Anda di halaman 1dari 4

Mengenal Pemikiran Tafsir Semantik Toshihiko Izutsu dalam Kajian Al-Quran Part I

Oleh : Diki Ramadhan

Dalam perkembangannya, kajian tafsir sudah melahirkan banyak produk-produk


pikiran yang berasal dari para mufassir. Hal ini terjadi seiring berkembangnya zaman dan
ilmu pengetahuan, dalam istilah Yuval Noah Harari penulis buku Sapiens disebut pohon
pengetahuan. Tak terkecuali kaum-kaum non Islam, yang berusaha memahami dan
menafsirkan Al-Quran dari kacamata keilmuan mereka, salah satunya yang akan penulis ulas
kali ini yaitu pemikiran tafsir semantik Toshihiko Izutsu.

Selayang Pandang Izutsu

Nama lengkapnya adalah Toshihiko Izutsu lahir di Tokyo pada tanggal 4 Mei 1914 dan
meninggal di Kamakura pada tanggal 7 Januari 1993. Izutsu berasal dari keluarga yang taat
akan agama, terbukti sedari kecil Izutsu sudah mengamalkan ajaran Zen Buddhisme. Bahkan
pengalaman kontemplasi dan bertafakur dari praktik ajaran Zen sangat mempengaruhi
pikirannya dalam mencari relung terdalam filsafat serta mistisme. Sejak kecil pula, Izutsu
dibiasakan dengan cara berpikir Timur yang berpijak pada ketiadaan (nothingness).

Tetapi, dalam perjalanan hidupnya, Izutsu juga membaca karya-karya yang ditulis oleh
ahli mistik Barat. Pengalaman inilah yang mengantarkan beliau pada pemahaman yang sangat
bertentangan dengan keyakinan sebelumnya. Kalau masa mudanya ia asyik dengan
spiritualisme Timur, kemudian beralih pada spiritualisme Barat dan mencurahkan
perhatiannya pada kajian filsafat Yunani. Dari pengalaman berpikir tentang filsafat Yunani
seperti Socrates, Aristoteles dan Plotinos, yakni sejenis mistisisme, ditemukan sumber
pemikiran filsafat dan sekaligus sebagai kedalaman filsafatnya.

Pengalaman-pengalaman yang sifatnya mistikal, sebagai sumber pemikiran filsafat


menjadi titik permulaan untuk seluruh pemikiran filsafat Izutsu. Ia tidak hanya suatu
penemuan dalam ruang filsafat Yunani, tapi juga menjadi asal-usul pemikiran Izutsu dalam
membangun ruang lingkup penelitiannya terhadap filsafat Islam, filsafat India, filsafat Zen,
pemikiran Yahudi, filsafat Lao-Tsu Cina, filsafat Yuishiki dan Buddhisme Kegon.

Izutsu menyelasaikan pendidikannya pada tingkat perguruan tinggi di Universitas Keio,


Tokyo. Di sana juga Izutsu mengabdikan diri sebagai seorang dosen dan mengembangkan
karir intelektualnya hingga diakui dunia. Izutsu mengajar selama kurang lebih 15 tahun dari
1954 sampai 1968 serta mendapatkan gelar Profesor Madya pada tahun 1950 dan
mendapatkan gelar Profesornya di Universitas yang sama. Atas permintaan Wilfred Cantwell
Smith sebagai direktur kajian Islam di Universitas MacGill Montreal Canada, dia bersedia
menjadi profesor tamu yang dijalaninya antara tahun 1962-1968 dan selanjutnya menjadi
profesor di Universitas ini antara tahun 1969-1975. Setelah mengajar di MacGill, dia
berhijrah ke Iran untuk menjadi pengajar di Imperial Iranian Academy of Philosophy sebagai
pemenuhan undangan koleganya, Seyyed Hossein Nasr, antara tahun 1975 sampai dengan
1979. Setelah itu, Izutsu kembali ke tanah airnya dan menjadi profesor emiritus di
Universitas Keio hingga akhir hayatnya.

Izutsu adalah seorang poliglot, Ia bahkan menguasai 30 bahasa di dunia, termasuk


bahasa Persia, Sansekerta, Pali, Cina, Rusia, dan Yunani. Kemampuan Izutsu dalam bidang
bahasa memungkinkannya untuk melakukan penelitian terhadap kebudayaan-kebudayaan
dunia dan menjelaskan secara spesifik berbagai sistem keagamaan dan filsafat melalui bahasa
aslinya. Bidang kegiatan penelitiannya sangat luas, mencakup filsafat Yunani kuno, filsafat
barat abad pertengahan, mistisisme Islam (Arab dan Persia), filsafat Yahudi, filsafat India,
pemikiran Konfusianisme, Taoisme China, dan filsafat Zen yang sudah disebutkan pada
paragraf sebelumnya.

Mengenal Tafsir Semantik

Secara etimologi, semantik berasal dari bahasa Yunani, yaitu sema (tanda atau
lambang), semanteme (makna), semaino (menandai atau melambangkan), dan semantike
(memaknai). Ferdinand de Saussure menyatakan pandangannya, bahwa tanda atau lambang
yang dimaksud adalah tanda linguistik, terdiri dari komponen yang mengartikan serta
berwujud dari bentuk-bentuk bunyi bahasa dan komponen yang diartikan atau sebagai makna
dari komponen yang pertama.

Semantik secara terminologi menurut para linguis adalah studi tentang makna, yakni
menelaah tanda-tanda atau lambang-lambang yang menyatakan makna. Tugasnya adalah
mencari bagaimana asal mula dari suatu makna, perkembangannya, hubungan makna yang
satu dengan yang lain, mengapa terjadi perubahan makna dalam bahasa, dan apa pengaruhnya
terhadap manusia dan masyarakat. Sebagai istilah teknis, semantik adalah kajian analitik
terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan yang akhirnya sampai
pada pengertian konseptual dari masyarakat pengguna bahasa tersebut. Pandangan ini tidak
saja sebagai alat berbicara dan berpikir, tetapi lebih penting lagi, pengonsepan dan penafsiran
dunia yang melingkupinya.
Pemikiran Tafsir Semantik Toshihiko Izutsu

Pengetahuan Izutsu yang terbilang luas, memungkinkan dirinya untuk melihat


persoalan dari berbagai perspektif, sehingga dapat melahirkan pandangan yang menyeluruh
tentang suatu masalah. Izutsu mampu mengkhatamkan Al-Quran dalam durasi waktu 1 (satu)
bulan setelah mempelajari bahasa Arab, hal menakjubkan hasil dari kerja keras lainnya
adalah terjemahan langsung pertama Al-Qur'an dari bahasa Arab ke Jepang pada tahun 1958.

Izutsu berusaha membuat Al-Quran menginterprtasikan konsep-konsepnya sendiri dan


bicara untuk dirinya sendiri dengan mengeksplorasi data-data yang berasal dari Al-Quran,
jika dianalogikan hal ini juga bisa disebut sebagai tafsir bi al-riwayah. Izutsu menyebutkan
ruang lingkup penelitian semantik adalah mencoba untuk menguraikan kategori semantik dari
sebuah kata menurut kondisi pemakainya.

Dalam mendapatkan konsep-konsep yang ada di dalam Al-Quran, Izutsu melakukan


pendekatan metodologis dengan membaginya menjadi dua, yaitu metodologi makna dasar
dan metodologi makna relasional. Menurut Izutsu, akan ada dua hal yang muncul dari suatu
kata, yaitu makna dasar dan makna relasional. Makna dasar adalah makna yang melekat pada
kata itu sendiri, yang selalu terbawa dimanapun kata itu diletakkan. Sedangkan makna
relasional adalah makna konotatif yang diberikan atau ditambahkan pada makna yang sudah
ada tergantung pada kalimat dimana kata tersebut diletakkan.

Dalam pengertian ini, makna dasar disamakan dengan makna leksikal (kosa kata).
Sedangkan makna relasional hampir mendekati makna gramatikal (kebahasaan). Beberapa
ahli bahasa berpendapat bahwa “arti” dibedakan dari “makna”, yang mana “arti” adalah apa
yang disebut sebagai arti leksikal, sedangkan “makna” adalah hubungan yang ada di antara
satuan bahasa. Arti leksikal dapat berubah ke makna gramatikal, atau dari arti denotatif ke
dalam makna konotatif akibat dari ditambahkannya komponen makna lain pada arti kognitif.
Menurut Izutsu, denotasi sebuah kata adalah sesuatu atau peristiwa yang mana kata tersebut
digunakan dan termasuk kategori referensi nonlinguistik. Sebaliknya, konotasi sebuah kata
adalah seperangkat karakteristik sifat tertentu dimana kata diterapkan hanya untuk peringkat
referensi ini.

Izutsu menggambarkan dua makna ini dengan mengambil contoh kata kitab. Kata kitab
memiliki makna dasar kitab. Dalam konteks Al-Quran, kata kitab mempunya makna yang
luar biasa penting sebagai isyarat konsep religius yang sangat khusus yang dilingkupi oleh
cahaya kesucian, hal ini bisa dilihat dari kenyataan bahwa kata kitab dalam konteks ini
berdiri dalam hubungan yang sangat dekat dengan wahyu Ilahi. Makna kata sangat
dipengaruhi oleh kata kata yang berada di sekitarnya, dipengaruhi oleh keseluruhan sistem
dimana kata tersebut berada. Dengan kata lain, makna relasional sebuah kata lebih penting
kedudukannya dibanding makna dasar. Bahkan makna yang dibangun dari relasi makna antar
kata itu dapat menghilangkan makna dasarnya.

To be continue...

Anda mungkin juga menyukai