14
15
5
Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: pendekatan semantik terhadap al-Qur’an,ibid, h 2-3.
6
Moh. Hatsna, ibid,h. 3.
7
Ahmad Sahida, Toshihiko Izutsu dan sumbangan pemikiran keislaman jepang, ibid.
8
Moh. Matsna, ibid, h. 4.
16
9
Yayan Rahtikawati dan Dadan Rusmana, Metodologi Tafsir Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia),
2013, h. 212.
10
J. D. Parera, Teori Semantik, (Jakarta: Erlangga, 2004), h. 41.
11
Aminuddin, Semantik: Pengantar Studi Tentang Makna, ibid, h. 15.
12
Ibid, h. 16.
17
13
Ibid, h. 16-17.
18
yang tidak difahami dalam upaya mempelajari isi al-Qur‟an, Hadits Nabi, dan
buku-buku berbahasa Arab lainnya. 14
Usaha para linguis Arab dalam mengkaji masalah makna atau semantik
secara sistematik, sudah dilakukan sejak abad kedua hijriyah. Hal ini ditandai
dengan disusunnya sebuah kamus oleh al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi yang diberi
nama kitab al-‘Ain, sesuai kata pertama dari urutan isinya yang disusun
berdasarkan urutan makhraj bunyi mulai dari halq (tenggorokan) sampai ke bibir.15
Sementara itu dalam studi metodologi penafsiran al-Quran, sebenarnya
kajian yang menggunakan metode kebahasaan sudah dilakukan oleh beberapa
mufassir klasik, di antaranya adalah Al-Farrā‟ dengan karya tafsirnya Ma‟āni al-
Qurˊan, Abu Ubaidah, Al-Sijistani dan Al-Zamakhsyari. Lalu kemudian
dikembangkan oleh Amin Al-Khuli yang kemudian teori-teorinya diaplikasikan
oleh „Aisyah bint Al-Syati‟ dalam tafsirnya Al-Bayān Li Quran Al Karim. gagasan
Amin Al-Khuli kemudian dikembangkan lagi oleh Toshihiko Izutsu yang dikenal
dengan teori Semantik al-Quran.16
Menurut Nur Kholis Setiawan, sebagaimana dikutip oleh Mudakir Amin
dalam skripsinya menyebutkan bahwa awal mula kesadaran semantik dalam
penafsiran al-Qur‟an dimulai sejak era Muqātil ibn Sulaiman, dalam karyanya yang
berjudul Al-Asybah wa al-Nadzāir fi al-Qur’an al-Karim dan Tafsir Muqātil ibn
Sulaimān, Muqātil menegaskan bahwa setiap kata dalam al-Qurˊan disamping
memiliki makna definitif (makna dasar) dan makna alternatif lainnya. Contohnya
kata maut, yang mempunyai arti dasar mati. Menurut Muqātil dalam konteks ayat,
kata tersebut bisa memiliki empat makna alternatif, yaitu: tetes yang belum
dihidupkan, manusia yang salah beriman, tanah gersang dan tandus, serta ruh yang
hilang. Berkenaan dengan kemungkinan makna yang dimiliki oleh kosa kata al-
Qur‟an, Muqatil menegaskan bahwa seseorang belum bisa dikatakan menguasai al-
Qur‟an sebelum ia menyadari dan mengenal berbagai dimensi yang dimiliki al-
Qur‟an tersebut.
Contoh yang lainnya adalah kata ma’. Dalam konteks pembicaraan al-
Qur‟an memiliki tiga alternatif makna, yaitu: pertama, bermakna hujan, seperti
14
Moh. Matsna HS, ibid, h 12-13.
15
Ibid, h. 13-14.
16
Ulis Sa‟adah, Tafsir Semantik surat al-Kautsar,
http://www.academia.edu/7339385/TAFSIR_SEMANTIK, diunduh pada 23 januari 2015 pukul 11:45 WIB.
19
dijelaskan dalam QS. Al-Hijr: 22, al-Furqān: 48, al-Anfāl: 11, dan Luqmān: 10.
Kedua, bermakna air sperma. Makna ini disebutkan dalam QS. Al-Furqan ayat 54.
Ketiga, bermakna pijakan yang fundamental dalam kehidupan orang beriman. Hal
ini seperti disebutkan dalam QS. An-Nahl ayat 65.17
Kemudian pada era kontemporer, metode semantik ini dikembangkan oleh
Izutsu. Analisis semantik Izutsu berbeda dengan lainnya, menurutnya semantik al-
Qur‟an berusaha mengungkapkan pandangan dunia al-Qur‟an melalui materi dalam
al-Qur‟an sendiri, yakni kosakata atau istilah-istilah penting yang banyak
digunakan oleh al-Qur‟an. Semantik ini bertujuan untuk memunculkan tipe
ontologi hidup yang dinamik dari al-Qur‟an dengan penelaahan analitis dan
metodologis terhadap konsep-konsep yang tampaknya memainkan peranan penting
dalam pembentukan visi qur‟ani terhadap alam semesta.18
17
Mudzakir Amin, ibid, h. 26-27.
18
Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, ibid, h. 3.
19
Abdul Chaer, Kajian Bahasa: struktur internal, pemakaian, dan pembelajaran, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2007), hal. 67
20
Fathurrahman, Al-Qur’an dan Tafsirnya dalam perspektif Toshihiko Izutsu, Thesis, Pasca sarjana
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
21
Bambang Santoso, Semantik: Pengertian dan Objek Kajiannya,
https://bambangsantoso.wordpress.com/2013/04/02/semantik-pengertian-dan-objek-kajiannya/ diunduh pada
tanggal 7 Mei 2016.
22
Aminuddin, Semantik: pengantar studi tentang makna,ibid, H. 17
20
individu yang satu dengan yang lain maupun kelompok yang satu dengan yang lain,
(4) media identifikasi dan ekkspresi diri, (5) untuk menjelajahi, mempelajari,
memahami dunia sekitar, (6) mengkreaasikan dunia dalam kesadaaran dunia batin
seseorang, dan (7) sebagai media penyampai pesan dalam kegiatan komunikasi. 23
Dari beberapa fungsi di atas dapat dimaklumi apabila semantik memiliki hubungan
dengan disiplin keilmuan lainnya, seperti ulum al-Qur‟an, filsafat, dan kesusteraan.
1. Semantik dan Ulum al-Qur‟an
Pembahasan tentang Al-Qur‟an, tidak akan bisa lepas dari bahasa yang
digunakan karena Al-Qur‟an menggunakan bahasa sebagai media komunikasi
terhadap pembacanya. Abu Zaid berkata: “Ketika mewahyukan Al-Qur‟an kepada
Rasulullah saw, Allah memilih sistem bahasa tertentu sesuai dengan penerima
petamanya. Pemilihan bahasa ini tidak berangkat dari ruang kosong. Sebab, bahasa
adalah perangkat sosial yang paling penting dalam menangkap dan mengorganisasi
dunia. 24
Bahasa memiliki peranan penting dalam penyampaian wahyu dan ajaran
agama. Bahasa juga merupakan media efektif untuk memberikan pengetahuan
kepada orang lain. Oleh karena itu, ketika ingin memahami Al-Qur‟an, seseorang
harus memahami bahasa yang dipakai oleh Al-Qur‟an, mengetahui dengan jelas
makna-makna yang terkandung di dalamnya sehingga didapatkan pengetahuan
murni yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. 25
Dilihat dari struktur kebahasaan, semantik mirip dengan ilmu balagah yang
dimiliki oleh bahasa Arab pada umumnya. Persamaan tersebut diantaranya terletak
pada pemaknaan yang dibagi pada makna asli dan makna yang berkaitan. Selain
itu, medan perbandingan makna antara satu kata dengan kata yang lain dalam
semantik mirip dengan munasabah ayat dengan ayat. Hal ini menjadikan semantik
identik dengan ulum al-Qur’an, walaupun terdapat perbedaan dalam analisisnya
dimana semantik lebih banyak berbicara dari segi historisitas kata untuk
mendapatkan makna yang sesuai pada kata tersebut.26
23
Ibid, H. 18
24
Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhūm al-Nash Dirāsāh fi „Ulūm al-Qur‟an (Tekstualitas Al-Qur‟an:
Kritik Terhadap Ulum al-Qur‟an), terj. Khiron Nahdliyin, (Yogyakarta: LKiS, 2013), h. 19
25
Sean Ochan, Semantik al-Qur’an: sebuah metode
penafsiran,https://seanochan.wordpress.com/2013/12/26/semantik-al-quran-sebuah-metode-
penafsiran/comment-page-1/, diunduh pada 18 november 2014 pukul 11.48 WIB.
26
Ibid.
21
27
Ibid, H. 18-19
22
terutama pada telaah makna dalam gaya bahasa maupun latar proses
kehadirannya. 28
Kajian semantik pada beberapa keilmuan tersebut memiliki persamaan dan
perbedaan. Persamaannya adalah objek kajian semantik adalah bahasa, masing-masing
keilmuan menjadikan dan menggunakan bahasa sebagai salah satu media penyampai
informasi kajiannya tersebut. Dan perbedaannya adalah seperti dalam kajian ulum al-
qur’an bahasa yang digunakan adalah bahasa Arab, kajian filsafat menggunakan bahasa
agar pernyataan yang disampaikan benar, terutama pada ilmu logika yang merupakan
cabang dari filsafat. Sedangkan dalam kajian kesusteraan, bahasa yang digunakan berbeda
dengan bahasa pada umumnya, bahasa sastra memiliki keunikannya sendiri yaitu dalam
penggunaan bahasa kiasan, atau gaya bahasa dan latar proses kehadiran bahasa tersebut.
28
Ibid, h. 25