Anda di halaman 1dari 10

abstrak

Sejak Masa Nabi saw., telah banyak usaha yang dilakukan oleh para ulama untuk
mengungkapkan makna dan isi yang terkandung di dalam al-Qur ’an. Banyak
metode-metode yang mereka gunakan untuk mengungkap inti dan konsep-konsep
yang ditawarkan al-Qur ’an. Metode-metode pentafsiran tersebut semakin
berkembang dari generasi ke generasi. Mulai dari era klasik dengan metode tafsir
tematiknya, era modern dengan beragam metode tafsir mulai dari tafsir sastra,
tafsir ‘ilmi dan lainnya, hingga era kontemporer dengan menggunakan metode
linguistik yang diadopsi dari keilmuan Barat. Salah satu metode pentafsiran yang
digunakan saat ini adalah metode semantik. Semantik sendiri merupakan sebuah
metode yang meneliti tentang makna-makna dan konsep-konsep yang terdapat
pada kata di dalam al-Qur’an dengan mempelajari langsung sejarah penggunaan
kata tersebut, bagaimana perubahan maknanya, dan pembentukan konsep yang
terkandung di dalam kata tersebut. Semantik al-Qur ’an menggunakan pendekatan
sosio-linguistik untuk mengungkapkan pembentukan konsep yang dikandung
dalam sebuah kata di dalam al-Qur ’an. Metode ini diawali dengan penjelasan
definisi kata, pengungkapan kesejarahan kata dari awal kata tersebut diucapkan
oleh masyarakat Arab hingga digunakan dalam al-Qur ’an, hubungan antara kata
tersebut dengan kata yang lain di dalam ayat maupun surah (munasabah), dan
menjelaskan konsep- konsep yang terkandung di dalamnya hingga membentuk
sebuah pandangan dunia al-Qur ’an.

Pengertian semantic

A. Semantik Alquran Semantik menurut Izutsu adalah kajian analitik terhadap


istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan yang akhirnya sampai
pada pengertian konseptual weltanschauung atau pandangan dunia masyarakat
yang menggunakan bahasa itu, tidak hanya sebagai alat bicara dan berpikir, tetapi
yang lebih penting lagi adalah pengkonsepan dan penafsiran dunia yang
melingkupinya. Disini ia menekankan pada istilah-istilah kunci yang terikat pada
kata per kata. Jadi semantik lebih terfokus pada kajian kata, bukan bahasa secara
umum. Kata sendiri merupakan bagian bahasa dimana huruf adalah bagian
terkecilnya. Huruf yang terangkai menjadi frase dan bergabung hingga memiliki
suatu rangkaian yang bermakna, merupakan sebuah simbol yang terdapat dalam
bahasa. Ketika rangkaian huruf dan frase telah memiliki makna, maka ia disebut
sebuah kata. Dalam perjalanan sejarah perkembangannya, kata yang awalnya
hanya memiliki satu makna asli (dasar) mengalami perluasan hingga memiliki
beberapa makna. Hal ini yang menjadi fokus metode semantik dalam mengungkap
konsep-konsep yang terdapat di dalam Alquran. 1. Makna dasar Salah satu hal
yang disepakati dalam pelbagai mazhab semantik dalam spektrum ilmu bahasa
kontemporer adalah pembedaan antara makna dasar (grundbedeutung) dan makna
relasional (relational bedeutung). Makna dasar yang dimaksud di sini adalah
kandungan kontekstual dari kosa kata yang akan tetap melekat pada kata tersebut,
meski kata tersebut dipisahkan dari konteks pembicaraan kalimat. Dalam kasus
Alquran kata kitab bisa dijadikan sebagai contoh makna dasar, dalam pengertian,
pemakaian di dalam dan di luar Alquran artinya sama. Kata ini sepanjang
dirasakan secara aktual oleh masyarakat penuturnya menjadi satu kata,
mempertahankan makna

Metode penafsiran Alquran telah dimulai sejak era Alquran diturunkan. Pada
masa tersebut metode yang dipakai adalah tafsir Alquran dengan Alquran yang
meliputi tafsir ayat dengan ayat. Selain itu dikenal juga tafsir Alquran dengan
hadis, dimana penafsir tersebut adalah Nabi Saw. sebagai orang yang juga
menyampaikan Alquran kepada umatnya. Tafsir Alquran mengalami
perkembangan yang cukup luas setelah masa Nabi Saw. ada beberapa aliran tafsir
yang muncul kemudian sesuai dengan disiplin ilmu yang dipakai dalam metode
penafsiran, antara lain: tafsir maudhu’i, tafsir bi al-ma’tsur, tafsir bi al-ra’yi, tafsir
sufi, tafsir isyari, tafsir ilmi dan tafsir sastra. Ragam model penafsiran ini
menunjukkan bahwa Alquran bisa dipahami dari berbagai macam pendekatan.
Keberadaan semantik sebagai bagian dari linguistik yang dimunculkan oleh
“Braille” di akhir abad 19 ini masih menjadi perdebatan terhadap munculnya
semantik sebagai disiplin ilmu makna dengan judul tesisnya Essai de Semantique
merupakan suatu perkembangan terhadap kebutuhan makna dalam ilmu
kebahasaan. Semantik melakukan upaya pemaknaan terhadap simbol-simbol teks
yang berakar dari teks itu sendiri. Pembagian pamahaman makna dalam semantik
disajikan dengan beragam latar belakang, mulai dari makna dalam perbedaan
suara (fonetik), makna dalam perbedaan gramatikal, makna dalam perbedaan
leksikal, dan makna dalam perbedaan sosiolinguistik. Sedangkan pada proses
berikutnya semantik lebih memahami pada kontekstualitas teks untuk
menghasilkan sebuah makna. Dalam semantik, pergulatan dalam analisa makna
suatu teks terus berkembang hingga saat ini, baik yang menganalisa dari unsur
leksikal, gramatikal, maupaun kontekstual. Masing-masing memiliki daya analisa
yang sambung, yang tidak dapat dilepaskan dalam kajian semantik. Metode
semantik dalam menafsirkan Alquran lebih nampak pada pemaknaan yang
mereposisikan teks Alquran pada tekstualitas dan 2 kontekstualitasnya.
Selanjutnya semantik sebagai bagian dalam ilmu kebahasaan memberikan daya
tambah terhadap dimensi bahasa dan makna yang terkandung dalam Alquran.
Toshihiko Izutsu lebih jauh mengglobalkan pemaknaan Alquran dalam dimensi
makna dasar dan makna relasional. Analisa ini mempunyai kecenderungan
pemaknaan yang sangat luas dari segala dimensi pembentukan ayatayat Alquran.
Satu sisi semantik memang memiliki daya teori yang mampu mengungkap makna
teks yang lebih. Ini membuktikan bahwa antara semantik dan Alquran sama-sama
memiliki karakteristik penganalisisan. Alquran sebagai kitab suci yang membawa
segala simbol yang menyertai teksnya, baik secara idiologi, kesejarahan, norma,
dan segala segmen kehidupan kemanusiaan yang terkandung dalam Alquran.
Sedangkan semantik secara disiplin keilmuan membentangkan analisa teks yang
sangat khusus sebagai ilmu bantu bahasa.

Awal Kemunculan Semantik Al Qur’an Bahasa selalu berkembang dan


perkembangan bahasa beriringan dengan perkembangan kehidupan manusia itu
sendiri. Pada dasarnya secara umum perkembangan bahasa tercakup ke dalam dua
hal, yaitu perkembanganfonologi dan perkembangan semantik (Kholil, 1985: 50).
Namun makalah inimenjelaskan perkembangan yang kedua, yaitu perkembangan
semantik. Semantik (ilmu Dalalah) yang ada saat ini tidak langsung hadir
begitusaja, ia mengalami perjalanan yang cukup panjang sampai akhirnya menjadi
8 keilmuan yang cukup matang. Sejarah mencatat bahwa pembahasan
bidangsemantik atau ilmu makna dimulai sejak masa Aristoteles, pada zaman
itumakna bahasa telah dikaji penggunaannya dalam bentuk majaz atau
isti’aroh.Mereka juga menganalisis makna dalam perspektif filsafat
sertamenghubungkannya dengan kenyataan dan benda-benda. Mereka juga
terusmenganalisis persepsi secara filosofis dan menghubungkannya
dengankenyataan dan benda-benda. Kemudian mereka memfokuskan
penelitianmereka pada hubungan simbol dengan implikasinya. (Diyad, 1996:6)
Pembahasan semantik secara tersirat juga telah dikaji oleh orang-orangArab,
terutama sejak hadirnya kitab suci agama Islam yaitu Alqur’an. Merekamembahas
Alqur’an dari segi I’jaz, maupun makna dalam lafaz-lafaznya.Penelitian ilmu
Dalalahdi kalangan bangsa Arab dimulai sejak abad ketiga,keempat, kelima H
sampai seterusnya (Diyad, 1996:8). Pada awalnya pembahasan Dalalahdalam
Alqur’an seputar pada :mencatat makna-makna asing didalam Alqur’an,
pembicaraan terkait gaya bahasa Al-qur’an, penyusunan materi dan teori dalam
Alqur’an, pembuatankamus-kamus tematik dan kamus kata, hingga pengaturan
mushaf sesuaidengan makna (Muhtar, 2010: 20). Pembahasan tentang makna
yang paling awal di Arab adalah Sibawaih, iamengatakan bahwa terdapat
hubungan antara lafaz dan makna (Diyad,1996:32). Namun, sebenarnya jauh
sebelum Sibawih muncul, makna telahdibahas pada masa Amirul Mukminin Ali
bin Abi Tholib dan Abu Al-AswadAd-Duali, meskipun pada saat itu makna tidak
dibahas secara langsung. Latar belakang adanya penyinggungan makna yaitu saat
agama islamsemakin meluas keluar dari wilayah Arab dan bercampurnya orang
non Arabdan orang Arab sehingga berakibat rusaknya makna bahasa/lahn(Abu
Hatim,tt: 82). Dikisahkan bahwa ada seorang non Arab yang datang
menghadapAmirul Mukminin Ali bin Abu Tholib dan bertanya tentang cara
membacahuruf Arab, karena pada saat itu belum ada tanda bacakajian tentang
makna juga dibahas oleh ulamaIslam yang lainnya, di antaranya adalah para ahli
fikih dan ushul fiqh. Paraulama tersebut tertarik mengkaji makna dan
menghubungkan makna Doktor Muhammad Fauzi Faudzul-loh, ia menulis buku
berjudul “hu- bungan ilmus ushul fiqih dengan ba-hasa” 2. Al-Farobi, Ibnu Sina,
Ibnu Rushdi, Ibnu Hazim, Al-Ghozali, Abdul Jab- bar, dan Mu’ammar 3. Abdul
Qohir al-Jurjani yang mem-bahas makna pada teorinya yaitu An- Nadzom.
(Muhtar, 2010: 20-21) Semantik di kalangan ilmuwan barat baru dibahas sekitar
abad 17 sampaike 19 Masehi, dan tokoh yang paling populer adalah seorang ahli
bahasa ber-nama Breal dengan karyanya yang ber-judul (Essay de
Semanticskue),kemudian karya berikutnya disusul oleh karya Stern di Jenawa,
tetapi sebelummuncul karya Stern telah terbit dahulu kum-pulan materi kuliah
oleh ahli bahasa yang bernama Ferdinand de Sausure yang berjudul Course
deLinguistikue General. Pandangan Ferdinand tersebut dikenal sebagai
aliranstrukturalisme. Menurutnya, bahasa merupakan satu sistem yang terdiri
atasunsur-unsur yang saling berhubungan dan merupakan satu
kesatuan.Pandangan ini ke-mudian dijadikan tolak penelitian, terutama di
Eropa(Muhtar, 2010:22). Pada masa Ferdinand De Saussure dikenal dengan
istilahdiakronis dan sinkronis. Pendekatan diakronis bersifat historis sedangkan
pendekatan sin-kronis bersifat deskriptif. Selain Ferdinand De Saussure, terdapat
juga tokoh linguis yang terkenalyaitu Leonard Bloomfield. Ia menciptakan sebuah
buku yang terkenal yaitu“Language”. Menurutnya makna adalah kondisi dan
respons, kita bisa men-definisikan arti secara tepat apabila arti tersebut
berhubungan dengan hal-halyang telah kita ketahui sebelumnya (Abdul Karim, tt:
10-11). Tokoh lain yang berjasa dalam bidang semantik adalah Noam Chomsky,ia
terkenal dengan aliran bahasa trans-formatif. Menurutnya makna merupa-kan
unsur pokok dalam menganalisis bahasa (Matsna, 2016: 10). Setelah abad ke 19,
keilmuan semantik semakin berkembang dan banyakdibahas di kalangan para
ilmuwan barat, namun dalam membahas sejarah bidang semantik, tampaknya
mereka mengabaikan upaya kajian semantik Arab kuno yang telah membahas
ilmu makna jauh sebelum mereka membahasnya(Diyad, 1996:10). Di masa
modern ini, dari kalangan bangsa Arab muncul para linguis baruyang membahas
tentang semantik, di antara yang terkenal adalah Ibrohim Anisdengan karyanya
yang berjudul “ Dalalatul Alfaz ” ditulis tahun 1958 Masehi.Buku tersebut terdiri
dari 12 bab, dan bab pertama membahas tentang Asal-usul Pembicaraan Manusia
dan bagaimana kata itu berhubungan dengansignifikansinya”. Kemudian di tiga
bab selanjutnya dibahas mengenai alat atauobyek semantik adalah lafaz.
Selanjutnya ia membahas semantik fonetis,semantik morfologi, semantik
gramatikal, dan semantik leksikal. KemudianIbrohim Anis juga membahas
pendapat para ilmuwan mengenai hubunganmakna dan lafaz, yaitu apakah
hubungannya alami seperti matahari dan cahaya,ataukah hubungan tersebut
bersifat kebudayaan pemakaiannya. NamunIbrohim Anis lebih condong terhadap
pendapat yang kedua (Muhtar, 2010:29).Kemudian di masa modern Para ahli
bahasa mengonsen-trasikan kajian tentangmakna pada usaha pemeliharaan bahasa
Arab Fusha dari peristiwalahn(Diyad,1996:246). Dari sejarah munculnya
pembahasan tentang makna diatas, maka dapat di-simpulkan bahwa Ilmu Dalalah/
seman-tik merupakan ilmu yang cukup tua,namun ia mengalami kemapanannya
pada era modern. Awalnya hanya sebatas penentuan makna pada lafaz yang
berdiri sendiri, namun kemudian ia mulaimerambah kepada makna didalam
struktur kalimat (Ilyan, 2003: 707)

B. Perkembangan Semantik Alquran

Penggunaan semantik dalam penafsiran Alquran sedianya sudah ada sejak era atau
priode klasik. Namun pada saat itu belum ada cabang keilmuan semantik yang
independen. Penulis sendiri meragukan akan adanya disiplin ilmu linguistik
sebagai metode pendekatan dalam penafsiran pada era tersebut. Akan tetapi tidak
menutup kemungkinan bahwa embrio penafsiran dengan menggunakan semantik
sudah dilakukan, walaupun tidak secara spesifik menekankan pada aspek
pemaknaan saja. Dalam pembahasan ini penulis membagi perkembangan
semantik Alquran ini pada dua bagian. Periode klasik dan priode kontemporer.

1. Periode Klasik Adapun yang dimaksud era klasik ini adalah masa-masa
setelah Nabi saw wafat dan para penerus beliau mulai mencoba memahami
ayat-ayat Alquran dengan pendekatankebahasaan terhadap ayat-ayat yang
rancu atau sulit diterima logika.
2. Periode Kontempoer Pada masa sekarang ini, penulis belum menemukan
jumlah pasti tentang sarjana yang menggunakan metode semantik sebagai
fondasi dasar dalam penafsiran Alquran. Hal ini bisa saja disebabkan oleh
beberapa hal, diantaranya dengan munculnya ilmu balagah sebagai disiplin
ilmu kebahasaan yang memiliki metode yang mirip dengan metode
semantik; munculnya tafsir sastra yang dipelopori oleh Amin al-Khulliy
dimana ia menekankan aspek mikrostruktural makna ayat dalam metode
penafsirannya; dan munculnya metode linguistik-hermeneutik dalam
khazanah penafsiran Alquran sehingga semantik hanya digunakan sebagai
alat bantu penafsiran, bukan sebagai metode pokok. M. Syahrur dalam
kitab “al-Kitab wa al-Kuna: Qira’ah Mu’ashirah” sudah menunjukkan
kecenderungan semantik dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran. Hal ini
terlihat jelas ketika ia membedakan antara makna kata Alkitab,

Adapun tokoh kontemporer yang sangat kentara dalam penggunaan semantiknya


adalah Toshihiko Izutsu. Dalam bukunya yang berjudul “God and Man in the
Koran”, ia meletakkan pondasi semantik dalam menganalisis kata Allah secara
menyeluruh. Ia kemudian melanjutkan metodenya tersebut dalam buku lainnya
yang berjudul “Concept of Believe in Islamic Theology” dimana ia menjelaskan
tentang makna iman dan islam lengkap dengan semantik historisnya. Dalam
bukunya yang terakhir yang berjudul “Ethico-Religious Concept in the Qur’an”,
ia menyempurnakan metode semantiknya dengan menambah pembahasan tentang
struktur batin yang mengungkapkan konsep dasar yang terdapat dalam kata fokus,
dan medan semantik yang membahas lebih dalam tentang kata-kata kunci yang
mengelilingi kata fokus serta pengaruh kata kunci tersebut dalam pemaknaan kata
fokus.12 Selanjutnya melihat ke Indonesia. Ada beberapa karya yang sudah
menggunakan metode semantik dalam memaknai kata-kata dalam Alquran
walaupun tidak secara menyeluruh dan hanya menguraikan makna dasar serta
makna relasionalnya. Diantara tokoh-tokoh tersebut antara lain M. Dawam
Raharjo dalam bukunya “Ensiklopedi Alquran: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-
Konsep Kunci”. Dalam buku tersebut, Raharjo mencoba mengungkapkan makna
dan konsep yang terkandung dalam kata-kata kunci di dalam Al-Quran secara
tematik. Karya lain yang juga terpengaruh metode semantik adalah “Memasuki
Makna Cinta” yang ditulis oleh Abdurrasyid Ridha. Karya ini hanya terfokus pada
pemaknaan kata hubb dan kata-kata lain yang memiliki hubungan makna dengan
kata tersebutDari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa semantik telah menjadi
bagian tersendiri dalam penafsiran Alquran. Penggunaan semantik telah dimulai
sejak masa klasik yang diawali oleh Tabi’in yang bernama Mujahid Ibn Jabbar
yang kemudian dikembangkan oleh Muqatil dan terus diaplikasikan oleh ulama-
ulama generasi selanjutnya. Selain itu kita juga dapat mengetahui bahwa semantik
bukan metode baru dalam penafsiran, akan tetapi penggunaan kata semantik
Alquran itu baru terungkap pada era kontemporer saat ini karena pada masa klasik
para sahabah maupun tabi’in cenderung menggunakan istilah keilmuan bahasa
Arab, karena kemungkinan besar belum mengenal apa itu “semantik” secara
leksikal

C. Aplikasi Metode Semantik dalam Alquran Makna sebuah kata dalam Alquran
dipengaruhi oleh kata-kata yang muncul sebelum dan sesudahnya. Kata-kata
tersebut membentuk jaringan konseptual yang bisa merubah makna dasar sebuah
kata menuju kepada sebuah makna baru yang sesuai dengan isi kalimat tersebut
atau disebut juga sebagai makna relasional. Jaringan konseptual yang
mempengaruhi makna kata disebut bidang semantik. Pembahasan ini merupakan
pembahasan yang paling rumit dalam metode semantik, karena setiap kata yang
berada dalam bidang tersebut harus dijelaskaC. Aplikasi Metode Semantik dalam
Alquran Makna sebuah kata dalam Alquran dipengaruhi oleh kata-kata yang
muncul sebelum dan sesudahnya. Kata-kata tersebut membentuk jaringan
konseptual yang bisa merubah makna dasar sebuah kata menuju kepada sebuah
makna baru yang sesuai dengan isi kalimat tersebut atau disebut juga sebagai
makna relasional. Jaringan konseptual yang mempengaruhi makna kata disebut
bidang semantik. Pembahasan ini merupakan pembahasan yang paling rumit
dalam metode semantik, karena setiap kata yang berada dalam bidang tersebut
harus dijelaskan makna dan pengaruhnya. Oleh karena itu, penelitian dalam
bidang semantic Semantik merupakan sebuah keilmuan yang pada mulanya
berasal dari Barat, namun lambat laun keilmuan tersebut diadopsi oleh pemikir
muslim yang ahli di bidang bahasa. Hal itu memunculkan sebuah keilmuan baru.
Keilmuan itu ialah semantik Al-Quran.

Sebenarnya, semantik sudah digunakan sejak zaman Rasulullah untuk


menafsirkan Al-Quran. Hanya saja orang-orang pada masa itu tidak membuat
keilmuan semantik Al-Quran ini berdiri sendiri. Keilmuan semantik pada masa itu
hanya sekedar digunakan saja tanpa dibuatkan sebuah disiplin ilmu.

Di Arab, istilah semantik dikenal dengan istilah dalalah. Para ulama Arab telah
lama mengkaji keilmuan ini, akan tetapi para ilmuwan barat terlihat mengabaikan
kiprahnya para ulama Arab. Meski begitu, para ulama Arab tetap terus mengkaji
keilmuan ini. Para ahli kebahasaan asal Arab memiliki istilahnya masing-masing
terhadap dalalah ini, ada yang menyebutnya dengan istilah Ilmu ad-Dalalah, ada
juga yang mengatakan Ilmu ad-Dilalah, dan ada yang menyebutnya dengan istilah
Ilmu Makna.

A. Kesimpulan

Izutsu memberikan definisi semantik Alquran sebagai kajian analitik terhadap


istilah-istilah kunci yang terdapat di dalam Alquran dengan menggunakan bahasa
Alquran agar diketahui weltanschauung Alquran, yaitu visi Qur’ani tentang alam
semesta. Penggunaan semantik dalam penafsiran Alquran sedianya sudah ada
sejak era atau priode klasik. Namun pada saat itu belum ada cabang keilmuan
semantik yang independent. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa
embrio penafsiran dengan menggunakan semantik sudah dilakukan, walaupun
tidak secara spesifik menekankan pada aspek pemaknaan saja. Embrio dari
penafsiran secara semantik terlihat ketika Mujahid Ibn Jabbar, Ibnu Juraij.
Walaupun Kesadaran semantik dalam penafsiran Alquran dimulai sejak masa
Muqatil Ibn Sulayman, Harun ibnu Musa dll. Adapun tokoh kontemporer adalah
Muhammad Syahrur kemudian Toshihiko Izutsu yang sangat kentara dalam
penggunaan semantiknya. Pengaplikasian metode semantik dalam Alquran
sebagaimana yang penulis contohkan bahwa makna sebuah kata dalam Alquran
dipengaruhi oleh kata-kata yang muncul sebelum dan sesudahnya. Kata-kata
tersebut membentuk jaringan konseptual yang bisa merubah makna dasar sebuah
kata menuju kepada sebuah makna baru yang sesuai dengan isi kalimat tersebut
atau disebut juga sebagai makna relasional. Seperti kata syaiṭān disandingkan
dengan kata auliyā ketika menjelaskan tentang orang-orang kafir dan munafik.
Dalam hal ini kata syaiṭān memiliki makna sosok figur yang dianggap memiliki
kekuasan dalam menolong orang lain baik dari golongan jin maupun manusia dan
seringkali dianggap tandingan dari Allah sebagai Tuhan.

DAFTAR PUSTAKA

Alquran dan Terjemah

Izutsu, Toshihiko, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap


Alquran terj Agus Fahri Husein, Supriyanto Abdullah, dan Amirudin.
Yogyakarta: PT. Tiara wacana, 1997

Setiawan, M. Nur Kholis, Al-Alquran Kitab Sastra Terbesar. Ed. Dzulmani. Cet
ke-2. Yogyakarta: eLSAQ Press, 2006 Syahrur,

Muhammad, Epistemologi Qurani: Tafsir Kontempoer Atay-Ayat Alquran


Berbasis Materialism-Dialektika-Historis. Terj. Firdaus, cet ke-2. Bandung:
Penerbit Marja, 2015

Azima, Fauzan, Semantik Alquran: Sebuah Metode PenafsiranI, Tajdid, Jurnal


Pemikiran Keislaman dan kemanusiaan, vol. 1, no. 1, April 2017

Bāqī, M. Fuād ‘Abdul, Mu’jam Mufahraz li Alfāz Al-Qur’ān. Beirut: Dar al-Fikr,
1992

Shihab, M. Quraish, Yang Halus Dan Tak Terlihat: Setan Dalam Alquran. Cet ke-
1 edisi baru. Jakarta: Lentera Hati, 2010

Anda mungkin juga menyukai