Anda di halaman 1dari 12

PENDEKATAN PSIKOLINGUISTIK DALAM PENGAJARAN BAHASA INDONESIA

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikolinguistik

Oleh Kelompok 2:

Lilis Sartika 20187170040

Marissa Fitrisia Aswara 20187170007

Rahmat Hidayatullah 20187170089

Uswatun Hasanah 20177179047

Kelas IIIC

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA

FAKULTAS PASCASARJANA

UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI

2019
BAB 1

PENDAHULUAN

Psikolinguistik adalah ilmu yang mempelajari proses-proses mental yang dilalui oleh

manusia dalam berbahasa (Dardjowidjojo, 2010:7). Dalam hal ini, psikolinguistik berfokus

kepada apa yang terjadi pada pikiran manusia saat berbahasa atau menggunakan bahasa dan

bagaimana anak-anak dalam memperoleh bahasanya kemudian menggunakan bahasa tersebut.

Berkaitan dengan proses-proses mental tersebut, Chaer (2003:6) mengatakan bahwa

psikolinguistik mencoba menerangkan hakikat struktur bahasa dan bagaimana struktur itu

diperoleh, digunakan pada waktu bertutur, dan pada waktu memahami kalimat-kalimat dalam

pertuturan itu. Dalam praktiknya, psikolinguistik mencoba menerapkan pengetahuan linguistik

dan psikologi pada masalah-masalah praktis, seperti masalah pembelajaran dan pengajaran

bahasa, pengajaran membaca permulaan dan membaca lanjut, kedwibahasaan dan

kemultibahasaan, penyakit bertutur, seperti afasia, gagap, dan sebagainya; serta masalah-masalah

sosial lainnya yang menyangkut bahasa, seperti bahasa dan pendidikan; bahasa dan

pembangunan nusa dan bangsa.

Objek psikolinguistik adalah bahasa yang berproses dalam jiwa manusia yang tercermin

dalam gejala jiwa dan ruang lingkup psikolinguistik yakni bahasa dilihat dari aspek – aspek

psikologi dan sejauh yang dapat dipikirkan oleh manusia. Hubungan bahasa dan pikiran adalah

hubungan timbal balik bahwa bahasa membentuk pikiran dan sebaliknya pikiran membentuk

bahasa. Bahasa merupakan medium paling penting bagi semua intekrasi manusia dan dalam

banyak hal bahasa dapat disebut sebagai intisari dari fenomena sosial. Bahasa sebagaimana yang

dikatakan oleh ahli sosiologi bahasa, bahwa tanpa adanya bahasa, tidak akan ada kegiatan dalam
masyarakat selain dari kegiatan yang didorong oleh naruni saja. Sehingga bahasa merupakan

pranata sosial yang setiap orang menguasai, agar dapat berfungsi dalam daerah yang bersifat

kelembagaan dari kehidupan sosial. Oleh karena itu, psikolinguistik adalah sebagai sesuatu

bidang ilmu yang luas yang turut berperan dalam memberikan berbagai pertimbangan khususnya

dalam proses pembelajaran bahasa.

Berkaitan dengan psikolinguistik, guru dapat menerapkan pendekatan dalam pengajaran

bahasa dengan melihat dari sisi peserta didik. Misalnya pendekatan yang bersifat dengan teori

tertentu, seperti behavioral atau mentalis. Semua upaya dalam menerapakan pendekatan dapat

mencapai tujuan yang optimal yaitu siswa dapat berbahasa dengan baik dan benar.

Psikolinguistik yang didalamnya merangkum beberapa pendekatan dapat membantu guru dalam

membuat perencanaan pengajaran yang apik untuk setiap pertemuan. Sehingga bertujuan akhir

guru dapat memprogram pengajaran bahasa sedemikian rupa.

Pembelajaran merupakan upaya memelajarkan siswa. Kegiatan pengupayaan ini akan

mengakibatkan siswa dapat mempelajari sesuatu dengan cara efektif dan efisien. Upaya-upaya

yang dilakukan dapat berupa analisis tujuan dan karakteristik studi dan siswa, analisis sumber

belajar, menetapkan strategi pengorganisasian, isi pembelajaran, menetapkan strategi

penyampaian pembelajaran, menetapkan strategi pengelolaan pembelajaran, dan menetapkan

prosedur pengukuran hasil pembelajaran. Oleh karena itu, setiap pengajar harus memiliki

keterampilan dalam memilih strategi pembelajaran untuk setiap jenis kegiatan pembelajaran.

Dengan demikian, dengan memilih strategi pembelajaran yang tepat dalam setiap jenis kegiatan

pembelajaran, diharapkan pencapaian tujuan belajar dapat terpenuhi. Gilstrap dan Martin (1975)

juga menyatakan bahwa peran pengajar lebih erat kaitannya dengan keberhasilan pembelajar,

terutama berkenaan dengan kemampuan pengajar dalam menetapkan strategi pembelajaran.


Keberhasilan sebuah pembelajaran bahasa akan sangat bergantung pada komponen yang

terlibat dalam pembelajaran. Komponen tersebut di antaranya adalah siswa sebagai subjek didik

dan materi pembelajaran bahasa yang dipelajari oleh siswa. Karena itulah, dalam pembelajaran

bahasa pemahaman tentang psikolinguistik dipandang penting. Melalui psikologi dipelajari

mengenai siswa dan melalui linguistik dipelajari mengenai materi bahasa. Melalui interdisiplin

ini dapat dipahami proses yang terjadi dalam diri siswa ketika memahami materi bahasa.
BAB 2

PEMBAHASAN

A. Peran Psikolinguistik dalam Pembelajaran Bahasa

Bahasa sebagai wujud atau hasil proses dan sebagai sesuatu yang diproses bisa berupa

bahasa lisan atau bahasa tulis, sebagaimana dikemukakan oleh Kempen (Mar’at, 1983:5) bahwa

Psikolinguistik adalah studi mengenai manusia sebagai pemakai bahasa, yaitu studi mengenai

sistem-sistem bahasa yang ada pada manusia yang dapat menjelaskan cara manusia dapat

menangkap ide-ide orang lain dan bagaimana ia dapat mengekspresikan ide-idenya sendiri

melalui bahasa, baik secara tertulis ataupun secara lisan.

Pada proses pembelajaran bahasa, siswa atau peserta didik adalah subjek dalam

pembelajaran. Dalam hal ini, siswa dianggap sebagai organisme yang beraktivitas untuk

mencapai ranah-ranah psikologi, baik kognitif, afektif, maupun psikomotor. Kemampuan

menggunakan bahasa baik secara reseptif (menyimak dan membaca) ataupun produktif

(berbicara dan menulis) melibatkan ketiga ranah tadi.

Suwarno (2002:18) menyatakan bahwa pembelajaran merupakan suatu usaha disadari

untuk menguasai kaidah-kaidah kebahasaan. Belajar bahasa dilakukan secara formal dalam

setting yang formal pula, misalnya pembelajaran bahasa dalam kelas. Namun demikian, belajar

bahasa secara formal tidak harus dilakukan dalam suatu tempat yang dibatasi oleh ruang atau

tidak harus dilakukan dalam kelas. Kegiatan belajar dimanapun asalkan proses belajar itu

diarahkan pada penguasaan kaidah kebahasaan secara disadari, maka proses itu disebut

pembelajaran.
Apabila dikaitkan dengan keterampilan berbahasa yang harus dikuasai oleh siswa, hal

ini berkaitan dengan keterampilan berbahasa, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan

menulis. Pendapat tersebut menyatakan bahwa psikolinguistik pun mempelajari pemerolehan

bahasa oleh manusia sehingga manusia mampu berbahasa. Lebih jauhnya bisa berkomunikasi

dengan manusia lain, termasuk tahapan-tahapan yang dilalui oleh seorang anak manakala anak

belajar berbahasa sebagaimana dikemukakan oleh Palmatier (Tarigan, 1985:3) bahwa

Psikolinguistik adalah ilmu yang mempelajari perkembangan bahasa anak. Semua bahasa yang

diperoleh pada hakikatnya dibutuhkan untuk berkomunikasi.

Pada proses belajar secara formal maupun nonformal proses psikolinguistik bekerja

untuk memperoleh bahasa melalui pembelajaran tersebut. Lain halnya dengan pemahaman

filosofis, bahasa sebagai sesuatu yang otonom dengan kondisi kejiwaan manusia sehingga perlu

dikaji dari perspektif behaviorisme dimana hal tersebut dicetuskan oleh Edward dan Lee

Thorndike (1874 – 1949). Thorndike menuturkan dalam karya agungnya berjudul Human Nature

and The Social Order (1949): ―Hukum reaksi bervariasi (behavioristik) melihat pada individu

diawali oleh proses trial and error yang menunjukan adanya bermacam-macam respons sebelum

memeroleh respons yang tepat dalam memecahkan masalah yang dihadapi.

Temuan Thorndike itu sangat relevan dengan pembelajaran di kelas. Khususnya pada

penelitian dikelas 6-12 yang ada pada tahap operasional konkret dan operasional formal. Dalam

hal ini subjek didik (peserta didik/siswa) diarahkan untuk mengeksplorasi kemampuan diri

secara maksimal dalam meniti pengetahuan/ilmu pengetahuan. Dalam konteks pembelajaran

bahasa, pemahaman dari salah satu keterampilan berbahasa, menulis semisalnya, diwujudkan

dengan memproduksi teks secara terus menerus. Artinya, peserta didik/siswa melakukan

kegiatan menulis berkelanjutan dengan didasarkan semangat trial and error (istilah Thorndike);
sebab ide atau gagasan yang hendak ditulis tidak lantas muncul begitu saja dari otak manusia

sehingga perlu proses kontemplatif diri yang tidakinstan.

Senada dengan Thorndike, Otto Jespersen (1982 yakni seorang pakar linguistik yang

berkebangsaan Denmark. Ia telah menganalisis bahasa menurut psikologi mentalistik yang juga

berbau behavioristik bahwa mengimplikasikan psikolinguistik dalam pembelajaran bahasa ini

semakin penting bila diposisikan sebagai landasan (alur) keberhasilan pengajaran jika didasarkan

ke arah pendidikan karakter. Artinya, apabila implikasi itu telah dipahami secara komprehensif,

etika pendidik dalam mengajar di situasi heterogen tak lagi semena-mena. Pendidik yang

memahami kondisi psikis peserta didik akan menciptakan kondisi belajar yang beradab dan

bijaksana. Seperti kasus pengajaran yang dilakukan oleh seorang pendidik di India, yakni dalam

film Tare Zameen Par, saat menemui peserta didiknya yang mengalami kesulitan dalam

membedakan huruf. Setelah dianalisis, sang pendidik itu mendiagnosis bahwa peserta didiknya

mengalami gangguan berbahasa yang disebut sebagai disleksia. Pendidik itu paham bahwa

proses pembelajaran di kelas tak terlepas dari persoalan singular (subjek didik). Oleh karena itu,

pendidik haruslah peka terhadap kondisi apapun yang menyangkut pedidiknya—termasuk

kondisi kejiwaan (psikologis) peserta didik. Akhirnya, sang pendidik tadi memberikan perlakuan

khusus pada sang anak penderita disleksia. Ia yakin bahwa disleksia bukanlah penyakit akut yang

patut diratapi. Sebaliknya, penderita disleksia dapat diterapi dengan bermodalkan kesungguhan

dan keuletan. Pelbagai ilustrasi di atas menggambarkan betapa pentingnya implikasi

psikolinguistik dalam pembelajaran bahasa.

Tujuan umum pembelajaran bahasa, yaitu siswa mampu menggunakan bahasa yang

baik dan benar, baik dalam berbahasa lisan ataupun berbahasa tulis yang diasuh oleh pendidik

yang memahami betul ilmu psikolinguistik secara komprehensif sehingga siswa dapat berbahasa
dengan baik dan benar melalui pengetahuan dan kaidah-kaidah bahasa yang diajarkan oleh

gurunya. Dalam hal ini adalah kaidah-kaidah bahasa yang dipelajari dalam linguistik. Untuk

dapat menggunakan bahasa secara lancar dan komunikatif siswa tidak hanya cukup memahami

kaidah bahasa, tetapi diperlukan kesiapan kognitif (penguasaan kaidah bahasa dan materi yang

akan disampaikan), afektif (tenang, yakin, percaya diri, mampu mengeliminasi rasa cemas, ragu-

ragu, waswas, dan sebagainya), serta psikomotor (lafal yang fasih, keterampilan memilih kata,

frasa, klausa, dan kalimat). Dengan demikian, jelaslah bahwa betapa penting peranan

psikolinguistik dalam pembelajaran bahasa. Seperti halnya ungkapan orang tua dahulu bahwa

―Guru (pendidik) ialah orang tua di sekolah bagi siswa (peserta didik) yang tak semata-mata

menyampaikan materi saja tapi juga perlu memahami kondisi jiwa tiap siswa yang diasuhnya.

Sebab, dengan memahami psikologi anak, pembelajaran akan terarah ke pusat cita-cita yang

diinginkan yaitu terciptanya sebuah peradaban bangsa.

B. Hubungan Psikolinguistik dengan Pembelajaran Bahasa

1. Mengarahkan penggunaan bahasa yang baik.

Pada hakekatnya, tujuan dari pembelajaran bahasa adalah individu, yang diharapkan

dapat menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar, baik dalam berbahasa lisan

maupun tulisan. Berbahasa Indonesia yang baik, benar dan sesuai dengan kaidah-kaidah

bahasa.

Kaidah bahasa tersebut akan dijumpai dan dipelajari dalam ilmu linguistik. Tak

hanya membutuhkan kaidah bahasa untuk memperlancar bahasa, individu juga perlu

adanya kesiapan kognitif, afektif (ketenangan atau keyakinan tanpa rasa cemas), serta

aspek psikomotor (pelafalan yang fasih dan kemampaun dalam memilih kata yang baik dan
tepat). Aspek-aspek ini seluruhnya didapatkan, dipelajari, dan dipahami dalam studi ilmu

psikolinguistik.

2. Menganalisa kesalahan berbicara menyimpang.

Individu dianggap sebagai subjek yang dapat menjangkau aspek psikologi baik

kognitif, afektif, maupun psikomotor. Aspek-aspek ini dibutuhkan saat kita menggunakan

bahasa baik pada saat reseptif (menyimak dan membaca) atau saat produktif (berbicara dan

menulis).

Garnham (Nababan, 1992:60-61) pernah meneliti kegiatan berbicara yang melakukan

penyimpangan atau kesalahan berbicara yang kurang benar. Ia mengatakan bahwa

penyebab kesalahan ini disebabkan oleh kesaratan beban (overloading), perasaan waswas,

penguasaan materi yang kurang, pengaruh dari perasaan afektif, kesukaran melafalkan

kata-kata dan topik pembicaraan yang kurang dikuasai. Perasaan waswas terkait dengan

ranah afektif, kurang menguasai materi terkait dengan ranah kognitif dan sukar melafalkan

kata-kata terkait dengan psikomotor. Dengan psikolinguistik kesalahan pembelajaran

bahasa yang kurang benar dapat dianalisa.

3. Menjelaskan proses pemerolehan bahasa kedua (B2).

Pembelajaran bahasa yang mengacu pada proses pemerolehan bahasa kedua (B2)

adalah pada saat seseorang memperoleh bahasa pertamnaya (B1). Terdapat seorang pakar

yang menyebut sebagai pembelajaran bahasa (language learning) dan ada yang

menyebutnya sebagai pemerolehan bahasa (language acquisition).

Kedua istilah pembelajaran diambil karena bahasa kedua dapat dikuasai dengan

proses belajar yang berbasis formal. Tentu hal ini berbeda dengan bahasa ibu yang dapat

diperoleh secara ilmiah. Di dalam suatu masyarakat yang bilingual atau multilingual,
pemerolehan bahasa kedua bisa terjadi secara informal seperti di daerah pinggiran Jakarta,

dimana Melayu Betawi bercampur dengan bahasa Sunda sehinggga mereka lebih condong

berbahasa dialek Jakarta dan berbahasa Sunda.

4. Menguasai kaidah-kaidah bahasa.

Suwarno (2002:18) menjelaskan bahwa pembelajaran adalah usaha yang bertujuan

dalam menguasai kaidah-kaidah kebahasaan. Jika rasa kebersamaan itu banyak sekali

dipupuk, maka seluruh kaidah bahasa akan mudah dipelajari dan diterapkan di banyak

aspek. Namun, pembelajaran bahasa tidak pernah membatasi setting yang harus menuntut

dalam ranah yang formal, seperti pembelajaran di kelas. Akan tetapi, pembelajaran formal

tidak hanya terbatas pada suatu tempat yang dibatasi oleh ruang seperti di dalam kelas.

Sebab belajar dimanapun, asalkan tujuan belajar tersebut diperuntukkan untuk menguasai

kaidah kebahasaan sehingga sama sekali tidak menjadi masalah.

5. Mengetahui kesiapan kognitif.

Selain pada penguasan kaidah-kaidah bahasa yang diatur oleh psikolinguistik, peran

selanjutnya adalah bagaimana seseorang dapat bersiap secara kognitif untuk memperlancar

komunikasi. Kesiapan kognitif  meliputi penguasaan kaidah bahasa dan materi yang telah

disampaikan. Kemudian kesiapan secara afektif, yakni perasaan tenang, percaya diri (tidak

cemas, mampu mengurangi rasa ragu dan was was serta masih banyak lagi). Secara

psikomotor, seseorang juga diharapkan mampu melafalkan suatu bahasa dengan fasih serta

mampu memilih kata, frasa, klausa maupun kalimat. Hal-hal semacam ini hanya ada pada

bidang ilmu psikologi dan linguistik.


6. Mengenal manusia sebagai pemakai bahasa.

Salah satu hal penting dalam hubungan psikolinguistik dengan pemerolehan bahasa

adalah  mengenal manusia sebagai pemakai bahasa. Dalam aspek ini, psikolinguistik

menyediakan hal itu sebagai bentuk pemerolehan sebuah bahasa. Yang diperlajari disini

adalah sistem-sistem bahasa yang terdapat pada manusia seperti, cara manusia untuk

menangkap ide-ide orang lain dan bagaimana orang tersebut mengekspresikan ide mereka

sendiri menggunakan bahasa, baik itu secara tertulis ataupun tidak.

7. Bahasa adalah ekspresi.

Hubungan psikolinguistik dengan pemerolehan bahasa selanjutnya adalah adanya

hubungan kebutuhan-kebutuhan kita untuk mengekspresikan dan mengomunikasikan

melalui bahasa yang telah kita capai sejak kecil. Maka, dalam hal ini psikolinguistik dalam

pemerolehan bahasa adalah bagaimana menggabungkan antara perasaan yang saat itu

sedang kita rasakan dengan bahasa yang kita ucapkan.

Pada hakikatnya, psikolinguistik dan pemerolehan bahasa ditentukan oleh komponen

yang terlibat dalam pembelajaran, seperti siswa, guru dan bahasa yang terlibat dalam

pembelajaran bahasa tersebut. Dalam ilmu psikologi, kita mengenal siswa dan secara

linguistik, lalu kita  kenal bahasa dengan linguistik.


BAB 3

PENUTUP

SIMPULAN

Psikolinguistik adalah ilmu yang mempelajari perilaku berbahasa, baik perilaku yang

tampak maupun perilaku yang tidak tampak: resepsi, persepsi, pemerolehan bahasa, dan

pemproduksian bahasa serta proses yang terjadi di dalamnya. Contoh perilaku yang tampak

dalam berbahasa adalah perilaku manusia ketika berbicara dan menulis atau ketika dia

memproduksi bahasa, Sementara itu, contoh perilaku yang tidak tampak adalah perilaku manusia

ketika memahami yang disimak atau dibaca sehingga menjadi sesuatu yang dimilikinya atau

memproses sesuatu yang akan diucapkan atau ditulisnya atau ketika memahami bahasa.

Peran Psikolinguistik dalam pembelajaran bahasa sangat penting karena dengan

memahami psikolinguistik seorang guru memahami pula proses yang terjadi dalam diri siswa

ketika siswa menyimak, berbicara, membaca, ataupun menulis sehingga apabila kemampuan

dalam keterampilan berbahasa anak tersebut bermasalah, maka guru dapat melihat dari sudut

pandang psikologi sebagai alternatif solusinya.

Anda mungkin juga menyukai