Anda di halaman 1dari 17

1

PENDAHULUAN

Dalam menafsirkan Alqur’an, ada beberapa metodologi penelitian tafsir yang


harus kita ketahui diantaranya adalah dari semantik, semiotik, sosiologi, antropologi,
analisis wacana dan lain-lain. Dari beberapa metodologi penelitian tafsir yang telah
disebutkan di atas kami akan membahas tentang metodologi penelitian tafsir analisis
wacana dan apa saja yang berhubungan dengan analisis wacana serta contoh ayat
Alqurannya.

METODOLOGI PENELITIAN ANALISIS WACANA

A. Pengertian Analisis Wacana

Wacana berasal dari bahasa Sanskerta wac/wak/vak, yang artinya berkata,


berucap. Kata tersebut kemudian mengalami perubahan bentuk menjadi wacana. 1
Sedangkan pengertian wacana adalah satuan bahasa terlengkap dalam hirarki
gramatikal tertinggi dan merupakan satuan gramatikal yang tertinggi atau terbesar.
Wacana direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh, seperti novel, cerpen, atau
prosa dan puisi, seri ensiklopedi dan lain-lain serta paragraf, kalimat, frase, dan kata
yang membawa amanat lengkap. Jadi, wacana adalah unit linguistik yang lebih besar
dari kalimat atau klausa.2

Istilah wacana dipakai dalam bahasa Indonesia dipakai sebagai padanan


(terjemahan) kata discourse dalam bahasa Inggris. Secara etimologis kata discourse itu
berasal dari bahasa latin discursus ‘lari kian kemari’. Kata discourse itu diturunkan dari
kata discurrere. Bentuk discurre itu merupakan gabungan dari dis dan curre ‘lari,
berjalan kencang’.3 Wacana atau discourse kemudian diangkat sebagai istilah
linguistik. Dalam liguistik, wacana dimengerti sebagai satuan lingual (linguistic unit)
yang berada di atas tataran kalimat.4

1
Haiatul Umam, “Analisis Wacana Teun A.Van Djik Terhadap Skenario Film “Perempuan Punya
Cerita””, Skipsi (Jakarta: Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah, 2009), 39. Lihat
juga: Mulyana, Kajian Wacana: Teori, Metode dan Aplikasi Prinsip-Prinsip Analisis Wacana
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), 3.
2
Yoce Aliah, Analisis Wacana Kritis (Bandung: Yrama, 2009)
3
Baryadi Praptomo, Dasar-Dasar Analisis Wacana dalam Ilmu Bahasa (Yogyakarta: Pustaka
Gondhosuli, 2002), 1.
4
Baryadi Praptomo, Dasar-Dasar Analisis Wacana 2.
2

Bagaimana teks dapat menciptakan suatu wacana, secara garis besar, dapat
disimpulkan pengertian wacana adalah satuan bahasa terlengkap daripada fonem,
morfem, kata klausa, kalimat dengan koherensi dan kohesi yang tinggi yang
berkesinambungan, yang mampu mempunyai awal dan kahir yang nyata, disampaikan
secara lisan atau tertulis ini dapat berupa ucapan lisan dan dapat juga berupa tulisan dan
dapat juga berupa tulisan, tetapi persyaratannya harus dalam satu rangkaian dan
dibentuk oleh lebih dari sebuah kalimat.

Sebagai objek kajian dan penelitian kebahasaan, aspek-aspek yang terkandung


didalam wacana menyuguhkan kajian yang sangat beragam. Dalam memahami wacana
ada tiga hal yang paling penting yaitu teks, konteks dan wacana. Teks dalam pengertian
umum, bukan hanya pada teks tertulis atau teks lisan. Adat istiadat, kebudayaan, film
dan drama juga termasuk teks5. Dengan kata lain teks adalah semua bentuk bahasa yang
bukan hanya kata-kata baik dalam bentuk lisan maupun tertulis. Teks adalah bentuk
pelembagaan sebuah peristiwa dalam bentuk tulisan bahkan teks juga dapat
digambarkan sebagai setiap bentuk bahasa yang tidak terbatas pada bahasa verbal lisan
dan tulisan.6 Konteks adalah situasi diluar teks yang mempengaruhi penggunaan
bahasa. Sedangkan wacana adalah apabila konteks dan teks berada dan dimaknai secara
bersama-sama.

Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada diluar teks dan
memengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi di mana teks
tersebut diproduksi, fungsi yang dimasukkan dan sebagainya. Di sini wacana kemudian
dimaknai sebagai teks dan konteks bersama-sama. Titik perhatian dari analisis wacana
adalah menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam suatu proses
komunikasi.

Di sini tidak hanya proses kognisi dalam arti umum, tetapi juga gambaran spesifik
dari budaya yang dibawa. Studi mengenai bahasa di sini memasukkan konteks, karena
bahasa selalu berada dalam konteks, dan tidak tindakan komunikasi tanpa pastisipan,
interteks, situasi dan sebagainya.7

5
Rina Ratih, “Pendekatan Intertekstual Dalam Pengkajian Sastra,” dalam Metodologi Penelitian
Sastra, ed Jabrohim (Yogyakarta: Haninidia Graha Widia), 137.
6
Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik,
dan Analisis Framing (Bandung: Rosdakarya, 2001), 53.
7
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara
Yogyakarta, 2006), 9.
3

B. Paradigma Analisis Wacana


Istilah analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai dalam banyak disiplin
ilmu dan dengan berbagai pengertian. Meskipun ada gradasi yang besar dari berbagai
definisi, titik singgungnya adalah analisis wacana berhubungan dengan studi mengenai
bahasa.8
Menurut A.S Hikam, sebagaimana yang dikutip oleh Eriyanto bahwa analisis
wacana ada ada tiga paradigma analisis wacana dalam melihat bahasa9:

1. Pandangan positivisme-empiris

Penganut aliran ini melihat bahasa sebagai jembatan antara manusia dengan objek
yang ada di luar dirinya. Pengalaman manusia dianggap dapat secara langsung
diekspresikan melalui penggunaan bahasa tanpa ada kendala aatau distorsi, sejauh
ia dinyatakan dengan menggunakan pernyataan-pernyataan yang logis, sintaksis,
dan memiliki hubungan dengan pengalaman empiris. Salah satu ciri dari pemikiran
ini adalah pemisahan antara ide/pemikiran dan realitas. Dalam kaitannya dengan
analisis wacana, konsekuensi logis dari pemahaman ini adalah orang tidak perlu
mengetahui makna-makna subjektif atau nilai yang mendasari pernyataannya, sebab
yang penting adalah apakah pernyataan itu dilontarkan secara benar menurut kaidah
sintaksis dan semantik. Oleh karena itu, kebenaran sintaksis (tata bahasa) adalah
bidang utama dari aliran positivisme tentang wacana.10

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, titik perhatian utama aliran


positivisme didasarkan pada benar tidaknya bahasa itu secara gramatikal. Istilah
yang sering disebut adalah kohesi dan koherensi. Wacana yang baik selalu
mengandung kohesi dan koherensi di dalamnya. Kohesi11 merupakan keserasian
hubungan antar unsur-unsur dalam wacana, sedangkan koherensi12 merupakan
kepaduan wacana sehingga membawa ide tertenti yang dipahami oleh khalayak.

2. Pandangan konstruktivisme

8
Eriyanto, Analisis Wacana, 4.
9
Eriyanto, Analisis Wacana 4.
10
Eriyanto, Analisis Wacana 4.
11
Lihat: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat
Bahasa, 2008), 737.
12
Lihat: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia 737.
4

Pandangan ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran fenomenologi. Aliran ini


menolak pandangan positivisme/empirisme dalam analisis wacana yang memisahkan
subyek dan objek bahasa. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya
dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka yang dipisahkan dari
subjek sebagai penyampai pernyataan. Konstruktivisme justru menganggap bahwa
subjek adalah faktor utama atau faktor sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan-
hubungan sosialnya.13

Dalam hal ini, A.S Hikam mengatakan bahwa, subjek memiliki kemampuan
melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana. Bahasa
yang dipahami dalam paradigma ini diatur dan dihidupkan dalam pernyataan-
pernyataan yang bertujuan. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah penciptaan makna,
yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jatidiri dari sang pembicara.14

Oleh karena itu, analisis wacana dimaksudkan sebagai suatu analisis yang
membongkar makna dan maksud-maksud tertentu. Wacana adalah suatu upaya
pengungkapan maksud tersembunyi dari sang subjek yang memngemukakan suatu
pernyataan.pengungkapan itu dilakukan diantaranya dengan menempatkan diri pada
posisi sang pembicara dengan penafsiran mengikuti struktur makna dari sang
pembicara.15

3. Pandangan kritis

Pandangan ingin mengoreksi pandangan pandangan konstruktivisme yang


kurang sensitif pada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis
maupun secara institusional. Menurut A.S Hikam, pandangan konstruktivisme masih
belum menganalisis faktor-faktor hubungan kekuasaan yang inhern dalam setiap
wacana, yang pada gilirannya berperan dalam membentuk jenis-jenis subjek tertentu
berikut perilaku-perilakunya.hal inilah yang melahirkan paradigma kritis.16

Analisis wacana tidak dipusatkan pada kebenaran atau ketidakbenaran struktur


tata bahasa atau proses penafsiran seperti pada pandangan konstruktivisme. Analisis
wacana dalam paradigma kritis menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada

13
Eriyanto, Analisis Wacana 5
14
Eriyanto, Analisis Wacana 5.
15
Eriyanto, Analisis Wacana 5-6.
16
Eriyanto, Analisis Wacana 6.
5

proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek yang
netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan pikiran-pikirannya, karena
sangat berhubungan dan dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial yang adal dalam
masyarakat. Bahasa disini tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak di luar
diri si pembicara. 17

Bahasa dalam pandangan kritis dipahami sebagai representasi yang berperan


dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema tertentu, maupun strategi-strategi di
dalamnya. Oleh karena itu, analisis wacana digunakan untuk membongkar kuasa yang
ada dalam setiap proses bahasa seperti, batasan-batasan apa yang diperkenankan
menjadi wacana, perspektif yang mesti dipakai, topik apa yang dibicarakan.Dengan
pandangan semacam ini, wacana melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan
kekuasaan, terutama dalam pembentukan subjek, dan berbagai tindakan representasi
yang terdapat dalam masyarakat. Karena memakai perspektif kritis, (paradigma)
analisis wacana yang ketiga ini sering juga disebut Critical Discourse Analysis/CDA.18
Karakteristik analisis wacana kritis di antaranya ialah tindakan, konteks, historis,
kekuasaan, dan idelogi

C. Analisis Wacana Teun Van Dijk

Secara garis besar analisis wacana adalah tindakan dalam mengupas ideologi
yang tersirat dalam sebuah teks. Studi wacana berasal dari analisi linguistik kritis.
Merambah pada ilmu sosial lainnya. seperti, analisis simiotik kritis, bahasa, wacana,
komunikasi, dan ilmu sosial lainnya. meski awalnya berasal dari bahasan wacana
linguistic, tapi tidak menutup kesempatan pada ilmu sosial lainnya.19

Van Dijk memfokuskan kajiannya pada peranan strategis wacana dalam proses
distribusi dan reproduksi pengaruh hegemoni atau kekeuasaan tertentu. Salah satu
elemen yang penting dalam proses analisis terhadap relasi kekuasaan atau hegemoni
dengan wacana adalah pola-pola akses terhadap wacana publik yang tertuju pada
kelompok-kelompok masyarakat. Secara teoritis bisa dikatakan agar relasi antara suatu
hegemoni dengan wacana terlihat jelas, maka kita membutuhkan hubungan kognitif

17
Eriyanto, Analisis Wacana 6
18
Eriyanto, Analisis Wacana 6.
19
Ibnuafan, “Penerjemahan Ayat-Ayat Jihad Dalam Alquran Terjemahan Kementarian Agama
RI”, Skripsi (Jakarta: Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah, 2014), 18.
6

dari bentuk-bentuk masyarakat, ilmu pengetahuan, ideologi beragam repsentasi sosial


lain yang terikat dengan pola pikir sosial. Kaitannya adalah hubungan individu dengan
masyarakat, serta struktur sosial makro dan mikro.

Menurutnya, analisis wacana memiliki tujuan ganda: sebuah teoritis sistematis


dan deskriptif, yaitu struktur dan strategi di berbagai tingkatan wacana lisan tertulis,
dilihat baik sebagai objek tekstual dan sebagai bentuk praktik sosial budaya antar
tindakan dan hubungan. Sifat teks ini berbicara dengan relevan pada struktur kognitif,
sosial, budaya dan konteks sejarah. Dengan kata lain studi analisis teks dalam konteks.

D. Kerangka Wacana Van Dijk

Wacana digambarkan mempunyai tiga dimensi, yaitu teks, kognisi sosial dan
kontek sosial. Inti analisis Van Dijk adalah menggabungkan ketiga dimensi tersebut
dalam satu kesatuan teks. Sedangkan skema penelitian dan metode yang bisa dilakukan
dalam kerangka Van Dijk adalah sebagai berikut.20

Struktur Metode
Teks
Menganalisis strategi wacana yang Linguistik Kritis
digunakan untuk menggambarkan suatu
peristiwa atau peristiwa tertentu.
Bagaimana strategi tekstual yang dipakai
untuk memarjinalkan sesuatu kelompok,
gagasan atau peristiwa tertentu
Kognisi Sosial
Mengalisis kognisi penulis dalam Wawancara
memahami seseorang atau peristiwa
tertentu yang akan ditulis
Menganalisis bagaimana wawancara
yang berkembang di masyarakat, proses Studi pustaka, penelusuran sejarah dan
produksi dan reproduksi seseorang atau wawancara
peristiwa digambarkan

20
Ibnuafan, “Penerjemahan Ayat-Ayat Jihad Dalam Alquran Terjemahan Kementarian Agama
RI”, Skripsi, 20.
7

1. Dimensi Teks

Van Dijk membagi dimensi teks pada pendekatan percermatan atas tiga
tingkatan struktur wacana yaitu: struktur makro, Struktur supra, dan struktur mikro.21

Pertama, Struktur Makro (makna golobal dari suatu teks yang dapat diamati dari
topik atau tema yang diangkat suatu teks).

Kedua, Struktur Supra (kerangka suatu teks: bagaimana struktur dan elemen
wacana itu disusun dalam teks secara utuh, seperti bagian pendahuluan, isi, penutup,
dan kesimpulan).

Ketiga, Struktur Mikro (makna lokal dari suatu teks yang dapat diamati dari
pilihan kata kalimat, dan gaya bahasa yang dipakai oleh suatu teks).

2. Kognisi Sosial
Kognisi sosial yaitu sebagai model analisis pada kesadaran mental wartawan
yang membentuk teks tersebut. Karena, setiap teks pada dasarnya dihasilkan lewat
kesadaran, pengetahuan, prasangka, atau pengetahuan tertentu atas suatu peristiwa.
Peristiwa dalam sebuah penulisan wacana dipahami berdasarkan skema atau model.
Skema konseptualisasikan sebagai struktur mental di mana tercakup cara pandang
manusia, peranan sosial dan peristiwa lainnya pada tiap penulis.22
Skema/model kognisi sosial Van Dijk

Skema Person
Skema ini menjelaskan bagaimana seseorang menggambarkan dan
memandang orang lain
Skema Diri
Skema yang berhubungan dengan bagaimana diri sendiri dipandang,
dipahami digambarkan oelh seseorang
Skema Peran

21
Ibnuafan, “Penerjemahan Ayat-Ayat Jihad Dalam Alquran Terjemahan Kementarian Agama
RI”, Skripsi, 21.
22
Ibnuafan, “Penerjemahan Ayat-Ayat Jihad Dalam Alquran Terjemahan Kementarian Agama
RI”, Skripsi, 27
8

Skema ini berhubungan dengan bagaimana seseorang memandang dan


menggambarkan peranan dan posisi seseorang dalam masyarakat
Skema Peristiwa
Skema yang paling sering dipakai, karena setiap peristiwa selalu
ditafsirkan dan dimaknai dengan skema tertentu

3. Konteks Sosial
Dimensi ketiga dari analisi Van Dijk ini adalah kontek sosial, yaitu bagaimana
wacana komunikasi diproduksi dalam mayarakat. Titik tekannya adalah unutk
menunjukkan makna dihayati bersama, kekuasaan sosial diproduksilewat praktis
diskursus dan ligitimasi. Menurutnya terdapat dua poin penting, yaitu praktik
kekuasaan dan akses.
Praktek kekuasaan didefinisikan sebagai kepemilikan oleh suatu kelompok atau
anggota untuk mengontrol kelompok atau anggota lainnya. hal ini disebut dengan
dominasi, karena praktek seperti ini dapat memengaruhi letak atau konteks sosial
pemberitaan tersebut.
Kedua, akses dalam memengaruhi wacana. Akses ini menjelaskan bagaimana
kaum mayoritas memiliki akses yang lebih besar dibandingkan kaum minoritas. Oleh
karenanya, kaum mayoritas lebih punya akses kepada media dalam memengaruhi
wacana.23

E. Contoh Metodologi Analisis Wacana

ۡ َّ ۡ َّ ۡ ُ َّ ُ ۡ َٰ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ُ ُ ۡ ُ
ََ‫تَٱۡلبۡوَٰب‬ ِ ‫س َهِۦَوغلق‬ ِ ‫َِفَبيت ِهاَعنَنف‬ ِ ‫تَهو‬ َ ِ ‫ ورودت َهَٱل‬٢٢ََ‫س َن ِي‬ ِ ‫َحك ٗماَوعِل ٗما َۚوكذَٰل ِكََن ِزيَٱل ُمح‬ ‫وَل َّماَبلغَأش َّد َهُۥََءاتينَٰه‬
َّ ‫تَب َهِ َۦَوه َّمَبهاَل ۡوَلَأ‬ ۡ َّ ۡ ُ َّ ُ ۡ ُ ُ َّ ۡ ۡ ِ ُ َّ َ َّ ‫تَه ۡيتَلكَقالَمعاذَٱ‬ ۡ ‫وقال‬
َ‫نَرءا‬ ِ ‫ ولق َدَهم ِ ه‬٢٣ََ‫للِهَإِن َهۥَر ِّبَأحسنَمثوايهَإِن َهۥََلَيفل ِحَٱلظَٰل ِمون‬ ۚ
ۡ ۡ ۡ ۡ َّ ۡ ُّ ‫َِل ۡۡصف َع ۡن ُه َٱ‬
َ‫ وَٱ ۡستبقا َٱۡلابَ َوق َّدت َق ِميص َُهۥ َمِن‬٢٤َ َ‫لسوءَ َوَٱلف ۡحشا َء َۚإِن َُهۥ َم ِۡن َعِبادِناَٱل ُمخل ِصي‬ ِ
ِ ِ ‫برهَٰن َرب ِ َهِۚ َۦ َكذَٰل ِك‬
ُۡ
ۡ
َ‫ قالَ َ ِِهَرَٰودت ِِنَعن‬٢٥َ‫م‬ٞ ‫ابَأ ِِل‬ ٌ ‫َسو ًءاَإ ََّل َأنَي ُ ۡسجنَأ ۡوَعذ‬
ُ ‫ت َمَاَجزا ُء َم ۡنَأرادَبأ ۡهل ِك‬ ۡ ‫ابَقال‬ ۡ ۡ
َِ ‫دبُ ٖرَوألفياَس ِيِدهاََلاَٱۡل‬
ُ
ِ ِ
ُ ُ ُ ۡ ُ ۡ ُ ُ ُ ۡ ِ ٞ ۡ َّ
َٖ‫يص َُهۥَق َّدَمِنَدبُر‬َ ‫ ِإَونََكنَق ِم‬٢٦ََ‫تَوهوَمِنَٱلك َٰ ِذبِي‬ ‫يص َُهۥَق َّدَمِنَق ُب ٖلَفصدق‬ ‫َم ِۡنَأهل ِهاَإِنََكنَق ِم‬ ‫نف ِِسَوش ِهدَشاهِد‬
ۡ ۡ ُ ُ ُ ٞ ُ َّ ُ َّ ُ ُ َّ ُ ۡ
َ‫فَأع ِرض‬ َ ‫ يوس‬٢٨َ‫ فل َّماَرءاَق ِميص َُهۥَق َّدَمِنَدبُ ٖرَقالَإِن َُهۥَمِنَك ۡيدِك َّنهَإِنَك ۡيدك َّنَعظِيم‬٢٧ََ‫تَوهوَمِنَٱلص َٰ ِدقِي‬ ‫فكذب‬

23
Ibnuafan, “Penerjemahan Ayat-Ayat Jihad Dalam Alquran Terjemahan Kementarian Agama
RI”, Skripsi, 29.
9

ۡ َّ ُ ُ ۡ ُ ۡ ۡ ٞ ۡ ۡ ُ َّ ۡ ۡ ۡ
َ‫يزَترَٰوِدَفتىَٰهاَعنَنفسِ َهِه َۦ‬ َِ ‫تَٱلع ِز‬ َ ‫َِفَٱلمدِينةَِٱمرأ‬ ِ ‫ ۞وقالَن ِسوة‬٢٩ََ‫نتَمِنَٱۡلاطَِي‬ ِ ‫كَك‬ ِۖ ِ ِ ‫عنَهَٰذاَۚوَٱستغف ِِريَ ِِلۢنب‬
ِ ‫كَإِن‬
َّ ُ ۡ
َ‫َم َّتكَاَوءات‬ ُ ‫تَإ ِۡله َّنَوأ ۡعتد ۡتَل ُه َّن‬ ۡ ۡ َّ ۡ ۡ َّ ُّ َّ ًّ ُ ۡ
َٖ‫تَُكَوَٰحِدة‬ ِ ِ ‫ فلماَس ِمعتَبِمك ِرهِنَأرسل‬٣٠َ‫ي‬ ٖ ِ ‫اَِفَضل َٰ ٖلَمب‬ ِ ‫قدَشغفهاَحباهَإِناَلَنىَٰه‬
ٞ َّ ۡ ً َّ ُۡ ۡ ۡ ۡ ٗ ِ ِۡ
َ‫َشاَإِنَهَٰذاَإَِلَملك‬ ‫َللَِما هَٰذاَب‬ ِ ‫َبن َُهۥَوق َّط ۡعنَأيۡدِي ُه َّنَوقلنَحَٰش‬
ۡ ‫ك‬ ‫جَعل ۡي ِه َّنهَفل َّماَرأ ۡين َُهۥََأ‬ َ ‫تَٱخ ُر‬ ِ ‫مِن ُه َّنَسِكِيناَوقال‬
ٗ ُ َّ َ‫نَل ۡمَي ۡفع ۡلَماَء ُام ُرَُهۥَل ُي ۡسج‬َّ ۡ ۡ ۡ َّ ُّ ۡ َّ ُ ُ َّ ُ
َ‫َنَوِلكونا‬ ِ ‫تَفذَٰل ِك َّنَٱِلِيَل ۡمتن ِِنَفِيهَِِۖولقدَرَٰودت َُهۥَعنَنف‬
ِ ‫س َهِۦَفَٱستعص َمهَولئ‬ َ ۡ ‫ قال‬٣١َ‫يم‬ ٞ ‫كر‬
ِ
َّ
٣٢ََ‫ِمِنَٱلصغ ِِرين‬
َٰ

22. Dan tatkala dia cukup dewasa Kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu.
Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik

23. Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk
menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata:
"Marilah ke sini". Yusuf berkata: "Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah
memperlakukan aku dengan baik". Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan
beruntung

24. Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan
Yusuf, dan Yusufpun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia
tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari
padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba
Kami yang terpilih

25. Dan keduanya berlomba-lomba menuju pintu dan wanita itu menarik baju gamis
Yusuf dari belakang hingga koyak dan kedua-duanya mendapati suami wanita itu di
muka pintu. Wanita itu berkata: "Apakah pembalasan terhadap orang yang bermaksud
berbuat serong dengan isterimu, selain dipenjarakan atau (dihukum) dengan azab yang
pedih?

26. Yusuf berkata: "Dia menggodaku untuk menundukkan diriku (kepadanya)", dan
seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan kesaksiannya: "Jika baju gamisnya
koyak di muka, maka wanita itu benar dan Yusuf termasuk orang-orang yang dusta

27. Dan jika baju gamisnya koyak di belakang, maka wanita itulah yang dusta, dan
Yusuf termasuk orang-orang yang benar"

28. Maka tatkala suami wanita itu melihat baju gamis Yusuf koyak di belakang
berkatalah dia: "Sesungguhnya (kejadian) itu adalah diantara tipu daya kamu,
sesungguhnya tipu daya kamu adalah besar"

29. (Hai) Yusuf: "Berpalinglah dari ini, dan (kamu hai isteriku) mohon ampunlah atas
dosamu itu, karena kamu sesungguhnya termasuk orang-orang yang berbuat salah"

30. Dan wanita-wanita di kota berkata: "Isteri Al Aziz menggoda bujangnya untuk
menundukkan dirinya (kepadanya), sesungguhnya cintanya kepada bujangnya itu
adalah sangat mendalam. Sesungguhnya kami memandangnya dalam kesesatan yang
nyata"
10

31. Maka tatkala wanita itu (Zulaikha) mendengar cercaan mereka, diundangnyalah
wanita-wanita itu dan disediakannya bagi mereka tempat duduk, dan diberikannya
kepada masing-masing mereka sebuah pisau (untuk memotong jamuan), kemudian dia
berkata (kepada Yusuf): "Keluarlah (nampakkanlah dirimu) kepada mereka". Maka
tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan rupa)nya, dan
mereka melukai (jari) tangannya dan berkata: "Maha sempurna Allah, ini bukanlah
manusia. Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah malaikat yang mulia"

32. Wanita itu berkata: "Itulah dia orang yang kamu cela aku karena (tertarik)
kepadanya, dan sesungguhnya aku telah menggoda dia untuk menundukkan dirinya
(kepadaku) akan tetapi dia menolak. Dan sesungguhnya jika dia tidak mentaati apa yang
aku perintahkan kepadanya, niscaya dia akan dipenjarakan dan dia akan termasuk
golongan orang-orang yang hina"

Analisis kisah Nabi Yusuf pada dasarnya menganggap kisah tersebut sebagai
media komunikasi yang berdiri sendiri terlepas dari dunia luar. Analisis ini dilakukan
dengan asumsi bahwa kisah Nabi Yususf merupakan sebuah struktur wacana naratif
memiliki konsep yang dibangun melalui kebahasaan dan struktur naratif yang
membangun kisah Nabi Yusuf.

Peristiwa yang menceritakan ketampanan Nabi Yusuf dimulai ketika Nabi Yusuf
dewasa. Dalam QS. Yusuf ayat 22 dinyatakan (Lihat Lampiran ayat 22). Penggunaan
huruf wawu [‫‘ ]و‬dan’ yang ditempatkan pada di awal kalimat merupakan tanda bahasa
yang berfungsi sebagai isti’nafiyyah atau pembukaan ulang. Pembentuk kohesi ini juga
berfungsi sebagai penanda telah dimulainya babak baru atau episode baru atas sebuah
bangunan peristiwa besar yang utuh.

Pada episode ini dimulai dengan pernyataan mengenai kematangan usia Nabi
ُ
Yusuf. Kematangan ini ditandai dengan klausa َ‫ول َّما َبلغ َأش َّد َهُۥ‬. Dimana kata َ‫ بلغ‬berarti

ُ
‘telah sampai’, sedangkan kata ‫ أَش َّدهََُۥ‬merupakan bentuk plural dari kata syiddah atau

syadd yang berarti ‘keras’. Keras dalam konteks klausa ini memiliki pengertian keras
secara fisik atau tubuh yang kuat. Penggunaan kata tertentu untuk menunjuk makna
tertentu seringkali ditemukan pada setiap rangkaian cerita yang ada. Al-Qur’an tidak
secara langsung menyebut baligh atau as-syab yang juga berarti telah pada usia muda
atau dewasa.
11

Pada ayat sebelumnya (Ayat 19: tidak disertakan dalam data), ketika Yusuf masih
kecil dinyatakan sebagai gulam ‘anak muda’. Ketika itu Yusuf baru ditemukan oleh
seorang musafir yang sedang menimba air di sumur. Apabila kedua kata ini
dihubungkan, maka ada rentang waktu yang tidak dijelaskan dalam cerita. Hal ini
menunjukkan bahwa peristiwa-peristiwa di rentang waktu tersebut tidak terlalu penting.
Adapun ketampanan Nabi Yusuf mulai terlihat ketika Yusuf sudah mencapai usia
dewasa dengan dianugerahi hukm ‘hikmah’ dan ‘ilm ‘ilmu’. Hikmah adalah keilmuan
aplikatif yang bermanfaat untuk ditetapkan, sedangkan ilmu yang dimaksud adalah
ilmu mentakwilkan sesuatu.

Kisah di atas merupakan prolog sebelum memasuki kisah Nabi Yusuf dengan
Imra’ah Azizah ‘Perempuan Mulia’. Pertemuan keduanya telah terjadi ketika Yusuf
kecil baru dibeli dari pedagang budak dan diadopsi oleh Imra’ah Azizah dan suaminya.
Pilihan mengadopsi Yusuf kecil adalah karena keduanya tidak memiliki anak, padahal
keduanya menginginkan kehadiran seorang anak yang baik dan tampan. Pertemuan
tersebut tidak diulas secara panjang lebar dalam kisah, karena pertemuan tersebut tidak
menduduki posisi penting dalam keseluruhan alur cerita, berbeda dengan pertemuan
yang kedua ini. Dimana antara Yusuf dan Imra’ah Azizah terjadi hubungan konflik
yang saling mengecualikan. Konflik tersebut dinyatakan dalam QS. Yusuf ayat 23-
ۡ
24.(Lihat Lampiran Ayat 23-24). Klausa َ‫رَٰودت ُه‬ ‘menggoda untuk menundukkan’

menunjukkan pelaku adalah Imra’ah Azizah, sedangkan objek pelaku adalah Yusuf.
Kata rawada berasal dari kata rada yang berarti upaya meminta sesuatu dengan lemah
lembut agar apa yang diharapkan dapat diperoleh. Sementara itu, pelaku sebagai
seorang perempuan dengan objek laki-laki dewasa yang baru saja sampai pada usia
kematangan menunjukkan bahwa upaya tersebut berwujud rayuan atau godaan. Hal ini
ۡ َّ
juga diperkuat dengan frase َ ‫س َهِۦ‬
ِ ‫ عنَنف‬yang mengacu pada klausa di atas, sehingga

memiliki arti untuk menundukkan Yusuf.

Ketertarikan dan rasa cinta Imra’ah Azizah terhadap Yusuf disebabkan karena
mereka berdua tinggal dalam satu rumah dan Yusuf telah sampai pada masa-masa
perkembangan diri sebagai seorang laki-laki yang sempurna. Sementara itu, Imra’ah
Azizah juga selalu memperhatikan dan mengamati perkembangan Yusuf sejak gulam
12

‘pubertas’ sampai asyuddah ‘dewasa’. Selain itu, Imra’ah Azizah adalah wanita yang
telah lama tidak bersetubuh karena suaminya lemah syahwat. Sebagai wanita normal,
Imra’ah Azizah tentu ingin melampiaskannya dengan Yusuf yang ‘rupawan’, apalagi
Imra’ah Azizah adalah termasuk wanita yang tidak memiliki keimanan dan ketakwaan,
sehingga setan sangat mudah untuk menggoda syahwatnya. Usaha untuk menundukkan
ۡ ۡ
Yusuf telihat pada klausa َ‫تَٱۡلبوَٰب‬
َّ ۡ ۡ
ِ ‫َغلق‬dan َ‫َقالتَهيتَلك‬.

Usaha untuk menundukkan Yusuf tidak hanya rayuan verbal, tetapi juga dengan
tindakan, yakni menutup pintu, mengecek dan memastikan semua celah telah terkunci
َّ
rapat. Penggunaan kata َ‫ت‬
ِ ‫غلق‬ yang berasal dari kata ‫‘غلق‬menutup’ mununjukkan

aktifitas yang dilakukan berulang-ulang, yaitu menutup pintu secara berulang-ulang,


menutup rapat, menutup semua celah, dan mengecek kembali apakah semua celah/pintu
ۡ ۡ
benar-benar tertutup. Untuk itu, digunakanlah kata dalam bentuk plural َ‫‘ ٱۡلبوَٰب‬pintu-

pintu’. Apa yang dilakukan Imra’ah Azizah dengan menutup semua pintu adalah usaha
untuk mengirimkan pesan syahwatnya kepada Yusuf.

Komunikasi semakin jelas setelah Imra’ah Azizah mengucapkan َ‫هيت َلك‬. Kata
ۡ

haita memiliki arti ‘marilah kemari’, sedangkan kata laka bertujuan menegaskan bahwa
ajakan tersebut diperuntukkan buat lawan bicara atau Yusuf. Penyebutan hanya pada
kedua tokoh tersebut menunjukkan rumah itu dalam keadaan sepi atau hanya mereka
berdua saja. Dengan demikian, ungkapan-ungkapan tersebut tidak lain adalah bentuk
ekspresi dorongan syahwat Imra’ah Azizah oleh karena pesona yang dimiliki Yusuf.

Klausa ِ‫ه‬
ۡ َّ ۡ
َ ِ ‫ ولق َدَهمتَب‬yang mengacu pada hasrat syahwat Imra’ah Azizah merupakan

bukti yang menunjukkan hal tersebut. Hal ini diperkuat dengan penggunaan preposisi
‫ ل‬dan ‫ قد‬menjadi ‫‘ لقد‬sungguh atau benar-benar’ sebelum verba, sehingga klausa tersebut
bisa diartikan ‘sungguh perempuan itu benar-benar sangat ingin melakukan dengan
َّ
Yusuf’. Sebaliknya, klausa ‫ وهمَبِها‬Yusuf ingin melakukan juga dengan dia’ mengacu

pada diri Yusuf.


13

Dua klausa di atas hampir sama, akan tetapi keduanya memiliki perbedaan. Perbedaan
ِ ُ َّ ‫‘ ل ۡوَل َأن‬jika tidak melihat kebesaran
keduanya disebabkan ada klausa ِ‫َرءا َب ۡرهَٰن َرب ِ َه‬

Tuhannya’ yang mengikuti klausa ‫وه َّم َبِها‬. Ungkapan tersebut satu sisi sebagai sisi

manusiawi Yusuf dalam hal kebutuhan biologis dan disisi lain Yusuf masih memiliki
kesadaran tentang kebesaran Tuhan, sehingga mampu mengendalikan hasrat
syahwatnya.

Kesadaran terhadap kebesaran Allah SWT mendorong Yusuf untuk berpaling dari
Imra’ah Azizah, sehingga terjadi peristiwa keduanya berlomba-lomba menuju pintu
ۡ ۡ
(Ayat 25). Klausa ََ‫‘ وَٱستبقاَٱۡلاب‬mereka berdua berlomba-lomba menuju satu pintu’

menunjukkan mereka berdua berlari menuju pintu yang sama, dengan Yusuf dalam
ُُ ُ ۡ َّ
posisi di depan. Hal ini sebagaimana ditunjukkan dalam klausa َ‫ر‬
ٖ ‫وقدتَق ِميص َهۥَمِنَدب‬
‘wanita itu menarik baju Yusuf dari belakang’. Setelah keduanya sampai di pintu yang
tuju, muncullah tokoh Al-Aziz (Suami Imra’ah Azizah) sebagai penetral antara Yusuf
dan Imra’ah Azizah, sehingga alur cerita pun menjadi turun dan berganti peristiwa.

Peristiwa-peristiwa selanjutnya tidak terlalu menonjolkan sisi ketampanan Nabi Yusuf,


baik secara fisik maupun psikis. Peristiwa-peristiwa ini lebih pada pembelaan Yusuf
atas tuduhan yang dilontarkan oleh Imra’ah Azizah yang mengadu kepada suaminya
“Apakah pembalasan terhadap orang yang bermaksud berbuat kejelekan dengan
ahlimu, selain dipenjarakan atau dihukum dengan azab yang pedih” ( Ayat 25). Yusuf
pun membela dirinya dengan menyatakan “Dia menggodaku untuk menundukkan
diriku” (Ayat 26). Al-Aziz menangkap baik dua pesan tersebut, sehingga dia pun
bersikap netral. Al-Aziz kemudian mempersilahkan saksi untuk menyelesaikan konflik
antara Yusuf dan Imra’ah Azizah. Peristiwa ini direkam baik dan dinyatakan pada ayat-
ayat selanjutnya (Ayat 26-29).

Peristiwa kedua yang menunjukkan ketampanan dan kerupawanan Nabi Yusuf


ٞ ۡ
digambarkan baik melalui peristiwa sebagai berikut (Ayat 30). Kata ‫ ن ِسوَة‬pada klausa
14

ۡ ٞ ۡ ٞ ۡ
َ‫َِف َٱلمدِين ِة‬
ِ ‫‘ وقال َن ِسوة‬wanita-wanita Mesir’. Kata ‫ ن ِسوَة‬bersinonimi dengan kata nisa

ٞ ۡ
‘wanita’, keduanya sama-sama bermakna plural. Perbedaannya adalah kata ‫ ن ِسوَة‬berarti

plural dengan jumlah sedikit, sedangkan nisa berarti plural dengan jumlah banyak.
ٞ ۡ
Untuk itu, kata ‫ ن ِسوَة‬di atas menunjukkan arti pada wanita-wanita tertentu di kota Mesir.

Sebagaimana umumnya, seorang istri pejabat lebih suka bergaul dengan istri-istri
pejabat.

Setelah kabar skandal itu terdengar, wanita-wanita tersebut menggunjing Imra’ah


َّ ُ ۡ َّ ُ ُ ۡ ُ ۡ
Azizah dengan mengatakan َ‫اَح ًّباهَإِنا‬‫س َهِه َۦ َق ۡد َشغفه‬
ِ ‫يز َترَٰوِد َفتىَٰهاَعنَنف‬
َِ ‫ت َٱلع ِز‬
َ ‫ٱمرأ‬

ُّ
ِ ‫ ’ لَنىَٰه‬Isteri Al-Aziz menggoda bujangnya untuk menundukkan dirinya
ٖ ِ ‫اَِفَضل َٰ ٖلَمب‬
َ‫ي‬

(kepadanya), sesungguhnya cintanya kepada bujangnya itu adalah sangat mendalam’.


ًّ ُ ۡ
Kata hubban pada ‫ قدَشغفهاَحبَاه‬berarti ‘cinta yang meluap-luap’ sedangkan kata hubb

berarti ‘cinta’.

Setelah Imra’ah Azizah mendengar gunjingan yang dialamatkan kepada dirinya,


wanita-wanita itu pun diundang dalam sebuah perjamuan. Alasan Imra’ah Azizah
mengundang wanita-wanita Mesir itu adalah ingin membuktikan bahwa apa yang
dituduhkannya tidaklah benar. Pernyataan ini dinyatakan pada QS. Yusuf Ayat 31 (ayat
ۡ
31). Kata َ‫ مك ِره َِّن‬berarti ‘tipu daya’, namun setelah dihubungkan dengan kata ganti

ketiga ‫( هُن‬kata ganti plural wanita) dan dihubungkan dengan peristiwa ayat 30, maka
ۡ
kata َ‫ مك ِره َِّن‬berarti fitnah yang mengacu pada perkataan buruk wanita-wanita Mesir.

Untuk itulah mereka diundang dalam sebuah perjamuan.

Setelah wanita-wanita Mesir menghadiri perjamuan Imra’ah Azizah, maka dipanggilah


ۡ ۡ
َ ‫تَٱخ ُر‬
Yusuf untuk menampakkan dirinya kepada wanita-wanita tersebut. Klausa َ‫ج‬ ِ ‫قال‬
15

ََّ ‫ عل ۡي ِه‬berarti perintah kepada Yusuf untuk keluar sekadar menampakkan diri. Setelah
‫نه‬

mereka melihat Yusuf, mereka pun kagum kepada (keelokan/ketampanan rupa) Yusuf,
dan mereka melukai (jari) tangannya dan berkata: Maha sempurna Allah, ini bukanlah

manusia. Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah Malaikat yang mulia. Klausa ‫هۥ‬
َ ‫أكَبن‬ ُ ۡ ۡ

memiliki arti kekaguman terhadap ketampanan atau keelokan Yusuf, sedangkan kata

َ‫َق َّط ۡعن‬dalam klausa َ‫وق َّط ۡعن َأيۡدِي ُه َّن‬ berarti memotong berulang-ulang jari tangan

mereka. Kalusa ini jika dihubungkan dengan pesona Yusuf, maka berarti wanita-wanita
Mesir tidak menyadari telah memotong jari tangan mereka sendiri secara berulang
akibat terpesona oleh Yusuf.

Setelah Imra’ah Azizah merasa pesan yang dikirim telah diterima wanita-wanita Mesir,
maka ia mengatakan ‘itulah yang kamu cela aku karena (tertarik) padanya’. Imra’ah
Azizah kemudian mengakui bahwa dirinya benar telah merayu dan menggoda Yusuf
agar takluk dipelukannya, tapi Yusuf menolak. Imra’ah Azizah sendiri merasa dan
menganggap ketergodaan itu adalah hal yang wajar, sebab hal itu pula yang dirasakan
wanita-wanita Mesir. Imra’ah Azizah juga menyatakan jika Yusuf menolak mentaati
apa yang aku perintahkan kepadanya, niscaya dia akan dipenjarakan dan dia termasuk
golongan orang-orang yang hina. ( Ayat 32).

Dua peristiwa atas kekaguman Imra’ah Azizah dan wanita-wanita Mesir terhadap
Yusuf pada dasarnya adalah rangkaian peristiwa yang menunjukkan bahwa Nabi Yusuf
adalah seorang manusia yang sangat tampan dan rupawan secara keseluruhan, baik fisik
maupun psikisnya. Peristiwa di atas juga menggambarkan betapa Yusuf sosok manusia
suci dengan budi pekerti yang bijaksana. Pesan-pesan tersebut Allah SWT sampaikan
tidak secara langsung, akan tetapi melalui sebuah kisah naratif atas peristiwa kehidupan
Nabi Yusuf.

Apa yang disampaikan Al-Qur’an melalui kisah Nabi Yusuf ini telah banyak
melahirkan sebuah presuposisi yang dimaksudkan oleh pengirim pesan. Melalui jalinan
peristiwa yang dituturkan atau diceritakan dengan bahasa yang terstruktur, pengirim
pesan telah mengantisipasi pemahaman pembaca terhadap isi pesan tersebut. Kisah
16

naratif Nabi Yusuf tidak hanya berisi rangkaian peristiwa yang tidak memiliki pesan
tertentu, akan tetapi rangkaian peristiwa tersebut memiliki pesan-pesan dan makna
tertentu yang berhubungan dengan perintah-perintah agama.24

Pesan-pesan tersebut dirangkai dalam bentuk peristiwa, dan untuk memahami isi pesan
tersebut diperlukan pemahaman kebahasaan yang cukup untuk memahami teks naratif
QS. Yusuf. Dengan mengetahui keutuhan teks naratif tersebut, baik kohesi maupun
koherensinya, maka akan lebih mudah memahami isi wacana yang dibangun oleh teks
tersebut.

Penutup
Istilah wacana dipakai dalam bahasa Indonesia dipakai sebagai padanan
(terjemahan) kata discourse dalam bahasa Inggris. Secara etimologis kata discourse itu
berasal dari bahasa latin discursus ‘lari kian kemari’. Kata discourse itu diturunkan dari
kata discurrere. Bentuk discurre itu merupakan gabungan dari dis dan curre ‘lari,
berjalan kencang’. Wacana atau discourse kemudian diangkat sebagai istilah linguistik.
Dalam liguistik, wacana dimengerti sebagai satuan lingual (linguistic unit) yang berada
di atas tataran kalimat. Menurut A.S Hikam, sebagaimana yang dikutip oleh Eriyanto
bahwa analisis wacana ada ada tiga paradigma analisis wacana dalam melihat bahasa:
pandangan positivisme-empiris, pandangan konstruktivisme dan pandangan kritis.

Van Dijk memfokuskan kajiannya pada peranan strategis wacana dalam proses
distribusi dan reproduksi pengaruh hegemoni atau kekeuasaan tertentu. Salah satu
elemen yang penting dalam proses analisis terhadap relasi kekuasaan atau hegemoni
dengan wacana adalah pola-pola akses terhadap wacana publik yang tertuju pada
kelompok-kelompok masyarakat. Secara teoritis bisa dikatakan agar relasi antara suatu
hegemoni dengan wacana terlihat jelas, maka kita membutuhkan hubungan kognitif
dari bentuk-bentuk masyarakat, ilmu pengetahuan, ideologi beragam repsentasi sosial
lain yang terikat dengan pola pikir sosial. Kaitannya adalah hubungan individu dengan
masyarakat, serta struktur sosial makro dan mikro. Wacana digambarkan mempunyai

24
Sumber Contoh: Akram Muhammad, “Analisis Wacana Ketampanan Nabi Yusuf dalam Al-
Qur’an (Sebuah Analisis Wacana dan Analisis Naratif)” dalam
https://www.google.co.id/amp/s/mochacom.wordpress.com/2013/03/07/analisis-wacana-
ketampanan-nabi-yusuf-dalam-alquran-sebuah-analisis-wacana-dan-analisis-naratif/amp/ , di akses 30
april 2017.
17

tiga dimensi, yaitu teks, kognisi sosial dan kontek sosial. Inti analisis Van Dijk adalah
menggabungkan ketiga dimensi tersebut dalam satu kesatuan teks.

Daftar Pustaka

Aliah, Yoce. Analisis Wacana Kritis. Bandung: Yrama, 2009.

Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media.Yogyakarta: LKiS Pelangi


Aksara Yogyakarta, 2006.

Haiatul Umam, “Analisis Wacana Teun A.Van Djik Terhadap Skenario Film
“Perempuan Punya Cerita””, Skipsi. Jakarta: Fakultas Dakwah dan Komunikasi,
UIN Syarif Hidayatullah, 2009.
Ibnuafan. “Penerjemahan Ayat-Ayat Jihad Dalam Alquran Terjemahan Kementarian
Agama RI”, Skripsi. Jakarta: Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif
Hidayatullah, 2014.
Mulyana, Kajian Wacana: Teori, Metode dan Aplikasi Prinsip-Prinsip Analisis
Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005.
Praptomo, Baryadi. Dasar-Dasar Analisis Wacana dalam Ilmu Bahasa. Yogyakarta:
Pustaka Gondhosuli, 2002.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia.Jakarta:


Pusat Bahasa, 2008.

Ratih, Rina,.Pendekatan Intertekstual Dalam Pengkajian Sastra,” dalam Metodologi


Penelitian Sastra, ed Jabrohim.Yogyakarta: Haninidia Graha Widia.

Sobur, Alex. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis
Semiotik, dan Analisis Framing.Bandung: Rosdakarya, 2001.

Anda mungkin juga menyukai