Anda di halaman 1dari 25

SEMANTIK PRAKTIS:

EKSPLORASI PENDEKATAN SEMANTIK DALAM TAFSIR


TOSHIHIKO IZUTSU

Nurul Himatil ‘Ula

Pendahulan

Sebagai kitab suci, alquran selalu menjadi objek menarik untuk diteliti.
Bukan hanya dari cendekiawan muslim, tapi juga non-muslim. Kelompok pertama,
yang kemudian disebut sebagai mufassir, berusaha untuk menguak dan menggali
makna alquran. Upaya ini maklum dilakukan, mengingat alquran merupakan pesan
dari langit yang berusaha merespon kejadian-kejadian masyarakat Arab pada abad ke-
7 M. Bukan pekerjaan mudah untuk bisa menemukan makna dari ayat-ayat alquran.
Terutama pada ayat-ayat mutas}a>bih. Juga bukan hal mudah untuk menjadi seorang
mufassir. Mengingat ada standarisasi untuk bisa mengklasifikasikan seseorang
sebagai mufassir. Dengan berbagai perangkat dan unsur-unsur yang harus terpenuhi
dalam penafsiran.
Berbeda dengan kelompok pertama yang menganggap bahwa alquran
adalah kalam Allah yang disampaikan Jibril kepada Muhammad, yang kemudian
disampaikan kepada generasi-generasi selanjutnya dengan cara mutawattir dan ditulis
dalam mushaf yang di”sakral”kan. Kelompok kedua umumnya memandang alquran
sebagai sebuah teks dan beberapa memandangnya sebagai ucapan Muhammad.
Bukan kalam Tuhan. Dari anggapan inilah, kemudian lahir berbagai wacana-wacana
baru dalam upaya penafsiran alquran. Kelompok kedua ini kemudian dikenal dengan
nama orientalis. Mereka berusaha untuk mengkritik dan mencari celah kelemahan-
kelemahan alquran. Beberapa diantaranya mengkaji alquran secara objektif.

1
Ketertarikan umat muslim untuk mengkaji alquran adalah hal yang
maklum. Mengingat alquran adalah kitab suci umat Islam. menjadi hudan atau
pedoman hidup, dan harus memahaminya sebagai konsekuensi. Namun, ketertarikan
non-muslim terhadap alquran yang menjadikan mereka mendedikasikan hidupnya
untuk mempelajari dan meneliti alquran, menimbulkan sikap suspicious di kalangan
muslim. Apa motivasinya dan kepentinganya.
Di samping kecurigaan yang muncul atas dedikasi non-muslim dalam
kajian alquran, wacana-wacana baru yang mereka tawarkan patut dipertimbangkan
untuk menambah khazanah dunia penafsiran. Salah satu tokoh non-muslim yang
tertarik dan meneliti tentang alquran adalah Toshihiko Izutsu. Seorang cendekiawan
Jepang yang berusaha mencapai makna alquran dengan pendekatan semantik. Dia
adalah pemikir Islam non-muslim pertama yang datang dari Timur. Untuk itulah,
makalah ini berusaha untuk menyajikan tentang pemikiran dan pendekatan semantik
Toshihiko Izutsu dalam mendekati alquran dalam upaya mencapai makna alquran.

Riwayat hidup Toshihiko Izutsu

Toshihiko Izutsu lahir di Tokyo pada tanggal 4 Mei 1914 dan


meninggal di Kamakura pada tanggal 7 Januari 1993. Pendidikan dasar sampai
perguruan tinggi diperolehnya di negaranya sendiri, jepang setamat SMA. Toshihiko
Izutsu melanjutkan ke fakultas ekonomi Universitas Keio, Tokyo, tetapi kemudian
pindah kejurusan sastra Inggris karena ingin dibimbing oleh Prof. Junzaburo
Nishiwaki. Setelah selesai, dia mengabdikan dirinya sebagai dosen di lembaga ini,
dan mengembangkan karir sebagai seorang intelektual yang diaakui dunia. Ia
mengajar dari tahun 1954 sampai 1968 dan mendapatkan gelar profesor pada tahun
1950. Antara tahun 1962-1968 ia menjadi profesor tamu di Universitas McGill
Montreal Kanada atas permintaan Wilfred Cantwell Smith selaku direktur program
kajian Islam di perguruan tinggi tersebut, dan selanjutnya menjadi profesor penuh
antara tahun 1969-1975. Setelah lepas dari mengajar di McGill, ia hijrah ke Iran

2
memenuhi undangan Sayyid Husain Nasr untuk menjadi pengajar di Imperial Iranian
Academy of Philosophy antara tahun 1975 sampai dengan 1979. Setelah itu, ia
kembali ke tanah airnya dan menjadi profesor emiritus di Universitas Keio hingga
akhir hayatnya.1
Sejauh berkenaan dengan kajian Islam, kepentingan karya Izutsu
terletak pada sebuah pemikiran yang dibentuk oleh Zen Buddhisme, Neo-
Confusianisme dan Shintoisme, unsur-unsur pembentukan kebudayaan klasik Jepang
yang bertemu dengan dunia wahyu al-Qur’an dan pemikiran Islam yang
mempengaruhi dirinya. Berbeda dengan orientalisme Barat yang menghsilkan begitu
banyak karya tentang pemikiran Islam yang merupakan hasil dari tradisi yang
dibentuk oleh warisan Yudaisme, Kristen dan Yunani Roma begitu juga arus
pemikiran skuler zaman modern. Bagi Sayyid Husain Nasr, karya Izutsu dalam
bidang kajian Islam sesungguhnya menunjukkan betapa pentingnya sebuah
pandangan dunia yang dijadikan pijakan oleh seorang sarjana dalam mengkaji dunia
intelektual.2
Selain itu, Izutsu adalah tokoh utama pertama pada masa kini yang
melakukan kajian islam dengan serius tidak hanya dari prespektif non-muslim tetapi
juga non-Barat. Izutsu tidak hanya melakuan perbandinan filsafat, tetapi lebih dari itu
ia juga menciptakan persinggungan serius pertama antara arus intelektual yang lebih
dalam dan utama antara pemikiran Islam dan Timur jauh di dalam konteks
kesarjanaan modern.3
Izutsu tidak hanya tertarik pada aspek intelektual dari semua kajian di
atas, tetapi juga aspek estetik dari kehidupan itu sendiri. Sarjana jepang ini sangat
peka terhadap keindahan visul dan oral. Dalam pengalaman langsung Nasr, ketika
keduanya ini memeperhatikan sebuah patung Budha di Kamakura pada tahun 1970,
ahli filsafat dari iran ini menunjukkan apresiasi terhadap komentar yang mendalam

1
Fathur Rahman, “Al-Qur’an Dan Tafsirnya Dalam Prspektif Toshihiko Izutsu”, dalam Tesis
UIN Jakarta (Jakarta: 2010), 66.
2
Ibid., 67.
3
Ibid., 68.

3
dari Izutsu terhadap ikon Imej Budha. Tidak itu saja, satu tahun kemudian ketika
keduanya menghadiri sebuah pementasan musik dan tarian flamenco di Madrid,
Izutsu tidak bisa menyembunyikan keriangan. Bahkan setelah pertunjukkan Izutsu
menyatakan “Ini adalah seni Islam dalam salah satu bentuknya yang tertinggi”.4

Karya-karya Thoshihiko Izutsu

Izutsu telah menulis lebih dari 50 buku dari ratusan artikel. Karya-
karyanya meliputi semua bidang yang ia kuasai diantaranya, Islamic Studies, Filsafat
Timur dan Barat. Semuanya ia tulis dengan penelitian yang mendalam dan tajam.
Karya-karya Izutsu ditulis dalam bahasa jepang dan Inggris.
Karya-karya beliau yang ditulis dalam bahasa Jepang ada 20
diantaranya adalah sebagai berikut:5
1. A History of Arabic Philosophy (Tokyo, 1941)
2. Islamic Jurisprudence in East India (Tokyo, 1942)
3. Mystical Aspect in Greek Philosophy (Tokyo, 1949)
Dalam peneliatiannya, Izutsu ingin melakukan dialog dengan berbagai
kebudayaan di dunia. Oleh karena itu, beliau menuliskan buku dalam bahasa Inggris
sebagai bahasa pengantar antar bangsa. Terbukti bahwa banyak para sarjana yang
memberi ulasan atau kritik terhadap hasil pemikiran beliau.
Berdasarkan karyanya dalam bahasa ini. Yang berjumlah 10
diantaranya dengan bahasa inggris adalah:
1. Language and Magic Studies in the Megical Function of Speech. Tokyo: Keio
University, 1956
2. The Structure of the Etichal Terms in the Korean: A Study in Semantics, Tokyo :
Keio University, 1959

4
Ibid., 70.
5
Ahmad Sahidah Rahem, “Tuhan, Manusia dan Alam dalam Al-Qur’an; Pandangan
Toshihiko Izutsu (Pulau Pinang: Universiti Sains Malaysia Press, 2014), 122.

4
Bila dicermati dengan sungguh-sungguh, karya-karya di atas
menunjukkan keteguhan Izutsu untuk menyeruakan keyakinan tentang kegunaan
pendekatan bahasa dalam menjelaskan teks, khususnya semantik, meskipun semantik
tidak dijadikan tujuan, melainkan sebagai sarana untuk mengungkapkan realitas yang
ada di baliknya.6

Genealogi Semantik
Dalam kajian linguistik, telaah makna memiliki atensi dan urgensi
sangat tinggi, karena sebagaimana dikatakan J.G. Kooij bahwa arti atau makna
acapkali digunakan dengan cara-cara yang berbeda, sehingga untuk mendapatkan
maksud yang tepat terkadang perlu dilepaskan dari istilah arti itu sendiri. Semantik
yang pada tahun 1966 disebut Ferdinand de Saussure dengan Signe Linguistique yang
berarti komponen yang diartikan dan mengartikan sebenarnya penelaahan makna
berdasarkan simbol-simbol atau lambang-lambang, hubungan, perubahan, dan
perkembangannya serta pengaruhnya terhadap masyarakat.7
Bahasa Arab yang notabene merupakan bahasa orang Arab dan
bahasanya agama Islam, dinilai para pakar termasuk bahasa yang sukar dengan kata-
kata yang memiliki makna tidak satu. Secara genealogis, bahasa ini merupakan
gabungan dari berbagai bahasa. Sebagian besar berasal dari sebelah utara jazirah
Arab dan sebagian lagi dari Selatan, yang dari keduanya melahirkan bahasa Arab
Fusha, yaitu bahasa yang dipakai Alquran dan turats Arab secara keseluruhan, dalam
pergaulan resmi dan pengungkapan pemikiran secara umum. Untuk pergaulan sehari-
hari, kemudian dikenal istilah bahasa Arab amiyah. Di samping itu, keberadaan Islam
memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap kehidupan dan mental bahasa
Arab. Faktor-faktor inilah di antaranya yang menyebabkan peliknya makna bahasa
Arab.8

6
Fathur Rahman, “Al-Qur’an Dan Tafsirnya…, 80.
7
Arif Nursihah, “Konsep Wahy dalam Kajian Semantik,” dalam Jurnal Esensia: Jurnal Ilmu-
Ilmu Ushuluddin, Vol. 17, No. 1, April 2016, 53.
8
Ibid., 53-54.

5
Selain karena kesulitannya, menurut al-Suyuthi, bahasa ini menarik
untuk diteliti sebab ia memiliki beberapa keistimewaan. Keistimewaan tersebut di
antaranya adanya harakat yang dengannya dapat dibedakan antara subjek, objek, dan
lain-lain. Huruf-huruf berperan memindahkan tugas kata kerja kepada esensi-esensi
lain tanpa membutuhkan kata tambahan. Kelebihan seperti ini jarang dimiliki bahasa
lain.9

Pengertian Semantik sebagai Metode Penafsiran Alquran


Semantik secara etimologi merupakan ilmu yang berhubungan dengan
fenomena makna dalam pengertian yang lebih luas dari kata, begitu luas sehingga
hampir apa saja yang mungkin dianggap memiliki makna merupakan objek semantik.
Semantik adalah kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan
suatu pandangan yang akhirnya sampai pada pengertian konseptual Weltanschauung
atau pandangan dunia masyarakat yang menggunakan bahasa itu, tidak hanya sebagai
alat bicara dan berpikir, tetapi yang lebih penting lagi, pengkonsepan dan penafsiran
dunia yang melingkupinya. Semantik dalam pengertian ini, adalah semacam
Weltanschauung-lehre, kajian tentang sifat dan struktur pandangan dunia sebuah
bangsa saat sekarang atau pada periode sejarahnya yang signifikan, dengan
menggunakan alat analisis metodologis terhadap konsep-konsep pokok yang telah
dihasilkan untuk dirinya sendiri dan telah mengkristal ke dalam kata-kata kunci
bahasa itu.10
Kajian semantik atau ilmu dilalah sejatinya telah ada sejak masa
sahabat, meskipun masih sangat umum, dengan Ibn Abbas sebagai tokohnya. Apabila
ditemukan kata-kata yang sukar dipahami dalam Alquran, maka para sahabat
termasuk Umar bertanya kepada Ibn Abbas, bukan kepada yang lainnya, karena Ibn
Abbas dipandang otoritatif di bidang tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa beliau

9
Ibid., 54.
10
Zuhadul Ismah, “Konsep Iman Menurut Toshihiko Isutzu,”, Hermeneutik: Jurnal Ilmiah
Seputar Kajian Al-Qur’an dan Tafsir, Vol. 9, No. 1, Juni 2015, 209-210.

6
didoakan oleh Nabi SAW agar diberi kemampuan memaknai ayat-ayat Alquran,
khususnya ayat-ayat mutasyabihat.11
Dalam perkembangan selanjutnya, perhatian ulama Arab terhadap ilmu
dilalah ini tidak hanya muncul dari kalangan lughawiyin saja, akan tetapi juga muncul
dari kalangan ushuliyin, falasifah, dan balaghiyin. Perhatian mereka ini salah satunya,
dipicu oleh semangat memelihara dan memurnikan Alquran juga hadis dari segala
bentuk penyelewengan.12
Ahmad Mukhtar Umar sebagaimana dikutip Matsna mendefinisikan
semantik sebagai kajian tentang makna, atau cabang lingustik yang mengkaji teori
makna, atau cabang linguistik yang mengkaji syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk
mengungkap lambang-lambang bunyi sehingga mempunyai makna.13
Kajian semantik ini dapat dibedakan menjadi dua model yaitu ilm ad-
dilalah at-tarikhi (semantik historis) dan ilm ad-dilalah al-wasfi (semantik deskriptif).
Model pertama mempelajari perubahan makna dari masa ke masa, sedangkan yang
kedua mempelajari makna pada kurun waktu tertentu dalam sejarah suatu bahasa atau
dalam istilah Ferdinand de Saussure bahwa yang pertama disebut diakronik,
sedangkan yang kedua disebut sinkronik. Dengan kata lain, yang pertama mengkaji
tentang perubahan-perubahan makna (makna yang berubah), sedangkan yang kedua
mengkaji hubungan-hubungan makna (makna yang tetap) dari suatu bahasa dalam
kurun waktu tertentu.14
Pentingnya kajian semantik dalam memahami Alquran juga ditekankan
oleh Toshihiko Izutsu untuk mengetahui bagaimana Alquran memaknai Alquran itu
sendiri. Kajian semantik Izutsu ini, menurut Mustofa Umar, menggunakan beberapa
langkah sebagai berikut. Pertama, definisi kontekstual makna kata yang tepat

11
Abdurrohman Kasdi dan Umma Farida, “Amar Ma’ruf Nahy Munkar Menurut Al-Qur’an:
Kajian Semantik,”, Hermeneutik: Jurnal Ilmiah Seputar Kajian Al-Qur’an dan Tafsir, Vol. 7, No. 2,
Desember 2013, 316.
12
Ibid., 317.
13
Ibid., 317.
14
Ibid., 317.

7
dijelaskan secara konkrit dalam konteks, dengan cara deskripsi verbal. Kedua,
memperhatikan secara khusus nilai sinonim. Ketiga, dijelaskan dengan lawan
katanya. Keempat, struktur dari terma-terma yang samar dijelaskan dalam bentuk
negatifnya. Kelima, dengan menyebut bidang semantik sebagai perangkat pola
hubungan semantik. Keenam, menggunakan paralelisme untuk mengungkapkan
eksistensi sebuah hubungan antara dua kata atau lebih. Ketujuh, terma kunci
digunakan menurut konteks religius maupun umum.15
Selain itu, Izutsu juga melakukan pemisahan struktur konotatif dari
masing-masing terma kunci dengan melihat kasus proses transisi dari pra-Islam yang
terpisah dengan Islam dan menghubungkan keduanya secara halus. Suatu proses
pergantian sistem nilai yang secara tradisi telah mapan dengan sistem baru. Sehingga,
dapat diperoleh gambaran fenomena semantik, di mana terma-terma kunci
membentuk sistem yang terintegrasi, tertransformasi dalam struktur konotatifnya,
dimodifikasi dalam kombinasinya dan dengan tambahan sejumlah terma kunci baru,
akhirnya terintegrasi dalam suatu sistem yang sama sekali baru.16

Latar Belakang Penafsiran Toshihiko Izutsu

Seperti yang telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya, bahwa


Izutsu adalah seorang berkebangsaan Jepang. Ia lahir dari sebuah keluarga yang amat
religius. Ia dibesarkan dengan tradisi ajaran keagamaan Zen Buddhisme. Ayahnya
yang seorang guru Zen, telah membiasakan Izutsu kecil untuk mengamalkan ajaran
tersebut.17 Ayahnya adalah sosok yang sangat disiplin dan ketat dalam mendidik
anaknya dalam penghayatan agama Zen, sehingga Izutsu pun merasa jenuh dengan
sistem pengajaran yang selama ini dilakoninya. Kejenuhannya ini pada akhirnya
dilampiaskan dengan mempelajari berbagai bahasa. Termasuk di dalamnya bahasa
Arab, yang merupakan bahasa alquran.

15
Ibid., 317-318.
16
Ibid., 318.
17
Fathur Rahman, “Alquran dan Tafsirnya…, 52.

8
Toshihiko Izutsu adalah seorang sarjana yang jenius. Ia menguasai lebih
dari dua puluh bahasa dunia. Kemampuan ini memungkinkannya untuk melakukan
penyelidikan terhadap kebudayaan-kebudayaan dunia dan menjelaskan secara
spesifik substansi berbagai sistem keagamaan dan filsafat melalui bahasa aslinya.
Bidang kajian penelitiannya sangat luas. Mencakup filsafat Yunani kuno, filsafat
Barat abad pertengahan, mistisisme Islam (Arab dan persia), filsafat Yahudi, filsafat
india, pemikiran Konfusianisme18, Taoisme China dan filsafat Zen.19
Sejauh berkenaan dengan kajian Islam, kepentingan karya Toshihiko
Izutsu terletak pada pemikiran yang dibentuk oleh Zen Buddhisme, Neo-
Konfusianisme dan Shintoisme (yang merupakan unsur-unsur pembentuk
kebudayaan klasik Jepang), yang dipertemukan dengan dunia wahyu alquran dan
pemikiran Islam. Bagi Sayyed Hossein Nasr, karya Izutsu dalam bidang Islam
menujukkan betapa pentingnya pandang dunia yang dijadikan pijakan seorang sarjana
dalam mengkaji dunia intelektual lain.20
Berkaitan dengan bagaimana Toshihiko memahami kajian teks-teks
Islam, William C. Chittick memberikan testimoni bahwa hal ini tidak dapat
dilepaskan dari kehidupan masa kecilnya, yang dipaksa ayahnya untuk
mempraktekkan zazen.21 Toshihiko merasa sangat tidak nyaman dengan pengalaman
pengajaran ini. Kemudian ia memutuskan untuk mendalami kajian linguistik.22

Pandangan Toshihiko Izutsu terhadap Alquran

18
Konfusianisme adalah percaya bahwa setiap orang bisa menjadi orang baik, yaitu budiman
tanpa peduli latar belakang sosial dan keturunan. Di China pada waktu itu, budiman adalah orang baik
yang berabad, tahu aturan dan sopan santun serta memiliki inisiatif sesuai kemampuannya. Menurut
Konfusius, orang seperti itulah yang dapat mengendalikan tugas-tugas pemerintahan. Isa Ma Zilaing
dan Eunice Hau Huey Wen,” Apakah Ajaran Utama dalam Konfusianisme?” ,
https://www.academia.edu (Rabu, 10 Oktober 2018, 11.08)
19
Ahmad Sahidah, “Tuhan, Manusia…,
20
Fathur Rahman, “Alquran dan Tafsirnya..., 53.
21
Zazen, harfiah: duduk meditasi. Adalah duduk meditasi yang dilakukan dengan duduk dan
menenangkan tubuh dan pikiran agar cukup berkonsentrasi untuk mengalami pengetahuan tentang
hakikat eksistensi. http://id.m.wikipedia.org (Rabu, 10 Oktober 2018, 11.47)
22
Fathur Rahman, “Alquran dan Tafsirnya..., 54.

9
Para tokoh pengkaji Islam dari kalangan non-muslim mempunyai
anggapan yang beragam terhadap alquran. Seperti John Wansbrough yang menaikka
yang memberi arti kata al-Kita/kitab Allah yang ada dalam alquran sebagai ketetapan
(decree), otoritas (authority), bukan kitab suci yang diwahyukan Allah kepada
Muhammad. Pemuka agama Kristen abad pertengahan, Peter Van Venerable (1094-
1156), martin Luther (1483-1546) dan Ricoldo da Monte Croce (1243-1320)
menyatakan bahwa alquran adalah buatan setan. Pandangan ini menjadi premis yang
umum dalam karya-karya sarjana alquran non-muslim sampai abad ke-19 dan 20.23
Berbeda dengan pandangan para pengkaji Islam non-muslim yang
terlahir dari pengaruh pengajaran Bibel dan Yahudi, Toshihiko yang terlahir dengan
budaya dan pemikiran Timur memandang alquran sebagai wahyu Tuhan. Hal ini
sejalan dengan pandangan mayoritas umat Islam. Berikut adalah pandangan
Toshihiko terhadap alquran:
1. Alquran: wahyu yang berasal dari Allah
Para orientalis menyatakan bahwa bukan merupakan suatu peristiwa
supranatural, tetapi merupakan peristiwa natural. Dengan kata lain, wahyu bukan
berasal dari Tuhan, tapi merupakan ide-ide dalam jiwa yang kemudian
disabdakan. William Mu’ir, Richard Bell dan Arthur Jefferi adalah diantara tokoh
orientalis yang beranggapan demikian. Bahkan Richard Bell menafsirkan QS. Al-
Muzammil (73): 1-8, terutama pada ayat 6 sebagai gambaran usaha Muhammad
untuk bangun di malam hari dalam rangka mencari wahyu. Karena malam hari
suasananya lebih tenang dan khusyu’ sehingga wahyu lebih mudah didapat. 24
Sementara menurut Toshihiko, wahyu yang diterima Muhammad dan
nabi-nabi sebelumnya murni berasal dari Tuhan. Peristiwa penerimaan wahyu ini
merupakan fenomena yang telah dikenal masyarakat Arab pra-Islam. hal ini

23
Ibid., 56.
24
Fathur Rahman, “Alquran dan Tafsirnya..., 60.

10
diketahui dari syi’ir-syi’ir jahiliyah. Dari penggunaannya dalam syi’ir tersebut,
bisa dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:25
a. Pertama, ia merupakan proses komunikasi yang melibatkan dua orang –tanpa
ada proses timbal balik- atau komunikasi unilateral. Artinya orang pertama
memberikan pesan melalui isyarat kepada orang kedua dan orang kedua
menerima pesan tanpa ada umpan balik.
b. Kedua, komunikasi tersebut tidak harus bersifat verbal. Kadang kala
berbentuk non-linguistik.
c. Ketiga, komunikasi dilakukan dengan cara yang misterius dan rahasia
sehingga tidak dapat dimengerti oleh orang-orang yang berada di luar arena
komunikasi.
Berkenaan dengan alquran, wahyu menurut Toshihiko adalah parole
(kalam/perkataan) Tuhan yang termanifestasi dalam bahasa (lisan) Arab. Pendapa
ini didasarkan pada QS. Al-Taubah (9): 6 dan al-Baqarah (2): 75. Pada ayat
tersebut, kata kalam dirangkaikan dengan kata Allah.26
Tentang cara pengiriman wahyu, Toshihiko mengutip QS. Al-Ashura
(42): 51:27

ُ ‫ب أ َ ْو ي ُْر ِس َل َر‬
ً‫س ْوال‬ ِ ‫َّللاُ اِاله َو ْحيًا أ َ ْو ِم ْن َو َر‬
ٍ ‫ا~ئ ِح َجا‬ ‫َو َما َكانَ ِل َبش ٍَر أ َ ْن يُ َك ِل ُمهُ ه‬
‫ى َح ِكيْم‬ َ ُ‫فَيُو َحى ِب ِا ْذنِ ِه َما يَشَا~ ُء ج اِنهه‬
ٌّ ‫ع ِل‬
“Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia
kecuali dengan perantaraan wahyu, atau di belakang tabir atau
denganmengutus seorang utusan lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-
Nya apa yang Dia kehendaki.”28

1. Bahasa alquran
Mengenai bahas ayang digunakan alquran dalam berdialog dengan umat
Islam, yakni bahasa Arab, para ulama klasik mempunyai tiga pandangan. Yaitu:
25
Ibid., 63.
26
Ibid., 65.
27
Toshihiko Izutsu, “Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan semantik terhadap Alquran”,
ter. Agus Fahri Husein, dkk (Yogyakarta: tiara Wacana Yogya, 1997), 194.
28
Alquran Terjemah dan Asbabun Nuzul (Solo: Penerbit Fatwa, 2016), 488.

11
pertama, alquran disampaikan dengan lafadz dan makna. Artinya Jibril menghafal
alquran dari lauh al-mahfudz dan disampaikan kepada Muhammad apa adanya.
Kedua, jibril menyampaikan makna, lalu Muhammad mengartikulasikannya ke
bahasa Arab. Ketiga, Jibril menyampaikan wahyu kepada Muhammad dan
mengartikulasikannya ke bahasa Arab.29
Adapun Toshihiko, dengan mengaitkan pada konsep pewahyuan di atas,
ia berpendapat bahwa Tuhan sendiri yang membahasakan alquran ke dalam
bahasa Arab. Hal ini menunjukkan bahwa Toshihiko sama sekali tidak
mempermaslahkan keotentikan alquran. Sementar para orientalis lainnya
menjadikan ini sebagai celah kecenderungan alquran menjiplak kitab suci
sebelumnya.30

Konsep-konsep Metodologis Penafsiran Toshihiko Izutsu

Toshihiko menjelaskan bahwa maksud semantik di sini menurutnya


adalah kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan suatu
pandangan yang akhirnya sampai pada konseptual weltanschauung atau pandangan
dunia masyarakat yang menggunakan bahasa itu. Tidak hanya sebagai alat berfikir
dan berbicara, tetapi yang lebih penting dari itu adalah pengkonsepan dan penafsiran
dunia yang melingkupinya. Kata alquran dalam frasa “semantik alquran” harus
difahami hanya dalam pengertian weltanschauung alquran atau pandangan dunia
qurani, yaitu visi qurani tentang alam semesta.31
Untuk memahami bagaimana semantik dimanfaatkan oleh Toshihiko,
setidaknya ada empat hal penting yang perlu dipahami sebelum menerapkan semantik
terhadap teks alquran, yaitu:
1. Keterpaduan konsep-konsep individual

29
Fathur Rahman, “Alquran dan Tafsirnya..., 72.
30
Ibid., 72-73.
31
Toshihiko Izutsu, “Relasi Tuhan..., 3.

12
Kata-kata atau konsep-konsep dalam alquran itu tidak sederhana.
Kedudukan masing-masing saling terpisah, tetapi saling bergantung dan
menghasilkan makna konkrit dari seluruh hubungan kata yang ada. Dengan kata
lain, kata-kata dalam alquran membentuk kelompok-kelompok yang bervariasi,
besar dan kecil, dan berhubungan satu sama lain dengan berbagai cara. Sehingga
menghasilkan keteraturan yang menyeluruh, kompleks dan rumit sebagai
kerangka kerja gabungan konseptual.32
Tidak satupun istilah-istilah kunci dalam alquran yang mempunyai
peran menentukan dalam pembentukan pandangan-pandangan dunia qurani
termasuk nama Tuhan Allah, merupakan buatan baru. Hamper semua istilah kunci
itu telah diperkenalkan dan digunkan pada masa pra-Islam. hanya saja, kata-kata
tersebut berada dalam sistem konseptual yang berbeda. Kemudian Islam
membawa kata-kata itu dan mengkombinasikannya ke dalam suatu kerangka
konseptual baru yang belum dikenal. Perubahan konsep, pemindahan dan
penyusunan kembali nilai-nilai dasar itu terjadi begitu radikal sehingga mengubah
konsep orang Arab tentang eksistensi dunia dan masyarakat.33
Berbicara dalam istilah-istilah yang lebih umum, ketika suatu kata
diambil dari baku tradisionalnya kemudian dipindahkan dan diletakkan dalam
sebuah konteks yang sama sekali baru dan berbeda, maka kata-kata itu cenderung
terpengaruh oleh perubahan tersebut. Inilah yang kemudian disebut dengan
pengaruh konteks terhadap makna kata.34
Misalnya kata malaikat. Kata malaikat ini telah dikenal dengan baik
pada masyarakat pra-Islam. dalam konsepsi Arab, malaikat adalah wujud spiritual
yang gaib, memiliki sedikit sifat Tuhan, memiliki derajat yang lebih tinggi dan
dirasa layak untuk disembah, tetapi tidak memiliki posisi yang pasti dalam
hierarki supranatural. Kadang-kadang, malaikat dipuja sebagai mediator atau

32
Ibid., 4.
33
Ibid., 4-5.
34
Ibid., 5.

13
perantara antara Tuhan tertinggi dan manusia. Kadang pula malaikat menjadi
objek pemujaan dan penyembahan yang luas konsekuensinya bagi
weltanschauung orang-orang Arab.35
Dengan pembentukan sistem teosentrik yang sepenuhnya baru, malaikat
diberikan tempat yang jelas dalam hierarki supranatular. Malaikat tidak lagi
menjadi objek pemujaan dan penyembahan. Ia hanyalah makhluk ciptaan Tuhan
yang tidak berbeda dengan manusia secara status. Mereka dibuat secara alamiah
untuk mengabdi kepada Tuhan sama seperti manusia. Hal ini sejalan dengan
firman Allah QS>. An-Nisa (4): 172:36

‫ع ْن‬ ْ ‫ع ْبدًا ِ هّلِلِ َوالَ ا ْل َم َلئِ َكةُ ْال ُمقَ هر ِب ْونَ ج َو َم ْن يَ ْست َ ْن ِك‬
َ ‫ف‬ َ َ‫ف ْال َم ِس ْي ُح أ َ ْن َي ُك ْون‬ َ ‫لَ ْن يَ ْستَ ْن ِك‬
‫ش ُر ُه ْم اِلَ ْي ِه َج ِم ْيعًا‬ َ َ‫ِعبَادَتِ ِه َويَ ْست َ ْكبِ ْر ف‬
ُ ‫س َي ْح‬
“Al Masih sesekali tidak enggan menjadi hamba Allah dan tidak pula enggan
malaikat-malaikat yang terdekat (kepada Allah). Barang siapa yang engan dari
menyembah Allah dan menyombongkan diri, kelak Allah akan mengumpulkan
merka semuanya.”37

Dengan demikian kita tahu bahwa malaikat, tanpa berhenti menjadi


makhluk surga yang secara ontologis merupakan golongan yang lebih
tinggidibandingkan manusia. Merosot pada kedudukan hamba dan sama
kedudukannya dengan manusia. Hanya fungsionalnya saja yang menjadi pembeda
di antara keduanya.38
2. Makna dasar dan makna relasional
Dalam studi linguistik (dalam hal ini kata) memiliki dua sisi (two sided
sign) yang tidak dapat dipisahkan. Pertama, signifie yang merupakan konsep,
pikiran atau gambaran mental. Kedua, signifiant yang merupakan citra akustik
atau kesan psikologis bunyi yang timbul dalam pikiran kita. Bahasa
sederhananya, signifie adalah makna dan signifiant adalah kata. Hubungan antara

35
Ibid., 8.
36
Ibid., 8-9.
37
Alquran Terjemah dan Asbabun Nuzul..., 105.
38
Toshihiko Izutsu, “Relasi Tuhan..., 9.

14
keduanya bukanlah hubungan yang kaku. Dalam arti, satu kata tidak hanya
memiliki satu macam makna. Di antara ragam makna yang dimiliki suatu kata
adalah makna denotatif dan makna konotatif.39
Menurut Toshihiko, setiap kata memiliki makna dasar dan makna
relasional. Makna dasar adalah kandungan unsur semantik yang tetap ada pada
kata itu dimanapun ia diletakkan dan bagaimanapun ia digunakan. Sementara
makna relasional menurut Toshihiko adalah sesuatu yang konotatif yang
diberikan dan ditambahkan pada makna yang sudah ada dengan meletakkan kata
itu pada posisi khusus dalam bidang khusus, relasi yang berbeda dengan semua
kata-kata penting lainnya dalam sistem tersebut.40
Sebagai contoh dari aplikasi makna dasar dan makna relasional
Toshihiko ini adalah kata “kitab”. Kata kitab, makna dasarnya adalah kitab.
Diletakkan pada struktur kata apapun, makna yang mengikuti kata ini adalah
“kitab”. Tapi, ketika kata “kitab” ini ditarik ke dalam konteks alquran, kata kitab
menjadi lebih penting secara makna karena mengandung teks keagamaan yang
diliputi cahaya kesucian. Dalam konteks ini, kata “kitab” berdiri sangat dekat
dengan wahyu Ilahi dan konsep-konsep beragam lainnya yang merujuk pada
wahyu. Dengan demikian, kata “kitab” begitu diperkenalkan ke dalam sistem
konseptual Islam, ditempatkan dalam hubungan erat dengan kata-kata penting
kata alquran, seperti Allah, wahyu, tanzil, nabiy, ahl dan sebaginya. Sehingga
kitab dalam konteks Islam berarti teks keagamaan yang suci dan disucikan.
Hubungan antara satu kata dengan kata-kata relasionalnya ini kemudian disebut
dengan “medan semantik”.41
Perhatikan gambar berikut:

39
Fathur Rahman, “Alquran dan Tafsirnya..., 112.
40
Toshihiko Izutsu, “Relasi Tuhan..., 12.
41
Ibid., 11-12.

15
Sering terjadi kekuatan modifikasi seluruh sistem pada kata itu bekerja
begitu kuatnya sehingga akhirnya hampir menghilangkan makna konseptual
aslinya. Bila ini terjadi, maka akan lahirlah sebuah kata baru. Contohnya adalah
kafara yang memiliki makna dasar “tidak bersyukur”, kemudian karena
mengalami persentuhan dengan kata-kata relasional dalam medan magnetnya,
maka kata kafara dalam konteks alquran berubah menjadi “tidak percaya” sebagai
pengingkaran terhadap konsep iman.42
3. Kosakata dan weltanschauung
Toshihiko Izutsu mengaitkan metode semantik dengan weltanschauung.
Secara sederhana, term ini sering diartikan sebagai filsafat hidup. Setiap agama,
bangsa dan kebudayaan bahkan setiap orang memiliki weltanschauung nya
masing-masing. Dalam khazanah keilmuan Islam klasik, term khusus untuk
pengertian weltanschauung, yang merupakan kata lain dari world view, belum
ada. Karena permasalahan ini belum pernah dirumuskan secara sistematis oleh
ilmuwan Muslim. Para sarjana abad ke-20 menggunakan istilah lain untuk
menyebut weltanschaung ini. Seperti al-Maududi dengan term Islam Nazariyat,
Sayyed Quthb dengan istilah al-Tasawwur al-Islami dan Muhammad Athif
dengan al-Mabda’ al-Islami.43

42
Ibid., 14-15.
43
Fathur Rahman, “Alquran dan Tafsirnya..., 106-107.

16
Dalam pandangan Sayed Naquib al-Attas44, dari perspektif Islam, bahwa
pandangan dunia tidak hanya pandangan akal terhadap dunia fisik dan
keterlibatan manusia secara historis, sosial, politik dan budaya di dalamnya.
Pandangan dunia menurut Islam adalah berhubungan dengan aspek alam akhirat,
tanpa mengabaikan alam dunia. Pandangan ini sejalan dengan konsep
weltanschauung yang coba ditawarkan oleh Toshihiko Izutsu.45
Untuk memahami konsep weltanschauung alquran atau pandangan duni
alquran, Toshihiko membiarkan alquran menjelaskan konsepnya sendiri dan
berbicara dengan dirinya sendiri.46 Caranya adalah dengan mengumpulkan
seluruh kata-kata penting yang mewakili seluruh konsep alquran. Seperti Allah,
Islam, iman, kafir, nabiy dan rasul. Kata-kata penting atau istilah-istilah kunci ini
adalah kata-kata yang memainkan peranan yang sangat menentukan dalam
penyusunan struktur konseptual dasar pandangan dunia alquran.47
Istilah-istilah kunci tersebut di tengah-tengah istilah-istilah kunci itu
sendiri merupakan pola umum kosakata yang mewakili kata-kata yang menjadi
anggotanya.48 Pendek kata, kosakata adalah struktur multi-strata. Strata-strata ini
dibentuk secara linguistik oleh kelompok-kelompok kata-kata kunci yang diberi
nama “medan semantik”. Medan semantik ini, baik besar maupun kecil, dibatasi
oleh kata-kata disekitarnya.49
Dalam menganalisis medan semantik, maka akan muncul “kata fokus”.
Kata fokus menurut Toshihiko adalah kata kunci penting yang secara khusus
menunjukkan dan membatasi bidang konseptual yang relatif independendan
berbeda. Ia adalah pusat konseptual kosakata yang terdiri dari sejumlah kata kunci
tertentu. Konsep kata fokus merupakan konsep yang sangat fleksibel. Jika suatu

44
Seorang cendekiawan dan filsuf muslim kelahiran Bogor, 1931 M. Menguasai teologi,
filsafat, metafisika, sejarah da literatur.
45
Fathur Rahman, “Alquran dan Tafsirnya..., 107.
46
Ibid., 109.
47
Toshihiko Izutsu, “Relasi Tuhan..., 18.
48
Ibid., 18.
49
Ibid., 22.

17
kata tertentu digelari sebagai kata fokus dalam satu medan semantik, maka tidak
menutup kemungkinan kata yang sama bertindak sebagai kata kunci biasa di
medan semantik yang lain.50
Medan semantik yang muncul dalam kajian ini tidak berdiri secara
independen. Tapi, suatu kata kunci sangat dimungkinkan muncul dalam sejumlah
medan semantik secara bersamaan dalam kapasitasnya sebagai kata unci yang
memainkan bagian yang berbeda dalam masing-masing medan namun berfungsi
sebagai penghubung antar medan tersebut.51
Untuk memahami konsep medan semantik dan kata kunci yang saling
rangkap dan saling mempengaruhi, perhatikan gambar berikut:

Mekanisme Penerapan Semantic Toshihiko Izutsu terhadap Alquran

1. Konsep Allah
Tuhan dalam alquran dikenal dengan nama Allah. Kata ini menurut
Toshihiko bukanlah kata asing bagi masyarakat pra-Islam. karena kata ini banyak
digunakan dalam syi’ir-syi’ir Arab. Bahkan Toshihiko menjelaskan bahwa tanpa
ada bantuan literal dari alquran, kata Allah sudah memiliki struktur makna bathin
sendiri di kalangan masyarakat pra-Islam. pandangan ini menegaskan apa yang

50
Ibid., 21-23.
51
Ibid., 27.

18
sudah dikemukakan di depan, bahwa dalam penyusunan struktur konseptual dasar
pandangan dunia alqurantidak ada satupun kata yang benar-benar baru.52
Berdasarkan makna tersebut, maka menurut Toshihiko, perlu dielaborasi
apakah ada kesamaan konsep antara masa pra-Islam dan masa alquran. Untuk
menjawabnya, Toshihiko menelusuri secara historis sikap orang Arab ketika
alquran petama kali menggunakan kata “Allah” ini. Ketika alquran menyebut
nama Allah, muncul perdebatan hangat antara Muslim dan kafir. Kesamaan ini
bisa dilacak dengan menggunakan makna dasar dan makna relasional.53
Makna dasar kata “Allah” dapat dibandingkan dengan kata Yunani ho
theos yang berarti Tuhan. Pada masa pra-Islam, makna ini telah dikenal
masyarakat Arab dalam bentuk dewa lokal yang dikenali dengan nama diri.
Seperti Lat, Uzza, Manat yang dianggap sebagai anak perempuan dewa agung
(Allah) oleh masyarakat Hijaz dan sekitarnya. Hal ini mengindikasikan adanya
pemahaman yang sama antara kedua pihak. Makna dasar ini merupakan salah sat
garis penghubung antara dua konsepsi Tuhan dalam sistem pra-Islam dengan
sistem alquran. 54
Pemahaman tentang makna relasional kata Allah dalam sistem pra-Islam
dapat dibedakan dalam beberapa kasus. Pertama, masyarakat pra-Islam telah
mengenal konsep Allah sebagai pemberi hidup segala yang ada di bumi. Allah
juga diyakini sebagai yang wajib ditaati dan penguasa Ka’bah. Konsep ini sangat
berdekatan dengan konsep alquran, tetapi mereka tidak mencapai kepada
monotheisme murni. Mereka menyembah dewa-dewa sebagai sarana penghubung
kepada yang Agung. Dalam hal ini Allah ditempatkan pada hierarki politeisme
tertinggi. Kedua, konsep Allah menurut orang-orang Yahudi dan Kristen. Pada
masa pra-Islam, masyarakat Arab tinggal di lingkungan yang di kelilingi
kekuatan-kekuatan Kristen yang besar. Kerajaan Bizantium, kerajaan Abyssina,

52
Fathur Rahman, “Alquran dan Tafsirnya..., 117.
53
Ibid., 118.
54
Ibid., 118-119.

19
Dinasti Ghassaniyah dan Dinasti Lakhmid. Orang Kristen mengenalkan kata
Allah. Sama seperti Islam, Keisten yang juga agama wahyu ini memiliki
kepercayaan monoteistik yang diwarisi dari Ibrahim, yaitu mengakui dan
menyembah Allah sebagi Tuhan yang Esa. Meskipun ada istilah Bapa, Putra, Roh
Kudus, tapi mereka mengakui bahwa Allah itu satu. Karena Putra dan Roh Kudus
bagian dari Bapa. Ketiga, konsep Allah menurut orang-orang Hanif. Dalam
agama hanif, Allah adalah Tuhan alam semesta, pencipta segala sesuatu, dan
dengan demikian semua makhluk adalah hamba-Nya55
Dengan demikian, konsep Allah pada masyarakat Arab pra-Islam
mempunyai hubungan dekat dengan Islam.
2. Relasi Tuhan dan manusia
Menurut Toshihiko, ada tiga relasi antara Tuhan dan manusia:

Relasi ontologis

Secara ontologis, relasi antara Tuhan dan manusia adalah antara sang
pencipta (kha>liq) dan yang diciptakan (makhluq). Manusia bukanlah satu-
satunya makhluk ciptaan Allah, karena Allah adalah pencipta seluruh dunia.56
Konsep Allah sebagi pencipta sudah dikenal sejak masa pra-Islam. Namun, pola
piker masyarakat pra-Islam tidak menaruh perhatian kepada asal-usul
eksistensinya sendiri. dalam sistem jahiliyah, intervensi Allah hanya sebatas awal
pengadaannya saja. Setelah manusia ada, maka dikuasai oleh dahr atau zaman,
as}r, ayya>m dan ‘aud.57
Sekap masyarakat pra-Islam yang demikian sangat bertentangan dengan
alquran. Menurut alquran, seorang Muslim harus selalu menyadari eksistensinya
sebagai makhluk. Tanpa kesadarn tersebut, seorang tidak akan dikatakan Muslim
dan terjatuh ke dalam lubang besar, yaitu kesombongan. Padahal, menurut sistem

55
Ibid., 123.
56
Toshihiko Izutsu, “Relasi Tuhan..., 129.
57
Fathur Rahman, “Alquran dan Tafsirnya..., 124.

20
Islam, penciptaan Allah menandai awal kekuasaan-Nya atas segala sesuatu yang
Dia ciptakan.58

Relasi komunikatif

Antara pencipta dan yang dicipta, tentunya ada hubungan komunikatif


yang bersifat langsung dan bertimbal balik. Komunikasi antara allah dan manusia
terjadi dalam dua cara, yaitu: pertama, bersifat linguistic. Artinya, melalui bahasa
yang dapat dipahami oleh kedua pihak. Bentuk komunikasi ini yaitu penerimaan
wahyu dari Tuhan. Namun metode ini mengalami masalah karena komunikasi
Tuhan dan manusia secara langsung berada pada eksistensi yan berbeda. Tuhan
berada pada taraf eksistensi ‘supra-natural”, sementara manusia berada pada taraf
eksistensi “natural”. Selain itu, keduanya terkendala oleh bahasa yang berbeda.
Tuhan dengan bahasa “non-alamiah” dan manusia dengan bahasa “alamiah”.
Kemudian, menurut Izutsu, problem tersebut dapat diatasi dengan mengemukakan
teori perantara. Bahwa komunikasi ini melibatkan orang ketiga yang bertugas
menjembatani kesenjangan komunikasi antara Tuhan dan manusia. Makhluk
ketiga inilah yang kemudian disebut malaikat Jibril. Yang perlu digarisbawahi
dari cara komunikasi ini adalah, bahwa komunikasi ini bersifat timbal balik atau
dua arah. Jika dari Allah ke manusia berupa wahyu, maka komunikasi dari
manusia kepada Tuhan berupa doa.59
Kedua, bersifat non-linguistik atau non-verbal. Artinya, melalui tanda-
tanda alam dan isyarat-isyarat atau gerakan tubuh manusia. Sementara dari
manusia berupa sholat.60
Pesan-pesan yang disampaikan Tuhan kepada manusia ini bersifat verbal
dan non-verbal. Respon manusia terhadapnya menurut alquran ada dua, yaitu

58
Ibid., 126-127.
59
Ibid., 128-129.
60
Ibid., 128-129.

21
tas}di>q dan takdzib. Takdzib berarti menerimanya sebagai kebenaran dan
takdzib berarti menolak.61

Relasi tuan-hamba

Dalam alquran dijelaskan bahwa Tuhan adalah penguasa mutlak dan


manusia adalah hamba yang harus menyerahkan diri sebagai bentuk
penghambaan. Untuk menunjukkan penghambaan manusia ini, alquran
menggunakan kata tha>’ah (patuh), qunu>t (setia, berserah diri), khusu’
(penyerahan) dan tadharru’ (menghinakan diri). Tapi bagi Toshihiko, kata Islam
lebih tepat untuk menggambarkan penghambaan diri ini. Dengan kata kerjanya,
aslama, maka islam dapat dipahami dengan tindakan yang dilakukan oleh
seseorang dengan sukarela untuk menyerahkan diri kepada kehendak Allah dan
memercayakan diri kepada Allah.62
Istilah Islam kemudian menjadi penting karena Allah mengambilnya
sebagai nama agama. Satu-satunya agama yang tidak menggunakan nama tokoh
pendirinya. Hal ini menunjukkan bahwa Islam adalah pengalaman bathin
personal.63

Relasi etik

Etika berkaitan tentang bagaimana manusia bertindak untuk menaati


perintah dan larangan Tuhan, juga tentang bagaimana Tuhan berkehendak
terhadap manusia. Ada tiga kategori mengenai konsep etik. Pertama,
menunjukkan dan menguraikan sifat Tuhan seperti Maha Pemurah, Maha Adil
dan lainnya. Kedua,sifat fundamental manusia terhadap Tuhan. Ketiga, prinsip-
prinsip dan aturan tingkah laku dalam hidup bermasyarakat.64

61
Ibid., 130.
62
Ibid., 131-132.
63
Ibid., 133.
64
Ibid., 139.

22
Respon Para Tokoh terhadap Penafsiran Toshihiko Izutsu

Khalid Abd Rahman, Abd Hay al-Farmawi dan Abdullah Saeed


mengemukakan pendapat bahwa non-Muslim tifak mempunyai otoritas dalam
menafsirkan alquran. Tapi mereka (non-muslim) dapat menyumbangkan usaha
peafsirannya terhadap alquran dalam kerangka akademis. Berdasarkan pendapat
tersebut, maka Toshihiko tidak memiliki otoritas untuk menafsirkan alquran karena ia
penganut agama Zen sampai akhir hayatnya.65
Tokoh yang cukup gencar mengkritik Toshihiko adalah Fazlur Rahman
lewat bukunya, God and man in the Quran. Ia mengkritik Toshihiko yang terlalu
ngengkel dalam menemukan makna alquran lewat makna dasar dan konsep kunci
alquran. Menurut Rahman, tanpa pendekatan sejarah, tidak aka nada keadilan dalam
pengkajian evolusi konsep, teruaman konsep Allah. Tokoh lainnya adalah Harry
partin. Menurutnya, teori Toshihiko tidak memadai secara historis dengan alas an
bahwa Toshihiko mengbaikan peran sejarah dalam memengaruhi perubahan makna
dan juga mengabaikan fakta bahwa alquran turun dalam rentang waktu dua puluh
tahun dan makna surat-surat awal berbeda dengan surat-surat akhir. Kritik lainnya
datang dari Daniel A. Madigan yang keberatan dengan teori makna dasar dan makna
relasional. Menurutnya, makna yang teat adalah ditentukan dari posisi katanya.66
Bertolak dengan tokoh-tokoh tersebut di atas, beberapa sarjana Muslim
memberi apresiasi yang positif. Salah satunya adalah Parves mansoor. Beliau
mengatakan bahwa Toshihiko terlepas dari tradisi kedengkian para orientalis.
Manzoor menganggap metode yang digunakan Toshihiko, yaitu membiarkan alquran
berbicara dengan dirinnya sendiri sebagai metode terbaik untuk mengkaji alquran.
Selain Manzoor, ada juga Sayyed Hosen Nasr. Dalam pandangan beliau, Toshihiko

65
Ibid., 93.
66
Ibid., 94.

23
adalah tokoh utama dan pertama pada masa kini yang yang melakukan kajian Islam
dengan serius, tidak hanya dari perspektif non-Muslim, tapi juga dari non-Barat.67

Kesimpulan
Semantic dalam perspektim Izutsu adalah kajian analitik terhadap
istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan yang akhirnya sampai pada
pengertian konseptual weltanschauung atau pandangan dunia masyarakat yang
menggunakan bahasa itu, tidak hanya sebagai alat berbicara dan berfikir, tetapi yang
lebih penting lagi adalah pengkonsepan dan penafsiran dunia yang melingkupinya.
Weltanschauung qurani atau pandangan dunia quran adalah tujuan yang ingin dicapai
dalam penggunaan kata-kata tertentu.

Metode yang digunakan Izutsu dalam mendekati makna alquran dengan


pendekatan semantik ini adalah dengan mengungkapkan makna dasar dan makna
relasional, kosa kata dan weltanschaung serta keterpaduan konsep-konsep Individual.
Penafsiran Izutsu lebih difokuskan dengan mengumpulkan kata-kata penting dalam
alquran, yang kemudian disebut dengan “istilah-istilah kunci”. Dalam istilah kunci
ini, kemudian akan muncul “kata fokus” yang menjadi penyatu atau perantara
perhubungan antar kata-kata kunci tersebut. Sederhananya, kata fokus akan menarik
istilah-istilah kunci untuk mengelilinginya yang kemudian akan membentuk medan
semantik. Medan semantik ini di batasi oleh istilah-istilah kunci yang ada di
dalamnya. Kemudian, medan semantik itu bisa saling bertindih karena kata kunci bisa
berada pada beberapa medan semantik yang berbeda.

Daftar Rujukan

http://id.m.wikipedia.org

67
Ibid., 95.

24
https://www.academia.edu.

Ismah, Zuhadul. 2015. “Konsep Iman Menurut Toshihiko Isutzu,”, Hermeneutik:


Jurnal Ilmiah Seputar Kajian Al-Qur’an dan Tafsir, Vol. 9, No. 1

Izutsu, Toshihiko. 1997. “Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan semantik terhadap
Alquran”. ter. Agus Fahri Husein, dkk (Yogyakarta: tiara Wacana
Yogya)

Kasdi, Abdurrohman dan Umma Farida. 2013. “Amar Ma’ruf Nahy Munkar Menurut
Al-Qur’an: Kajian Semantik,”, Hermeneutik: Jurnal Ilmiah Seputar
Kajian Al-Qur’an dan Tafsir, Vol. 7, No. 2

Nursihah, Arif. 2016. “Konsep Wahy dalam Kajian Semantik,” dalam Jurnal Esensia:
Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, Vol. 17, No. 1

Rahem, Ahmad Sahidah. 2014. “Tuhan, Manusia dan Alam dalam Al-Qur’an;
Pandangan Toshihiko Izutsu. (Pulau Pinang: Universiti Sains Malaysia
Press)

Rahman, Fathur. 2010. “Al-Qur’an Dan Tafsirnya Dalam Prspektif Toshihiko


Izutsu”, dalam Tesis UIN Jakarta (Jakarta)

25

Anda mungkin juga menyukai