Anda di halaman 1dari 153

BAHAN AJAR/ HANDOUT

Bahan Kajian : Hakikat, Konsep dasar, ruang lingkup, Tanda, dan


Seterusnya
Kode/ SKS : IND 005/3 SKS
Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas : Bahasa dan Seni
Pertemuan Ke- :1-2
Dosen : Tim Dosen Pengampu Mata Kuliah

Learning Outcomes (capaian Pembelajaran) Mata Kuliah terkait KKNI:


Menguasai hakikat, konsep, ruang lingkup, hubungan dengan subsistenm
bahasa yang lain,serta mampu memebedakan tanda, makan, acuan, lambing,
dan konseptualisasi makan
Soft Skills/ Karakter : berpikir Kritis

Materi :
1. Konsep Dasar Semantik
2. Hakikat Semantik
3. Tanda, makan, acuan, lambing

Materi

1. Konsep Dasar Semantik

Ada dua cabang utama linguistic yang khusu menyangkut kata, yaitu
etimolohi, studi tentang asal usul kata dan Semantik atau ilmu makna; Studi
tentang makna kata: Diantar kedua ilmu itu ilmu makna ; studi tentang makna
kata: Diantara kedua ilmu itu etimologi sudah merupakan disiplin lmu yang lama
maupun (establishead), sedangkan Semantik relatfe merupakanhal yang baru.
Spekulasi tentang asal usul kita sudah terkenaql pada awal masa filsafat
yunani,sebagaimana terlihat pada karya awal Plato. Dalam hal etimologi dikenal
dua kutub terdapat yang sasling bertentangan yaitu kaum naturalis, yang percaya

1
adanya hubungan intrinsik antara bunyi bahasa dengan makan (Sense), benda
yang di tunjuk. Kaum konvensionalis beranggapan bahwa hubungan itu hanyalah
sewenang-wenang (asbitrer). Pada abad pertama sesudah Materi, etimologi
dijadikan salah satu bagian kajian bahasa di smaping morfologi dan sintaksis. Hal
ini disebabkan karena pendekatan etimologis menjadi posisi kunci dalam kajian
kebahasaan. Dilain pihak, kebutthan akan ilmu makna yang berdiri sendiri baru
datang kemudian, pada abadke-19 semantik baru muncul sebagai suatu bbagian
penting ilmu bahasa (Linguistik).
Namun, hal ini bukan berarti ahli-ahli bahasa masa lampau menganak
tirikan masalah makna. Mereka banyak mengamatimakan dan penggunaan kata,
dan menemukan beberapa segi mendasar tetnag perubahan makna. Salah satu
yang menarik perhatian mereka adalah ,asalah perubahan makna yang
mencerminkan perubahan mentalitas publik. Dalam sebuah tulisan terkenal
tentang menurunnya standar etika selama pernag peloponesia, Thuchidides
mendeteksi suatu gejala kecenderungan umum itu didalam kata-kata tertentu yang
menunjukkan menurunnnya nilai moral.

“keberterimaan kata dalam hubungannya dengan benda


menjadi berubah begitu orang berpikir bahwa hal itu
pas dan layak kelancangan yang membabi buta
dianggap sebagi loyalitas yang berani terhadap partai,
kebimbangan yang tinggi dianggap sebagi sifat6
pengecut, sikap moderat dianggap sebagai selubung
kelemahan dan tidak jantan, Pandai dalam segala hal
dianggap tidak mengerjakan apa-apa”

Minat para ahli zaman kuno tentang kata tidak terbatas pada perubhan
makna. Mereka juga melakukan pengamann yang tepat mengenai tingkah lahu
kata dalam tutur yang sebenarnya. Aristoteles merupakan orang pertama yang
mendefinisikan kata sebagai satuan tutur terkecil yang bermakna. Definisi ini
persisama dengan definisi yang dikemukakan st. Takdir Alisyahbana dalam
bukunya Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia . dia juga yang membedakan dua
jenis kata, yaitu kata yang mempunyai makna meskipun berdiri sendidri (disebut
kata Penuh) dan kata yang bertindak sebagai alat gramatikal (kata tugas).

2
Pembagian inisampai sekarang masih diterima oleh para ahli linguistik dan filsafat
secara luas. G. Stern mengemukakan, kita tidak bisa lagi dari kenyataan bahwa
suatu kata tentu mempunyai makan tetap, suatu kata akan mengacau pada suatu
acuan teretntu dan bukan kepada yang lain dan karakteristik itu merupakan dasar
tokoh semua komunikasi. Pada sebuah kata ada buah inti makna yang secara
relatife Stabil dan hanya dapat dimodifikasikan dengan konteks dalam batas-batas
tertentu. Sebaiknya, tak seorangpun dapat menolak pentingnya konteks dalam
penentuan makna kata
Makna merupakan istilah yang paling ambigu dan paling kontroversial
dalam teori bahasa. Dalam bukunya The Meaning of Meaning,Ogden dan
Richards mengumpulkan 16 definisi yang berbeda tentang makna. Definisi itu
mengatakan semua moofen yang signifikan dan kombinasi tempat mrfen-morfen
itu masuk mempunyai peranan masing-masing dalam keseluruhan makna ajaran..

2. Hakikat Semantik
Mengapa mempelajari Semantik? Semantik (sebagi studi tentang makna)
merupakan masalah poko dalam komunikasi.komunikasi merupakan factor yang
makin penting didalamorganisasi sosial, kbutuhan untuk memahami semantik
menjadi semakin penting. Semantik merupakan pusat studi tentang pikiran
manusia. Proses berpikir, kognisi, konseptualisasi saling berhubungan dengan
cara mengklasifikasikandan mengemukakan pengalaman tentang dunai nyata
melalui bhasa. Semantik merupakan titik pertemuan berbagai pertemuan berbagai
persilangan arus berpikir dan berbagai disiplin ilmu. Filsafat, psikologi, dan
linguistic menaruh perhatian yang dalam terhadap semantik sebagi pokok bahasan
. kepentingan masing-masing ilmu itu brebda-beda psiologi berpangkal pada
pemahaman bahasa, filsafat bertlak pada pemahaman bagaiman mengetahui apa
yang diketahui, tentang aturan berpikir dengan benar, dan penilaian tentang
kebenaran dan kesalahan.
Semantik adalah suatu cabang lingusitik, yaitu studi tentang bahasa.
Semantik adalh ilayah studi yang sejajar dan berkaitan dengan sintaksis dan
teknologi yang masing-masing membunyi-bunyi. Sintaksi dan fonologi

3
menyelidiki makna yang dapat di ekspresikan. Semantik sebagai komponen
disiplin linguistik merupakan pangkat tolak yang paling bermanfaat dan menarik.
Sebagai prinsip semantik secara umum berpendapat bahwa studi tentang proses
komunikasi mungkin merupakan kekuatan yang hebat untuk menyelesaikan
konflik antar manusia, baik dalam skala individual, local, atau internasional.
Smakin banyak seorang memahami struktur bahasa yang kognitif dan
komunikatif. Semakin baik pula orang itu mengenal dan mengendahkan unsure-
unsur ‘Patologis’ atau destruktif dalam komunikasi. Orang itu juga semakin baik
menghargai dan memelihara kekuatan menuju kea rah kesesuaian. Semantik
merupakan masalah intelektual sejajar dengan matematika atau ilmu murni yang
lain. Hanya setelah mendapatkan pemahaman demi pemahaman itulah seseorang
dapat memeperoleh kearfan untuk tujuan yang baik.

2.1 Pengertian Semantik


Kata Semantik (Inggris: Semantics) bersal dari bahasa yunani semau kata
benda yang berarti’tanda’ atau ‘lambang: kata kerjanya adlah semainno yang
‘menandai’ atau’ melambngkan’ yang dimaksud tanda atau lambing di sini adalah
padanan kata semua, yaitu tanda Lingfusitik (Perancis: Sigue Linguistique) tanda
linguistik ini seperti yang dikemukakan oleh Ferdinal de Saussure (1966) meliputi
(1) komponen yang mengartikan, yang berwujud bentuk-bentuk bunyi bahasa dan
(2) komponen yang diartikan atau makna dari komponen yang pertama. Kedua
komponen itu adalah tanda atau lambang sedangkan yang ditandai atau yang
dilambangkannya adalah sesuatu yang berada diluar bahasa yang disebut referen
atau hal yang ditunjuk. Kata semantik merupakan istilah yang digunakan untuk
bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistic
dengan hal-hal yang ditandainya. Atau dengan kata lain, bidang studi linguistic
yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa. Oleh karena itu, kata semantik
dapat diartikan sebagi ilmu tentang makna atau ilmu tentang arti.
Selain istilah semantik, juga ada istilah semiotika, semiologi, dan
semasiologi. Kata-kata ini merujuk pada bidang studi yang mempelajari makna
atau arti dari suatu tanda atau lambing, yang cakupan objeknya lebih luas, yaitu

4
makna tanda-atau lambing pada umumnya. Objeknya termasuk tanda-tanda lalu
lintas, kode morse, tanda dalam ilmu matematika, dan tanda-tanda lain. Semantik
tidak mempelajari makna bahasa bunga, bahasa warna, atau bahasa prangko. Hal
ini disebabkan bahasa bunga, bahasa warna, dan bahasa prangko itu hanyalah
pelambang belaka, bukan tanda lingusitik. Bahasa itu tidak termasuk sistem tanda
bunyi bahasa, tidak lingual atau tidak persoalan lingual. Contoh berikut akan
memberikan perbedaan makna suatu kata yang dipakai dalam kalimat:
1. Mereka belajar bahasa Arab.
2. Jangan marah, anak anka itu memang tidak tahu bahasa.
3. Katakanlah dengan bahasa bunga!
4. Bahasa St. Takdir Alisyahbana tidak sam dengan bahasa Idrus.
5. Kiranya antara sesame pemimpin itu tidak ada kesatuan bahasa.
Kiranya dari keenam contoh itu anda dapat melihat bahwa kata bahasa
memiliki banyak arti, dan makna bahasa yang ada pada nomor
(3) bahasa bunga bukanlah 'b'ahasa' seperti yang dimaksud pada nomor (1) bahasa
Arab. coba anda simak apa arti kata bahasa pada nomor (2), (4), (5) dan (6).
Berlainan dengan tataran analisis bahasa lainnya, semantik merupakan cabang
linguistik yang mempunyai . Hubungan erat dengan ilmu-ilmu sosial lain seperti
sosiologi dan antropologi; bantan juga
dengan filsafat dan psikologi. sosiologi mempunyai kepentingan dengan semantik
karena sering dijumpai kenyataan bahwa penggunaan kata-kata tertentu untuk
mengatakan sesuatu makna dapat menandai identitas dalam kelompok masyarakat
Kata uang dan duit memiliki "makna" yang sama, tetapi penggunaannya dapat
menunjukkan identitas kelompok yang menggunakannya. Begitu juga dengan
penggunaan kata besar dan gede:atau kata wanita dan cewek. Sedangkan
antropologi berkepentingan dengan semantik, antara lain, karena analisis makna
sebuah bahasa dapat menjanjikan klasifikasi praktis tentang kehidupan budaya
pemakainya.
Dalam analisis semantik harus juga disadari, karena bahasa itu bersifat
unik, maka analisis suatu bahasa itu saja, tidak dapat digunakan untuk
menganalisis bahasa lain. Umpamanya, kata ikan dalam bahasa Indonesia merujuk

5
pada jenis binatang yang hidup dalam air dan biasa dimakan sebagai lauk; dan
dalam bahasa Inggris sepadan dengan fish. Tetapi kata iwak dalam bahasa Jawa
bukan hanya berarti 'ikan' atau fish, melainkan juga berarti: daging yang
digunakan juga sebagai lauk, teman pemakan nasi. Malah semua lauk seperti
tempe dan tahu sering juga disebut iwak. Dalam bahasa Melayu dialek Jakarta hal
yang sama juga terjadi. Orang Jakarta bisa mengatakan "Makan ame ikan ayam”,
atau”Makan ame ikan kambing', dan sebagainya. Contoh lain, kata cat dalam
bahasa inggris selain berarti 'kucing' , juga berarti semua binatang yang bentuknya
seperti kucing, baik besar maupun kecil. Jadi, termasuk singa (lion) harimau
(tiger). Padahal dalam bahasa Indonesia kucing adalah ‘kucing’ tidak temasuk
singa dan harimau.
Mengapa hal ini bisa terjadi ? Semua ini karcna bahasa itu adalah produk
budaya dan sekaligus wadah penyampai kebudayaan dari masyarakat bahasa yang
bersangkutan. Dalam budaya masyarakat Inggris yang tidak mengenal nasi
sebagai makanan pokok hanya ada |kata rice untuk menyatakan nasi, beras, gabah,
dan padi. Karena itu, kata rice pada konteks tertentu berarti nasi' pada konteks lain
berarti 'gabah', dan pada konteks lain lagi bisa berarti 'beras' atau 'padi'. Lalu
Karena "makan nasi" bukan merupakan budaya Inggris, maka dalam bahasa
Inggris ( dan juga bahasa lain yang masyarakatnya tidak berudaya makan nasi )
tidak ada kata yang menyatakan lauk atau iwak bahasa jawa). Apakah karena
bahasa Inggris hanya punya kata rice sedangkan bahasa Indonesia punya kata
nasi, beras, gabah, dan padi, maka bahasa Inggris bisa dikatakan lebih miskin
daripada bahasa Indonesia ? Tentu saja tidak, sebab kebiasaan makan nasi
bukanlah merupakan bagian dari kebudayaan Inggris. Contoh lain dalam budaya
Inggris pembedaan kata saudara( orang yang lahir dari rahim yang sama )
berdasarkan jenis kelamin: brother dan sister. Padahal budaya Indonesia
membedakannya berdasarkan usia : yang lebih tua dari ego disebut kakak dan
yang lebih muda disebut adik. Maka itu brother dalam bahasa Inggris bisa berarti
'kakak' bisa juga berarti 'adik'. Begitu juga sister bisa berati 'kakak' bisa juga
'adik'. Sebaliknya kakak dalam bahasa Indonesia, dalam bahasa Inggris bisa
berarti 'brother' bisa juga 'sister'.

6
Coba anda bandingkan juga bagaimana budaya Inggris dan budaya Indonesia
memandang waktu sehari semalam yang dua puluh empat jam itu. Pukul satu
malam budaya Inggris mengatakan "Good moming" alias "Selamat pagi"; pada
hal budaya Indonesia mengatakan "Selamat malam" karena memang masih
malam, matahari belum terbit Sebaliknya pukul sebelas siang hari, budaya Inggris
masih juga mengatakan "Selamat pagi"; padahal budaya Indonesia sudah
mengucapkan "Selamat siang' karena memang hari sudah siang, matahari sudah
tinggi. Kesulitan lain dalam menganalisis makna adalah adanya kenyataan bahwa
tidak selalu " yang menandai" dan "yang ditandai" berhubungan sebagai satu
lawan satu. Adakalanya hubungan itu berlaku sebagai satu lawan dua atau lebih;
bisa juga sebagai dua atau lebih lawan satu. Ketiga hubungan itu nampak dalam
bagan berikut

1) O O

2) O O

3) O O

Contoh : 1) becak -' kendaraan umum tak bermotor beroda tiga'


2) pacar 'inai'
kekasih'

3) buku ,'lembaran kertas berjilid'


kitab

Selain itu dalam bahasa yang penutumya terdiri dari kelompok-kelompok


yang mewakili latar belakang budaya, pandangan hidup, dan status sosial yang
berbeda, maka makna sebuah kata bisa menaidi berbeda atau memiliki nuansa
makna yang berlainan. Umpamanya kata bunrh dalam masyarakat Indonesia di
pulau Jawa berarti'perlu', tetapi dalam masyarakat Indonesia di sumatera Timur
berarti ‘kemaluan laki-laki'. Kata babi dalam masyarakat Indonesia yang
mayoritas Islam memiliki makna yang negatif tetapi dalam masyarakat Indonesia

7
yang non-Islam memiliki konotasi makna yang netral.
1.2. Jenis Semantik

Sudah disebutkan dimuka bahwa yang menjadi objek Studi semantik


adalah makna bahasa. Lebih tepat tagi, makna dari satuan-satuan bahasa seperti
kata, frase, klausa, kalimat, dan wacana.
Kalau bahasa itu memiliki tataran-tataran analisis, yaitu fonologi, '
morfologi, dan sintaksis, maka persoalan kita sekarang adalah : bagian- bagian
mana dari tataran analisis itu yang mengandung masalah semantik, atau yang
memiliki persoalan makna. Untuk menjawabnya mari kita lihat dulu bagan
cakupan studi semantik yang dibuat Vethaar
(1978) sebagai berikut:

Bagan tersebut memperlihatkan kedudukan serta objek studi semantik,


yaitu makna dalam keseluruhan sistematika bahasa. Nampak tidak semua tataran
memiliki masalah semantik. Leksikon dan morfologi memiliki, tetapi fonetik
tidak.
Dari bagan itu dapat pula dibedakan adanya beberapa jenis semantik, yang
bedakan berdasarkan tataran atau bagian dari bahasa itu yang menjadi objek
penyelidikanya Kalau yang menjadi objek penelitiannya adalah leksikon dari
bahasa itu , maka jenis semantiknya disebut semantik leksiakal. Dalam semantik

8
leksikal ini diselidiki makana makna yang ada leksem-leksem dari bahasa
tersebut.Oleh karna itu, makna yang ada pada leksem-Ieksem itu disebut
makna leksikal. Di sini kiranya perlu dijelaskan mengenai istilah leksem adalah
istilah yang lazim digunakan dalam studi semantik untuk menyebut satuan-
bahasa bermakna. Istilah leksem ini kurang lebih dapat dipadankan dengan istilah
kata yang lazim digunakan dalam studi morfolog dan sintaksis, dan yang lazim
didefinisikan sebagai satuan gramatikal bebas terkecil. Hanya bedanya, sebagai
satuan semantik, leksem dapat berupa gabungan kata seperti meja, kucing, dan
makan; dapat juga berupa gabungan kata seperti meja hijau, pengadilan’:
bertekuk lutut dalam arti ’menyerah’dan tamu yang tidak diundang dalam arti
pencuri. Kumpulan dari leksem suatu bahasa disebuut leksikon; sedangkan
kumpulan dari kata-kata suatu bahasa disebut kosa kata, perbendaharaan kata,
atau vokabuler. Dalam studi morfologi berupa leksem ini seringdiartikan sebagai
satuan abstrak yang setelah melalui proses morfologi akan membentuk kata.
Misalnya, leksem.pukul yang setelah mengalami proses afiksasi akan menjadi
kata seperti memukul, pukulan, pemukul, dan pemukulan (lihat lyons
1975,1977;Matthews 1974)
pada tataran fonettik yaitu bidang studi yang mempelajari bunyi (fon)
tanpa memperhatikan fungsi bunyi itu sebagai pembeda makna, tidak ada
semantik karena fon yang menjadi satuan dari fonetik tidak memiliki makna.
Pada tataran fonologi (atau fonemik) pun tidak ada semantikkarene,
walupun fonem yang menjadi satuan dalam sttudi fonetik mempunyai potensi
untuk membedakn makna kata, tetpi fonem itu sendiri tidak bermakna.
Verhaar(1978) membandingkan fonem sebagia garis-garis pemisah jalur kiri dan
jalur kanan. Namun, garis itu sendiiri tidak punya arti, sebab dia dengan mudah
dapat dilanggar.
Tataran tata bahasa atau gramatika dibagi menjadi dua subtataran yaitu
morfologi dan sintaksis. morfologi. adalah cabang dari linguistic mempelajari
struktur intern kata, serta proses-proses pembentukannya; sedangkan sintaksis
adalah studi mengenai hubungan kata dalam membentuk satuan yang elbih besar,
yaitu kata, frase, klausa,dan kalimat, jelas ada maknanya. Oleh karena itu, pada

9
tataran ini ada masalah-masalah semantik yaitu yang disebut semantik gramatikal
karena objek studinya adalah makna-makna tersebut.
Selain itu, secara tersendiri ada pula yang mengetengahkan istilah
semantik sintaktikal kalau sasaran penyelidikannya tertumpu pada hal-hal yang
berkaitan dengan sintaksis. Ini dilakukan mengingat bahwa dalam sintaksis itu ada
pula tataran bawahan yang disebut (a) fungsi gramatikal, (b) kategori gramatikal,
dan (c) peran gramatikal. Perhatikan bagan berikut yang diambil dari Verhaar
(1978).

Fungsi gramatikal berupa "kotak-kotak kosong" yang diberi nama subjek


(S), predikat (P), objek (O), dan keterangan (K), sebenamya tidak ada maksudnya
sebab semuanya cuma berupa kotak atau tempat yang kosong. Yang memiliki
makna adalah pengisi kotak-kotak itu yang disebut kategori gramatikal seperti
nomina, verba, atau ajektiva. Kategori-kategori ini yang sesungguhnya sudah
memiliki makna leksikal, kini sebagai pengisi kotak-kotak itu memiliki peran
gramatikal, seperti peran agentif, pasien, objek, benafaktif, lokatif, instrumental,
dan sebagainya.
Semantik sintaktikal yang dibicarakan di atas masih berada dalam lingkup
tata bahasa atau gramatika. Tetapi di samping itu ada hal-hal yang merupakan
masalah semantik, namun bukan masalah ketatabahasaan, misalnya soal topikalis
asi kalimat. Untuk pembicaraan hal-hal seperti topikalisasi ini verhaar (1979 :126)
memberi wadah sendiri disebut semantik kalimat .yang merupakan masalah
sendiri yang. Tentang semantik kalimat inimenurut beliau memang masih belum
banyak menarik perhatian para ahli linguistik.

10
Ada satu jenis semantik lagi yang oleh verhaar disebut semantik maksud
(1978 : 130 ). Semantik maksud antara lain berkenaan dengan pemakaian dengan
bentuk-bentuk gaya bahasa seperti metofora, ironi, litotes, dan sebagainya.
Umpamanya, kalau seorang ayah, setelah melihat angka-angka dalam buku rapor
anaknya, yang penuh dengan angkamerah, berbicara kepada anaknya ”Rapormu
bagus sekali, nak”. Tentu maksudnya bukan memuji, melainkan sebaliknya,
mengejek dan marah. Lain harnya karau angka-angka dalam rapor itu memang
baik, tentu ucapan dengan kalimat tersebut merupakan pujian. Jadi, perbedaan
pengertian dari ujaran itu bukan tergantung dari makna kata-kata yang
bersangkutan melainkan dari maksud si pengajar.
Untuk menjelaskan pengertian semantik maksud verhaar (1979 : 129 -
130) memberi contoh kalimat :” Dia menangis? Ah, itu sandiwara saja". Apa
sebenarnya maksud orang dengan kalimat itu ? Di sini kita andaikan bahwa orang
yang dibicarakan itu pura-pura saja. Tetapi bisa juga yang dimaksud adalah "ya,
dia memang menangis. Namun, Anda baru masuk diruang ini; Anda belum tahu
kami sedang berlatih untuk pertunjukan sandiwara. Jadi, jangan mengira sedih; itu
cuma latihan". Menurut pengandaian pertama kata sandiwara digunakan secara
metaforis; sedangkan pada pengandaian kedua digunakan secara "harfiah',.
Perbedaan di antara kedua penafsiran itu tidak tergantung dari ujaran itu
atau dari makna tata yang bersangkutan, melainkan dari maksud sipengujar.
Dalam pemakaian kata-kata secara metaforis tentu masih ada yang menyangkut
masalah semantik, tetapi bukan bukan semantik leksikal karena makna
leksikalnya tidak berubah. Juga bukan semantik gramatikal karena yang
dipersoalkan unsur leksikal. Oleh karena itu masalah semantik seperti yang ada
pada kasus metafora ini disebut oleh Verhaar semantik maksud. Satu persoalan
lagi mengenai semantik maksud : apakah segala maksud yang berbeda dengan
makna ujaran yang kira ungkapkan ter masuk semantik maksud ? Menurut
verihaar menyangkut. masalah lingual tentu dapat dijawab "ya". Tetapi kalau
sudah tidak menyangkut masalah lingual tentu hanrs dijawab “tidak".
Umpamanya kalau ada orang bertanya, kita diam saja, tidakmenjawab

11
pertanyannya itu, dengan maksud untuk memberitahukan bahwa pertanyaannya
itu kasar, maka hal itu tidak termasuk persoalan semantik maksud.
Mengapa? Karena meskipun di sini ada maksud dengan tiadanya jawaban
alias berdiam diri, tetapi jelas sekali maksud tersebut tidak dapat dianalisis secara
linguistik sebab tidak ada ujaran yang merupakan bentuk-bentuk linguistik. Jadi,
tiadanya jawaban dengan maksud untuk menyatakan pertanyaanya kurang sopan,
seperti yang terjadi pada contoh di atas, tidaklah termasuk semantik maksud.
Bagaimana dengan "bahasa sandi" yang biasa digunakan oleh petugas keamanan
dalam menjalankan tugas mereka ? Jika sandi itu masih satuan-satuan tentu masih
temrasuk dalam semantik maksud. Terapi jika sandi yang digunakan sudah tidak
lagi menggunakan satuan lingual, maka tidak lagi termasuk urusan semantik.
Dalam hal ini barangkali menjadi urusan bidang semiotik atau semasiologi.

1.3 Manfaat Semantik


Manfaat apa yang dapat kita petik dari studi semantik sangat tergantung
dari bidang apa yang kita geluti dalam tugas kita sehari-hari. Bagi seorang
wartawan, seorang reporter atau orang-orang yang berkecimpung dalam dunia
persuratkabaran dan pemberitaan, mereka barangkali akan memperoleh manfaat
praktis dari pengetahuan mengenai semantik. Pengetahuan semantik akan
memudahkannya dalam memilih dan menggunakan kata dengan makna yang tepat
dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat umum. Tanpa pengetahuan
akan konsep-konsep polisemi, homonimi, denotasi, konotasi, dan nuansa-nuansa
makna tentu akan sulit bagi rnereka untuk dapat menyampaikan informasi secara
tepat dan benar.
Bagi mereka yang berkecimpung dalam penelitian bahasa, seperti mereka
yang belajar di Fakultas Sastra, pengetahuan semantik akan banyak memberi
bekal teoritis kepadanya untuk dapat menganalisis bahasa atau bahasa-bahasa
yang sedang dipelajarinya. Sedangkan bagi seorang guru atau calon guru,
pengetahuan mengenai semantik, akan memberi manfaat teoretis dan juga manfaat
praktis. Manfaat teoretis karena dia sebagai guru bahasaharus pulamempelajari
dengan sungguh-sungguh akan bahasa yang diajarkannya. Teori-teori semantik

12
ini akan menolongnya memahami dengan lebih baik "rimba belantara rahasia"
bahasa yang akan diajarkannya itu. Sedangkan manfaat praktis akan diperolehnya
berupa kemudahan bagi dirinya dalam mengajarkan bahasa itu kepada murid-
muridnya. Seorang guru bahasa, selain harus memiliki pengetahuan dan
keterampilan yang luas mengenai segala aspek bahasa, juga harus memiliki
pengetahuan teori semantik secara memadai. Tanpa pengetahuan ini dia tidak
akan dapat dengan tepat menjelaskan perbedaan dan persamaan semantis antara
dua buah rentuk kata, serta bagaimana menggunakan kedua bentuk kata yang
mirip itu dengan benar. Adakah manfaat semantik bagi orang awam ? Tentu saja
ada. Memang bagi orang awam, atau bagi orang-orang kebanyakan pada
umumnya, pengetahuan yang luas akan teori semantik tidaklah diperlukan. Tetapi
pemakaian dasar-dasar semantik tentunya masih diperlukan untuk dapat
memahami dunia di sekelilingnya yang penuh dengan informasi dan lalu lintas
kebahasaan. Semua informasi yang ada di sekelilinginya, dan yang juga harus
mereka serap, berlangsung melalui bahasa, melalui dunia lingual. Sebagai
manusia bermasyarakat tidak mungkin mereka bisa hidup tanpa memahami alam
sekeliling mereka yang berlangsung melalui bahasa.

1.4 Semantik dalam Studi Linguistik

Sudah disebutkan di muka bahwa dalam sejarah studi linguistik bidang


semantik agak ditelantarkan atau kurang mendapatkan perhatian. Ini bukan berarti
tidak ada kegiatan samasekali mengenai semantik itu di dalam sejarah studi
bahasa. Aristoteles (384 - 322 SM) seorang sarjana bangsa Yunani sudah
menggunakan istilah makna, yaitu ketika dia mendefinisikan mengenai kata.
Menurut Aristoteles kata adalah satuan tertecil yang mengandung makna. Malah
dijelaskannya juga bahwa kata itu memiliki dua macam makna , yaitu(1) makna
yang hadir dari kata itu sendiri secara otonom, dan (2) makna yang hadir sebagai
akibat terjadinya proses gramatikal(Ullaman 1977:3). Makna (1) barangkali bisa
kita bandingkan sekarang dengan yang disebut makna leksikal, sedangkan makna
(2) barangkali bisa kita bandingkan dengan yang disebut makna gramatikal.

13
Sarjana Yunani lainnya, yaitu Plato (429- 347 SM), yang juga menjadi guru
Aristoteles dalam Cratylus juga menyatakan bahwa bunyi-bunyi bahasa secara
implisit juga nnengandung makna-makna tertentu. Sayangnya, pada masa itu studi
bahasa atas tataran bunyi, tataran gramatika, dan tataran makna belum ada. Studi
bahasa masih lebih banyak bertaitan dengan studi filsafat.
Pada masa itu memang ada perbedaan pendapat antara plato dan
Aristoteles . Plato percaya adanya hubungan berarti antara kata bunyi -bunyi
bahasa ) yang kita pakai dengan barang-barang yang dinamainya. Sedangkan
Arisoteles berpendapat bahwa hubungan.antara bentuk dan arti kata adalah soal
perjanjian di antara pemakai bahasa (Moulton 1976:3 ). Pendapat Aristoteles
inilah yang kita anut sekarang.
Dalan perkembangan berilcutnya pada tahun I 825 C. Chr. Reisig, seorang
sarjana Jerman, mengemukakan konsep baru mengenai gramatika. Dia
mengatakan gramatika itu terdiri dari tiga unsur utama,
yaitu :
(l) semasiologi, studi tentang tanda,
(2) sintaksis, studi tentang susunan kalimat, dan
(3) etimologi, studi tentang asal usul kata, perubahan bentuk
kata, dan penrbahan makna.
Pada masa itu, meskipun studi tentang semantik (makna) tetah dilakukan
tetapi istilah semantik itu sendiri belum digunakan.
Berikutnya, menjelang akhir abad XIX Michel Breal seorang sarjana
Perancis dalam karangannya Essai de Semantique telah dengan jelas
menggunakan istilah semantik dan menyebutkan bahwa semantik adalah suatu
bidang itnu yang baru. Namun dia masih juga menyebut semantik sebagai ilmu
yang "murni-historis". artinya, studi semantik pada waktu itu lebih banyak
berkaitan dengan unsur - unsur di luar bahasa itu sendiri, seperti bentuk perubahan
makna, latar belakang perubahan, hubungan ponrbahan dengan logika, psikologi,
dan bidang ilmu lainnya.
Ferdinand de saussure, yang sering disebut-sebut sebagai bapak linguistik
modem, dalam bukunya cours de lingustique (1916), antara lain berpendapat

14
bahwa studi linguistik harus difokuskan pada keberadaan bahasa itu pada waktu
tertentu. Maka pendekatannya harus sinkronis dan studinya harus deskriptif.
Akibat pandangan de saussure ini maka dalam studi semantik selanjutnya kajian
semantik menjadi berciri (1) pandangan yang bersifat historis telah ditinggalkan
karena pendekatannya sinkronis, walau masalah perubahan makna masih juga
dibicarakan; (2) studi kosa kata sangat mendapat perhatian. Kedua ciri ini nampak
jelas misalnya dalam karya Gustaf Stem, seorang sarjana Swedia, yang berjudul
meaning and change of meaning, with special Reference to the English language.
Dalam kajiannya itu Gustaf Stem telah melakukan studi makna secara empiris dan
bertolak dari satu bahasa yaitu bahasa Inggris.
De Saussure juga mengajukan konsep signenifie ( Inggris : signified)
atau”yang dijelaskan” adalah “dan signifiant (Inggris: signifier) atau”yang
dijelaskan” adalah tdak lain dari makna atau konsep dari signifiant atau “yang
menjelaskan”yang wujudnya berupa bunyi-bunyi bahasa. Signifie dan signifiant
sebagai signe lingusitique merupakan satu kesatuan yang merujuk kepada suatu
referen,yaitu sesuatu, berupa benda ata hal, yang berada diluar bahasa. Konsep de
seussure mengenai signe lingusitique ini sampai saat ini masih menguasai dunia
linguistik.
Pada masa hidupnya de saussure pernah juga meramalkan akan lahirnya.
ilmu baru yang disebutnya semiologi ; yaitu ilmu yang mempelajari tanda-tanda
yang ada dalam masyarakat manusia. Dan linguistik hanyalah salah satu bagian
dari ilmu umum yang disebut semiologi, itu karena linguistik hanya mempelajari
tanda-tanda bahasa atau signe linguistique itu. Namun, aturan-aturan yang
berlaku dalam semiologi itu akan berlaku pula dalam linguistik. Ramalan de
Saussure tentang semiologi atau semiotik kini sudah menjadi kenyataan. Edward
Sapir dalam bukunya language : Intrduction to the Study of Speech (1921)
walaupun tidak pernah menyebut-nyebut istilah arti maupun semantik, tetapi dia
membicarakan juga tentang konsep atau ide. Dia menyatakan bahwa kata
mewakili suatu konsep tunggal maupun suatu kombinasi konsep yang saling
berhubungan sedemikian rupa dan membentuk kesatuan psikologis. Dia juga

15
membicarakan konsep gramatikal, yaitu konsep yang ditunjukkan dengan
hadirnya imbuhan, kata tugas, dan susunan kata.
Leonard Bloomfield dalam bukunya Language (1933) menjelaskan bahwa
kita dapat mendifinisikan arti kata secara tepat apabila arti tersebut berhubungan
dengan hal-hal yang kita ketahui secara ilmiah, tetapi kita tidak dapat
mendefinisikan arti kata-kata seperti cinta dan benci, malah seringkali kita
menjumpai arti kata di dalam bahasa tidak cocok dengan penggolongan ilmiah.
Misalnya ikan paus dan ikan lumba-lumba yang secara ilmiah termasuk golongan
mamalia, tetapi di dalam bahasa di sebut ikan. Di sinilah letaknya kelemahan
pelajaran bahasa : arti lebih sering didefinisikan seberapa dapat saja. Dalam
kamus malah sering terjadi sirkumlokasi; Yakni penjelasan arti kata dilakukan
secara berputar-putar. Misalnya, kata kucing diartikan sebagai binatang rupanya
sebagai harimau kecil'; sedangkan harimau diartikan sebagai 'binatang buas,
rupanya sebagai kucing besar' (lihat Poerwadarminta 1976). Kalau kucing adalah
harimau kecil', dan harimau adalah 'kucing besat', maka apa itu
kucing dan apa itu harimau tetap belum jelas.
Semantik sebagai subsistem periferal, menurut Hockett, mencakup dunia
bahasa itu sendiri (dalam subsistem gramatika ) dan juga mencakup dunia di luar
bahasa, yaitu dunia sosial tempat manusia hidup. Meskipun semantik sama
pentingnya dengan subsistem sentral, tetapi faktanya sukar dipelajari dan sebegitu
jauh belum banyak yang diketahui.
Gleason dalam bukunya An Introduction to Descriptive Linguistics (1955)
menjelaskan bahwa bahasa tediri dari dua tomponen yang sangat erat
hubungannya dan saling mempengaruhi. Kedua komponen itu adalah, expression
atau bentuk dan content atau arti. Konsep Gleason ini mirip dengan konsep
signifiant dan signifie dari de Saussure.
Kenneth pike dan bukunya Language in Relation a a Unified Theory of the
structur e of Human Behavior (1954) tidak membicarakan tentang arti secara
khusus, tetapi beliau menyebutkan adanya etik dan emik. Yaitu dua hal yang amat
penting dalam mempelajari arti. Etik adalah satuan-satuan bunyi bahasa yang

16
mengandung arti, sedangkan emik adalah satuan-satuann bunyi yang mengandung
arti.
Dewasa ini studi semantik dengan menggunakan wacana sebagai objek
studinya sedang giat- giatnya dilakukan orang terhadap pelbagai bahasa, termasuk
juga bahasa Indonesia ( lihat Harimurti 1978).
Bagaimana dengan studi semantik di Indonesia ? Bahasa Indonesia yang
berasal dari bahasa Melayu dan yang "dibaptis" menjadi bahasa Indonesia tanggal
28 Oktober 1928 dalam suatu peristiwa yang disebut Sumpah Pemuda, memiliki
perkembangan yang sangat cepat dari sebuah bahasa daerah yang memang sudah
berfungsi sebagai Lingua franca di Nusantara menjadi suatu bahasa Nasional,
bahasa persatuan, dan bahasa negara. Kita boleh berbangga dengan keadaan itu.
Lebih -lebih bila dibandingkan dengan keadaan di beberapa Negara yang juga
mengaku memiliki bahasa nasional, tetapi tidak dapat menggunakan bahasa
nasionalnya itu menjadi bahasa persatuan dan negara. Filipina, misalnya, yang
mengakui bahasaTagalog sebagai bahasa nasionalnya tetapi masih harus
menggunakan bahasa Inggris untuk keperluan komunikasi kenegaraan. Begitu
pula dengan yang mengakui bahasa Hindi, Tamil, dan Benggali sebagai bahasa
nasionalnya tetapi masih memerlukan bahasa Inggris untuk keperluan komunikasi
kenegaraan.
Studi yang serius mengenai bahasa Indonesia telah banyak orang, baik
yang dilakukan oleh sarjana bangsa Indonesia maupun sarjana bangsa asing.
Semua segi, dan aspek kebahasaan bahasa Indonesia telah pernah diteliti orang,
meskipun masih banyak yang belum tuntas, termasuk masalah semantiknya.
Pembicaraan khusus mengenai semantik bahasa Indonesia sejauh ini yang
ada barulah dari slametmulyana(1964) dan D.p. Tampubolon (1979). Sedangkan
vang dibuat Mansur Pateda (1986) dan Aminuddin (1988) adalah bersifat umum
teoretis ilmiah.

17
B. Objek dan Ruang Lingkup Kajian Semantik

Objek kajian semantik adalah makna atau arti satuan bahasa. Leech,
(1983: 8--10) menjelaskan bahwa objek kajian semantik adalah makna satuan
bahasa yang tidak dihubungkan dengan konteks tuturan. Dengan kata lain,
semantik mengaji makna satuan bahasa tanpa dihubungkan dengan siapa yang
berbicara, ditujukan kepada siapa,tempatnya dimana, waktunya kapan,
suasananya bagaimana, topiknya apa, dan tujuannya apa. Semantik mengaji
tanda bahasa dengan konsep serta acuanya baik secara leksikal maupun
gramatikal. Semantik mengaji apa arti X. Djajasudarma (1993:4) menjelaskan
bahwa satuan bahasa yang dikaji maknanya itu mulai dari tataran fonologi,
morfologi, sintaksis, dan wacana. penjelasan Fatimah itu dapat dijabarkan berikut
ini. Kajian semantik pada tataran fonologi berupa analisis fonem sebagai
pembeda makna dalam kontras minimal. Kajian semantik dalam taran morfologi
berupa makna leksem dan kata. Kajian semantik dalam tataran sintaksis berupa
makna satuan bahasa berupa frasa, klausa dan kalimat. Kajian semantik dalam
tararan wacana berupa makna paragraf atau makna sebuah teks.
Sesuai dengan konsep Leech itu, penjelasan tentang objek kajian semantik
dapat diperjelas dengan contoh berikut ini. Seperti dijelaskan di depan, semantik
mengaji apa arti X. Misalnya X adalah sebuah kalimat Jam berapa sekarang,dik?
Semantik mengaji sebatas makna satuan bahasa yang diucapkan atau ditulis itu,
tanpa dihubungkan dengan konteks tuturannya. Dengan kata lain, semantik
membahas makna satuan bahasa yang dihubungkan dengan konteks linguistik
saja, yaitu kata satu dengan kata yang lain, kata dengan frasa, frasa dengan frasa,
klausa dengan klausa, struktur kata, frasa, klausa dan kalimat. Berdasarkan kajian
semantik, satuan bahasa yang berupa kalimat Jam birapa sekarang, Dik?
Bermakna 'orang yang lebih tua bertanya tentang waktu saat itu kepada seseorang
yang lebih muda. Pengajian, satuan bahasa yang berupa Jam berapa sekarang Dik?
Yang dihubungkan dengan konteks nonlinguistik, yaitu situasi tutur, misalnya
penuturnya adalah seorang ibu kos, yang diajak bicara adalah seorang
mahasiswa yang sedang mengunjungi pacarnya di kos itu, tempatnya di kos

18
Mahasiswa putri di Padang, waktu pukul 23.00 WIB, topik jam tamu, adalah
bukan cakupan semantik lagi. Makna satuan bahasa Jam berapa sekarang, Dik?
yang dihubungkan dengan konteks situasi tutur itu bermakna 'sorang ibu kos
menyuruh pulang secara halus kepada seorang mahasiswa yang bertemu di rumah
kos yang dimilikinya'' Satuan bahasa yang dihubungkan dengan konteks
nonlinguistik (dalam contoh ini adalah situasi tutur) terbukti menimbulkan makna
tertentu yang bisa berbeda dengan makna leksikal dan makna gramatikal satuan
bahasa yang digunakan untuk mengungkapkan tuturan. Leech (19831:1993: 8-10)
menegaskan bahwa makna yang terbentuk akibat suatu satuan bahasa
dihubungkan dengan konteks nonlinguistik, yaitu situasi tutur dan nilai-nilai
budaya tertentu merupakan objek kajian pragmatik Wijana (1996:23) dan
Purwo(1990:16) juga menyatakan bahwa makna yang ditelaah semantik
adalah makna yang terikat konteks. Yang dimaksud Wijana dan Purwo tentang
makna bebas konteks’ adalah semantik mengaji makna satuan bahasa yang
tidak dihubungkan dengan konteks' nonlinguistik, sedangkan pragmatik mengaji
makna satuan bahasa yang dihubungkan dengan konteks nonlinguistik yang
berupa konteks situasi tutur dan konteks budaya.
Dari uraian di atas, dapat dipahami semantik adalah subsistem kajian
bahasa yang mngaji makna satuan bahasa yang tidak disertai dengan konteks
nonlinguistik. Lingkup kajian semantik itu berupa satuan bahasa dalam kata,
frasa, klausa, kalimat, dan teks.

C. Hubungan Semantik dengan Subsistem Kajian Batrasa


yang Lain

Berdasarkan perkembangan kajian linguistik saat ini kajian linguistik


dapat dikelompokan sebagai berikut: (1) fonologi, (2) modologi, (3) sintaksis, (4)
wacana, (5) semantik, dan (6) pragmatik Fonologi merupakan subsistem kajian di
bidang bunyi bahasa. Fonologi ini dapat dikelompokan menjadi dua yaitu fonetik
dan fonemik. Fonetik adalah ilmu bahasa yang mengaji berbagai bunyi bahasa
tanpa memperhatikan fungsinya sebagai pembeda makna. Fonetik berurusan
kepada bagaimana bunyi bahasa dihasilkan oleh alat ucap manusia dan bagaimana

19
bunyi bahasa itu mengalir sebagai gelombang bunyi sehingga dapat dipahami oleh
manusia. Fonemik adalah cabang ilmu bahasa yang mengaji bunyi batrasa yang
berperan sebagai pembeda makna. Morfologi, sintaksis, dan wacana dapat
dikelompokkan sebagai subsistem gramatika karena tiga susistem itu sama-sama
mengaji struktur penataan satuan bahasa. Morfologi adalah subsistem kajian
batrasa yang mengaji struktur intrakata. Sintaksis adalah subsistem
cabang linguistik yang mengaji struktur intrakalimat. Alwi dkk. (1998: 4l)
menjelaskan bahwa wacana adalah cabang kajian linguistik yang mengaji struktur
antar kalimat yang saling berkaitan maknanya yang ditata secara serasi sehingga
membentuk makna. Objek kajian wacana yang terkecil adalah teks yang berupa
sebuah paragraf dan objek yang besar adalah teks yang kompleks, artikel, berita,
naskah pidato, puisi, cerpen, novel, buku teks, skripsi, tesis, disertasi, dan lain-
lain.
Semantik mempunyai hubungan yang erat dengan lima subsistem kajian
bahasa yang lain, fonologi, morfologi, sintaksis, wacan4 dan pragmatik.
Hubungan semantik dengan lima subsistem kajian bahasa itu diuraikan berikut ini.
Hubungan semantik dengan fonologi. Fonologi adalah Subsistem kajian
lingusitik di bidang bunyi bahasa. Fonologi dapat dirinci lagi menjadi fonetik dan
fonemik. Fonemik mempunyai hubungan yang lebih erat dengan semantik dari
pada semantik dengan fonetik. Fonemik mengaji makna yang berperan sebagai
pembeda makna sedangkan fonetik mengaji bunyi bahasa tanpa memperhatikan
perannya sebagai pembeda makna (Samsuri, 1994 9l-145). Contoh berikut ini
membuktikan bahwa fonemik mempunyai hubungan yang erat dengan semantik.
Dalam kegiatan menguji status suatu bunyi bahasa dengan kontras minimal untuk
menentukan apakah suatu bunyi bahasa merupakan fonem yang sama atau fonem
yang berbeda, orang rnemerlukan analisis makna satuan bahasa. Contoh, untuk
menentukan apakah dua bunyi yang mirip, yaitu bunyi letup bilabial bersura [b]
dengan bunyi letup bilabial tak bersuara [p] merupakan fonem yang sama atau
fonem yang berbeda, perlu dilakuakan pengujian' Pengujian itu dilakukan dengan
cara mengontraskan dua bunyi bahasa [b] dan [p] itu dalam pasangan minimal.
Pasangan minimal adalah dua satuan bahasa (kata) yang semua unsur bunyi

20
bahasanya sama kecuali unsur yang dikontraskan, misalnya kata /baran/ dan
/paran/ merupakan pasangan minimal. Dalam dua kata itu semua bunyi bahasa
dan susunannya sama (/...aran kecuali bunyi [b] untuk /iparan/ dan bunyi [p] untuk
/paran/. Dalam pengujian fonem itu, berlaku ketentuan (l) dua bunyi yang mirip,
tetapi menimbulkan perbedaan makna dalam kontras pasangan minimal maka dua
bunyi yang mirip itu sebenarnya adalah fonem yang berbeda. (2) Sebaliknya, dua
fonem yang mirip, tetapi tidak menimbulkan perbedaan makna dalam kontras
pasangan minimal atau dalam lingkungan yang mirip dan besifat komplementer
adalah fonem yang sama atau sekedar alofon dari fonem yang sama. Sehubungan
dengan ketentuan pengujian itu, /p/ dan /b/ dalam kata /parang/ dan /barang/adalah
fonem yang berbeda. Berdasarkan contoh pengujian status fonem suatu bunyi
bahasa fonologi membutuhkan semantik untuk menganilisis bunyi yang berperan
sebagai pembeda makna atau tidak.
Hubungan semantik dengan morfologi. Hubungan semantik dengan
morfologi terlihat jelas dalam proses morfologis. Proses morfologis itu mencakup
transposisi, afiksasi, reduplikasi, dan komposisi. Dalam proses morfologis itu,
terjadi perubahan makna satuan bahasa itu. Perubahan makna satuan bahasa akibat
proses transposisi. Proses tranposisi adalah proses pembentukan kata dengan
tanpa mengubah sedikit pun bentuk dasar satuan bahasa itu. Kridalaksana (1992
12) mengistilahkan proses tranposisi ini dengan, derivasi zelo. Perubahan makna
dalam transposisi atau derivasi zero dapat dibaca dalam contoh berikut ini.

jalan (nomina) 'jalan'- proses tranposisi jalan (verba) 'berjalan'


paku (nomina) 'paku' -- proses transposisi paku (verba) 'memaku'
cangkul (cangkul) 'cangkul' - proses transposisi cangkul (verba)
'mencangkul'

Dari proses transposisi itu dapat diketahui leksem yang semula berarti obenda',
yaitu ialan, paku, dan cangkul berubah menjadi aktivitas, yaitu 'berjalan',
memaku', dan 'mencangkul'.
Hubungan semantik dengan proses afiksasi dapat dibaca dalam contoh
berikut ini.

21
minum (verba) 'minum' -- /minum/ + /-an / minuman (nomina)
'minuman'
minum (verba) 'minum' - /me-/ + /minum/ meminum (verba)
'minum secara sengaja'
minum (verba) 'minum' - /ter-/ + /minum/ terminum (verba) 'minum
secara tidak sengaja.

Hubungan semantik dalam proses reduplikasi dapat dibaca pada contoh


berikut ini. Proses reduplikasi adalah proses pembenfukan kata dengan mengulang
suatu bentuk bahasa. Dalam pengulangan bentuk bahasa, bentuk bahasa bisa
langsung diulang dan atau bentuk bahasa diberi afiks lebih dahulu kemudian
diulang.

/rumah/ 'satu buah rumah'- reduplikasi /rumah-rumah’banyak


Rumah’
/mobi/I’ mobil yg. Sebenarnya – reduprika + sufiks(an) / mobil-

Hubungan semantik dengan morfologi juga terlihat dalam proses


komposisi. Proses komposisi adalah proses pembentukan kata dengan
mengabungkan dua leksem atau lebih. Hubungan semantik dengan proses
komposisi dapat dilihat berikut ini.

/panjang/ bermakna'kuantitas jarak'


/tangan/ bermakna 'anggota tubuh untuk memegang'
/pnjalngl + ltanganl + panjang tangan 'suka mencuri'
/mata/ 'anggota tubuh untuk melihat'
/hari/'satuan waktu mulai pukul24.00 sampai dengan pukul 24.00 lagi.
/mata/ + /hari/ matahari 'benda angkasa yang muncul pada siang hari
yang memancarkan panas dan menerangi bumi.

Gabungan leksem panjang dan tangan membentuk kata majemuk panjang


tangan yang bermakna 'suka mencuri'. Makna kata majemuk itu tidak bisa
dipahami dengan menelusuri makna bentuk dasar yang membentuk kata majemuk
itu. Begitu juga gabungan leksem mata dan hari membentuk kata majemuk
matahari yang bermakna 'benda angkasa yang memancarkan panas dan cahanya
ke bumi pada siang hari'. Berdasarkan contoh itu, dapat dipahami bahwa
penggabungan leksem menimbulkan makna baru. Komposisi adalah proses

22
pembentukan kata yang dikaji dalam morfologi dan makna yang timbul akibat
penggabungan leksem itu dikaji dalam semantik.
Semantik juga berhubungan dengan sintaksis. sintaksis adalah subsistem
linguistik yang mengaji struktur intralimat. Koteks kalimat menentukan makna
suatu leksem. pengaruh koteks kalimat terhadap makna suatu leksem dapat dibaca
dalam contoh berikut ini. Leksem bisa bermakna (l) 'dapat' dan (2) 'racun'.
Leksem bisa itu bermakna 'dapat' atau 'racun' tergantung koteks kalimat yang
ditempatinya. Dalam koteks kalimat semua mahasiswa bisa menjawab soal,
leksem bisa bermakna 'dapat'. Sebaliknya, dalam koteks kalimat bisa ular itu
sudah menjalar ke seluruh tubuh leksem bisa bermakna(1) ‘dapat’ dan (2) ’racun’.
Leksem bisa itu bermakna ‘dapat’ atau ‘racun’ tergantung koteks kalimat yang
ditempatinta. Dalam koteks kalimat semua mahasiswa bisa menjawab soal,
leksem bisa bermakna’dapat’ sebaliknya, dalam koteks kalimat bisa ular itu sudah
menjalar keseluruh tubuh leksem bisa bermakna’racun’.
Semantik juga berhubungan dengan wacana. Wacana adalah subsistem
kajian linguistik yang membahas hubungan antarkalimat. Jalinan kalimat satu
dengan yang lain yangserasi akan membentuk makna. Hubungan semantik dengan
wacana dapat dibaca dari contoh berikut ini.

Contoh 2: Gabungan Kalimat yang Tidak Membentuk Teks

(1) Perusahaan ekspor-impor sedang merekrut karyawan. (2) Banyatk


orang melamar di perusahaan itu. (3) Pada musim panen padi, harga
gabah turun. (4) Ia umumnya tidak ahli di bidangnya. (5) Anak presiden
pun harus dihukum kalau ia bersalah. (6) Untuk mendapatkan karyawan
yang cakap, jadwal perekrutan karyawan diperpanjang.

Makna kalimat-kalimat dalam contoh 2 tidak saling berhubungan dan


kalimat-kalimat itu tidak tertata secara tertib sehingga tidak memenuhi syarat
wacana. Kalimat-kalimat dalam contoh 2 tidak membentuk kesatuan makna
sehingga gabungan kalimat itu tidak membentuk teks. Gabungan kalimat itu
hanya membentuk 'onggokan kalimat'. Agar kumpulan kalimat dalam contoh 2
menjadi teks yang baik, susunan kalimat itu harus ditertibkan dan kalimat yang

23
maknanya tidak sesuai dengan ide pokok harus dibuang. Ide pokok dalam contoh
2 adalah Perusahaan ekspor-impor sedang merekrut karyawan. Kalimat 3 dan 5
harus dibuang karena tidak sesuai dengan ide utama. Kata ganti orang pertama
hurggal ia dalam kalimat 4 harus diganti dengan mereka karena yang diacu oleh
kata ganti itu adalah kata banyak orang yang terdapat dalam kalimat 2.
Berdasarkan perbaikan itu, diperoleh gabungan kalimat yang membentuk teks
berikut ini.
Contoh 3. Gabungan Kalimat yang Membentuk Teks
Perusahaan ekspor-impor sedang merekrut karyawan. Banyak orang yang melamar di
perusahaan itu, tetapi mereka umumnya tidak ahli di bidangnya. Untuk mendapatkan karyawan
yang cakap, jadwol perekrutan karyawan terpaksa diperpanjang

Semantik juga berhubungan dengan pragmatik. Pragmatik mengaji makna


satuan bahasa dari tiga sisi, yaitu tanda bahasa yang ada, yaitu kalimat yang
Diucapkan atau ditulis, acuan kalimat itu, dan konteks nonlinguistik. Agar dapat
memahami makna satuan bahasa secara pragmatik, satuan bahasa itu perlu
dipahami berdasarkan makna leksikal dan makna gramatikalnya (makna dalam
konteks linguistik).
Semantik mengaji apa makna X, sedangkan pragmatik mengaji apa
maksud penutur menggunakan X. Semantik mengaji arti satuan bahasa
berdasarkan rujukannya, sedangkan pragmatik mengaji apa yang dimaksudkan
oleh penuturan dengan menggunakan bentuk bahasa itu. Karena pragmatik
berusaha menelusuri apa yang dimaksudkan penuturan, pragmatik berusaha
menghubungkan kalimat (baca bentuk tuturan) dengan konteks nonlinguistik,
yaitu konteks situasi tutur yang berupa orang yang bertutur (penutur), orang
yang diajak bertutur (petutur), tempat, waktu, suasana; topik, dan tujuan.
Berikut ini adalah contoh hubungan pragmatik dengan semantik.
Misalnya, ada orang mengatakan, "Saya haus sekali". Secara semantis, tuturan
saya haus dipahami tanpa dihubungkan dengan konteks nonlinguistik sehingga
tuturan itu bermakna 'seseorang yang tenggorokannya kering'' Secara pragmatis,
tuturan saya haus sekali, dipahami dengan menghubungkan tuturan itu dengan
konteks nonlinguistic yang berupa situasi tutur, yaitu siapa penuturnya, kepada

24
siapa tuturan itu ditujukan, di mana tempatnya, kapan waktunya, bagaimana
suasananya, apa topiknya, dan apa tujuannya? Jika tuturan saya haus sekali itu
dituturkan oleh seseorang kepada kawan akrabnya, tempat di rumah kawanya,
waktunya siang hari, topiknya keadaan haus, tujuan untuk mendapatkan minum,
tuturan itu bermakna 'seseorang meminta minum kepada orang yang diajak
bicara'.
Berdasarkan kenyataan, pendapat Plato dan Aristoteles yang diuraikan
Maulton itu sama benarnya, tetapi kebenaran itu tidak bersifat mutlak. Pendapat
Plato itu benar karena didukung data bahasa yang berupa kata-kata yang bersifat
anomatope. Kata-kata yang berupa anomatope hampir sama dengan sesuatu yang
dilambanginya. Contoh, bunyi binatang kecil pemakan serangga yang suka
merayap di dinding adalah cek..cek...cek....lalu binatang itu diberi nama cecak.
Binatang sebangsa reptil yang tempat hidupnya di batang kayu yang suaranya to
keek..to keek..to keek diberi nama tokek. Berdasarkan dua contoh itu, memang ada
kemiripan antara lambang bahasa dengan sesuatu yang dilambanginya.
Sebaliknya, pendapat Aristoteles yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan
yang sistematis antara lambang bahasa dengan sesuatu yang dilambanginya adalah
benar juga karena pendapat itu juga didukung oleh data bahasa. Binatang berkaki
empat, yang larinya cepat, yang lazim sebagai tunggangan atau untuk menarik
bendi dinamakan kuda (oleh orang Melayu), kudo oleh orang Minang, jaran oleh
orang Jawa, dan horse oleh orang Inggris. Berdasarkan contoh itu, orang atau
kelompok orang menamai binatang itu secara bebas ( arbiter) tergantung dari
kesepakatan kelompok masyarakat itu. Jadi, tidak ada hubungan yang sistematis
antara lambang dengan sesuatu yang dilambanginya. Berdasarkan data bahasa itu,
pendapat Plato dan Aristoteles itu sama-sama dapat diterima, tetapi perlu diberi
catatan bahwa meskipun ada hubungan yang sistematis antara lambang bahasa
dengan sesuatu yang dilambanginya tetapi gejala itu tidak banyak, sebagian besar
hubungan lambang bahasa dengan sesuatu yang dilambanginya adalah arbitrer.
Pada tahun 1825, Reisig, seorang sarjana Jerman mengemukakan konsep
tentang gramatika. Dia menjelaskan bahwa gramatika terdiri atas tiga unsur
utama, yaitu (l) semasiologi, (2) sintaksis, dan (3) etimologi. Semasiologi adalah

25
studi tentang tanda. sintaksis adalah studi tentang susunan kalimat. Etimologi
adalah studi tentang asal usul kata, perubahan bentuk kata, dan perubahan makna.
Reisigi belum menggunakan istilah semantik. Istilah semantik mulai digunakan
pada abad XIX oleh sarjana prancis, Michael Breal, dalam karangannya Essai de
semantique (Chaer,1995:13-14).
Saussure (1857-1913) yang dikenal sebagai Bapak Linguistik modern,
memberikan arah kajian semantik yang signifikan. Melalui bukunya yang
merupakan kumpulan materi perkuliahannya yang diberi judul Cuis de
Linguistique Generale, dia dianggap sebagai peletak dasar kajian linguitik
modern. Buku itu diterbitkan oleh muridnya pada tahun 1916, yaitu setelah
Saussure meninggal. Dalam kuliahnya, Saussure mengemukakan hal-hal sebagai
berikut: (1) perbedaan antara langue, parole, dan lingage, 2) perbedaan antara
kajian diakronis dan sinkronis, (3) hakikat tanda bahasa, (4) perbedaan antara
hubungan asosiatif dan sintagmatis dalam bahasa, dan (5) perbedaan antara isi,
valensi dan pengertian. Dengan gagasan Saussure itu, penelitian batrasa secara
sinkronis menjadi semarak dan intensif. Kosakata mulai mendapatkan perhatian
dari para linguis. Teori tentang tanda oleh saussure ini membuka cakrawala baru
dalam kajian semantik. Saussure menjelaska bahwa tanda (Signe: Prancis; sign:
inggris) itu seperti dua sisi mata uang, satu sisi adalah petanda (signifie:prancis
signified: Inggris) dan penanda (signifiant: prancis; siginifier:Inggris). Petanda
adalah sesuatu yang ditandai yang berupa benda, peristiwa, sifat, keadaatl atau
konsep. Penanda adalah suatu lambang yang menandai atau mewakili benda,
peritiwa, sifat, keadan atau konsep. Petanda atau sesuatu yang dirujuk merupakan
makna dan kata atau satuan bahasa yang lain merupakan tanda. Dalam
perkuliahan Saussure itu, sudah dikaji secara mendalam tanda bahasa dan
maknanya (Saussure, 1916, 1973, I 988).
Ogden dan Richard (1923) dalam bukunya yang berjudul The Mining of
Mining menjelaskan hubungan antara tanda bahasa dan maknanya. Menurut
Ogden dan Richard tanda bahasa itu terdiri atas tiga unsur, yaitu symbol (symbol),
gagasan (thought of reference), dan acuan (referent). Simbol yang berupa kata
mewakili gagasan. Selajutnya, gagasan mewakili suatu acuan. Berdasarkan sifat

26
hubungan itu, Ogden dan Richard menjelaskan bahwa hubungan antara simbol
dan gagasan beisifat langsung, hubungan antara gagasan dan acuan langsung,
tetapi hubungan antara simbol dan acuan tidak langsung atau arbitrer.
Hocket (1959) menjelaskan bahwa bahasa merupakan sistem yang
kompleks. Sistem bahasa itu dapat dibagi menjadi lima subsistem, yaitu (1)
susistem gramatika, (2) fonologi, (3) morfofonemik, (4) semantik, dan fonetik.
Subsistem gramatika membahas morfem dan pembentukannya menjadi satuan
yang lebih besar. Fonologi membahas khazanah fonem dan penentuannya.
Morfofonemik membahas gejala fonologis dalam proses morfologis. Semantik
membahas tanda bahasa, misalnya morfem dengan acuannya (hubungan antara
tanda bahasa dengan maknanya). Fonetik mengaji bagaimana bunyi bahasa
dihasilkan oleh alat ucap dan bagaimana bunyi bahasa diubah menjadi gelombang
bunyi yang berupa tuturan yang dapat dipahami oleh penyimaknya. Hocket masih
mengaggap kajian semantik dan fonetik adalah kajian periferat atau kajian yang
tidak pokok. Yang dianggap kajian utama linguistik adalah gramatika, fonologi,
dan morfofonemis.
Chomsky (1965) dalam bukunya Aspek of the Theory of syntax
meyebutkan bahwa semantik adalah, salah satu komponen tata bahasa. Arti
kalimat sangat ditentukan oleh komponen semantik. Sampai saat ini, kajian
semantik belum merupakan kajian yang utama. Semantik masih bersifat
melengkapi kajian tata bahasa. Langkah maju yang dilakukan Chomsky di bidang
semantik adalah dia menggunakan pembenda untuk membedakan ciri-ciri butir
leksikal dalam daftar leksikonnya.
Para pengikut Chomsky (bekas murid Chomsky), yaitu Lakoff, Ross,
Cawtey, dan Kiparsky membentuk aliran tersendiri yang dikenar. dengan n.ma
semantik generatif. Mereka tidak puas dengan teori Chomsky yang menyatakan
bahwa semantik mempunyai dimensi yang lain dari sintaksis dan struktur batin
tidak sama dengan struktur semantik. Menurut pengikut semantik generatif,
struktur semantik dan struktur sintaksis bersifat homogen. Sudah seharusnya
semantik dan sintaksis diselidiki secaia bersama-sama karena keduanya adalah
satu (Chaer , 1995: l8-19).

27
Filmore (1968) membahas hubungan verba dan nomina dalam struktur
semantis. Dalam luatu proposisi verba diikuti oleh satu nomina atau lebih dan
nomina itu menyandang kasus tertentu sesuai dengan hubungannya dengan verba,
misalnya pelaku (agent), pengalaman
(experiencer), tujuan (objek), alat (meants), keadaan/ tempat, waktu (asurce).
Lyons (1977a) dan (1977b) semakin menyemarakkan kajian semantik
dengan diterbitkan dua buah bukunya yang berjudul semantik lrohme / dan
semantik volume 2. Buku semantik volume 1 menitikberatkan pada semantik
gramatikal . Teori semantik leksikal semakin diperkuat oleh buku Lexical
semantics yang ditulis oleh cruse pada tatrun 1986. pada tahun 1996 terbit buku
Lyons yang berjudul Linguistics Semantics: An introduction. Dalam buku
Linguistic Semantics, selain dibicarakan semantik leksikal dan semantik gramtikal
juga dibicarakan tindak tutur.
Slamet Mulyana dapat dinilai mempunyai perhatian yang besar terhadap
semantik bahasa Indonesia. Kesungguhannya minimal dibuktikan dengan
ditulisnya Sebuah buku yang berjudul Semantik yang diterbitkan pada tahun
1964. Buku itu membahas teori semantik leksikal dan gramatikal dan contoh
analisisnya dalam bahasa Indonesia. Verhar (1977) juga berjasa mengembangkan
kajian semantik bahasa Indonesia. Dalam bukunya yang berjudul Linguistik
Umum, Verhaar mengenalkan sejumlah teori semantik dan menjelaskan peluang
kajian semantik. Tampubolon (1988) melakukan kajian semantis bahasa Indonesia
dengan berorientasi pada aliran semantik generatif, khususnya teori Semantik
Chafe, dan tata bahasa kasus Filmore. Tulisan Tampubolon itu berjudul Semantik
sebagai Titik Tolak Analisis Linguistik yang disajikan dalam pertemuan Linguistik
Lembaga Bahasa Atma Jaya 1987. Buku semantik dalam bahasa Indonesia yang
turut mendorong perkembangan kajian semantik di Indonesia antara lain,
Semantik Leksikal oleh Pateda (1986), Semantik: Pengantar Studi tentang Makna
oleh Aminuddin (1988), Pengantar Semantik bahasa Indonesia oleh Chaer (1995).
Buku yang ditulis oleh Pateda, Aminuddin, dan Chaer itu berisi uraian berbagai
teori linguistik dan contoh penerapannya analisisnya dalam bahasa Indonesia.

28
Dan masalahnya objek studi Semantik adalah Makna yang terdapat dalam
satuan-satuan ajaran seperti kata, fase, klausa,dan kalimat. Makna adalah pesoalan
bahasa yang terkait dan terikat sangat erat dengan segala segii kehiidupan manusia
yang sangat luas dan kompleks. Penanaman tentang hakikat tanda bahasa adalah
penting karena bahasa dalam hakikatnya adalah sistem tanda efektivitas
komunikasi ditentukan oleh kemampuan seseorang mengorganisasikan tanda
bahasa dan kemampuan memahami tanda bahasa itu.

1. Pengertian makna
Ferdinand de Saussure, Bapak linguistik modren mengemukakan teori ini
juga mengacu pada pendapat ognen dan Richard (1916-1970) mengenai konsep
tanda bahasa linguistik. Tanda lingusitik (Perancis: Sigue Linguistique) terdiri
atas dua unsur, yaitu (1) yang diartikan (perancis: Siguifie, Inggris: Siguified) dan
(2) yang mengartikan 9perancis: Siguifiant, Inggris: Siguifier). Yang diartikan
(Indonesia: yang ditandai) adalah konsep atau makna dari suatu tanda bunyi. Yang
mengartikan (Indonesia: yang menandai penanda) adalah bunyi-bunyi bahasa itu,
yang terbentuk dari fonem-fonem bahasa yang ebrasngkutan. Jadi, dengan kata
lain, setiap tanda linguistik terdiri atas unsur bunyi dan unsur makna. Kedua unsur
ini adalah unsur dalam bahasa (intralingual) yang biasanya merujuk atau mengacu
kepada sesuatu atau referen yang merupakan unsur luar bahasa (ekstralingual).
Hubungan antara tanda linguistik atau unsur referennya adalah sebagai berikut.

29
Umpamanya tanda linguistik yang dieja <meja>. Tanda ini terdiri dari
unsur makna atau yang diartikan ‘meja’(Inggris:table ) dan unsur bunyi atau
mengartikan dalam wujud ruuntunan fonem {m, e, j, a}. Lalu tanda <meja> ini,
yang dalam hal ini terdiri dari unsur makna dan unsur bunyinya mengacu kepada
suatu referen yang berada di luar bahasa, yaitu sebuah meja, sebagai salah satu
perabot rumah tangga. Kalau kata <meja> adalah adalah sebagai hal yang
menandai (tanda-linguistik), maka sebuah <meja> sebagai perabot ini adalah hal
yang ditandai. Dalam bagan berikut sekali lagi secara lengkap digambarkan kaitan
antara kata (meja) dengan maknanya, yaitu 'meja’, realisasi bunyinya, yaitu [m, e,
j, a] dan referensinya yaitu sebuah meja ( Tetapi di sini hanya dapat
ditampilkan gambarnya saja, bukan bcnda sebenamya )

Pada contoh di atas tanda linguistik itu diwuiudkan dalam bentuk sebuah
kata, yaitu kata <meja>. Apakah setuap tanda-lingusitik selalu berwujud sebuah
kata?. Jawabannya adalah tidak selalu. Sebuah tanda lingusitik dapat juga
berwujud, sebuah gabungan kata ( yang dalam dunia pengajaran dikenal dengan
nama kata majemuk ), misalnya meja hijau yang bermakna 'pengadilan' sampul
surat yang bermakna 'amplop', dan mata sapi yang bermakna 'telur yang digoreng
tanpa dihancurkan'.
Sebetulnya dalam bidang semantik istilah yang biasa digunakan untuk
tanda-linguistik itu adalah leksem, yang lazim didefinisikan sebagai kata atau frase
yang merupakan satuan bermakna (H arimurti 1982: 98). Sedangkan istilah kata,
yang lazim didefinisikan sebagai satuan bahasa yang dapat berdiri sendiri dan
dapat terjadi dari morfem, tunggal atau gabungan morfem (Harimurti 1982 :76)

30
adalah istilah dalam bidang gramatika. Dalam buku ini kedua istilah itu dianggap
memiliki pengertian yang sama sebab, baik kata maupun leksem bisa benrujud
kata tunggal maupun gabungan kata ( frase idrfomatik ). Bedanya hanya leksem
adalah istilah dalam bidang semantik sedangkan kata adalah istilah dalam bidang
gramatika.
Pada bab terdahulu sudah disebutkan bahwa bahasa itu berupa sistem
tanda-bunyi: Oleh karena itu, banyak orang mengartikan sebuah kata atau leksem,
sebagai tanda-bunyi, sama dengan fonis atau deretan fonem-fonem yang
membentuk kata itu. Lalu, oleh karena itu pula dalam pembicaraan tentang
semantik yang dibicarakan adalah hubungan antara kata itu dengan konsep atau
makna dari kata tersebut, serta benda atau yang dirujuk oleh makna itu yang
berada di luar dunia bahasa. Hubungan antara ketiganya itu disebut hubungan
referensial; biasanya dibagankan dalam bentuk segitiga semantik sebagai berikut

(b) konsep/makna

------------------------------
(a) kata/leksem (c) sesuatu yang dirujuk
(referen)

Segitiga semantik itu padu awalnya berasal dari Ogden dan Richard
(1923). Untuk sudut (a) Ogden dan Richard menggunakan istilah symbol, untuk
sudut (b) digunakan istilah thought atau reference dan untuk sudut (c) digunakan
istilah referent. Hubungannya adalah symbol melambangkan thought atau
reference itu; sedangkan thought atau reference merujuk symbol diganti dengan
sign, istilih thought atau reference diganti dengan concept; dan istilah reference
diganti dengan significatum atau thing. Kemudian Lyons menyamakan sign sama
dengan leksem. Jadi, menurut peristilahan Lyons leksem melambangkan konsep;
dan konsep menandai sesuatu.

31
Sebuah kata/leksem mengandung makan atau konsep itu. Makna atau
konsep bersifat umum; sedangkan sesuatu yang dirujukk, yang berada diluar dunia
bahasa, yang bersifat tertentu. yang umpamanya kata <meja>, yang sudah kita
sebut-sebut di atas mengandung konsep meja pada umumnya, meja apa saja, atau
segala macam meja. Jadi, merupakan abstraksi keseluruhan meja yang ada. Tetapi
dalam dunianyta, meja-meja yang dirujuk adalah bersifat tertentu.
Hubungan antara katta <meja> sebagai sign dengan maknanya atau
konsepnya adalah bersifat langsung; tetapi hubungan antara <meja> dengan
sebuah meja di dunia nyata tiidak bersiifat lansung. Maka itu, dalam bagan di atas
hubungan antara kata dengan referennya ditandai dengan garis putus-putus.
Hubungan antara kata dengan maknanya seperti disebutkan pada bab
terdahulu, memang bersiifat arbiter. Aryinya , tidak ada hubungan wajib antara
deretan fonem pembentuk kata itu dengan maknanya. Namun, hubungannya
bersifat konvensional. Artinya disepakati setiap anggota masyarakat suatu bangsa
untuk mematuhi hubungan itu; sebab kalau tidak, komunikasi verbal yang
dilakukan akan mendapat hambatan. Oleh karena itu, dapat dikataakan, secara
sinkronis hubungan antara kata dengan maknanya atau lebih tepat lagi:
maknasebuah kata) tidak aka berubah. Secarra diakronis ada kemungkinan bisa
berubah sesuai dengan perkembangan budaya dan masyrakat yang bersangkutan.
Persoalan kita sekarang: apakah setiap kata merujuk kepada suatu referen?
Atau apakah setaip kata mempunyai refern ? jika ditelitii, ternyata tidak semua
kata mempunyai referen. Kata-kata yang termasuk kelas nomina, kelas vverba
ddan ajektifa memang memang selalu merujuk kepada suatu referen; tetappi kata-
kata yang disebut preposisi seperti di, ke, dan dari,dan yang disebut konjungsi,
sepertii kalau, meskipun, dan karenatidak merujuk kepada suatu referen. Kata-
kata yang tidak mempunyai referen disebut kata-kata yang tidak bermakna
referensial; sedangkan yang mempunyai referen disebut kata-kata yang bermakna
referensial. persoalan lain, kita dapat memahami bahwa refercn kata kaki ialah
kaki anggota tubuh manusia (juga binatang); tetapi bagaimana dengan referen kata
kaki pada bentuk kaki gunung, atau kaki meja? Menurut Verhaar referen kata kaki
tetap kaki sebagai anggota tubuh manusia dan bukan pada sesuatu yang lain

32
seperti pada gunung atau meja. Pada bentuk kaki gunung dan kaki meja kata kaki
digunakan atau dipakai untuk merujuk pada sesuatu yang lain secara metaforis,
secara perbandingan. Di sini salah satu ciri makna kaki, yaitu terletak disebelah
bawah, diperbandingkan dengan bagian bawah dari gunung itu. Pada bentuk kaki
meja, salah satu ciri makna kaki yaitu penopang berdirinya meja itu.
Jadi, refern sebuah kata adalah tetap, tidak berubah. Adanya kesan tidak
tetap atau berubah itu adalah karena kata itu digunakan secara metaforis.

2.2 Informasi
Di atas sudah disebutkan bahwa makna adalah unsur dari sebuah tata atau
lebih tepat sebagai gejala-dalam-ujaran ( Utterance – internal-phenomenon). Maka
dari itu, ada prinsip umum dalam semantik yang menyatakan bahwa kalau bentuk
(maksudnya bentuk kata) berbeda, maka makna pun berbeda, meskipun
barangkali perbedaannya itu hanya sedikit. Jadi, kata ayah dan bapak karena
bentuknya berbeda maka maknanya pun. Begitu juga dengan kalimat Dika
menendang bola dan bola ditendang Dita, maknanya juga berbeda.
Namun, sampai. Saat ini banyak orang termasuk juga banyak linguis, yang
menyatakan bahwa kata ayah sama maksudnya dengan kata bapak, sebab
keduanya sama-sama mengacu pada orang tua laki-laki. Begitu pun kalimat Dika
menendang bola sama maknanya dengan Bola ditendang Dika, sebab keduanya
memberi pengertian, keterangan atau informasi yang sama.
Sesungguhnya pendapat mereka itu keliru kalau dilihat dari prirsip umum
di atas. Tetapi, mengapa terjadi demikian ? Di sini kiranya mereka mengacaukan
pengertian tentang makna udengan pengertian informasi, Makna, seperti sudah
disebut-sebut di atas, adalah gejala dalam ujaran (utterancce-internal
phenomonon); padahal informasi adalah gejala luar-ujaran (utterance0 external
phenomenon). Kata ayah dan bapak memang memberi informasi yang sama,
yaitu’ orangtua laki-laki; tetapi maknanya tetap tidak persis sama karena
bentuknya berbeda. Selain itu kita pundapat menguji dari distribusinya. Dalam
kalimat ayah sayaa sakit, kata ayaah dapat diganti dengan kata bapak sehingga
menjadi bapakk saya sakit. Tetapi dalam frase bapak presiden yang

33
terhormat,tidak dapat diganti menjadi ayah presiden yang terhormat. Begitu juga
dengan kalimat Dika menendang bola dan bola ditendang Dika keduanya
memang memberi informasi yang sama, yaitu” dika menendang bola”. Tetapi
maknanya jelas sama; kalimat dika menendang bola mengandung makna aktif,
sedangkan kalimat Bola ditendang dika mengandung makna pasif.
Bagaimana dengan kalimat Bola ditendang Dika dan kalimat bola
ditendangg oleh Dika? Banyak orang mengatakan bahwa kedua kalimat ini pun
sama, sebab kehadiran preposisi oleh pada kalimat itu bersifat opsional. Tetapi
sebenarnya makna kedua kalimat itu pun tidak sama. Kehadiran preposisi oleh
pada kalimat kedua memberi makna penonjolan akan adanya pelaku, sedangkan
pada kalimat pertama penonjolan akan adanya pelaku itu tidak ada. Namun,
memang informasi yang diberikan oleh kedua kalimat itu sama.
Karena mengacaukan pengertian makna dengan informasi, maka banyak
juga orang yang menyatakan suatu kalimat tertentu sama maknanya dengan para
frase dari kalimat itu. Ini pun keliru, sebab parafrase tidak lain dari pada rumusan
informasi yarig sama dalam bentuk ujaran yang lain. Jadi, kalimat Dika
rnenendang bola dapat dikatakan parafrase dari kalimat Bola ditendang Dika, atau
juga sebaliknya. Malah bait puisi berikut ( dari AIi Hasyim )

Pagiku hilang sudah melayang


Hari mudaku sudah pergi
Sekarang petang datang membayang
Batang usiaku sudah tinggi

adalah juga parafrase dari kalimat saya sudah tua karena informasinya sama.
Hanya rumusannya yang berbeda.
Di samping parafrase ada juga istilah perifrase, yaitu informasi yang sama
dengan rumusan yang lebih panjang. Jadi, kalimat Bola ditendang oleh Dika
adalah perifrase dari kalimat Bola ditendang Dika karena rumusannya lebih
panjang yaitu dengan adanya preposisi oleh. Begitu juga frase gadis yang
mengenakan baju merah itu adalah perifrase dari gadis yang berbaju merah itu.

34
Suatu perifrase menambah sesuatu pada yang diperifrasekan tetapi tetap
mempertahankan informasinya yang sama. OIeh karena itu, dapat dikatakan
bahwa setiap perifrase adalah parafrase juga, tetapi tidak setiap parafrase adalah
perifrase. Camkan, jangan sampai Anda mengacaukan pengertian kedua istilah
itu!

2.3 Maksud
Di atas telah dibicarakan bedanya makna dengan informasi. Makna adalah
gejala dalam ujaran, sedangkan informasi adalah gejala -luar - ujaran. Selain
informasi sebagai sesuatu yang luar ujaran ada lagi sesuatu yang lain yang juga
luar-ujaran, yaitu yang disebut maksud.
lnformasi dan maksud sama-sama sesuatu yang luar-uja ran. Hanya
bedanya kalau informasi itu merupakan sesuatu yang luar-ujaran dilihat dari segi
objeknya atau yang dibicarakan; sedangkan maksud dilihat dari segi pengujar,
orang yang berbicara, atau pihak subjeknya. Di sini orang yang berbicara itu
mengujarkan suatu ujaran entah berupa kalimat maupun frase, tetapi
dimaksudkannya tidak sama dengan makna lahiriah ujaran iru sendiri. Di
simpang-simpang jalan dijakarta banyak pedagang asongan menawarkan barang
dagangannya kepada para pengemudi atau penumpang, (yang kebetulan
kendaraannya tertahan arus lalu lintas ) dengan kalimat tanya “Koran,koran ?”atau
"Jeruk, Pak ?". Padahal mereka tidak bermaksud bertanya, melainkan bermaksud
menawarkan. contoh lain, seorang ayah setelah memeriksa buku rapor anaknya,
dan metihat bahwa angka-angka dalam buku rapor itu banyak yang merah, berkata
kepada anaknya dengan nada memuji "Rapormu bagus sekali, Nak !". Jelas, dia
tidak bermaksud memuji walaupun nadanya memuji. Dengan kalimat itu dia dia
sebenarnya bermaksud menegur atau mungkin juga mengejek anaknya itu.
Maksud banyak digunakan dalam bentuk-bentuk ujaran yang disebut
metafora, ironi, litotes, dan bentuk-bentuk gaya bahasa lain. Selama masih
menyangkut segi bahasa, maka maksud itu masih dapat disebut sebagai persoalan
bahasa. Tetapi kalau sudah terlalu jauh dan tidak berkaitan lagi dengan bahasa,

35
maka sudah tidak dapat lagi disebut sebagai persoalan bahasa. Mungkin termasuk
persoalan bidang studi lain; entah filsafat, antropologi, atau juga psikoiogi.
Sebagai penutup pembicaraan makna, maksud, dan informasi ini,
perhatikan diagram dari Verhaar (1979) berikut

Istilah Segi Jenis semantik


( dalam keseluruhan
Peristiwa pengujaran )

MAKNA segi lingual atau dalam semantik kalimat


Ujaran gramatikal,
dan leksikal
INFORMASI segi objektif (yakni segi (luar semantik; eks
yang dibicarakan) tra lingual)

MAKSUD segi subjektif (yakni di- semantik bahasa


Pihak pemakai bahasa)

Sekali lagi kita perhatikan, makna menyangkut segi lingual atau dalam-
ujaran, sehingga padanya kita menemukan persoalan semantic leksikal, semantik
gramatikal, dan semantik kalimat. Sedangkan informasi menyangkut segi objekb
yang dibicarakan. Jadi, informasi tidak menyangkut persoalan semantik karena
sifatnya yang berada di luar bahasa (ekstralingual). Sebaliknya maksud yang
menyangkut pihak pengujar masih memiliki persoalan semantik, asal saja
lambang-lambang yang digunakan masih berbentuk lingual.

2.4 Tanda, Lambang Konsep, dan Definisi


Dalam uraian di atas sudah disebutkan istilah tanda, lambang, dan konsep.
Untuk dapat memahami pembicaraan selanjutnya dengan lebih baik, ada baiknya
kalau ketiga kata itu, tanda, lambang, dan konsep, dibicarakan sekali lagi disertai
pula dengan istilah simbol dan definisi atau batasan.
Tanda dalam bahasa Indonesia pertama-tama adalah berarti 'bekas'. yang
cukup keras pada punggung akan member bekas. Bekas pukulan itu, yang benama

36
kemerahan, menjadi tanda akan telah terjadi suatu pukulan dengan rotan pada
tempat tersebut. Pada pagi hari secercah sinar matahari yang masuk ke dalam
kamar melalui celah-celah dinding merupakan tanda bahwa hari sudah siang.
Terdengamya suara azan atau bunyi beduk dari sebuah mesjid menjadi tanda
bahwa waktunya salat telah tiba. Menyalanya lampu lalu lintas di simpang jalan
menjadi merah menjadi tanda bahwa kita harus stop, tidak boleh berjalan terus.
Dari contoh-contoh di atas kita dapat melihat bahwa tanda dengan hal yang
ditandai bersifat langsung. Coba anda renungkan apa yang ditandai dengan hal-hal
berikut: (a) bunyi petir, (b) kokok ayam jantan di pagi hari, (c) asap mengepul
yang nampak dari kejauhan, (d) seseorang yang terduduk dengan nafas yang
tersengal-sengal (ngos-ngosan), dan (e) kulit tangan yang menebal (kapalan).
Lambang sebanarnya juga adalah tanda. Hanya bedanya lambang ini tidak
memberi tanda pada secara langsung, melainkan melalui sesuatu yang lain. Warna
merah pada bendera sang merah putih merupakan labang”keberanian”, dan warna
putih merupakan lambang “kesucian”. Gambar padi dan kapas pada burung
Garuda pancasila melambangkan "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia",
sedangkan banyaknya bulu burung garuda yang tujuh helai itu melambangkan
bahwa proklamasi kemerdekaan terjadi pada tanggal 17 Agustus. Seperti kata
ogden dan Richard (1972: 9) lambang ini besifat konvensional, perjanjian; tetapi
ia dapat diorganisir, direkam dan dikomunikasikan. Jadi, untuk mengetahui
maksud lambang-lambang itu kita harus mempelajarinya. Coba anda renungkan
apa yang dilambangkan oleh gambar bintang, gambar pohon beringin, gambar
rantai, yang terdapat pada dada burung Garuda Pancasila ! Satu lagi, tanda-tanda
lalu lintas termasuk tanda atau lambang ? Coba jelaskan !
Bunyi-bunyi bahasa atau satuan bahasa sebenarya termasuk lambang
sebab sifatnya konvensioanal. Untuk memahami makna atau yang diacu oleh
bunyi-bunyi bahasa itu kita harus mempelajarinya. Tanpa mempelajarinya, orang
Inggris tidak akan tahu bahwa <meja> dalam bahasa Indonesia itu adalah 'table'
dalam bahasanya; dan dia juga tidak akan tahu bahwa <anjing> dalam bahasa
Indonesia sama dengan 'dog'dalam bahasanya.

37
Bagaimana pula dengan kata simbol ? Simbol adalah kata serapan yang
berpadanan dengan kata Indonesia lambang. Dalam karangan ini kedua kata itu
dianggap mewakili konsep yang sama, meskipun mungkin distribusi
penggunaannya berbeda.
Lambang bahasa (entah berupa kata, gabungan kata, maupun satuan ujaran
lainnya) sama dengan lambang dan tanda-tanda dan dalam bidang lain “mewakili"
suatu konsep yang berada di dunia ide atau pikiran kita. Umpanya kata kata
<kursi> “imewakili” suatu konsep dalam benak kita berupa benda yang biasa
digunakan sebagai tempat duduk dengan wujudnya yang sedemikian rupa
sehingga nyaman untuk diduduki. Meskipun dalam dunia nyata ada sedemikian
banyaknya jenis dan macam kursi tetapi gambaran abstrak akan konsep kursi itu
sama. Oleh karena itu, ada kemungkinan bila seseorang mendengar kata <kursi>
yang diucapkan oleh seorang pengujar atau membacanya yang ditulis oleh
seorang penulis, dia akan memiliki bayangan atau gambaran kursi yang tidak
sama dengan yang dimaksud oleh si pengujar atau si penulis. Bisa terjadi si
pengujar atau penulis memaksudkan <kursi> yang dilipat-lipat (dan biasa disebut
kursi lipat) sedangkan si pendengar pembaca membayangkan kursi berjok empuk
seperti yang diduduki seorang direktur di kantor perusahaan besar.
Konsep sebagai referens dari suatu lambing memang tidak pernah bisa
"sempuma". Oleh karena itulah kalau kita menyebut <kursi> atau <pemuda>
atau lambang apa saja, orang sering bertanya "apa yang Anda maksud dengan
kursi itu?", atau juga "apa atau siapa yang Anda maksud dengan pemuda itu
?". semua ini membuat orang berusaha merumuskan konsep-konsep yang ada
dalam dunia idenya dalam suatu rumusan yang disebut difinisi atau batasan.
Secara umum definisi atau batasan ini memberi rumusan yang lebih teliti
mengenai suatu konsep, walaupun definisi itu sendiri sering kali juga banyak
kelemahannya (tentang definisi lebih lanjut lihat 3.3 ).

38
2.5 Beberapa Kaidah Umum
Dari pembicaraan di atas, dan untuk lebih mudah mengikuti pembicaraan
selanjutnya berikut ini diberikan beberapa kaidah umum yang perlu diperhatikan
berkenaan dengan studi semantik.
(1) Hubungan antara sebuah kata/leksem atau acuannya bersifat arbiter.
Dengan kata lain tidak ada hubungan wajib diantar keduanya.
(2) Secara sinkronik makna sebuah kata/leksem tidak berubah, diakronik
ada kemungkinan berubah. Maksudnya, dalam jangka waktu yang
relatif tidak terbatas ada kemungkinan bisa berubah. Namun, bukan
berarti setiap kata akan berubah maknanya.
(3) Bentuk-bentuk yang berbeda akan berbeda pula maknanya.
Maksudnya, kalau ada dua buah kata/leksem yang bentuknya berbeda
meskipun perbedaannya sedikit, tetapi maknanya pasti akan berbeda. Karena itu,
dua buah kata yang disebut bersinonim pasti kesamaan tidak persis, seratus
persen. Pasti ada perbedaannya. Secara hal ini dapat dibuktikan Misalnya kata,
kini dan sekarang adalah dua buah kata yang bersinonim. Tapi kata sekarang
dalam frase bininya diganti dengan kata kini. Konstruksi *bininya yang kini
adalah tidak gramatikal .

(4) setiap bahasa memiliki sistem semantik. Sendiri yang berbeda dengan
sistem semantik bahasa lain karena sistem semantik itu bekaitan erat dengan
sistem budaya masyarakat pemakai bahasa itu, sedangkan sistem budaya yang
melatar belakangi setiap bahasa itu tidak sama.
(5) Makna setiap kata leksem dalam suatu bahasa sangat dipengaruhi oleh
pandangan hidup dan sikap anggora masyarakat bersangkutan. Misalnya, makna
kata babi pada kelompok masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam
tidak sama dengan kelompok masyarakat Indonesia yang bukan beragama Islam.
(6) Luasnya makna yang dikandung berbanding terbalik dengan luasnya
bentuk tersebut. Sebagai contoh bandingkan bentuk-bentuk :
(a) kereta
(b) kerera api

39
(c) kereta api ekspres
(d) kerera api ekspres malam.
Makna kereta pada (a) sangat luas dari (b); makna kereta pada (b) lebih
luas dari pada (c); sedangkan (c) masih lebih luas dari pada (d). Sedangkan makna
(d) masih lebih luas dari makna (e) berikut

(e) kereta api ekspres malam luar biasa.


Penanda itu dapat berupa bunyi bahasa yang berupa bunyi bahasa, kata,
kalimat, atau teks. Petanda adalah sesuatu diacu oleh suatu penanda yang berupa
leksem, kata, frasa kalimat, atau teks. Dengan kata lain, petanda atau acuan
merupakan makna dari tanda.. bahasa. Jadi tanda bahasa selalu berwujud bentuk
tanda dan maknanya. Saussure melihat tanda hanya dari dua sisi, yaitu sisi
penanda (bunyi bahasa) dan sisi petanda (sesuatu yang ditandainya). Berdasarkan
bagan 2.1, tanda bahasa mengandung dua unsur, yaitu petanda (sesuatu yang
ditandai) yang berupa hewan sapi) dan penanda (yang menandai) yang berupa
kata s a p i.
Ogden dan Richard (1923) mengaji tanda bahasa dari tiga sisi, yaitu
simbol (symbol), gagasan (thought or reference), dan acuan (referent). Relasi
unsur tanda itu, digambarkan dalam bentuk segitiga dengan sisi bawah
berupa garis putus-putus.

gagasan
(thought or reference)

-------------------
Simbol (symbol) acuan (referent)

Bagan 2.2. Hubungan antara simbol, gagasan, dan acuan


Menurut konsep Ogden dan Richard

tanda bahasa yang berupa bunyi bahasa itu dilambangkan dengan grafem atau
huruf serta tanda baca. Menurut Saussure, tanda itu mencakup dua unsur, yaitu

40
penandal yang menandai (signifiie: Prancis; signified:inggris) dan petandal yang
ditandai . (signifiant: Prancis;sigfinifier: Inggris). Secara sederhana, dapat
dijelaskan bahwa itu berupa untaian bunyi bahasa, misalnya kata, frasa, dan
kalimat dan sesuatu yang diacu itu merupakan petanda. Dalam hal ini, petanda itu
dapat dianggap sebagai makna dari suatu tanda. Contoh, jika ada tanda, misalnya
untaian bunyi [p-e-n-s-i-l] merupakan penanda dan yang berupa 'alat tulis yang
lazim digunakan untuk menulis di papan tulis yang terbuat dari kayu dan arang
merupakan petanda. Petanda itu sekaligus merupakan makna dari tanda itu. Jadi,
pensil bermakna 'alat tulis yang lazim digunkan untuk menulis di kertas yang
dibuat dari kayu dan arang’.
Menurut Ogden dan Richad (1923), tanda bahasa itu terdiri atas tiga unsur,
yaitu simbol (symbol), gagasan (thought or refence), dan acuan (referen). Simbol
mewakili dan gagasan mengacu ke suatu acuan (objek tertentu). Contoh, jika ada
leksem pensil, untaian bunyi [p-e-n-s-i-l] merupakan simbol, 'alat tulis yang lazim
untuk menulis di kertas yang terbuat dari kayu dan arang’ merupakan gagasan,
dan wujud objek yang sebenarnya acuan. Menurut Ogden dan Richard, gagasan
itulah merupakan makna dari tanda bahasa.
Hubungan antara tanda bahasa dengan objek yang ditandai ada bersifat
sitematis (ikonis) dan ada yang bersifat arbiter. Leksem-leksem yang berupa
anomotape menunujukkan ada hubungan yang sistematis antara tanda bahasa
dengan objek yang ditandainya. Leksem-leksem yang tidak berupa anomatope
menunjukkan tidak adanya hubungan yang sistematis antara tanda dengan objek
yang ditandainya.
Menurut Pierce, berdasarkan hubungan antara tanda dan objek yang
ditandainya, tanda dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu ikon, indeks, dan
symbol, adalah tanda bahasa yang menunjukkan hubungan kemiripan antara tanda
dan objek yang ditandainya. Contoh,foto dari leksem anomatope merupakan tanda
yang tergolong ikon. Indeks adalah tanda yang menunjukkan. ada hubungan
kausalitas antara tanda dan objek yang ditandainya. Contoh, asap, mendung,
Arah anak panah merupakan tanda yang tergolong indeks Simbol adalah tanda
yang antara tanda dan semata-mata karena konvensi kelompok orang pemakai

41
tanda itu. Leksem atau kata-kata, atau lambang-lambang tertentu (lambang
negara, lambang organisasi) tergolong simbol, bahasa yang lain tergolong simbol.
Sebagian besar tanda bahasa berupa simbol.
Ada tiga unsur yang menghadirkan makna tanda bahasa, (1) komponen
makna intern tanda bahasa itu sendiri, (2) proses gramatikal pada tanda bahasa,
(2) konteks tuturan dari suatu tanda bahasa. Makna yang terbentuk dari unsur
komponen makna tanda bahasa itu sendiri (otonom) digolongkan sebagai makna
leksikal. Makna yang terbentuk karena tanda bahasa mengalami proses gramatikal
disebut makna gramatikal. Makna yang terbentuk karena tanda bahasa (tuturan)
dihubungkan dengan konteks situasi tuturnya digolongkan sebagai makna
pragmatis. Makna leksikal dan makna gramatikal merupakan kajian sernantik
sedangkan makna pragmatis merupakan kajian pragmatik.

42
BAHAN AJAR/HANDOUT

Bahan Kajian : Penamaan, Pendefinisian, dan Jenis Makna


Kode/ SKS : IND 005/3 SKS
Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas : Bahasa dan Seni
Pertemuan Ke- : 3,4, dan 5
Dosen : Tim Dosen Pengampu Mata Kuliah

Learning Outcomes (capaian Pembelajaran) Mata Kuliah terkait KKNI:


Mampu mengenal dan mengaplikasikan penamaan,pendefinisian, serta mampu
mengklasifikasikan jennis makna.
Soft Skills/ Karakter : Berpikir Kritis

Materi:
1. Penamaan, pengistilahan, pendefinisian
2. Idiom,ungkapan, metafora
3. Jenis makna dan pengelompokannya

Materi
1. Penamaan
Dalam pembicaraan mengenai hakikat bahasa ada dikatakan bahwa bahasa
adalah sistem lambang bunyi yang bersifat arbister. Maksudnya, antara suatu
satuan bahasa, sebagai lambang, misalnya kata, dengan sesuatu benda atau hal
yang dilambangkannya bersifat sewenang-wenang tidak ada hubungan ‘wajib’ di
antara keduanya. Umpamanya antara <kuda> dengan benda yang diacunya yaitu
seekor binatang yang biasa dikendarai atau dipakai menarik pedati, tidak bisa
dijelaskan sama sekali. Lagi pula andaikata ada hubungannya antara lambang
dengan yang dilambangkannya itu, tentu orang jawa tidak akan menyebutnya
<jaran>, orang Inggris tidak akan menyebutnya <horse>, dan orang Belanda tidak
akan menyebutnya <paard>. Tentu mereka semuanya akan menyebutnya juga
<kuda>, sama dengan orang Indonesia.
Plato di dalam suatu percakapan yang berjudul "Cratylos" menyatakan
bahwa lambang itu adalah kata di dalam suatu bahasa, sedangkan makna adalah
objek yang dihayati di dunia nyata berupa rujukan, acuan, atau sesuatu yang

43
ditunjuk oleh lambang itu. Oleh karena itu, lambang-lambang atau kata-kata itu
tidak lain daripada nama atau label dari yang dilambangkannya, mungkin berupa
benda, konsep, aktivitas, atau peristiwa.
Dalam kehidupannya seringkali manusia, tentu saja termasuk kita, sukar
memberi nama-nama atau label-label terhadap benda-benda atau peristiwa-
peristiwa yang ada di sekelilingnya karena terlalu banyaknya dan sangat
beragamnya benda-benda atau, peristiwa-peristiwa tersebut. oleh karena itu,
lahirlah nama kelompok dari benda atau hal yang berjenis-jenis iru, misalnya
nama binatang, nama tumbuh-tumbuhan, nama buah-buahan, dan sebagainya.
yang dinamai rumput, misalnya, adalah sejenis tumbuhan rendah, yang meliputi
beratus mungkin beribu-ribu sepices. Mungkin kita tahu nama pohon seperti
durian, salak, mangga, atau pisang; tetapi pergilah ke hutan atau ke kebunraya,
pasti masih lebih banyak jenis, pohon yang namanya tidak Anda kenal.
Kembali ke persoalan semula, kalau nama itu sama dengan lambang untuk
sesuatu yang dilambangkannya, maka berarti pemberian nama itupun bersifat
arbiter, tidak ada hubungan wajib sama sekali. Aristoteles (384-322SM) pun dulu
sudah mengatakan bahwa pemberian nama adalah soal konvensi atau perjanjian
belaka di antara sesama anggota suatu masyarakat bahasa.
Walaupun demikian secara kontemporer kita masih dapat menelusuri
sebab-sebab atau peristiwa-peristiwa yang melatar belakangi terjadinya penamaan
atau penyebutan terhadap sejumlah kata yang ada dalam leksekon bahasa
Indonesia. Berikut ini akan dibicarakan beberapa di antaranya.

3.1.1 Peniruan Bunyi

Dalam bahasa Indonesia ada sejumlah kata yang terbentuk sebagai hasil
peniruan bunyi. Maksudnya, nama-nama benda atau hal tersebut dibentuk
berdasarkan bunyi dari benda tersebut atau suara yang ditimbulkan oleh benda
tersebut. Misalnya, binatang sejenis reptil kecil yang melata dinding disebut cecak
karenan bunyinya “cak, cak, cak,”. Begitu juga dengan tokek diberi nama seperti
itu karena bunyinya "tokeh tokek". Contoh lain meong nama untuk

44
kucing, guk guk nama untuk anjing, menurut bahasa kanak-kanak' juga adalah
karena bunyinya begini. Kata-kata yang dibentuk berdasarkan tiruan bunyi ini
disebut kata peniru bunyi atau onomatope.
Sejalan dengan itu banyak pula dibentuk kata kerja atau nama perbuatan
dari tiruan bunyi itu Misalnya, biasa dikatakan anjing menggonggong, ayam
berkokok, ular mendesis, angin menderu, kerbau melenguh, kuda meringkik,
harimau mengaum, telepon berdering, meriam menggelegar, tikus mecicit, pintu
yang dibuka berderit, dan lampu listrik yang sering mati hidup disebut byar-pet.
Dalam bercerita pun orang acap menirukan bunyi-bunyi benda atau hal
yang dicerikatan, seperti :
- ku dengar bunyi ketukan di pintu "tok, tok' tok", dan sebelum
aku bangkit, dia sudah muncul di pintu
- uKlik" terdengar bunyi anak kunci diputar orang
- "Bret, bret" dirobeknya kain itu menjadi tiga lembar'

Kata-kata yang dibentuk berdasarkan tiruan bunyi ini sebelumya juga tidak
persis sama, hanya mirip saja, mengapa? Pertama, karena benda atau binatang
mengeluarkan bunyi itu tidak mempunyai alat fisiologi seperti manusia. Kedua,
karena sistem fonologi setiap bahasa tidak sama. Itulah sebabnya, barangkali,
mengapa orang sunda menirukan kokok ayam jantan sebagai (kongkorongok),
Orang, melayu Jakarta sebagai (kukuruyuk), sedangkan orang Belanda sebagai
(kukeleku).
Silahkan Anda mencari onomatope lain yang ada dalam bahasa indonesia,
atau bahasa daerah Anda!

3.1.2 Penyebutan Bagian

Dalam bidang kesusastraan ada istilah pars Pro toto yaitu gaya bahasa
yang menyebutkan bagian dari suatu benda atau hal, padahal yang dimaksud adalh
keseluruhannya. Misalnya kata kepala dalam kalimat setiap kepala menerima
bantuan seribu rupiah, bukanlah dalam arti “kepala” itu saja, melainkan seluruh
orangnya sebagai satu keutuhan.

45
Sesungguhnya gejala pars pro oto ini bukan semata-mata gaya retorika
dalam kesusastraan saja, tetapi juga merupakan gejala umum dalam pemakaian
bahasa sehari-hari. Umpamanya, kalau kita masuk ke rumah makan dan meminta
kopi,maki pasti pemilik atau pelayan rumah makan itu tidak akan menyodorkan
kopi saja, melainkan kopi yang sudah diseduh dengan air panas, diberi gula, dan
ditempatkan dalam cangkir atau wadah lain. Begitu juga dengan frase kepala
keluarga dalam kalimat pemerintah akan menempatkan 500 kepala keluarga
transmigran di daerah itu bukan hanya berarti sang kepala keluarga itu seorang
diri melainkan juga bersama-sama dengan istri dan anak-anaknya.
Penamaan sesuatu benda atau konsep berdasarkan bagian dari benda itu
Biasanya berdasrkan ciri yang khas tau menonjol daribenda itu dan yang sudah
diketahui umum. Misalnya, pada tahun puluhan kalu ada orang mengatakan “ingin
membeli rumahh tetapi tidak ada sudirmannya”, maka dengan kata sudirman yang
dimaksudkan adalah uang karena pada waktu iitu uang bergambar almarhum
jendral Sudirman. Sekarang mungkin dikatakan orang tidak ada kartininya sebab
uang kertas sekarang bergambar R. A. Kartini (lembaran sepuluh ribu).
Contoh lain, anggota ABRI disebut baju hijau karena ciri warna pakaian
ABRI adalah hijau. sebaliknya seorang wasit sepakbola disebut anggota korps
baju hitam karena pakaian seragam mereka di lapangan adalah berwama hitam.
Kebalikan dan pars pro toto adarah gaya retorika yang disebuttotem pro
parte yaitu menyelut keseluruhan untuk sebagian. Misalnya kalau dikatakan,
"Indonesia memenangkan medali perak di olimpiade", yang dimaksud hanyalah
tiga orang atlet panahan putera. Begitu juga kalau dikatakan semua perguruan
tinggi ikut dalam lomba baca puisi, padahal yang dimaksud hanyalah peserta-
peserta lomba dari perguruan tinggi tersebut.

3.1.3 penyebutan Sifat Khas

Hampir sama dengan pars pro toto yang dibicarakan di atas beda
berdasarkan sifat yang khas yang ada pada benda itu. Gejala ini merupakan
peristiwa semantik karena dalam peristiwa itu terjadi transposisi makna dalam
pemakaian yakni perubahan dari kata sifat menjadi kata benda. Di sini terjadi

46
perkembangan yaitu berupa ciri makna yang disebut dengan kata sifat itu
mendesak kata bendanya karena sifaurya yang amat menonjol itu; sehingga
akhirnya, kata sifatnya itulah yang menjadi nama bendanya.Umpamanya, orang
yang sangat kikir lazim disebut si kikir atau si bakhil. Anak yang tidak dapat
tumbuh menjadi besar, tetap saja kecil, disebut si kerdil; yang kulitnya hitam
disebut si hitarn; dan yang kepalanya botak disebut si botak.
Di dalam dunia politik dulu ada istilah golongan kanan dan golongan kiri.
Maksudnya, golongan kanan untuk menyebut golongan agama dan golongan kiri
untuk menyebut golongan komin. Dalam kampanye pemilu tahun 1977 yang lalu
muncul istilah golongan putih (golput) yaitu untuk menyebut kelompok orang
yang tidak mau memilih satu partai politik dalam pemilu itu.
Contoh lain di dalam dunia pertekstilan dulu ada semacam bahan yang
disebut lurik. Padahal lurik ini sebenarya nama corak atau motif bahan yang
berupa garis-garis. Akhirya, bahan tersebut diberi nama lurik juga.

3.1.4 Penemu dan Pembuat


Banyak nama benda dalam kosa kata bahasa Indonesia yang dibuat
berdasarkan nama penemunya, nama pabrik pembuatnya, atau nama dalam
peristiwa sejarah. Nama-nama benda yang dimikian disebut dengan istilah
appelativa.
Nama-nama benda yang berasal dari nama orang, antara lain, kondom
yaitu sejenis alat kontrasepsi yang dibuat oleh Dr. Condom; mujahir atau mujair
yaitu nama sejenis ikan air tawar yang mula-mula ditemukan dan diternakkan oleh
seorang petani yang benama Mujair di Kediri, Jawa Timur. Contoh lain,Volt nama
satuan kekuatan aliran listrik yang ditururunkan dari nama penciptanya yaitu
Volta (L745-1787) seorang sarjana fisika bangsa Italia. Selanjutnya, dalam dunia
ilmu pengetahuan kita kenal juga nama dalil, kaidah, atau aturan yang didasarkan
pada nama ahli yang membuatnya. Misalnya, dalil arkhimides, hukum kepler,
hukum van der Tunk, dan sebagianya.
Nama orang atau nam pabrik dan merek dagang yang kemudianmenjadi
nama kejadian nama benda hasil produksi itu banyak pula kita dapati seperti

47
aspirin obat sakit kepala, ciba obat sakit perut, tipp ex alat koreksi tulisan/ketikan,
miwon bumbu masak, kodak alat potret, stabilo pena penanda bacaan dan diesel
sejenis mesin kendaraan.
Dari peristiwa sejarah.banyak juga kita dapati nama orang atau nama
kejadian yang kemudian menjadi kata umum. Misalnya kata boikot, bayangkara,
laksamana, lioyd, dan sendwich. Pada mulanya kata bayangkara adalh nama
pasukan pengawal keselamatan padea zaman kerajaan majapahit, yang salah
seorang anggotanya adalah gajah mada sebelum beliau menjadi perdana menteri.
Lalu, nama ini kini dipakai sebagai nama korp kepolisian R.I. Kata laksamana
yang kini dipakai sebagai nama dalam jenjang kepangkatan pada mulanya adalah
nama salah seorang tokoh dalam wiricarita Ramayana. Laksamana adik Rama
dalam cerita itu memang terkenal sebagi seorang pahlawan. Kata boikot berasal
dari narna seorang tuan tanah di Inggris Boycott, yang karena tindakannya yang
tertalu keras pada tahun 1880 oleh perserikatan tuan tanah Irlindia tidak
diikutsertakan dalam perseritakatan itu. Maka kalau kemudian ada orang yang
tidak diikutsertakan dalam suatu kegiatan di katakan orang diboikot, diperlukan
seperti tuan boycott. Kata Lloyad sepert yang terdapat pada nama perusahaan
pelayaran seperti Djakarta Lloyd ddan Rotterdamse lloyd di turunkan dari nama
seorang pengusaha kopi london pada XVII, yaitu, Edward Lloyd. Warung kopi itu
banyak dikunjungi oleh para pelaut dan makelar perkapalan. Mata itulah namanya
ramunya dipakai sebagai atribut nama perusahaan pelayaran yang searti dengan
kata kompeni atau perserikat kusunya perserikatta ppelayaran.
Kata sandwich, yaitu roti dengan mentega dan daging di dalamnya berasal
dari nama seorang bangsawan Inggris sandwich. Dia seorang penjudi berat, yang
selalu membawa bekal berupa seperti diatas agar dia dapat maktan sambil tetap
bermain.

3.1.5 Tempat Asal


Sejumlah nama benda dapat ditelusuri berasal dari nama tempat asal benda
tersebut. Misalnya kata magnit berasal dari nama tempat Magnesia; kata kenari,
yaitu nama sejenis burung, berasal dari nama pulau kenari di Afrika kata sarden,

48
atau ikan sarden, berasal dari nama pulau Sardinia di ltalia; kata klonyo berasal
dari au de Cologne artinya air dari keulen, yaitu nama kota di Jerman Barat.
Banyak juga nama piagam atau prasasti yang disebut berdasarkan nama
tempat penemuannya seperti piagam kota kapur, prasasti. Kedudukan Bukit,
piagam Telaga Batu dan piagam Jakarta. Juga banyak nama
perundingan/perjanjian berdasarkan nama tempat perundingan itu diadakan,
misalnya perjanjian Gianti perjanjian Linggarjati, perjanjian Renville, pertemuan
Bogor, Konverensi Jenewa, dan sebagainya.
Selain itu malah banyak juga kata kerja yang dibentuk dari nama tempat
misalnya, didigulkan yang berarti dibuang ke Digul di Irian jaya; di nusakamban
gankan yang berarti dibawa atau dipenjarakan di pulau Nusa Kambangan; kata
dipasarkan jelas berasal dari kata pasar, dan berarti dijual secara umum. Dalam
beberapa waktu belakangan ini di Jakarta muncul kata dicakungkan yang berarti
dibawa dan disimpan di gudang milik pemerintah di daerah Cakung, Jakarta
Timur. Ada joga kata kerja dilautkan artinya diceburkan ke dalam laut, yakni
becak-becak di Jakarta sebagai hasil razia dan oleh pemerintah DKI diceburkan ke
dalam laut, dijadikan rumpon tempat hidup dan berkumpulnya ikan-ikan.

3.1.6 Bahan
Ada sejumlah benda yang namanya diambil dari nama bahan pokok benda
itu. Misalnya, karung yang dibuat dari goni yaitu sejenis serat tumbuh-tumbuhan
yang dalam bahasa latin disebut Corchorus casularis, disebut juga goni atau guni.
Jadi, kalau dikatakan membeli beras dua goni, maksudnya membeli beras dua
karung.
Contoh lain, kaca adalah nama bahan. Lalu barang-barang lain yang dibuat
dari kaca disebut juga kaca seperti kaca mata, kaca jendela, kaca spion,dan kaca
mobil. Begitu juga kata perak yang pada mulanya adalah nama bahan, maka
kemudian semua barang yang dibuat kedua benda disebut dengan nama bahan itu
juga, seperti perak bakar, uang perakan, (rupiah), kateng susu, kaleng minyak,
dan kue kalengan.

49
Bambu runcing adalah nama senjata yang digunakan rakyat Indonesia
yang dalam perang kemerdekaan dulu. Babmbu runcing dibuat dari bambu yang
ujungnya diruncingi sampai tajam. Maka disini nama bahan itu, yaitu bambu,
menjadi nama alat senjata itu. Satu contoh lagi pena pada mulanya berarti bulu.
pada zaman dulu peena atau bulu ini, bulu ayam atau bulu angsa, digunakan
sebagai alat untuk menulis. Maka kemudian pena itu menjadi nama alat tulis
tersebut.

3.1.7 Keserupaan
Dalam praktek berbahasa banyak kata yang digunakan secara metaforis.
Artinya kata itu di gunakan dalam suatu ujaran yang maknanya dipersamakan atau
diperbandingkan dengan makna leksikal dari kata itu. Misalnya kata kaki pada
frase kaki meja, kaki gunung, dan kaki kursi. Di sini kata kaki mempunyai
kesamaan makna dengan salah satu ciri makna dari kata kaki itu yaitu”alat
penopang berdirinya tubuh" pada frase kaki meja dan kaki kursi, dan ciri “terletak
pada bagian bawah" pada frase kaki gunung. contoh lain, kata kepala pada kepala
kantor, kepala surat, kepala paku, dan kepala meja.di sini kata kepala memiliki
kesamaan makna dengan salah satu komponen makna leksikal dari kata kepala itu,
yaitu ”bagian yang sangat pada manusia" yakni pada kepala kantor;” "terletak
sebelah atas" yakni pada kepala surat dan "berbentuk bulat" yakni pada kepala
paku. Malah kemudian, kata-kata seperti kepala ini dianggap sebagai kata yang
polisemi, kata yang memiliki banyak makna.
Dalam pemakaian bahasa sekarang banyak nama benda yang dibuat
berdasarkan kesamaan sifat atau ciri dari makna leksikal kata itu. Misalnya kata
raja pada frase raja kumis, raja minyak, raja kayu lapis, raja jalananraja dangdut,
dan raja bandel. Raja adalah orang yang paling berkuasa atau paling tinggi
kedudukannya di negaranya. Maka raja kumis diartikan”orang yang memiliki
kumis paling lebar”, raja minyak berarti “pengusaha minyak paling besar”; dan
raja bandel berarti “ orang paling bandel”. Hala yang sama kita lihat juga dengan
lkata bbiintang seperti bintang lapangan, bintang pelajar, bintang layar putih, dan
bintang panggung. Sifat metaforis dari kata-kata itu nampaknya sudah luntur

50
karena kata-kata itu telajh menjadi istilah namun dalam pemakaian bahasa sehari-
hari.

3.1.8 Pemendekan
Dalam perkembangan bahasa terakhir ini banyak kata-kata dalam bahasa
Indonesia yang terbentuk sebagai hasil penggabungan unsur-unsur huruf awal atau
suku kata dari beberapa kata yang digabungkan menjadi satu. Misalnya, abri yang
berasal dari Angkatan Bersenjata Republitk Indonesia; koni yang berasal dari
Komite Olahraga Nasional Indonesia; tilang yang berasal dari bukti pelanggaran;
ubanas yang berasal dair tabungan pembangunan nasional; monas yang berasal
dari monumen nasional; dan Depnaker yang berasal dari Departemen Tenaga
Kerja.
Kata-kata yang terbentuk sebagai hasil penyingkatan ini lazim disebut
akronim. Kata-kata yang berupa akronim ini kita dapati hamper dalam semua
bidang kegiatan. Contoh lain rudal berasal dari peluru kendali, lemhanas berasal
dari lembaga penahanan nasional, inkopol berasal dari induk koperasi polisi,
pemda berasal dan pemerintah daerah, juklak berasal dari petunjuk pelaksanaan,
kanwil berasal dari kantor wilayah, dan iptek berasal dari ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Satu gejala yang bersifat humor dan tidak perlu ditanggapi secara serius
dewasa ini adalah adanya di kalangan remaja di kota-kota besar (terutama Jakarta)
untuk memberi kepanjangan atau menafsirkan lain dari akronim atau singkatan
itu. Misalnya, ASMI yang ditafsirkan sebagai kependekan dari Akademi Santapan
Manager Indonesia (padahal sebenarnya: Akademi Sekretaris Managemen
Indonesia); Tekab ditafsirkan sebagai kependekan dari tekanan batin (padahal
sebenamya: team khusus anti banditisme); dan PLN ditafsirkan sebagai
kependekan dari perusahaan lilin negara (padahal sebenamya: Perusahaan Listrik
Negara). Malah banyak pula kata biasa yang diperlakukan sebagai akronim dan
diberi tafsiran yang bukan-bukan, seperti benci yang ditafsirkan sebagai
kependekan diri benar-benar cinta; apik yang ditafsirkan sebagai kependekan dari

51
agak pikun; pilot yang ditafsirkan sebagai kependekan dari papi kolot, dan
sebagainya.

3.1.9 Penamaan Baru


Dewasa ini banyak kata atau istilah baru yang dibentuk untuk
menggantikan kata atau istilah lama yang sudah ada. Kata-kata atau istilah-istilah
lama yang sudah ada itu perlu diganti dengan kata-kata baru, atau sebutan baru, ka
rena dianggap kurang tepat, tidak rasional, kurang halus, atau kurang ilmiah.
Misalnya, kata pariwisata untuk mengganti turisme; kata wisatawan untuk
mengganti turis atau peIancong; kata darmawisata untuk mengganti piknik; dan
kata suku cadang untuk mengganti onderdil. Kata-kata turisme, turis, dan onderdil
dianggap tidak bersifat nasional. Karena itu, perlu diganti dengan yang bersifat
nasional. Kata-kata kuli dan buruh diganti dengan karyawan, kata jongos dan babu
diganti dengan pembantu rumah tangga atau pramuwisma, dan kata pelayan
diganti dengan pramuniaga karena kata-kata tersebut dianggap berbau feodal.
Begitu juga dengan kata-kata bui atau penjara yang diganti dengan lembaga
pemasyarakatan, kata pemecatan atau pemberhentian yang diganti dengan
pemutusan hubungan kerja; berdemonstrasi diganti dengan unjuk rasa, harga
diganti dengan penyesuaian harga adalah karena konsepnya memang dianggap
berbeda.

2. Pengistilahan
Berbeda dengan proses penamaan atau penyambutan yang lebihbanyak
berlangsung secara arbitrer, maka pengistilahan lebih banyak berlangsung
menurut suatu prosedur. Ini terjadi karena pengistilahan dilakukan untuk
mendapatkan "ketepatan" dan "kecermatan" makna untuk suatu bidang kegiatan
atau keilmuan. Di sinilah letak perbedaan antara istilah sebagai hasil pengistilahan
dengan nama sebagai hasil penamaan. Istilah memiliki makna yang tepat dan
cermat serta digunakan hanya untuk satu bidang tertentu, sedangkan nama masih
bersifat umum karena digunakan tidak dalam bidang tertentu. Umpamanya kata
<telinga dan <kuping> sebagai nama dianggap bersinonim, nampak dari

52
kenyataan orang bisa mengatakan "kuping saya sakit" yang sama saja dengan
"telinga saya sakit." Tetapi dalam bidang kedokteran telinga dan kuping di
gunakan sebagai istilah untuk acuan yang berbeda; telinga adalah alat
pendengaran bagian dalam, sedangkan kuping adalah pada bagian luarnya.
Demikian juga antara kata lengan dan tangan. Sebagaimana dalam bahasa umum
keduanya dianggap bersinonim. Orang bisa mengatakan "Dia jatuh, tangannya
patah" atau "Dia jatuh, Iengannya patah" dengan acuan yang sama' Sedangkan
dalam bidang kedokteran keduanya berbeda, keduanya merujuk pada acuan yang
tidak sama. Lengan adalah anggota tubuh dari bahu/ketiak sampai pergelangan ,
dan tangan adalah dari pergelangan sampai ke jari-jari.
Dalam perkembangannya kemudian memang tidak sedikit istilah yang
karena frekuensi pemakaiannya cukup tinggi akhimya menjadi kosa kata bahasa
umum seperti akomodasi;fasilitas, kalori, vitamin, dan-radiasi.Tetapi jumlahnya
yang masih tetap sebagai istilah adalah masih jauh lebih banyak lagi. Untuk
mengetahui maknanya atau acuannya kita tidak dapat mencarinya di dalam kamus
umum, meski dalam kamus besar sekalipun kita harus mencarinya di dalam
kamus istilah.
Lebih jauh mengenai istilah dan tata istilah ini, lihat tulisan kami yang
lain.

3.3. Pendefinisian
Pendefinisian adalah usaha yang dilakukan dengan sengaja untuk
mengungkapkan dengan kata-kata akan suatu benda. Konsep, proses, aktivitas,
peristiwa, dan sebagainya.
Banyak cara dapat digunakan untuk membuat definisi ini. Hasil yang
didapat dari cara-cara pendefinisian ini adalah adanya beberapa macam definisi,
yang taraf kejelasannya tidak sama. Definisi yang paling rendah tingkat
kejelasannya adalah yang disebut definisi sinonimis. Artinya, suatu kata
didefinisikan dengan sebuah kata lain yang merupakan sinonim dari kata itu.
Umpamanya kata ayah didefinisikan dengan kata bapak; kata tirta didefinisikan
dengan kata air. Ketidak jelasan definisi ini adalah karena definisi yang diberikan

53
bersifat berputar balik. Kalau ayah didefinisikan dengan kata bapak, maka nanti
bapak didefinisikan lagi dengan kata ayah. Jadi, apa ayah, dan apa bapak tetap
tidak jelas.
Yang taraf kejelasannya lebih baik dari definisi sinonimis adalah definisi
formal. Di dalam definisi formal ini, konsep atau ide yang akan didefinisikan itu
disebutkan dulu sebuah ciri umumnya, lalu disebutkan pula sebuah ciri
khususnya, yang menjadi pembeda dengan konsep atau ide lain yang sama ciri
umumnya. Umpamanya:

Konsep/ide Ciri umum Ciri khusus I


a) Bis kendaraan umum dapat memuat banyak
penumpang
b) Akademi perguruan tinggi memberikan pendi-
dikan kejuruan dalam
tiga tahun

c) Pensil alat tulis terbuat dari kayu


dan arang

Dari ketiga contoh konsep beserta ciri umum dan ciri khususnya dapat
dibuat definisi formal sebagai berikut:
a. bis adalah kendaraan umum yang dapat memuat banyak penumpang
b. akademik adalah perguruan tinggi yang memberi pendidikan kejuruan
dalam tiga tahun
c. pensil adalah alat tulis yang terbuat dari kayu dan arang.

Ciri khusus yang menjadi pembeda ini dapat berupa salah satu unsur yang
terdapat pada konsep yang didefinisikan itu, seperti unsur kuantitas (misalnya
banyak penumpang pada definisi bis), unsur tujuan/misalnya pendidikan kejuruan
pada definisi akademi), unsur bahan/misalnya arang dan kayu pada definisi
pensil), atau juga unsur kegunaan, unsur kerja, unsur kualitas, dan sebagainya.
Definisi formal ini pada taraf tertentu memang sudah cukup jelas, tetapi
pada taraf yang lebih jauh seringkali tidak memuaskan. Umpamanya definisi bis
di atas yang dikatakan adalah kendaraan umum dan dapat memuat banyak
penumpang. Definisi itu belum bias menjelaskan bedanya bis dengan kereta api

54
dan pesawat terbang, sebab kereta api dan pesawat terbang pun sama-sama dapat
memuat banyak penumpang. Coba Anda pikirkan di mana letak kelemahan
definisi akademi dan pensil yang disebutkan di atas!
Kelemahan definisi formal di atas dapat diatasi dengan pendefinisian yang
lebih luas, yaitu dengan membuat definisi logis dan definisi engsiklopedis.
Definisi logis mengindentifikasikan secara tegas objek, ide atau konsep
yang didefinisikan itu sedemikian rupa, sehingga objek tersebut berbeda secara
nyata dengan objek-objek lain. Definisi logis ini biasa terdapat dalam buku-buku
pelajaran, dan karena itu sifatnya (agak) ilmiah. Contoh:
air adalah zat cair yang jatuh dari awan sebagai hujau
mengaliri sungai, menggenangi danau dan lautan, meliputi
dua pertiga bagian dari permukaan bumi, merupakan
unsur pokok dari kehidupan, campuran oksida
hidrogen H2O, tanpa bau, tanpa rasa dan tanpa wama,
tetapi nampak kebiru-biruan pada lapisan yang tebal,
membeku pada suhu nol derajat Celcius, mendidih
pada suhu 100 derajat Celcius, mempunyai berat jenis
maksimum pada 4 derajat Celcius.

Definisi ensiklopedis, lebih luas lagi dari definisi logis sebab definisi
ensiklopedis ini menerangkan secara lengkap dan jelas serta cermat akan segala
sesuatu yang berkenaan dengan kata atau konsep yang didefenisikan. Contoh:

air adalah persenyawaan hidrogen dan oksigen, terdapat


dimana-mana, dan dapat berwujud : (l). Gas, seperti
uap air; (2). Cairan, sepefti air yang sehari-hari dijumpai;
(3). Padat, seperti es dan salju. Air merupakan zat
pelarut yang baik sekali dan paling murah, terdapat di
alam dalam keadaan tidak mumi. Air mumi berupa
cairan yang tidak berbau, tidak berasa dan tidak berwama.
Pada suhu 4 derajat Celcius air mencapai
maksimum berat jenis; dan 1 cm 3 air beratnya 1 gram.
Didinginkan sampai nol derajat Celcius atau 32 derajat
Fahrenheir, air berubah menjadi es yang lebih
ringan daripada air. Air mengembang sewaktu membeku.
Bila dipanaskan sampai titik didih (100 derajat
Celcius atau2l2 derajat Fahrenheit), air berubah men:
jadi uap. Air murni bukanlah konduktor yang baik. Dia
merupakan persenyawaan dua atom hydrogen dan satu
atom oksigen; rumus kimianya H2O. Kira-kira 70 Vo

55
dari permukaan bumi tertutup air. Manusia, binatang,
dan tumbuh-tumbuhan memerlukan air untuk hidup.
Tenaga air mempunyai arti ekonomi yang besar.

Jadi definisi lain yang banyak dibuat dan digunakan orang adalah definisi
yang sifatnya membatasi (disini kita sebut juga definisi batasan). Definisi ini
dibuatorang untuk membatasi konsep-konsep yang akan ditemukan dalm suatu
tulisan atau pembicaraan. Definisi ini hanya digunakan untuk keperluan tertentu,
terbatas pada suatu topik pembicaraan, umpamanya:

(a) Yang dimaksud dengan air dalwntulisan ini adalah cair yang
merupakan kebutuhan'hidup manusia sehari hari. Seperti untuk
makan, untuk minum, mandi, dan cuci
(b) yang dimaksud dengan air dalam pembahasan ini ada segala zat cair
yang terdapat didalam tumbuh itu baik yang ada di dalam batang
(seperti air tebu), maupun yang ada di dalam buah.

Dari kedua definisi itu nampak jelas bahwa yang dimaksud dengan air
pada definisi (a) tidak sama dengan air pada definisi (b). Sekarang coba anda
renungkan apa perbedaan pemuda pada kedua definisi berikut :
(c) Yang dimaksud pemuda dalam makalah ini adalah mereka baik laki-
laki maupun perempuan yang berusia antara l8 sampai 30 tahun.
(d) Yang dimaksud pemuda dalam tulisan ini tidak terbatas pada
mereka yang masihberusia muda (antara 18 sampai 25 tahun) tetapi
juga termasuk mereka yang masih berjiwa dan bersemangat muda,
serta masih sanggup berfikir dan berjuang seperti anak muda.

Pengertian suatu kata bisa lebih dari satu. pada waktu kita meneliti atau
menulis, kita dituntut membatasi pengertian kata atau istilah yang digunakan
dalam penelitian atau dalam tulisan. Definisi yang dirumuskan untuk membatasi
pengertian suatu kata atau isitilah sesuai dengan masalah dalam penelitian atau
tulisan kita disebut definisi batasan atau definisi operasional. Disebut definis
operasional karena definisi itu dipakai sebagai landasan kerja peneliti atau penulis.
Contoh definisi operasional dapat dilihat berikut ini.
(1) Dwibahasawan Indonesia-Minangkabau adalah orang yang
menguasai bahasa Indonesia dan bahasa Minangkabau sama baiknya.
(2) Dwibahasawan Indonesia-Minangkabau adalah orang yang
Menguasai bahasa Indonesia dan bahasa Minangkanbau
meskipun tidak sama baiknya.

56
Berdasarkan dua pengertian, karena alasan-alasan yang bersifat akademis,
Anda memilih pengertian dwibahasawan Indonesia-Minangkabau adalah orang
yang menguasai bahasa Indonesia dan bahasa Minangkabau sama baiknya.
Dengan demikian, dalam penelitian itu, orang yang menguasai bahasa Indonesia
dan bahasa Minangkabau, tetapi tidak sama baiknya tidak digolongkan sebagai
dwibahasawan Indonesia-Minangkabau.

B. Jenis Makna
Ada sejumlah orang yang melakukan klasifikasi makna satuan bahasa,
antara lain Leech (1976), pateda (1985), Chaer (1995). Leech (1976)
mengelompokan makna menjadi tujuh, yaitu (1) makna konseptual, (2) makna
konotatif, (3) makna stilistika, (4) makna afektif, (5) makna reflektif, (6) makna
kolokatif, dan (7) makna tematik. Dijelaskan pula bahwa makna konotatil makna
stilistika, makna afettif, makna reflektif, dan makna kolokatif merupakan bagian
kelompok yang lebih besar, yaitu makna asosiatif. Atas dasar konsep itu, menurut
Leech, tipe makna secztra sederhana dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu
makna konseptual dan makna asosiatif. Leech berusaha menyederhanakan
pengelompokan tipe makna.
Pateda (1986) mengelompokkan tipe makna menjadi 25, yaitu (1) makna
afektif, (2) makna denotatif, (3) makna deskriptif, (4), makna ekstensi, (5) makna
emotif, (6) makna gereflekter, (7) makna idesional, (8) makna intensi, (9) makna
(10) gramatikal, (11) makna kiasan, (12) makna kognitif, (13) makna kolokasi,
(14) makna konotatif, (15) makna konseptual, (16) makna konstruksi, (17) makna
leksikal, (18) makna luas, (19) makna piktorial, (20) makna proposisional, (21)
makna pusat, (22) makna referensial, (23) makna sempit, (24) makna stilistika,
dan (25) makna tematis. Pateda sekedar mendaftar istilah tipe makna yang pernah
digunakan orang. Dia belum melakukan klasifikasi terhadap istilah-istilah tipe
makna itu sehingga ada istilah yang berbeda, tetapi sebenarnya mengacu kepada
tipe makna yang sama misalnya antara makna konseptual dengan makna kognitif
dan antara makna gramatikal dan konstruksi.

57
Chaer (1995: 59-78) mengelompokkan tipe makna (1) makna makna
leksikal, (2) makna gramatikal, (3) makna referensial, (4) makna nonreferensial,
(5) makna denotatif, (6) makna konotatif (7) makna kata (8) makna istilah, (9)
makna asosiatif, (10) makna kolokatit (l l) makna reflektif, (12) makna idiomatik,
(13) makna peribahasa, (14) makna ungkapan, (15) makna konseptual dan (16)
makna kias. Pengelompokkan tipe makna yang dilakukan oleh Chaer itu lebih
sederhana dari pada pengelompokkan tipe makna yang dilakukan oleh Pateda,
tetapi pengelompokan tipe makna yang dilakukan Chaer juga masih tumpang
tindih, misalnya dicantumkan makna asosiatif dan makna kiasan, dicantumkan
makna peribahasa dan makna ungkapan. Bukankah, makna asosiatif itu sudah
mencakupi makna kiasan, bukankah makna ungkapan itu sudah mencakupi makna
peribahasa.
Atas dasar tinjaun kritis terhadap berbagai tipe makna itu, tipe makna
satuan bahasa dikelompokkan sebagai berikut: (1) makna leksikal, (2) makna
gramatikal, (3)makna referensial, (4) makna nonreferensial, (5) makna denotif, (6)
makna konotatif, (7) makna kata (makna umum), (8) makna istilah (makna
khusus), (9) makna idiomatik, dan (10) makna kias. Makna asosiatif yang
diungkapkan oleh Leech, Pateda, dan Chaer itu sudah diwakili oleh makna kias.
Makna konseptual itu sudah tercakup dalam makna denotatif. Makna ungkapan
dan makna peribahasa itu sudah tercakup dalam makna kias. Sepuluh jenis makna
itu dan dasar pengelompokannya diuraikan berikut ini.

l. Makna Leksikal dan Makna Gramatikal


Berdasarkan tempat terbentuknya, tipe makna dapat dikelompokan
menjadi dua, yaitu makna leksikal dan makna gramatikal. Leksikal tergolong
adjetiva yang berati 'bersifat leksem' yang berasal dari leksem (nomina). Leksem
adalah satuan bahasa terkecil yang bermakna. Leksem merupakan bahan dasar
untuk membentuk kata. Kumpulan leksem berupa leksikon. Jadi, makna leksikal
adalah makna yang berdasarkan makna leksem. Dengan kata lain, makna leksikal
adalah makna satuan bahasa sesuai dengan acuannya atau makna satuan bahasa
yang belum berubah dari acuannya karena proses gramatikal atau proses asosiatif.

58
Leksem bunga dalam kalimat Adik suka menanam bunga bermakna leksikal
karena makna bunga itu sesuai dengan acuannya yang sejati, yaitu tanaman hias'.
Sebaliknya, kata bunga dalam kalimat bunga desa itu sudah disunting orang tidak
bermakna leksikal karena makna bunga itu sudah tidak sesuai dengan acuan yang
sejati. Dalam kalimat Bunga desa itu sudah disunting orang, kata bunga
bermakna 'gadis tercantik'.
Makna leksikal juga dapat dilihat dalam contoh-contoh berikut ini.
Amplop dalam kalimat Tuliskan alamat pengirim di sudut kanan atas amplop
bermakna 'lipatan kertas berbentuk kantong yang biasanya digunakan untuk
mewadahi surat’. Sebaliknya, dalam kalimat Kesalahannya tidak diproses lagi
karena dia sudah memberi amplop kepada petugas, kata amplop tidak bermakna
leksikal karena dalam kalimat itu makna amplop sudah tidak sesuai dengan makna
acuannya yang sejati. Amplop dalam kalimat kesalahannya tidak diproses lagi
karena dia sudah memberi amplop kepada petugas bermakna kias, yaitu 'uang
sogok'
Di samping makna leksikal, kita juga mengenal makna gramatikal. Yang
dimaksud makna gramatikal adalah makna iatuan bahasa yang timbul karena
proses gramatikal. Proses gramatikal itu dapat berada dalam tataran kata atau
berada dalam tataran kalimat. Kridalaksana (1992: l0-18) menjelaskan bahwa ada
(6) proses morfologis dalam pembentukan kata, yaitu (l) derivasi zero, (2)
afiksasi, (3) reduplikasi, (4) abreviasi (pemendekan), (5) komposisi (perpaduan),
dan (6) derivasi balik. Di antara enam proses morfologis itu, yang secara
mencolok menimbulkan perubahan makna adalah derivasi zero, afiksasi,
reduplikasi, dan komposisi.
Satuan bahasa yang mempunyai makna gramatikal dapat dibaca dalam
contoh berikut ini. Leksem Paku, cangkul, palu yang semula bermakna leksikal
menjadi bermakna gramatikal setelah mengalami proses grmatikal yang berupa
derivasi zero. Derivasi-zero adalah proses pembentukan kata tanpa mengubah
bentuk dasar sedikit pun.

59
Paku (nomina) 'benda paku' -- derivasi ?zero paku (verba) 'menyuruh
memaku'
cangkul (nomina) .benda cangkul'- derivasi zeto mencangkul (verba)
‘menyuruh memaku’
palu (nomina)'benda palu'- derivasi zero palu (verba)’menyuruh
memaku'

Leksem paku, cangkul, dan palu sebelum mengalami proses derivasi zero
bermakna 'benda paku', 'benda cankul', dan 'benda palu'. Setelah mengalami
proses derivasi zero, paku, cangiul, dar. palu bermakna 'menyuruh memaku',
menyuruh mencangkul', dan 'menyuruh memalu'. Makna 'menyuruh memaku',
menyuruh mencangkul', dan 'menyuruh memalu, yang terbentuk karena proses
gramatikal (derivasi zero) merupakan makna gramatikal.
Makna gramatikal juga dapat terbentuk karena proses afiksasi. Proses
afiksasi adalah proses pembentukan kata dengan menambahkan afiks pada bentuk
dasar. Afiks yang ditambahkan itu berupa prefiks, sufiks, infiks, imbuhan
gabungan , atau konfiks. Makna gramatikal yang terbentuk karena proses afiksasi
dapat dibaca dalam uraian berikut ini.

makan (verba) 'proses makan' -- makan + -an makanan ‘benda yang


dimakan’
jatuh (verba)'proses jatuh'
jatuh (verba)'proses jatuh'-- ms- + jatuh + -kan menjatuhkan
‘sengaja membuat jatuh’
Jatuh (verba)’ proses jatuh’- ter-- ter- + jatuh terjatuh 'tidak sengaja
membuat jatuh'

Leksem makan dan jatuh yang bermakna 'proses makan' dan 'proses jatuh' setelah
mendapatkan afiks menjadi makanan, menjatuhkan, dan terjatuh yang bermakna
'benda yang dimakan', 'sengaja mengakibatkan jatuh', dan 'tidak sengaja
mengakibatkan jatuh'. Makna 'benda yang dimakan" 'sengaja mengakibatkan
jatuh', dan tidak sengaja mengakibatkan jatuh' merupakan makna gramatikal dari
bentuk dasar yang mengalami proses morfologis, yang berupa afiksasi.
Makna gramatikal juga dapat terbentuk proses gramatikal pada tataran
kalimat. Berdasarkan fungsinya dalam kalimat. Satuan batrasa mempunyai makna
tertentu (baca peran semantis), seperti yang dapat dibaca dalam contoh berikut ini.

60
Bentuk : Ayah membaca koran di ruang tamu
Kategori: N V N F Prep.
Fungsi : S P O Ket.
Peran (makna) : pelaku sasaran tempat

Satuan bahasa ayah bermakna 'pelaku', koran bermakna 'sasaran', dan di ruang
tamu bermakna 'tempat' setelah satuan bahasa itu diletakkan dalam koteks kalimat
Ayah membaca koran di ruang tamu. Sebelum diletakkan dalam untaian kalimat,
satuan bahasa ayah belum mempunyaj makna 'pelaku', koran belum mempunyai
makna 'sasaran', di ruang tamu belum bermakna 'tempat'.
Jenis kalimat dan posisi satuan bahasa dalam kalimat juga menimbulkan
makna gramatikal tertentu seperti yang dapat dilihat pada contoh berikut ini.
Kalimat Ayah membaca koran di ruang tamu mempunyai makna pelaku (ayah)
yang ditonjolkan. Kalimat Koran dibaca oleh ayah di ruang tamu makna sasaran
(koran) lebih ditonjolkan. Kalimat, Di ruang tamu, ayah membaca koran
bermakna tempat (di ruang tamu) lebih ditonjolkan Ketiga bentuk kalimat itu
berbeda yang mengakibatkan perbedaan makna (paling tidak perbedaan aspek
yang ditonjolkan). Makna satuan bahasa itu muncul setelah satuan bahasa itu
diletakkan dalarn koteks kalimat. Oleh karena itu, makna itu disebut makna
gramatikal. Meskipun ketiga kalimat itu mempunyai makna yang berbeda, tetapi
kalimat itu mengandung informasi yang sama, yaitu seseorang yang digolongkan
sebagai ayah membaca sesuatu (koran) di suatu tempat (ruang tamu).

3. Makna Refeiensial dan Makna Nonreferensial

Berdasarkan ada atau tidaknya referen (acuan) suatu satuan bahasa, makna
satuan bahasa dapat dikelompokkan menjadi makna referensial dan makna
nonreferensial. Perbedaan makna referensial dan makna nonreferensial
diuraikan berikut ini.
Makna referensial adalah makna satuan bahasa sesuai dengan referen
(acuan) satuan bahasa itu. Djajasudarma (1993: 23) menyatakan bahwa hubungan
referensial adalah Jubungan antara satuan bahasg dengan referen atau acuannya
yang berupa dunia nyata. Satuan bahasa yang mempunyai makna referensial
umumnya berupa kata-kata penuh (full word). Contoh, kuda, matahari, tanah,

61
pensil, berjalan, dingin adalah kata-kata yang mempunyai makna referensial
karena kata-kata itu mengacu kepada objek tertentu, peristiwa tertentu, atau
keadaan tertentu. Kuda mengacu kepada binatang berkaki empat, pemakan
rumput, larinya cepat, fungsinya untuk tunggangan atau untuk menarik bendi.
Matahari adalah salah satu benda tata surya yang menjadi sumber panas dan
sumber cahaya utama bagi bumi. Tanah mengacu kepada unsur bumi yang
bersifat padat sebagai tempat hidup berbagai tanaman. Pensil mengacu kepada alat
tulis yang umumnya digunakan untuk menulis di kertas, yang dibuat dari kayu
dan arang. Berjalan mengacu kepada peristiwa bergeraknya kaki manusia atau
hewan yang mengakibatkan manusia itu berpindah secara pelan. Dingin mengacu
kepada keadaan suhu yang rendah yang membuat tubuh menggigil atau
mengakibatkan zat cair beku.
Makna nonreferensial adalah makna satuan bahasa yang tidak berdasarkan
pada referen tertentu atau makna satuan bahasa yang tidak berdasarkan acuan
tertentu. Preposisi: di, ke, dari, pada, daripada; kanjungtor: dan, atau, tetapi,
karena, sebab, ketika untuk dan partikel -lah, -kah, ' toh, pun adalah satuan bahasa
yang tidak mempunyai acuan atau referen. Di, ke, dari, pada, daripada, dan,
tetapi, atau, karena, sebab, ketika tidak mengacu ke benda, sifat, proses,
peristiwa, atau keadaan tertentu. Oleh karena itu, preposisi, konjungtor, dan
partikel digolongkan sebagai satuan bahasa yang bermakna nonreferensial. Satuan
bahasa, misalnya di,ke, daripada, dan, atau, tetapi, karena, sehingga, untuh lah, -
kah, -lah, -pun sebenarnya mempunyai makna, tetapi satuan bahasa itu tidak
mempunyai referen atau acuan. Satuan bahasa yang tergolong preposisi,
konjungtor, dan partikel bertugas membentuk satuan bahasa yang lebih besar
sehingga satuan bahasa itu disebut sebagai kata tugas. Kata-kata tugas itu
membentuk satuan bahasa yang lebih besar dalam proses gramatis. Contoh,
preposisi di bertugas membentuk frasa preposisional tempat, di lampus, di rumah,
di perpustakaan, dan lain-lain. Konjungtor dan berfungsi untuk menggabungkan
dua klausa yang setara yang maknanya penambahan, misalnya adik membaca
buku cerita dan kakak menulis makalah. Partikel pun, bertugas menegaskan
makna kata yang diikutinya, misalnya presiden pun kalau bersalah harus dihulam.

62
Dalam kalimat itu, pun menegaskan kata presiden. Satuan-satuan bahasa yang
tidak mempunyai referen (acuan) akan memperoleh maknanya ketika kata tugas
itu bergabung dengan satuan bahasa yang lain dalam proses gramatikal.
Satuan bahasa yang berupa morfem terikat, yaitu afiks: prefiks, sufiks,
infiks, imbuhan gabungan, dan konfiks juga tidak mempunyai referen atau acuan.
Prefiks, misalnya meng-, di-, ter-, ber- tidak mempunyai referen sehingga afiks-
afiks itu belum mempunyai makna sebelum bergabung dengan suatu leksem.
Meng- bergabung dengan minum sehingga menjadi meminum, meng- bermakna
'melakukan proses yang disebutkan dalam bentuk dasar secara sengaja'. Ter-
bergabung dengan minum sehingga menjadi terminum;ter- bermakna 'melakukan
proses yang disebutkan dalam bentuk dasar secara tidak sengaja'. Ber- bergabung
dengan kuda menjadi berkuda, ber- bermakna 'menaiki atau 'menuggangi' yang
disebutkan dalam bentuk dasar'. Afiks itu tidak mempunyai referen atau acuan.
Makna afiks itu terbentuk setelah afiks itu bergabung dengan satuan bahasa yang
lain yang berupa leksem (morfem bebas) sehingga afiks itu tidak mempunyai
makna referensial, tetapi mempunyai makna gramatikal.

4. Makna Denotatif dan Makna Konotatif


Berdasarkan ada atau tidak adanya nilai rasa dalam satuan bahasa, makna
dapat dikelompokkan menjadi makna denotatif dan makna konotatif. Malou
denotatd adalah makna satuan bahasa yang sesuai dengan acuannya tanpa
mengandung nilai rasa, baik nilai rasa positif maupun negatif. Dengan kata lain,
malcna denotatif adalah makna satuan bahasa sesuai dengan acuannya yang dapat
kita amati atau kita rasakan dengan indra kita tanpa disertai dengan nilai rasa baik
nilai rasa positif maupun nilai rasa negatif. Makna konotatif adalah makna satuan
bahasa yang didasarkan atas nilai rasa, baik positif maupun negatif, yang
terkandung dalam suatu satuan bahasa. Nilai rasa positif adalah nilai rasa yang
mengandung nilai kebaikan, misalqya halus, sopan, bersih, indah, terhormat, dan
lain-lain. Sebaliknya, nilai rasa negatif adalah nilai rasa yang berisi ketidak
baikan, misalnya kasar, kurang ajar, kotor, cabul, jelek, khianat, kejam, nista,

63
dan lain-lain. Semua leksem atau kata selalu mempunyai makna denotatif, tetapi
leksem atau kata itu belum tentu mempunyai makna konotatif. Jadi, ada leksem
atau kata yang mempunyai makna denotatif saja dan ada leksem atau kata yang
mempunyai makna denotatif dan makna konotatif sekaligus.
Satuan-satuan bahasa yang mempunyai makna denotatif, tetapi tidak
mempunyai makna konotatif dapat dibaca dalam uraian berikut ini. Leksem,
misalnya telinga, mulut, kaki, selcrup, roda, kelapa, kayu hanya mempunyai
makna denotatif yaitu hanya mempunyai makna sesuai dengan referennya atau
acuanya yang dapat kita amati atau kita rasakan dengan indera. Telinga bermakna
'bagian indera pendengar bagian dalam'. Makna telinga itu tidak disertai dengan
nilai rasa jorok atau bersih, sopan atau tidak sopan, dan nilai rasa halus atau kasar.
Mulut adalah bagian tubuh yang merupakan indera untuk makan dan untuk
berbicara. Makna leksem mulut ini juga tidak disertai dengan nilai rasa tertentu,
baik positif maupun negatif. Kaki bermakna bagian kaki mulai dari pergelangan
kaki sampai dengan ujung jari yang tidak mengandung nilai rasa positif atau
negatif. Sekrup bermakna alat untuk mengikat atau menguatkan suatu sambungan
yang tidak disertai dengan nilai rasa, baik positif maupun negatif. Satuan bahasa
yang mempunyai makna kognitif, tetapi tidak mempunyai makna konotatif
disebut satuan bahasa yang bernilai rasa netral atau satuan bahasa yang bermakna
netral. Karena makna denotatif adalah makna yang sesuai dengan acuannya belaka
yang tidak disertai dengan nilai rasa tertentu, makna denotatif ini dapat
disepadankan dengan makna kognitif. Makna denotatif ini biasanya digunakan
dalam tulisan ilmiah dan berbagai bidang teknik.
Ada satuan bahasa yang hanya bermakna denotatif, ada pula satuan bahasa
yang sekaligus bermakna denotativ dan konotatif, tetapi tidak ada satuan bahasa
yang hanya bermakna konotatif. satuan bahasa yang bermakna denotatif dan
konotatif sekaligus, misalnya gugur, mampus, bunga, tai, kyai, perampok, isteri,
bini, dan lain-lain. Satuan bahasa yang mengandung makna kognitif dan nilai rasa
dinamakan satuan bahasa itu berkonotasi. Kenyataan di masyarakat, satuan bahasa
yang berkonotasi itu umumya diarahkan pada satuan bahasa yang bernilai rasa
negatif. Berdasarkan contoh itu satuan bahasa yang mengandung nilai rasa positif

64
adalah gugur, bunga, kyai, dan isteri. Satuan bahasa yang mengandung nilai rasa
negatif adalah mampus, tai, perampok, dan pelcur. Gugur bermakna hilangnya
daya hidup seseorang pada saat seseorang melaksanakan pertempuran. Karena
gugur adalah hilangnya daya hidup itu pada saat seseorang melaksanakan
pertempuran, gugur mengandung nilai rasa positif, yaitu burjuang tidak untuk
dirinya sendiri, berani, dan rela berkorban. Oleh karena itu, kata gugur hanya
cocok untuk dipasangkan dengan subjek yang mempunyai nilai rasa posistif,
misalnya pahlawan. Kalimat Pahlawan Hasanuddin gugur pada saat bertempur
melawan tentara Belanda berterima. Sebaliknya, kalimat Pahlawan Hasanuddin
mampus pada soat bertempur melawan tentaro Belanda tidak berterima karena
Pahlawan Hasanuddin yang mempunyai nilai rasa terhormat, yaitu gagah berani,
rela berkorban demi kebenaran dan demi kebenaran bangsa tidak cocok
dipasangkan dengan mampus, yang bermakna 'hilangnya daya hidup yang
berkonotasi negatif, yaitu berakhlak dan berperilaku buruk seperti binatang'.
Mampus cocok dipasangkan dengan subjek yang berupa binatang atau orang yang
berakhlak rendah dan berperilaku buruk, misalnya perampok, penodong,
penjambret, dan sejenisnya. Oleh karena itu, kalimat Perampok yang kejam itu
mampus karena dikeroyok massa dapat diterima.
Konotasi suatu satuan batrasa dapat berbeda antara kelompok masyarakat
yang satu dengan kelompok masyarakat yang lain. Contoh, babi mempunyai nilai
rasa yang negatif bagi orang Islam. Bagi orang Islam, babi itu binatang yang
haram dimakan. Bagi Orang Bali dan Irian Jaya yang non-Islam, babi itu
berkonotasi positif, yaitu binatang lezat dagingnya dan tidak haram. Bahkan, di
Irian Jaya babi dijadikan sarana ritual. Konotasi satuan bahasa dapat bergeser
karena perbedaan pandangan masyarakat pada masa tertentu. Dulu, bini,
perempuan, dan bekas itu berkonotasi terhormat dan halus. Sekarang, bini,
perempuan, dan. bekas itu berkonotasi kurang terhormat dan kasar. Oleh karena
itu, sekarang orang mengganti perempuan, bini, dan bekas dengan wanita, isteri,
dan mantar. Sekarang, wanita, isteri, dan mantan dianggap lebih terhormat dan
lebih halus daripada perempuan, bini, dan bekas.

65
5. Makna Kias
Makna kias adalah makna satuan bahasa yang ada di balik makna harfiah.
Makna harfiah adalah makna satuan bahasa sesuai yang dengan makna leksikal
satuan bahasa itu dan sesuai dengan makna gramatikal satuan bahasa itu. Jadi,
makna kias adalah makna yang tidak persis sama dengan makna denotasi. Makna
kias ini merupakan makna yang terbentuk dari proses perbandingan,
pengumpamaan atau metafora. Contoh, perilaku kedua orang itu bagai anjing
dengan kucing. Perilaku orang-orang itu dibandingkan, diumpamakan, atau
dikiaskan dengan perilaku hubunganantara anjing dan kucing. Hubungan perilaku
antara anjing dan kucing adalah selalu bertengkar atau tidak tidak pemah rukun.
Jadi, perilaku kedua orang itu seperti anjing dengan kucing bermakna 'kedua
orang itu selalu bertengkar atau tidak pernah rukun'. Makna yang dibentuk dengan
mengiaskan perilaku orang dengan perilaku hewan, tumbuhan, atau benda disebut
makna kias.
Perbandingan yang digunakan untuk membentuk makna kias ada yang
menggunakan perbandingan yang eksplisit dan perbandingan yang implisit.
perbandingan yang eksplisit adalah perbandingan yang dibentuk dengan
mecantumkan kata seperti, bagaikan, laksana, dan bak. Berikut ini adalah makna
kias yang dibentuk dengan perbandingan secara eksplisit.
Alisnya seperti semut beriringyang bermakna .alisnya kecil
memanjang'.
Tindakannya bagaikan menggarami air laut yangbermakna
'perbuatan yang sia-sia'
Pendiriannya laksana air di atas daun talas yang bermakna 'pendiriannya tidak tetap
atau pendirianya setiap saat berubah'. wawasannya bak katak dalam tempurung
yangbermakna'orang
yang sempit cakrawala berfikirnya,'

Dari contoh-contoh itu, dapat dilihat bahwa perilaku manusia dibandingkan


dengan perilaku makluk lain, atau dengan perbuatan lain dengan menggunakan
kata-kata pembanding secara eksplisit, yaitu seperti, bagaiknn, laksana, dan bak.
Makna kias juga dapat dibentuk dengan perbandingan implisit. Yang
dimaksud dengan perbandingan implisit adalah perbandingan yang tidak secara
eksplisit mengungkapkan hal yang diperbandingkan dan kata pembandingannya.

66
Berikut ini adalah contoh makna kias yang dibentuk dengan perbandingan secara
implisit.
Hati-hati bergaul dengan si mata keranjang. Si mata keranjang adalah
sebuah perbandingan, tetapi orang yang diperbadingkan tidak disebutkan
(misalnya orang yang bersifat) dan kata pembandingnya pun tidak disebutkan,
misalnya seperti, Iaksanao bagaikan, dan bak. Meskipun orang yang
diperbandingkan dan kata pembandingnya tidak disebutkan, berdasarkan koteks
kalimat dapat diketahui itu sebagai perbandingan. Dalam perbandingan si mata
keranjang bermakna'orang-orang yang suka berganti-ganti kekasih'. Contoh lain
perbandingan langsung adalah bunga bangsa 'pahlawan', raja siang 'matahari',
dewi malam 'bulan', kuli tinta'wartawan' , bunga desa'gadis tercantik di suatu
tempat', raja hutan'harimau', dan lain-lain.
Berdasarkan contoh-contoh di atas, dapat diketahui secara jelas bahwa ciri
utama makna kias adalah makna itu selalu dibentuk dengan perbandingan, baik
perbadingan ekplisit maupun perbandingan implisist. Pembandingan atau
pengumpamaan untuk membentuk makna kias ini juga disebut metafora.

Di luar bidang isrtilah sebenarnya dikenal juga adanya pembedaan kata dengan
makna khusus atau makna yang lebih terbatas. Kata dengan makna umum
mempunyai pengertian dam pemakaian yang lebih luas, sedangkan kata dengan
makna khusus atau makna terbatas mempunyai pengertian dan pemakaiannya
lebih terbatas. Umpamanya dalam deretan sinonim besar, agung, akbar, raya, dan
kolosal; kata besar adalah kata kata yang bermakna umum dan pemakaiannya
lebih luas daripada kata yang lainnya. Kita dapat mengganti kata agung, akbar,
raya, dan kolosal dengan kata besar itu secara bebas. Frase Tuhan yang maha
Agung dapat diganti hari besar, dan frase rumah besar tidak dapat diganti rumah
agung atau juga*rumah kolosal. Begitu juga dengan deretan sinonimmelihat,
mengintip, melirik, meninjau, dan mengawasi. Kata melihat memiliki makna
umum, sedangkan yang lain nya memiliki makna’melalui celah sempit’; melirik
mengandung makna, ‘dengan sudut mata’: meninjau mengandung makna dari
kejauhan’, dan mengawasi mengandung makna’dengan sengaja’.

67
4.5 Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
Pembedaan makna konseptual dan makna asosiatif didasarkan pada ada
atau tidak adanya hubungan (asosiasi,refleksi) makna sebuah kata dengan makna
kata lain. secara garis besar Leech (1976) marah membedakan makna.atas makna
konseptual dan makna asosiatif; dalam makna asosiatif termasuk makna
'konotatif, stilistik, afektif, refleksi, dan kolokatif.
Makna konseptual adalah makna yang sesuai dengan konsepnya, makna
yang sesuai dengan referennya, dan makna yang bebas dari asosiasi atau
hubungan apa pun. Jadi, sebenamya makna konseptual ini sama dengan makna
referensial, makna leksikal, dan makna makna asosiatif adalah makna yang
dimiliki sebuah kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan keadaan
di luar bahasa. Misalnya, kata melati berasosiasi dengan makna 'Suci', atau
'kesucian'; kata merah berasosiasi dengan makna'berani', atau juga 'dengan
golongan komunis'; kata cenierawasih berasosiasi dengan makna'indah.
Makna asosiatif ini sesungguhnya sama dengan perlambang-perlambang
yang digunakan oleh suatu masyarakat bahasa untuk menyatakan suatu konsep
lain. Maka dengan demikian, dapat dikatakan melati digunakan sebagai
perlambang 'kesucian'; merah digunakan sebagai perlambang 'keberanian' (dan
dalam dunia politik digunakan sebagai lambang golongan komunis); dan Srikandi
digunakan sebagai perlambang 'kepahlawanan wanita'.
Karena makna asosiasi ini bcrhubungan dengan nilai-nilai moral dan
pandangan hidup yang berlaku dalam suatu masyarakat bahasa yang berarti juga
berurusan dengan nilai rasa bahasa, maka kedalam makna asosiatif ini termasuk
juga makna konotatif seperti yang sudah dibicarakan di atas. Di samping itu
kedalamnya termasuk juga makna-makna lain seperti makna stilistika makna
afektif, dan makna kolokatif (Leech 197 6).
Makna stlistika berkenaan dengan gaya pemilihan kata sehubungan
dengan adanya perbcdaan sosial dan bidang kegiatan di dalam masyarakat. Karena
itulah, dibedakan makna kata rumah, pondok, istana, keraton, kediaman, tempat
tinggal, dan residensl. Begitu juga dibedakan makna kata guru, dosen, pengajar,

68
dan instruktur. Coba anda pikirkan di mana letak perbedaan makna stilistiknya
itu!
Makna afektif berkcnaan denga perasaan pembicara pemakai bahasa
secara pribadi, baik terhadap lawan bicara maupun terhadap obyek yang di
bicarakan. Makna afektif lebih terasa sccara lisan daripada secara tertulis.
Perhatikan contoh berikut!;
- "Tutup mulut kalian!" bentaknya kepada kami.
- " Coba, rnohon diam sebentar! " katanya kepada anak-anak itu

Makna kolokatif berkenaan dengan makna kata dalam kaitannya dengan


makna kata lain yang mempunyai "tempat" yang sama dalam sebuah
frase(ko=sam, bersama;lokasi=tempat). Misalnya, kita dapat mengatakan gadis itu
cantik; bunga itu indah; dan pemuda itu tampan. Tetapi kita tidak dapat
mengatakan * gadis itu tampan; *bunga iu molek* , dan * pemuda itu cantik. Kita
lihat walaupun cantik, indah, tampan, dan molek mempunyai '!makna" yang sama'
tetapi masing-masing terikat dengan kate-kata tertentu dalam suatu frase-
Demikian juga dcngan kata laiu, deras, kencang, cepat, dan lancar yang
mempunyai makna yang sama, tetapi pasti mempunyai kolokasi yang bcrbeda.
Kita bisa mcngatakan huian deras, dan berlari dengan cepat; namun tidak bisa
sebaliknya * huian cepat, dan*berlari dengan deras.
Kalau kita kembali kepada teori Verhaar tentang makna, informasi, dan
maksud yang dibicarakan di muka kata-kata laiu, deras, kencang, cepat dan lancar
memang bersinonim; tetapi maknanya tidak sama karena bentuknya sudah
berbeda. Yang sama adalah informasinya. Begitu pula dengan cantik, indah,
tampan,dan molek. Maknanya juga tidak sama. Yang sama hanyalah informasinya
saja. Coba Anda cari iagi kata-kata lain masing-masing tcrikat dcngan kata-kata
lain yang merupakan "lokasinya".

4.6 Makna Idiomatikal dan Peribahasa


Untuk dapat memahami yang dimaksud dengan makna idiomatikal,
kiranya perlu diketahui dulu apa yang dimaksud dengan idiom. Yang dimaksud
dengan idiom adalah satuan-satuan bahasa (bisa berupa kata, frase, maupun

69
kalimat) yang maknanya tidak dapat "diramalkan" dari makna leksikal unsur-
unsurnya maupun makna gramatikal satuan-satuan tersebut. Umpamanya,
menurut kaidah gramatikal kata-kata ketakutan, kesedihan, keberanian, dan
kebimbangan memiliki makna hal yang discbut bcntuk dasarnya. Tetapi kata
kemaluan lidak memiliki makna seperti itu. Begitu juga frase rumah kayu
bermakna rumah yang terbuat dari kayu'; tetapi frase rumah batu selain bemakna
Gramatikal 'rumah yang terbuat dari batu' juga memiliki makna lain yaitu
'pegadaian' atau 'rumah gadai'. Contoh lain frase menjual sepeda bermakna si
pembeli menerima sepeda dan si penjual menerima uang; frase menjual rumah
bermakna 'si pembeli menerima rumah dan si penjual menerima uang’; tetapi
kontruksi bukan bermakna si pembeli menerima gigi dan si menerima uang';
melainkan bermakna'tertawa keras-keras,.
Jadi dalam contoh di atas kata kemaluan dan frase menjual gigi dalam
bahasa Indonesia dewasa ini tidak memiliki makna gramtikal melainkan hanya
memiliki makna idiomatikal.
Karena makna idiom ini tidak lagi berkaitan dengan makna leksikal atau
makna gramatikal unrur-unsurnya, maka bentuk-bentuk idiom ini ada juga yang
menyebutkan sebagai satuan-satuan leksikal tersendiri yang maknanya juga
merupakan makna leksikal dari satuan tersebut. Jadi, menjual gigi adalah sebuah
leksem dengan makna 'tertawa keras-keras', membanting tulang adalah sebuah
leksem dengan makna 'bekerja keras', dan meja hijau adalah sebuah leksem
dengan makna 'pengadilan’.
Namun, perlu diketahui adanya dua macam bentuk idiom dalam bahasa
Indonesia yaitu: Idiom penuh dan idiom sebagian.Idiom penuh adalah idiom yang
unsur-unsurnya secara keseluruhan sudah merupakan satu kesatuan dengan satu
makna, seperti yang sudah kita litrat pada contoh membanting tulang, menjual
gigi, dan ieja hijau di atas. Sedang pada idiom sebagian maih ada unsur yang
memiliki makna leksikalnya sendiri, misalnya daftar hitam yang berarti 'daftar
yang berisi nama-nama orang yang dicurigai/dianggap bersalah’, Koran kuning
yang berarti koran yang seringkati memuat berita sensasi', dan menunjukkan gigi
yang berarti 'menunjukkan kekuasaan'- Kata daftar koran, dan menunjukkan pada

70
idiom-idiom tersebut masih memiliki makna leksikala; yaifu 'daftar', 'koran', dan
'menunjukkan', yang bermakna idiomatikal hanyalah kata-kata hitum, kuning, dari
idiom-idiom tersebut.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa makna idiomatical adalah
makna sebuah satuan bahasa (entah kata, frase, atau kalimat) yang "menyimpang"
dari makna leksikal atau makana gramatikal unsur-unsur pembentuknya. untuk
mengetahui makna idiom sebuah kata (frase atau kalimat) tidak ada jalan lain
selain mencarinya di dalam kamus.
Barangkali di sini perlu diberi sedikit penjelasan mengenai penggunaan
istilah idiom, ungkapan, dan metafora. Ketiga istilah ini sebenamya mencakup
objek pembicaraan yang kurang lebih sama. Hanya segi pandangannya yang
berlainan. Idiom dilihat dari segi makana yaitu "menyimpangnya" makna idiom
ini dari makna leksikal dan makna gramatikal unsur-ursur pembentuknya.
Ungkapan dilihat dari segi ekspresi kebahasaan, yaitu dalam usaha penutur untuk
menyampaikan pikiran, perasaan, dan emosinya dalam bentuk-bentuk satuan
bahasa tertentu yang dianggap paling tepat dan paling kena. Sedangkan metafora
dilihat dari segi digunakannya sesuatu untuk memperbandingkan yang lain dari
yang lain umpamanya matahari dikatakan atau diperbardingkan sebagai raja siang,
bulan dikatan sebagai putri malam, dan pahlawan sebagai bunga bangsa. Jika
dilihat dari segi makna, maka raja siang, putri malam, dan bunga bangsa adalah
termasuk contoh idiom. Jika dilihat dari segi ekspresi maka ketiganya juga
termasuk contoh ungkapan; dan jika dilihat dari segi adanya perbandingan maka
ketiganya juga termasuk metafora.

Ungkapan sebagai masalah ekspresi dalam pertuturan akan bertambah dan


berkurang sesuai dengan perkembangan budaya masyarakat pemakai bahasa
tersebut dan kreativitas penutur bahasa tersebut dalam menggunakan bahasanya.
Namun, tidak sedikit ungkapan yang telah menetap dan digunakan orang terus-
menerus sampai sekarang. Misalnya, tebal muka, duduk perut, ke belakang, tamu
yang tidak diundang, dan sebagainya. Oleh karena itulah barang kali ada juga
yang menyebut bentuk-bentuk tersebut dengan nama rangkaian tetap.

71
Bagaimana dengan bentuk-bentuk seperti mulut gua, tangan kursi, dan
kepala kantor ? Termasuk idiom, ungkapan, atau metafora? Bentuk-bentuk
tersebut adalah termasuk metafora karena kata mulut, tangan, dan lupala
digunakan secara metaforis (ada yang drperbandingkan) Dapat juga disebut
sebagai ungkapan, tetapi bukan idiom karena kata mulut pada mulut gua, tangan
pada tangan kursi, dan kepala pada kepala kantor masih berada pada tingkungan
poliseminya. Sedangkan kata gua, kursi dan kepala kantor pada frase-frase
tersebut masih tetap bermakna leksikal.
Berbeda dengan idiom, terutama idiom penuh, yang maknanya tidak dapat
diramalkan, baik secara leksikal maupun gramatikal, makna peribahasa masih
dapat diramalkan karena adanya asosiasi atau urutan antara makna leksikal dan
gramatikal unsur-unsur pembentuk peribahasa itu dengan makna lain yang
menjadi tautannya. Umpamanya hal dua orang yang selalu bertengkar' dikatakan
dalam bentuk peribahasa Bagai anjing dengan kucing. Kucing dan anjing di
dalam sejarah kehidupan kita memang merupakan dua ekor binatang yang tidak
pernah akur. Entah apa sebabnya. Contoh lain 'keadaan pengeluaran belanja lebih
besar jumlahnya daripada pendapatan' dikatakan dalam bentuk peribahasa Besar
pasak daripada tiang. Seharusnya pasak harus lebih kecil daripada tiang, jika
pasak itu lebih besar, tentu tidal mungkin dapat dimasukkan pada lubang tembus
yang ada pada tiang.
Oleh karena peribahasa ini bersifat memperbandingkan atau
mengumpamakan, maka lazim juga disebut dengan nama perumpamaan. Kata-
kata seperti, bagai, bak, laksana, dan umpama lazim digunakan dalam peribahasa.
Memang banyak juga peribahasa yang tanpa menggunakan kata-kata tersebut,
namun kesan peribahasanya itu tetap saja nampak. Misalnya Tong kosong nyaring
bunyinya. Peribahasa tersebut bermakna 'orang yang tiada berilmu biasanya
banyak cakapnya'. Di sini orang yang tiada berilmu itu diperbandingkan dengan
tong yang kosong. Hanya tong yang kosong yang kalau dipukul akan berbunyi
nyaring; tong yang berisi penuh tentu tiada akan berbunyi nyaring. Sebaliknya
orang pandai, oftrng yang banyak ilmunya biasanya pendiam, merunduk dan tidak

72
pongah. Keadaan ini disebutkan dengan peribahasa yang berbunyi Bagai padi,
semakin berisi,semakin runduk.

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 1988. Semantik: Pengantar Studi tentang Makna. Bandung: Sinar


Baru.
Chaer, Abdul. 1995. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka
Cipta.
Cruse, D.A. 1986. Lexikal Semantics. Cambridge: Cambridge University Press.
Djajasudarma, fatimah. 1993. Semantik I: Pengantar ke Arah Ilmu Makna.
Bandung: Eresco.
Kemson, Ruth M. 1977. Teori Semantik. Diterjemahkan Abdul Wahab pada 1995.
Jakarta: Airlangga University Press.
Keraf, Gorys. 1996. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Ogden dan Richard. 1923. The Meaning of Meaning. London. Routledge &
Kegan Paul Ltd.
Pateda, Mansur.1986. Semantik Leksikal. Ende Flores: Nusa Indah.
Ullman, Stephen. 1972. Pengantar Semantik. Terjemahan Sumarsono (1985).
Singaraja: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Press.

73
BAHAN AJAR/HANDOUT

Bahan Kajian : Relasi Makna


Kode/ SKS : IND 005/3 SKS
Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas : Bahasa dan Seni
Pertemuan Ke- : 6,7, dan 8
Dosen : Tim Dosen Pengampu Mata Kuliah

Learning Outcomes (capaian Pembelajaran) Mata Kuliah terkait KKNI:


Mengaplikasikan konsep relasi makna dalam berbagai jenis tulisan dan dalam
realitas kehidupan. Soft Skills/ Karakter : Berpikir Kritis, sikap positif,
tanggung jawab.

Materi:
1. Sinonim
Secara etimologi kata sinonimi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu
onoma yang berarti hama', dan syn yang berarti 'dengan'. Maka secara harfiah kata
sinonim berarti 'nama lain untuk benda atau hal yang sama'. Secara semantik
Verhaar ( 1978 ) mendefinisikan sebagai ungkapan (bisa berupa kata frase, atau
kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain
Umpamanya kata buruk dan jelek adalah dua buah kata yang bersinonim; bunga,
kembang, dan puspa adalah tiga buah kata yang bersinonim; mati,wafat,
meninggal, dan mampus adalah empat buah kata yang bersinonim.
Hubungan makna antara dua buah kata yang bersinonim besifat dua arah.
Jadi, kalau kata bunga bersinonim dengan kata kembang, maka kata kembang juga
bersinonim dengan kata bunga. Begitu juga kalau ka-ta buruk bersinonim dengan
kata jelek, maka kata jelek bersinonim
dengan kata buruk. Kalau dibagaikan adalah sebagai berikut.

74
Pada definisi di atas ada dikatakan "maknanya kurang 'lebih sama" Ini
berarti, dua buah kata yang bersinonim itu; kesamaannya tidak seratus persen,
hanya kurang lebih saja, Kesamaannya tidak bersifat mutlak (Agusta 1971;89,
Ullman 1972:l4l). Mengapa demikian? Mengapa tidak mutlak ? Sebab seperti
sudah disebutkan di muka, ada prinsip umum semantik yang mengatakan apabila
bentuk berbeda maka makna pun akan berbeda, walaupun perbedaanya hanya
sedikit. Demikian juga kata-kata yang bersinonim; karena bentuknya berbeda
maka maknanya pun tidak persis sama. Jadi, makna kata buruk dan jelek tidak
persis sama; makna kata bunga, kembang, puspa pun tidak persis sama. Andaikata
kata mati dan meninggal itu maknanya persis sama, tentu kita dapat mengganti
kata mati dalam kalimat Tikus itu mati diterkam kucing dengan kata meninggal
menjadi *Tikus iru meninggal diterkam kucing. Tetapi tenyata penggantian tidak
dapat dilakukan. Ini bukti yang jelas bahwa kata-kata yang bersinonim itu tidak
memiliki makna yang persis sama.
Kalau dua buah kata yang bersinonim tidak memiliki makna yang persis
sama maka timbul pertanyaan: yang sama apanya ?.menurut teori verhaar yang
sama tentu adalah informasinya; padahal informasi ini bukan makna karena
informasi 'bersifat ekstratingual. Atau makna bersifat intralingual. Atau kalau kita
mengikuti teori anlaisis komponen yang sama adalah bagian atau unsur tertentu
saja dari makna itu yang sama. Misalnya kata mati dan meninggal. Kata mati
memiliki komponen makna ( 1 ) tiada bernyawa ( 2 ) dapat dikenakan terhadap
apa saja ( manusia, binatang, pohon, dsb ). Sedangkan meninggal memiliki
komponen makna ( 1 ) tidak bemyawa ( 2 ) hanya dikenakan pada manusia. Maka
dengan demikian kata mati dan meninggal hanya bersinonim pada komponen
makna ( 1 ) tiada bernyawa. Karena itu, jelas bagi kita kalau Ali, kucing, dan
pohon bisa mati; tetapi yang bisa meninggal hanya Ali. Kucing dan pohon tidak
bisa.
Kesinoniman mutlak atau kesinoniman simetris memang tidak ada dalam
perbendaharaan kata bahasa Indonesia. Oleh karena itu, kata-kata yang dapat
dipertukarkan begitu saja pun jarang ada. Pada suatu tempat kita mungkin dapat
menukar kata mati dan kata meninggal ; tetapi di tempat lain tidak dapat. Begitu

75
pula kata bunga dan kembang; di satu tempat kita dapat mempertukarkannya,
tetapi di tempat lain tidak.
Ketidak mungkinan kita untuk menukar sebuah kata dengan kata lain yang
bersinonim adalah banyak sebabnya. Antara lain, karena ;
( 1 ) Faktor waktu. Misalnya kata hurubalang bersinonim dengan kata
komandan. Namun, keduanya tidak mudatr dipertukarkan karena kata hulubalang
hanya cocok untuk situasi kuno, klasik, atau arkais. Sedangkan kata komandan
hanya cocok untuk situasi masa kini (modem).
( 2 ) Faktor tempat atau daerah. Misarnya kata saya dan beta
adalah bersinonim. Tetapi katt betahanya cocok untuk digunakan dalam konteks
pernakaian bahasa Indonesia timur (Maluku); sedangkan kata saya dapat
digunakan secara umum di mana saja
( 3 ) Faktor sosial. Misalnya kata aku dan saya adalah, dua buah kata yang
bersinonim ; tetapi kata aku hanya dapat digunakan untuk teman sebaya dan tidak
digunakan kepada orang yang lebih tua atau yang status sosialnya lebih tua atau
yang status sosialnya lebih tinggi.
( 4 ) Faktor bidang kegiatan. Misalnya kata tusawuf, kebatinan, dan mistik
adalah tiga buah kata yang bersinonim. Namun, kata tasawuf hanya lazim dalam
agama Islam ; kata kebatinan untuk yang bukan Islam ; dan kata mistik untuk
semua agama. contoh lain kata matahari bersinonim dengan kata surya; tetapi
surya hanya cocok atau hanya lazim digunkan dalam sastra, sedngkan kata
matahari dapat digunkan secara umum
(5) Faktor nuansa makna. Misalnya kata-kata merihat, memiliki, melotot,
meninjau, dan mengintip adarahkata-kata yang bersinonim. Kata melihat memang
bisa digunakan secara umum; tetapi kata melirik hanya digunakan untuk
menyatakan melihat dengan sudut mata; kata melotor hanya digunakan untuk
melihat oengan mata terbuka lebar; kata meninjau, hanya digunakan untuk melihat
dari tempat jauh atau tempat tinggi ; dan kata mengintip hanya cocok digunakan
untuk melihat dari celah yang sempit. contoh lain ,kata hotel bersinonim dengan
kata penginapan; tetapi kata penginapaz lebih luas maknanya dari kata hotel sebab
ke daram penginapan termasuk juga hotel, losmen, dan motel. Contoh lain yang

76
sedang popoler, kata mantan bersinonim dengan kata bekas.Tetapi kata bekas
bersifat umum, dapat digunakan untuk apa saja, seperti bekas guru, bekas pacar,
bekas lurah, dan bekas benteng. Sedangkan kata mantan hanya berkaitan dengan
jabatan terhormat yang pemah diduduki seperti mantan gubernur, mantan lurah,
dan matan rektor. Jikapun ada yang menyatakan, misalnya, mantan pacar, atau
mantan suami, maka akan di terima sebagai gurauan.
Di dalam beberapa buku pelajaran bahasa sering dikatakan bahwa sinonim
adalah penamaan kata atau kata-kata yang sama maknanya. Pernyataan ini jelas
kurang tepat sebab selain yang sama bukan maknanya, yang bersinonim pun
bukan hanya kata dengan kata, seperti disebutkan dalam definisi Verhaar di atas
(bandingkan dengan Harimurti 1984), tetapi juga banyak terjadi antara satuan-
satuan bahasa lainnya. Perhatikan contoh berikut !
(a) Sinonim antara morfem (bebas) dengan morfem (terikat), seperti antara
dia dengan nya, antara saya dengan ku dalam kalimat dan sebagainya

(1) Minta bantuan dia


Minta bantuannya
(2) Bukan teman saya
Bukan temanku

(b) Sinonim antara kata dengan kata seperti antara mati dengan meninggal;
antara buruk dengan jelek;antara bunga dengan puspa, dan sebagainya.

(c) Sinonim antara kata dengan frase atau sebaliknya. Misalnya antara
meninggal dengan tutup usia ; antara hamil dengan duduk perut antara pencuri
dengan tamu yang tidak diundang ; antara tidak boleh tidak dengan harus.

(d) Sinonim antara frase dengan frase. Misalnya, antara ayah ibu dengan
orang tua; antara meninggal dunia dengan berpulang kearah matullah; dan antara
mobil baru dengan mobil yang baru. Malah juga antara baju hangat dan baju
dingin

77
(e) Sinonimi antara kalimat dengan kalimat, Seperti Adik menendang bola
dengan bola ditendang adik. Kedua kalimat ini pun dianggap bersinonim,
meskipun yang pertama kalimat aktif dan yang kedua kalimat pasif.
Akhirnya, mengenai sinonim ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Pertama, tidak semua kata dalam bahasa Indonesia mempunyai sinonim.
Misalnya kata,salju, batu, dan kuning tidak memiliki sinonim. Kedua, ada kata-
kata yang bersinonim pada benuk dasar tetapi tidak pada bentuk jadian. Misalnya
kata benar bersinonim dengan kata betul; tetapi kata kebenaran tidak bersinonim
dengan kata kebetulan. Ketiga, ada kata-kata yang tidak mempunyai sinonim
pada bentuk dasar tetapi memiliki sinonim pada bentuk jadian. Misalnya kata,
jemur tidak mempunyai sinonim tetapi kata menjemur ada sinonimnya, yaitu
mengeringkann; dan berjemur bersinonim dengan berpanas. Contoh lain kata
pimpin tidak mempunyai sinonim, tetapi memimpin ada sinonimnya yaitu
membimbing, menuntun, mengetuai, dan menunjukkan. Keempat, ada kata-kata
yang dalam arti "sebenarnya " tidak mempunyai sinonim, tetapi datam arti
"kiasan" justru mempunyai sinonim. Misalnya kata hitam dalam makna
"sebenarnya" tidak ada sinonimnya, tapi dalam arti "kiasan" ada sinonimnya,yaitu
gelap, mesum, buruk, jahat, dan tidak menentu. (Untuk mengenal bentuk-bentuk
bersinonim dalam bahasa Indonesia, lebih jauh, lihat Harimurti Kridalaksana
1984).

5.2 Antonimi dan Oposisi


Kata antonini berasal dari kata Yunani kuno, yaitu onoma yang artinya
'nama', dan Anti yang artinya'melawan'. 'Maka' Segara harfiah antonim berarti
'nama lain untuk benda lain pula'. Secara Semantik, Verhaar (1978)
mendefinisikan sebagai: Ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi dapat pula dalam
bentuk frase atau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makna
ungkapan lain. Misalnya dengan kata bagus adalah berantonimi dengan kata
buruk; kata besar adalah berantonim dengan kata kecil; dan kata membeli
berantonim dengan kata menjual

78
Hubungan makna antara dua buah kata yang berantonim bersifat dua arah.
Jadi, kalau kata bagus berantonim dengan kata buruk maka kata buruk juga
berantonim dengan kata bagus: dan kalau kata membeli berantonim dengan kata
menjual, maka kata menjual pun berantonim dengan kata membeli. Kalau
dibagankan adalah sebagai berikut :

bagus buruk

sama halnya dengan sinonim, antonim pun tedapat pada semua tataran
bahasa: Tataran morfem, tataran kata, tataran frase. Dan tataran kalimat. Hanya
barangkali mencari contohnya dalam setiap bahasa tidak mudah. Dalam bahasa
Indonesia untuk tataran morfem (terikat) barangkali tidak ada; dalam bahasa
Inggris kita jumpai contoh thankful dengan thankless, di mana ful dan less
berantonim; antara progresif dengan regresifdi mana pro dan re- berantonim; juga
antara bilingual dengan monolingual, di mana bi dan mono berantonim.
Dalam buku-buku pelajaran bahasa Indonesia, antonim biasanya disebut
lawan kata. Banyak orang yang tidak setuju dengan istilah ini sebab pada
hakekatmya yang berlawanan bukan kata-kata itu, melainkan makna dari kata-
kata itu. Maka, mereka yang tidak setuju dengan istilah lawan kata talu
menggunakan istilah lawan makna. Namun, benarkah dua buah kata yang
berantonim, maknanya benar-benar berlawanan? Benarkah hidup Lawan mati ?,
putihl awan hitam? dan menjual lawan membeli ? Sesuatu yang hidup memang
belum atau tidak mati, dan sesuatu yang mati memang sudah tidak hidup. Jadi,
memang berlawanan. Apakah juga y ang putih berarti adak hitam? Belum tentu,
mungkin kelabu. Menurut ilmu fisikap utih adalahwama campuran dari segala
warna, sedangkan hitam memang tidak ada wama sama sekali. Lalu, apakahjuga
sesuatu yang jauh berarti tidak dekat ? Juga belum tentu. Nampaknya soal jauh
atau dekat bersifat relatif. Patokannya tidak tentu bisa bergeser. Soal menjual dan
membeli nampaknya merupakan dua hal yang berlaku bersamaan; tidak ada
proses pembelian anpa terjadinya proses penjuaran. Begitu juga sebaliknya.

79
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa antonim pun, sama halnya dengan
sinonim, tidak bersifat mutlak. Itulah sebabnya barangkali dalam batasan di atas,
verhaar menyatakan',... yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan
lain". Jadi, hanya dianggap kebalikan. Bukan mutlak berlawanan. Sehubungan
dengan ini banyak pula yang menyebutnya oposisi makna. Dengan istilah oposisi,
maka bisa tercakup dari konsep yang betul-betut berlawanan sampai kepada yang
hanya bersifat kontras saja.Kata hidup dan mati, seperti sudah dibicarakan di atas
mungkin bisa menjadi contoh yang berlawanan; tetapi hitam dan putih mungkin
merupakan contoh yang hanya berkontras.

Lebih jauh, berdasarkan sifatnya, oposisis ini dapat dibedakan menjadi:

(l) Oposisi mutlak

Di sini terdapat pertentangan makna secara mutlak. Umpamanya antara


kata hidup dan mati. Antara hidup.dan mati terdapat batas yang mutlak, sebab
sesuatu yang hidup tentu tidak (belum) mari; sedangkan sesuatu yang mati tentu
sudah tidak hidup lagi. Memang menurut kedokteran ada keadaan yang disebut
"koma, yaitu keadaan seseorang yang hidup tidak, tetapi mati pun belum. Namun,
orang yang berada dalam keadaan "koma" itu sudatr tidak dapat berbuat apa-apa
seperti manusia hidup. Yang tersisa sebagai bukti hidup hanyalah detak
jantungnya saja.
Contoh lain dari oposisi mutlak ini adalah kata gerak dan diam. yang (ber)
gerak tentu tiada dalam keadaan diam; dan sesuatu yang diam tentu tidak dalam
keadaan (ber) gerak. Kedua proses ini dapat berlangsung bersamaan; tetapi secara
bergantian.

(2) Oposisi Kutub


Makna kata-kata yang termasuk posisi kutub ini bertentanganya tidak
bersifat mutlak, melainkan bersifat gradasi. Arti terdapat tingkat-tingkat makna
pada kata-kata tersebut, misal kata kaya dan miskin adalah dua buah kata yang
beroposisi antara kaya dan miskin tidak mutlak. Orang yang , idak kaya belum

80
tentu merasa miskin, dan begitu juga orang yang belum tentu tidak kaya. Bagi
orang yang biasa berpendapatan bulan sepuluh juta, lalu tiba-tiba saja hanya
berpenghasilan tidak lebih dari satu juta rupiah, sudah merasa dirinya miskin.
Sebaliknya seseorang yang setiap hari hanya berpenghasilan Rp 1000,00, lalu
tiba-tiba berpenghasilan Rp 5.000,00, sudah merasa dirinya kaya. Itulah
sebabnya kata-kata yang beroposisi kutub ini sifatnya relatif, sukar ditentukan
batasnya yang mutlak. Atau bisa juga oikaiakan batasnya bisa bergeser, tidak tetap
pada suatu titik. Kalau di diagramkan keadaan tersebut menjadi sebagai berikut:

Makin ke atas makin kaya danmakin ke bawah makin miskin. Namun


batas kaya-miskin itu sendiri dapat bergeser keatas dan kebawah.
Ketidakmutlakan makna dalam oposisi ini nampak juga dari adanya gradasi
seperti agak kaya, cukup kaya, kaya, dan sangat kaya. Atau pun juga dari adanya
tingkat perbandingan seperti kaya, lebih kaya,dan paling kaya. Namun yan g
paling kaya dalam suatu deret perbandingan mungkin menjadi yang paling miskin
dalam deret perbandingan yang lain. Kita ambil contoh lain, yaitu besar-kecil.
Dalam deret gajah,banteng; dan keledai. Maka keledai menjadi yang kecil. Dalam
deret gajah, kambing, dan keledai, kita lihat keledai yang paling kecil; dan dalam
deret kucing, kambing dan keledai, dia menjadi yang paling besar. Sedangkan
yang paling kecilnya adalah kucing. Jadi, jelas batasan dalam oposisi kutub ini
relatif sekali.
Itulah sebabnya barangkali, himbauan untuk hidup sukar dilaksanakan
sebab batas antara sederhana dan tidak sangat, sangat tergantung pada situasi,
kondisi, dan sikap manusianya.

81
Kata-kata yang beroposisi kutub ini umumnya adalah kata-kata dari kelas
adjektif, seperti jauh-dekat, panjang-pendek, tinggi-redah, terang-gelap, dan
Iuas. sempit.
(3). Oposisi Hubungan
Makna kata-kata yang beroposisi hubungan (relasional) ini bersifat saling
melengkapi. Artinya, kehadiran kata yang satu karena ada kata yang lain yang
menjadi oposisinya. Tanpa kehadiran keduanya maka oposisi ini tidak ada.
Umpamanya, kata menjual beroposisi dengan kata membeli. Kata menjual dan
membeli walaupun maknanya berlawanan, tetapi proses kejadiannya berlaku
serempak. Proses penjual dan proses membeli terjadi pada waktu yang bersamaan,
sehingga bisa dikatakan tak akan ada proses menjual jika tak ada proses membeli.
contoh lain, kata suami beroposisi dengan kata istri. Kedua kata ini hadir
serempak: tak akan ada seseorang disebut sebagai suami jika dia tidak mempunyai
istri. Begitu pula sebaliknya. Tak mungkin seseorang wanita disebut sebagai istri
jika dia tidak mempunyai suami Andaikata suaminya meninggal, maka status
"keistrian"nya sudah tidak ada lagi. Dia mungkin masih bisa disebut ,'bekas istri";
tetapi yang tepat dia kini adalah seorang janda, bukan istri lagi.
Kata-kata yang beroposisi hubungan ini bisa berupa kata kerja, seperti
mundur -maju, pulang-pergi, pasang-surut, memberi- menerima, belajar-mengajar,
dan sebagainya. Selain itu, bisa juga berupa kata benda' seperti ayah-ibu, guru-
murid, atas-bawah, utara-selatan, buruh-majikan, dan sebagainya.
(4). Oposisi Hierarkial
Makna kata-kata yang beroposisi hierarkial ini menyatakan suatu deret
jenjang atau tingkatan. Oleh karena itu kata-kata yang beroposisi hierarkial ini
adalah kata-kata yang berupa nama satuan ukuran (berat, panjang, dan isi), nama
satuan hitungan dan penanggalan, nama jenjang kepangkatan, dan sebagainya.
Umpamanya kata meter beroposisi secara hierarkial dengan kilometer berada
dalam deretan nama satuan karena keduanya berada ukuran yang menyatakan
berat. Contoh lainkata prajurit kata opsir adalah dua buah kata yang beroposisi
secara hirarkial karena keduanya berada dalam deretan nama jenjang
kepangkatan.

82
(5) Oposisi Majemuk
Selama ini yang dibicarakan adalah oposisi di antara dua buah kata,
seperti mati - hidup, menjual -membeIi, jauh- dekat, dan opsir. Namun, dalam
perbendaharaan kata Indonesia ada kata-kata yang beroposisi terhadap lebih dari
sebuah kata. Misalnya kata berdiri bisa beroposisi dengan kata duduk, dengan kata
berbaring, dengan kata berjongkok. Keadaan seperti ini lazim disebut dengan
istilah oposisi majemuk. Jadi :

contoh lain, kata diam yang dapat beroposisi dengan kata berbicara,
bergerak, dan bekerja.
satu hal lain yang perlu dicatat, tidak setiap kata bahasa Indonesia
memiliki antonim atau oposisi. Apa antonimnya kata mobil, rumput, dan monyet?
Bagaimana pula dengan kata mahasiswa dan mahasiswi? berantoniminkah? yang
jelas kata mahasiswa juga bermakna 'mahasiswi'.

a. Homonimi, Homofoni, Homografi


Kata homonimi berasal dari bahasa yunani kuno onoma yang artinya'nama'
dan homo yang artinya 'sama'. Secara harfiah homonimi dapat diartikan sebagai
"nama sama untuk benda atau hal lain'. Secara semantik verhaal (1978) memberi
definisi homonimi sebagai ungkapan (berupa kata, atau kalimat) yang bentuknya
sama dengan ungkapan lain (juga berupa kata, frase atau kalimat) tetapi maknanya
tidak sama. Umpamanya antara kata pacar yang berarti 'inai' dengan pacar yang
berarti 'kekasih'; antara kata bisa yang berarti 'racun ular' dan kata bisa yang
berarti 'sanggup, dapat'. Contoh lain, antara kata baku yang berarti 'standar'
dengan baku ymg berarti 'saling'; atau antara kata bandar yang berarti 'pelabuhan',
bandar yang berarti,pait, dan Bandar yang berarti 'pemegang uang dalam
penjudian'.

83
Hubungan antara kata pacar dengan arti 'inai' dan kata pacar dengan arti
'kekasih' inilah yang disebut homonim. Jadi, kata pacar yang pertama.
Berhomonim dengan kata pacar yang kedua. Begitu juga sebaliknya karena
hubungan homonimi ini bersifat dua arah. Dalam kasus bandar yang menjadi
contoh di atas, homonimi itu terjadi pada tiga buah kata. Dalam bahasa Indonesia
banyak juga homonimi yang terdiri lebih dari tiga buah kata.
Di dalam kamus kata-kata yang berhomonimi ini biasanya ditandai dengan
angka Romawi yang diletakan dibelakang tiap kata ,(entri) yang berhomonimi itu;
atau juga dengan angka Arab yang diangkag setengah spasi dan diletakkan di
depan kata-kata tersebut. Di dalam Kamus Umwn Bahasa lndanesia susunan
W.J.S. Poerwadarminta digunakan angka Romawi
bandar I…...
bandar II……
bandar III……
bisa I.......
bisa II......
Tetapi dalam Katnus Bahasa Indonesia ( 1983) oleh Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, dan Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988) juga oleh
Pusat pembinaan dan pengembangan Bahasa, kata-kata yang berhomonimi itu
ditandai dengan angka Arab sebagai berikut.
lbandar
2bandar
3bandar...........
lbisa
2bisa..........
Hubungan antara dua buah kata yang homonim bersifat dua arah. Artinya, kalau
kata bisa yang berarti ‘racun ular’ homonim dengan kata bisa yang berarti
‘sanggup', maka kata,bisa yang berarti 'sanggup' juga homonim dengan kata bisa
yang berarti 'racun ular'. Kalau kata bisa yang berarti 'racun ular' kita sebut bisa I
dan kata bisa I yang berarti 'sanggup' kita sebut bisa II, maka diiagramnya menjadi
sebagai berikut:

84
Kalau ditanyakan, bagaimana bisa terjadi bentuk-bentuk yang homonimi
ini ? Ada dua kemungkinan sebab terjadinya homonimi ini.
Pertama,bentuk-bentuk yang berhomonimi itu berasal dari bahasa atau
dialek yang berlainan. Misalnya kata bisa yang berarti 'racun ular' berasal dari
bahasa Melayu, sedangkan kata bisa yang, berarti 'sanggup' berasal dari bahasa
Jawa. Contoh lain kata bang yang bang yang berarti 'azan' berasal dari bahasa
Jawa, sedangkan kata bang, (kependekan dari abang) yang berarti 'kakak laki-laki
berasal dari bahasa Melayu/ I dialek Jakarta. Kata asal yang berarti 'pangkal,
permulaan 'berasal dari bahasa Melayu, sedangkan kata asal yang berarti 'kalau'
berasal daridialek Jakarta.
Kedua, bentuk-bentuk yang bersinonimi itu terjadi sebagai hasil proses
morfologi. Umpamanya kata mengukur dalam kalimat lbu sedang mengukur
kelapa di dapur adalah berhomonimi dengan kata nengukur dalam kalimat petugas
agraria itu mengukur luasnya kebun kami. Jelas, kata mengukur yang pertama
terjadi sebagai hasil proses pengimbuhan awalan me- pada kata kukur (me+kukur
mengukur); sedangkan kata mengukur yang kedua terjadi sebagai hasil proses
pengimbuhan awalan me- pada kata ukur (me+ukur mengukur).
Sama halnya dengan sinonimi dan antonimi, homonimi ini pun dapat
terjadi pada tataran morfem, tataran kata, tataran frase, dan tataran kalimat.
Homonimi antar morfem, tentunya antara sebuah morfem terikat dengan
morfem terikat yang lainnya. Misalnya, antara morfemnya pada kalimat: "lni buka
saya, itu bukumu, dan yang disana bukunya" berhomonimi dengan-nya pada
kalimat Mau belajar tetapi bukunya belum ada." . Nya yang pertama adalah kata
ganti orang ketiga sedangkan nyaymg kedua menyatakan sebuah buku tertentu.
Homonimi antar kata, misalnya antara kata bisa yang berarti 'racun ular'
dan kata bisa yang berarti 'sanggup, atau dapat' seperti sudah disebutkan di muka.

85
Contoh lain, antara kata semi yang berarti 'tunas' dan kata semi yang berarti
'setengah'.
Homonimi antar frase, misalnya antara frase cinta anak yang berarti
'perasaan cinta dari seorang anak kepada ibunya' dan frase cinta anak yang berarti
' cinta anak yang berarti’ cinta kepada anak dari seorang ibu.’ Contoh lain, orang
tua yag berarti ‘ayahibu’ dan frase lukisan yusuf yang berarti 'orang yang sudah
tua'. Juga antara frase lukisan Yusuf yang berarti 'lukisan milik Yusuf , dan lukisan
Yusuf yang berarti 'lukisan hasil karya Yusuf, serta lukisan Yusuf yang berarti
'lukisan wajah Yusuf.
Homonimi antar kalimat, misalnya, antara istri lurah yang baru itu cantik
yang berarti 'lurah yang baru diangkat itu mempunyai seorang istri cantik', dan
kalimat Istri larahyang baru itu cantik yang berarti 'lurah itu baru menikah lagi
dengan seorang wanita yang cantik'.
Di samping homonimi ada pula istilah homofoni dan homografi. Ketiga
istilah ini biasanya dibicarakan bersama karena ada kesamaan objek pembicaraan.
Kalau istilah homonimi yang sudah panjang lebar kita bicarakan di atas dilihat
dari segi bentuk satuan bahasanya itu, maka homofoni dilihat dari segi "bunyi"
(homo=sama, fon=bunyi). Sedangkan homografi dilihat dari segi ;'tulisan, ejaan”
(homo = sama,grafi = tulisan).
Homofoni sebetulnya sama saja dengan homonimi karena realisasi bentuk-
bentuk bahasa adarah berupa bunyi. Jadi, kata bisa yang berarti 'racun ular'dan
kata bisa yang berarti 'sanggup, dapat selain merupakan bentuk yang homonimi
adalah juga bentuk yang homofoni. Namun, dalam bahasa Indonesia ada
sejumlah kata yang homofon tetapi ditulis dengan ejaan yang berbeda karena
ingin mimperjelas perbedaan makna. Misalnya kata bank dan bang, yang
bunyinya persis sama, tetapi maknanya berbeda. Bank adalah lembaga mengurus
lalu lintas uang, sedangkan bang adalah bentuk singkat dari abang yang berarti
'kakak laki-laki'. contoh lain adalah kata sanksi yang berhomofon dengan kata
sangsi. Sanksi berarti 'akibat, konsekuensi, seperti dalam kalimat Apa sanksinya
karau berum membayar uang SPP ? sedangkan kata sangsi yang berarti 'ragu'
seperti daram kalimat Saya sangsi apakah dia akan dapat menyelesaikan pekerjaan

86
itu. Namun, dalam bahasa Indonesia kata-kata yang homofon teiapi tidak
homograf tidak banyak. Mungkin cuma contoh di atas itu saja. Tetapi dalam
bahasa Inggris kasus itu cukup banyak.
Kalau kita perhatikan contoh bisa yangberarti ,racun ular, dan bisa yang
berarti 'sanggup, dapat', maka sebenamya contoh tersebut selain homonim dan
homofon, juga sekaligus homograf ftarena selain bentuknya dan bunyinya sama,
juga ejaannya atau tulisannya sama, tetapi di dalam bahasa Indonesia ada
sejumlah kata yang tulisannya sama (jadi, homograf) sedangkan,lafalnya atau
bunyinya tidak sama (jadi tidak homofon). Misalnya kata teras yang dilafalkan
[teras] dan berarti ‘inti-kayu' dengan kata teras yang dilafalkan [te'ras] dan berarti'
lantai. Yang agak ketinggian di depan rumah'. Contoh lain kata sedan yang
dilafatkan [se'dan] dan berarti 'tangis kecil, isak' dengan kata sedan yang
dilafalkan [se'dan] dan berarti 'sejenis mobil penumpang'.
Kalau melihat kedua contoh di atas, maka dapat dikatakan masalah
kehomografian di dalam bahasa Indonesia adalah karena tidak diperbedakannya
lambang untuk fonem /a/ dan fonem /e/ di dalam sistem ejaan bahasa Indonesia
yang berlaku sekarang ini. Andaikata semua fonem ini dilambangkan dengan
huruf yang berbeda, maka masalah kehomografian itu dengan sendiri menjadi
tidak ada.
Di dalam Kamus UumumBahasa Indonesia susunan Poerwadarminta kata-
kata yang homograf ini diberi keterangan cara melafalkannya di belakng tiap-tiap
kata tersebut, dengan membedakan lambing untuk fonem lal dengan huruf /e/
sedangkan untuk fonem /e/ dengan huruf <e'>. Misalnya :

teras 1. hati kayu atau bagian dalam kayu


2. .........................................
teras (te'ras) 1. bidang tanah datar yang miring atau lebih
tinggi dari yang lain
2. tanah atau lantai yang agak ketinggian di
depan rumah.

Ada beberapa buku pelajaran yang menyatakan bahwa homograf adalah


juga homonim karena mereka berpandangan ada dua macam homonim, yaitu (a)
homonim yang homofon, dan (b) homonim yang homograf. Bagaimana dengan

87
homofon yang tidak homograf seperti kata bang X bank dan sangsi X sanksi tidak
pemah dijelaskan.

5.4 Hiponimi dan Hipernimi

Kata hiponimi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma berarti nama'
dan hypo berarti 'di bawah'. Jadi, secara harfiah berarti’ nama yang termasuk di
bawah nama lain'. Secara semantik Verhaar (1978 : 137) menyatakan hiponim
ialah ungkapan(biasanya berupa kata, tetapi kiranya dapat juga frase atau kalimat)
yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna suatu ungkapan lain.
Umpamanya kata tongkol adalah hiponim terhadap kata ikan sebab makna
tongkol berada atau termasuk dalam makna kata ikan. Tongkol memang ikan
tetapi ikan bukan hanya tongkol melainkan juga termasukbandeng, tenggiri, teri,
mujair, cakalang, dan sebagainya. Kalau di skemakan menjadi :

Kalau relasi antara dua buah kata yang bersinonim, berantonim, dan
berhomonim bersifat dua arah, makna relasi antara dua buah kata yang
berhiponim ini adalah searah. Jadi, kata tongkol berhiponim terhadap kata ikan;
tetapi kata ikan tidak berhiponim terhadap kata tongkol, sebab makna ikan
meliputi seluruh jenis ikan. Dalam hal ini relasi antara ikan dengan tongkol (atau
jenis ikan lainnya) disebut hipernimi. Jadi, kalau tongkol berhiponim terhadap
ikan, maka ikan berhipemim terhadap tongkol. Perhatikan bagan berikut !

88
Contoh lain, kata bemo dan kendaraan. Kata bemo berhiponim teradap
kata kendaraan, sebab bemo adalah salah satu jenis kendaraan. Sebaliknya kata
kendaraan berhipernim terhadap kata bemo sebab kata kerdaraan meliputi makna
bemo di samping jenis kendaraan lain (seperti becak, sepeda, kereta api, dan bis).
Dalam definisi Venhaar di atas ada disebutkan bahwa hiponim kiranya
terdapat pula dalam bentuk frase dan kalimat. Tetapi kiranya sukar mencari
contohnya dalam bahasa Indonesia karena juga hal ini lebih hayak menyangkut
masalah logika dan bukan masalah linguistik. Lalu,oleh karena itu menurut
Venhaar (1978:137) masalah ini dapat di lewati saja, tidak perlu dipersoalkan lagi.
Konsep hiponimi dan hipernimi mengandaikan adanya kelas bawahan dan
kelas atasan, adanya makna sebuah kata yang berada di bawah makna katalainnya
Oleh karena itu, ada kemungkinan sebuah kata yang merupakan hipernimi
terhadap sejumlah kata lain, akan menjadi hiponim terhadap kata lain yang
hierarkial berada di atasnya. Umpamanya kata ikan yang merupakan hipernimi
terhadap kata tongkol, bandeng, cakalang, dan mujair akan menjadi hiponimi
terhadap kata binatang. Mengapa demikian ? Sebab yang termasuk binatang
bukan hanya ikan,tetapi juga kambing, moyet, gajah, dan sebagainya. Selanjutnya
binatang ini pun merupakan hiponimi terhadap kata makhluk, sebab yang
termasuk makhluk bukan hanya binatang tetapi juga manusia. Kalau diskemakan
seluruhnya akan menjadi :

89
Konsep hiponimi dan hipemimi mudah direrapkan benda pada kau tetapi
agak sukar pada kata kerja dan kata sifat. Coba anda pikirkan mengapa?.

5.5 Polisemi

Potisemi lazim diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga
juga frase) yang memiliki makna lebih dari satu. Umpamanya kata kepala dalam
bahasa Indonesia memiliki makna (l) bagian tubuh dari leher ke atas, seperti
terdapat pada manusia dan hewan; (2) bagian dari suatu yang terletak di sebelah
atas atau terutama seperti pada kepala susu, kepala meja, dan kepala kepala
kereta api; (3)bagian dari suatu yang berbentuk bulat seperti kepala, seperti pada
kepala paku, dan kepala jarum; (4) pemimpin atau ketua seperti pada kepala
sekolah, kepala kantor, dan kepala stasiun; (5) jiwa atau orang seperti dalam
kalimat setiap kepala menerima, bantuan Rp 5000 00; dan (6) akal budi seperti
dalam kalimat. Badannya besar tetapi kepalanya kosong.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam bahasa Indonesia kata
kepala setidaknya mengacu kepada enam buah konsep/makna:

90
Padahal menurut pembicaraan terdahulu setiap kata hanya memiliki satu makna,
yakni yang disebut makna leksikal atau makna yang sesuai dengan referennya.
Umpamanya makna leksikal kata kepala ii atas adalah bagian tubuh manusia atau
hewan dari leher ke atas'. Makna leksikal ini yang sesuai dengan referennya
(lazim disebut orang makna asal, atau makna sebenarnya) mempunyai banyak
unsure atau komponen makna. Kata kepala di atas, ailara lain, memiliki
komponen makna :

(l) terletak di sebelah atas arau depan


(2) merupakan bagian yang penting (tanpa kepara manusia tidak
bisa hidup, tetapi tanpa kaki atau lengan masih bisa hidup)
(3) berbentuk bulat

Dalam perkembangan selanjutrrya komponen-komponen makna ini


berkembang menjadi makna-makna tersendiri. Pada frase kepala surat dan kepala
susu komponen "terletak di sebelah atas"-lah yang diterapkan sebagai makna.
pada frase kepala paku dan kepala jarum komponen makna "berbentuk bulat"- lah
yang diterapkan sebagai makna; sedangkan pada frase kepala kereta api
komponen makna "bagian yang terpenting"- lah yang diterapkan sebagai makna,
sebab tanpa kepala (lokomotif) kerera api itu tidak dapat bergerak.
Kita ambil contoh lain, kata kaki yang memiliki komponen makna, antara
lain :
(1) anggota tubuh manusia (uga binatang)
(2) terletak di sebelah bawah
(3) berfungsi sebagai penopang unruk berdiri

Komponen makna (l) adalah makna asal, yang sesuai dengan referen, atau
juga makna leksikal dari kata itu. Dalam perkembangan selanjutnya komponen
makna (2) berkembang menjadi makna tersendiri untuk menyatakan bagian dari
segala sesxatu yang terletak di sebelah bawah seperti dalam ftase luki gunung dan
kaki bukit; Komponen makna (3) juga berkembang jadi makna sendiri untuk
menyatakan segala sesuatu yang berfungsi sebagai penopang, seperti dalam frase

91
kaki meja dan kaki komera(tripoid). Bagaimana dengan kata kaki pada kaki kuda?
Di sini kata,kakitermasukdalam komponen makna (l) karena ciri-ciri dan sifatnya
sama dengan kaki pada manusia.
Kalau kita perhatikan kata kepala dan kata kaki dengan segala macam
maknanya itu, maka kita dapat menyatakan bahwa makna-makna yang banyak
dari sebuah kata yang polisemi itu masih ada sangkut pautnya dengan makna asal,
karena dijabarkan dari komponen makna yang ada pada makna asal kata tersebut.
Makna-makna yang bukan makna asal dari sebuah kata bukanlah makna
leksikal sebab tidak merujuk kepada referen dari kata itu. Lagi pula kehadirannya
hanrs pula dalam satuan-satuan gramatikal yang lebih tinggi dari kata seperti frase
atau kalimat. Kata kepala yang berarti 'pemimpin' atau ketua 'baru muncul dalam
pertuturan karena kehadirannya dalam frase seperti frase, kepala sekolah, kepala
gerombolan, dan kepala rombongan. Tanpa kehadirannya dalam satuan gramatikal
yang lebih besar dari kata kita tidak akan tahu akan makna-makna lain itu.
Berbeda dengan makna asalnya yang sudah jelas dari makna leksikalnya karena
adanya referen tertentu dari kata tersebut.
Satu persoalan lagi yang berkenaan dengan polisemi ini adalah bagaimana
kita bisa membedakanya dengan bentuk-bentuk yang disebut homonimi.
Perbedaanya yang jelas ialah bahwa homonimi bukanlah sebuah kaa, melainkan
dua buah kata atau lebih yang kebetulan bentuknya sama. Tentu saja karena
homonimi ini bukan sebuah kata, maka-maknanya pun berbeda. Oleh karena itu,
di dalam kamus bentuk-bentuknya yang homonimi didaftarkan sebagai entri-entri
yang berbeda. sebaliknya bentuk-bentuk polisemi adalah sebuah kata yang
memiliki makna lebih dari satu. Lalu, karena polisemi ini adalah sebuah kata
maka di dalam kamus didaftarkan sebagai sebuah entri. Ada satu lagi perbedaan
antara homonimi dan polisemi, yaitu makna-makna pada bentuk-bentuk
homonimi tidak adakaitan atau hubungannya sama sekali antara yang satu dengan
yang lain. Apa hubungannya antara makna 'racun ular' pada kata bisa I dan makna
'dapat' pada kata bisa II?. Begitu jugakah ada hubungan antara makna 'kitab' pada
buku I dan makna "ruas' pada kata buku II? Tentu saja tidak ada. Sedangkan

92
makna-makna pada kata yang polisemi masih ada hubungannya karena memang
dikembangkan dari komponen-komponen makna kata-kata tersebut.
Berdasarkan analisis hiponimi yang disertai dengan klasifikasi ini
diperoleh nama-nama pohon dalam kelompok tertentu, misalnya pohon berakar
tunggang: jati, rambutan, mangga,, mahoni, pepaya, akasia, dan cemara dan
kelompok nama pohon yang berakar serabut: kelapa, bambu, dan pinang.

G. Meronimi
Cruse (1986: 157-163) menjelaskan bahwa meronimi adalah hubungan
butir leksikal yang satu dengan butir leksikal lain dalam bentuk hubungan pokok
dan bagian-bagianya. Definisi yang diungkapkan oleh Cruse itu dapat diperjelas
dengan contoh dalam bahasa Indonesia yang dapat dilihat pada bagan 6.5.
Hubungan tubgh dengan kata-kata lain yang merupakan bagian-bagian
dari leksem tubuh dapat dijelaskan berikut ini. Tubuh merupakan nama yang
mencakup keseluruhan anggota bagian tubuh manusia. Oleh karena itu, tubuh
mempunyai bagian-bagian, yaitu kepala, leher, badan, tangan, dan kaki. Bagian-
bagian itu juga mempunyai bagian lagi. Kepala mempunyai bagian muka dan
tengkorak. Muka mempunyai bagian dahi, kening, mata, hidung, mulut, pipi,
pelipis, dagu, dan telinga. Bagian-bagian itu juga mempunyai bagian lagi, mata
mempunyai bagian pelupuk mata, bola mata, alis, dan. bula mata. Bola mata
mempunyai bagian

Bagan 6.5. Visualisasi Hubungan Meronimi

93
lensa mata, retina, dan selaput jala. Hidung mempunyai bagian, yaitu lubang
hidung, bulu hidung, batang hidung, dan puncak hidung. Mulut mempunyai
bagian, yaitu bibir, rongga mulut, gusi, gigi, lidah, dan langit-langit. Lidah
mepunyai bagian, yaitu ujung, tengah, daun dan pangkal. Leher mempunyai
bagian, kerongkongan, tenggorokan, pita suara, dan jakun. Badan sebagai pokok
(keseluruhan) mempunyai bagian-bagian bahu, dada, perut, punggung, pinggang,
pinggul, dan tangan. Dada sebagai pokok mempunyai bagian susu, paru-pant,
jantung, hati, dan tulang iga. Perut sebagai keseluruhan mempunyai bagian, yaitu
pusat, usus, dan lambung. Pinggarrg mempunyai bagian ginjal. Pinggul
mempunyai bagian, pantat, dubur, kemaluan. Kaki sebagai pokok mempunyai
bagian, yaitu paha, lutut, betis, tapak, dan jari. Jari sebagai keseluruhan
mempunyai bagian batang lengan dan siku. Tangan sebagai keseluruhan
mempunyai bagian, yaitu pergelangan, tapak, punggung, dan jari. Meronim
leksem tubuh ini dapat diperdalam terus sampai pada bagian itu tidak mempunyai
bagian lagi.
Selain kata tubuh, masih banyak kata lain yang dapat dianalisis secara
meronimi, misalnya leksem rumah, pohon' tumbuhan, makhluk ayam, kambing,
ikan, mobil, sepeda' meja, kursi, bunga, buah dan lain-lain. Hubungan meronimi
sangat bermanfaat untuk mengetahui berbagai nama bagian-bagian dari suatu
benda.
Perbedaan dan persamaan antara hiponimi dan meronimi adalah
sebagai berikut ini. Meronimi merupakan hubungan kata umurn- -- khusus yang
didasarkan. Pada hubunlan pokok (keselurahan) dengan bagian-bagiannya.
Analisis hubungan meronimi meghasilkan suatu meronim yang merupakan nama-
nama bagian dari keseluruhan benda atau maujud tertentu. Sebaliknya, hiponimi
adalah hubungan kata umum dan kata khusus berdasarkan hubungan atasan dan
bawahannya. Hasil akhir analisis hiponimi adalah sejumlah hiponim yang berupa
nama-nama suatu benda yang merupakan bawahan dari kata atau nama tertentu.
Persamaan meronimi dan hiponimi adalahnya keduanya membentuk hubungan
umum-khusus. Baik meronimi maupun hiponimi bermanfaat untuk
menginventarisasi berbabagai leksem untuk entri suatu kamus. Hiponimi dan

94
meronimi ini efektif untuk membentuk kamus rumpun atau kamus kelompok.
Bagi siswa dan guru, konsep meronimi ini dapat digunakan sebagai cara untuk
mengembangkan kosakata. Bagi pemakai bahasa secara umum, konsep meronimi
dapat digunakan sebagai cara untuk memperluas kosakata dan memperdalam
pemahaman tentang makna kata. Di samping itu, meronimi bahasa untuk
melakukan tertib dan teliti.

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 1988. Semantik: Pengantar Studi tentang Makna. Bandung: Sinar


Baru.
Chaer, Abdul. 1995. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka
Cipta.
Cruse, D.A. 1986. Lexikal Semantics. Cambridge: Cambridge University Press.
Djajasudarma, fatimah. 1993. Semantik I: Pengantar ke Arah Ilmu Makna.
Bandung: Eresco.
Kemson, Ruth M. 1977. Teori Semantik. Diterjemahkan Abdul Wahab pada 1995.
Jakarta: Airlangga University Press.
Keraf, Gorys. 1996. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Ogden dan Richard. 1923. The Meaning of Meaning. London. Routledge &
Kegan Paul Ltd.
Pateda, Mansur.1986. Semantik Leksikal. Ende Flores: Nusa Indah.
Ullman, Stephen. 1972. Pengantar Semantik. Terjemahan Sumarsono (1985).
Singaraja: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Press.

Pertemuan ke-9 Semua LO yang telah tulisan


dibahas

BAHAN AJAR/HANDOUT

Bahan Kajian : Medan Makna dan Ketaksaan

95
Kode/ SKS : IND 005/3 SKS
Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas : Bahasa dan Seni
Pertemuan Ke- :10,11, dan 12
Dosen : Tim Dosen Pengampu Mata Kuliah

Learning Outcomes (capaian Pembelajaran) Mata Kuliah terkait KKNI:


Mampu menemukan medan makna, menganalisis komponen makna, dan
menindaklanjuti ketaksaan makna
Soft skills/ karkter: berpikir kritis, sikap positif, dan kolatif

Materi:
1. Mengembangkan medan makna
2. Menanalisis komponen makna
3. Menanalisis ketaksaan makna

Materi
1. Medan Makna
Harimurti (1982) menyatakan bahwa medan makna (semantik field,
domain) adalah bagian dari sistem semantik bahasa yang menggambarkan bagian
dari bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu dan yang
direalisasikan oleh seperangkat unsur leksikal yang maknanya berhubungan.
Umpamanya, nama-nama warna membentuk medan makna tertentu. Begitu juga
dengan nama perabot rumah tangga, istilah pelayaran, istilah olah raga, istilah
perkerabatan istilah alat pertukangan, dan sebagainya.
Kata atau unsur leksikal yang maknanya berhubungan dalam satu bidang
tertentu jumlahnya tidak sama dari satu bahasa dengan bahasa lain, sebab
berkaitan erat dengan kemajuan atau situasi budaya masyarakat bahasa yang
bersangkutan. Nama-nama wama dalam bahasa Indonesia, misalnya, adalah
coklat,merah, biru, hijau, kuning dan abu-abu, putih dan hitam menurut flsika
adalah bukan warna. Lalu, untuk membedakan perbedaan nuansa warna dari
nama-nama warna pokok itu biasanya diberi keterangan perbandingan di belakang

96
nama warna itu. Misalnya merah tua, merah muda, merah darah,merah hati, dan
sebagainya. Dengan demikian, kebutuhan akan nama pembeda dari warna-warna
itu terpenuhi. Bahasa Inggris membagi warna dasar menjadi sebelas nama warna,
yaitu : White ‘putih', red 'merah’, green 'hijau', yellow 'kuning', blue 'biru', brown
' coklat’, parpk 'ungu', pink 'merah muda', orange ' oranye', dan grey, ‘abu-abu'
Sedangkan bahasa Hunnco, salah satu bahasa Filipina, hanya mengenal empat
nama warna, yaitu : (ma) biru'hitam dan warna gelap lain' , (ma) langit 'putih dan
wama cerah lain', (ma) rarar 'kelompok warna merah', dan (ma) latuy kuning,
hijau muda, dan coklat muda'.
Nama-nama istilah perkerabatan dalam bahasa Indonesia adalah anak,
cucu, cicit, piut, bapak/ayah, ibu, kakek, nenek, moyang, buyut, paman, bibi,
saudara, kakak, adik, sepupu, kemenakan, istri, suami, ipar, mertua, menantu, dan
besan. Kalau dibagankan dengan ego sebagai pusat adalah sbb :

Keterangan :
(1) menurunkan
(2) + menikah
(3) semua istilah dilihat dari ego

Kiranya istilah perkerabatan dalam bahasa Indonesia masih belum


lengkap. Kita belum punya istilah untuk hubungan antara ego, misalnya, dengan

97
;(1) anak dari kemenakan, (2) anak dari sepupu, (3) anak dari besan, (4) anak dari
moyong, (5) anak dari piut, dan sebagainya. Apalagi pembedaan istilah untuk
paman dan bibi dari pihak ibu dan pihak ayah. Padahal dalam bahasa lain, bahasa
Arab misalnya, punya istilah-istilah itu. Begitu pula bahasa jawa memiliki kosa-
kata perkerabatan yang lebih luas daripada bahasa Indonesia. Bagaimana dengan
istilah perkerabatan dalam bahasa daerah Anda ?.
Kata-kata yang berada dalam satu medan makna dapat digolongkan
menjadi dua, yaitu yang termasuk golongan kolokasi, dan golongan sel.
Kolokasi (berasal dari bahasa Latin colloco yang berarti ada ditempat yang
sama dengan) menunjuk kepada hubungan sintakmatik yang terjadi antara kata-
kata atau unsur-unsur leksikal itu. Misalnya pada kalimat Tiang layar perahu
nelayan itu patah dihantam badai, lalu perahu itu digulung ombak, dan
tenggelarn beserta isinya, kita dapati kata-kata layar, perahu, nelayan, badai, omb
ak, dan tenggelam yang merupakan kata-kata dalam satu kolokasi; satu tempat
atau lingkungan. Jadi, kata-kata yang berkolokasi ditemukan bersama atau berada
bersama dalam satu tempat atau satu lingkungan. Kata-kata layar , perahu, badai,
ombak, dan tenggelam diatas berada dalam satu lingkungan, yaitu dalam
pembicaraan mengenai laut. Contoh lain, kata-kata lahar, lereng, puncak, curam,
dan lembah berada dalam lingkungan mengenai pegunungan. Kata-kata garam
,gula,lada, bumbu, sayur, daging, dan garam berkolokasi dalam pembicaraan
tentang dapur. Sedangkan kata-kata gol kiper, wasit, penjaga garis, penyerang
tengah, dan pemain belakang berkolokasi dalam pembicaraan tentang olah raga
sepak bola.
Dalam pembicaraan tentang jenis makna ada juga istilah kolokasi yaitu
jenis makna kolokasi. Yang dimaksud di sini adalah makna kata yang tertentu
berkenaan dengan keterikatan kata tersebut dengan kata lain yang merupakan
kolakasinya. Misalnya kata tampan, cantik, dan indah sam-sama bermakna
denotatif 'bagus'. Tetapi kata tampan memiliki komponen atau ciri makna [+laki-
laki] sedangkan kata cantik memiliki komponen atau ciri makna [- laki-lakr]; dan
kata indah memiliki komponen atau ciri makna [- manusia]. Oleh karena itulah
ada bentuk-bentuk pemuda tampan, gadis cantik, dan pemandangan indah,

98
sedangkan bentuk * *pemuda indah, *gadis tampan, dan *pamandangan cantik
tidak dapat diterima.
Kalau kolokasi menunjuk pada hubungan sintagmatik karena sifatnya yang
linear, maka set menunjuk pada hubungan paradigmatik karena kata-kata atau
unsur-unsur yang berada dalam suatu set dapat saling menggantikan atau
disubstitusikan. Suatu set biasanya berupa sekelompok unsur leksikal darin kelas
yang sama yang tampaknya merupakan satu kesatuan. Setiap unsur leksikal dalam
suatu set dibatasi oleh tempatnya dalam hubungan dengan anggota-anggota dalam
set tersebut. Misalnya kata remaja merupakan tahap pertumbuhan antara kanak-
kanak dengan dawasa; sejuk adalah suhu di antara dingin dengan hangat. Maka
kalau dibagankan kata-kata yang berada dalam satu set dengan kata remaja dan
sejuk adalah sebagai berikut :
SET bayi dingin
(paradigmatik) kanak-kanak sejuk
remaja hangat
dewasa panas
manula terik

Pengelompokon kata berdasarkan kolokasi dan set dapat memberikan


gambaran yang jelas menegenai teori medan makna, meskipun makna unsur-unsur
leksikal itu sering bernmpang tindih dan batas-batasnya seringkali juga menjadi
kabur. Selain itu pengelompokan ini juga kurang memperhatikan perbedaan antara
yang disebut makna denotasi dan makna konotasi; antara makna dasar dari suatu
kata atau leksem dengan makna tambahan dari kata itu. Misalnya kata remaja
dalam contoh diatas hanya menunjuk pada jenjang usia, yang berangkali antara 14
- 17 tahun. Padahal kata remaja juga sekaligus mengandung pengertian atau
makna tambahan belum dewasa, keras kepala, bersifat kaku, suka mengganggu
dan membantah, serta mudah berubah-ubah sikap, pendirian, atau pendapat.
Pendek tata pendirian mereka masih labil. Contoh lain, kata wanita, selain
bermakna dasar manusia dewasa berkelamin betina, juga memiliki. makna
tarnbahan seperti modern, berpendidikan cukup, tidak berkebaya, dan sebagainya.
Oleh karena itu, secara semantik diakui bahwa pengelompokan tata atau
unsur-unsur leksikal secara kolokasi dan set hanya menyangkut satu segi makna,

99
yaitu makna dasamya saja. Sedangkan makna seluruh tiap kata atau unsur
leksikal itu perlu dilihat dan dikaji secara terpisah dalam kaitannya dengan
penggunaan kata atau unsur leksikal tersebut di dalam pertururan. Setiap unsure
leksikal memiliki komponen makna masing-masing yang mungkin ada
persamaannya dan ada dengan unsur leksikal lainnya.
Lyons (1977: 252--.-254) menjelaskan teori medan makna (field+theory)
adalah teori yang menaruh perhatian kepada analisis makna. Hubungan bagian-
keseluruhan yang mengikat suatu leksem dalam suatu medan makna tertentu.
Leksem yang mempunyai keterkaitan atau kesamaan dalam bidang kegiatan
terikat dalam satu medan makna. Medan makna merupakan lingkup makna yang
luas yang dapat mencakupi leksem-leksem yang fitur maknanya terkait atau
serupa dengan fitur semantis medan makna. Chaer (1995:110) menjelaskan bahwa
leksem atau kata di setiap bahasa atau berdekatan dalam satu bidang tertentu dapat
dikelompokkan dalam satu bidang kegiatan atau satu bidang ilmu. Penjelasan
Chaer itu dapat dikonkritkan dengan contoh berikut ini. Contoh, sawah, padi,air,
cangkul, bajak, jerami, tanah, bibit, menanam, menyiangi, memonen, hama,
insektisida adalah leksem atau kata-kata dalam medan makna pertanian. Benda
yang berupa sawah, padi, air, cangkul, bajak, jerami, tanah, bibit, isektisida, dan
hama adalah leksem yang berkaitan dengan bidang pertanian dan kegiatan
menanam, menyiangi, dan memanen adalah kegiatan yang berkaitan dengan
pertanian sehingga leksem-leksem dan kata-kata itu dikelompokan dalam medan
makna pertanian. Contoh lain, mobil, kereta api, pedati, bendi, sepeda, sepeda
motor, kuda, unta, kapal, perahu, terbang, kapal laut, jalan setapak, jalan raya,
laut, sungai, danau, angkasa, macet, lancar, kecelakaan, trayek, taksi berkaitan
dengan bidang transportasi sehingga leksem-leksem, kata-kata, dan frasa itu
dikelompokkan dalam medan makna transportasi.
Lyons (1977: 261-266) menjelaskan bahwa ketercakupan suatu leksem
dalam suatu medan makna, secara jelas dapat dilihat dalam hubungan sintagmatik.
kridalaksana (1993: 199) menjelaskan bahwa hubungan sintakmatik adalah
hubungan linier (mendatar) antarunsur bahasa pada tataran tertentu. Definisi
Lyons dan Kridalaksana itu dapat diperjelas dengan contoh proses pembentukan

100
satuan bahasa yang melibatkan sejumlah unsur satuan bahasa. Secara bersama-
sama. Hubungan sintakmatik adalah hubungan suatu satuan bahasa tidak dapat
berdampingan dengan satuan bahasa tertentu dalam proses pembentukan satuan
bahasa tertentu dalam prses pembentukan satuan bahasa yang lebihh besar.
Contoh, budi ingin makan.... Dalam hubungan sintakmatik, leksem makan dapat
berdampingan atau dapat diikuti oleh leksem yang mengandung makna’makanan
untuk manusia’, misalnya nasi, psanh, kue, dan yang sejenisnya sehingga bentuk
budi ingn makan nasi dapat diterma, tetapi budi nin makan meja tidak dapat
diterima. Hubungan sintakmatik antar satuan bahasa dalam medan makna lazim
disebut dengan kolokasi. Dengan demikian kolokasi adalah kajian tentang
pasangan khas suatu satuan bahasa ditempat yang sama. Contoh kolokasi, ombak
berdebur, hujan lebat, kuda menyepak, ayam mencakar, kuda meringkih sapi
melenguh, kerbau mengoek, anjing menggonggong, kucing mengeong. Pada
tempat itu , ombak berdebur, hujan lebat, kuda menyepak, ayam mencakar, kuda
meringkik, sapi melenguh, kerbau mengoek, anjing menggonggong, kucing
mengeong merupakan pasangan yang khas. Apabila salah satu unsur pasangan itu
diganti dengan unsur yang bukan kolokasinya, gabungan itu rancu, misalnya
ombak lebat, hujan berdebur, kuda menendang, ayam menyepak, kuda
menggonggong, sapi mengembik, anjing meringkik, kucing berkotek dan lain-
lain.
Medan makna juga dapat berwujud hubungan paradigmatik. Hubungan
paraditmatik adalah hubungan antara unsur satu dengan yang lain yang sifatnya
dapat saling (secara -vertikal) dalam kontruksi tertentu. Contoh hubungan
paradimatik, ayah memembaca korandi ruanh ttamu, dalam kontruksi ayah
membaca koran di ruang tamu, kata ayah dapat digantikan dengan saya, dia,
mereka, kami, kita, aminah, ahmat, orang itu, tono dan Tini. Oleh karena itu kata
ayah, paman, saya, dia, mereka, kami, kita, Aminah, Ahmat, Orang itu, Tono dan
Tini dalam satu medan makna ‘orang' dalam hubungan paradigmatik. Dalam
konstruksi, ayah membaca koran di ruang tamu, kata membaca dapat digantikan
dengan kata meletakkan, melipat, menggolnting, memampangkan, menyimpan.
Sehingga membaca, meletakkan, melipat, menggunting,\ memampangkan,

101
menyimpan berada dalam medan makna yang sama dalam hubungan
paradigmatik. Chaer (1995: ll2-ll4) menjelaskan bahwa medan makna yang
berbentuk hubungan paradigmatik disebut sebagi set. Jadi, membaca, meletakkan,
melipat, menggunting, memompangkan, dan menyimpan merupakan medan
makna dalam bentuk set.

2. Komponen Makan
Komponen makna atau komponen semantik (semantic feature, semantic
property, atau semantic marker) mengajarkan bahwa setiap kata atau unsur
leksikal lainnya terdiri daru satu atau beberapa unsur yang bersama-sama
membentuk makna kata atau makan unsur leksikal tersebut. Misalnya, kata ayah
mengandung komponen makna atau unsur makana: +insan, +dewasa, +jantan, dan
+kawin;dan ibu mengandung komponen makna: +dewasa, -jantan, dan +kawin.
Maka kalau dibandingkan makana kata ayah dan ibu adalah menjadi sebagai
berikut
Komponen makna Ayah Ibu
1. Insan + +
2. Dewasa + +
3. Jantan + _
4. kawin + +

Keterangan: tanda+ bearti mempunyai komponen makan tersebut,


tanda, dan tannda –berarti tiidak mempunyai komponen
makna tersebut.

Perbedaan makna antara kata ayah dan ibu hanyalah pada ciri makna atau
komponen makna: ayah memiliki makna ‘jantan’, sedangkan kata iu tidak
memiliki ‘jantan’.
Cara menganalisis sepertiini sebenarnya bukan barang baru. R. Jakobson
dan Morris Halle dalam laporan penelitian mereka tentang bunyi bahasa yang
brejudul Preliminaries to speech Analysis : The Distinative Features andtheir
Correlates telah menggunakan cara analisis seperti itu. Dalam laporan itu mereka
mendeskripsikan bunyi-bunyi bahasa dengan menyebutkan ciri-ciri. pembeda di
antara bunyi yang satu dengan bunyi yang lain. Bunyi-bunyi yang memiliki

102
sesuaru ciri diberi tanda plus (+) dan yang tidak memiliki ciri itu diberi tanda
minus (-), umpamanya bunyi-bunyi /p/, /h/, /t/, dan/d/ memiliki ciri-ciri sebagai
berikut :

Ciri-ciri pembeda /p/ /b/ /r/ /d/

Hambat + + + +
Bilabial + + - -
Bersuara - + - +

Analisis ini mengandaikan setiap unsur leksikal memiliki atau tidak


memiliki suatu ciri yang membedakannya dengan unsur lain. Dari contoh di atas
kita lihat perbedaan konsonan /p/ dan /b/ adalah bahwa konsonan /p/ tidak
bersuara sedangkan konsonan /b/ bersuara. Perbedaan konsonan lpl dan ltl adalah
bahwa yang pertama bilabial dan yang kedua bukan bilabial.
Konsep analisis dua-dua ini (lazim disebut analisis biner) oleh para ahli
kemudian diterapkan juga untuk membedakan makna suatu kata dengan kata yang
lain. Misalnya, kata ayah dan ibu dapat dibedakan berdasarkan ada atau tidak
adanya ciri jantan.
Ayah ibu

+ manusia + manusia
+ dewasa + dewasa
+ kawin + kawin
+ jantan - jantan

sedangkan kata becak dan bemo dapat drprbedakan berdasarkan


ada atau tidak adanya ciri bermesin/bermotor.

becak bemo
+ kendaraan umum + kendaraan umum
+ beroda tiga + beroda tiga
- bermotor + bermotor

103
Perumusan makna di dalam kamus pun nampaknya memanfaatkan atau
berdasarkan analisis biner ini. Sebagai contoh Kamus umun Bahasa Indonesia
susunan w.J.s. poerwadarminta mendefinisikan kata kuda sebagai 'binatang
menyusui yang satu dan berkuku biasa dipiara orang untuk kendaraan'. Jadi, ciri
binatang menyusui, berkuku satu, dan biasa dipiara orang adalah yang menjadi
ciri umum. Lalu, ciri makna 'kendaraan' menjadi ciri khusus yang
membedakannya dengan sapi atau kambing. Sapi dan kambing juga biasa dipiara
tetapi bukan untuk kendaraan. Untuk lebih jelas " coba simak bagan berikut !

Ciri-ciri Kuda Sapi Kambing


1. Menyusui + + +
2. Berkuku Satu + + +
3. Dipiara + + +
4. kendaraan + - -

Dari bagan itu nampak ciri pembeda kuda dan sapi dan kambing . Tetapi
kalau ditanya, api bedanya sapi dan kambing karena dalam bagan tersebut belum
nampak perbedaan. Dalam hal ini kita harus menambah ciri pembeda lain.
Mungkin ciri kemanfaatan kambing itu. Sapi terutama dimanfaatkan susunya
(walaupun dagingnya juga), sedangkan kambing terutama dimanfaatkan
dagingnya
Dengan analisis, biner ini kita juga dapat menggolong-golongkan kata atau
unsur leksikal seperti yang maui teori medan makna. Misalnya :

Dari diagram diatas dapat dilihat bahawa banyak ciri-ciri semantik setiap
kata tidak sama; junlahnya sesuai dengan sifat unsur leksikal tersebut. Kata-kata
yang cukup umum seperti manusia, hewan, dan makanan memiliki makan yang
lebih khusus seperti guru, kucing dan bakso.

104
Analisi biner ini dapat pula digunakan untuk mencari perbedaan semantik
kata-kata yang bersinonim. Umpamnya kata-kata kanda, pondok rumah, istana,
keratin, dan wisma. Keenam kata itu dapat dianggap bersinonim dengan makna
dasar atau makan denotatif’ tempat tinggal’ atau ‘tempat kediaman’. Kata
kandang pada satu pihak dapat diperbedakan dengan kelima kata yang lain
berdasrkan ciri [+manusia] dan [-manusia]. Kandang berciri[-manusia] sedangkan
yang lainnya berciri [+manuisa]. Kemudian kata pondok dengan keemapt yang
lain dapat diperbedakan berdasrkan cirri [+jelata] dan [-jelata]. Pondok berciri
[+jelata] sedangkan rumah, keratin, dan wisma berciri [-jelata]. Dan, malah di
Jakarta dalam dua puluh tahun terakhir ini bermunculan wilayah pemukiman
mewah dengan menggunakan nama pondok seperti pondok indah, pondok kelapa,
pondok timur mas, dsb. Selanjutnya kata ruamah disatu pihak dapat diperbedakan
dengan ketiga lainnya berdasrkan cirri [+umum] dan [-umum]. Kata rumah berciri
[+umum] sedngkan istana, keraton dan wisma berciri[-umum]. Selanjutnya kata
istana dan keratin disatiu pihak dapatdibedakan dengan kata wisam berdasrkan
cirri [+kepala Negara] dan [-kepala Negara]. Istana dan keratin memiliki cirri
[+kepala Negara] sedangkan wisam berciri [-kepala Negara]. Akhirnya istana dan
keraton dapat di perbedakan berdasrkan cirri [+raja] dan [-raja]. Istana dapat
berciri [+raja] dan [-raja] (misalnya presiden) sedang keraton berciri [+raja].

Persoalan kita sekarang: apakah analisis biner ini selalu dapat diterapkan
pada setiap unsure leksikal? Dari pengamatan terhadap data/ unsure-unsur
leksikal, ada tiga hal yang perlu dikemukakan sehubungan dengan analisis biner
tersebut.
Pertama, ada pasangan kata yang salah satu daripadanya lebih bersifat
netral atau umum sedngakan yang lain lebih bersifat khusus. Misalnya, passangan
kata mahasiswa dan mahasiswi. Kata mahasiswa lebih bersifat umum dan netral
Karena termasuk “ pria” dan “wanita”. Sebaliknya kata mahasiswi lebih bersifat
khusus karena hanya mengenai “wanita”. jadi

Ciri Mahasiswa mahasiswi

105
Pria + -
wanita + +

Unsur leksikal yang bersifat umum seperti kata mahasiswa ini dikenal
sebagai anggota yang tidak bertanda dari pasangan itu. Dalam diagram anggota
yang tidak bertanda ini diberi tanda 0 atau ±, sedangkan anggota yang lebih
khusus dikenal sebagai anggota yang bertanda. Dalam diagram diberi tanda +
memiliki ciri itu.
Pada contoh di atas ada pasangan keraton dan istana. Kata keraton lebih
bersifat khusus karena hanya berciri [+raja] seadngkan kata istana lebih bersifat
umum karena dapt berciri [+raja] dan sekaligus berciri [-raja].
Kedua, ada kata atau unsusr leksikal yang sukar dicari pasangannya
karena memang mungkin tidak ada; tetapi ada juga yang mempunyai pasangan
lebih dari satu. Contoh yang sukar dicari pasangannya antar lain, kata-kata yang
berkenaan dengan nama warna. Selama ini kata putih memang dapat dipasngkan
dengan kata hitam (yang secara teknis ilmiah bukannya warna), tetapi nama-nama
warna lain tidak mudah untuk dicari pasangannya. Apakah merah pasanganya
putih, atau hitam, atau hijau, atau yang lainnya ? sukar dijawab, sebab kiranya
warna diatur dalam suatu spectrum yang berkesinambungan dan sebagian dari
cirri-cirinya saling bertumpang tindih. Orang Inggris jika ditanya tentang warna
darah akan menyebutnya red (merah); dan kalau ditanya warna matahari terbenam
ada yang mengatakan red, ada yang mengatakan orange. Kiranya memang warna
red dan orange saling berkesinambungan dan ada sebagian unsure red dan orange
yang saling bertumpang tindih ininlah yang merupakan warna matahari terbenam.

Dalam bahasa Indonesia pun kita tidak tahu mau mempertentangkan

106
merah dengan apa ? Kalau ada yang mempertentangkan merah dengan putih tentu
karena terpengaruh dengan wama bendera Sang DwiWarna atau Sang Merah
Putih . Bukan karena merah memang bertentangan dengan putih. Dalam
pertentangan antara warna gelap dan warna terang, maka sesungguhnya yang
dipertentangkan bukan warna ltu, melainkan keadaan gelap dan terangnya. Begitu
juga antara merah rua dan merah muda; yang dipertentangkan bukan warna
merahnya, melainkan keadaan tua dan mudanya. Merah tua Lebih gelap
sedangkan rnerah muda lebih terang.
Contoh kata atau unsur leksikal yang pasangannya lebih dari satu adalah
kata berdiri. Kata berdiri bukan hanya bisa dipertentangkan dengan kata
duduk,tetapi dapat juga dengan kata tiarap, rebah, tidur,jongkok, dan berbaring.

Ketiga kita seringkali sukar mengatur cirri-ciri semantik itu secara


bertingkat, mana yang lebih bersifat umum, dan mana yang lebih bersifat khusus.
Umpamanya ciri [jantan] dan [dewasa], mana yang lebih bersifat umum jantan tau
dewasa. Bisa jantan tetapi bisa pula dewasa, sebab tidak ada alas an bagi kita
untuk menyebutkan cirri [jantan] lebih bersifat umum dari pada cirri (dewasa),
atau juga sebaliknya, karena cirri yang satu tidak menyiratkan ciri maknayang
lain. Oleh karena itu, keduanya [jantan] dan [dewasa], tidak dapat di tempatkan
dalam suatu hierarki. Keduanya dapat di tempatkan sebagai unsure yang ‘lebih
tinggi dalam diagram yang berlainan. Semakin kedua diagram berikut.

107
Catatan: Istilah 'buyung" dan "upik,' sengaja dipakai untuk mencari
padanan boy (buyung) dan girl (upik). Ciri - ciri semantik yang tidak dapat
ditempatkan secara kierarkial di antara sesamanya seperti pada ‘Jantan'
dan'dewasa' di atas dikenal sebagai ciri - ciri penggolongan silang.

Walaupun analisis komponen makna ini dengan pembagian biner banyak


kelemahannya, tetapi cara ini banyak mimberi manfaat untuk memahami makna
kalimat. Para tata bahas awan tranform asional juga telah menggunakan teknik ini
sehingga minat terhadap analisis komponen makna ini menjadi meningkat. Malah
pemah disarankan agar daftar kosa kata yang dilampirkan pada tata bihasa
transformasi itu dilengkapi dengan sejumlah ciri semantiknya untuk dapat
dipersamakan dan diperbedakan antara yang satu dengan yang lainnya.
Umpamanya kalau kata benda warung, kebudayaan, dukun, anjing, dan Jakarta
diberi ciri-ciri semantiknya, maka akan kita dapati daftar
sebagai berikut :

warung
+ umum
+.konkret
- insan
- hidup
kebudayaan
+ umum
- konkret
- insan

108
- Ndup
dukun
+ umum
+ konkret
+ insan
+ hidup
anjing
+ umum
+ konkret
- insan
+ hidup
Jakarta
-umum
+ konkret
- dukun
- hidup

dalam bagian berikut akan Nampak lebih jelas persamaan dan perbedaan ciri-
ciri semantik kelima kata itu

ciri umum konkret insan hidup


Warung + + - -
Kebudayaan + - - -
Dukun + + + +
Ajng + + - +
Jakarta - + - -

Daftar kata-kata di atas adalah kata-kata dari kelas nomina. Bagaimana


dengan kata-kata dari kelas verba, kelas ajektiva kelas lainnya. Itu pun dapat juga
diberi ciri-ciri semantiknya. Kita ambil contoh kata-kata dari kelas verba makan,
manulis, dan terbit. Kata makan makan memiliki cirri+ hidup,+ makhluk, +
transitif, + tindakan; kata menulis memiliki ciri + makhluk, + Intransitif, + proses.
Di sini memang kita sukar menerapkan analisis biner ini. Tetapi ciri-ciri
makna itu bisa diperinci untuk menentukan persamaan dan perbedaannya. Kata
makan itu bisa berciri makhluk hidup. Artinya kata tersebut berkenaan dengan
manusia kata tersebut berkenaan dengan manusia dan juga binatang. Tetapi kata
menulis hanya berkenaan dengan manusia, tidak dengan binatang. Sebaliknya kata
terbit tidak berkenaan dengan manusia maupun binatang, melainkan hanya

109
bertenaan dengan benda lain. Karena itu kalirnat * Dia terbit dari balik pintu dan *
Harimau itu terbit dari semak- semak tidak terterima. Tetapi kalimat matahari
terbit dari barik bukit bisa diterima.
Analisis semantik kata yang dibuat seperti di atas tentu banyak memberi
manfaat dalam memahami makna-makna kalimat; tetapi pembuatan daftar kosa
kata dengan disertai ciri-ciri semantiknya secara lengkap bukanlah pekerjaan yang
mudah sebab memerlukan ketelitian, waktu, dan tenaga yang cukup besar.

3. Kesesuaian Semantis dan gramatis


Seorang bahasawan dapat memahami dan menggunakan bahasanya bukanlah
karena dia menguasai semua kalimat yang ada di dalam bahasanya itu, melainkan
karena adanya unsure kesesuaian atau kecocokan cirri-ciri semantik antara unsure
leksikal yang satu dengan unsure leksikal yang lain. Umpamanya, antara kata
wanita dan mengandung ada kesesuain ciri semantik. Tetapi antara kata jejaka
dan Mengandung ada kesesuaian ciri semantik. Tetapi anfara kata jejaka dan
mengandung tidak ada kesesuaian ciri itu. Mengapa demikian ? karena pada kata
wanita ada ciri (+mengandung) sedangkan pada kata jejaka ada ciri (-
mengandung).

ciri Wanita jejaka


Insan + +
mengandung + _

Begitu pula antara kata makan dan bakso, jelas ada kesesuaian cirri. Tetapi
antara makan dan kursi tidak ada kesesuaian cirri itu. Kata bakso mengandung
cirri (+makanan) sedangkan kursi berciri (-makanan).
ciri bakso Kursi
makanan + -

Maka wajarlah kalau kalimat Nenek makan bakso dapat diterima; tetapi kalimat
*Nenek makan kursi tidak dapat ditsrima.

110
Kesesuaian ciri ini berlaku bukan hanya pada unsur-unsur leksikal saja
tetapi juga berlaku antara unsur leksikal dan unsur gramatikal. Umpamanya, kata
seekor hanya sesuai dengan kata, ayam tetapi tidak sesuai dengan kata ayam-
ayam, yaitu bentuk roduplikasi dari kata ayam. Dengan demikian kalimat Nenek
membeli seekor ayam tidak dapat diterima; tetapi kalimat *nenek membeli seekor
ayam-ayam tidak dapat diterima. Kata seekor sesuai dengan kata ayam karena
keduanya mengandung ciri (+tunggal); sebaliknya kata seekor tidak sesuai dengan
ayam-ayam karena kata seekor berciri makna (+tunggal) sedangkan ayam-ayam
berciri makna (-tunggal).

ciri seekor Ayam Ayam-ayam

tunggal + + -

Bagaiaman denga kata seekor dan guru?. Kata seekor dan guru tidak
mempunyai kesesuaian karena kata guru berciri makna (+manusia) sedangkan
kata seekor berciri makana (-manusia). Kata seekor hanya sesuai dengan kata
yang berciri (-manusia0, misalnya ayam dan kambing. Tetapi kata ayam ini pun
tidak sesuai dengan kata seorang karena kata seorang berciri (+manusia).
Perhatikan!

ciri guru seekor ayam seorang

tunggal + - - +

Adanya keseuaian unsure-unsur leksikal dan integritasnya dengan unsure


gramatikal sudah banyak diteliti orang sejalan dengan pesatnya penelitian di
bidang semantik sejak tahun enam puluhan. Para ahli tata bahasa generative
semantik seperti chafe (1970) dan fillmore ( 1971), malah berpendapat setiap

111
unsure leksikal menagndung ketentuan-ketentuan penggunaannya yang sudah
terpateri yang bersifat gramatikal dan bersifat semantic. Ketentuan-ketentuan
gramatikal memberikan kondisi-kondisi gramatikal yang berlaku jika suatu unsur
gramatikal hendak digunakan. Umpamanya kata kerja makan dalam penggunaan
memerlukan adanya sebuah subyek dan sebuah objek (walaupun disini objek ini
bisa dihilangkan).

Subjek MAKAN objek

Lalu, ketentuan-ketentuan semantic menunjukkan ciri-ciri semantic yang


harus ada di dalam unsure-unsur leksikal yang bersangkutan yang disebut di
dalam ketentuan gramatikal itu. Kata makan diatas, misalnyam, menyiratkan
bahawa subjeknya harus mengandung cirri makan (+bernyawa) dan objeknya
mengandung cirri makna (+makanan). Jadi:

Subjek MAKAN objek

(+bernyawa) (+makanan)

Oleh karena itulah kalimat adik makan dendeng atau kucing makanan
dendeng dpat diterima, sebab adik maupun kucing mengandung cirri makan
(+bernyawa) dan dendeng mengandung cirri mana (+makanan). Tetapi kalimat *
pinsil makan dendeng dan kalimat *adik makan lemari tidak dapat diterima karena
kata pensil pada kalimat kedua mengandung ciri makana (-makanan). Jadi, tidak
dapat diterimanya kedua kalimat itu bukanlah karena masalah gramatikal,
melainkan karena masalah semantik.
Untuk lebih memahami adanya keterkaitan cirri-ciri semantik dan
ketentuan-ketentuan gramatikal ini, mari kita lihat kata kerja membaca. Kata kerja
membaca ini dalam penggunaannya memerlukan hadirnya sebuah subjek yang
berupa sebuah nomina atau frase nomina berciri makna (+manusia) dan sebuah
objek yang berciri makna (+bacaan) atau (+tulisan).

112
Subjek MEMBACA objek

(+manusia) (+bacaan)

Oleh karena itu, kalimat bupati membaca Koran dapat diterima karena kata
bupati berciri makna (+manusia) dan Koran berciri makna (+bacaan). Sebaliknya
kalimat * kucing membaca Koran dan kalimat *bupati membaca pinsil tidak dapat
diterima karena kata kalimat kedua berciri makna (-bacaan).
Kalau kalimat adik makan dendeng dan kucing makan dendeng sama-sama
dapat diterima, lalu bagaimana dengan kalimat* adik makan tikus dan kucing
makan tikus? Kiranya di sini diperlukan pula adanya penjelasan mengenai cirri
(makanan) untuk makhluk bernyawa manusia sedngkan tikus memiliki cirri
(makanan) untuk makhluk bernyawa bukan manusia. Lebih khusus lagi untuk
kucing. Rumput juga bercieri (makanan) untuk makhluk bernyawa bukan
manusia; khusunya binatang memamah biak (kuda, sapi, dan kambing) secara
Khusu; dendeng, tikus, dan rumput memiliki cirri:

Dendeng tikus rumput


(+manusia) (+kucing) (+kuda)

Seperti kata Langendoen (1970)b, kita sebenarnya dapat saja mengganti subjek
maupun objek dengan apa saja, seperti yang biasa kita lakukan dalam kalimat-
kalimat metaforis atau figurative, tanpa mengubah arrti kalimat itu. Misalnya
dlam kalimat pucuk kelapa melambai-lambai; di sini kata pucuk kelapa ditafsirkan
secara personifikasi sebagi manusia. Tafsiran ini terjadi adalah karena kata kerja
melambai-melambai, dan bukan karena arti kata benda pucuk kelapa itu sendiri.
Bagaiman dengan kata uang pada kalimat pimpinan itu banyak makan uang
rakyat? Secara “wajar” penggunaan kata uang pada kalimat tersebut tidak dapat
dterima sebab kata uang berciri makna (-makanan). Namun secara figuratif bisa
saja diterima sebab uang itu ditafsirkan sebagai makanan secara kias. Dan

113
penggunaan kata secara figurative ini dalam kehidupan kita memang hal yang
biasa.
Kalau subjek dan objek dapat diganti dengan apa saja tanpa mengubah arti
dan struktur kalimat6 tersebut, meskipun juga dalam penggunaan secara metaforis
atau figuratf, tetapi kalau bentuk atau struktur gramatikal predikanya yang diubah,
maka makna dan struktur kalimat itu akan berubah. Sebagi contoh mari; kita lihat
kata kerja beredar, mengedarkan dan di edarkan dalam kalimat-kalimat berikut;

(a) Buletin itu sudah beredar


(b) Pemerintah mengedarkan buletin itu
(c) Bulletin itu diedarkan oleh pemerintah

Kata kerja beredar dalam kalimat (a) hanya memerlukan adanya subjek,
dan tidak memerlukan kehadiran objek atau lainnya karena sifatnya yang
intransitif. Kata kerja mengedarkan pada kalimat (b) memerlukan hadirnya sebuah
subjek pelaku dan sebuah objek penderita karena sifatnya yang aktif transitif.
Sedangkan kata kerja diedarkan memrlukan hadirnya sebuah subjek penderita
dan sebuah objek pelaku karena sifatnya yang pasif transitif.
Subjek pada kalimat (a) haruslah berciri (+kata benda, + konkret, +bacaan,
+ relative kecil) menyebabkan kata jembatan atau gedung, disamping hambatan
ciri lain, tidak dapat menjadi subjek dalam kalimat itu. Lain halnya dengan subjek
pada kalimat (b) yang harus berciri (+manusia). Oleh karena itu, kata kucing yang
berarti (-manusia) tidak dapat menjadi subjek pada kalimat (c) ? Coba Anda
pikiran sendiri.
Untuk lebih memahami persoalan di atas, sebagai ilustrasi, perhatikan kata
kerja membelikan dan kata kerja tiba. Kata kerja membelikan membutuhkan
hadirnya sebuah subjek berciri (+manusia), dan sepatu baru adalah objek kedua.
Kata kerja membelikan tidak sama dengan kata kerja membelui yang hanya
mengharuskan hadirnya sebuah objek saja seperti Nampak dalam kalimat ibu
membeli sepatu baru. Sedangkan frase untuk adik yang berfungsi sebagai
keterangan tujuan kehadirannya bersifat opsinal.

114
Kta kerja tiba selain mengharuskan hadirnya sebuah subjek pelaku dan
juga mengaharuskan hadirnya sebuah keterangan berciri (+lokasi), seperti
Nampak pada kalimat Beliau tiba dipasar. Kehadiran frase di pasar ini bersifat
agak wajib karena kata kerja tiba itu juga memiliki cirri makna (+lokasi).
….. membaca…..
….. makan…..
Dalam struktur seperti itu, membaca mempunyai perilaku hanya mau
diikuti oleh subjek yang diisi oleh satuan leksikal yang mempunyai komponen
makna (+) insane yaitu manusia dan hanya mau diikuti oleh objek yang diisi
satuan leksikal yang mempunyai komponen makna (+) manusia, (+) teks. Oleh
karena itu, kalimat berikut ini dapat diterima.
Ayah membaca Koran
Fatimah membaca buku.
Ali membaca surat.
Dia membaca novel.
Mereka membaca pengumuman.

Subjek yang diisi oleh leksem ayah, Fatimah, ali, dia, dan mereka dapat
mendampingi verba membaca karena satuian lekssikal itu mempunyai komponen
makna (+) manusia. Begitu juga, buku, surat, novel, dan pengumuman (teks)
dapat mendampingi verba membaca karena leksem-leksem itu mempunyai
komponen makna (+) teks. Sebaliknya, kalimat berikut ini tidak dapat diterima.

Kursi membaca Koran.


S P O
Sepatu membaca buku.
Kuda membaca surat.
Pisang membaca novel.
Kalimat-kalimat itu tidak dapat diterima karena tidak ada kesesuaian
semantik antra satuan leksikal pengisi subjek dengan satuan leksikal pengisi
predikat.
Satuanleksikal pengisi predikat adalah membaca (verba) yang hanya mau
didampingi oleh subjek yang diisi oleh satuan leksikal yang mempunyai
komponen makna (+) manusia. Kursi, sepatu, kuda, dan pisang adalah satuan
leksikal yang mempunyai komponen makna (-) manusia. Secara gramatis,

115
kalimat-kalimat itu benar, tetapi secara semantik tidak benar. Secara semantic,
kursi, sepatu, kuda, dan pisang tidak mempunyai perilaku membaca sebagaiman
yang dilakukan oleh insane manusia. Kalimat yang baik harus memenuhi
kecocokan gramatis dan kecocokan semantis.

4. Keambiguitasan Makna atau Ketaksaan Makna


Keambiguitasan atau kateksaan makna adalah kegandaan makna satuan
bahasa yang disebabkan oleh struktur gramatikal satuan bahasa itu sehingga
memungkinkan penafsiran ganda bagi pendengar atau penyimak (Kemson, 1995:
107-110). Contoh, kalimat dukun melairkan di tengah jalan adalah ambigu karena
kalimat itu mengandung penafsiran ganda, pertama, kalimat dukun melahirkan di
tengah dapat ditafsirkan ‘ orang yang mempunyai profesi sebagai dukun khhusus
menangani orang melahirkan sedang berada di jalan. Kedua kalimat dukun
melahirkan di jalan dapat ditafsirkan ‘dukun sedang melahirkan di tenagh jalan’.
Struktur gramatikal dukun melahirkan di tengah jalan (terutama dalam bentuk
tulis) memungkinkan pendengar atau pembaca dapat secara bebas meletakkan
jeda dan intonasi sesuai kesan yang ditangkapnya. Pemberian jeda dan intonasi
yang berebda menimbulkan makan yang berbeda. Untuk mengatasi
keambiguitasan makna, dapat dilakukan perbaikan struktur gramatikal kalimat itu
dengan (1) menambah satuan leksikal tertentu atau (2) memberikan tanda baca
tertentu yang menunjukkan cara pelafataln tertentu. Kalau penutur ingin
mengungkapkan maksud ‘orang yang melahirkan’. Dapat ditambahkan frasa
sedang berada di jalan. Cara yang lain adalah dengan meletakakan tanda hubung
(-) antara kata dukun dan melahirkan sehingga kalimat itu menjadi dukun
melahirkan sedang dijalan. Dengan meletakkan tanda hubung (-) antara kata
dukun dan melahirkan merupakan satu kesatuan yang berupa frasa nominal dukun
melahirkan yang berfungsi sebagai subjek di dalam kalimat dukun-melahirkan di
jalan. Sebaliknya, jika yang dimaksudkan penutur adalah ‘seorang dukun yang
sedang melahirkan di jalan’, struktur kalimat itu dapat diubah dengan meletakkan
kata sedang di antara kata dukun dan melahirkan sehingga menjadi dukun sedang
melahirkan di jalan.

116
Contoh satuan bahasa yang ambigu yang lain adalah, gambar tono, orang
malasa lewat digang senggol;ini jambu monyet; kucing makan tikus mati di
dapur.satuanbahasa tono dapat ditafsirkan sebagi (1) ‘gambar wajah tono’, (2)
‘gambar milik tono (gambarnya bisa wajah Tono Sendiri atau gambar orang lain
(3)’ gambar yang dibuat oleh Tono’. Kalimat orang malas lewat gang senggol
dapat di tafsirkan (1) ‘ orang yang mempunyai sifat malas sedang lewat di gang
senggol’; 92) ‘orang enggan lewat di Gang senggol’. Kalimat ini jambu monyet
dapat di tafsirkan (1) ‘ini buah-buahan yang namanya jambu-monyet’; (2)
‘ungkapan umpatan seseorng kepada orang lain yang menyebutkan bahwa yang di
dekatnya adalah buah jambu kepada orang yang disumpahinya sebagi nmonyet’.
Kalimat kucing makan tikus mati di daput’, (3) ‘ kucing makan tikus akhirnya
kucing itu mati di dapur’. Kalimat-kaliamt yang mabigu itu, dapat diefektifkan
dengan menanmbahkan kata pada posisi tertentu atau memebrikan tanda baca
tertentu pada kalimat itu.
Perbedaan dan persamaan antra kembiguitasan dan polisemi. Ambiguitas
adalah kegandaan makna karena struktur satuan gramatikal yang menimbulkan
penafsiran ganda seperti yang sudah dicontohkan itu. Satuan leksikal yang
membentuk kalimat itu sbenarnya bermakna tunggal. Keambiguitasan itu muncul
bukan karena makna satuan leksikal itu ganda, tetapi struktur gramatikal itulah
yang menimbulkan makna ganda. Contoh, kalimt orang malas lewat gang senggol
adalah ambigu, tetapi makna setiap leksikal itu sebenarnya tidak ganda, yaitu
orang hanya bermakna ‘ manusia’, malas bermakna ‘sifat enggan bekerja’, lewat
bermakna ‘ berjalan melalui’ di adalah ‘preposisi yang memarkahi tempat’, Gang
senggol’. Kegandaan makna timbul ketika satuan leksikal itu ditata dalam struktur
gramtika teretntu, yaitu orang diletakkan berderet dengan malas dan lewat
sehingga menjadi orang malas lewat yang dapat ditafsirkan (1) ‘orang yang
mempunyai sifat malas lewat’, (2) ‘orang enggan lewat’. Sebaliknya, polisemi
adalah kegandaan makna yang faktornya adalh satuan leksikal (leksem atau
leksikal) itu sendiri yang bermakna ganda sebelum ditata dalam struktur
gramatikal tertentu. Contoh, satuan leksikal kepala, kepala sekolah, kepala kereta
api, kepala surat, kepalapaku adalah polisemi karena satuan leksikal itu dibentuk

117
menjadi kalimat tertentu, misalnya kepala sipenjual terbentur tembok; kepala
sekolah sedang memimpin rapat; surat resmi dari suatu lembaga selalu
menggunakan kepala surat, dan lain-lain. Persamaan antara keambiguitasan dam
polisemi adalah sama-sama satu bentuk atau satu nama yang mepunyai makna
lebih dari satu. Ambiguitas mengurangi keefektifan berbahasa dalam ragam
keseharian dan ragam ilmiah. Namun demikian, ambiguitas ini diperolahkan
dalam bahasa ragam sastra karena karya sastra boleh ditafsirkan secara berbeda
tergantung daru sudut opandang penafsiran secara berbeda tergantung dari sudut
pandang penafsirannya polisemi tidak mengurangi kefektifan bahasa, baik bahasa
ragam satra, menjelaskan bahwa polisemi sangat dibutyuhkan karena dalam
pemakaian bahasa membutuhkan satuan leksikal yang bernuansa makna agar
dapat mengungkapkan konsep secara tepat dan nilai rasa yang cocok.

a. Redundansi
Redundansi adalah pemakaian satuan bahasa yang berlebihan dalam
struktur kalimat (Chaer, 1995: 105-106). Dengan kata lain, redundandsi adalah
penggunaan lebih darai satu satuan bahsa untuk mengungkapkan satu makna
tertentu yang sebenarnya dapat diungkapkan dengan satu bentuk saj. Contoh,
kalimat para majelis guru-guru sedang rapat adalah redundan karena terdapat
penggunaan kata-kata yeng berlebihan didalam kalimat itu .kata para bremakna
‘banyak’, majelis juga berarti’banyak’, dan guru-guru juga berarti ‘banyak’,
dalam kalimat itu, makna banyak diungkapkan dengan tiga kata, yaitu para,
majelis, dan guru-guru. Semestinya, ‘banyak’ cukup diungkapkan dengan satu
kata diantara tiga kata itu sehingga menjadi para guru sedang rapat; majelis guru
sedang rapat; atau guru-guru sedang rapat. Redundansi ini hendaknya dihindari,
baik dalam bahasa ragam keseharian, sastra, maupun ilmiah.
Contoh redundansi yang lain adalah, yahya tiba di rumah pukul 23.00
malam. Pukul 23.00 malam redundan karena pukul 23.00 itu sudah pasti
bermakan ‘ malam’. Pukul 11.00 bermakna pasti bemakna ‘[pukul sebelas siang’.
Kalimat yang redundan itu dapat diperbaiki dengan memperthankan pukul 23.00
dan menghilangkan malam atu dengan menghlangkan 23,00 dan

118
menggantikannya dengan sebelas malam sehingga kalimat itu menjadi (!0 Yahya
tiba di rumah pukul 23.00; atau (2) Yahya tiba di rumah pukul sebelas malam.
Kalimat Negara kitabangkrut disebabkn karena orang berlomba-
lomba mengorupsikan kekayaan rakyat dengan cara masing-masing tergolong
redundan karena menggunakan kata yang berlebihan. Penggunan kata disebabkan
dank arena dalam struktur kalimat tersebut tergolongberlebihan. Dalam struktur
kalimat tersebut, cukup digunakan satu di antara dua kata itu sehingga struktur
kalimat itu menjadi (1) Negara kita bangkrut disebabkan orang berlomba-lomba
mengorupsi kekayaan rakyat dengan cara masing-masing; atau (2) Negara kita
bangkrut karena orang berlomba-lomba mengorupsi kekayaan rakyat dengan
cara masing-masing.
Contoh bentuk redundan yang lain adalah sebagi berikut pemerintah harus
selalu dikontrol agar supaya tidak menyimpang dari konstitusi; rakyat merindukan
pemimpin yang paling terjujur; Didik memakai baju berwarna biru, kalimat-
kalimat itu redundan.

b. Kerancuan Makna
Kerancuan makan yang lazim disebut juga kontaminasi adalah makna
satuan bahasa yang tidak bisa diterima oleh pemakai bahasa karena penggabungan
satuan bahasa yang tidak lazim atau tidak masuk akal. Contoh, kambing
mengeong, sapi meringik, sapi berkotek, tangan berkedip, lidah mendengar,
adalah satuan bahsa yang bermakna rancu ataumengalami kontaminasi makna.
Keracunan makna terjadi karena satuan leksikal digabungkan dengan satuan
leksikal yang bukan kolokasinya. Contoh, semestinya kambing berkolokasi
dengan mengembik, sapi berkolokasi dengan melenguh, tangan berkolokasi ,
antara lain dengan memegang, lidah berkolokasi dengan mengecap sehingga
bentuk yang bisa diterima adalah kambing mengembik, sapi melengh, tangan
memegang, dan lidah mengecap.
Kerancuan makna yang disebabkan penggabungan makna klausa yang
tidak berhubungang sdapat dilihat pada contoh berikut ini. Kekeringan melanda
Sumatera Barat karena banyak mahasiswa menulis skrispi. Kalimat itu rancu

119
karena tidak ada hubungan yang logis antara makna klausa utama kekeringan
melanda Sumatera Barat dengan klausa utama kekeringan melanda Sumatera
Barat dengan menulis skripsi. Dlam sebuah kalimat majemuk tak setara yang
mempunyai hubungan makna akibat-sebab, klausa yang maknanya sebagi akibat
harus sesuai dengan sebabnya. Kalimat yang rancu itu, antara lain dapat diperbaiki
menjadi (1) kekeringan melanda Sumatera Barat karena hutan lindung di daerah
itu gundul; atau(2) rental computer laris karena banyak mahasiswa sedang
menyusun skripsi. Contoh keracunan makna yang lain adalah perusahaan
membutuhkan orang-orang yang professional dan jujur, tetapi dia sulit
ditemukan; pembantu saya setiap pagi dicuci piring; pertandingan bulu tangkis
itu dimenagkan oleh Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 1988. Semantik: Pengantar Studi tentang Makna. Bandung: Sinar


Baru.
Chaer, Abdul. 1995. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka
Cipta.
Cruse, D.A. 1986. Lexikal Semantics. Cambridge: Cambridge University Press.
Djajasudarma, fatimah. 1993. Semantik I: Pengantar ke Arah Ilmu Makna.
Bandung: Eresco.
Kemson, Ruth M. 1977. Teori Semantik. Diterjemahkan Abdul Wahab pada 1995.
Jakarta: Airlangga University Press.
Keraf, Gorys. 1996. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Ogden dan Richard. 1923. The Meaning of Meaning. London. Routledge &
Kegan Paul Ltd.
Pateda, Mansur.1986. Semantik Leksikal. Ende Flores: Nusa Indah.
Ullman, Stephen. 1972. Pengantar Semantik. Terjemahan Sumarsono (1985).
Singaraja: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Press.

120
BAHAN AJAR/HANDOUT

Bahan Kajian : Perubahan Makna Diksi


Kode/ SKS : IND 005/3 SKS
Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas : Bahasa dan Seni
Pertemuan Ke- :13 dan 14
Dosen : Tim Dosen Pengampu Mata Kuliah

Learning Outcomes (capaian Pembelajaran) Mata Kuliah terkait KKNI:


Mampu menemukan dan menganalisis perubahan makna dan dapat
mengaplikasikan penilaian kaa (diksi) dalam berbagai tlisan dan pembcaraan
Soft skills/ karkter: berpikir kritis, sikap positif, dan kreatif

Materi:
1. Perubahan makna
2. Diksi dan gaya bahasa

Materi

1. Perubahan Makna
Dalam pembicaraan terdahulu sudah disebutkan bahwa makna sebuah kata
secara sinkronis tidak akan berubah. Pernyataan ini menyiarkan juga pengertian
bahwa kalau secara sinkronis makna sebuah kata tidak akan berubah, maka secara
diakronis ada kemungkinan bisa berubah. Jadi, sebuah kata yang pada suatu waktu
dulu bermakna ‘A’, misalnya, maka pada waktu sekarang bisa bermakna ‘B’ dan
pada suatu waktu kelak mungkin bermakna ‘C’ atau bermakna ‘D’. sebagai
contoh kita lihat kata sastra yang paling tidak lelah tiga kali mengalami perubahan
makna. Pada mulanya kata sastra ini ‘tulisan’ atau ‘huruf’; lalu berubah menjadi
bermakna’buku’; kemudian berubah lagi menjadi bermakna ‘buku yang baik
isinya dan baik bahasanya’; dan sekarang yang disebut karya sastra adalah karya
yang bersifat imiginatif. Karya-karya yang bukan imaginatif kreatif seperti buku

121
Sejarah, buku agama. Dan buku matematika, bukan merupakan karya sastra.
Pernyataan bahawa makna sebauh kata secara sinkronis dapat berubah
menyiratkan pula pengertian bahwa tidak setiap kata maknanya harus atau akan
berubah secara diakronis. Banyak kata yang maknanya sejak dulu sampai
sekarang tidak pernah berubah. Malah jumlahnya mungkin lebih banyak daripada
yang berubah atau pernah berubah.
Persoalan kita sekarang adalah mengapa makna kataitu dapat berubah; apa
yang menyebabkan terjadinya perubahan itu; dan bagaimana pula wujud
perubahan itu. Berikut ini akan dibicarakan sebab-sebab perubahan itu serta
wujud atau macan perubahannya.

1.1 sebab-sebab perubahan


Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan makna sebuah kata.
Di antaranya adalah:
(1) Perkemabngan dalam Bidang Ilmu dan Teknologi
Perkembangan dalam bidang ilmu kemajuan dalam bidang teknologi dapat
menyebabkan terjadinya perubahan makna sebuah kata. Disini sebuah kata yang
tadinya mengandung konsep makna mengenai sesuatu yang sederhana , tetap
digunakan walaupun konsep kmakna yang dikandung telah berubah sebagi akibat
dari pandangan baru, atau teori baru dalam satu bidang ilmun atau sebagai akibat
dari pandangn baru, atau teori baru dalam satu bidag ilmu atau sebagai akibat
dalam perkembangn tekonologi. Perubahan makna kata sastra dari makna ‘tulisan’
sampai pada makna’karya imaginatf’ adalah salah satu contoh perkemabngan
bidang keilmuan. Pandangan-pandangn abaru atau teori baqru mengenai sastra
menyebabkan makna kata sastra yang tadinya bermakna’ buku yang baik isinya
dan baik bahasanya’ menjadi berarti’ karya yang bersifat imaginative kreatif.
Sebagi akibat perkembangan teknollogi kita lihat kata berlayar yang ada pada
awalnya bermakna ‘perjalanan di laut (di air) dengan menggunakan perahu atau
kapal yang digerak dengan tenaga layar’. Walaupun kini kapal-kapal besar tidak
lagi menggunakan layar, tetapi sudah menggunakan tenaga mesin, malah juga
tenaga nuklir, namun kata berlayar masih digunakan. Nama perusahannya pun

122
masih bernama pelayaran seperti pelayaran nasional Indonesia (PELNI). Malah
lebih jauh lagi bagi umat Islam di Indonesia kata berlayar diberi makna ‘pergi
menunaikan ibadah haji ke mekkah’. Dan kini pun, meskipun perjalanan ke
mekkah sudah tidak lagi menggunakan kapal laut, sudah diganti dengan kapal
terbang, massih terdengar ucapan “ Insya allah tahun depan kami akan berlayar’
Belum terdengar ucapan ‘ Insya allah tahun depan kami akan terbang’.
Contoh lain terjadi pada kata kereta api. Walaupun kini, sebagi akibat
perkemabngan teknologi, sudah tidak digunakan lagi lokomatif bertenaga uap,
tetapi perusahaan kereta api itu masih menggunakan nama perusahaan Jawatan
Kereta Api (PJKA). Memang ada juga usaha untuk menggunakan istilah KRD
(kereta rel diesel) dan KRL (kereta listrik), namun nama kereta api itu masih
digunakan secara umum.
Satu contoh lagi adalah kata manuskrip yang pada mulanya berarti ‘tulisan
tangan’. Kini kata tersebut masih digunakan untuk menyebut naskah akan dicetak,
walaupun hampir tidak ada lagi naskah yang ditulis tangan karena sudah ada
mesin tulis.
(2) Perkembangan Sosial dan Budaya
Perkembangan dalam bidang sosial kemasyarakatan dapat menyebabkan
terjadinya perubahan makna. Di sini sama dengan yang terjadi sebagi akibat
perkemabngan dalam bidang ilmu dan teknologi,sebuah kata yang mulanya
bermakna ‘A’, lalu berubah menjadi bermakna ‘ B’ atau ‘C’. Jadi, bentuk katanya
tetap sama tetapi konsep makna yang dikandungnya sudah berubah. Misalny kata
saudara dalam bahasa sanskerta bermakna ‘seperut’ atau ‘satu kandungan’. Kini
kata saudara, walaupun masih juga digunakan dalam arti ‘ orang yang lahir dari
kandungan yang sama ‘ seperti dalam kalimat saya mempunyai seorang saudara
disana, tetapi digunakan juga menyebut atau menyapa siapa saja yang dianggap
sederajat atau berstatus sosial yang sama. Misalnya dalam kalimat surat saudra
sudah saya terima, atau kalimat di mana saudara dilahirkan?.
Selain kata saudara hampir semau kata atau istilah perkerabatan seperti
bapak, ibu, kakak, adik dan nenek telah pula digunakan sebagai kata sapaan untuk
menyebut atau menyap siapa saja yang pantas disebut adik, dan pantas disebut

123
nenek. Malah kata bapak dan ibu tidak hanya digunakan untuk menyebutkan atau
menyapa orang menurut usianya yang pantas disebut bapak atau ibu, tetapi juga
menyebut atau menyapa orang yang mempunyai kedudukan atau status sosial
yang lebih tinggi, walaupun usianya mungkin jauh lebih muda daripada usia orang
yang menyapa atau menyebutnya. Mengapa hal ini bisa terjadi? Di sinilah
barangkali sebab persoalnanya. Dulu sebelum zaman merdeka (dan juga beberapa
tahun setelah kemerdekaan) untuk menyebut dan menyapa orang yang lebih tinggi
status sosialnya digunakan kata tuan untuk laki-laki dan nyonya untuk perempuan.
Kemudian setelah kemerdekaan dan timbulnya kesadaran bahwa sebutan tuan
berbau kolonial kita menggantinya dengan kata bapak dan ibu. Dewasa ini kata
tuan sudah hampir tidak digunakan lagi. Kata bapak dan ibu ini memang berbeda
dengan kata kakak, adik, dan nenek yang memang digunakan terhadap orang yang
menurut usianya pantas disebut kakak, adik,dan nenek.
Contoh lain dari kata yang maknanya telah berubah sebagai akibat perubahan
sosial kemasyrakatan adlah kata sasrjana. Dulu menurut bahsa jawa kuno, kata
Sarjana ini berarti orang pandai atau ‘Cendikiawan’. Sekarang kata Sarjana
berarti orang yang sudah lulus dari perguruan tinggi, meskipun barangkali
lulusnya Cuma dengan indeks prestasi yang pas-pasan, serta kemampuna mereka
tidak lebih jauh dari seseorang yang bukan lulusan perguruan tinggi. Dewasa ini
seseorang yang walau bagaimanapun pandainya (sebagi hasil belajar sendiri) jika
tidak lulusan suatu perguruan tinggi tidak akan disebut sarjana, dn tidak berhak
memakai salah satu gelar sarjana.

(3) Perbedaan Bidang Pemakaian


Dalam bagian yang lalu sudah dibicarakan bahwa setiap bidang kehidupan
atau kegiatan memiliki kosa kata tersendiri yang hanya dikenal dan digunakan
dengan makna tertentu dalam bidang tersebut. Umpamnya dalam bidang pertanian
ada kata-kata benih, menuai, panen, menggarap, membajak, menabur, menanam,
pupuk, dan hama.dalam bidang pendidikan formal di sekolah ada kata-kata murid,
guru, ujian, menyalin,, menyontek , membaca, dan menghapal. Dalam bidang
agama islam kata-kata seperti imam, khotib, azan, halal, haram, subuh, puasa,

124
zakat, dan fitrah. Sedangkan dalam bidang pelayaran ada kata-kata seperti sauh,
berlabuh, haluan, buritan, nahkoda, palka, pelabuhan, dan juru mudi.
Kata-kata yang menjadi kosa kata dalam bidang-bidang tertentu itu dalam
kehidupan dan pemakaian sehari-hari dapat terbantu dari bidangnya; dan
digunakan dalam bidang lain atau menjadi kosa kata umum. Oleh karena itu,
kata-kata tersebut menjadi makna baru atau makna lain di samping makna
aslinya(makan yang beralaku dalam bidangnya). Misalnya menggarap yang
berasal dari bidang pertanian (dengan segala macam derivasiny), seperti Nampak
frase menggarap sawah, tanah garapan,dan petani penggarap, kini banyak juga
digunakan dalam bidang-bidang lain dengan makna’ mengerjakan’ seperti
Nampak digunakan dalam frase menggarap skripsi, menggarapusul para anggota,
menggarap generasi muda, dan menggarap naskah drama. Kata membajak dengan
segala bentuk derivasinya seperti pembajakan, dibajak, bajakan, pembajak, yang
berasal dari bidang pertanian, kini juga telah biasa digunakan dalam bidang lain
makna ‘melakukan dengan kekerasasan atau paksaan untuk memperoleh
keuntungan ‘seperti namapak dalam frase membajak pesawat terbang, buku
bajakan, dan kaset bajakan. Kata jurusan yang berasldari bidang lalu lintas dengan
makna ‘arah’, kii digunakan juga dalam bidang pendidikan dengan makna ‘seksi’
atau bagian bidang lmu seperti dalam frase fakultas sastra jurusan sastra
Indonesia, fakultas teknik jurusan elektro dan fakultas hokum jurusan pendata.
Contoh lain kata mengembleng yang berasal dari bidang pandai besi dan dengan
arti ‘menenmpa’kini dipakai juga dalam bidang politik dengan makna
‘memasukkan semangat’ seperti kita lihat dalam frase menggembleng generasi
muda, gemblengan yang berahasil dari pimpinan orde baru, dan mereka di
gembleng selama satu tahun
Dari contoh-contoh di atas sekali lagi bisa dikatakan bahwa karena kata-
akata itu digunakan dalam bidang lain, maka kata-kata itu jadi mempunyai arti
lain yang tidak sama dengan arti dalam bidang atau lingkungan aslinya. Hanya
perku dilihat makna asli yang digunakan dalam bidang asalnya. Kata-kata tersebut
digunakan dalam bidang lain secara metaforis, atau secara perbandingan. Kata

125
menggarap frase menggarap skripsi adalah digunakan secara metaforis,
sedangkan kata menggarap dalam frase menggarap sawah bukan secara metaforis.
Kesimpulan lainyang bisa ditarik dari uraian diats adalah bahwa makna kata
yang digunakan bukan dalam bidangnya itu dan makna kata yang digunakan di
dalam bidang asalnya masih berada dalam poliseminya karena makna-makna
tersebut masih salaing berkaitan atau masih ada persamaan antara makna yang
satu dengan makna yang lainnya.

(4) Adanya Asosiasi


Kata-kata yang digunakan diluar bidangnya, seperti dibicarakan diatas
masih ada hubungan atau pertautan maknanya dengan makna yang digunakan
pada bidang asalnya. Upamanya kata mencatut yang berasal dari bidang atau
lingkugan perbengkelan dan pertukangan mempunyai makna ‘bekerja dengan
menggunakan catut’. Dengan menggunakan catut ini maka pekerjaan yang
dilakukan, misalnya mencabut paku, menjadi dapat dilakukan dengan mudah.
Oleh karena itu, kalau digunakan dalam frase seperti mencatut karcis akan
memiliki makna ‘memperoleh keuntungan dengan mudah melalui jual beli karcis.
Agak berbeda dengan perunahan makna yang terjadi sebagai akibat
penggunaan dalam bidang yang lain, di sini makna baru yang muncul adalah
berkaitan dengan hal atau peristiwa lain berkenaan dengan kata tersebut.
Umpamanya kata amplop yang berasal dari bidang administrasi atau surat-
menyurat, makna aslnya adalah ‘sampul surat’. Ke dalam amplop itu selain bisa
dimasukkan surat tetapi bisa pula dimasukkan benda lain, misalnya uang. Oleh
karena itu, dalam kalimat Beri saja amplop maka urusan pasti beres kata amplop
di situ bermakna ‘uang’ sebab amplop yang dimaksud bukan berisi surat atau
tidak berisi apa-apa, melainkan berisi uang sebagi sogokan.
Asosiasi antara amplop dengan uang ini adalah berkenaan dengan wadah.
Jadi, menyebut wadahnya yaitu amplop tetapi yang dimaksud adalah isisnya, yaitu
uang. Contoh lain kalau kita masuk ke rumah makan dan setelah menghabiskan
secangkir kopi, lalu mengatakan minta secangkir lagi, maka pemilik atau pelayan
rumah makan itu sudah mengerti apa yang kita maksud. Dia tidak akan

126
memberikan satu cangkir kosong melainkan satu cangkir yang sudah berisi kopi
yang diseduh dengan air panas diberi gula dan sebagainya.
Selain asosiasi yang berkenaan denga wadah ada pula aosiasi yang berkenaan
dengan waktu. Misalnya pertanyaan 17 Agustus maksudnya tentu ‘perayaan hari
proklamsi kemerdekaan republic Indonesia’ karena proklamasi tersebut terjadi
pada tanggal 17 Agustus tersebut. Jadi di sini, yang disebut waktunya tetapi yang
dimaksud adalah peristiwanya. Contoh lain, upacara 1 oktober, tentu yang
dimaksud adalah upacara peringatan Hari Kesaktian Pancasila, karena pada
tanggal 1 oktober (1965) Pancasila yang menjadi dasar falsafah dan dasr Negara
kiat telah terbukti memiliki kesaktian yang luar biasa sehingga penyelewengan G
30 S/PKI dapat digagalkan.
Ada pula perubahan makna akibat asosiasi yang berkenaan dengan tempat
tetapi yang dimaksud adalah hal lain yang berkenaan dengan tempat tetapi yang
dimaksud adalah peristiwa pemberontakan PKI pada tahun 1948 di madiun. Kalau
guru-guru di Jakarta menyebutkan akan ke Senayan, tentu maksudnya adalah ke
kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan karena kantor tersebut terletak di
Senayan. Di Jakarta sering juga kita denganr ucapan “Baru Keluar dari cipinang “,
tentu maksudnya adalah baru keluar dari penjara atau lembaga pemasyrakatan
Cipinang kalau dikatakan “ kalau kau banyak melamun., bisa-bisa kau akan
dikirim ke Grogol”, tentu maksudnya dikirim kerumah sakit jiwa yang sejak dulu
terletak didaerah Grogol, Jakarta Barat.

(5) Pertukaran Tanggapan Indera


Alat indera kita yang lima sebenranya sudah mempunyai tugas-tugas
tertentu untuk menangkap gejala-gejala yang terjadi di dunia ini. Umpamanya rasa
pahit, getir, dan manis harus ditanggap oleh alat perasa lidah. Rasa panas, dingin,
dan sejuk harus ditanggap oleh alat perasa pada kulit. Gejala yang berkenaan
dengan cahaya seperti terang, gelap, dan remang-remang, harus dianggap dengan
alat perasa pada kulit. Gejala yang berkenaan dengan cahaya seprti terang, gelap,
dan remang-remang, harus ditanggap dengan alat indera mat; sedngkan yang
berkenaan dengan bau harus ditanggap dengan alat indera mata; sedngkan yang

127
berkenaan dengan bau harus ditanggap dengan alat indera penciuman, yaitu
hidung.
Namun, di dalam penggunaan bahasa banyak terjadi kasus pertukaran
tanggapan antara indera yang satu dengan indera yang lain. Rasa pedas, misalnya,
yang seharusnya ditanggap dengan alat indera pendengaran seperti Nampak dalam
ujaran kata-katanya cukup pedas. Atau kasar yang harus ditanggap dengan alat
indera perasa pada kulit, ditanggap oleh alat indera penglihatan mata, seperti
dalam kalimat tingkah lakunya kasar. Keadaan ini, pertukaran alat indera
penanggap, biasa disebut dengan istilah sinestesia. Istilah ini berasal dari bahasa
yunani sun artinya ‘sama’ dan aisthetikas artinya ‘nampak’. Contoh lain,
perhatikan kalimat-kalimat berikut:

- Suaranya sedap didengar


- Warnanya enak dipandang
- Suaranya berat sekali
- Bentuknya manis
- Lukisannya sangat rebut
- Kedengarannya memang nikmat

Sedap adalah urusan indera perasa lidah, tetapi dalam contoh di atas
menjadi tanggapan indera pendengaran; enak adalah juga urusan indera perasa
lidah, tetapi dalam contoh di atas menjadi tanggapan indera penglihatan yaitu
mata; suara adalah urusan indera pengdengaran tetapi dalam contoh di atas
menjadi urusan indera perasa. Begitu juga dengan contoh lain, manis, rebut, dan
nikmat yang dianggap oleh indera yang bukan seharusnya.
Dalam pemakaian bahasa Indoneisa secara umum banyak sekali terjadi
gejala senestisi ini. Bagaimana dengan frase biru tua dan merah muda, yang
menggabungkan warna (merah dan biru) dengan usia (tua dan muda)? Di sini
bukan merupakan gejala sinestesia karena tidak terjadi pertukaran tanggapan
indera. Yang terjadi di sini adalah gejala perbandingan. Biru tua adalah warna biru
gelap sedangkan biru muda adalah warna biru cerah (terang). Biru tua sama
dengan biru gelap, dan biru muda sama saja dengan biru gelap, dan biru muda
sama saja dengan biru terang.

128
(6) Perbedaan Tanggapan

Setiap unsure leksikal atau kata sebenrnya secara sinkronis telah mempunyai
makna leksikal yang tetap. Namun karena pandangan hidup dan ukuran dalam
norma kehidupan di dalam masyarakat, maka banyak kata yang menjadi memiliki
nilai rasa yang “rendah”, kurang menyenangkan. Di samping itu ada juga yang
menjadi memiliki nilai rasa yang “tinggi”, atau yang mengenakkan. Kata-kata
yang nilainya merosot menjadi rendah ini lazim disebut peyoratif, sedangkan yang
nilainya naik menjadi tinggi disebut amelioratif. Kata bini dewasa ini dianggap
peyoratif, sedangkan kata istri dianggap amelioratif, kata laki dianggap peyoratif
berbeda dengan suami yang dianggap amelioratif. Contoh lain kata bang (seperti
dalam bang dul) dianggap peyoratif: sebaliknya kata bung (seperti dalam bang dul
) dianggap amelioratif;

Apakah nilai rasa peyoratif dan amelioratif sebuah kata bersifat tetap? Tentu
saja tidak. Nilai rasa itu kemungkinan besar Cuma bersifat sinkronis. Secara
diakronis ada kemungkinan bisa berubah. Perkembangan pandangan hidup yang
biasanya sejalan dengan perkembangan budaya dan kemasyarakatan dapat
memungkinkan terjadinya perubahan nilai rasa peyoratif atau amelioratifnya
sebuah kata. Sebagai contoh, kata jamban dulu dianggap bersifat peyoratif; oleh
karena itu orang tidakmau menggunakannya, danj menggantinya dengan
katakakus atau W.C. tetapi dewasa ini kata jamban itu telah kehilangan sifat
peyoratifnya karena pemerintah DKI secara resmi menggunakan lagi kata itu
sebagai istilah baku seperti dalam frase jamban keluarga.

(7) Adanya Penyingkatan


Dalam bahasa Indonesia ada sejumlah kata atau ungkapan yang karena itu,
sering digunakan, maka kemudian tanpa diucapkan atau dituliskan secara
keseluruhan orang sudah mengerti maksudnya. Oleh karena, maka kemudian
orang lebih banyak menggunakan bentuk utuhnya. Misalnya, kalau dikatakan
Ayahnya meninggal tentu maksudnya adalah meninggal dunia. Jadi, meninggal
adalah bentuk singkat dari ungkapan meninggal dunia. Begitu juga dengan kata
berpulang tentu maksudnya adalah berpulang ke rahmatullah. Contoh lain kalau
dikatakan ke Surabaya dengan garuda tentu maksudnya adalaha “naik pesawat

129
terbang dari perusahaan penerbanagan garuda” . di beberapa sekolah di Jakarta
kata perpus sudah lazim digunakan untuk menyebut perpustakaan.
Di sini termasuk juga kata-kata yang disingkat seperti dok, maksudnya
‘dokter’, lok maksudnya ‘lokomotif’, lab maksudnya ‘ laboratorium’ dan let
maksudnya ‘letuan’; serta bentuk-bentuk yang disebut akronim seperti tilang
untuk ‘bukti pelanggaran’, satpam untuk ‘satuan pengamanan’, hankam untuk
‘pertahanan keamanan’, dan mendikbud untuk ‘menteri pendidikan dan
kebudayaan.
Kalau disimak sebetulnya dalam kasus penyingkatan ini bukanlah
peristiwa perubahan makan yang terjadi sebab makan atau konsep itu tetap. yang
terjadi adalah perubahan bentuk kata. Kata yang semula berbentuk utuh (panjang)
disingkat menjadi bentuk utuh yang pendek. Malah gejala penyingkatan ini bisa
terjadi pula pada bentuk-bentuk yang sudah dipendekkan seperti AMD dadalah
kependekan dari Abri Masuk Desa; dan Abri itu sendiri adalah kependekan dari
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Begitu banyakanya kependekan ini sehingga banyak orang yang tidak tahu
lagi bagaiaman bentuk utuhnya, seperti radar, nilon, tilang; juga Pf, RSUP, dan
RIP. Silahkan anda cari apa kepanjangan darai bentuk-bentuk tersebut.

(8) Proses gramatikal


Proses gramatikal seperti afikasi, reduplikasi, dan komposisi (penggabungan
kata) akan menyebabkan pula terjadinya perubahan makna. Tetapi alam hal ini
terjadi sebenarnya bukan perubahan makna, sebab bentuk kata itu sudah berubah
sebgai hasil proses gramatikal. Dalam bagian pendahuluan sudah dibicarakan
kalau bentuk berubah maka makna pun berubah atau berbeda. Jadi, tidaklah dapat
dikatakan kalau dalam hal ini telah terjadi perubahan makna, sebab yang terjadi
adalah proses gramatikal, dan proses gramatikal itu telah’ melahirkan ‘makna –
makna gramatikal

130
(9) Pengembangan istilah
Salah satu upaya dalam pengembangan atau pembentukan istilah baru
adalah dengan memanfaatkan kosa kata bahasa Indonesia yang ada dengan jalan
member makna baru, entah dengan menyampaikan makna kata tersebut,
meluaskan, maupun member arti baru sama sekali. Misalnya kata papan yang
semula bermakna’ lempengan kayu (besi,dsb) tipis, kini diangkat menjadi istilah
untuk makna ‘perumahan’; kata sandang yang semula bermakna’selendang’ kini
diangkat menjadi istilah untuk makna ‘pakaian’ dan kata teras yang semula
bermakna’inti kayu’atau’saripati kayu’ kini diangkat menjadi unsur pembentuk
istilah untuk makna ‘utama’ atau ‘pimpinan’. Maka itu pejabat teras berarti
pejabat utama atau ‘pejabat yang merupakan pimpinan’
Contoh lain, perubahan makna sebagi akibat usaha dalam pembentukan
istilah seperti kata-kata canggih, gaya, tapak, paket, menayangkan, dan
menggolakkan.

2. Jenis Perubahan
Dari pembicaraan di atas mengenai faktor-faktor atau sebab-sebab
terjadinya perubahan makan barangkali sudah dapat dilihatadanya beberapa jenis
perubahan. Ada perubahan makan yang sifatnya meluas, ada perubahan yang
sifatnya menyempit atau mengkhusus, ada perubahan yang sifatnya mengasar, dan
ada pula perubahan yang sifatnya total. Makasudnya, berubah sama sekali dari
makan semula.

(1) Meluas
Yang dimaksud dengan perubahan makna meluas adalah gejala yang
terjadi pada sebuah kata atau leksem yang pada mulanya hanya memiliki sebuah
‘makna’, tetapi kemudian karena berbagai factor menjadi memiliki makna-makna
lain. Umpamanya kata saudara yang sudah di singgung di depan, pada mulanya
hanya bermakna’seperut’ atau sekandung’. Kemudian maknanya berkembang
menjadi ‘siapasaja yang sepertalian darah’. Akibatnya anak paman pun disebut
saudara. Lebih jauh lagi selanjutnya siapa pun amasih mempunyai kesamaan asal-

131
usul disebut juga saudara. Malah kini siapa pun dapat disebut saudara. Coba, anda
simak kalimat-kalimat berikut, barangkali anda dapat menangkap makna kata
saudara pada kalimat-kalimat itu.

- Saudara saya hanya dua orang


- Surat saudara sudah saya terima
- Sebetulnya dia masih saudara saya, tetapi sudah agak jauh
- Bingkisan untuk saudara-saudara kita di Timor Timur
- Saudara-saudara sebangsa dan setanah air, marilah……

Perluasan makna yang terjadi pada kata saudara terjadi juga pada kata-kata
kekerabatan lain seperti kakak, ibu, adik, dan bapak.

Kaka yang sebenarnya bermakan ‘saudara sekandung yang lebih tua’,


meluas maknanya menjadi siapa saja yang pantas dianggap atau disebut sebagai
saudara sekandung yang lebih tua. Begitu pula dengan adik yang makna
sebnarnya adalah ‘saudara sekandung yang lebih muda’, maknanya meluas
menjadi siapa saja yang pantas dianggap atau disebut sebagai saudara sekandung
yang lebih muda.
Contoh lain, kata baju sebenarnya pada mulanya hanya berarti ‘pakaian
sbelah atas dari pinggang sampai ke bahu’ seperti pada frase baju batik, baju
safari, baju lengan panjang, dan sebaginya. Tetapi pada kalimat Murid-murid
menjadi luas sebab dapat termasuk celana, baju, topi, dasi, dan sepatu. Begitu
juga dengan baju olah raga, baju dinas, dan baju militer.
Kata mencetak pada mulanya hanya digunakan pada bidang penerbit buku,
majalh, atau Koran. Tetapi kemudian maknanya menjadi meluas seperti Nampak
pada kalimat-kalimat berikut:

- Persija tidak berhasil mencetak satu gol pun


- Pemerintah akan mencetak sawah-sawah baru
- Kabarnya dokter dapat mencetak uang dengan mudah

132
Pada kalimat pertama kata mencetak berarti ‘membuat’atau ‘menghasilkan’; pada
kalimat kedua berarti’membuat’, dan pada kalimat ketiga berarti’ memperolah,
mencari, atau mengumpulkan’.
Proses perluas makna ini dapat terjadi dalam waktu yang relative singkat,
tetapi dapat juga dalam kurun waktu yang cukup lama.
Namun,yang perlu anda perhatikan adalah bahwa makna-makna lain yang
terjadi sebagai hasil perluasan itu masih berada dalam lingkup poli-seminya. Jadi,
makna-makna itu masih ada hubungannya dengan makna asalnya.

(2) Menyempit
Yang dimaksud dengan perubahan menyempit adalah gejala yang terjadi
pada sebuah kata yang pada mulanya mempunyai makna yang cukup luas,
kemudian berubah menjadi terbatas hanya pada sebuah makna saja. Misalnya kata
sarjana yang pada mulanya berarti ‘orang pandai’atau’cendikiawan’, seperti
Nampak pada sarjana sastra, sarjan ekonomi, dan sarjana hukum. Betapapun
pandainya seseorang mungkin sebagai hasil belajar sendiri, kalau bukan tamatan
suatu perguruan tinggi, tidak bisa disebut sarjana. Sebaliknya, betapa pun
rendahnya indeks prestasi seseorang kalau dia sudah lulus dari perguruan tinggi,
dia akan disebut sarjana.
Contoh lain, kata ahli pada mulanya berarti’orang yang termasuk dalam
golingan atau keluarga’seprti dalam frase ahli waris yang berarti’orang yang
termasuk dalam satu kehidupan keluarga’, dan juga ahli kubur yang berarti
‘orang-orang yang sudah dikubur’. Kini kata ahli sudah menyempit maknanya
karena hanya berarti’orang yang pandai dalam satu cabng ilmu atau
kepandaian’seperti nampak dalam frase ahli sejarah, ahli purbakala, ahli bedah,
dan sebagainya.

(3) Perubahan total


Yang dimaksud dengan peruabahn total adalah berubahnya sama sekali
makna sebuah kata dari makna asalnya. Memang ada kemungkinan makna yang
memiliki sekarang masih ada sangkut pautnya dengan makna asal, tetapi sangkut

133
pautnya ini nampaknya sudah jauh sekali. Misalnya, kata ceramah pada mulanya
berarti’cerewet’ atau ‘banyak cakap’ tetapi kini berarti ‘pidato atau uraian’
mengenai suatui hal yang disampaikan di depan orang banyak. (Bandingkan
makna kata ceramah itu yang terdapat dalam kamus poerwadarminta dengan yang
terdapat dalam kamus Pusat Bahasa). Contoh lain kata seni pada mulanya selalu
dihubungkan dengan air seni atau air kencing. Tetapi kini digunakan sepadan
dengan makna kata Belanda kunst atau kata Inggeris art, yaitu untuk mengartikan
karya atau ciptaan yang bernilai halus. Misalnya digunakan dalam frase seni lukis,
seni tari, seni suara, dan seni ukir. Orangnya disebut seniman kalau laki-laki, dan
seniwati kalau perempuan.
Kata pena pada mulanya berarti’bulu’. Kii maknanya sudah berubah
total karena kata pena berarti ‘alat tulis yang menggunakan tinta’. Memang
sejarahnya ada, yaitu dulu orang menulis dengan tinta menggunakan bbulu ayam
atau bulu angsa sebagi alatnya; sedangkan bulu iini di dalam bahasa Sanskerta
disebut pena.
Kata canggih dengan makna seperti yang digunakan sekarang ini
merupakan contoh lain dari kata-kata yang maknanya telah berubah secara total.
Dalam kamus Poerwadarminta, kamus Sutah Mohamad Zain, dan kamus Pusat
Bahasa (yang tergolong baru, terbit 1983) kata canggih adalah bermakna ‘banyak
cakap, bawel, cerewet’. Tidak ada makna seperti yang kita dapati dalam frase
peralatan canggih, teknologi canggih, dan mesin-mesin canggih. Tetapi dalam
kamus Besar Bahasa Indonesia kata canggih dengan makna seperti pada frase
tersebut telah dimuat.

(4) Penghalusan (Eufemia)


Dalam pembicaraan mengenai perubahan makna yang meluas
menyempit, atau berubah bentuk secara total;, kita brehadapan dengan sebuah
kata atau sebuah bentuk yang tetap. Hanya konsep makna mengenai kata atau
bentuk itu yang berubah. Dalam pembicaraan mengenai penghalusaan ini kita
berhadapan dengan gejala ditampilkannya kata-kata atau bentuk-bentuk yang
dianggap memiliki makna yang lebih halus, atau lebih sopan daripada yang akan

134
digantikan. Kecenderungan untuk menghaluskan makna kata nampaknya
merupakan gejala umum dalam masyrakat bahasa Indonesia. Misalnya kata
penjara atau bui diganti dengan kata/ungkapan yang maknanya dianggap lebih
halus yaitu lembaga pemasyrakatan; dipenjara atau dibui diganti dengan
menyalahgunakan jabatan; kata pemecatan (dari pekerjaan) diganti dengan
pemutusan hubungan kerja (PHK); kata babu diganti dengan pembantu rumah
tangga dan kini diganti lagi menjadi pramuwisma. Kata/ungkapan kenaikan harga
diganti dengan perubahan harga, atau penyesuaian tariff, atau juga pemberlakuan
tarif baru
Gejala penghalusan makna ini bukan barang baru dalam masyarakat
Indonesia. Orang-orang dulu yang karena kepercayaan atau sebab-sebab lainnya
akan mengganti kata buaya atau harimau dengan kata nenek; mengganti kata ular
dengan kata akar atau oyod. Lalu, pada tahun lima puluhan pun banyak usaha
dilakukan untuk penghalusan ini. Misalnya buta digant dengan tunanetra, tuli
diganti dengan tunarungu, dan gelandangan diganti dengan tunawisma.
Coba anda cari maksud dari kata/ungkapan berikut lanjut usia, tutup usia,
diremajakan, dialihtugaskan, rahasia laki-laki, diamankan, dan diberi pengarahan.

(5) Pengasaran
Kebalikan dari penghalusan adalah pengasaran (desfemia), yaitu usaha
untuk mengganti kata yang maknanya halus atau bermakna biasa dengan kata
yang maknanya kasar. Usaha atau gejala pengasaran ini biasanya dilakukan orang
dalam situasi yang tidak ramah atau untuk menunjukkan kejengkelan. Misalnya
kata atau ungkapan masuk kotak dipakai untuk mengganti kata kalah seperti
dalam kalimat Liem Swie King sudah masuk koatak; kata mencaplok dipakai
untuk mengganti mengambil dengan begitu saja seperti dalam kalimat dengan
seenaknya Israel mencaplok wilayah Mesir itu; dan kata mendepak dipakai untuk
mengganti kata mengeluarkan seperti dalam kalimat Dia berhasil mendadak bapak
A dari kedudukannya. Begitu juga dengan kata menjebloskan yang dipakai untuk
menggantikan kata memasukkan seperti dalam kalimat olisi menjebloskannya ke
dalam sel.

135
Namun, banyak juga kata yang sebenarnya bernilai kasar tetapi sengaja
digunakan untuk lebih memberi tekanan tetapi tanpa terasa kekasarannya.
Misalnya kata menggondol yang biasa dipakai untuk binatang seperti anjing
menggondol tulang; tetapi digunakan seperti dalam kalimat Akhirnya regu bulu
tangkis kita berhasil menggondol pulang piala Thomas Cup itu. Atau juga kata
mencuri yang dipakai dalam kalimat kotingen suriname berhasil mencuri satu
medali emas dari kolam renang. Padahal sebenarnya perbuatan mencuri adalah
suatu tindak kejahatan yang dapat diancam dengan hukuman penjara.

3. Diksi dan Gaya Bahasa


A. Diksi
Diksi adalah ikhwal ketetapan pemilihan kata atau satuan leksikal untuk
mengungkapkan gagasan dan kesesuaian kata atau satuan leksikal itu dengan
konteks pemakaiannya. Kata yang tepat adalah kata yang dapat menimbulkan
gagasan-gagasan yang tepat pada imajinasi pendengar atau pembaca, seperti yang
dipikirkan atau diraskan pembicara atau penulis (Keraf, 1996: 87-111).
Manaf (2000) menjelaskan bahwa ketepatan pilihan kata, paling sedikit dapat
diukur berdasarkan tiga kriteria, yaitu (1) tepat konsep, (2) tepat nilai rasa, dan (3)
tepat konteks pemakaian. Kata yang tepat konsep adalah kata yang dapat
mengungkapakan pengertian suatu objek secara tepat. Contoh, untuk meyakinkan
pembeli, perusahan elektronik itu memberikan garasi kepada pembeli. Kalimat itu
tidak efektif karena mengandung pilihan kata yang tidak tepat konsep, yaitu
garasi. Garasi mengandung makna ‘tempat menyimpan mobil’ sehingga kata
garasi itu tidak sesuai dengan koteks kalimat itu. Kalimat itu dapat diperbaiki
dengan mengganti kata garasi menjadi garansi sehingga kalimat itu menjadi
untuk meyakinkan pembeli, perusahaan elektronik itu memberikan garansi
kepada pembeli.
Kata yang tepat nilai rasa adalah kata yang dapat mengungkapkan perasaan
penutur atau penulis secara tepat. Mengungkapkan perasaan penutur atau penulis
secara tepat. Nili rasa ini berkaitan dengan rasa sopan, halus, terhormat, bersih,
kurang ajar, kasar, nista, jorok, dan lain-lain. Ketepatan nilai rasa ini berkaitan

136
erat dengan sopan santun. Contoh kalimat bekas lurah di tempat saya menunaikan
ibadah haji tidak efektif karena mengandung pilihan kata yang tidak tepat. Kata
bekas tidak tepat nilai rasanya dalam konteks kalimat itu karena kata bekas
bernilai rasa kasar. Kata bekas cocok untuk mengungkapkan barang-barang yang
sudah using atau sudah tidak terpakai. Kata bekas dalam kalimat itu menimbulkan
kesan sikap tidak sopan penutur kepada mitra tuturnya. Apabila penutur
bermaskud baik-baik (tidak melecehkan mitra tuturnya), kata bekas dalam kalimat
bekas lurah ditempat saya menunaikan haji adalah tidak tepat. Untuk
menunjukkan kesetiakawanan, kalimat itu dapat diperbaiki dengan mengganti kata
bekas menjadi mantan sehingga menjadi mantan lurah di tempat saya
menunaikan ibadah haji.
Kata yang tepat konteks adalah kata yang sesuai dengan konteks
pemakaiannya. Konteks pemakaian ini berkaitan dengan siapa yang diajak bicara,
tempatnya di mana, suasananya bagaiman, waktunya kapan, sarananya apa,
topiknya apa, tujuannya apa,dan ragam bahasa apa. Contoh, kalimat bapak-
bapakdan ibu-ibu petani di kampong ini harus bisas menjastifikasi, insektisida
yang relevan dengan kondisi alam di sisn adalah tiak efektif karena mengandung
sejumlah kata yang tidak tepat konteks. Dalam kalimat itu, dapat diketahui
bahawa konteks tuturan itu adalah para petani di kampong. Para petani di
kampong umumnya pendidikannya rendah sehingga sulit memahami makna kata
menjastifikasi, insktisida, relevan, dan kondisi merupakan kata teknis yang kurang
dipahami oleh para petani itu. Untuk mengefektifkan kalimat itu, kata-kata
menjastifikasi, insektisida, relevan, dan kondisi. Kata-kata menjastifikasi,
insektisida, relevan, dan kondidi merupakan kata teknis yang kurang dipahami
oleh para petani itu. Untuk mengefektifkan kalimat itu, kata-kata
menjastifikasi,insektisida, relevan, dan kondisi dapat diganti dengan kata yang
umum di kalangan mereka, yaitu menentukan, racun serangga, cocok, keadaan
sehingga menjadi Bapak-bapak dan Ibu-ibu petani hendaknya dapat menentukan
racun hama yang cocok dengan keadaan alam di sini.
Ketepatan konteks, juga dapat diukur berdasrkan kesesuaian pilihan kata
dengan ragam bidang kegiatan. Ragam pemakaian bahasa bermacam-macam

137
jenisnya, tergantung dasar yang digunakan untuk mengelompokkannya.
Berdasarkan ragam bidang kegiatan, ragam bahasa dikelompokkan atas ragam
sastra, ilmiah, dan komunikasi sehari-hari. Berdasarkan sarananya, ragam bahasa
dapat dikelompokkan menjadi ragam lisan dan ragam tulis. Berdasarkan tingkat
keresmiannya, bahasa dapat dikelompokkan menjadi ragam resmi dan ragam-
tidak resmi. Ragam-ragam yang lain masih ada, tetapi ragam-ragam itu tidak
disebutkan di sini. Contoh, dalam ragam ilmiah, kalimat daerah yang hutannya
gundul berpeluang besar dilanda banjir apabila hujan turun mengguyur bumi
tiada ampun adalah tidak efektif karena tidak tepat konteks. Dalam ragam ilmiah,
kata-kata, frasa, klausa, dan kalimat yang digunakan bermakna lugas dan akurat.
Klausa hujan turun mengguyur bumi tiada ampun tidak cocok untuk ragam ilmiah
karena klausa itu menggunakan gaya personifikasi yang maknanya metaforis.
Kalimat itu dapat diefektifkan dengan mengganti klausa hujan turun mengguyur
bumi tiada ampun menjadi daerah yang hutannya gundul berpeluang dilanda
banjir apabila hujan lebat.

B. Gaya Bahasa dan Majas


Gaya bahsa dan majas adalah unsure pemberdayaan bahasa untuk
mendapatkan pilihan kata yang tepat. Keraf (1996: 112-113) menjelaskan bahwa
gaya adalah cara mengungkapkan diri sendiri entah melalui bahasa, tingkah laku,
cara berpakaian dan sebaginya. Jadi, gaya bahasa adalah cara yang khas yang
dipilih seseorang untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya melalui bahasa.
Moeliono (1989:175) melihat salah kaprah dalam pelajaran bahasa yang
menyamakan secara persis antara gaya bahasa dengan majas (figure of speech).
Keraf (1996:112-145) menjelaskan bahwa gaya bahasa itu mencakup lingkup
yang lebih luas daripada majas. Gaya bahasa sebenarnya merupakan bagian dari
pilhan kata yang mempersoalkan cocok atau tidaknya pemakaian kata, frasa,
klausa, dan kalimat dalam situasi tertentu. Oleh karena itu, persoalan gaya bahasa
itu eliputi semua hierarki kebahasaan, yaitu pilihan kata secara individual, frasa,
klausa, dan kalimatdalam situasi tertentu. Oleh karena itu, persoalan gya bahasa
itu meliputi semua hierarki kebahasan, yaitu pilihan kata secara individual, frasa,

138
klausa, dan kalimat atau bahkan mencakup pula sebuah wacana secara
keseluruhan. Malahan, nada yang tersirat di balik sebuah wacana juga termasuk
masalah gaya bahasa. Jadi, jangkauan gaya bahasa sangat luas, tidak hanya
meliputi unsure-unsur kalimat yang memperlihatkan corak teretentu, seperti yang
umum dalam retorika-retorika klasik. Dari uraian Gorys Kerafitu, terlihat bahwa
majas merupakan bagian gaya bahasa.
Keraf (1996: 115--145) mengelompokan gaya bahasa menjadi empat, (1)
gaya bahasa berdasarkan pilihan kata, (2) gaya bahasa berdasarkan struktur
kalimat, (3) gaya berdasarkan nada yang terkandung di dalamnya, dan (4) gaya
bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna yang terkandung di dalamnya. Gaya
bahasa berdasarkan pilihan kata mencakup (a) gaya bahasa resmi, (b) gaya bahasa
tidak resmi, (c) gaya bahasa percakapan . gaya bahasa resmi adalah gaya bahasa
yang digunakan dalam tulisan ilmiah atau komunikasi resmi, misalnya pidato
kenegaraan, surat dinas, dan khotbah-khotbah di mimbar. Gaya bahasa resmi ini
biasanya ditandai dengan penggunaan kosakata baku, tata bahasa baku, dengan
makna yang lugas dan akurat. Gaya bahasa tak resmi adalah gaya bahasa yang
digunakan dalam berbagai situasi tak resmi, misalnya tulisan di surat kabar dan
majalah, diskusi antar pelajar atau antar mahasiswa dalam kegiatan keseharian.
Gaya bahasa tak resmi ini di tandai oleh pilihan kata tidak baku dan tata
bahasanya kurang ketat dan lengkap mengikuti kaidah baku. Gaya bahasa
percakapan adalah gaya bahasa percakapan untuk komunikasi keseharian. Gaya
bahasa percakapan ini bercirikian banyak menggunakan kata-kata dialek daerah
tertentu, bahkan sering digunakan bahasa prokem, kelengkapan unsur
ketatabahasaan, misalnya afiks, subjek,predikat, objek, pelengkap, keterangan,
konjungtor, sering tidak lengkap, bersifat akrab, santai, dan lancar.
Gaya berdasarkan struktur kalimat mencakupi (a) kalimat periodik, (b)
kalimat kendur, (c) kalimat berimbang. Gaya kalimat periodik adalah kalimat
yang gagasan terpenting atau gagasan utamanya terletak di akhir kalimat, seperti
contoh di bawah ini.
Di samping itu, sastrawan mempunyai waktu yang cukup panjang, untuk
memilih, merenungkan, bahkan menciptakan cara-cara dan bentuk tertentu dalam

139
menyampaikan maksudnya, mereka juga mempunyai kebebasan yang luas untuk
menyimpang dari tulisan biasa.
Gaya kalimat kendur, adalah gaya kalimat yang gagasan penting terletak di
awal kemudian disusul gagasan-gagasan yang kurang penting sampai dengan yang
paling tidak penting, seperti contoh di bawah ini
Kita hanya dapat merasakan betapa besarnya perubahan dari bahasa
Melayu ke bahasa Indonesia, apabila kita mengikuti pertukaran pikiran, polemik
dan pertentangan yang beraku sekitar bahasa Indonesia dalam empat puluh
tahun ini antara pihak guru sekolah lama dengan angkatan penulis baru sekitar
tahun tiga puluhan, antara pihak guru dengan pihak kaum jurnalis yang masih
terdengar gemanya dalam konggres bahasa Indonesia dalam tahun 1954.
Kalimat gaya berimbang adalah kalimat yang gagasan pentingnya tidak
diletekkan merata di seluruh kalimat seperti contoh berikut ini. Pengungkapan
maksud dalam bahasa adalah peristiwa bahasa dan pengungkapan maksud
adalah soal logika.
Menurut Keraf, gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat, juga dapat
dirinci atas gaya bahasa klimaks, antiklimaks, repitisi, paralisme, dan antitesis.
Menurut penulis buku ini, pembagian gaya bahasa klimaks, antiklimaks, repitisi,
paralelisme, dan antitesis tumpang tindih dengan gaya bahasa kalimat periodik,
kalimat kendur, dan kalimat berimbang.
Masih menurut Keraf juga, Gaya bahasa berdasarkan nada mencakupi (a)
gaya sederhana, (b) gaya mulia dan bertenaga, dan (c) gaya menengah. Gaya
bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna yang terkandung dalam kata, frasa,
klausa, atau kalimat, gaya bahasa dapat dibagi menjadi (1) gaya langsung atau
retoris (rhetorical figures), (2) gaya bahasa kiasan (tropes). Gaya bahasa langsung
atau retoris ini mencakupi (a) aliterasi, (b) anastrof, (c) apofasis, (d) apostrof, (e)
asidenton, (f) kiasmus, (g) elipsis, (h) eufemismus, (i) histeron preteron, (j) ironi,
(k) litotes, (i) inuendo, (m) perifrasis, (n) pleonasme atau tautologi, (15) prolepsis,
(16) pertanyaan retoris, (17) silepsis dan zeugman. Gaya bahasa kiasan mencakupi
(a) persamaan atau simile, (b) metafora, (c) personifikasi, (d) alusi, (e) metonimi,

140
(f) sinekdoke, (g) hiperbole, (h) paradoks, (i) oksimoron, (j) hipalase, (k) eponim,
dan (i) epitet.
Moeliono (1989: 175--- 177) melakukan pengelompokan majas menjadi
sebagai berikut: (1) majas perbandingan, (2) majas pertentangan mencakupi
hiperbol, litotes, dan ironi. Majas pertautan terdiri atas metonimia, sinekdoke,
kilatan, dan eufemisme.
Berdasarkan uraian klasifikasi gaya bahasa di atas, ada kesamaan
pandangan antara Keraf dan Moeliono bahwa majas adalah bagian dari gaya
bahasa. Namun demikian, Keraf dan Moeliono mempunyai dasar yang berbeda
dalam mengelompokkan jenis majas. Keraf mengelompokkan majas berdasarkan
langsung atau tidaknya makna majas itu, sedangkan Moeliono mengelompokkan
majas atas dasar tipe proses pembentukan makna majas itu.
Penulis buku ini membuat klasifikasi gaya bahasa sebagai berikut ini.
Gaya bahasa dikelompokan atas dasar konteks pemakaian dan ciri liguistik
kalimat (baca tuturan). Berdasrkan konteks pemakiannya gaya bahasa dapat
dikelompokkan berdasrkan ragamnya, misalnya berdasrkan tingkat keresmian
dapat dikelompokkan menjadi gaya bahasa ragam resmi dan ragam tak resmi;
berdasarkan bidang keilmuan dapat dikelompokkan menjadi gaya bahasa sastra
dan gaya bahasa nonsastra; berdasarkan saranannya, gaya bahasa dapat
dikelompokkan menjadi gaya bahasa lisan dan gaya bahasa tulis; berdasarkan
kronologi waktu, dapat dikelompokkan menjadi ragam bahasa kuno dan mutakhir,
gaya bahasa tulis; berdasarkan kronologi waktu, dapat dikelompokkan menjadi
ragam bahasa kuno dan mutakhir, gaya bahasa periode Balai Pustaka, periode
1945-an, periode 1960-an, periode 1970-an dan seterusnya. Pengelompokkan itu
bisa dirinci lagi tergantung keperluan pembicara atau penulis. Gaya bahasa
merupakan cara khas orang dalam mengekspresikan pikiran dan perasaannya
melalui bahasa. Gaya bahasa yang berbentuk pengaturan berbagai unsur internal
linguistik untuk mencapai efek makna tertentu dapat dikelompokkan menjadi dua,
yaitu gaya bahasa perbandingan yang lazim disebut majas atau kiasan dan gaya
bahasa perbandingan sama dengan pengertian majas menurut Moeliono dan sama
dengan gaya bahasa tidak langsung atau kiasan menurut Gorys Keraf dan majas

141
nonperbandingan sama dengan gaya bahasa langsung atau retoris menurut Gorys
Keraf. Gaya bahasa perbandingan atau kiasan terdiri atas, (1) persamaan atau
simile, (2) metafora, (3) personifikasi, (4) alusi, (5) metonimi, (6) sinekdoke, (7)
hiperbol, (8) paradoks, (9) oksimoron, (10) hipalase, (11) eponim, (12) epitet, (13)
pun atau paranomasia.
Gaya bahasa nonperbandingan atau retoris terdiri atas (1) klimaks, (2)
antiklimaks, (3) repetisi, (4) paralelisme, (5) antitesis, (6) alitersi, (7) anastrof, (8)
apofasis, (9) apostrof, (10) asindenton, (12) kiasmus, (13) elipsis, (14) elipsis, (15)
eufemismus, (16) histeron porteron, (17) ironi, (18) litotes, (19) inuendo, (20)
perifrasis, (21) pleonasme atau tautologi, (22) prolepsis, (23) pertanyaan retoris,
dan (24) silepsis dan (25) zeugma.

142
DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 1988. Semantik: Pengantar Studi tentang Makna. Bandung: Sinar


Baru.
Chaer, Abdul. 1995. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka
Cipta.
Cruse, D.A. 1986. Lexikal Semantics. Cambridge: Cambridge University Press.
Djajasudarma, fatimah. 1993. Semantik I: Pengantar ke Arah Ilmu Makna.
Bandung: Eresco.
Kemson, Ruth M. 1977. Teori Semantik. Diterjemahkan Abdul Wahab pada 1995.
Jakarta: Airlangga University Press.
Keraf, Gorys. 1996. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Ogden dan Richard. 1923. The Meaning of Meaning. London. Routledge &
Kegan Paul Ltd.
Pateda, Mansur.1986. Semantik Leksikal. Ende Flores: Nusa Indah.
Ullman, Stephen. 1972. Pengantar Semantik. Terjemahan Sumarsono (1985).
Singaraja: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Press.

143
BAHAN AJAR/HANDOUT

Bahan Kajian : Pengaplikasian Konsep Prinsip Prakatis, Paedagoogis Kajian


Semantik
Kode/ SKS : IND 005/3 SKS
Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas : Bahasa dan Seni
Pertemuan Ke- :15
Dosen : Tim Dosen Pengampu Mata Kuliah
Learning Outcomes (capaian Pembelajaran) Mata Kuliah terkait KKNI:
Mengaplikasikan konsep dan prinsip praktis kajian semantik dan aspek
paedaagoogisnya dalam rancangan, pelaksanan, evaluasi pembelajaran
Soft skills/ karkter: berpikir kritis, sikap positif, dan tanggung jawab

Materi:
Semua materi pada LO yangbtelah dibahas.
Kegiatan Pembelajaran
1. Semua kegiatan dilakukan oleh mahasiswa dalam bentuk seminar.
2. Dosen mangamati jalannya seminar tersebut
3. Penilaian dari lisan, sikap, dan tulisan (makalah) yang diituliis mahasiswa

Daftar pustaka

144
BAHAN AJAR/HANDOUT

Bahan Kajian :
Kode/ SKS : IND 005/3 SKS
Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas : Bahasa dan Seni
Pertemuan Ke- :16
Dosen : Tim Dosen Pengampu Mata Kuliah

Learning Outcomes (capaian Pembelajaran) Mata Kuliah terkait KKNI:


Semua LO yang telah dibahas, pemahaman, pengaplikasian kajian semantik
dan aspek paedagoginya
Soft skills/ karkter: berpikir kritis, sikap positif, dan tanggung jawab

Materi:
Semua materi pada LO yang telah dibahas.
Kegiatan Pembelajaran
Ujian akhir semester secara tertulis

145
RANCANGAN TUGAS

Bahan Kajian : Konsep, Hakikat Semantik, dan penamaan


Kode/ SKS : IND 005/3 SKS
Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas : Bahasa dan Seni
Pertemuan Ke- :1-2-3

A. Tujuan Tugas
Menidenfikasi hasil pemahaman kajian semantik dalam kehidupan sehari-hari
B. Uraian Tugas
a. Objek
- Definisi semantik (konsep, hakikat)
- Ruang lingkup semantik
- Perbedaaan semantik dengan pragmatik
b. Metode atau cara pengerjaan
- Mencari definisi semantik
- Mencari contoh konsep dan hakikat semantik
- Mengidentifikasi kegiatan sehari-hari yang menentukan pemahaman
semantik
c. Deskripsi luaran tugas yang diharapkan
- Membuat tugas sesuai dengan penulisan ilmiah
C. Kriteria
1. Ketepatan penjelasan
2. Kelengkapan konsep
3. Kreativitas

146
RUBRIK PENILAIAN
Kriteria 1: ketepatan penjelasan
Dimensi Sangat Memuaskan Batas Kurang Dibawa Skor
memuaskan memuaskan h
standar
1. Kelengkapa Aspek yang Aspek yang Masih Hanya Tidak
n konsep dijelaskan jelaskan banyak menunjukka konsep
lengkap dan lengkap aspek yang n sebagian
iintegratif belum konsep
terungkap
2. Kebenaran Diungkapkan Diungkapkan Sebagian Kurang Tidak
konsep dengan lengkpa, dengan tepat, besar dapat ada
tepat, aspek namun konsep mengungka konsep
penting tidak deskriptif terungkap, pkan aspek
dilewatkan namun penting
analisis dan masih ada tidak
sintesis yang rangkuman
membantu terlewatkan hanya
memahami contoh
konsep

Kriteria 2: kelengkapan konsep


Dimensi Sangat memuaskan Memuaskan Batas Kurang Dibawa Skor
memuaskan h
standar
1. Kelengkapa Lengkap dan lengkap Masih Hanya Tidak
n konsep integratif kurang 2 menunjukkan ada
aspek yang sebagian konsep
belum konsep
terungkap
2. Kebenaran Diungkapkan Diungkapkan Sebagian Kurang dapat Tidak
konsep dengan tepat, sesuai dengan tepat, besar mengungkapk ada
konsep aslinya tetapi konsep an aspek konsep
analiasis dan deskriptif terungkap, penting tidak
sintesis membantu tetapi masih rangkuman
memahami konsep ada yang hanya contoh
terlewatkan

Kriteria 3: Kreativitas
Dimensi Sangat memuaskan Memuaskan Batas Kurang Dibawah Skor
memuaskan standar
1. keunikan Toopik yang Topik yang Topik Topik kurang Topik
diiteliti unik , diteliti yang sesuai tidak
belum banyak yang belum diteliti sesuai
menelti banyak dapat
ditulis dijumpai
di
beberapa
buku

147
RANCANGAN TUGAS

Bahan Kajian : Jenis Makna, Relasi Makna


Kode/ SKS : IND 005/3 SKS
Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas : Bahasa dan Seni
Pertemuan Ke- : 4-5-6-7-8

A. Tujuan Tugas
Mampu menjelaskan dan menaplikasikanjenis makna dan relasi makna dalam
pembelajaran
B. Uraian Objek
a. Objek
- jenis makna
- relasi makna
b. metode atau cara pembelajaran
- menjelaskan jenis makna dan sudut pandangnya
- menjelaskan relasi makna dan sudut pandangnya
c. deskripsi luaran
membuat tugas sesuai dengan penulisan karya ilmiah
C. Kriteria
1. Ketepatan penjelasan
2. Kelengkapan konsep
3. kreatvitas

RUBRIK PENILAIAN
Kriteria 1: ketepatan penjelasan
Dimensi Sangat memuaskan Memuaskan Batas Kurang Dibawah Skor
memuaskan standar
1. Kelengkapan Aspek yang Aspek yang Masih Hanya Tidak
konsep dijelaskan lengkap jelaskan kurang 2 sebagian ada
dan integratif lengkap aspek yang konsep saja konsep
belum
terungkap
2. Kebenaran Diungkapkan Diungkapkan Sebagian Aspek pentinh Tidak
konsep dengan tepat, aspek dengan tepat besar kurang ada
pentingnya analisis tetapi konsep diungkapkan konsep
dan sintesis deskriptif terungkap, hanya contoh,
membantu tetapi rangkupan
memahami konsep masih ada tidak ada
yang
terlewatkan

148
Kriteria 2: kelengkapan konsep
Dimensi Sangat Memuaskan Batas Kurang Dibawah Skor
memuaskan memuaskan standar
1. Kelengkapan Lengkap dan lengkap Masih kurang Hanya Tidak ada
konsep integratif 2 aspek yang sebagian konsep
belum konsep saja
terungkap
2. Kebenaran tepat, tepat tepat, tetapi Sebagian Hanya Tidak ada
konsep aspek penting deskriptif besar konsep sebagian konsep
tidak terungkap, konsep saja
terlewakan tetapi masih hanya contoh
analiasis dan ada yang rangkuman
sintesis terlewatkan tidak ada
membantu
memahami
konsep

Kriteria 3: Kreativitas
Dimensi Sangat memuaskan Memuaskan Batas Kurang Dibawah Skor
memuaskan standar
1. Keunikan Sangat unik , belum belum umum kurang sesuai tidak
topik banyak yang menelti banyak dapat sesuai
ditulis dijumpai di
beberapa
buku
2. Kebenarn Tepat aspek penting Tepat, tetapi Sebagian Aspek penting Tidak ada
konsep tidak dilewatkan. deskriptif besar kurang konsep
Analisi dan sintesi konmsep terungkap,
membntu untuk telah contoh ada
memahami konsep terungkap, rangkuman
tetapi yang tidak ada
masih ada
yang
terlewatkan

149
RANCANGAN TUGAS

Bahan Kajian : Medan Makna, Ketaksaan, Perubahan Makna, dan Diksi


Kode/ SKS : IND 005/3 SKS
Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas : Bahasa dan Seni
Pertemuan Ke- :10-11-12-13-14

A. Tujuan Tugas
Mampu menjelaskan dan mengplikasikan jenis makna dan relasi makna,
ketaksaan, perubahan makna, dan diksi

B. Uraian Objek
a. Objek
- Medan makna, ketaksaan
- Perubahan makna, diksi
b. Metode atau Cara Pembelajaran
- Mencari definisi objek
- Menidentifikasi objek
- Membuat contoh dalam kalimat

C. Kriteria
1. Ketepatan penjelasan
2. Kelengkapan konsep
3. kreatvitas

RUBRIK PENILAIAN
Kriteria 1: ketepatan penjelasan
Dimensi Sangat memuaskan Memuaskan Batas Kurang Dibawah Skor
memuaskan standar
1. Kelengkapan lengkap dan Lengkap kurang 2 sebagian Tidak
konsep integratif aspek konsep saja ada
konsep
2. Kebenaran Lengkap, tepat Tepat, Sebagian Aspek penting Tidak
konsep aspek penting ada tetapi besar kurang ada
analisis dan sintesis deskriptif konsep diungkapkan konsep
menuju konsep ada contoh

Kriteria 2: kelengkapan konsep


Dimensi Sangat Memuaskan Batas Kurang Dibawah Skor
memuaskan memuaskan standar

150
1. Kelengkapan Lengkap dan lengkap kurang 2 sebagian Tidak ada
konsep integratif aspek konsep saja konsep
2. Kebenaran Tepat, sesuai tepat, tetapi Sebagian Aspek Tidak ada
konsep konsep aslinya deskriptif besar penting konsep
analiasis dan konsep ada kurang
sintesis membantu terungkap,
memahami contoh ada
konsep

Kriteria 3: Kreativitas
Dimensi Sangat memuaskan Memuaskan Batas Kurang Dibawah Skor
memuaskan standar
1. keunikan Topik sangat unik , Topik belum Topik Topik kurang Topik
belum banyak yang banyak dapat sesuai tidak
menelti ditulis dijumpai sesuai
di
beberapa
buku

151
RANCANGAN TUGAS

Bahan Kajian : Seminar Topik-Topik Semantik dan Ujian Akhir Semester


Kode/ SKS : IND 005/3 SKS
Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas : Bahasa dan Seni
Pertemuan Ke- :15 dan 16

A. Tujuan Tugas
Terampil berseminar denagn topik-topik Semantik yang telah dibahas.
Mampu menjawab ujian tulis akhir semester

B. Uraian Tugas
a. Objek
- Maksud seminar
- Merancang makalah seminar
- Tes ujian akhir
b. Metode atau Cara Pembelajaran
- Mencari model makalah untuk seminar
- Menjawab soal-soal tes
- Membuat contoh dalam kalimat

C. Kriteria
1. Ketepatan penjelasan
2. Kelengkapan konsep
3. kreatvitas

RUBRIK PENILAIAN
Kriteria 1: ketepatan penjelasan
Dimensi Sangat memuaskan Memuaskan Batas Kurang Dibawah Skor
memuaskan standar
1. Kelengkapan lengkap dan Lengkap kurang 2 sebagian Tidak
konsep integratif aspek konsep saja ada
konsep
2. Kebenaran Lengkap, tepat aspek Tepat, Sebagian Aspek penting Tidak
konsep penting ada analisis tetapi besar kurang ada
dan sintesis menuju deskriptif konsep terungkap konsep
konsep ada contoh ada

152
Kriteria 2: kelengkapan konsep
Dimensi Sangat Memuaskan Batas Kurang Dibawah Skor
memuaskan memuaskan standar
1. Kelengkapan Lengkap dan lengkap kurang 2 sebagian Tidak ada
konsep integratif aspek konsep saja konsep
2. Kebenaran Tepat, sesuai tepat, tetapi Sebagian Aspek Tidak ada
konsep konsep aslinya deskriptif besar penting konsep
analiasis dan konsep ada kurang
sintesis membantu terungkap,
pemahaman contoh ada
konsep

Kriteria 3: Kreativitas
Dimensi Sangat memuaskan Memuaskan Batas Kurang Dibawah Skor
memuaskan standar
1. keunikan Topik sangat unik , Topik belum Topik Topik kurang Topik
belum banyak yang banyak dapat sesuai tidak
diteliti ditulis dijumpai sesuai
di
beberapa
buku

153

Anda mungkin juga menyukai