Anda di halaman 1dari 15

TES DAN TUGAS AKHIR SEMESTER

Mata Kuliah : Analisis Wacana

Jenis : Take Home

Pengampu : Prof. Dr. I Nengah Suandi, M.Hum.

Dr. Arifin. M.Pd.

*****

1. Paradigma atau pandangan para ahli terhadap wacana bervariasi.


Hal itu berimplikasi atau berakibat terhadap bervariasinya hakikat
wacana. Hal itu berimplikasi pula terhadap bervariasinya analisis
wacana.
a. Pendapat saya mengenai paradigma terhadap wacana yang bervariasi
berimplikasi terhadap bervariasinya hakikat wacana yaitu,

Pengertian wacana secara umum yaitu rangkaian ujaran lisan maupun tulisan
yang mengungkapkan suatu hal, disajikan secara teratur (memiliki kohesi dan
koherensi), dibentuk oleh unsur segmental dan nonsegmental bahasa. Dalam studi
linguistik, wacana menunjuk suatu kesatuan bahasa yang lengkap, yang umumnya
lebih besar dari kalimat, baik disampaikan secara lisan atau tertulis. Wacana
adalah rangkaian kalimat yang serasi yang menghubungkan proporsi satu dan
yang lain, kaliat satu dengan yang lain, membentuk satu kesatuan. Kesatuan
bahasa itu bisa panjang, bisa pendek. Sebagai sebuah teks, wacana bukan urutan
kalimat yang tidak mempunyai ikatan sesamanya, bukan kalimat yang dideretkan
begitu saja.

Jika ditilik lebih dalam lagi, sebenarnya, ada banyak pengertian tentang
wacana. Pengertian tersebut ada yang sejalan dan ada juga yang tidak sejalan.
Adanya pengertian wacana yang beragam, itu disebabkan oleh pandangan,
paradigma, atau pendekatan yang digunakan para ahli berbeda-beda. Pandangan
atau paradigma yang dimaksud pada prinsipnya dapat dibedakan atas tiga macam,
yaitu pandangan atau paradigma formal (menonjolkan struktur), fungsional
(menonjolkan penggunaan bahasa dalam konteks), dan dialektika, yaitu gabungan
paradigma formal dan fungsional.

Pandangan wacana yang pertama adalah pandangan formal (structural) yang


memandang bahasa sebagai sistem tanda yang terpisah dari faktor-faktor eksternal
bahasa. Pandangan formal/formalis sama dengan istilah
pandangan/paradigmastrukturalis dari Hymes dan a priori grammar dari Hopper
(Abdul Syukur Ibrahim (Ed), 2009: 24). Definisi wacana klasik yang diturunkan
dari asumsi kaum formalis adalah bahwa wacana merupakan “bahasa di atas
kalimat atau klausa”. Mey (dalam Imron Rosidi, 2009) mengatakan bahwa
wacana adalah bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi. Istilah wacana
mengacu ke rekaman kebahasaan yang utuh tentang peristiwa komunikasi.
Komunikasi itu dapat menggunakan bahasa lisan, dan dapat pula memakai bahasa
tulis (Samsuri dalam Imron Rosidi, 2009). Wacana memperlakukan kaidah-kaidah
tata bahasa sebagai suatu sumberdaya yang menyesuaikan dengan kaidah-kaidah
itu ketika memang diperlakukan.

Tarigan (dalam Arifin) menyatakan wacana adalah satuan bahasa; terlengkap,


terbesar, dan tertinggi; diatas kalimat/ klausa; teratur; berkesinambuangan pada;
lisan dan tulisan dan mempunyai awal dan akhir yang nyata. Dengan demikian
pengertian wacana dalam konteks ini mengacu pada sebuah paragraf yang
lengkap. Sebagai sebuah paragraf yang dianggap wacana tentu saja paragraf itu
memiliki sebuah ide pokok (main ide) dan ide pendukung (supporting idea).
Keduanya berkolaborasi merangkai pesan. Dengan cara demikian, pesan yang
disampaikan dalam sebuah wacana terkemas dengan baik sehingga mudah
dipahami dan pandangan ini dipahami sebagai lebih mengarah pada pandangan
formal.

Bahasa bersifat sistemis dan sistematis. Artinya, bahasa terdiri dari beberapa
subsistem, yaitu subsistem fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan semantik
yang dikombinasikan oleh kaidah-kaidah yang dapat diramalkan. Berdasarkan
asumsi tersebut, deskripsi bahasa yang dihasilkan berupa ciri-ciri formal bahasa,
yakni unsur-unsur bahasa (fonologi, morfologi, sintaksis) dan kaidah-kaidah
bahasa atau struktur bahasa. Pandangan kaum strukturalis ini yang menjadi
pandangan dasar atau paradigma yang melahirkan pengertian wacana secara
formal.

Pandangan yang kedua, pandangan fungsional. Sebuah definisi yang berasal


dari paradigma fungsionalis memandang wacana sebagai penggunaan bahasa.
Pada hakikatnya, percakapan dapat dikatakan sebagai aktivitas komunikasi verbal
dalam interaksi sosial. Sebagai aktivitas komunikasi verbal dalam interaksi
sosial, percakapan dapat disebut wacana dalam pandangan fungsional, yaitu
peristiwa komunikasi yang ditandai oleh penggunaan bahasa antara penutur dan
mitra tutur yang bersifat resiprokal bersemuka untuk mencapai tujuan
sosial (Richard, 1995:3). Tujuan sosial yang dimaksud dalam pandangan tersebut
mengacu kepada upaya pelaku tutur untuk mencapai pemahaman bersama dan
menjalin hubungan harmonis. Seperti yang diperjelas dalam pandangan ini, maka
analisis penggunaan bahasa tidak dapat terlepas dari analisis tentang tujuan-tujuan
dan fungsi-fungsi bahasa dalam kehidupan manusia.

Sebuah definisi wacana sebagai penggunaan bahasa sesuai dengan pandangan


fungsionalisme pada umumnya: wacana dilihat sebagai sebuah sistem (sebuah
cara berbicara yang diatur oleh norma sosial dan budaya) melalui fungsi-fungsi
tertentu yang diwujudkan. Hal itu tampak pada pendapat Searle (1969), Leech
(1995), Sperber dan Wilson (1998) (dalam Arifin, 1998:30), dan Dardjowidjojo
(2003) yang menyebutkanbahwa percakapan dilakukan untuk menyatakan
maksud guna mencapai dan mengandalkan pemahaman bersama. Meskipun
keteraturan formal mungkin dicermati dengan sangat baik, sebuah definisi
fungsionalis tentang wacana mendorong para analis dari struktur dasar keteraturan
tersebut berfokus pada cara pola-pola pembicaraan ditata untuk digunakan dalam
tujuan konteks tertentu dan atau bagaimana pola-pola tersebut muncul dari
penggunaan strategi komunikasi. Ancangan yang berdasarkan pada fungsi
cenderung menggunakan berbagai metode analisis, yang sering didasarkan lebih
pada humanistik untuk mereplikasi: meniru atau menggandakan tujuan atau
kehendak para aktor sendiri (Schiffrin, 2007:41). Dengan demikian, ancangan-
ancangan itu lebih mengandalkan pada cara ujaran disituasikan dalam konteks
daripada karakteristik gramatikal dari ujaran sebagai kalimat.

Pendekatan fungsional kurang baik dokumentasinya, bahkan usaha untuk


memberi perangkat label yang umum pada fungsi-fungsi utama bahasa tidak
memudahkan analisis. Fungsi bahasa yang terlibat dalam pengungkapan
hubungan-hubungan sosial dan sikap pribadi yang berfungsi secara interaksional
(Gillian Brown dan George Yule, 1996 : 1). Wacana lisan sangat mudah dan
banyak ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Wacana lisan terbentuk melalui
perpaduan antara unsur-unsur verbal dan nonverbal. Keduanya berpadu menjadi
satu membangun sebuah wacana. Ketika seorang berbicara, bagian-bagian tubuh
seperti tangan, kepala mata dan bahkan kaki akan bergerak mengikuti nada
pembicaraan dan situasi psikologisnya dalam bertutur. Masing-masing merupakan
bagian yang tidak dari bentuk komunikasi. Dengan demikian, kita dapat
mengetahui bahwa wacana adalah penggunaan bahasa dalam bentuk nyata.

Pandangan ini melahirkan pengertian wacana sebagai bahasa dalam


penggunaan. Wacana dipahami sebagai suatu peristiwa komunikasi, yakni
perwujudan dari individu yang sedang berkomunikasi. Berdasarkan pandangan
tersebut, wacana lebih ditekankan pada upaya memahami maksud dan fungsi-
fungsi penggunaan bahasa. Pandangan kaum fungsionalis ini yang menjadi
pandangan dasar atau paradigma yang melahirkan pengertian wacana secara
fungsional.

Selanjutnya, pandangan ketiga, yaitu pandangan dialektika. Kajian wacana


secara dialektik yang memandang wacana sebagai ujaran, yakni wacana dipahami
sebagai suatu kumpulan unit struktur bahasa yang tidak lepas dari konteks. Maka
keberadaan kalimat dalam suatu wacana tidak dipandang sebagai suatu sistem
(langue/ produk sosial yang masih tersimpan dalam pikiran manusia) tetapi juga
dipandang sebagai (parole/ ujaran yang diproduksi oleh penutur). Schiffrin
(2007:53-54) menyatakan bahwa wacana muncul tidak sebagai sekumpulan unit-
unit struktur bahasa yang dikontekstualkan tetapi sebagai sekumpulan unit-unit
pengunaan bahasa yang dikontekstualkankan.
(Edmonson, 1981 : 4, dalam Arifin) mengemukakan bahwa wacana
adalah satu peristiwa terstruktur yang diwujudkan melalui prilaku linguistik
(bahasa). Kehidupan sehari-hari manusia senantiasa diwarnai oleh berbagai
aktivitas dan peristiwa baik bersifat rutin maupun insidental. Ngaben (upacara
pembakaran mayat di Bali), Tiwah (bagian dari upacara pembakaran mayat pada
masyarakat Dayak nganju di Kalimantan. Batagak pangulu (Minangkabau),
Mengket Rumah (upacara menaiki rumah adat di Batak karo adalah beberapa
contoh peristiwa terstruktur dalam kehidupan manusia. Ini dalam bentuk wacana
yang perwujudannya dapat diamati dalam bentuk teks (Oktavianus, 2006: 29).
Wacana merupakan rekaman kebahasaan yang utuh mengenai peristiwa
komunikasi, baik lisan maupun tulisan. Wacana dapat dikatakan sebagai rentetan
kalimat yang saling berkaitan (menghubungkan proposisi yang satu dengan yang
lainnya) dan membentuk satu kesatuan makna. Purwo (1993: 4) mengartikan
wacana sebagai peristiwa wicara, yaitu apa yang terjadi antara pembicara dengan
penerima. Sedangkan Schiffrin (1994 : 18, dalam Arifin) mengartikan wacana
sebagai bahasa yang memiliki sistem tertentu yang digunakan sesuai dengan
konteks.
Uraian di atas mengimplikasikan bahwa tidak semua urutan-urutan kata
dalam bahasa dapat dianggap sebagai wacana. Ada kriteria-kriteria tertentu yang
harus dipenuhi. Kriteria itulah digunakan untuk menentukan sekelompok kalimat
dapat disebut sebagai wacana atau tidak. Wacana sebagai satuan bahasa
terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat dan klausa yang memenuhi
syarat kekohesifan dan kekoherensian, berkesinambungan serta mempunyai awal
maupun akhir yang jelas baik yang disampaikan secara lisan maupun tulisan.
Meskipun cara pandangan terhadap suatu wacana berbeda-beda, bahasa
masih menjadi objek kajian. Mengkaji suatu wacana pada dasarnya adalah
menganalisispenggunaan bahasa yang terdapat di dalamnya. Dalam hal ini,
penggunaan bahasa yang dimaksud tidak hanya aspek kebahasaan saja, tetapi juga
mencakup aspek penyusunan pesan, penalaran logis, dan adanya fakta-fakta yang
dapat meyakinkan sebagai argumentasinya. Dengan kata lain, pada prinsipnya
wacana merupakan perpaduan dari empat jenis struktur, yaitu struktur gagasan,
proses pikiran pembicara, pilihan bahasa pembicara dan situasi. Dari cara pandang
tersebut dapat dikatakan bahwa analisis wacana, kemudian munculah analisis
wacana (Brown dan Yule,1996:26). Sesuai dengan pandangan tersebut dapat
dikatakan bahwa analisis wacana merupakan cabang ilmu bahasa yang
dikembangkan untuk menganalisis unit bahasa yang lebih besar dari kalimat.
Apabila mengacu pada pengertian dan prinsip analisis tersebut, maka pembahasan
wacana mencakup masalah struktur gagasan wacana, struktur paparan dan struktur
bahasa dalam wacana (Kartomiharjo, 1992 : 1, dalam Arifin ).
Struktur paparan disebut juga struktur ujaran, baik lisan maupun tulis.
Pernyataan ini mengacu pada pengertian wacana sebagai suatu peristiwa wicara,
yaitu apa yang terjadi antara pembicara dan penerima (Purwo, 1993:4). Brown
dan Yule (1996:190) menyebutkan struktur paparan sebagai struktur teks, yaitu
rekaman verbal dari sebuah peristiwa komunikasi, baik lisan maupun tulis. Kohesi
dan koherensi merupakan unsur-unsur yang dikaji dalam struktur paparan
(Kartomiharjo, 1992: 15, dalam Arifin).
Di dalam suatu wacana terdapat gagasan, yakni substansi isi wacana.
Wujud gagasan berupa pengetahuan, pendapat, emosi dan sebagainya,
sedangkan cakupan gagasan dapat berupa isu-isu hangat, pendidikan, agama,
politik, dan sebagainya (Wahab, 1994 : 4). Penggunaan bahasa secara jelas harus
tetap diperhatikan karena pesan akan dapat dipahami dengan baik apabila
penyampaian pesan tersebut sesuai dengan pendengar dan situasi yang
menyertainya. Oleh sebab itu, proposisi, argument,dan penalaran merupakan
aspek-aspek yang biasa dibahas ketika mengkaji struktur gagasan dalam wacana.
Pembahasan Struktur bahasa dalam suatu wacana meliputi diksi, kalimat
dan gaya bahasa. Pembahasan diksi dalam suatu wacana tidak hanya berkaitan
dengan ketepatan penggunaan kata, tetapi juga mengenai tidak diterimanya suatu
kata. Pembahasan kalimat dalam suatu wacana dapat dipelajari dari segi jenis
pemakaian (pernyataan, pertanyaan, dsb.), dari segi struktur (sederhana, majemuk,
dsb.), dan dari segi maknanya. Adapun pembahasan gaya bahasa dalam suatu
wacana meliputi kegiatan pemilihan bentuk ujaran, yaitu ujaran yang mampu
mengungkapkan pesan dan penalaran yang baik dengan mengandalkan kekuatan
bahasa. Selain itu, pembahasan gaya bahasa juga berhubungan dengan kecocokan
pemilihan kata, frasa, klausa, dan kalimat yang digunakan dalam suatu wacana
(Keraf,1985:24; Samsuri, 1988, dalam Arifin).
Masih terkait dengan penggunaan bahasa dalam suatu wacana, Brown dan
Yule (1996:7) menyatakan bahwa bahasa yang digunakan dalam suatu dapat
berupa ragam lisan dan tulisan. Bahasa dalam suatu wacana termasuk sebagai
ragam tulis apabila ketepatan ucapan dilakukan dengan penggunaan huruf-huruf
secara benar serta mempertahankan aspek penyusunan penahapan. Sedangkan
bahasa dalam suatu wacana termasuk sebagai ragam lisan apabila pengerjaannya
dilakukan dengan menggunakan rekaman yang dilanjutkan dengan membuat
transkripsi dan dibubuhi catatan-catatan sesuai dengan kepentingan. Oleh karena
itu, ragam bahasa tulis lebih gramatikal daripada ragam bahasa lisan karena
keberadaannya direncanakan sebelumnya dan ada waktu diperbaiki lagi.
Sebaliknya bahasa lisan muncul secara serta merta dan tidak dapat diperbaiki lagi
(Parera, 1987:7 dalam Arifin).
Maka dari itu, perbedaan yang ada yaitu dalam paham fungsional
menekankan pada bagaimana bahasa digunakan dalam konteks dan paham formal
menekankan pada pola-pola yang diperluas. Menengahi kedua perbedaan
pandangan tersebut, muncul kajian wacana secara dialektik yang memandang
wacana sebagai ujaran, yakni wacana dipahami sebagai kumpulan unit struktur
bahasa yang tidak lepas dari konteks. Dengan cara pandang tersebut, maka
keberadaan kalimat dalam suatu wacana tidak dipandang sebagai suatu sistem
(langue) tetapi juga dipandang sebagai parole. Meskipun ujaran dalam suatu
wacana disusun berdasarkan gramatika (sistem bahasanya). Dengan demikian,
selain kaidah tata bahasa, konteks penggunaan bahasa juga harus diperhatikan
pada saat menyusun suatu ujaran.
Pandangan ini memandang wacana sebagai ujaran, yaitu wacana dipahami
sebagai kumpulan unit struktur bahasa yang tidak lepas dari konteks. Pandangan
ini didasarkan pada pentingnya membahas teks dan konteks. Hubungan teks dan
konteks tidak terlepas dari hubungan-hubungan lain yang sering dianggap berada
antara bahasa dan konteks. Pandangan ini yang menjadi pandangan dasar atau
pardigma yang melahirkan pengertian wacana secara dialektika atau gabungan
formal-fungsional.
Ketiga pandangan atau paradigma di ataslah yang mendasari hakikat
wacana selanjutnya. Artinya, ketiga pandangan atau paradigma itulah yang
mengimplikasikan adanya berbagai jenis hakikat wacana. Beranjak dari ketiga
jenis pandangan tersebut, maka lahirlah hakikat wacana berdasarkan pandangan
formal, fungsional, dan dialektika.
Berdasarkan pandangan formal, wacana adalah satuan bahasa di atas
kalimat yang terlengkap dan terluas dengan kohesi dan koherensi yang tinggi,
yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata, serta dapat disampaikan
secara lisan atau tertulis. Selanjutnya, berdasarkan pandangan fungsional, wacana
adalah rekaman peristiwa komunikasi dengan menggunakan bahasa, baik secara
lisan maupun tertulis dalam konteks interaksi yang mempunyai makna, maksud,
atau tujuan tertentu. Sementara itu, berdasarkan pandangan formal dan fungsional
secara dialektis, wacana berupa rangkaian tuturan lisan atau tulisan yang teratur
yang mengungkapkan suatu hal (subjek). Dalam pandangan ini, wacana dapat
dikatakan sebagai pemakaian bahasa, baik tuturan maupun tulisan yang
merupakan bentuk dari praktik sosial. Praktik wacana bisa jadi menampilkan efek
ideologi atau pandangan penulis dalam konteks sosial.

b. Pendapat saya mengenai paradigma terhadap wacana yang bervariasi


berimplikasi terhadap bervariasinya analisis wacana!

Pada umumnya para ahi mengemukakan, pengertian analisis wacana


melalui cara membandingkan dengan batasan wacana. Beberapa ahli
menyebutkan bahwa batasan pengertian analisis wacana adalah analisis atas
bahasa yang digunakan atau bahasa dalam konteks sosial pemakaian bahasa.
Istilah analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai dalam banyak disiplin
ilmu dan dengan berbagai pengertian. Adanya berbagai paradigma tentang
wacana, baik berdasarkan paradigma formal, fungsional, maupun dialektika maka
hal ini berimplikasi pula terhadap bervariasinya analisis wacana. Dengan
demikian, lahirlah analisis wacana berdasarkan paradigma formal, fungsional, dan
dialektika. Adapun paradigma-pradigma analisis wacana tersebut adalah sebagai
berikut.
Pandangan pertama diwakili oleh kaum positivisme-empiris. Aliran ini
menyatakan bahwa bahasa dilihat sebagai jembatan antara manusia dengan objek
di luar dirinya. Pengalaman-pengalaman manusia dianggap dapat langsung
diekspresikan melalui penggunaan bahasa tanpa adanya hambatan. Hal ini berlaku
selama ia dinyatakan dengan logis, sintaksis, dan memiliki hubungan dengan
pengalaman empiris. Dalam kaitannya dengan analisis wacana, konsekuensi logis
dari pemahaman tersebut adalah orang tidak perlu memahami makna subjektif
dari sebuah pernyataan, sebab yang paling penting adalah apakah pernyataan itu
sudah benar menurut kaidah semantik dan sintaksis. Oleh karena itu, analisis
wacana dimaksudkan untuk menggambarkan tata aturan bahasa sebagaimana
dalam pandangan formal.terhadap bahasa. Analisis wacana di sini dikembangkan
berdasarkan pandangan atau pendekatan formal.

Pandangan yang kedua diwakili oleh kaum konstruktivisme. Dalam aliran


ini, bahasa tidak dipandang sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka
dan yang dipisahkan oleh subjek sebagai penyampai pernyataan. Justru,
konstruksivisme memandang subjek sebagai sentral utama dalam kegiatan
wacana. Dalam hal ini, bahasa dipahami sebagai pernyataan yang dihidupkan
dengan tujuan tertentu. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan
penciptaan realitas sosial. Oleh karena itu, analisis wacana dimaksudkan untuk
mengungkapkan makna dan maksud tertentu. Analisis wacana adalah suatu upaya
untuk membongkar maksud penulis yang tersembunyi dalam wacana itu. Analisis
wacana seperti ini dikembangkang berdasarkan pandangan fungsional atau
padangan interpretivisme.

Selanjutnya, pandangan ketiga disebut sebagai pandangan kritis. Aliran ini


mengoreksi pandangan konstruksivisme yang kurang sensitif pada produksi dan
reproduksi makna yang terjadi, baik secara historis maupun institusional. Menurut
aliran ini, paham konstruksivisme belum menganalisis faktor-faktor hubungan
kekuasaan yang inheren dalam setiap wacana, yang pada gilirannya berperan
dalam membentuk jenis-jenis subjek tertentu. Pemikiran inilah yang akan
melahirkan paradigma kritis. Analisis wacana dalam pandangan ini menekankan
konstelansi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna.
Pemilihan bahasa dalam paradigma kritis dipahami sebagai representasi yang
berperan membentuk subjek dan strategi tertentu. Oleh karena itulah, analisis
wacana kritis digunakan untuk membongkar praktik kekuasaan dan ideologi yang
tersembunyi dalam wacana. Analisis wacana seperti ini dapat dikatakan
menggunakan paradigma dialektika, yaitu mengaitkan unsur formal kebahasaan
yaitu diksi, bentuk-bentuk, dan fungsi atau maksud penggunaan bahasa yang
direalisasikan dalam bentuk tuturan.

Pemahaman mengenai paradigma atau pandangan adalah hal yang sangat


fundamental dalam melakukan analisis wacana. Paradigma atau pandangan yang
digunakan akan memberikan arahan bagi seseorang dalam melakukan analisis
wacana. Beranjak dari paradigma atau pandangan yang pasti dan jelas, hasil
analisis wacana yang diperoleh pun menjadi jelas. Selain itu, paradigma atau
pandangan juga memegang peranan penting bagaimana nantinya seseorang
melakukan analisis wacana, bagaimana ia memandang suatu fenomena,
kepekaannya dan daya analisisnya.

2 a. Ada yang mengatakan bahwa analisis wacana adalah cabang


pragmatik. Jika dicermati betul, pandangan seperti itu bisa saja
terjadi karena

Beranjak dari pandangan analisis wacana konstruktivisme, maka dapat


diketahui bahwa analisis wacana dapat dikatakan cabang dari pragmatik. Analisis
wacana merupakan ingin mengkaji makna dan maksud yang ada dalam sebuah
tuturan maupun yang ada dalam sebuah wacana. Analisa wacana (discourse
analysis) merupakan cabang linguistik (ilmu bahasa yang dikembangkan untuk
menganalisis suatu kebahasaan yang lebih besar daripada kalimat atau klausa.
Tarigan (1984:24) menyatakan bahwa analisis wacana merupakan telaah
mengenai aneka fungsi (pragmatik) bahasa. Dalam hal ini bahasa digunakan
secara berkesinambungan atau untaian wacana. Tanpa konteks, tanpa hubungan-
hubungan wacana yang bersifat antarkalimat dan suprakalimat, maka peristiwa
komunikasi sulit terjadi dengan baik. Dalam upaya menguraikan atau meng-
analisis suatu unit kebehasaan, analisis wacana tidak terlepas dan penggunaan
piranti cabang linguistik lainnya, seperti yang dimiliki oleh semantik, sintaktis,
fonologi, pragmatik, dan lain sebagainya.

Lebih dari itu, analisis wacana dalam menganalisis tuturan berupa bahasa,
agar sampai pada suatu makna yang persis sama atau paling tidak sangat dekat
dengan makna yang dimaksud oleh pembicara dalam wacana lisan atau penulis
dalam wacana tulisan, banyak menggunakan pula sosiolinguistik, yaitu cabang
linguistik yang berupaya menelaah penggunaan bahasa dalam konteksnya. Oleh
karena itu, analisis wacana berupaya menginterpretasikan suatu tuturan yang tidak
terjangkau oleh semantik tertentu, sintaktis, maupun cabang ilmu bahasa lainnya.

Ruang lingkup analisis wacana selain merujuk pada wujud objektif


paparan bahasa berupa teks, juga berkaitan dengan dunia acuan, konteks dan
aspek pragmatik yang ada pada penutur maupun penanggap. Yang dimaksud
dengan dunia acuan, konteks, dan aspek pragmatik yang ada pada penutur maupun
penanggap adalah keterkaitan dengan unsur luas teks. Dalam kaitannya dengan
unsur luar teks, masalah yang dibahas meliputi (1) implikatur (implicature) yang
berkaitan dengan konvensi kebermaknaan kata-kata dalam pertukaran tanggapan,
(2) praanggapan (presupposition) yaitu anggapan dasar dan pola appeanutan
proposisi dalam kalimat baik dikadirkan atau tidak untuk memahami suatu
paparan bahasa, (3) referensi (reference), yaitu pengertian yang dikembangkan
penutur dalam paparan bahasanya sesuai dengan hal yang diacu, (4) inferensi
(inference) yaitu bentuk pengambilan kesimpulan oleh penanggap sewaktu
memahami suatu paparan bahasa.

Lingkup yang berkaitan dengan aspek tekstual antara lain meliputi (1) ciri
pengembangan topik dan tematisasi, (2) ciri struktur informasi, (3) analisis ciri
sekuensi, (4) keastuan unit struktur dan keselarasan relasi semantisnya, (5)
prediksi tingkat keterterimaan untaian kalimat dalam teks, dalam suatu peristiwa
komunikasi.

Dalam menguraikan butir masalah butir masalah tersebut, ada anggapan


dasar yang perlu diperhatikan, yaitu (1) realitas yang bersifat ganda, memiliki
suatu hubungan yang bersifat abstrak dan holistik, (2) keberadaan suatu ralitas
selalu dikondisi oleh tata aturan tertentu sehingga sebagai sistem ralitas yang
mungkin untuk dijelaskan (3) kebermaknaan suatu ralitas bukan ditentukan oleh
unsur tertentu secara isolatif, melainkan oleh keseluruhan unsur yang membangun
secara holistik, dan (4) sebagia struktur realitas dapat disegmatasikan unsur-
unsurnya tanpa melepaskan dari ciri tautan dalam totalitasnya.

Implikatur percakapan (Conversational Implicature) yang dimaksudkan


dalam hal ini adalah ujaran yang menyiratkan suatu yang berbeda dengan yang
sebenarnya diucapkan. Jika ada dua orang yang bercakap-cakap, percakapan itu
dapat berlangsung dengan lancar berkat adanya semacam “kesepakatan bersama”.
Kesepakatan itu antara lain, berupa kontrak tak tertulis bahwa ikhwal yang
dibicarakan tersebut, ahrus saling berhubungan atau berkaitan. Hubungan atau
keterkaitan itu sendiri tidak terdapat pada masing-masing kalimat (yang
dipersambungkan itu). Secara lepas, maksudnya, makna keterkaitan itu tidak
diungkapkan secara literal pada kalimat itu sendiri. Jadi, konsep implikatur ini
dipakai untuk menerangkan perbedaan yang sering terdapat “ apa yang
diucapkan” dengan “apa yang diimplikasilan” (atau implicatium).

Kalimat Sudah jam sembilan ?, misalnya jika ditinjau dari aspek


strukturnya, dapat dianalisis, antara lain, sebagai kalimat yang tidak memiliki
subjek, sebagai kalimat yang merupakan kalimat berita (deklaratif). Kalimat itu
dapat berupa jawaban (yang informatif) terhadap pertanyaan jam berapa
sekarang ? Akan tetapi, jika kalimat Susah jam sembilan itu diucapkan oleh
seorang ibu yang mengelola rumah pondokan (kost) mahasiswi dan diarahkan
kepada seorang mahasiswa yang sedang bertamu menemui mahasiswi anak
semangnya, maka kalimat itu dapat diartikan sebagai perintah pengusiran secara
tidak langsung.

Pada situasi yang sama, dengan informasi yang sama (yakni, perintah
menyuruh pulang tamu pria yang sudah waktunya meninggalkan rumah pondokan
putri itu), alih-alih kalimat Sudah jam sembilan, dapat pulasang ibu rumah
pondokanitu menggunakan Sudah jam berapa sekarang ? Sudah barang tentu
pemilihan mengenai yang mana di antara kedua kalimat tersebut yang diucapkan
akan memberikan dampak yang berbeda pada sipembicaradanpada si lawan
bicara. Jika dapat memilih yang mana di antara kedua kalimat itu yang diucapkan
oleh sang ibu rumah pondokan, tentu saja si mahasiswa itu akan merasa lebih
enak ditegor dengan kalimat deklaratif itu daripada dengan kalimat interogatif.

Contoh lain, misalnya seorang ibu yang menyuruh anak gadisnya


membuat minuman untuk ayahnya cukup mengimplikasikan tuturan sebagai
berikut.

(1) Ibu : Ati, itu air yang sedang direbus barang kali sudah mendidih

Anak : Ya Bu, Bapak kopi atau teh ?

Dengan memperhatikan kebiasaan ayahnya yang suka minum kopi dan


teh, Ati memahami implikatur yang dimaksudkan ibunya, namun ingin ketegasan
dari ibunya tentang pilihan ayahnya pada waktu itu. Dengan menggunakan prinsip
kerja sama, dengan pengalaman-pengalaman sebelumnya, Ati segera ke dapur dan
mengambil ceret yang airnya sedang mendidih karena Ati yakin bahwa ibunya
selalu merebus air di dalam ceret di dapur. Jadi, implikatur akan dengan mudah
diupahami jika antara pembicara dan pendengar telah berbagi pengalaman dan
pengetahuan.

Konsep tentang implikatur percakapan, pada umumnya berangkat dari


asumsi yang dikemukakan oleh Grice dalam Nababan (1987 : 31) bahwa tindakan
berbahasa memandu tindakan orang dalam percakapan untuk mencapai hasil yang
baik. Tindakan tersebut merupakan kerja sama yang diperlukan untuk dapat
menggunakan bahasa secara efektif dan efisien. Perangkat asumsi itu menurut
Grice, terdiri dari empat aturan percakapan (maxims of conversation) yang
mendasar yang dipandang sebagai dasar umum (general principles) yang
mendasari kerja sama penggunaan bahasa yang efisien yang secara keseluruhan
disebut dengan Prinsip Kerja Sama (Cooperative Principle).

2 b. Pendapat saya mengenai statement yang menyatakan bahwa analisis


wacana merupakan salah satu cabang kajian pragmatik adalah lebih
mengarah kepada hal ketidaksetujuan. Jika dikatakan cabang kajian pragmatik,
analisis wacana tidak tepat ditempatkan demikian. Pada hakikatnya, analisis
wacana dan pragmatik adalah disiplin ilmu yang berkembang masing-masing
berdasarkan paradigmanya masing-masing. Saya lebih setuju jika disebutkan
bahwa analisis wacana berkaitan atau bersentuhan langsung dan tak terpisahkan
dengan dispilin ilmu lain, terutama pragmatik dengan alasan sebagai berikut.

Tarigan (1984:24) menyatakan bahwa analisis wacana merupakan telaah


mengenai aneka fungsi (pragmatik) bahasa. Dalam hal ini bahasa digunakan
secara berkesinambungan atau untaian wacana. Tanpa konteks, tanpa hubungan-
hubungan wacana yang bersifat antarkalimat dan suprakalimat, maka peristiwa
komunikasi sulit terjadi dengan baik. Dalam upaya menguraikan atau meng-
analisis suatu unit kebehasaan, analisis wacana tidak terlepas dan penggunaan
piranti cabang linguistik lainnya, seperti yang dimiliki oleh semantik, sintaktis,
fonologi, pragmatik, dan lain sebagainya.

Lebih dari itu, analisis wacana dalam menganalisis tuturan berupa bahasa,
agar sampai pada suatu makna yang persis sama atau paling tidak sangat dekat
dengan makna yang dimaksud oleh pembicara dalam wacana lisan atau penulis
dalam wacana tulisan, banyak menggunakan pula sosiolinguistik, yaitu cabang
linguistik yang berupaya menelaah penggunaan bahasa dalam konteksnya. Oleh
karena itu, analisis wacana berupaya menginterpretasikan suatu tuturan yang tidak
terjangkau oleh semantik tertentu, sintaktis, maupun cabang ilmu bahasa lainnya.

Ruang lingkup analisis wacana selain merujuk pada wujud objektif


paparan bahasa berupa teks, juga berkaitan dengan dunia acuan, konteks dan
aspek pragmatik yang ada pada penutur maupun penanggap. Yang dimaksud
dengan dunia acuan, konteks, dan aspek pragmatik yang ada pada penutur maupun
penanggap adalah keterkaitan dengan unsur luas teks. Dalam kaitannya dengan
unsur luar teks, masalah yang dibahas meliputi (1) implikatur (implicature) yang
berkaitan dengan konvensi kebermaknaan kata-kata dalam pertukaran tanggapan,
(2) praanggapan (presupposition) yaitu anggapan dasar dan pola appeanutan
proposisi dalam kalimat baik dikadirkan atau tidak untuk memahami suatu
paparan bahasa, (3) referensi (reference), yaitu pengertian yang dikembangkan
penutur dalam paparan bahasanya sesuai dengan hal yang diacu, (4) inferensi
(inference) yaitu bentuk pengambilan kesimpulan oleh penanggap sewaktu
memahami suatu paparan bahasa.

Anda mungkin juga menyukai