan tetapi


ketika berada dalam konteks bahasa yang berbeda-beda maka terlihat dengan
jelas makna-makna yang terkandungnya sesuai dengan konteks kata tersebut
berada. Contohnya:

11
Muhammad Kholison, Semantik Bahasa Arab; Tinjauan Historis, Teoritik & Aplikatif .....,122-123
12
Muhammad Kholison, Semantik Bahasa Arab; Tinjauan Historis, Teoritik & Aplikatif .....,125-126

7
1) Maksud kata disini adalah mata untuk melihat

2) Maksud kata adalah sumber mata air

3) Maksud kata disini adalah mata-mata

4) Maksud kata adalah pemimpin suatu kaum

b. Konteks emosional (al-Siyaq al-„Athifi)


Konteks emosional dapat menentukan makna bentuk kata dan struktur
dari segi kuat dan lemahnya muatan emosional, seperti dua kata yang berarti
“membunuh” yaitu: dan yang pertama digunakan dalam pengertian membunuh
orang yang mempunyai kedudukan sosial yang tinggi dan dengan motif
politis, sedangkan yang kedua berarti membunuh secara membabi buta dan
ditujukan kepada orang yang tidak memiliki kedudukan sosial yang tinggi.
c. Konteks situasi (Siyaq al-Mauqif)
Konteks situasi adalah situasi eksternal yang membuat suatu kata
berubah maknanya karena adanya perubahan situasi. Contohnya dalam surah

ad-Dukhan ayat 49 ۚ artinya: “Rasakanlah,

sesungguhnya kamu benar-benar orang yang perkasa lagi mulia.” Kata al-„aziz
dan al-Karim dalam ayat tersebut artinya perkasa dan mulia, asalnya dibuat
untuk menyatakan pujian, tapi kerena ia berada dalam konteks celaan (al-
Tazlil wa al-Tahqir) maka ia mengandung makna celaan.
d. Konteks budaya (al-Siyaq al-Tsaqafi)
Konteks budaya adalah merupakan keseluruhan makna yang
memungkinkan bermakna dalam budaya tertentu. Menurut Ahmad Mukhtar
Umar konteks budaya adalah lingkungan budaya dan masyarakat yang
memungkinkan suatu kata dipergunakan.
Ahmad Muhammad Qaddur berpendapat, Konteks budaya ini
berfungsi untuk menentukan atau mengkhususkan makna yang dimaksud dari
sebuah kata yang digunakan secara umum. Misalnya, penggunaan kata

( (, bagi para pelajar dan orang-orang melakukan studi bahasa Arab

secara langsung memberikan makna bahwa yang dimaksud dari kata ( (

8
tersebut adalah ilmu sharaf yang mempelajari tentang pembentukan kata.

Namun, bagi para pelajar Agronomi, makna kata ( ( tersebut adalah

istilah ilmiah yang menunjukkan pada suatu kegiatan atau usaha untuk

mengalirkan air, oleh karena itu, bagi mereka kata ( ( ini biasanya

berhubungan dengan istilah lain, yaitu ( (.13

5. Teori Medan Makna


Medan makna merupakan sekelompok kata-kata yang maknanya saling
berhubungan maka kata-kata umum dapat mempunyai anggota yang disebut
hiponim. Hal itu terbukti dengan adanya kata tumbuh-tumbuhan yang mempunyai
hiponim: bunga, durian, jagung, kelapa, pisang, sagu, tomat, ubi. Kemudian kata
bunga mempunyai hiponim: aster, mawar, melati, matahari, kamboja dan jenis-
jenis bungan lainnya.
Deksripsi medan makna dapat berupa keberadaan medan makna yang
menyiratkan struktur dalam diri medan makna itu sendiri yang dapat dilihat dari
hubungan kata-kata yang membentuk jaringan keterkaitan makna yang akan
menghasilkan superordinate dan hiponim. Misalnya, kata tumbuh-tumbuhan
(superordinate) dan hiponimnya berupa bunga, durian, jagung dan seterusnya.
Dengan demikian, kata-kata: anak, ayah, ibu, kakek, nenek, dan paman, berada
dalam satu medan makna berdasarkan makna umum yang dimiliki bersama.14

13
Samsul Bahri, “Peran Al-Siyaq (Konteks) Dalam Menentukan Makna” Vol. 14 No 26, Martapura
2016, 92-95.
14
Nur Rifqah, “Analisis Medan Makna Kokoro Dalam Kajian Semantik” (Makassar: Skripsi
Universitas Hasanuddin, 2017), 13-14.

9
KESIMPULAN

Semantik adalah ilmu yang menyelidiki tentang makna, baik yang berkaitan dengan
hubungan antar kata-kata dan lambang-lambang dengan gagasan atau benda yang
diwakilinya, maupun berkaitan dengan pelacakan atas riwayat makna-makna itu beserta
perubahan-perubahan yang terjadi atasnya atau disebut juga semiologi. Semantik juga berarti
studi tentang hubungan antara simbol bahasa (kata, ekspresi, frase) dan objek atau konsep
yang terkandung di dalamnya, semantik menghubungkan antara simbol dengan maknanya.
Dalam perjalanan sejarah perkembangannya, kata yang awalnya hanya memiliki satu
makna asli (dasar) mengalami perluasan hingga memiliki beberapa makna. Hal ini yang
menjadi fokus metode semantik dalam mengungkapkan konsep-konsep yang terdapat di
dalam Al-Qur’an. Ada beberapa teori yang dapat mengungkapkan konsep-konsep makna
tersebut.
Teori referensial mengartikan makna sebagai label yang berada dalam kesadaran
manusia untuk merujuk dunia luar. Makna hadir disebabkan oleh adanya kesadaran
pengamatan terhadap fakta dan penarikan kesimpulan yang keseluruhnya berlangsung baik
itu secara objektif maupun subjektif dalam mengkaji makna. Teori konseptual merupakan
penjabaran konsep yang berpandangan bahwa tanda bahasa itu terjamin oleh konsep penanda
dan petandanya. Teori semantik behavioristik memfokuskan kajian makna bahasa sebagai
bagian dari prilaku manusia yang merupakan manifestasi dari adanya stimulus dan respons.
Teori ini mengkaji makna dalam peristiwa ujaran (speech event) yang berlangsung dalam
situasi tertentu (speech situation). Teori semantik kontekstual berasumsi bahwa sistem bahasa
itu saling berkaitan satu sama lain di antara unit-unitnya, dan selalu mengalami perubahan
dan perkembangan. Karena itu, dalam menentukan makna, diperlukan adanya penentuan
berbagai konteks yang melingkupinya. Teori medan makna merupakan sekelompok kata-kata
yang maknanya saling berhubungan maka kata-kata umum dapat mempunyai anggota yang
disebut hiponim. Deksripsi medan makna dapat berupa keberadaan medan makna yang
menyiratkan struktur dalam diri medan makna itu sendiri yang dapat dilihat dari hubungan
kata-kata yang membentuk jaringan keterkaitan makna yang akan menghasilkan
superordinate dan hiponim.

10
DAFTAR PUSTAKA
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002.
Bahri, Samsul, Peran Al-Siyaq (Konteks) Dalam Menentukan Makna Vol 14 No, 26
Martapura, 2016.
D. J. Parera, Teori Semantik Jakarta: Erlangga, 1990.
Ginting, Herlina, Adelina Ginting, Beberapa Teori dan Pendekatan Semantik Vol. 2. No. 2,
2019.
Izutsu, Toshihiko, Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik Terhadap Alquran, terj.
Agus Fahri Husein, dkk. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003.
Kholison, Muhammad, Semantik Bahasa Arab; Tinjauan Historis, Teoritik & Aplikatif
Sidoarjo: CV. Lisan Arabi, 2016.
Matsna, Moh, Kajian semantik Arab Klasik dan Kontemporer Jakarta: Predanamedia Group,
2016.
M. Save Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan Jakarta: LPKN, 2006.
Pateda, Mansoer, Semantik Leksikal Jakarta: Rineka Cipta, 2001.
Rifqah, Nur, Analisis Medan Makna Kokoro Dalam Kajian Semantik Makassar: Skripsi
Universitas Hasanuddin, 2017.

11

Anda mungkin juga menyukai