Anda di halaman 1dari 9

BAB II

TINJAUAN UMUM SEMANTIK

A. Definisi dan Sejarah Semantik


Semantik merupakan salah satu cabang dari linguistik yang dipandang
sebagai puncak dari studi bahasa. 1 Semantik dalam bahasa Indonesia atau
semantiks dalam bahasa Inggris, berasal dari bahasa Yunani sema (nomina) yang
berarti tanda atau lambang atau semaino dalam bentuk verbal yang berarti
menandai atau melambangkan. 2 Dalam sumber lain, disebutkan kata semantik
berasal dari bahasa Yunani yang mengandung makna to signify atau memaknai.
Sebagai istilah teknis, semantik memiliki pengertian studi tentang makna. 3 Makna
adalah pertautan yang ada di antara unsur-unsur bahasa itu sendiri (terutama kata-
kata). Dan makna sebuah kata dapat meluas dan menyempit serta mengalami
pergeseran arti, tergantung cakrawala dan sudut pandang seseorang. 4
Semantik menurut Izutsu adalah kajian tentang sifat dan struktur pandangan
dunia sebuah bangsa saat sekarang atau pada periode sejarahnya, dengan
menganalisis konsep-konsep pokok yang telah dihasilkan untuk dirinya sendiri dan
telah terkonsep pada kata-kata kunci yang terdapat dalam al-Qur‟an. Analisis
semantik al-Qur‟an akan memunculkan ontologi hidup yang dinamik dari al-Qur‟an
dengan penelaahan analitis dan metodologis terhadap konsep-konsep pokok, yaitu
konsep-konsep yang nampaknya memainkan peran menentukan dalam
pembentukan visi Qur‟ani terhadap alam semesta.
Menurut Izutsu, semantik adalah susunan rumit yang sangat
membingungkan, kajian ini sangat sulit bagi seorang yang tidak memahami disiplin
ilmu linguistik untuk mendapatkan gambaran semantik secara umum. Hal ini
1
Fathurrahman, ibid, H. 98.
2
Moh. Matsna HS., Orientasi Semantik Al-Zamakhsyari: kajian makna ayat-ayat kalam, ibid, h. 2.
3
Aminuddin, Semantik: pengantar studi tentang makna, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2011) cet.
4, h. 15, Dalam bahasa Arab, semantik dikenal dengan sebutan „ilm al-dilalah. Secara bahasa „ilm al-dilalah
terdiri dari dua kata, yaitu ‘ilm yang memiliki arti pengetahuan, dan al-dalalah atau al-dilalah yang berarti
penunjukan atau makna. Jadi, „ilm al-dilalah adalah pengetahuan tentang makna. Ahmad Mukhtar Umar
sebagaimana dikutip oleh Matsna mendefinisikan „ilm al-dilalah sebagai kajian tentang makna, atau cabang
linguistik yang mengkaji teori makna, atau cabang linguistik yang mengkaji syarat-syarat yang harus
dipenuhi untuk mengungkap lambing-lambang bunyi sehingga mempunyai makna. Lihat, Moh. Matsna, ibid,
h. 3-4.
4
Sugeng Sugiyono, ibid, h. 14-15, lihat juga, Moh. Hatsna, Ibid, H. 2, Lorens Bagus, Kamus
Filsafat, (Jakarta: PT. Gramedia, 1996), h. 981, Moh. Sahlan,dkk, Metodologi Penafsiran, ibid, h. 78, Abdul
Chaer, Kajian Bahasa: struktur internal, pemakaian, dan pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 67,
Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Semantik, (Bandung: Angkasa, 2009), h. 7.

14
15

karena secara etimologis semantik adalah ilmu yang berhubungan dengan


fenomena makna dalam pengertian yang lebih luas dari kata, begitu luas sehingga
hampir apa saja yang mungkin dianggap memiliki makna merupakan objek
semantik.
Izutsu berpendapat tidak ada seorangpun yang memiliki kesatuan bentuk
ilmu semantik yang rapi dan teratur, yang dimiliki oleh sebagian orang adalah
sejumlah teori tentang makna yang beragam. Setiap orang yang berbicara tentang
semantik cenderung menganggap dirinya paling berhak mendefinisikan dan
memahami kata-kata tersebut sebagaimana yang disukainya. Jadi, yang dimaksud
semantik oleh Toshihiko Izutsu adalah kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci
suatu bahasa dengan suatu pandangan yang akhirnya sampai pada pengertian
konseptual atau pandangan dunia masyarakat yang menggunakan bahasa itu tidak
hanya sebagai alat bicara dan berfikir, tetapi yang lebih penting lagi adalah
pengkonsepan dan penafsiran dunia yang melingkupinya. 5Semantik merupakan
salah satu bagian dari tiga tataran bahasa yang meliputi fonologi, tata bahasa
(morfologi dan sintaksis), dan semantik. 6
Izutsu menganggap bahasa sebagai satu sistem tanda tiruan yang dibuat
untuk membagi, mengkategori dan menyatakan realitas bukan-linguistik dan
menjadikannya bermakna dan boleh dikategorikan dalam sebuah konsep tertentu.
Hal ini berarti bahwa tidak ada kata dari sistem bahasa manapun yang sepenuhnya
sama dengan bahasa lain di dalam denotasi dan konotasi, karena masing-masing
mempunyai medan dan struktur semantik yang unik di dalam sistem bahasanya. 7
Ilmu ini tidak hanya menjadi fokus kajian para linguis, melainkan juga
menjadi objek penelitian para filosof, sastrawan, psikolog, ahli fiqh, ushul fiqh,
antropolog, dan lain sebagainya. Karena itu, penamaan terhadap ilmu ini pun
beragam. Selain disebut semantik, ilmu ini juga dinamai sematologi, semologi,
semasiologi, dirasat al-ma’na, dan ilmu ma’na. Namun demikian, ilmu ini
diposisikan sebagai salah satu cabang linguistik. 8
Ferdinand de Saussure berpendapat muara akhir dari semantik adalah
semiotik, karena linguistik sebagai induk semantik juga merupakan bagian dari

5
Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: pendekatan semantik terhadap al-Qur’an,ibid, h 2-3.
6
Moh. Hatsna, ibid,h. 3.
7
Ahmad Sahida, Toshihiko Izutsu dan sumbangan pemikiran keislaman jepang, ibid.
8
Moh. Matsna, ibid, h. 4.
16

semiotik. Selain Saussure, Charles Morris memberikan gambaran tentang posisi


semantik dalam semiotik. Menurutnya, semiotik terbagi dalam tiga macam, (1)
sintaksis, yaitu mempelajari relasi antar kata, frasa, dan kalimat. (2) semantik, yaitu
mempelajari makna. (3) pragmatik, yaitu mempelajari relasi makna dan
pemakainya. 9Pengertian semantik dan semiotika adalah dua pengertian yang saling
berhubungan, keduanya meliputi makna dan kemaknaan dalam komunikasi antar
manusia. Akan tetapi, semiotika tidak hanya menjelaskan tentang isyarat bahasa,
melainkan juga menjelaskan isyarat-isyarat non bahasa dalam komunikasi antar
manusia. Sedangkan semantik adalah kajian yang hanya berhubungan dengan
makna bahasa.10
Secara historis, kajian makna sudah dilakukan sejak zaman Yunani kuno
dan Aristoteles adalah orang pertama yang menggunakan istilah makna untuk
mendefinisikan kata, menurutnya kata adalah satuan terkecil yang mengandung
makna. Dalam hal ini, Aristoteles mengungkapkan bahwa makna kata itu dapat
dibedakan antara makna yang hadir dari kata itu sendiri secara otonom, serta makna
kata yang hadir akibat terjadinya hubungan gramatikal. 11 Selain Aristoteles, Plato
dalam cratylus menjelaskan bahwa bunyi-bunyi bahasa itu secara implisit
mengandung makna-makna tertentu. Namun, pada masa itu batas antara etimologi,
studi makna, maupun studi makna kata belum jelas.12
Pada tahun 1825, C. Chr. Reisig seorang berkebangsaan Jerman
mengemukakan konsep baru tentang grammar yang menurut reisig memiliki tiga
unsur utama, yaitu (1) semisiologi, ilmu tentang tanda, (2) sintaksis, studi tetang
kalimat, (3) etimologi, studi tentang asal-usul kata sehubungan dengan perubahan
bentuk maupun makna. Pada masa ini, istilah semantik belum digunakan meskipun
studi tentangnya sudah dilaksanakan. Oleh karena itu, masa ini masih disebut masa
pertama pertumbuhan.
Masa kedua pertumbuhan semantik ditandai dengan hadirnya karya Michel
Breal yang berjudul “Les Lois Intellectuelles du Langagge”. Semantik pada masa
itu lebih banyak berkaitan dengan unsur-unsur di luar bahasa itu sendiri, seperti

9
Yayan Rahtikawati dan Dadan Rusmana, Metodologi Tafsir Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia),
2013, h. 212.
10
J. D. Parera, Teori Semantik, (Jakarta: Erlangga, 2004), h. 41.
11
Aminuddin, Semantik: Pengantar Studi Tentang Makna, ibid, h. 15.
12
Ibid, h. 16.
17

perubahan makna, latar belakang perubahan makna, hubungan perubahan makna


dan logika, psikologi maupun sejumlah kriteria lainnya.
Masa pertumbuhan ketiga, pertumbuhan studi tentang makna ditandai
dengan munculnya karya filolog Swedia, Gustaf Stern (1883) yang berjudul
Meaning and Change of Meaning with special Reference to the English Language.
Stern dalam kajian ini melakukan studi makna secara empiris dengan bertolak dari
suatu bahasa, yakni bahasa Inggris. Beberapa puluh tahun sebelum kehadiran karya
Stern itu, di Jenewa telah diterbitkan kumpulan bahan kuliah seorang pengajar
bahasa yakni buku Cours de Linguistique Generale (1916) karya Ferdinand de
Saussure. Buku ini sangat menentukan arah perkembangan linguistik berikutnya.
Terdapat dua konsep baru yang ditampilkan Saussure dan merupakan
revolusi dalam bidang teori dan penerapan studi kebahasaan. Kedua konsep itu
ialah pertama, linguistik pada dasarnya merupakan studi kebahasaan yang
berfokus pada keberadaan bahasa itu pada waktu tertentu sehingga studi yang
dilaksanakan haruslah menggunakan pendekatan sinkronis atau studi yang bersifat
deskriptif. Sedangkan studi tentang sejarah dan perkembangan suatu bahasa adalah
kajian kesejarahan yang menggunakan pendekatan diakronis. Kedua, bahasa
merupakan suatu gestalt atau suatu totalitas yang didukung oleh berbagai elemen,
yaitu satu elemen dengan elemen lainnya mempunyai ketergantungan dalam rangka
membangun keseluruhannya. Konsep yang kedua ini pada sisi lain juga menjadi
akar paham linguistik structural. 13
Di dunia Arab, kajian semantik atau ilm al-dalālāh telah ada sejak zaman
sahabat, meskipun masih sangat umum. Perhatian ulama Arab terhadap ilmu ini
tidak hanya muncul dari kalangan lughawiyin saja, akan tetapi juga muncul dari
kalangan ushūliyyin, falāsifah, dan balāghiyyin. Perhatian mereka salah satunya
dikarenakan adanya semangat memelihara dan memurnikan al-Qur‟an dari segala
bentuk lahn dan inhirāf.
Di antara usaha para linguis Arab untuk memahami dan menggali rahasia-
rahasia al-Qur‟an pada abad-abad permulaan Islam adalah penghimpunan kata-kata
dan ungkapan Arab serta analisis makna yang terkandung dalam kata atau
ungkapan tersebut untuk membantu orang-orang yang ingin mencari makna kata

13
Ibid, h. 16-17.
18

yang tidak difahami dalam upaya mempelajari isi al-Qur‟an, Hadits Nabi, dan
buku-buku berbahasa Arab lainnya. 14
Usaha para linguis Arab dalam mengkaji masalah makna atau semantik
secara sistematik, sudah dilakukan sejak abad kedua hijriyah. Hal ini ditandai
dengan disusunnya sebuah kamus oleh al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi yang diberi
nama kitab al-‘Ain, sesuai kata pertama dari urutan isinya yang disusun
berdasarkan urutan makhraj bunyi mulai dari halq (tenggorokan) sampai ke bibir.15
Sementara itu dalam studi metodologi penafsiran al-Quran, sebenarnya
kajian yang menggunakan metode kebahasaan sudah dilakukan oleh beberapa
mufassir klasik, di antaranya adalah Al-Farrā‟ dengan karya tafsirnya Ma‟āni al-
Qurˊan, Abu Ubaidah, Al-Sijistani dan Al-Zamakhsyari. Lalu kemudian
dikembangkan oleh Amin Al-Khuli yang kemudian teori-teorinya diaplikasikan
oleh „Aisyah bint Al-Syati‟ dalam tafsirnya Al-Bayān Li Quran Al Karim. gagasan
Amin Al-Khuli kemudian dikembangkan lagi oleh Toshihiko Izutsu yang dikenal
dengan teori Semantik al-Quran.16
Menurut Nur Kholis Setiawan, sebagaimana dikutip oleh Mudakir Amin
dalam skripsinya menyebutkan bahwa awal mula kesadaran semantik dalam
penafsiran al-Qur‟an dimulai sejak era Muqātil ibn Sulaiman, dalam karyanya yang
berjudul Al-Asybah wa al-Nadzāir fi al-Qur’an al-Karim dan Tafsir Muqātil ibn
Sulaimān, Muqātil menegaskan bahwa setiap kata dalam al-Qurˊan disamping
memiliki makna definitif (makna dasar) dan makna alternatif lainnya. Contohnya
kata maut, yang mempunyai arti dasar mati. Menurut Muqātil dalam konteks ayat,
kata tersebut bisa memiliki empat makna alternatif, yaitu: tetes yang belum
dihidupkan, manusia yang salah beriman, tanah gersang dan tandus, serta ruh yang
hilang. Berkenaan dengan kemungkinan makna yang dimiliki oleh kosa kata al-
Qur‟an, Muqatil menegaskan bahwa seseorang belum bisa dikatakan menguasai al-
Qur‟an sebelum ia menyadari dan mengenal berbagai dimensi yang dimiliki al-
Qur‟an tersebut.
Contoh yang lainnya adalah kata ma’. Dalam konteks pembicaraan al-
Qur‟an memiliki tiga alternatif makna, yaitu: pertama, bermakna hujan, seperti

14
Moh. Matsna HS, ibid, h 12-13.
15
Ibid, h. 13-14.
16
Ulis Sa‟adah, Tafsir Semantik surat al-Kautsar,
http://www.academia.edu/7339385/TAFSIR_SEMANTIK, diunduh pada 23 januari 2015 pukul 11:45 WIB.
19

dijelaskan dalam QS. Al-Hijr: 22, al-Furqān: 48, al-Anfāl: 11, dan Luqmān: 10.
Kedua, bermakna air sperma. Makna ini disebutkan dalam QS. Al-Furqan ayat 54.
Ketiga, bermakna pijakan yang fundamental dalam kehidupan orang beriman. Hal
ini seperti disebutkan dalam QS. An-Nahl ayat 65.17
Kemudian pada era kontemporer, metode semantik ini dikembangkan oleh
Izutsu. Analisis semantik Izutsu berbeda dengan lainnya, menurutnya semantik al-
Qur‟an berusaha mengungkapkan pandangan dunia al-Qur‟an melalui materi dalam
al-Qur‟an sendiri, yakni kosakata atau istilah-istilah penting yang banyak
digunakan oleh al-Qur‟an. Semantik ini bertujuan untuk memunculkan tipe
ontologi hidup yang dinamik dari al-Qur‟an dengan penelaahan analitis dan
metodologis terhadap konsep-konsep yang tampaknya memainkan peranan penting
dalam pembentukan visi qur‟ani terhadap alam semesta.18

B. Persamaan dan Perbedaan Kajian Semantik dalam Wilayah Ulumul Qur’an


dan keilmuan lainnya.
Abdul Chaer mengartikan semantik sebagai kajian mengenai makna bahasa.
Kajian ini dikhususkan hanya yang berkaitan dengan makna bahasa. 19 Semantik
merupakan salah satu cabang dari linguitik yang dipandang sebagai puncak dari
studi bahasa. 20 Objek kajian semantik sendiri adalah satuan bahasa yang memiliki
atau menyatakan makna, yang termasuk satuan bahasa yang memiliki makna
adalah kata, klitik, leksem, frase, klausa, kalimat, dan wacana. 21
Bahasa pada dasarnya merupakan sesuatu yang khas dimiliki manusia. Ernst
cassier menyebut manusia sebagai makhluk yang menggunakan media berupa
simbol kebahasaan dalam memberi arti dan mengisi kehidupannya. 22 Bagi manusia
bahasa mempunyai beberapa fungsi yang beragam seperti (1) alat untuk memenuhi
kebutuhan material, (2) mengatur dan mengontrol perilaku individu yang satu
dengan dalam suatu hubungan sosial, (3) menciptakan jalinan hubungan antara

17
Mudzakir Amin, ibid, h. 26-27.
18
Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, ibid, h. 3.
19
Abdul Chaer, Kajian Bahasa: struktur internal, pemakaian, dan pembelajaran, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2007), hal. 67
20
Fathurrahman, Al-Qur’an dan Tafsirnya dalam perspektif Toshihiko Izutsu, Thesis, Pasca sarjana
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
21
Bambang Santoso, Semantik: Pengertian dan Objek Kajiannya,
https://bambangsantoso.wordpress.com/2013/04/02/semantik-pengertian-dan-objek-kajiannya/ diunduh pada
tanggal 7 Mei 2016.
22
Aminuddin, Semantik: pengantar studi tentang makna,ibid, H. 17
20

individu yang satu dengan yang lain maupun kelompok yang satu dengan yang lain,
(4) media identifikasi dan ekkspresi diri, (5) untuk menjelajahi, mempelajari,
memahami dunia sekitar, (6) mengkreaasikan dunia dalam kesadaaran dunia batin
seseorang, dan (7) sebagai media penyampai pesan dalam kegiatan komunikasi. 23
Dari beberapa fungsi di atas dapat dimaklumi apabila semantik memiliki hubungan
dengan disiplin keilmuan lainnya, seperti ulum al-Qur‟an, filsafat, dan kesusteraan.
1. Semantik dan Ulum al-Qur‟an
Pembahasan tentang Al-Qur‟an, tidak akan bisa lepas dari bahasa yang
digunakan karena Al-Qur‟an menggunakan bahasa sebagai media komunikasi
terhadap pembacanya. Abu Zaid berkata: “Ketika mewahyukan Al-Qur‟an kepada
Rasulullah saw, Allah memilih sistem bahasa tertentu sesuai dengan penerima
petamanya. Pemilihan bahasa ini tidak berangkat dari ruang kosong. Sebab, bahasa
adalah perangkat sosial yang paling penting dalam menangkap dan mengorganisasi
dunia. 24
Bahasa memiliki peranan penting dalam penyampaian wahyu dan ajaran
agama. Bahasa juga merupakan media efektif untuk memberikan pengetahuan
kepada orang lain. Oleh karena itu, ketika ingin memahami Al-Qur‟an, seseorang
harus memahami bahasa yang dipakai oleh Al-Qur‟an, mengetahui dengan jelas
makna-makna yang terkandung di dalamnya sehingga didapatkan pengetahuan
murni yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. 25
Dilihat dari struktur kebahasaan, semantik mirip dengan ilmu balagah yang
dimiliki oleh bahasa Arab pada umumnya. Persamaan tersebut diantaranya terletak
pada pemaknaan yang dibagi pada makna asli dan makna yang berkaitan. Selain
itu, medan perbandingan makna antara satu kata dengan kata yang lain dalam
semantik mirip dengan munasabah ayat dengan ayat. Hal ini menjadikan semantik
identik dengan ulum al-Qur’an, walaupun terdapat perbedaan dalam analisisnya
dimana semantik lebih banyak berbicara dari segi historisitas kata untuk
mendapatkan makna yang sesuai pada kata tersebut.26

23
Ibid, H. 18
24
Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhūm al-Nash Dirāsāh fi „Ulūm al-Qur‟an (Tekstualitas Al-Qur‟an:
Kritik Terhadap Ulum al-Qur‟an), terj. Khiron Nahdliyin, (Yogyakarta: LKiS, 2013), h. 19
25
Sean Ochan, Semantik al-Qur’an: sebuah metode
penafsiran,https://seanochan.wordpress.com/2013/12/26/semantik-al-quran-sebuah-metode-
penafsiran/comment-page-1/, diunduh pada 18 november 2014 pukul 11.48 WIB.
26
Ibid.
21

2. Semantik dan Filsafat


Filsafat sebagai studi kearifan, pengetahuan, hakikat, realitas, maupun
prinsip memiliki hubungan erat dengan semantic. Hal itu terjadi karena dunia
fakta yang menjadi objek perenungan adalah dunia simbolik yang terwakili
dalam bahasa. Keberadaan bahasa sebagai sesuatu yang khas milik manusia,
menjadi media, pengembang pikiran manusia bagi para filusuf Yunani.
Misalnya, dalam bahasa Yunani berpangkal dari logon ekhoon yang memiliki
makna “dilengkapi dengan tutur kata dan akal budi”, begitu juga dengan istilah
logos dalam bahasa Yunani mengandung makna “isyarat”, “perbuatan”, “inti
sesuatu”, “cerita”, “kata maupun susunan kata”. Dari sejumlah fitur semantik
itu para filusuf Yunani merumuskan pengertian logos sebagai kegiatan
menyatakan sesuatu yang didukung oleh sejumlah komponen yang masing-
masing komponen tersebut antara yang satu dengan yang lain memiliki
hubungan dengan menggunakan kata-kata.
Semantik maupun bahasa pada umumnya memiliki hubungan dengan
cabang-cabang filsafat seperti ontologi, epistimologi, maupun metafisika.
Namun, semantik memiliki hubungan paling erat dengan logika. Sehubungan
dengan cabang filsafat yang mengkaji masalah berfikir secara benar, peranan
semantik tampak sekali dalam rangka menentukan pernyataan yang benar
maupun tidak benar, dengan bertolak dari adanya premis serta kesimpulan yang
diberikan.27
3. Semantik dan kesusteraan
Sastra sebagai salah satu bentuk kreasi seni, menggunakan bahasa
sebagai media pemaparnya. Akan tetapi berbeda dengan bahasa yang digunakan
sehari-hari, bahasa dalam karya sastra memiliki kekhasannya sendiri, karena
bahasa dalam sastra merupakan salah satu bentuk idiosynctratic dimana tebaran
kata yang digunakan merupakan hasil pengolahan dan ekspresi individual
pengarangnya. Pembaca yang ingin memahami karya sastra dengan sungguh-
sungguh benar tentunya juga harus memahami ilmu tetang makna sebagai bekal
awal dalam upaya memahami teks sastra karena kompleksitas makna dalam
karya sastra. Peranan semantik yang sangat penting dalam kajian sastra

27
Ibid, H. 18-19
22

terutama pada telaah makna dalam gaya bahasa maupun latar proses
kehadirannya. 28
Kajian semantik pada beberapa keilmuan tersebut memiliki persamaan dan
perbedaan. Persamaannya adalah objek kajian semantik adalah bahasa, masing-masing
keilmuan menjadikan dan menggunakan bahasa sebagai salah satu media penyampai
informasi kajiannya tersebut. Dan perbedaannya adalah seperti dalam kajian ulum al-
qur’an bahasa yang digunakan adalah bahasa Arab, kajian filsafat menggunakan bahasa
agar pernyataan yang disampaikan benar, terutama pada ilmu logika yang merupakan
cabang dari filsafat. Sedangkan dalam kajian kesusteraan, bahasa yang digunakan berbeda
dengan bahasa pada umumnya, bahasa sastra memiliki keunikannya sendiri yaitu dalam
penggunaan bahasa kiasan, atau gaya bahasa dan latar proses kehadiran bahasa tersebut.

28
Ibid, h. 25

Anda mungkin juga menyukai