Anda di halaman 1dari 4

Essai

Kritik sosial dalam novel salah asuhan


Enia Listikal

Manusia dalam menjalani hidup selalu dihadapkan pada berbagai persoalan yang
melingkupinya. Persoalan-persoalan ini bila disatukan tidak hanya terbatas pada persoalan
pribadi satu individu saja, tetapi akan berkembang menjadi persoalan masyarakat luas. Karya
sastra sebagai hasil karya manusia banyak mengangkat masalah-masalah tersebut menjadi
sesuatu yang berbeda dengan kemasan unik dan menjadi kekuatan dalam sebuah karya agar
lebih hidup dan menarik bagi pembacanya. Karya sastra yang banyak menampilkan realitas
menjadi sesuatu yang bernilai untuk ditelusuri maknanya dan menuntun manusia kembali
kepada hakikatnya sebagai manusia.

Sastrawan sebagai bagian dari masyarakat adalah makhluk sosial yang banyak dipengaruhi
oleh lingkungannya. Latar belakang sosial, agama, dan budaya masyarakat mempengaruhi
bentuk pemikiran dan ekspresi sastrawan. Melalui karya sastranya sastrawan ingin
berkomunikasi dengan masyarakat. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila sebuah
karya sastra banyak mengandung aspek kehidupan, seperti adanya interaksi sosial antar
anggota masyarakat. Adanya interaksi sosial tersebut membuat masing-masing individu
mempunyai keinginan dan harapan yang berbeda satu sama lain.

Salah Asuhan merupakan novel masa awal tahun 1920-an karangan Abdoel Moeis yang
diterbitkan oleh Balai Pustaka. Novel ini diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka pada
tahun 1928. Sampai dengan tahun 1995 novel ini telah mengalami cetak ulang sebanyak 22
kali. Abdoel Moeis adalah seorang pengarang bergelar Soetan Penghoeloe. Ia lahir di
Bukittinggi, Sumatra Barat, 3 Juli 1886 dan meninggal dunia di Bandung, 17 Juni 1959.
Ayahnya berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat, dikenal sebagai tokoh berpengaruh di
masyarakat. Ibunya berasal dari Jawa yang memiliki keahlian pencak silat. Abdoel Moeis
beragama Islam dan giat dalam organisasi politik beraliran Islam. Ia terkenal dengan
novelnya Salah Asuhan (1920-an)

Abdoel Moeis menjalani pendidikan di Europees Lagere School (ELS), lulus dari
Kleinambtenaarsexamen (Amtenar Kecil), dan tiga tahun di Stovia (sekolah dokter) Jakarta.
Dia keluar dari Stovia sebelum tamat karena sakit. Dia magang di Departemen van Onderwijs
en Eredienst, suatu departemen yang dipimpin oleh Abendanon. Karena sangat pandai
berbahasa Belanda, ia diangkat menjadi klerk di departemen itu pada tahun 1903, tetapi
karena ia tidak disukai oleh pegawai-pegawai Belanda di departemen itu, pada tahun 1905 ia
keluar. Ketidaksukaan pegawai Belanda terhadapnya disebabkan oleh sifat patriotik yang
diperlihatkannya di depan para pegawai Belanda itu. Selanjutnya, Abdoel Moeis diterima
untuk bekerja sebagai korektor di kantor harian De Preanger Bode di Bandung. Abdoel
Moeis diangkat sebagai hoofdcorrector karena menguasai bahasa Belanda.

Abdoel Moeis adalah orang yang termasuk golongan pertama sastrawan Indonesia yang
nasionalis. Karena sifat nasionalismenya itu, Abdoel Moeis juga menulis novel sejarah, yaitu
Surapati dan Robert Anak Surapati. Cerita pendeknya yang terkenal berjudul "Suara
Kakaknya". Selain itu, cerpennya yang berjudul "Di Tepi Laut" dimuat dalam Boedaja No.
12, Tahun ke-2 (1948:14--15). Puisinya, antara lain, adalah (1) "Ummat Hanjut di Dunia
Gulita" dalam Boedaja No. 12, Tahun ke-2 (1948:5), (2) "Insjaflah" dalam Boedaja No. 4,
Tahun ke-3 (1948:4), (3) "Kenangan" dalam Boedaja No. 12, Tahun ke-3 (1948:3), (4)
"Koedjoendjoeng" dalam Boedaja No. 12, Tahun ke-2 (1948:5), (5) "Melati" dalam Boedaja
No. 12, Tahun ke-2 (1948:15), dan (6) "Rindoe Dendam" dalam Boedaja No. 1, Tahun ke-3
(1948:3).

Sementara itu, Pamusuk Eneste memasukkan Abdoel Moeis ke dalam Angkatan Balai
Pustaka karena Abdoel Moeis termasuk orang yang menerbitkan novelnya di Penerbit Balai
Pustaka. Karya-karya Abdoel Moeis muncul pada tahun 1920-an dan awal tahun 1930-an.
Abdoel Moeis dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan (SK)
Presiden Republik Indonesia No. 2183/59, tanggal 30 Agustus 1959.

Dalam novel Salah Asuhan ini, banyak menceritakan tentang kedurhakaan seorang anak pada
ibunya. Yang mana pada zaman sekarang ini juga banyak anak yang durhaka pada ibunya.
Bahkan sampai-sampai anak tersebut disumpahi oleh ibunya. Disini juga dijelaskan bahwa
adanya orang yang melupakan adat istiadatnya sendiri. Sebagaimana kita tahu bahwa remaja
saat ini juga bersikap demikian.

Salah Asuhan adalah novel yang berlatar belakang kehidupan pribumi di masa penjajahan
Belanda yang penuh diskriminasi. Novel ini juga mengangkat permasalahan multidimensi
yang terjadi kala itu, mulai dari sistem perekonomian yang dijalankan serta budaya Eropa
yang masuk dan mempengaruhi kehidupan pribumi.

Tokoh utama dari novel Salah Asuhan bernama Hanafi, pemuda yang ditinggal mati oleh
sang ayah dan harus hidup berdua sejak kecil dengan ibu saja. Ia adalah putra dari Solok,
Melayu, dan dianugrahi kecerdasan lebih. Karena kecerdasannya, Hanafi bisa melanjutkan
sekolah menengah ke HBS, Hogere Burgerschool, sebuah sekolah yang dikhususkan bagi
orang Belanda, Eropa, Tionghoa dan pribumi yang elit saja. Biaya sekolah Hanafi dibayarkan
oleh ibunda yang dibantu oleh pamannya juga.Untuk bisa bersekolah, Hanafi dititipkan oleh
ibunya pada keluarga Belanda, dan ia hidup bersama mereka.

Tingkah polah Hanafi pun perlahan dipengaruhi oleh keluarga Belanda tersebut.
Pergaulannya lama kelamaan hanya berkutat seputar orang Eropa dan Belanda. Kejadian
seperti ini sering terjadi di masa sekarang, seperti mahasiswa yang berasal dari desa
mendapat kesempatan kuliah di luar kota tetapi malah mengikuti arus negatif kehidupan kota
tersebut.

Hanafi pun mulai dekat dengan putri seorang Belanda bernama Corie sejak sekolah. Hanafi
dan Corie kerap melakukan kegiatan bersama, mulai dari olahraga tenis hingga belajar dan
jalan-jalan. Hanafi mulai menaruh hati pada gadis Eropa itu, sementara Corie hanya
menganggap Hanafi sebagai teman. Saat Hanafi mengungkapkan perasaannya, Corie mulai
menjauh dan akhirnya memutuskan pindah dari Solok ke Betawi. Hanafi yang patah hati
selalu mengirim surat pada Corie, namun tak ditanggapi. Corie tak ingin menikah dengan
pribumi yang derajatnya kala itu lebih rendah dari orang Eropa. Hanafi pun mulai mengurung
diri di kamar, terpukul dan tak punya semangat hidup lagi. Ibunya yang sedih lalu
menjodohkan Hanafi dengan Rapiah, anak dari paman yang sudah membantu menyekolahkan
Hanaffi ke HBS. Kejadian seperti ini juga kerap terjadi dikalangan masyarakat kita, dimana
orang-orang sering membedakan derajat manusia lainnya, seperti perihal jodoh. Orang kaya
harus mendapatkan jodoh yang kaya, orang yang berpendidikan harus mendapatkan jodoh
yang berpendidikan pula. Karena perbedaan derajat, bahkan ada orangtua yang seolah
memperjual belikan anaknya karena anaknya sudah mendapatkan gelar, jadi siapa yang ingin
menikahi anaknya maka harus membayar terlebih dahulu.
Hanafi menolak karena hanya cinta pada Corie saja, namun akhirnya ia bersedia menikahi
Rapiah, gadis santun yang pendiam dan taat. Ia menikah karena balas budi, sebab pamannya
tersebut yang sudah menyekolahkannya. Perlakuan Hanafi pada Rapiah sangat kasar, namun
istrinya itu sabar saja menghadapi kelakuan Hanafi yang sombong. Mereka memiliki seorang
putra bernama Syafii. Dua tahun berumah tangga, Hanafi yang kasar mendapat ganjaran
dengan digigit anjing gila yang rabies. Ia pun tertular sehingga harus berobat ke Betawi. Di
Betawi, Hanafi pun berjumpa lagi dengan Corie yang makin cantik. Ia lalu mengajak Corie
menikah setelah mendapat pekerjaan di Betawi. Hanafi juga segera melupakan Rapiah yang
setia.

Pernikahan Hanafi dan Corie mendapat banyak halangan karena kedudukan pribumi Hanafi.
Corie dijauhi teman Eropanya, sehingga ia pun perlahan mulai menjauhi Hanafi. Sampai
suatu ketika Corie pergi ke Semarang. Hanafi pun dijauhi oleh kalangan pribumi karena
dianggap berkhianat dan memihak penjajah. Sementara dari kalangan Eropa, ia pun tidak
diterima. Hanafi lalu mencari Corie dan mengetahui bahwa ia sudah ada di Semarang. Hanafi
pun dijauhi oleh kalangan pribumi karena dianggap berkhianat dan memihak penjajah.
Sementara dari kalangan Eropa, ia pun tidak diterima. Hanafi lalu mencari Corie dan
mengetahui bahwa ia sudah ada di Semarang.

Di Semarang, Corie ternyata sedang sakit parah, karena wabah kolera saat itu. Ia kemudian
meninggal dunia dan membuat Hanafi makin sedih. Hanafi kemudian memutuskan kembali
ke Solok, dan mulai menyesali keadaan dirinya lagi. Hanafi lantas meminum pil sublimat
yang menyebabkan ia muntah darah dan meninggal dunia. Kejadian ini juga sering terjadi
dalam kehidupan sehari-hari dimana penyesalan tidak datang di awal cerita atau kejadian,
melainkan datangnya di akhir cerita. Banyak kita temui di zaman sekarang seorang anak yang
tidak mau dijodohkan dan lebih memilih pasangan pilihannya, orangtua pasti menginginkan
yang terbaik untuk anaknya. Namun, seorang anak tidak mau menuruti pilihan orang tuanya.
Banyak anak yang menyesali pilihannya sendiri, berbagai permasalahan menyelimuti rumah
tangga mereka, sebagai akibat dari tidak adanya restu dari kedua orang tua.

Adapun unsur intrinsik dalam Novel Salah Asuhan, yaitu: Tema yang terkandung dalam
novel Salah Asuhan adalah perbedaan adat istiadat, Alur yang digunakan dalam novel Salah
Asuhan adalah alur maju karena pengarang menceritakan kisahnya di masa selanjutnya, Pusat
Pengisahan/Sudut Pandang dalam novel Salah Asuhan adalah pengarang bertindak sebagai
orang ketiga yaitu menceritakan kehidupan tokoh-tokoh pada novel. Gaya bahasa yang
digunakan dalam novel Salah Asuhan ini cukup sulit untuk diartikan. Karena novel ini adalah
novel lama dan dalamnya juga terdapat bahasa Belanda. Pada novel ini juga terdapat :
Peribahasa: “saat ini, air mukamu jernih, keningmu licin, bolehkah ibu menuturkan niatku
itu, supaya tidak menjadi duri dalam daging” (halaman 25, paragraf 3) dan Majas
perbandingan (perumpamaan) “Sesungguhnya tiadalah berdusta apabila ia berkata sakit
kepala, karna sebenarnyalah kepalanya bagai dipalu” (halaman 47, paragraf 2)

Kritik sosial yang terkandung dalam Novel Salah Asuhan adalah Janganlah melupakan adat
istiadat negeri sendiri, kalau ada adat istiadat dari bangsa lain, boleh saja kita menerima tapi
harus pandai memilih, yaitu pilihlah adat yang layak dan baik kita terima di negeri kita;
Jangan memaksakan suatu pernikahan yang tidak pernah diinginkan oleh pengantin tersebut,
karena akhirnya akan saling menyiksa keduanya.
Pengarang menciptakan novel ini karena berdasarkan kehidupan sosial masyarakat pada masa
itu yang menceritakan seseorang yang melupakan adat istiadatnya. Hal tersebut juga kita
rasakan pada masa sekarang, rasa bangga dan kepedulian melestarikan budaya kurang
tertanam di generasi muda Indonesia saat ini. Minat mereka untuk mempelajarinya kurang.
Mereka lebih tertarik belajar kebudayaan asing. Salah satu faktor penyebabnya adalah
kurangnya informasi kekayaan yang dimiliki Bangsa Indonesia. Padahal Indonesia memiliki
tujuh warisan budaya, tiga diantaranya warisan budaya dunia.

Budaya dan adat istiadat adalah suatu warisan dari leluhur atau nenek moyang kita yang tidak
ternilai harganya. Negara Indonesia disebut Negara maritim karena dikelilingi oleh banyak
pulau, bahasa dan adat kebudayaan Indonesia sangat banyak dan beraneka ragam. Karena
keanekaragaman tersebutlah Indonesia menjadi daya tarik bangsa lain dari belahan dunia,
bahkan mereka juga mempelajarinya karena selain beraneka ragam, budaya Indonesia dikenal
sangat unik dan menarik perhatian wisatawan asing untuk melihat keanekaragaman budaya
kita. Namun, kebudayaan Indonesia semakin luntur ditelan zaman. Semakin berkembangnya
teknologi telah membuat budaya banyak dilupakan dan ditinggalkan oleh kalangan remaja.

Pemuda zaman sekarang lebih memilih budaya luar daripada budaya sendiri, seperti
mengidolakan artis korea, bahkan ada anak muda yang sampai mengoperasi plastik wajahnya
demi terlihat seperti masyarakat korea. Baju yang terbuka dan ketat lebih dipilih untuk
menjadi pakaian sehari-hari, padahal adat istiadat kita menganjurkan untuk memakai pakaian
tertutup terlebih lagi untuk kaum wanita. Tuturan anak-anak zaman sekarang juga sudah jauh
dari tata krama, mereka tidak memperhatikan kepada siapa mereka berbicara. Seperti kata
"Cok, bro, cuk" yang diucapkan kepada orang tua. Padahal adat istiadat kita sudah
mengajarkan bagaimana cara menghormati orang tua. Kita adalah pemuda untuk negara kita,
kita yang akan mengikuti mereka atau mereka yang mengikuti cara kita.

Anda mungkin juga menyukai