Kolompok I
Henry Trias Puguh J.
Indri Kusuma Wardhani
Rio Devilito
Siti Arnisyah
Yusuf Muflikh Raharjo
S841508011
S841508015
S841508023
S841508017
S841508034
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Analisis wacana merupakan suatu bidang ilmu linguistik, khususnya sosiolinguistik
yang memusatkan perhatian pada komunikasi atau wacana sebenarnya sebagaimana
dilakukan oleh manusia dalam interaksi sosial. Analisis wacana membahas bahasa dalam
konteks-konteks sosial, khususnya interaksi lisan antara para pembicara dan interaksi tulisan
antara penulis dan pembacanya. Analisis wacana dewasa ini digunakan untuk mengacu pada
makna-makna yang luas cakupannya.
Seperti halnya bahasa, maka wacana pun mempunyai bentuk (form) dan makna
(meaning). Kepaduan makna dan kerapian bentuk merupakan faktor penting untuk
menentukan tingkat keterbacaan dan keterpahaman wacana. Kepaduan (kohesi) dan kerapian
(koherensi) merupakan unsur hakikat wacana,unsur yang turut menentukan keutuhan wacana.
Dalam kata kohesi, tersirat pengertian kepaduan dan keutuhan, dan pada kata koherensi
terkandung pengertian pertalian dan hubungan.
Jika dikaitkan dengan aspek bentuk dan makna, kohesi mengacu kepada aspek
bentuk, dan koherensi kepada aspek makna wacana. Selanjutnya dapat juga dikatakan bahwa
kohesi mengacu kepada aspek formal bahasa, sedangkan koherensi mengacu kepada aspek
ujaran.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana jenis-jenis wacana?
2. Bagaimana hakikat kohesi dan koherensi dalam wacana?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui jenis-jnis wacana.
2. Untuk mengetahui hakikat kohesi dan koherensi dalam wacana.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Jenis-Jenis Wacana
Jenis wacana dapat dikaji dari segi eksistensinya (realitasnya), media komunikasi, cara
pemaparan, dan jenis pemakaian. Menurut realitasnya, wacana merupakan verbal dan
nonverbal sebagai media komunikasi berwujud tuturan lisan dan tulis, sedangkan dari segi
pemaparan, kita dapat memperoleh jenis wacana yang disebut naratif, deskriptif, prosedural,
ekspositori dan hortatori.
1. Wacana Berdasarkan Realitas
Menurut Djajasudarma (1994: 6-7) realitas wacana dalam hal ini adalah eksistensi
wacana yang berupa verbal dan nonverbal. Rangkaian kebahasaan verbal atau language
exist (kehadiran kebahasaan) dengan kelengkapan struktural bahasa, mengacu pada
struktur apa adanya; nonverbal atau language likes mengacu pada wacana sebagai
rangkaian nonbahasa yakni rangkaian isyarat atau tanda-tanda yang bermakna (bahasa
isyarat). Wacana nonbahasa yang berupa isyarat, antara lain berupa:
a. Isyarat dengan gerak-gerik sekitar kepala atau muka, meliputi:
1) Gerakan mata, antara lain melotot, berkedip, menatap tajam (dapatkah kita
menentukan maknanya. Misalnya, melotot = marah; melotot = menyuruh pergi,
dan sebagainya).
2) Gerak bibir, antara lain senyum, tertawa, meringis.
3) Gerak kepala, antara lain mengangguk, menggeleng.
4) Perubahan raut muka (wajah), antara lain mengerutkan kening, bermuka manis,
bermuka masam.
b. Isyarat yang ditunjukkan melalui gerak anggota tubuh selain kepala, meliputi:
1) tangan, antara lain melambai, mengepal, mengacungkan ibu jari, menempelkan
telunjuk pada bibir, menunjuk dahi.
2) Gerak kaki, antara lain mengayun-ayun, menghentak-hentakkan, menendangnendang.
3) Gerak seluruh tubuh, antara lain seperti terlihat pada pantomim, memiliki makna
wacana sebagai teks.
Tanda-tanda nonbahasa yang bermakna berupa: (1) tanda rambu-rambu lalu lintas,
dan (2) di luar rambu-rambu lalu lintas. Tanda lalu lintas, misalnya dengan warna lampu
pada rambu-rambu lalu lintas: merah berarti berhenti, kuning berarti siap untuk maju,
dan hijau berarti boleh maju; tanda diluar lalu lintas adalah bunyi-bunyi yang dihasilkan
dari kentongan, misalnya, berarti ada bahaya. Realitas makna kentongan diwujudkan oleh
masyarakat pendukung wacana tersebut.
2. Wacana Berdasarkan Media Komunikasi
Berdasarkan media komunikasinya, wacana dapat diklasifikasikan atas wacana
lisan dan tulisan.
a. Wacana tulis
Menurut Henry Guntur Tarigan (1987:52) wacana tulis atau written discourse
adalah wacana yang disampaikan secara tertulis, melalui media tulis. Menurut Mulyana
(2005:51-52) wacana tulis (written discourse) adalah jenis wacana yang disampaikan
melalui tulisan. Berbagai bentuk wacana sebenarnya dapat dipresentasikan atau
direalisasikan melalui tulisan. Sampai saat ini, tulisan masih merupakan media yang
sangat efektif dan efisian untuk menyampaikan berbagai gagasan, wawasan, ilmu
pengetahuan, atau apapun yang dapat mewakili kreativitas manusia.
Wacana tulis sering dipertukarkan maknanya dengan teks atau naskah. Namun,
untuk kepentingan bidang kajian wacana yang tampaknya terus berusaha menjadi
disiplin ilmu yang mandiri. Kedua istilah tersebut kurang mendapat tempat dalam kajian
wacana. Apalagi istilah teks atau naskah tampaknya hanya berorientasi pada huruf (graf)
sedangkan gambar tidak termasuk didalamnya. Padahal gambar atau lukisan dapat
dimasukkan pula kedalam jenis wacana tulis (gambar). Sebagaiman dikatakan Hari
Mukti Kridalaksana dalam Mulyana (2005:52), wacana adalah satuan bahasa yang
terlengkap, yang dalam hirarki kebahasaan merupakan satuan gramatikal tertinggi dan
terbesar. Wacana dapat direalisasikan dalam bentuk kata, kalimat, paragraf atau karangan
yang utuh (buku, novel, ensiklopedia, dan lain-lain) yang membawa amanat yang
lengkap dan cukup jelas berorientasi pada jenis wacana tulis.
Menurut Djajasudarma (1994: 7-8) wacana dengan media komunikasi tulis
dapat berwujud antara lain:
1) Sebuah teks/ bahan tertulis yang dibentuk oleh lebih dari satu alinea yang
mengungkapkan sesuatu secara beruntun dan utuh, misalnya sepucuk surat, sekelumit
cerita, sepenggal uraian ilmiah.
2) Sebuah alinea, merupakan wacana, apabila teks hanya terdiri atas sebuah alinea,
dapat dianggap sebagai satu kesatuan misi korelasi dan situasi yang utuh.
3) Sebuah wacana (khusus bahasa Indonesia) mungkin dapat dibentuk oleh sebuah
kalimat majemuk dengan subordinasi dan koordinasi atau sistem elipsis.
b. Wacana lisan
Menurut Tarigan (1987:55) wacana lisan atau spoken discourse adalah wacana yang
disampaikan secara lisan, melalui media lisan. Menurut Mulyana (2005:52), wacana
lisan (spoken discourse) adalah jenis wacana yang disampaikan secara lisan atau
langsung dalam bahasa verbal. Jenis wacana ini sering disebut sebagai tuturan (speech)
atau ujaran (utterance). Adanya kenyataan bahwa pada dasrnya bahasa kali pertama lahir
melalui mulut atau lisan. Oleh karena itu, wacana yang paling utama, primer, dan
sebenarnya adalah wacana lisan. Kajian yang sungguh-sungguh terhadap wacana pun
seharusnya menjadikan wacana lisan sebagai sasaran penelitian yang paling utama.
Tentunya, dalam posisi ini wacana tulis dianggap sebagai bentuk turunan (duplikasi)
semata. Wacana lisan memiliki kelebihan dibanding wacana tulis. Beberapa kelebihan
wacana lisan di antaranya ialah:
1) Bersifat alami (natural) dan langsung.
2) Mengandung unsur-unsur prosodi bahasa (lagu, intonasi).
3) Memiliki sifat suprasentensial (di atas struktur kalimat).
4) Berlatar belakang konteks situasional.
Menurut Tarigan (1987:122) wacana lisan diciptakan atau dihasilkan dalam
waktu dan situasi yang nyata. Oleh sebab itu, dalam semua bentuk wacana lisan terdapat
kaidah-kaidah atau aturan-aturan mengenai siapa yang berbicara (kepada siapa) apabila
(waktunya). Dengan perkataan lain, dalam wacana lisan, kita harus mengetahui dengan
pasti:
1) Siapa yang berbicara
2) Kepada siapa
3) Apabila; pada saat yang nyata
Sebagai pegangan dalam pembicaraan selanjutnya dalam buku kecil ini, maka
yang dimaksud dengan wacana lisan adalah satuan bahasa yang terlengkap dan terbesar
di atas kalimat atau klausa dengan kohesi dan koherensi tinggi yang berkesinambungan
yang mempunyai awal dan akhir yang nyata disampaikan secara lisan.
mengutip
harfiah
kata-kata
yang
dipakai
oleh
pembicara
dengan
mempergunakan konstruksi gramatikal atau kata tertentu, antara lain dengan klausa
subordinatif, kata bahwa, dan sebagainya. (Kridalaksana, 1964: 208-9).
ditandai dengan pengggunaan kata-kata atau ungkapan yang bersifat deskriptif, seperti
rambutnya ikal, hidungnya mancung, dan matanya biru. Dalam wacana ini biasanya tidak
digunakan kata-kata yang bersifat evaluatif yang terlalu abstrak seperti, tinggi sekali, berat
badan tidak seimbang, matanya indah, dan sebagainya.
Wacana deskripsi banyak digunakan dalam katalog penjualan dan juga data-data
kepolisian. Kalimat yang digunakan dalam wacana deskripsi umumnya kalimat deklaratif
dan kata-kata yang digunakan bersifat objektif. Wacana deskripsi cenderung tidak
mempunyai penanda pergeseran waktu seperti dalam wacana narasi.
c. Wacana Prosedural (Eksposisi)
Menurut Djajasudarma (1994:9) wacana prosedural dipaparkan dengan rangkaian tuturan
yang melukiskan sesuatu secara berurutan dan secara kronologis. Wacana prosedural
disusun untuk menjawab pertanyaan bagaimana cara mengerjakan atau menghasilkan
sesuatu.
Menurut Abdul Rani, Bustamul Arifin, dan Martutik (2006:38-39) wacana
eksposisi bertujuan untuk menerangkan sesuatu hal kepada penerima (pembaca) agar
yang bersangkutan memahaminya. Wacana eksposisi dapat berisi konsep-konsep dan
logika yang harus diikuti oleh penerima. Oleh sebab itu, untuk memahami wacana
eksposisi, diperlukan proses berpikir.
Wacana eksposisi menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan kata tanya
bagaimana. Oleh karena itu, wacana tersebut dapat digunakan untuk menerangkan proses
atau prosedur suatu aktivitas. Khusus untuk menerangkan proses dan prosedur, kalimatkalimat yang digunakan dapat berupa kalimat perintah disertai dengan kalimat deklaratif.
d. Wacana Hortatori (Argumentasi)
Menurut Abdul Rani, Bustamul Arifin, dan Martutik (2006:39-40) wacana argumentasi
merupakan salah satu bentuk wacana yang berusaha mempengaruhi pembaca atau
pendengar agar menerima pernyataan yang dipertahankan, baik yang didasarkan
pertimbangan logis maupun emosional (Rottenberg, 1988:9). Senada dengan itu, Salmon
(1984:8) memberikan definisi argumentasi sebagai seperangkat kalimat yang disusun
sedemikian rupa sehingga beberapa kalimat berfungsi sebagai bukti-bukti yang
mendukung kalimat lain yang terdapat dalam perangkat itu.
Menurut Djajasudarma (1994:10) wacana hortatori adalah tuturan yang berisi
ajakan atau nasihat. Tuturan dapat pula berupa ekspresi yang memperkuat keputusan
untuk menyakinkan. Wacana ini tidak disusun berdasarkan urutan waktu, tetapi
merupakan hasil. Wacana ini digunakan untuk mempengaruhi pendengar atau pembaca
agar terpikat akan suatu pendapat yang dikemukakan. Isi wacana selalu berusaha untuk
memiliki pengikut atau penganut, atau paling tidak menyetujui pendapat yang
dikemukakannya itu, kemudian terdorong untuk melakukan atau mengalaminya. Yang
termasuk wacana hortatori antara lain khotbah, pidato tentang politik.
Sebuah wacana dikategorikan argumentasi apabila bertolak dari adanya isu yang
sifatnya kontroversi antara penutur dan mitra tutur. Dalam kaitannya dengan isu tersebut,
penutur berusaha menjelaskan alasan-alasan yang logis untuk meyakinkan mitra tuturnya
(pembaca atau pendengar). Biasanya, suatu topik diangkat karena mempunyai nilai,
seperti indah, benar, baik, berguna, efektif atau sebaliknya.
Pada dasarnya, kekuatan argumen terletak pada kemampuan penutrur dalam
mengemukakan tiga prinsip pokok, yaitu apa yang disebut pernyataan, alasan, dan
pembenaran. Pernyataan mengacu pada kemampuan penutur dalam menentukan posisi.
Alasan mengacu pada kemampuan penutur untuk mempertahakn pernyataannya dengan
memberikan alasan-alasan yang relevan. Pembenaran mengacu pada kemampuan
penutur dalam menunjukkan hubungan antara pernyataan dan alasan.
e. Wacana Ekspositori
Menurut T. Fatimah Djajasudarma (1994:10-11) wacana ekpositori bersifat menjelaskan
sesuatu. Biasanya berisi pendapat atau simpulan dari sebuah pandangan. Pada umumnya,
ceramah, pidato, atau artikel pada majalah dan surat kabar termasuk wacana ekspositori.
Wacana ini dapat berupa rangkaian tuturan yang menjelaskan atau memeparkan sesuatu.
Isi wacana lebih menjelaskan dengan cara menguraikan bagian-bagian pokok pikiran.
Tujuan yang ingin dicapai melalui wacana ekspositori adalah tercapainya tingkat
pemahaman akan sesuatu. Wacana ekspositori dapat berbentuk ilustrasi dengan contoh,
berbentuk perbandingan, uraian kronologis, identifikasi. Identifikasi dengan orientasi
pada meteri yang dijelaskan secara rinci atau bagian demi bagian.
f. Wacana Dramatik
Wacana dramatik menyangkut beberapa orang penutur (persona) dan sedikit bagian
naratif. Pentas drama merupakan wacana dramatik. Drama dahulu dikenal dengan
sebutan sandiwara, tetapi sekarang lebih dikenal dengan nama drama.
g. Wacana Epistolari
Wacana epistolari digunakan di dalam hal surat-surat, dengan sistem dan bentuk tertentu.
Wacana ini dimulai dengan alinea pembuka, isi, dan alinea penutup.
h. Wacana Seremonial
Wacana seremonial berhubungan dengan upacara adat yang berlaku di masyarakat
bahasa. Wacan seremonial dapat berupa nasihat (pidato) pada upacara perkawinan,
upacara kematian, upacara syukuran, dsb.
d. Wacana Hortatori
Wacana hortatori digunakan untuk mempengaruhi pendengar atau pembaca agar tertarik
terhadap pendapat yang dikemukakan. Sifatnya persuasif. Tujuannya adalah mencari
pengikut/penganut agar bersedia melakukan, atau paling tidak menyetujui, pada hal yang
disampaikan dalam wacana tersebut.
e. Wacana Dramatik
Menurut Menurut Mulyana (2005:50) wacana dramatik adalah bentuk wacana yang
berisi percakapan antar penutur. Sedapat mungkin menghindari atau meminimalkan sifat
narasi di didalamnya. Contoh teks dramatik adalah skenario film/sinetron, pentas wayang
orang, ketoprak, sandiwara, dan sejenisnya.
Contoh wacana dramatik:
Ibu : Anakku, kamu sudah dewasa. Apalagi sekarang ini ibu sudah tua.
Anak : Maksud ibu?
Ibu : Ibu ingin segera punya cucu. Ibu ingin sekali menjadi nenek. Kamu harus segera
mencari istri.
Anak : Saya kan belum punya pekerjaan tetap, Bu! Bagaimana nanti saya menghidupi
istri dan anak-anak saya.
Ibu : Tidak usah khawatir. Ibu ada tabungan yang cukup buat kamu buka usaha. Tapi
kamu harus pandai cari tambahan modal. Terima ini.
umumnya
tercipta
kerena
tersedianya
konteks
sosio-kultural
yang
pembuka, dilanjutkan isi, dan diakhiri alinea penutup. Contoh wacana ini adalah pidato
dalam upacara peringatan hari-hari besar, upacara pernikahan (Jawa: tanggap wacana
manten)
f. Wacana hukum dan kriminalitas; persoalan hukum dan kriminalitas, sekalipun bisa
dipisahkan, namun keduanya bagaikan dua sisi dari mata uang: berbeda tetapi menjadi
satu
kesatuan.
hukum mengelilingi
kriminalitas. Contoh istilah yang digunakan dalam wacana hukum dan kriminalitas
seperti tersangka, tim pembela, kasasi, vonis, hakim.
g. Wacana olahraga dan kesehatan; wacana olahraga dan kesehatan berkaitan dengan
masalah olahraga dan kesehatan. Masalah yang berkaitan dengan kesehatan misalnya,
muncul kalimat Sempat joging 10 menit, didiagnosis jantung ringan. Istilah joging
adalah aktivitas olahraga ringan yang berkaitan dengan kesehatan. Oleh karena itu,
munculnya istilah jantung ringan pada bagian berikutnya sama sekali bukan berarti
berat jantung yang ringan (tidak berat), tetapi jenis sakit jantung pada stadium awal
(masih belum mengkhawatirkan).
yang utuh. Faktor lain seperti pengetahuan budaya yang juga membantu dalam menciptakan
koherensi teks. Agar wacana yang kohesif baik, maka perlu dilengkapi dengan koherensi.
Menurut Abdul Rani, dkk (2006:89) yang dimaksud koherensi adalah kepaduan hubungan
maknawi antara bagian-bagian dalam wacana.
Mulyana (2005: 30) di dalam bukunya yang berjudul Kajian Wacana banyak
mengutip pendapat-pendapat ahli berkaitan dengan koherensi. Adapun pendapat tersebut
adalah sebagai berikut, menurut H. G. Tarigan (1987) istilah koherensi mengandung makna
pertalian, dalam konsep kewacanaan berarti pertalian makna atau isi kalimat. Gorys Keraf
(1984) menyatakan bahwa koherensi juga berarti hubungan timbal balik yang serasi
antarunsur dalam kalimat. Sejalan dengan pendapat tersebut Wahjudi (1989) berpendapat
bahwa hubungan koherensi keterkaitan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya,
sehingga kalimat memiliki kesatuan makna yang utuh. Sedangkan Samiati (1989)
berpendapat bahwa wacana yang koheren memiliki cirri-ciri: susunanya teratur dan
amanatnya terjalin rapi, sehingga mudah diintepretasikan. Pendapat-pendapat tersebut
diperkuat oleh pendapat Brown dan Yule (dalam Mulyana, 2006: 30) yang menegaskan
bahwa berarti keterpaduan dan keterpahaman antarsatuan dalam suatu teks atau tuturan.
Dalam sebuah wacana aspek koherensi sangat diperlukan keberadaannya untuk
menjaga pertalian batin antara proposisi yang satu dengan lainnya untuk mendapatkan
keutuhan. Keutuhan yang koheren tersebut dijabarkan oleh adanya hubungan-hubungan
makana yang terjadi antarunsur (bagian) secara semantik. Hubungan tersebut kadang terjadi
melalui alat bantu kohesi, namun kadang-kadang terjadi tanpa bantuan alat kohesi. Secara
keseluruhan hubungan makna yang bersifat koheren menjadi bagian dari organisasi semantis.
Halliday dan Hasan (dalam Mulyana, 2005: 31) menegaskan bahwa struktur wacana
pada dasarnya bukanlah struktur sintaktik, melainkan struktur semantic, yakni semantic
kalimat yang di dalamnya mengandung proposisi-proposisi. Sebab beberapa kalimat hanya
akan menjadi wacana sepanjang ada hubungan makna (arti) di antara kalimat-kalimat itu
sendiri. Keberadaan unsure koherensi sebetulnya tidak hanya pada satuan teks semata (scara
formal), malainkan pada kemampuan pembaca atau pendengar dlam menghubungkan dan
menginterpretasikan suatu bentuk wacana yang diterimanya. Maka dari pendapat tersebut
diperkuat dan disimpulkan oleh Mulyana (2005:31) hubungan koherensi adalah sutau
rangkaian fakta dan gagasan yang teratur yang tersusun secara logis. Koherensi dapat terjadi
secara implisit (terselubung) karena berkaitan dengan bidang makna yang memerlukan
interpretasi. Pendapat tersebut juga diyakini oleh Yayat Sudaryat (2008: 152) koherensi
adalah kekompakan hubungan antar kalimat dalam wAcana. Meskipun begitu, interpretasi
wacana berdasarkan struktur sintaksis dan leksikal bukan satu-satunya cara. Maka koherensi
merupakan bagian dari suatu wacana, sebagai organisasi semantic, wadah gagasan yang
disusun dalam urutan yang logis untuk mencapai maksud dan tuturan yang tepat.
1. Hubungan kohesi dan koherensi
Kohesi dan koherensi tidak dapat terpisahkan satu dengan yang lainnya. Dua istilah
ini merupakan satu kesatuan yang selalu melekat. Sebuah teks terutama teks tulis
memerlukan unsur pembentuk teks. Kohesi merupakan salah satu unsur pembentuk teks yang
penting. Menurut Mulyana (2005: 26) menyatakan bahwa kohesi dalam wacana diartikan
sebagai kepaduan bentuk yang secara struktural membentuk ikatan sintaktikal. Sejalan
dengan hal tersebut Anton M. Moeliono (dalam Mulyana, 2005: 26) menyatakan bahwa
wacana yang baik dan utuh menayaratkan kalimat-kalimat yang kohesif.
2. Jenis-jenis Kohesi
Kohesi wacana terbagi di dalam dua aspek, yaitu kohesi gramatika dan kohesi
leksikal. Gutwinsky (dalam Yayat Sudaryat, 2008: 151) menyatakan bahwa kohesi mengacu
pada hubungan antarkalimat dalam wacana, baik dalam tataran gramatikal maupun tataran
leksikal. Lebih lanjut Menurut Halliday dan Hassan (1976) mengemukakan unsur kohesi
terbagi atas dua macam, yaitu unsur leksikal dan unsur gramatikal. Piranti kohesi gramatikal
merupakan piranti atau penanda kohesi yang melibatkan penggunaan unsur-unsur kaidah
bahasa. Piranti kohesi leksikal adalah kepaduan bentuk sesuai dengan kata. Kohesi
gramatikal antara lain adalah referensi, subtitusi, ellipsis, konjungsi, sedangkan yang
termasuk kohesi leksikal adalah sinonimi, repetisi, kolokasi.
a. Kohesi gramatikal
1) Referensi
Menurut Yayat Sudaryat (2008:153) menyatakan bahwa referensi atau pengacuan
merupakan hubungan antara kata dengan acuan. Kata-kata yang berfungis sebagai
pengacu disebut deiksis sedangkan unsur-unsur yang diacu disebut antesede.
Referensi dapat berupa eksosentris (situasional) apabila mengacu ke anteseden yang
ada di luar wacana, dan bersifat endoforis (tekstual) apabila yang diacuanya terdapat
di dalam wacana. Diperkuat dengan pendapat Mulyana (2005: 27) juga menyatakan
bahwa referensi (penunjukan) merupakan bagian kohesi gramatikal yang berkaitan
dengan penggunaan kata taua kelompok kata untuk menunjuk kata atau kelompok
kata atau satuan gramatikal lainnya.
2) Subtitusi
Harimurti Kridalaksana (dalam Mulyana, 2005:28) menyatakan bahwa subtitusi
(penggantian) adalah proses dan hasil penggantian oleh unsure bahasa oleh unsure
lain dalam satuan yang lebih besar. Penggantian dilakukan untuk memperoleh unsure
pembeda atau menjelaskan strukur tertentu. Proses subtitusi merupakan hubungan
gramatikal, dan lebih bersifat hubungan kata dan makna. Sejalan dengan pendapat
tersebut Yayat Sudaryat (2008: 154) menyatakan bahwa subtitusi mengacu pada
penggantian kata-kata dengan kata lain. Subtitusi mirip dengan referensi.
Perbedaanya, referensi merupakan hubungan makna sedangkan subtitusi merupakan
hubungan leksikan atau gramatikal. Selain itu, subtitusi dapat berupa proverb, yaitu
kata-kata yang digunakan untuk menunjukan tidakan, keadaan, hal, atau isi bagian
wacana yang sdauh disebutkan sebelum atau sesudahnya juga dapat berupa subtitusi
kalusal.
3) Elipsis
Yayat Sudaryat (2008: 155) ellipsis merupakan penghilangan satu bagian dari unsure
kalimat. Sebenarnya ellipsis sama dengan subtitusi, tetapi ellipsis disubtitusi oleh
sesuatu yang kosong. Ellipsis biasanya dilakuakn dengan menghilangkan unsureunsur wacana yang telah disebutkan sebelumnya. Sedangkan pendapat harimurti
Kridalaksana (dalam Mulyana, 2005:280 elipsis (penghilangan/pelesapan) adalah
proses penghilangan kata atau sataun-satuan kebahasaan lain. Bentuk atau unsure
yang dilesapkan dapat diperkirakan ujudnya dari konteks bahasa atau konteks luar
bahasa.
4) Konjungsi
Yayat Sudaryat (2008: 155) menyatakan bahwa konjungsi merupakan kata-kata yang
digunakan untuk menghubungkan unsure-unsur sintaksis (frasa, kalusa, kalimat)
dalam satuan yang lebih besar. Kridalaksana dan Tarigan dalam (Mulyana, 2005: 29)
menyatakan bahwa konjungsi atau kata sambung adalah bentuk atau satuan
kebahasaan yang berfungsi sebagai penyambung, perangkai, atau penghubung
angtara kata dengan kata, frasa dengan frasa, kalusa dengan klausa, kalimat dengan
kalimat dan seterusnya. Konjungsi disebut juga sarana pernagkai unsure-unsur
kewacanaan. Sebagai alat kohesi, berdasarkan perilaku sintaksisnya konjungsi dapat
dibedakan sebagai berikut:
1) Konjungsi koordinatif yang menghubungkan unsure-unsur sintaksis yang
sederajat seperti dan, atau, tetapi;
Seorang yang berfilsafat dapat diumpamakan seorang yang berpijak di bumi sedang
tengadah ke bintang-bintang. Dia ingin mengetahui hakikat dirinya.
2) Kolokasi
Suatu hal yang selalu berdekatan atau berdampingan dengan yang lain, biasanya
diasosiasikan sebagai kesatuan.
Contoh:
UUD 1945 dan Pancasila.
Ada ikan ada air.
3) Sinonimi
Sinonimi merupakan persamaan makna kata.
Contoh:
Hari pahlawan diperingati tiap 10 November. Mereka adalah pejuang bangsa
yang rela mengorbankan jiwa raga demi kesatuan Negara Republik Indonesia.
Jasa mereka selalu dikenang sepanjang masa.
Widdowson (2007:46) mengungkapkan bahwa perangkat kohesi menghubungkan bagianbagian wacana dalam satu kesatuan teks. Relasi kohesif sangat mendukung bagi pendengar/
penerima wacana dalam memahami sebuah wacana. Halliday dan Hasan (1976:6) membagi
kohesi dalam dua jenis yaitu kohesi gramatikal dan kohesi leksikal.
Menurut Halliday dan Hassan (1976), unsur kohesi terbagi atas dua macam, yaitu
unsur leksikal dan unsur gramatikal. Piranti kohesi gramatikal merupakan piranti atau
penanda kohesi yang melibatkan penggunaan unsur-unsur kaidah bahasa. Piranti kohesi
leksikal adalah kepaduan bentuk sesuai dengan kata.
2) Referensi katafora yaitu satuan lingual yang disebutkan setelahnya, mengacu pada
kalimat yang sebelah kanan.
Contoh:
Karena bajunya kotor, Gani pulang ke rumah.
Pronomina enklitik-nya pada kalimat pertama mengacu pada antaseden Gani yang terdapat
pada kalimat kedua.
Jamak
Persona Pertama
Aku, saya
Kami, kita
Persona Kedua
Persona Ketiga
mereka
Contoh:
a) Ida, kamu harus belajar. (referensi bersifat anfora)
b) Kamu sekarang harus lari! Ayo, Okta cepatlah! (referensi bersifat katafora)
Pronomina demonstrasi yaitu pengacuan satual lingual yang dipakai untuk menunjuk.
Biasanya menggunakan kata: ini, itu, kini, sekarang, saat ini, saat itu, di sini, di situ, di sana
dan sebagainya.
Contoh: (a) Di sini saya dilahirkan. (b) Di rumah inilah saya dibesarkan, kata Ani.
Pronominal di sini pada kalimat (a) mengacu secara katafora terhadap antesedan rumah pada
kalimat (b).
Pronomina komparatif adalah deiktis yang menjadi bandingan bagi antasedennya.
Kata-kata yang termasuk kategori pronominal komparatif antara lain: sama, persis, identik,
serupa, segitu serupa, selain, berbeda, tidak beda jauh, dan sebagainya.
Contoh:
Dani mirip dengan Ali karena mereka bersaudara.
2. Substitusi (Penggantian)
Penggantian adalah penyulihan suatu unsur wacana dengan unsur yang lain yang acuannya
tetap sama, dalam hubungan antarbentuk kata, atau bentuk lain yang lebih besar daripada
kata, seperti frasa atau klausa (Halliday dan Hassan, 1979: 88; Quirk, 1985: 863).
Secara umum, penggantian itu dapat berupa kata ganti orang, kata ganti tempat, dan kata
ganti sesuatu hal.
1) Kata ganti orang merupakan kata yang dapat menggantikan nama orang atau beberapa
orang.
Contoh: Nurul mengikuti olimpiade matematika. Ia mewakili Kalimantan Selatan.
2) Kata ganti tempat adalah kata yang dapat menggantikan kata yang menunjuk pada tempat
tertentu.
Contoh: Kabupaten Paser merupakan penghasil minyak terbesar di Kalimantan Timur. Di
sana banyak terdapat pabrik sawit sebagai alat untuk mengolah buah sawit menjadi minyak
mentah.
3) Dalam pemakaian Bahasa untuk mempersingkat suatu ujaran yang panjang yang
digunakan lagi, dapat dilakukan dengan menggunakan kata ganti hal. Sesuatu yang
diuraikan dengan panjang lebar dapat digantikan dengan sebuah atau beberapa buah kata.
Contoh:
Pembukaan UUD 1945 dengan jelas menyatakan bahwa Pancasila adalah dasar negara.
Dengan demikian, Pancasila merupakan nilai dasar yang normatif terhadap seluruh
penyelenggaraan negara Repubublik Indonesia.
Kata demikian pada contoh di atas merupakan kata ganti hal yang menggantikan seluruh
preposisi yang disebutkan sebelumnya.
2) Piranti Pilihan
Untuk menyatakan dua proposisi berurutan yang menunjukan hubungan pilihan.
Contoh:
Pergi ke Pasar Lama atau ke Pasar Baru.
3) Piranti Alahan
Hubungan alahan antara dua proposisi dihubungkan dengan frasa-frasa seperti meski(pun)
demikian, meski(pun) begitu, kedati(pun) demikian, kedatipun begitu, biarpun demikian, dan
biarpun begitu.
Contoh:
Rumi tetap pergi ke Kampus, meskipun hujan.
4) Piranti Parafrase
Parafrase merupakan suatu ungkapan lain yang lebih mudah dimengerti.
Contoh:
Perlu juga diperhatikan bahwa sejumlah teori dan pendekatan yang ada tersebut, bagi
pembaca justru saling melengkapi. Dengan kata lain, apabila tujuan pembaca ingin
memahami keseluruhan aspek dalam karya satra, tidak mungkin mereka hanya memiliki satu
pendekatan.
5) Piranti Ketidaserasian
Ketidakserasian itu pada umumnya ditandai dengan perbedaan proposisi yang terkandung di
dalamnya, bahkan sampai pada pertentangan.
Contoh:
Nyasar di Martapura, padahal saya sudah melihat penunjuk jalan.
6) Piranti Serasian
Piranti keserasian digunakan apabila dua buah ide atau proposisi itu menunjukkan hubungan
yang selaras atau sama.
Contoh:
Nia sangat dermawan, demikian juga dengan ibunya.
Contoh:
Pantun, puisi asli Indonesia, berbeda dengan syair. Pantun mempunyai dua bagian setiap
bait, yaitu bagian sampiran dan isi. Sampiran terdapat dua baris pertama, sedangkan isinya
terkandung pada dua baris terakhir.
15) Piranti Konsesi: memang, tentu saja dalam memberikan penjelasan, adakalanya, pengirim
pesan mengakui sesuatu kelemahan atau kekurangan yang terjadi di luar jalur yang
dibicarakan. Pengakuan itu dapat dinyatakan dengan kata memang atau tentu saja.
Contoh:
Memang benar dia pintar.
konteks yang sesuai. Pengulangan satuan lingual dalam sebuah wacana sangat
mendukung untuk membangun sebuah wacana yang koheren.
Contoh: Adik sedang apel. Apel yang dimakan adik berwarna merah. (Pengulangan penuh)
(Pengulangan sebagian)
b. Kohesi sinonimi merupakan jenis kohesi leksikal yang berupa relasi makna leksikal yang
mirip antara konstituen yang satu dengan yang lain. Adapun Verhaar (1978)
mendefinisikan secara semantis bahwa sinonimi adalah alat kohesi yang digunakan
sebagai ungkapan (bisa berupa kata, frase, atau kalimat) yang maknananya kurang lebih
sama dengan makna ungkapan lain. Sinonimi berfungsi menjalin kepaduan makna dari
satuan lingual tertentu dengan satuan lingual yang lain yang memiliki komponen makna
sepadan. Oleh karena itu, sinonimi merupakan salah satu piranti kohesi yang mendukung
dalam sebuah kepaduan wacana.
Contoh: Pedekate juga jijik banyak kejijikan yang tersimpan dalam pedekate Yang
paling norak tau ngga apa kalo udah lama telfon-telfonan akan tiba masanya di mana lo akan
telfon-telfonan sama gebetan lo dan lo akan main siapa yang akan nutup telfon duluan!
c. Antonimi merupakan kohesi leksikal yang berupa relasi makna kontras antara konstituen
satu dengan yang lain. Sumarlam (2003:40) menyatakan bahwa antonimi disebut juga
dengan oposisi makna. Oposisi makna ini mencakup konsep yang benar-benar
berlawanan sampai yang hanya kontras makna saja.
Contoh: Kamu terlalu baik buat aku, jadi aku harus jahat sama kamu supaya kamu menerima
aku.
d. Kolokasi adalah asosiasi tertentu dalam menggunakan pilihan kata yang cenderung
digunakan secara berdampingan. Kata-kata yang berkolokasi adalah kata-kata yang
cenderung dipakai dalam suatu domain atau jaringan tertentu.
Contoh: Klik like untuk amin dan komen untuk mendoakannya.
dalam wacana. Referensi endoforis yang berposisi sesudah antesedennya disebut referensi
anaforis, sedangkan yang berposisi sebelum antesedennya disebut referensi kataforis.
Substitusi mengacu ke penggantian kata-kata dengan kata lain. Substitusi hampir
sama dengan referensi. Perbedaan antara keduanya adalah referensi merupakan hubungan
makna sedangkan substitusi merupakan hubungan leksikal atau gramatikal. Selain itu,
substitusi dapat berupa proverba, yaitu kata-kata yang digunakan untuk menunjukan
tindakan, keadaan, hal, atau isi bagian wacana yang sudah disebutkan sebelum atau
sesudahnya juga dapat berupa substitusi klausal. Elipsis adalah sesuatu yang tidak terucapkan
dalam wacana, artinya tidak hadir dalam komunikasi, tetapi dapat dipahami. Jadi, pengertian
tersebut tentunya didapat dari konteks pembicaraan, terutama konteks tekstual. Sebagai
pegangan, dapat dikatakan bahwa pengertian elipsis terjadi bila sesuatu unsur yang secara
struktural seharusnya hadir, tidak ditampilkan. Sehingga terasa ada sesuatu yang tidak
lengkap.
Pendapat pakar beberapa pakar tentang kohesi di atas memberikan benang merah
bahwa kohesi sangatlah penting dalam sebuah wacana. Ketersambungan suatu wacana
memunculkan atas dasar piranti kohesi yang bertalian sesuai konteks. Hubungan
antarklausa dengan kalimat dalam sebuah teks memunculkan kepahaman dalam pertalian
struktur gramatikal antar kalimat sehingga membentuk wacana yang koherens.
Terdapat berbagai jenis piranti kohesi. (Haliday dan Hasan, 1976: 5-6) dalam
Suwandi mendeskripsikan piranti kohesi dalam bahasa Inggris, yaitu (1) pengacuan
(reference), (2) penyulihan (substitution), (3) penghilangan (ellipsis), konjungsi
(conjuction), kohesi leksikal (lexical cohesion) (2008: 147). Adapun berbeda piranti
kohesi dalam bahasa Indonesia yang dikemukakan Alwi et al. (1993: 481-486) dalam
Suwandi meliputi (1) hubungan sebab-akibat ; (2) hubungan unsur-unsur yang
mengungkapkan pertentangan, pengutamaan, perkecualiaan, konsesif, dan tujuan; (3)
pengulangan kata atau frasa; (4) kata-kata yang berkorenferensi; dan (5) hubungan leksikal
(hubungan hiponim dan hubungan bagian-keseluruhan) (2008: 147).
Dua pendapat tersebut merupakan piranti kohesi yang digunakan dalam mengetahui
sifat wacana kohesif atau tidak. Dalam kasus analisis wacana bahasa Indonesia sebaiknya
teori yang digunakan yaitu pada Alwi et al karena memang dikatakan piranti tersebut
digunakan untuk menguji kekohesifan wacana dalam bahasa Indonesia. Adapun teori
Haliday dan Hasan digunakan dalam piranti kohesi bahasa Inggris karena dari segi sistem
bahasa Indonesia dan bahasa inggris memang berbeda.
Berikut contoh analisis kohesi dengan menerapkan teori Alwi et al.
JANGAN KENCING DI SINI,
DILARANG KENCING KECUALI ANJING,
MOHON TIDAK BUANG AIR DI SINI.
Dilihat dari piranti kohesinya pada larang kencing disuatu tempat telah mencangkup
lima hal dari pernyataan yang diungkapkan oleh Alwi et al, yakni kalimat imperatif
melarang mengandung suatu sebab akibat apabila tempat tersebut dijadikan untuk buang
air besar maka akan tercium bau pesing akibat bekas air kencing yang mengering. tujuan
agar orang yang membaca tulisan tersebut tidak kecing pada tempat yang tertulis.
Dikuatkan dengan peranti pengulangan kata kencing yang berfungsi untuk menegaskan
serta tempat pelarangan untuk kencing yang diwakilkan dengan kata disini.
I. Contoh Inferensi
Inferensi adalah proses yang harus dilakukan komunikan untuk memahami makna
secara harfiah tidak terdapat dalam wacana (Sumarlam, 2004: 343). Lebih lanjut atau kata
lain inferensi adalah proses memahami makna tuturan sedemikian rupa sehingga sampai
sampai pada penyampaian maksud tuturan (sumarlam 2003: 50). Inferensi terjadi bila
proses yang harus dilakukan oleh pendengar atau pembaca untuk memahami makna yang
secara harfiah tidak terdapat pada wacana yang diungkapkan oleh pembicara atau penulis
(Idat, 1994: 43). Lebih lanjut pendengar atau pembaca dituntut untuk mampu memahami
informasi (maksud) pembicara atau penulis (idat, 1994: 43). Selanjutnya Sumarlam
menjelaskan dalam Syafii untuk dapat mengambil inferensi dengan baik karena konteks
pemakaian bahasa adalah konteks fisik, konteks epistemis, dan konteks linguistik, konteks
sosial (2003: 50).
Inferensi bagian secara tuturan diartikan lebih holistik. Pemaknaan kalimat tuturan
atau tulisan tidak hanya secara tekstual saja, tetapi secara keseluruhan mencakup maksud
yang diinginkan penutur terhadap mitra tutur. Pendengar dan pembaca dituntut untuk
mampu memahami informasi. Sesuatu yang tidak disampaikan kepada pendengar atau
pembaca, tetapi keduanya harus memahami apa yang tidak disampaikan secara langsung.
Penafsiran makna dapat ditopang oleh tuturan yang berurutan dengan menggunakan halhal yang bersifat umum. Berikut contohnya.
Bu, besok sahabatku berulang tahun. Saya diundang makan malam. Tapi saya tak
punya baju baru , kadonya lagi belum ada, kata anak.
Pernyataan seorang anak pada wacana di atas jelas tidak menyangkut masalah permintaannya
dibelikan baju baru untuk pesta ulang tahun sahabatnya atau meminta dibelikan kado untuk
kawannya yang berulang tahun, tetapi sebagai mitra tutur seorang ibu harus mengambil
inferensi, apa yang dimaksud anak itu.
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa jenis wacana dapat dikaji dari segi
eksistensinya (realitasnya), media komunikasi, cara pemaparan, dan jenis pemakaian.
Menurut realitasnya, wacana merupakan verbal dan nonverbal sebagai media komunikasi
berwujud tuturan lisan dan tulis, sedangkan dari segi pemaparan, kita dapat memperoleh jenis
wacana yang disebut naratif, deskriptif, prosedural, ekspositori dan hortatori.
Koherensi merupakan bagian dari suatu wacana, sebagai organisasi semantic, wadah
gagasan yang disusun dalam urutan yang logis untuk mencapai maksud dan tuturan yang
tepat. Sedangkan kohesi dalam wacana diartikan sebagai kepaduan bentuk yang secara
struktural membentuk ikatan sintaktikal dan berkenaan dengan hubungan bentuk antara
bagian-bagian dalam suatu wacana.
Referensi atau pengacuan merupakan hubungan antara kata dengan acuannya. Katakata yang berfungsi sebagai pengacu disebut deiksis sedangkan unsur-unsur yang diacunya
disebut antesedan. Sedangkan inferensi adalah proses memahami makna tuturan sedemikian
rupa sehingga sampai sampai pada penyampaian maksud tuturan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rani, Bustanul Arifin, Martutik. 2006. Analisis Wacana Sebuah Kajian Bahasa dalam
Pemakaian. Malang: Bayumedia Publishing.
Anjani, Esa Agita. 2013. Kohesi dan Koherensi Wacana Stand Up Comedy Prancis dan
Indonesia. Kawistara. Vol. 3 (3), h 227-334.
Halliday, M., & Hasan, R. 1976. Cohesion In English. London: Longman.
Halliday, M.A.K. dan Ruqaiya Hasan. 1992. Bahasa, Konteks, dan Teks : Aspek-Aspek
Bahasa dalam Pandangan Semantik. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Husain Junus dan Aripin Banasaru. 1996. Bahasa Indonesia: Tinjauan Sejarahnya dan
Pemakaian Kalimat yang Baik dan Benar. Surabaya: Usaha Nasional.
Idat, T. F. Dj. (1994). Wacana: Pemahaman dan Hubungan antarunsur. Bandung: Eresco.
Jaffar H Assegaf. 1985. Jurnalistik Masa Kini. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Mulyana. 2005. Kajian Wacana Teori, Metode, dan Aplikasi Prinsip-Prinsip Analisis
Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Onong Uchjana Effendy. 1990. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Rhenald Kasali. 1995. Manajemen Periklanan, Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Jakarta;
Pusaka Utama Grafiti.
Setiawan, Budhi.2010. Analisis Wacana dan Pembelajaran Bahasa. Slatiga: Widya Sari
Press.
Sumarlam. 2009. Teori dan Praktik Analisis Wacana. Surakarta: Pustaka Karya.
Supriyadi, S. (2011). Wacana Karikatur Indonesia Perspektif Kajian Pragmatik. Surakarta:
UNS PRESS.
Suwandi. (2008). Serbalinguistik: Mengupas pelbagai Praktik Berbahasa. Surakarta: UNS
PRESS.
Widdowson, H.G.2007. Discourse Analysis. New York: Oxford University Press.
Yayat Sudaryat. 2008. Makna dalam Wacana. Bandung: Yrama Widya.