Anda di halaman 1dari 144

NUN

Jurnal Studi Alqur’an dan Tafsir di Nusantara


Diterbitkan oleh: Asosiasi Ilmu Alqur’an
dan Tafsir se-Indonesia (AIAT)
SUSUNAN DEWAN REDAKSI

Editor Utama:
Dr. phil. Sahiron Syamsuddin, M.A.
Editor Pelaksana:
Dr. phil. Munirul Ikhwan, M.A.
Anggota:
Dr. Ahmad Baidowi, M.Si.
Ahmad Rafiq, Ph.D.
Lien Iffah Naf ’atu Fina, M.Hum.
Fitriana Firdausi, M.Hum.
Tim Ahli:
Prof. Yudian Wahyudi, Ph.D.
Prof. Dr. Nasaruddin Umar
Dr. Hamim Ilyas, M.A.
Yusuf Rahman, Ph.D.

ALAMAT REDAKSI
Krapyak Kulon, Rt. 07 No. 212 Panggungharjo Sewon Bantul
Yogyakarta 55188. CP: 081803045946
Email: aiat.indonesia@gmail.com
Daftar Isi

Tafsir Al-Qur’an di Indonesia: Sejarah dan Dinamika............... 1


Islah Gusmian

Aspek Lokalitas Tafsir Al-Iklīl Fī Ma’ānī Al-Tanzīl


Karya KH Mishbah Musthafa........................................................ 33
Ahmad Baidowi

Ūlū Al-‘Amr Perspektif Hamka


dan Negara Berdasarkan Islam di Indonesia............................... 63
Ulya

Teologi Bencana dalam Perspektif Al-Qur’an............................. 91


Abdul Mustaqim

Resepsi Hermeneutika dalam Penafsiran Al-Qur’an


oleh M. Quraish Shihab: Upaya Negosiasi antara Hermeneutika
dan Tafsir Al-Qur’an untuk Menemukan
Titik Persamaan dan Perbedaan.................................................... 111
Muzayyin
TAFSIR AL-QUR’AN DI INDONESIA:
SEJARAH DAN DINAMIKA

Islah Gusmian
Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Surakarta

Abstrak
Artikel menjelaskan tentang sejarah dan dinamika penulisan
tafsir Al-Qur’an di Indonesia. Unsur-unsur yang diuraikan terdiri
dari keragaman basis identitas sosial penulis tafsir Al-Qur’an,
latar belakang keilmuan, bahasa serta aksara yang digunakan
dalam penulisan tafsir Al-Qur’an, serta produk penafsiran. Dari
sudut sejarah, basis identitas sosial penafsir di Indonesia cukup
beragam: mulai dari ulama, akademisi, sastrawan, dan birokrat.
Basis sosial penulisannya juga beragam: ada basis pesantren,
akademik, dan masyarakat umum. Dari sisi aksara dan bahasa
yang dipakai juga beragam: selain bahasa Indonesia dan aksara
Latin, tafsir di Indonesia juga ditulis dengan bahasa dan aksara
lokal, seperti aksara Jawi, Pegon, dan Lontara. Adapun dari sisi isi,
tafsir Al-Qur’an di Indonesia juga mengkontestasikan problem-
problem sosial-politik yang terjadi ketika tafsir ditulis. Kajian ini
menunjukkan bahwa sejarah tafsir Al-Qur’andi Indonesia dari
berbagai sudutnya, cukup dinamis.
Kata Kunci: Tafsir, Al-Qur’an, Indonesia, dan pesantren
Islah Gusmian Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

A. Pendahuluan

S
ejauh ini,kajian tentang tafsir Al-Qur’an Indonesia telah
dilakukan oleh para ahli dengan berbagai sudut pan­dang
serta pilihan subjek yang berbeda-beda. Ada kajian yang
secara khusus mengungkapkan karakteristik tafsir, keterpenga­
ruhan,sertaproses adopsi yang terjadi. Model semacam ini, misalnya
dilakukan oleh Anthony H.John dalam “The Qur’an in the Malay
World: Reflection on ‘Abd al-Ra’uf of Singkel (1615-1693)” yang
dipublikasikan di Journal of Islamic Studies, 9:2 (1998).1 Selain
A.H.John, dua indonesianis lain, yaituPeter G. Riddell dan Howard
M.Federspiel, melakukan kajian dengan mengacu pada pengaruh
dinamika keilmuan Islam di Timur Tengah dalam tafsir Al-Qur’an
Indonesia dalam bentuk respons dan transmisi.2
Dalamartikel “The Use of Arabic Commentaries on the Qur’an
in the Early Islamic Period in South and Southeast Asia: a Report
on Work Process”,3 Riddell secara spesifik menganalisis penggunaan
tafsir berbahasa Arab di kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara pada

1 Artikel-artikelnya yang lain, yaitu “Quranic Exegesis in the Malay World: in Search of a Profile”,
menjadi salah satu artikel dalam buku yang diedit oleh Andrew Rippin berjudul Approaches to
the History of the Interpretation of the Qur’an yang diterbitkan oleh Oxford University Press pada
1988. Dalam buku Islam in Asia: Volume II Southeast Asia and East Asia (Boulder: Westview,
1984) yang diedit oleh R. Israeli dan dirinya sendiri, A.H. Johns menulis satu artikel berjudul
“Islam in the Malay World: an Explanatory Survey with Some Reference to Qur’anic Exegesis”.
Dalam buku Approaches to the Qur’an in Contemporary Indonesia (New York: Oxford University
Press, 2006) yang diedit oleh Abdullah Saeed, A.H. Johns menulis satu artikel berjudul “Qur’anic
Exegesis in the Malay-Indonesian World: an Introduction Survey”. Dari sejumlah tulisannya itu,
kajian A.H. Johns secara umum bertumpu pada tafsir Al-Qur’an di Indonesia pada abad 17 M
(yang dikaji adalah tafsir Tarjumān al-Mustafīd) dan abad 19 M (yang dikaji adalah tafsir Marāh
Labīd) dengan menunjukkan metode penafsiran dan keterpengaruhannya dengan karya tafsir
klasik serta proses arabisasi pemakaian istilah dalam konteks bahasa di Indonesia.
2 Selengkapnya Lihat Peter G. Riddell, Islam and The Malay-Indonesian World: Transmission and
Responses (Honolulu: University of Hawaii Press, 2001). Pada bab IX dan XII di buku Islam and
The Malay-Indonesian World karya Riddell, juga dia tulis dalam artikel khusus, yaitu “Earliest
Qur’anic Exegetical Activity in Malay-Speaking State”, Archipel, 38 (1989),hlm. 107-124.
3 Peter G. Riddell, “The Use of Arabic Commentaries on the Qur’an in the Early Islamic Period in
South and Southeast Asia: a Report on Work Process”, Indonesia Circle Journal, Vol. LI (1990).

2
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Tafsir Al-Qur’an di Indonesia: Sejarah dan Dinamika

masa-masa awal, dan dalam artikel “Controversy in Qur’anic Exegesis


and Its Relevance to the Malay-Indonesia World”4 ia mengungkapkan
pengaruh perkembangan dunia tafsir Al-Qur’an di dunia Muslim
dalam dinamika Islam dan Muslim di Nusantara.Adapun Howard M.
Federspiel kajiannya lebih fokus pada karakteristik terjemahan dan
tafsir Al-Qur’an di Asia Tenggara5sertakepopuleran sebuah tafsir Al-
Qur’an.6Dari sisi sumber, kajian Federspiel ini mengabaikankarya-
karya tafsirAl-Qur’an berbahasa lokal, seperti tafsir berbahasa Jawa,
Sunda, dan Bugis.
Masih terkait dengan sejarah tafsir Al-Qur’an Indonesia, Yunan
Yusufmenulis dua artikel, yaitu “Perkembangan Metode Tafsir
di Indonesia”7 dan “Karakteristik Tafsir Al-Qur’an di Indonesia
Abad Ke-20”.8Pada artikel pertama, Yunanmengulas aspek-aspek
metodologi tafsir dan perkembangannya, adapun pada artikel yang
kedua, secara spesifik ia memilih periode tertentu dan mengulas
karakteristik tafsir Al-Qur’an di Indonesia. Mirip seperti yang terjadi
pada kajian Federspiel, kajian Yunan juga belum menyentuh tafsir-
tafsir Al-Qur’anberbahasa dan beraksara lokal, seperti Al-Ibrīz karya
K.H. Bisri Mustafa, Al-Iklīl karya K.H. Misbah Zainul Mustafa, dan
Faiḍ al-Raḥmān karya K.H. Saleh Darat yang ditulis memakai Pegon
Jawa,Rauḍah al-‘Irfān karya K.H. Ahmad Sanusi yang ditulis dengan
Pegon-Sunda, dan Tafsir Al-Huda karya Bakri Syahid yang ditulis
dengan aksara Roman dan bahasa Jawa.

4 Peter G. Riddell, “Controversy in Qur’anic Exegesis and Its Relevance to the Malay-Indonesia
World”, dalam Anthony Reid (ed.), The Making of an Islamic Political Discourse in Southeast Asia
(Calyton: Monas Paper on Southeast Asia, 1993), hlm. 27-61.
5 Howard M. Federspiel, “An Introduction to Qur’anic Commentaries in Contemporary Southeast
Asia”, dalam The Muslim World, Vol. LXXXI, No. 2, 1991, hlm. 149-161.
6 Lihat Howard M. Federspiel, Kajian Al-Qur’an di Indonesia, terj. Tadjul Arifin(Mizan: Bandung,
1996).
7 Lihat Jurnal Pesantren, No. I, Vol.VIII, Tahun 1991, hlm. 34.
8 Lihat Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. III, No. 4, Tahun 1992, hlm. 50.

3
Islah Gusmian Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

Kajian-kajian di atas adalah contoh bahwa konteks-konteks


keindonesiaan, dari sudut sosial, budaya, dan politik belum banyak
ditampilkan secara memadai oleh para pengkaji di bidang tafsir
Al-Quran di Indonesia. Menjelaskan sejarah tafsir Al-Qur’an di
Indonesia dengan tidak semata-mata berkaitan dengan tahun
penulisan dan publikasinya, tetapi juga menyangkut basis sosial-
politik penulis tafsir, ruang sosial dan audiens ketika tafsir ditulis,
bahasa dan aksara yang digunakan, serta tujuan penulisan tafsir
merupakan salah satu kajian penting. Unsur-unsur tersebut, secara
umumakan dibahas dengan singkat dalam tulisan dan dengan
bertumpu pada aspek sosial dan budaya sebagai ruang dialektika.

B. Basis Sosial-Budaya Penulisan Tafsir Al-Qur’an Indonesia


Karya tafsir Al-Qur’an Indonesia lahir dari ruang sosial-budaya
yang beragam. Sejak era ‘Abd ar-Rauf As-Sinkili (1615-1693 M) pada
abad 17 M hingga era M. Quraish Shihab pada era awal abad 21
M.Pada rentang waktu lebih empat abad itu, karya-karyatafsir Al-
Qur’an Indonesia lahir dari tangan para intelektual Muslim dengan
basis sosial yang beragam. Mereka ini juga yang memainkan peran
sosial yang beragam pula, seperti sebagai penasihat pemerintah
(mufti), guru, atau kiai di pesantren, surau, atau madrasah. Peran-
peran ini mencerminkan basis sosial di mana mereka mendedikasikan
hidupnya untuk agama dan masyarakat.
Pertama, di Indonesia terdapat tafsir Al-Qur’an yang ditulis
dalam ruang basis politik kekuasaan atau negara. Konteks yang
demikian tampak pada Tarjumān al-Mustafīd,karya ‘Abd ar-Rauf
as-Sinkilī, tafsir Al-Qur’an pertama di Nusantara.Tafsir ini ditulis
ketika ‘Abd ar-Rauf as-Sinkilimenjadi penasihat di kerajaan Aceh. As-
Sinkilī hidup dalam enam periode kesultanan Aceh, yakni periode
(1) Sultan Iskandar Muda (1607-1636); (2) Sultan Iskandar Tsani
(1636-1640); (3) Sultanah Taj al-‘Alam Safiyat al-Din Syah (1641-
1675); (4) Sri Sultan Nur Alam Nakiyat ad-Din Syah (1675-1678),
(5) Sultanah Inayat Syah Zakiyat ad-Din Syah (1678-1688); dan (6)

4
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Tafsir Al-Qur’an di Indonesia: Sejarah dan Dinamika

Sultanah Kamalat Syah (1688-1699). Empat penguasa yang terakhir


ini adalah sultanah perempuan, yang di dalam kesultanannya, As-
Sinkili menjadi mufti. Bila dikatakan bahwa Tarjuman al-Mustafid
merupakan karya as-Sinkilī yang ditulis pada 1675 M, maka berarti
karya tersebut ditulis pada akhir kekuasaan Sultanah al-Alam dan
atau awal kekuasaan Sri Sultan Nur al-Alam.
Basis ruang sosial politik semacam ini juga tampak pada Tafsīr
al-Qur’ān al-‘Aẓīmyang ditulis oleh Raden Pengulu Tafsir Anom V.
Pengulu Tafsir Anom V adalah Pengulu Ageng ke-18 dalam dinasti
Kartasura. Nama aslinya adalah Raden Muhammad Qamar. Dia
dilahirkan pada Rabu,11 Rabi’ul Awwal Tahun Jimakir 1786 Jawa
(1854 M) di Kompleks Pengulon, SurakartaHadiningrat, sebagai
anak ke-6 dari Raden Pengulu Tafsir Anom IV. Garisketurunannya
bersambung sampai Sultan Trenggana, penguasa terakhir Kerajaan
Islam Demak.9 Ia dilantik sebagai Pengulu ketika berusia 30 tahun,
tepatnya pada Kamis Wage, tanggal 3 Sapar tahun Dal 1815, oleh
Sri Susuhunan Pakubuwana IX menggantikan ayahnya yang wafat.
Basis ruang sosial politik kekuasaan semacam itu juga ditemukan
pada tafsir-tafsir yang lahir pada era abad 21 M. Misalnya,Tafsir
Al-Mishbah karya M. Quraish Shihab ditulis ketika ia menjabat
sebagai Duta Besar Indonesia di Mesir. Contoh yang lebih kuat
pada era iniadalah Al-Qur’an dan Tafsirnya yang dikeluarkan oleh
pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Agama, dan
Tafsir Tematik yang dikeluarkan oleh Lajnah Pentashih Mushaf Al-
Qur’an Kementerian Agama RI.10

9 Abdul Basith Adnan,Prof. K.H.R. Muhammad Adnan: Untuk Islam dan Indonesia(Yayasan
Mardikintaka: Surakarta, 2003), hlm. 13.
10 Sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri Agama RI Nomor BD/28/2008 tanggal 14
Februari 2008, Menteri Agama membentuk tim pelaksana kegiatan penyusunan tafsir tematik.
Hal ini sebagai wujud pelaksanaan rekomendasi Musyawarah Kerja Ulam Al-Qur’an tanggal
8-10 Mei 2006 di Yogyakarta dan 14 -16 Desember 2006 di Ciloto. Lihat Sambutan Kepala Badan
Litbang dan Diklat Departemen Agama RI dalam Tafsir Tematik, Pembangunan Ekonomi Umat

5
Islah Gusmian Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

Kedua, tafsir-tafsir yang ditulis di lingkungan dan basis sosial


pesantren.11 Secara sosial, setidaknya ada dua jenis pesantren, yaitu
pesantren yang ada di lingkungan kraton, seperti pesantren Manbaul
Ulum Solo dan pesantren di luar kraton. Tafsir Al-Qur’an yang lahir
dari rahim pesantren di lingkungan kraton misalnya Kitab Al-Qur’an
Tarjamah Bahasa Jawi aksara pegon yang diterbitkan pada 1924
oleh perkumpulan Mardikintoko di Surakarta di bawah prakarsa
Raden Muhammad Adnan (1889-1969 M.). Karya ini pertama
kali terbit pada 1924 M. dengan membahas sūrah-sūrah dalam
Al-Qur’an secara terpisah. Berdasarkan karya ini pula sejak 1953
Raden Muhammad Adnan menulis kembali terjemah Al-Qur’an
dalam edisi bahasa Jawa Pegon, dan pada 1969 M. naskahnya yang
masih tersebar di berbagai tempat dikumpulkan oleh anaknya, Abdul
Basith Adnan. Usaha kodifikasi ini selesai pada akhir 1970-an.12 Pada

(Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang dan Diklat, Departemen Agama
RI, 2009), hlm. xiv-v
11 Pesantren merupakan dunia dan tradisi yang khas dan unik di tengah masyarakat. Secara
lahiriah, dalam kompleks pesantren umumnya dikelilingi dengan pagar sebagai pembatas yang
memisahkan dengan masyarakat di sekelilingnya. Di dalamnya terdapat bangunan pemondokan,
dalam tradisi pesantren disebut pondok.Fungsinya sebagai asrama di mana para santri tinggal
bersama dan belajar di bawah bimbingan seorang kiai. Kedua, bangunan surau atau masjid.
Dalam struktur pesantren, masjid merupakan unsur dasar yang harus dimiliki pesantren karena
merupakan tempat utama yang ideal untuk mendidik dan memberikan pelajaran kepada para
santri, khususnya tata cara ibadah. Ketiga, di dekat masjid biasanya terdapat rumah di mana kiai
bermukim. Lihat Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi, Esai-Esai Pesantren (Yogyakarta:
LKiS, 2001), hlm. 3.Ada dua versi mengenai sejarah asal-usul Pesantren di Indonesia. Pertama,
pesantren sebagai kultur yang berakar pada tradisi Islam sendiri, yaitu tradisi tarekat. Berdasarkan
fakta bahwa penyiaran Islam di Indonesia awalnya lebih banyak dikenal dalam bentuk kegiatan
tarekat. Kedua, pesantren merupakan pengambilalihan dari sistem pesantren yang diselenggarakan
orang-orang Hindu di Nusantara. Lihat Hasan Muarif Ambary et al., Ensiklopedi Islam, jilid 4
(Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1994), hlm. 103.
12 Lihat,Abdul Basith Adnan, “Purwaka” dalam Muhammad Adnan, Tafsir Al-Qur’an Suci Basa Jawi
(Bandung: Al-Maarif, t.th), hlm. 6. Pengantar ini ditulis pada 21 Nopember 1977. Berdasarkan
informasi ini, berarti tafsir karya Muhammad Adnan telah dicetak pada akhir tahun 1970-an.
Namun, dalam kata pembuka yang ditulis Muhammad Adnan dalam tafsir ini, ditulis pada 11 Juli
1965. Ini artinya bahwa ia telah menyelesaikan karya tafsir ini pada pertengahan tahun 1960-an.

6
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Tafsir Al-Qur’an di Indonesia: Sejarah dan Dinamika

edisi cetaknya, karya ini kemudian ditulis dengan bahasa Jawa dan
aksara Latin.13
Dari rahim pesantren Manbaul Ulum Solo ini pula, Kiai Imam
Ghazali, salah seorang guru di pesantren tersebut, pada 1936 M
menulis Tafsir Al-Balagh.Penerbitannya dibuat secara serial, seperti
edisi majalah: ada tahun dan nomor. Edisi Th. 1 dan nomor 1,
cetakan kedua diterbitkan pada 13 Juli 1938/15 Jumadil Awal 1357
oleh penerbit Toko Buku Al-Makmuriyah Sorosejan Surakarta.
Pada edisi Th. 2 dan nomor 2, dicetak pada 7 Safar 1356/19 April
1937.14SelainTafsir Al-Balagh, terdapat naskah anonim terjemah
Al-Qur’an dengan aksara pegon. Naskah ini, sejak tahun 1927M.
dipakai bahan pengajaran di Pesantren Manba’ul Ulum Surakarta.15
Adapun tafsir-tafsir yang lahir dari rahim pesantren di luar
kraton bisa dilihat, misalnya Rauḍat al-‘Irfān fī ma’rifah al-Qur’ān
dan Tamsyiyatul Muslimīn fī Tafsīr Kalām Rabb al-‘Ᾱlamīn16karya
KH. Ahmad Sanoesi (1888-1950 M.), Al-Ibrīz li Ma‘rifati Tafsīr al-
Qur’ān al-‘Azīz (1960) karya K.H. Bisri Mustofa(1915-1977), Iklīl
fī Ma‘āni at-Tanzīl (1980) dan Tāj al-Muslimīn karya K.H. Misbah
ibn Zainul Mustofa(1916-1994), dan Jāmi’ al-Bayān karya KH.
Muhammad bin Sulaiman.

13 Tidak ada informasi yang jelas perihal pemakaian aksara Latin. Diperkirakan agar tafsir ini mudah
dibaca oleh lebih banyak masyarakat Muslim, tidak hanya orang yang menguasai aksara pegon.
14 Penulis tidak menemukan buku ini untuk edisi cetakan pertama Tahun I dan nomor pertama,
sehingga tidak bisa memberikan kepastian terkait tahun terbit untuk kali pertama.
15 Kesimpulan ini didasarkan pada informasi yang terdapat pada halaman lima dalam naskah ini
yang ditempeli kertas putih bertuliskan: “Kagungan Ndalem hing pamulangan Manba’ul Ulum,
1346 H: 1858 Q: 1927 M.” Tulisan ini diketik—bukan tulisan tangan—dengan rapi.
16 Selain dua karya ini, terdapat karya-karya tafsir lain yang ditulis KH. Ahmad Sanoesi, yaitu: Tafrīj
al-Qulūb al-Mu’min fī Tafsīr Kalimat Sūratal-Yāsīn, Kasyfu as-sa’ādah fi Tafsīr Sūrat al-Wāqi’ah,
Tanbīh al-Hairan fī Tafsīr Sūrat ad-Dukhān, Yāsīn Waqi’ah Digantoeng Loegat dan Keterangannya,
Kanz al-Raḥmat wa al-Luth fī Tafsīr Sūrat Al-Kahfi, Hidāyah al- Qulūb fī Fadli Sūrat Tabārak
al-Mulk min Al-Qur’ān, Kasyful Auham fī wa al-Dzunūn fī Bayān Qaul Ta’ālā Lā Yamassuhu illā
al-Muthahharūn, Maljā’ al-Thālibīn fī Tafsīr al-Kalām al-Rabb al-‘Ᾱlamīn.

7
Islah Gusmian Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

KH. Ahmad Sanoesi adalah ulama asal Sukabumi. Ia adalah


pengasuh Pesantren Kedung Puyuh, Sukabumi.Pada 1931 M. ia
mendi­rikan Ittihadijatoel Islamijjah (AII),17 sebuah organisasi
masya­rakat yang bertujuan mewujudkan kebahagiaan umat melalui
mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah. Ia juga ikut berperan dalam
pembentukan Peta (Pembela Tanah Air) di Bogor pada 1943 M.
Menjelang kemerdekaan RI, ia ikut terlibat dalam Badan Pekerja
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang bertugas merumus­
kan negara Indonesia merdeka. Dalam suatu rapat BPUPKI dan
PPKI, ia pernah mengusulkan konsep imamah sebagai dasar negara
Indonesia merdeka—meskipun demikian, ia menolak bergabung
dengan DI (Darul Islam) yang didirikan Kartosuwiryo pada 1949,
karena menurut dia dasar DI banyak yang tidak sesuai dengan ajaran
Islam.18
Rauḍat al-‘Irfān fī ma’rifah al-Qur’ān dan Tamsyiyatul Muslimīn
fī Tafsīr Kalām Rabb al-‘Ᾱlamīn19 merupakan dua karya tafsir
monumental yang dia tulis. Tafsir yang pertama merupakan karya
tafsir lengkap 30 juz yang ditulis memakai aksara Pegon Sunda,

17 Di era zaman Jepang organisasi ini berganti nama Persatoen Oemat Islam Indonesia (POII). Lihat,
Ensiklopedi Nasional Indonesia (Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka, 1990), 14: 400.
18 Sulasman, KH. Ahmad Sanoesi, dari Pesantren ke Parlemen (Bandung: PW PUI Jawa Barat, 2007),
hlm. 89.

19 Selain dua karya ini, terdapat karya-karya tafsir lain yang


ditulis KH. Ahmad Sanoesi, yaitu: Tafrīj al-Qulūb al-Mu’min fī
Tafsīr Kalimat Sūratal-Yāsīn, Kasyfu as-sa’ādah fi Tafsīr Sūrat al-
Wāqi’ah, Tanbīh al-Hairan fī Tafsīr Sūrat ad-Dukhān, Yāsīn Waqi’ah
Digantoeng Loegat dan Keterangannya, Kanz al-Raḥmat wa al-Luth
fī Tafsīr Sūrat Al-Kahfi, Hidāyah al- Qulūb fī Fadli Sūrat Tabārak
al-Mulk min Al-Qur’ān, Kasyful Auham fī wa al-Dzunūn fī Bayān
Qaul Ta’ālā Lā Yamassuhu illā al-Muthahharūn, Maljā’ al-Thālibīn
fī Tafsīr al-Kalām al-Rabb al-‘Ᾱlamīn.

8
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Tafsir Al-Qur’an di Indonesia: Sejarah dan Dinamika

terdiri dari dua jilid. Tafsir ini ditulis secara ringkas. Diterbitkan
olehPenerbit Pesantren Kedung Puyuh, Sukabumi.
Adapun yang kedua, merupakan tafsir berbahasa Indonesia
aksara Latin. Ditulis pada Oktober 1934, sebulan setelah ia kembali
ke Sukabumi dari pengasingannya di Batavia.20Tafsir ini diterbitkan
seperti bentuk majalah setiap satu bulan sampai 53 edisi, mulai
juz 1 hingga juz 8.21 Edisi pertama diterbitkan oleh Tup Masduki,
Tarikolot 3 Soekaboemi, dan sejak edisi kedua diterbitkan oleh
Druk Al-Ittihad Soekaboemi. Pada edisi kedua dan selanjutnya
ini KH. Ahmad Sanusi menyertakan transliterasi ayat Al-Qur’an
yang kemudian melahirkan kontroversi di kalangan ulama Jawa
Barat.22Tafsir ini tampak didedikasikan bukan hanya untukkalangan
para santri, melainkan untuk masyarakat awam yang lebih luas.
Hal ini diperkuat dengan penjelasan dalam Tamsyiyat al-Muslimīn
volume pertama pada halaman “tambihat”, bahwa tafsir ini ditulis
untuk menerangkan agama Islam dan mazhab Ahlussunnah Wal
Jama’ah kepada masyarakat.
Selanjutnya, tafsirAl-Ibrīz li Ma’rifat Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azīz
karya KH. Bisri Mustofa (1925-1977). Karya tafsir ini selesai ditulis
menjelang subuh pada Kamis, 29 Rajab 1376 H / 28 Januari 1960
M.23Ditulis dengan bahasa sederhana agar mudah dipahami oleh

20 Sejak 1928 ia diasingkan oleh Belanda dengan alasan karena keterlibatannya dengan SI ketika
itu, tetapi alasan yang sesungguhnya adalah karena fatwa-fatwanya yang kontroversial, misalnya
tentang slametan dan zakat fitrah, bisa merongrong wibawa Penghulu dan Patih Sukabumi yang
merupakan kaki tangan Belanda. Dadang Darmawan, “Ortodoksi Tafsir: Respon Ulama terhadap
Tafsir Tamsjijjatoel Moeslimin karya KH. Ahmad Sanoesi” Disertasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2009, hlm. 65.
21 Gunseikanbu, Orang Indonesia yang Terkemuka di Jawa (Yogyakarta: Gadjah Mada Press, 1986),
hlm. 443.
22 Mengenai kontroversi ini lebih lanjut lihat Dadang Darmawan, “Ortodoksi Tafsir: Respon
Ulama terhadap Tafsir Tamsjijjatoel Moeslimin karya KH. Ahmad Sanoesi” Disertasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2009.
23 KH. Bisri Mustofa,Al-Ibrīz li Ma’rifat Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azīz (Kudus: Menara Kudus, t.th.) jilid
III, hlm. 2270.

9
Islah Gusmian Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

masyarakat secara luas, khususnya para santri yang memulai belajar


ilmu di bidang tafsir. Dengan rendah hati Kiai Bisri mengatakan
bahwa yang dilakukannya itu hanyalah membahasajawakan dan
menukil kitab-kitab tafsir pendahulunya, seperti tafsir Baidhāwi,
tafsir Khāzin, dan tafsir Jalālain.24
Sama halnya dengan Al-Ibrīz, tafsir Al-Iklīl fī Ma’ānī al-Tanzīl
karya K.H. Misbah Zainul Mustafa ditulis dengan aksara pegon
Jawa, ketika penulisnya memimpin pesantran Al-Balagh di Bangilan,
Tuban.Di masyarakat pesantren, tafsir ini sangat terkenal dantelah
dicetak berkali-kali oleh penerbit buku Ihsan Surabaya pada era
1980-an. Selain Al-Iklīl, ia juga menulis tafsir berjudulTāj al-
Muslimīn. Sayangnya, baru sampai jilid empat, beliau wafat.
Di Makassar, Anre Gurutta25 H.M. As’ad (w. 1952) seorang kiai
pesantren menulis Tafsir Bahasa Boegisnja Soerah Amma. Judul
untuk karya tafsir ini sengaja ditulis dalam tiga bahasa: Arab, Bugis,
dan Indonesia. Terdapat pula edisi Indonesia yang dialihbahasakan
oleh Sjamsoeddin Sengkang, salah seorang murid Anre Gurutta
H.M. As’ad.26 Edisi Indonesia ini diterbitkan di Sengkang. Sayangnya,
tidak terdapat keterangan yang pasti perihal tahun penerbitan dan
nama penerbit. Meskipun demikian, M. Rafii Yunus Martan—
dengan menyebut karya tafsir ini—menegaskan bahwa sejarah
eksistensi terjemah dan tafsir Al-Qur’an di Sulawesi Selatan sudah
cukup panjang dan telah dimulai sejak tahun 1948.27
Penegasan ini menunjukkan bahwa karya ini ditulis dan
diterbitkankira-kira pada tahun 1940-an tersebut. Tafsir Al-Qur’an

24 Ibid., Jilid 1, hlm. 3.


25 Gurutta adalah sebutan atau gelar bagi ulama di Sulawesi Selatan, seperti gelar Kiai di Jawa, namun
ada pembedaan antara yang senior dan yunior. Gelar untuk ulama senior adalah Anre Gurutta,
sedangkan yang yunior Gurutta.
26 Lihat, M. Rafii Yunus Martan, “Membidik Universalitas, Mengusung Lokalitas: Tafsir Al-Qur’an
Bahasa Bugis Karya AG. H. Daud Ismail” dalam Jurnal Studi Al-Qur’an Vol. I No. 3 Tahun 2006,
hlm. 522.
27 Ibid.

10
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Tafsir Al-Qur’an di Indonesia: Sejarah dan Dinamika

bahasa dan aksara Bugis muncul lagi pada tahun 1961 berjudul Tafsir
Al-Qur’an al-Karim bi al-Lughah al-Bugisiyyah, Tafséré Akorang
Bettuwang Bicara Ogi, diterbitkan pertama kali oleh penerbit Adil
di Sengkang pada 1961. Karya tafsir ini ditulis oleh AG. H.M. Yunus
Martan (w. 1986 M). Karya ini hanya terdiri dari tiga juz. Judulnya
ditulis dalam dua bahasa: Arab dan Bugis. Juz ketiga dicetak pertama
kali pada tahun 1961. Model tafsirnya masih sederhana, yaitu setelah
menerjemahkan setiap ayat, penulis memberikan penjelasan pada
konteks-konteks yang dianggap perlu. Jadi, tidak semua ayat diberi
penjelasan.28
Pada 1980-an, AG. H. Daud Ismail (1908-2006 M) menulis tafsir
dalam bahasa dan aksara Bugis. Juz pertamanya terbit pada tahun
1983 oleh penerbit Bintang Selatan di Ujung Pandang. Pada tahun
2001 muncul edisi satu jilid yang berisi tiga juz. Judulnya diberi
tambahan, tetapi penjelasan tentang juz masih tetap ada. Misalnya,
untuk jilid pertama, yang mencakup juz I, II dan III dari Al-Qur’an
diberi judul Tafsir Munir, Tarjamah wa Tafsir al-Juz al-Awwal wa
al-Tsani wa al-Tsalits. Tata letak yang dipakai adalah dengan menulis
ayat Al-Qur’an di kolom bagian kanan sedangkan terjemahannya di
kolom bagian kanan. Adapun tafsirnya ditulis di bagian bawahnya
dengan menyebut nomor ayat, tanpa menyebutkan teks ayatnya.29
Pada era 1990-an Ahmad Asmuni Yasin dari pesantren Petuk Kediri
juga mempublikasikan karya-karya tafsir memakai bahasa Arab.
Ketiga, karya-karya tafsir yang ditulis ketika penulisnya aktif
di lembaga pendidikan formal, seperti madrasahdan kampus. Pada
1978, KH. Hamzah Manguluang, seorang pengajar di Madrasah
As’adiyah di Sengkang Kabupaten Wajo, menyelesaikan terjemah
Al-Quran dengan bahasa dan aksara Bugis. Terjemahan lengkap
30 juz ini dibagi menjadi tiga jilid. Formatnya dalam dua kolom

28 Ibid., hlm. 523.


29 Ibid.

11
Islah Gusmian Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

di setiap halaman. Pada kolom sebelah kiri ditempatkan ayat-ayat


Al-Quran dan di kolom sebelah kanan ditempatkan terjemahannya.
Penjelasan diberikan hanya pada ayat-ayat tertentu dan secara
singkat. Karya tafsir ini diberiKata Pengantar oleh AG. H. Daud
Ismail, yang antara lain menyatakan bahwa AG. H. Hamzah
Manguluang telah memeroleh kemuliaan yang tinggi karena telah
berupaya menerjemahkan Al-Qur’an 30 juz, yang belum pernah
dilakukan orang di daerah Bugis dengan memakai bahasa Bugis.30
Seterusnya, Mahmud Yunus (1899-1982 M.) ketika menerbitkan
karya tafsirnya,ia berperan aktif di lembaga pendidikan. Pada
November 1922 M., Yunus telah menerbitkan tiga bab dari karya
terjemah Al-Qur’an disertai catatan-catatan penjelasannya—waktu
itu, sarjana Islam di Indonesia umumnya menyatakan bahwa
menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa non Arab adalah haram.
Beberapa tahun kemudian, ketika Yunus menjadi seorang mahasiswa
di Universitas Al-Azhar Mesir, oleh salah seorang dosennya, ia
diberitahu bahwa apa yang ia lakukan itu adalah boleh, bahkan
farḍu kifāyah. Dari penjelasan itu, ia kemudian mendapat semangat
baru untuk melanjutkan usahanya tersebut.31
Pada dekade 1920-an ini, ia termasuk pelopor yang memulai
menulis tafsir secara runtut berdasarkan susunan muṣḥaf lengkap 30
juz dengan memakai bahasa Indonesia aksara Latin. Penulisannya
dilakukan secara berangsur-angsur, juz demi juz sampai pada
juz ketiga.32 Juz keempat dilanjutkan penulisannya oleh H. Ilyas

30 Lihat Islah Gusmian, “Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur’an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki
hingga Kepentingan Pembaca” dalam Tsaqafah Jurnal Peradaban Islam Volume 6, Nomor 1, April
2010.
31 Lihat, Mahmud Yunus, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim (Jakarta: P.T. Hidakarya Agung, 1973), hlm.
iii. Tidak ditemukan penjelasan, siapa dosen Yunus dari Al-Azhar yang memberikan penjelasan
tentang kebolehan menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa lokal tersebut.
32 Ibid.

12
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Tafsir Al-Qur’an di Indonesia: Sejarah dan Dinamika

Muhammad Ali di bawah bimbingannya sendiri secara langsung.33


Lalu, pada 1935 penulisan itu dilanjutkan oleh HM. Kasim Bakry,
sampai juz 18. Sisanya dirampungkan oleh Mahmud Yunus sendiri
dan selesai pada 1938 M.34
Mahmud Yunus merupakan salah satu sarjana Muslim yang
mengalami pergulatan yang intens dan serius dengan gerakan
pembaruan Islam di Indonesia. Dia pernah belajar di madrasah
School Surau Tanjung Pauh asuhan HM Thaib Umar, seorang tokoh
pembaru Islam di Minangkabau antara tahun 1917-1923 M. Pada
1924 M. ia belajar keilmuan Islam—ilmu uṣūl fiqh, ilmu tafsir, fiqih
Ḥanafī—di al-Azhar, Kairo. Dalam tempo setahun, ia memperoleh
Syahādah ‘Ᾱlimiyah dan menjadi orang Indonesia kedua yang
memperoleh predikat itu. Lalu ia melanjutkan kuliah di Dar al-
Ulum dan selesai pada 1929 M. dengan spesialisasi bidang ilmu
kependidikan.35
Setelah era Mahmud Yunus, terdapat tokoh-tokoh atau pemikir
Muslim lain yang menulis tafsir Al-Qur’an dengan basis sosial
lingkungan Madrasah.Ia adalah Oemar Bakry. Ia lahir di Danau
Singkarak, Sumatra Barat pada 26 Juni 1916. Pendidikan agama dia
jalani di Sekolah Thawalib, Diniyah Putra Padang Panjang, Kulliyatul
Mu’allimin Islamiyah Padang, dan pernah Fakultas Sastra Universitas
Indonesia, tapi tidak sampai lulu. Ia menulis Tafsir al-Madrasi pada
era 1950-an dengan memakai bahasa Arab. Karya tafsir ini hingga
kini dipakai sebagai bahan pelajaran di Pondok Pesantren Modern
Gontor Ponorogo. Selain Tafsir al-Madrasi, ia juga menulis Tafsir

33 Tidak ada data kapan dimulai pelanjutan penafsiran yang dilakukan oleh H. Ilyas Muhammad
Bakry dan kapan dihentikan.
34 Lihat, Pidato Promotor Prof. H. Soenardjo pada Penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa
kepada Prof. H. Mahmud Yunus dalam Ilmu Tarbiyah, 15 Oktober 1977 (Jakarta: Hidakarya
Agung, 1977).
35 Untuk riwayat hidup Mahmud Yunus, baca Pidato Promotor Prof. H. Soenardjo pada Pengukuhan
Gelar Doctor Honoris Causa kepada Prof. Dr. Mahmud Yunus dalam Ilmu Tarbiyah, 15 Oktober
1977 (Jakarta: Hidakarya Agung, 1977).

13
Islah Gusmian Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

Rahmat lengkap 30 juz. Tafsir ini selesai ditulis pada tahun 1981,
memperoleh surat tashih dari Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an
Departemen Agama RI pada 1983 dan pada tahun ini pula tafsir ini
dipublikasikan.
Selanjutnya, dari rahim kampus juga lahir tafsir Al-Qur’an.
Misalnya, T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, dosen di IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, menulis Tafsir Al-Nur(1952)36 dan Tafsir Al-Bayan (1966);
Bakri Syahid (1918-1994)menulis Al-Huda, Tafsir Al-Qur’an Boso
Jawi ketika dirinya menjabat sebagai Rektor IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.Sebelumnya ia berkarier menjadi Komandan Kompi,
Wartawan Perang No. 6-MTB, Kepala Staf Batalion STM-Yogyakarta,
Kepala Pendidikan Pusat Rawatan Ruhani Islam Angkatan Darat,
Wakil Kepala Pusroh Islam Angkatan Darat, dan Asisten Sekretaris
Negara, Republik Indonesia.37
Keempat, organisasi sosial Islam, seperti Muhammadiyah
dan Persis juga menjadi basis ruang penulisan tafsir Al-Qur’an di
Indonesia. Misalnya, pada 1927 ormas Muhammadiyah bidang
Taman Pustaka di Surakarta menerbitkan Kur’an Jawen, yaitu
terjemah Al-Qur’an dengan memakai Cacarakan dan bahasa Jawa.
Di perpustakaan Mangkunegaran tersimpan hanya juz 10. Bisa

36 tafsir ini ditulis Hasbi disela-sela kesibukannya mengajar, memimpin Fakultas, menjadi anggota
Konstituante dan kegiatan lainnya. Ia ingin menghadirkan tafsir yang bukan sekadar terjemah
kepada khalayak di Indonesia. Ia mendektekan naskah kitab tafsirnya kepada seorang pengetik
(anaknya sendiri, Nourouzzaman Shiddiqi), dan langsung menjadi naskah siap cetak. Ketika proses
mendektekan tersebut, berserakan catatan kecil pada kepingan kertas. Itulah yang barangkali
menjadi penyebab terjadi pengulangan informasi, penekanan atau maksud ayat, uraian yang
kurang terpadu dan pembuatan catatan kaki yang tidak mengikuti metode penulisan karya ilmiah.
Dalam edisi revisi yang diterbitkan oleh Pustaka Rizki putra terdapat beberapa poin yang
dibenahi:perbaikan redaksional ke arah gaya bahasa masa kini tanpa mengubah subtansi:
menghilangkan pengulangan informasi, penekanan atau maksud ayat: membuang sisipan
informasi yang tidak relevan; memadukan uraian; membetulkan penomoran catatan kaki. Lihat
“Dari Penyunting” dalam Tafsir Al-Nur (Semarang: Rizki Putra, 2000), Jilid I, hlm. ix.
37 Bakri Syahid, al-Huda: Tafsir Qur’an Basa Jawi (Yogyakarya: Bagus Arafah, 1979), bagian “Prakata
dari Penerbit”.

14
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Tafsir Al-Qur’an di Indonesia: Sejarah dan Dinamika

diduga bahwa Kur’an Jawen ini pada awalnya diterbitkan berjilid-


jilid yang disesuaikan dengan juz yang ada di dalam mushaf Al-
Qur’an. Meskipun sebagai karya terjemahan Al-Qur’an, untuk kata-
kata kunci dan dianggap penting diberi penjelasan.Modelnya mirip
yang dilakukan oleh tim Departemen Agama RI ketika menyusun
terjemah Al-Qur’an.Pada 1928 M., A. Hassan38 (1887-1958 M.)—
aktivis Persatuan Islam (Persis)—menulis Tafsir Al-Furqan. Tafsir
ini ditulis dan terbit bagian pertama pada Muharram 1347 H./
Juli 1928 M. Karena penulisannya diselingi buku-buku yang lain
untuk kebutuhan dan kepentingan anggota Persis, pada 1941 M.
tafsir ini baru sampai pada sūrah Maryam/19.39 Pada 1953 M.
Sa’ad Nabhan, pemilik penerbitan di Surabaya, meminta A. Hassan
menulis seluruh tafsir dari awal hingga akhir40 dan pada 1956 M.
tafsir ini pun berhasil diterbitkan secara utuh. Pada era 1960-an
Tafsir Al-Furqanini telah beredar dan memperoleh sambutan yang
baik darimasyarakat Muslim Indonesia.
Pada era 1990-an, ormas Islam di Indonesia terus mendedikasikan
diri dalam penulisan dan publikasi tafsir. Majlis Tarjih dan Pemikiran
Islam PP Muhammadiyah, misalnya, mengeluarkan tafsir yang ditulis
secara tematik. Tafsir tersebut berjudulTafsir Tematik Hubungan
Sosial Antar Umat Beragama. Di lingkungan Muhammadiyah,
tafsir ini mengalami resistensi dan tidak bisa beredar secara luas
dan massif, karena topik dan analisisnya menimbulkan perdebatan
di kalangan Muhammadiyah sendiri.
Kelima, di luar dari basis sosial yang spesifik di atas, terdapat
tafsir-tafsir denganjejaring sosial penulisnya secara bebas dan

38 Namanya yang sebenarnya adalah Hasan bin Ahmad, tetapi ia sering dan lebih populer dipanggil
Ahmad Hassan (huruf ‘s’ rangkap) atau Hassan Bandung (karena ia berdomisili di Bandung).
39 Pada 1937 edisi bahasa Sundanya terbit berjudu Tafsir Al-Foerqan Basa Sunda diterbitkan oleh
Taman Poestaka Persatoean Islam, sebanyak 3 jilid. Lihat Hawe Setiawan, “Al-Qur’an dan Tafsir
Sunda”, dalam Pikiran Rakyat, Sabtu, 23 September 2006.
40 Lihata “Kata Pengantar” dalam A. Hassan, Tafsir Al-Furqan (Surabaya: Salim Nabhan, 1956). Kata
Pengantar ini ditulis pada 26 April 1956.

15
Islah Gusmian Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

longgar. Misalnya, Tafsir Al-Azhar karya Hamka ditulis dengan ruang


sosial orang-orang kota dan ruang batin ormas Muhammadiyah. Hal
serupa terjadi pada Ayat Suci Dalam Renungankarya Mohammad
Emon Hasim, aktivis Muhammadiyah di Bandung. Pada 1990-an
muncul M. Quraish Shihab, Jalaluddin Rahmat, M. Dawam Raharjo,
dan Syu’bah Asa. M. Quraish,selain menulis Tafsir Mishbah, ia juga
menulis Tafsir Al-Amanah, Tafsir Ayat-Ayat Tahlil, Tafsir Al-Qur’an
Al-Karim, Tafsir Surat-Surat Pendek Berdasarkan Turunnya Wahyu,
dan Wawasan Al-Qur’an. Jalal menulis Tafsir Bil-Ma’tsur dan Tafsir
Sufi Al-Fatihah; Dawam menulis Ensiklopedi Al-Qur’an; dan Syu’bah
menulis Dalam Cahaya Al-Qur’an, Tafsir Ayat Sosial Politik.
Pada era awal 1990-an muncul tren penulisan tafsir sebagai
bentuk tugas akademik, seperti skripsi, tesis, dan disertasi. Pengaruh
Quraish, sebagai guru besar tafsir, cukup besar dalam proses
pembentukan trend ini. Hal ini tampak pada proses pembimbingan
disertasi atau pun proses perkuliahan di dalam kelas. Di antara
hasilnya dapat dilihat, misalnya Kufr dalam Al-Qur’an karya
Harifuddin Cawidu, Perbuatan Manusia dalam Al-Qur’an karya
Jalaluddin Rahman, dan Makna Ahl Kitab dalam Al-Qur’an karya
M. Galib M.

C. IdentitasSosialdan Basis Keilmuan Penafsir


Para penulis tafsir Al-Qur’an di Indonesia berasal dari latar
belakang keilmuan dan basis identitas sosial yang beragam. Basis
identitas sosial ini salingrajut, artinya satu penulis tafsir bisa
mempunyai lebih dari satu identitas, tetapi dalam uraian ini difo­
kuskan pada konteks yang lebih umum dan populer di tengah
masyarakat. Pertama, identitas sosial ulama. Ulama merupakan
status sosial yang diperoleh dari pengakuan masyarakat yang
tidak selalu terkait dengan karir akademik di bangku pendidikan
formal.41Penulis tafsir dengan identitas sosial keulamaan tampak

41 Lihat KBBI versi Offline versi 1.1 freeware-2010 by Ebta Setiawan.

16
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Tafsir Al-Qur’an di Indonesia: Sejarah dan Dinamika

pada diri ‘Abdul Rauf Al-Sinkili, penulis Tarjuman Mustafid; Kiai


Saleh Darat, penulis Faiḍ al-Rahmān;Mhd. Romli (1889-1981)
penulis al-Kitab al-Mubin: Tafsir Al-Qur’an Basa Sunda; Abdullah
Thufail Saputra (1927-1992),penulis Tafsir Al-Qur’an Gelombang
Tujuh; Oemar Bakry, penulis tafsir Rahmat; Misbah Zainul Mustafa
(1916-1994), penulis tafsir al-Iklīl fī Ma’ānī at-Tanzīl; Didin
Hafidhuddin penulis Tafsir Al-Hijri, dan M. Quraish Shihab, penulis
Tafsir Al-Mishbah,Wawasan Al-Qur’an dan Tafsir Ayat-Ayat Tahlil.
Kedua, identitas sosial cendekiawan-akademisi,42 yaitu para
penulis tafsir yang bergerak di dunia akademik sebagai pengajar
dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Keilmuan mereka beragam
serta tidak selalu spesifik di bidang kajian tafsir dan Al-Qur’an.
Jalaluddin Rakhmat, penulis Tafsir Bil Ma’tsur, misalnya, adalah
pakar di bidang ilmu Komunikasi, dan M. Dawam Rahardjo,
penulis Ensiklopedi Al-Qur’an, pakar di bidang ekonomi. Adapun
mereka yang secara umum bidang kajian keilmuannya adalah
kajian keislaman, misalnya, Jalaluddin Rahman, penulis Perbuatan
Manusia dalam Al-Qur’an dan Harifuddin Cawidu,penulis Kufr
dalam Al-Qur’an.
Ketiga, identitas sastrawan-budayawan.43 Penulis tafsir yang
memiliki identitas sosial kesastrawanan-kebudayawanan adalah
Syu’bah Asa (1941-2011), penulis Dalam Cahaya Al-Qur’an dan
Moh. E. Hasim (1916-2009), penulis Ayat Suci dalam Renungan.
Moh. E. Hasim merupakan salah seorang yang berjasa dalam

42 Cendekiawan-akademisi adalah orang yang memiliki sikap hidup yang terus-menerus


meningkatkan kemampuan berpikirnya untuk dapat mengetahui atau memahami sesuatu. Adapun
akademisi adalah seseorang yang berpendidikan tinggi atau menjadi subjek yang beraktivitas di
perguruan tinggi. Lihat KBBI versi Offline versi 1.1 freeware-2010 by Ebta Setiawan.
43 Sastrawan adalah pujangga atau ahli sastra. Ia adalah orang yang mendedikasikan hidupnya
dalam dunia kepengarangan di bidang prosa dan puisi. Adapun budayawan adalah orang yang
berkecimpung dalam dunia kebudayaan; terkait dengan sifat, nilai, dan adat-istiadat khas yang
memberikan watak kepada kebudayaan suatu golongan sosial dalam masyarakat. Lihat KBBI
versi Offline versi 1.1 freeware-2010 oleh Ebta Setiawan.

17
Islah Gusmian Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

pelestarian dan pengembangan sastra Sunda melaluipenulisan tafsir


Al-Qur’an berbahasa Sunda. Atas dasar jasanya ini pada 2001 ia
dianugerahi hadiah Sastra Sunda “Rancage”. Adapun Syu’bah Asa
adalah seorang jurnalis dan budayawan. Ia pernah ikut dalam proyek
puitisasi terjemahan Al-Qur’an pada 1970, bersama Taufik Ismail
dan Ali Audah. Ia aktif menjadi wartawan di majalah Ekspres sebagai
redaktur musik, di Majalah Tempo sebagai penulis kritik teater, di
majalah Editor, dan terakhir di Majalah Panjimas.
Keempat, identitas sosial birokrat. Pengertian birokrat di sini
adalah orang yang terlibat aktif dalam sistem pemerintahan yang
dijalankan oleh pegawai pemerintah dan berpegang pada hierarki
dan jenjang jabatan.44 Karier di dunia birokrasi pernah dijalani
Abdoel Moerad Oesman, penulis Al-Hikmah; Bakry Syahid, penulis
Al-Huda; dan M. Quraish Shihab, penulis Wawasan Al-Qur’an.
Abdoel Moerad Oesman pernah aktif menjadi lasykar Hizbullah,
TNI Angkatan Darat (1945-1985), ikut dalam operasi penumpasan
Gerakan 30 September 1965, dan Perwira Rohani Islam di Istana
Negara.45 Mirip dengan Abdoel Moerad, Bakri Syahid (1918-1994),
berkarier menjadi Komandan Kompi, Wartawan Perang No. 6-MTB,
Kepala Staf Batalion STM-Yogyakarta, Kepala Pendidikan Pusat
Rawatan Ruhani Islam Angkatan Darat, Wakil Kepala Pusroh Islam
Angkatan Darat, dan Asisten Sekretaris Negara Republik Indonesia.46
Adapun M. Quraish Shihab, pernah menjadi birokrat kampus dan
kemudian menjadi Menteri Agama pada Kabinet Pembangunan VII
di era rezim Soeharto (dilantik pada 16 Maret 1998 dan berakhir

44 Lihat KBBI versi Offline versi 1.1 freeware-2010 oleh Ebta Setiawan.
45 Lihat halaman cover belakang Abdoel Moerad Oesman, al-Hikmah: Tafsir Ayat-Ayat Dakwah,
cetakan 1 (Jakarta: Kalam Mulia, 1991).
46 Bakri Syahid, al-Huda: Tafsir Qur’an Basa Jawi (Yogyakarya: Bagus Arafah, 1979), bagian “Prakata
dari Penerbit”.

18
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Tafsir Al-Qur’an di Indonesia: Sejarah dan Dinamika

sebelum masa jabatan selesai setelah gerakan reformasi 21 Mei


1998).47
Kelima, identitas sosial politikus, yakni orang yang berkecimpung
di dunia politik.48 Para penulis tafsir ada yang aktif sebagai politikus, di
samping identitas sosial lain yang melekat pada diri mereka. Misalnya
Oemar Bakry, Misbah Zainul Mustafa, dan Didin Hafidhuddin. Di
samping kental dengan identitas ulama, Misbah pernah aktif di Partai
Masyumi, Partai Persatuan Indonesia (PPI), dan kemudian dipaksa
aktif di Golkar oleh rezim Orde Baru meskipun kemudian keluar dari
partai penyokong rezim Orde Baru tersebut.49 Selanjutnya, Oemar
Bakry, pernah aktif sebagai anggota Partai Politik Persatuan Muslim
Indonesia (PERMI) dan menjadi pimpinan Masyumi di Sumatera
Tengah.50 Sedangkan Didin Hafidhuddin, selain aktif di bidang
pendidikan dan dakwah, ia pernah berkiprah di Partai Keadilan
(PK)—cikal bakal Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Pada pemilu
1999, ia diusung oleh PK untuk menjadi calon presiden RI, tetapi
ia kemudian mengundurkan diri.51

D. Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur’an di Indonesia


Tafsir Al-Qur’an di Indonesia, dengan segala konteks budaya
dan kebutuhan yang mengitarinya, ditulis dengan bahasa dan aksara
yang beragam. Di Jawa, terutama wilayah pedalaman seperti di Solo
dan Yogyakarta, terdapat karya tafsir yang ditulis dengan bahasa
Jawa aksara cacarakan. Misalnya, Serat Patekah, sebuah terjemah

47 Lihat P.N.H. Simanjuntak, Kabinet-kabinet Republik Indonesia dari Awal Kemerdekaan sampai
Reformasi (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2003), hlm. 386.
48 Lihat KBBI versi Offline versi 1.1 freeware-2010 oleh Ebta Setiawan.
49 Lihat penjelasan di sampul belakang buku Misbah Mustafa, Shalat dan Tatakrama. Hal ini
dipertegas oleh K.H. Muhammad Nafis, putra K.H. Misbah. Wawancara dengan K.H. Muhammad
Nafis di Bangilan Tuban, 16 Juli 2010.
50 Oemar Bakry, Tafsir Rahmat, cetakan 3 (Jakarta: PT Mutiara, 1984), khususnya halaman tentang
biografi penulis tafsir.
51 Kepada berbagai media massa, seperti detik.com, hal ini disampaikan Didin Hafidhuddin untuk
memberikan alasan mengapa ia tidak aktif di dunia politik, khususnya di Partai Keadilan Sejahtera.

19
Islah Gusmian Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

tafsiriyah, Tafsir Wal Ngasri karya St. Cahayati, Tafsir Al-Qur’an


Jawen karya Bagus Ngarpah,Tafsir Al-Qur’an saha Pethikan Warna-
warni koleksi Museum Sonobudoyo, Yogyakarta. Pilihan aksara
cacarakan ini dipilih dengan mempertimbangkan kebutuhan audiens
sebagai pengguna tafsir dan pada saat yang sama menunjukkan
adanya pergerakan dakwahIslam yang telah memasuki pada ruang
masyarakat Jawa pedalaman.
Selain cacarakan,terdapat juga tafsir Al-Qur’an pegon. Secara
umum tafsir jenis ini lahir dari masyarakat Islam Jawa pesisir yang
kental dengan tradisi pesantren. Hal ini bisa dilihat misalnya,Faiḍ
ar-Raḥmān fī Tarjamāh Kalām Mālik al-Dayyān,52 karya Syekh
Muḥammad Ṣāliḥ ibn ‘Umar as-Samaranī53 yang dikenal dengan
nama Kiai Saleh Darat (1820-1903), Tafsir Surah Yasin (1954)54 dan
al-Ibrīz li Ma’rifat Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azīz (1960) karya KH. Bisri
Mustafa, Iklīl fī Ma’ānī al-Tanzīl (1980-an) dan Tājul Muslimīn karya
K.H. Misbah Zainul Mustofa, dan Tafsir Al-Balagh karya Imam
Ghazali.
Pada perkembangan selanjutnya, ketika aksara Latin/Roman
diperkenalkan oleh Belanda sejak politik etis, kebutuhan karya tafsir
bagi Muslim Jawa juga difasilitasi dalam bentuk tafsir berbahasa

52 Judul ini sebagaimana disebutkan dalam edisi yang diterbitkan di Singapura, bukan Faiḍ ar-
Raḥmān fī Tafsīr al-Qur’ān yang ditulis secara sembrono oleh sejumlah peneliti.
53 Kiai Saleh Darat dilahirkan di desa Kedung Cumpleng, Mayong, Jepara pada 1235 H/1820 M, dan
wafat di Semarang, pada Jumat, 29 Ramadhan 1321 H/18 Desember 1903 M. Ayahnya, Kiai Umar,
merupakan salah satu pejuang yang dipercaya oleh Diponegoro untuk perjuangan di wilayah Jawa
bagian utara, yaitu Semarang [Lihat, H.M. Danuwijoto, “Ky. Saleh Darat Semarang, Ulama Besar
Dan Pujangga Islam Sesudah Pakubuwono Iv” dalam Majalah Mimbar Ulama, nomor 17 tahun
1977, hlm. 68.] Para pejuang pendukung perjuangan Diponegoro kebanyakan adalah para kiai
yang mempunyai pesantren, seperti KH. Jamsari, K.H. Hasan Bashari, Kiai Syada’, Kiai Darda’ dan
Kiai Murtadha. [Aly As’ad, K.H.M. Moenawir (Yogyakarta: Pondok Krapyak Yogyakarta, 1975),
hlm. 4.].
54 lihat, KH. Bisri Mustofa, Tafsīr Sūrat Yāsīn (Kudus: Menara Kudus, t.th.). Di dalam kata pengantar
penulis dijelaskan bahwa penulisan tafsir ini mengacu pada karya-karya tafsir terpercaya
(mu’tabar), yaitu tafsīrJalālain, tafsīr al-Baidhāwī, tafsīr al-Khāzin, tafsīr Ḥamamī Zādah, tafsīr
Munīr dan yang lain.

20
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Tafsir Al-Qur’an di Indonesia: Sejarah dan Dinamika

Jawa dengan aksara Latin. Tafsir jenis ini bisa dilihat misalnya dapat
dilihat pada usaha yang dilakukan Moenawar Chalil (1908-1961).
Seorang Muslim modernis55 ini, pada 1958 menulis Tafsir Qur’an
Hidaajatur-Rahman. Dua tahun kemudian muncul Tafsir Al-Qur’an
Suci Basa Jawi (1965)karya Raden Muhammad Adnan,56 lalu pada
1970-an disusul Al-Huda Tafsir Qur’an Basa Jawi karya Bakri
Syahid sebagai salah satu jawaban atas kebutuhan dan permintaan
masyarakat Islam Suriname. Bahkan, demi tujuan melestarikan seni
macapat, Ahmad Djawahir Anomwidjaja pada 1992 menulis Sekar
Sari Kidung Rahayu, Sekar Macapat Terjemahanipun Juz Amma.57
Selain bahasa Jawa, bahasa-bahasa lokal yang lain, seperti Sunda
dan Bugis juga dipakai dalam penulisan tafsir dengan dua versi: ada
yang pegon Sunda dan atau Latin. Untuk edisi Pegon, bisa dilihat
misalnya, Raudlatul ‘Irfān fī Ma’rifatil Qur’ān dan Tafrīju Qulūb al-
Mu’min fī Tafsīr Kalimah Sūrat al-Yāsīn karya Kiai Ahmad Sanusi
Sukabumi. Adapun untuk edisi Latin bisa dilihat misalnya, Nurul-
Bajan: Tafsir Qur’an Basa Sunda(1960) ditulis KH. Mhd. Romli dan
H.N.S. Midjaja, Al-Kitabul Mubin Tafsir Al-Qur’an Basa Sundakarya
K.H. Mhd. Romli, dan Ayat Suci Lenyepaneun(1984) karya Moh. E.
Hasim. Adapun aksara Bugis bisa dilihat misalnya, Tafsir Al-Qur’an
al-Karim bi al-Lughah al-Bugisiyyah, Tafséré Akorang Bettuwang
Bicara Ogi, (1961) karya AG. H.M. Yunus Martan (w. 1986 M),58Tafsir

55 Ia pernah menjadi anggota Majlis Tarjih Muhammadiyah. Lihat, Asmuni Abdul Rahman, dkk.,
Majlis Tarjih Muhammadiyah (Yogyakarta: Lembaga Research dan Survey IAIN Sunan Kalijaga,
1985), hlm. 27; menjadi majlis ulama persis, dan pengurus Masyumi, dan sekretaris lajnah ahli-ahli
hadis. Lihat, Thoha Hamim, Paham Keagamaan Kaum Reformis, Terj. Imron Rosyidi (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2000), khususnya Bab II.
56 Abdul Hadi Adnan, “Pak Adnan: Jangan Minta-Minta Jabatan” dalam Prof. Kiai Haji Raden
Muhammad Adnan (Jakarta: t.tp., 1996), hlm. 30.
57 Ahmad Djawahir Anomwidjaja, Sekar Sari Kidung Rahayu, Sekar Macapat Terjemahanipun Juz
Amma (Yogyakarta: Bentang, 2003).
58 Lihat, M. Rafii Yunus Martan, “Membidik Universalitas, Mengusung Lokalitas: Tafsir Al-Qur’an
Bahasa Bugis Karya AG. H. Daud Ismail” dalam Jurnal Studi Al-Qur’an Vol. I No. 3 Tahun 2006,
hlm. 523.

21
Islah Gusmian Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

Munir, Tarjamah wa Tafsir al-Juz al-Awwal wa al-Tsani wa al-Tsalits.


(1980-an) AG. H. Daud Ismail (1908-2006 M).
Bahasa Arab juga dipakai oleh penulis tafsir Al-Qur’an Indonesia.
Konteks ini terlihat pada tafsir yang ditulis KH. Ahmad Yasin
Asymuni,59yaitu Tafsīr Bismillāhir raḥmānirraḥīm Muqaddimah
Tafsīr Al-Fātiḥah, Tafsīr Al-Fātiḥah, Tafsīr Sūrah al-Ikhlāṣ, Tafsīr al-
Mu’awwidatain, Tafsīr Mā Aṣābak, Tafsīr Ᾱyat al-Kursī, dan Tafsīr
Ḥasbunallāh.Karya tafsir ini dipakai sebagai kitab pengajian di
sejumlah pesantren di Kediri, Jombang, dan Yogyakarta.Konteks
pemakaian bahasa Arab dalam kasus karya-karya KH. Ahmad Yasin
Asymuni ini tampak mempunyai terkait dengan sebagai salah satu
bahan pengajian di pesantren.
Pada abad ke-18 M., juga terdapat naskah tafsir berjudul tafsir
Al-Asrār yang penulisan naskahnya dilakukan oleh Haji Ḥabīb bin
‘Ᾱrifuddīn pada Selasa 27 Sya’ban 1196 H/ 7 Agustus 1782 M. Selain
dua karya ini, KH. Muhammad bin Sulaiman dari Solo menulis
tafsir berbahasa Arab berjudul Jāmi’ al-Bayān min Khulāṣah suwar
al-Qur’ān al-‘Aḍīm. Karya tafsir ini lengkap 30 juz yang publikasikan
dalam dua jilid.
Di luar dari bahasa dan aksara lokal di atas, tentu bahasa
Indonesia dan aksara Latin telah menjadi pilihan umum oleh para
penulis tafsir Al-Qur’an di Indonesia. Hal ini terutama terjadi setelah
peristiwa Sumpah Pemuda yang menggerakkan bangsa Indonesia
membangun kesadaran perlunya persatuan, yang salah satunya
diwujudkan dalam persatuan pemakaian bahasa Indonesia. Dia
antara karya tafsir yang ditulis dengan memakai bahasa Indonesia
adalahTafsirAl-Furqan karya A.Hasan, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim
karya Mahmud Yunus, Tafsir Al-Azhar karya Hamka,TafsirAl-Munir

59 ia adalah pengasuh pondok pesantren Petuk Semen Kediri. Pada periode 1996/1997 tercatat
sebagai kepala madrasah hidayatut thulab, sebuah madrasah yang dalam naungan pesantren
petuk semen. Lihat, informasi tentang penerimaan siswa baru yang diselipkan dalam bukunya,
Tafsīr Bismillāhirraḥmānirraḥīm (surabaya: bungkul indah, t.th).

22
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Tafsir Al-Qur’an di Indonesia: Sejarah dan Dinamika

dan Tafsir Al-Bayan karya Hasbi Ash-Shiddiqie, Tafsir Rahmat


karya Oemar Bakry, Tafsir Gelombang Tujuh karya KH. Abdullah
Tufail, Al-Qur’an dan Tafsirnya karya tim Departemen Agama RI,
dan Tafsir Al-Mishbah karya M. Quraish Shihab. Bahasa Indonesia
ini dipilih oleh para penulis tafsir dalam penulisan karya tafsirnya
itu, pertimbangan praktisnya adalah karena bahasa Indonesia bisa
menjangkau audien dan pembaca lebih luas di tengah masyarakat
Muslim Indonesia.

E. TafsirAl-Qur’an dan Realitas Sosial-Politik


Dari sisi isi, tafsir Al-Qur’an Indonesia mengalami perjalanan
yang dinamis dan pada kadar tertentu bersifat dialektis. Tafsir tidak
berhenti pada pembacaan atas teks Kitab Suci, tetapi oleh para
penulisnya juga dirangkaikan dengan pembacaan atas realitas sosial-
politik yang terjadi pada saat tafsir ditulis. Isu sosial dan politik yang
terjadi dibicarakan secara terbuka.
Di bidang politik, ideologi Pancasila misalnya, dikontestasikan
dalam bentuk dukungan sebagai dasar negara dan falsafah bangsa.
Hal ini terlihat, dalam tafsir yang ditulis oleh Bakri Syahid. Ia
memberikan dukungan kepada Pancasila ketika menjelaskan makna
ūlu al-amr dalam Q.S. an-Nisā’ [4]: 8360dan Q.S. Yūnus [10]: 7.61
Ideologi pembangunan rezim Orde Baru dikontestasikan oleh Moh.
E. Hasim dan Syu’bah dengan mengungkapkan akibat buruk yang
ditimbulkan. Ketika menjelaskan Q.S. al-Baqarah [2]: 11, Moh. E.
Hasim mengkritik kebijakan ekonomi rezim Orde Baru sebagai
sistem lisensi yang hanya memberikan keuntungan kepada kalangan
tertentu.62 Adapun Syu’bah mengontestasikannya ketika menjelaskan

60 Bakri Syahid, al-Huda: Tafsir Qur’an Basa Jawi, hlm. 153, ck. 222.
61 Ibid., hlm. 364, ck. 491.
62 Moh. E. Hasim, Ayat Suci dalam Renungan, juz 2 (Bandung: Penerbit Pustaka, 2007), hlm. 379.

23
Islah Gusmian Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

Q.S. al-An’ām [6]: 65 dengan mengemukakan akibat buruk yang


ditimbulkan dalam bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme.63
Masih terkaitdengan isu politik, kasus korupsi dibicarakan oleh
para penafsir di Indonesia dalam karya tafsir mereka. Ayat Suci
dalam Renungan, Tafsir al-Hijri, dan Dalam Cahaya Al-Qur’an di
antara tafsir yang di dalamnya ditemukan pembahasan perihal kasus
tersebut. Dalam Tafsir al-Hijri, praktik korupsi rezim Orde Baru
dibicarakan ketika menjelaskan Q.S. an-Nisā’ [4]: 2964 dan al-Mā’idah
[5]: 88.65 Moh. E. Hasim mengkontestasikannya, misalnya ketika
membahas Q.S. al-Isrā’ [17]: 18 tentang keserakahan manusia,66
bisikan buruk setan yang diisyaratkan dalam Q.S. al-Baqarah [2]:
268,67 keharusan memberikan kesaksian yang benar pada Q.S. al-
Baqarah [2]: 282. Adapun Syu’bah mengkontestasikannya ketika ia
menguraikan QS. an-Nisā’ [4]: 135 tentang penegakan keadilan68
dan Q.S. al-Baqarah [2]: 183 tentang puasa Ramadan.69
Selain isu politik, isu sosial dan keagamaan juga dikontestasikan
dalam karya tafsir Al-Qur’an di Indonesia.Terkait dengan isu
peran perempuan dalam pembangunan, kontestasi secara terbuka
dilakukan Zaitunah dalam Tafsir Kebencian. Ia mengulas kebijakan
rezim Orde Baru dengan mengkaji Ketetapan MPR Nomor II Tahun
1988 pada butir 10 dan Ketetapan MPR Nomor II Tahun 1993 pada
butir 9, 13, dan 32 yang menurutnya menempatkan perempuan
menjadi tidak sejajar dengan laki-laki.70

63 Syu’bah Asa, Dalam Cahaya Al-Qur’an, Tafsir Ayat-Ayat Sosial Politik (Jakarta: Gramedia, 2000),
hlm. 178.
64 Didin Hafidhuddin, Tafsir al-Hijri: Kajian Tafsir Al-Qur’an Surat al-Ma’idah, hlm. 185.
65 Didin Hafidhuddin, Tafsir al-Hijri: Kajian Tafsir Al-Qur’an Surat an-Nisa’, hlm. 38.
66 Moh. E. Hasim, Ayat Suci dalam Renungan, juz 15, hlm. 39.
67 Ibid., juz 3, hlm. 83.
68 Syu’bah Asa, Dalam Cahaya Al-Qur’an, hlm. 373.
69 Ibid., hlm. 83.
70 Ibid., hlm. 96.

24
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Tafsir Al-Qur’an di Indonesia: Sejarah dan Dinamika

Kerukunan dan toleransi antarumat beragama dikontestasikan


dengan pandangan yang beragam. Misalnya tafsir Al-Qur’an
yang dipublikasikan pada era rezim Orde Baru menegaskan
tentang prinsip kebebasan dan tidak ada paksaan dalam beragama
merupakan salah satu nilai yang diajarkan Al-Qur’an. Pemahaman
ini menjadi fondasi kesadaran toleransi antarumat beragama
dibangun. Dalam Tafsir al-Hijri, Didinmemberikan peneguhan
bahwa Islam mengajarkan sikap toleran dan kerukunan antarumat
beragama. Pandangan ini dikemukakan ketika ia menjelaskan Q.S.
al-Mā’idah [5]: 43-44.71 Berbagai kasus kerusuhan dan pertentangan
yang melibatkan umat beragama, menurutnya disebabkan oleh
kebijakan ekonomi dan politik pemerintah yang berpihak kepada
kaum minoritas.72 Ia juga mengkritik toleransi yang berkembang di
Indonesia sering kali mengalami salah arah, karena bergeser menjadi
upaya mempertemukan perbedaan akidah. Kasus peringatan Hari
Natal dan doa bersama yang dilakukan oleh umat lintas agama, dia
kemukakan sebagai contoh kesalahan arah tersebut.73
Adapun isu peran agama dalam pembangunan dikontestasikan
dengan meneguhkan perlunya berpikir progresif dan rasional dalam
membangun masyarakat. Bakri Syahid dalamAl-Huda, misalnya,
meletakkan wawasan kenusantaraan dan kebangsaan sebagai salah
satu dasar penulisan tafsir.74Ia menegaskan amanat Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945, ketika menguraikan Q.S. Yūnus [10]:
19.75 Jalaluddin Rahman dalam Konsep Perbuatan Manusia Menurut

71 Didin Hafidhuddin, Tafsir a-Hijri: Tafsir Al-Qur’an Surat al-Ma’idah, hlm. 90.
72 Ibid., hlm. 42.
73 Ibid., hlm. 90.
74 Lihat Bakri Syahid dalam “Kata Pengantar”, dalam Bakri Syahid, al-Huda, hlm. 7-8.
75 Ibid., hlm. 367.

25
Islah Gusmian Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

Al-Qur’an,76 Machasin dalam Menyelami Kebebasan Manusia77


juga meneguhkan hal tersebut. Pada bagian akhir dari tafsirnya,
Jalaluddin Rahman membuat empat rekomendasi, yang salah satunya
terkait dengan etos kerja masyarakat Indonesia sebagai salah satu
unsur penting dalam pembangunan nasional. Ia mengungkapkan
pandangan Al-Qur’an tentang manusia yang produktif-kreatif,
memberikan dasar konseptual dan mendorong umat Islam untuk
berperan dalam pembangunan nasional.78
Dukungan terhadap program-program pemerintah juga dapat
dilihat dari serial Tafsir Tematik yang ditulis oleh tim khusus yang
dibentuk oleh Kementeria Agama RI yang tertuang dalam Keputusan
Menteri Agama RI, nomor BD/28/2008 tanggal 14 Februari 2008.
Tema-tema yang diangkat meliputi isu pembangunan ekonomi,
perempuan, etika, lingkungan hidup, dan kesehatan dalam perspektif
Al-Qur’an.79Di sisi yang lain Kementerian Agama RI bekerja
sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) menyusun
tim khusus yang menulis Tafsir Ilmi. Pada tahun 2001 yang telah
diterbitkan adalah Air dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains yang
terdiri dari enam bab; Tumbuhan dalam Perspektif Al-Qur’an dan
Sains yang terdiri dari enam bab; dan Kiamat dalam Perspektif Al-
Qur’an dan Sains yang terdiri dari lima bab.80

76 Merujuk pada Kata Pengantar penulis, buku ini merupakan disertasi di IAIN Jakarta, mulai ditulis
pada akhir 1986, selesai ditulis pada 1988, dan diterbitkan pada 1992.
77 Buku ini berasal dari tesis di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dipertahankan di depan dewan
penguji pada 1988.
78 Ibid., hlm. 170-1.
79 Lihat M. Atho Mudzhar, “Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI”
dalam Tafsir Al-Qur’an Tematik (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang
dan Diklat Departemen Agama RI, 2009), hlm. xv.
80 Lihat Muhammad Shohib, “Sambutan Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Kementerian
Agama”, dalam Tafsir Al-Ilmi (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang dan
Diklat, 2011), hlm. xv.

26
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Tafsir Al-Qur’an di Indonesia: Sejarah dan Dinamika

F. Harapan dan Masa Depan Tafsir Al-Qur’an Indonesia


Sebagai salah satu bagian dari kawasan Nusantara—dibandingkan
dengan Malaysia, Singapura, Brunai, ataupun Thailand—Indonesia
merupakan wilayah yang memberikan ruang yang leluasa bagi
berkembangnya pemikiran keislaman, termasuk dalam bidang tafsir
Al-Qur’an. Ada sejumlah alasan yang bisa dikemukakan di sini.
Pertama, berbagai mazhab fiqh dan pemikiran Islam bisa lebih
leluasa hidup di Indonesia. Di Brunai misalnya, secara formal,
negara hanya mempertegas mazhab fiqih Syafi’i dengan teologi
Ahlussunnah Wal Jama’ah. Negara tampil demikian kuat mengatur
pemikiran, sehingga wajar jika sulit ditemukan ada tafsir yang secara
spesifik ditulis ulama Brunai. Di Singapura, Islam dan pemikiran
Islam dalam kadar tertentu tidak mempunyai ruang yang leluasa
dalam mengembangkannya secara dinamis. PemerintahSingapura,
hingga kini, tidak secara khusus memberikan ruang dan fasilitas
dalam pendirian Lembaga Pendidikan Tinggi Agama Islam,
meskipun kajian tentang Islam terjadi di sana. Hal ini wajar, selain
faktor jumlah penduduk Muslim di sana yang bukan mayoritas, juga
karena tidak adanya ruang dan peran bagi kalangan Muslim untuk
berkiprah dalam dunia politik dan kekuasaan. Adapun di Malaysia,
meskipun mayoritas penduduknya Muslim, tetapi pemikiran Islam
yang dinilai progresif atau bahkan liberal,kurang memperoleh ruang
untuk tumbuh,berdialog serta berdialektika dengan pemikiran Islam
lain di masyarakat.
Kedua, di Indonesia pemikiran-pemikiran Islam dari para
akademisi Muslim dari luar Indonesia, seperti Nasr Hamid Abu
Zaid, Muhamed Arkoun, Hassan Hanafi, Muhammad Syahrur, Amin
Al-Khuli, Bint Syati’ dan yang lain diberi ruang secara rasional dan
dialektis. Bahkan buku-buku mereka diterjemahkan dan diterbitkan
secara terbuka dan massal. Pada saat yang sama pemikiran tentang
Islam secara luas yang dilakukan oleh kalangan yang beragam, bukan
hanya dari kalangan Muslim,juga bisa diakses dengan mudah.

27
Islah Gusmian Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

Ketiga, pemerintah Indonesia ikut menyokong kebebasan


akademik dan peningkatan mutu akademik dengan tradisi
ilmiah yang dikembangkan melalui Perguruan Tinggi Islam, baik
STAIN, IAIN, atau UIN. Secara kelembagaan, hal ini memberikan
keuntungan bagi pengembangan tradisi tafsir Al-Qur’an di Indonesia
ke depan.
Tiga faktor di atas didukung pula oleh terbukanya ruang bagi
usaha penerbitan karya-karya ilmiah, termasuk di bidang tafsir
Al-Qur’an. Bila pada era abad 17 hingga awal 19 M ulama-ulama
Nusantara menerbitkan karya-karya mereka di Mesir, Turki, dan
Penang, sekarang mereka bisa menerbitkannya di tanah kelahirannya
sendiri dengan sangat mudah. Dunia penerbitan di Indonesia tidak
hanya direpresentasikan oleh dunia akademik atau industri besar
di bidang penerbitan, tetapi juga kelompok studi, lembagai kajian
dan penelitian.
Tafsir Al-Qur’an akan selalu bergerak dinamis beriringan dengan
dinamika pemikiran Islam dan problem sosial budaya yang terjadi.
Demikian pula dengan tafsir Al-Qur’an di Indonesia. Sebagai sebuah
wilayah yang mayoritas penduduknya menganut Islam, Indonesia
merupakan wilayah yang multi etnis, suku dan agama.Selain alasan
dari sisi sejarah sosial politik di atas, masa depan tafsir Al-Qur’an
juga terkait dengan dinamika dan kemajuan paradigma tafsir yang
dikembangkan oleh para sarjana Muslim Indonesia. Disadari bahwa
secara paradigmatik, tafsir hakikatnya merupakan jembatan yang
dilewati seorang Muslim dalam memahami makna dan maksud
yang terkandung dalam Al-Qur’an. Pengetahuan terhadap bahasa
Arab, tradisi, sejarah, dan hadis NabiMuhammad saw,merupakan
unsur-unsur yang diperlukan dalam praktik tafsir. Di masa kini,
praktik tafsir tidak hanya berhenti pada level teks (Al-Qur’an).Lebih
dari itu penafsir dituntut mempunyai keprigelan khusus dalam
menghubungkan antara teks dan realitas ketika praktik penafsiran
dilakukan.

28
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Tafsir Al-Qur’an di Indonesia: Sejarah dan Dinamika

Penempatan realitas (sosial-budaya-politik) sebagai teks yang


dibaca secara kritis oleh penulis tafsir Al-Qur’an merupakan
salah satu jalan dalam membangun paradigma tafsir kontekstual.
Praktik ini mengandaikan adanya pendekatan interdisipliner dan
multidisipliner. Di sini pengertian “konteks” berkembang, tidak
hanya pada sisi siyāq al-kalām dan siyāq at-tanzīl(konteks ketika
Al-Qur’an diturunkan), tetapi juga pada sisi siyāq at-tārīkhī, yaitu
konteks sosial-politikdi mana penafsirhidup.

G. Penutup
Kajian atas tafsir Al-Qur’an secara umum telah dilakukan
dengan berbagai variasi dan model pendekatan. Misalnya, kajian
yang menekankan pada aspek paradigma dan aliran dilakukan
oleh Ignaz Goldziher dan Muḥammad aẓ-Ẓahabī, model kawasan
dengan karakteristik yang muncul dilakukan oleh J.J.G. Jansen untuk
konteks wilayah Mesir, dan model periodesasi dilakukan oleh Abdul
Mustaqim.Pada sisi yang lain juga berkembang model analisis yang
fokusnya pada produk penafsiran.
Ke depan diperlukan kajian tafsir Al-Qur’an, tidak terkecuali di
Indonesia, yang mempertimbangkan aspek-aspek kesejarahan dan
dimensi lokalitas, baik dari aspek bahasa dan aksara yang dipakai
maupun karakteristik lokal yang menyangganya. Dalam konteks
Indonesia, kajian tentang tafsir Al-Qur’an berbahasa dan beraksara
lokal Nusantara serta dialektika yang terjadi dengan aspek sosial,
budaya, dan politik yang terjadi, merupakan isu-isu menarik yang
membutuhkan sentuhan oleh para pengkaji tafsir Al-Qur’an di
Indonesia.[]

29
Islah Gusmian Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

Daftar Pustaka
Adnan, Abdul Basith. “Purwaka” dalam Muhammad Adnan, Tafsir
Al-Qur’an Suci Basa Jawi. Bandung: Al-Maarif, t.th.
__________Prof. K.H.R. Muhammad Adnan: Untuk Islam dan
Indonesia. Yayasan Mardikintaka: Surakarta, 2003.
Adnan, Abdul Hadi. “Pak Adnan: Jangan Minta-Minta Jabatan”
dalam Prof. Kiai Haji Raden Muhammad Adnan. Jakarta: t.tp.,
1996.
Ambary, Hasan Muarif (et al.).Ensiklopedi Islam. jilid 4. Jakarta: PT.
Ichtiar Baru van Hoeve, 1994.
Anomwidjaja, Ahmad Djawahir. Sekar Sari Kidung Rahayu, Sekar
Macapat Terjemahanipun Juz Amma. Yogyakarta: Bentang, 2003.
As’ad, Aly. K.H.M. Moenawir. Yogyakarta: Pondok Krapyak
Yogyakarta, 1975.
Asa, Syu’bah. Dalam Cahaya Al-Qur’an. Jakarta: Gramedia, 2000.
Ash-Shiddieqi, Hasbi. Tafsir Al-Nur. Semarang: Rizki Putra, 2000.
Bakry, Oemar. Tafsir Rahmat. Jakarta: PT Mutiara, 1984.
Darmawan, Dadang. “Ortodoksi Tafsir: Respon Ulama terhadap
Tafsir Tamsjijjatoel Moeslimin karya KH. Ahmad Sanoesi”
Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009.
Ensiklopedi Nasional Indonesia. Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka, 1990.
Federspiel, Howard M. Kajian Al-Qur’an di Indonesia, terj. Tadjul
Arifin.Mizan: Bandung, 1996.
__________ “An Introduction to Qur’anic Commentaries in
Contemporary Southeast Asia”, dalam The Muslim World, Vol.
LXXXI, No. 2, 1991.
Gunseikanbu. Orang Indonesia yang Terkemuka di Jawa. Yogyakarta:
Gadjah Mada Press, 1986.

30
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Tafsir Al-Qur’an di Indonesia: Sejarah dan Dinamika

Gusmian, Islah, “Dialektika Tafsir Al-Qur’an dan Praktik Politik


Rezim Orde Baru” Disertasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
2014.
__________ “Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur’an di Indonesia: dari
Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca” dalam Tsaqafah
Jurnal Peradaban Islam Volume 6, Nomor 1, April 2010.
Hamim, Thoha. Paham Keagamaan Kaum Reformis, Terj. Imron
Rosyidi. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000.
Hasim, Moh. E. Ayat Suci dalam Renungan, juz 15. Bandung: Pustaka,
2007.
Hassan, A. Tafsir Al-Furqan. Surabaya: Salim Nabhan, 1956.
Jurnal Pesantren, No. I, Vol.VIII, Tahun 1991.
Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. III, No. 4, Tahun 1992.
KBBI versi Offline versi 1.1 freeware-2010 by Ebta Setiawan.
Martan, M. Rafii Yunus. “Membidik Universalitas, Mengusung
Lokalitas: Tafsir Al-Qur’an Bahasa Bugis Karya AG. H. Daud
Ismail” dalam Jurnal Studi Al-Qur’an Vol. I No. 3 Tahun 2006.
Mustofa,KH. Bisri. Al-Ibrīz li Ma’rifat Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azīz.
Kudus: Menara Kudus, t.th. jilid III.
__________Tafsīr Sūrat Yāsīn. Kudus: Menara Kudus, t.th.
Oesman,Abdoel Moerad. al-Hikmah: Tafsir Ayat-Ayat Dakwah.
Jakarta: Kalam Mulia, 1991.
Pidato Promotor Prof. H. Soenardjo pada Penganugerahan gelar
Doktor Honoris Causa kepada Prof. H. Mahmud Yunus dalam
Ilmu Tarbiyah, 15 Oktober 1977. Jakarta: Hidakarya Agung,
1977.
Rahman, Asmuni Abdul dkk., Majlis Tarjih Muhammadiyah.
Yogyakarta: Lembaga Research dan Survey IAIN Sunan Kalijaga,
1985.

31
Islah Gusmian Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

Riddell, Peter G. “Earliest Qur’anic Exegetical Activity in Malay-


Speaking State”, Archipel, 38 (1989).
__________ “The Use of Arabic Commentaries on the Qur’an in the
Early Islamic Period in South and Southeast Asia: a Report on
Work Process”, Indonesia Circle Journal, Vol. LI (1990).
__________Islam and The Malay-Indonesian World: Transmission
and Responses. Honolulu: University of Hawaii Press, 2001.
__________ “Controversy in Qur’anic Exegesis and Its Relevance
to the Malay-Indonesia World”, dalam Anthony Reid (ed.),
The Making of an Islamic Political Discourse in Southeast Asia.
Calyton: Monas Paper on Southeast Asia, 1993.
Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama
RI dalam Tafsir Tematik, Pembangunan Ekonomi Umat. Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang dan
Diklat, Departemen Agama RI, 2009.
Setiawan, Hawe. “Al-Qur’an dan Tafsir Sunda”, dalam Pikiran Rakyat,
Sabtu, 23 September 2006.
Simanjuntak, P.N.H. Kabinet-kabinet Republik Indonesia dari Awal
Kemerdekaan sampai Reformasi. Jakarta: Penerbit Djambatan,
2003.
Sulasman. KH. Ahmad Sanoesi, dari Pesantren ke Parlemen. Bandung:
PW PUI Jawa Barat, 2007.
Syahid, Bakri. al-Huda: Tafsir Qur’an Basa Jawi. Yogyakarya: Bagus
Arafah, 1979.
Wahid, Abdurrahman. Menggerakkan Tradisi, Esai-Esai Pesantren.
Yogyakarta: LKiS, 2001.
Yasin,Asmuni. Tafsīr Bismillāhirraḥmānirraḥīm. Surabaya: bungkul
indah, t.th.
Yunus, Mahmud. Tafsir Al-Qur’an Al-Karim. Jakarta: P.T. Hidakarya
Agung, 1973.

32
ASPEK LOKALITAS
TAFSIR AL-IKLĪL FĪ MA’ĀNĪ AL-TANZĪL
KARYA KH MISHBAH MUSTHAFA

Ahmad Baidowi
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

A. Pendahuluan

S
ejarah penafsiran al-Qur’an memperlihatkan bahwa kitab
suci umat Islam ini dipahami secara dinamis dalam sejarah
umat Islam, sejak Nabi Muhammad SAW hingga kini. Dalam
bukunya yang berjudul al-Tafsīr wa al-Mufassīrūn, misalnya,
Muḥammad Ḥusain al-Żahabī mengungkapkan dinamika penafsiran
al-Qur’an tersebut, baik terkait dengan pendekatan, corak, metode
dan lainnya, khususnya pada periode klasik dan pertengahan.1 Hal
yang sama juga dikemukakan oleh beberapa peneliti yang lain,
semisal Mahmud Basuni Faudah2, Jamal al-Banna3 dan lain-lain.

1 Muḥammad Ḥusain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn (Beirut: Dār el-Fikr, 1976), Jilid I dan
II.
2 Mahmud Basuni Faudah, al-Tafsīr wa Manāhijuh (Kairo: Matba’ah al-Amānah, 1977)
3 Jamāl al-Bannā, Tafsir al-Qur’ān al-Karīm Bayn al-Qudāmā wa al-Muḥdiṡīn (Kairo: Dar al-Syuruq,
2008)
Ahmad Baidowi Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

Secara umum, aktivitas para mufassir dalam menafsirkan al-


Qur’an ini memunculkan pendekatan dan corak yang variatif. Ada
sebagian penafsiran yang lebih menonjolkan aspek fikih, sehingga
penafsirannya disebut al-tafsīr al-fiqhī. Ada penafsiran al-Qur’an
yang bercorak filosofis, yang kemudian dikenal dengan al-tafsir
al-falsafī. Ada yang pendekatannya lebih bernuansa sufistik, yang
kemudian disebut dengan al-tafsīr al-ṣūfī. Ada juga mufassir yang
cenderung menafsirkan al-Qur’an dengan pendekatan sains yang
kemudian dinamai al-tafsīr al-‘ilmī, juga ada yang dalam menafsirkan
al-Quran menggunakan analisis sastrawi sehingga disebut al-tafsīr
al-adabī, dan sebagainya.4
Bukan hanya pendekatan, kecenderungan, corak atau perspektif
tertentu yang memperlihatkan dinamika dalam penafsiran al-Qur’an.
Perkembangan Islam ke berbagai belahan di dunia juga “memaksa”
penerjemahan dan penafsiran al-Qur’an ditulis dan disampaikan
dalam berbagai bahasa di mana al-Qur’an itu diterjemahkan dan
ditafsirkan. Penerjemahan dan penafsiran al-Qur’an pun kemudian
berkembang sejalan dengan menyebarnya umat Islam ke berbagai
negara. Sehingga terjemah dan penafsiran al-Qur’an pun ada yang
ditulis dengan bahasa Inggris, Jerman, dan lain-lain termasuk
Indonesia. Anthony H Johns menyebut proses pembahasalokalan
al-Quran ini dengan istilah “vernakularisasi”.5
Di Indonesia sendiri, al-Qur’an diterjemahkan dan ditafsirkan
dalam berbagai bahasa baik bahasa nasional maupun bahasa daerah.
Ada tafsir al-Qur’an seperti Tarjumān al-Mustafid yang ditulis oleh
Abdur Rauf Singkili dalam bahasa Melayu dengan aksara arab Jawi
(pégon). Kitab ini dikenal sebagai kitab tafsir lengkap pertama dalam

4 Muḥammad Ḥusain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn (Beirut: Dār el-Fikr, 1976), Jilid I dan
II.
5 Farid F Saenong, “Vernacularization of the Qur’an: Tantangan dan Prospek Tafsir al-Qur’an di
Indonesia.” Interview dengan Prof. A.H. Johns, Jurnal Studi al-Qur’an, Vol. 1, No. 3, 2006, hlm.
579.

34
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Aspek Lokalitas Tafsir Al-Iklīl Fī Ma’ānī Al-Tanzīl

sejarah tafsir al-Quran di Indonesia. Kemudian ada juga tafsir al-


Qur’an berbahasa Sunda seperti Ayat Suci Lenyepanenun karya Moh.
E. Hasyem, Nurul-Bajan: Tafsir Qur’an Basa Sunda karya H. Mhd.
Romli dan H.N.S. Midjaja, Tafsir Al-Foerqan Basa Sunda, karya A.
Hassan dan lain-lain.6
Salah satu penafsiran al-Qur’an yang dilakukan dan diterbitkan
dalam Bahasa Jawa ditulis oleh KH Mishbah ibn Zayn al-Mushtafa
(yang lebih dikenal dengan KH Mishbah Mushthafa) dalam
karyanya yang berjudul al-Iklīl fī Ma’ānī al-Tanzīl. Kitab tafsir ini
sangat terkenal utamanya di sebagian kalangan masyarakat muslim
tradisional di wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta selain Tafsir al-
Ibrīz li Ma’rifah Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azīz karya KH Bisri Musthafa,
yang masih saudara KH Mishbah Mushthofa. Penggunaan bahasa
Jawa dan huruf Arab pégon dalam tafsir ini menjadikan kitab tafsir
ini memiliki karakter tersendiri yang penting untuk ditelaah lebih
lanjut.
Sebagai upaya untuk memahami al-Qur’an dan menyampaikan
pesan-pesannya kepada masyarakat Tafsir al-Iklīl fī Ma’ānī al-
Tanzīl tentu saja menggunakan unsur-unsur lokalitas yang bisa
memudahkan masyarakat memahami apa yang disampaikan di
dalamnya. Kenyataan ini menjadikan tafsir al-Iklīl fī Ma’ānī al-Tanzīl
tidak mengesampingkan pengetahuan lokal dalam menafsirkan
al-Quran. Tulisan ini berupaya untuk mengungkapkan unsur-
unsur lokalitas dalam Tafsir al-Iklīl tersebut, dengan menjawab
dua persoalan; Pertama, alasan tafsir al-Iklīl fī Ma’ānī al-Tanzīl
menggunakan pengetahuan lokal dalam penafsirannya terhadap al-

6 Lihat dalam Jajang A Rohmana, Sejarah Tafsir al-Qur’an di Tatar Sunda (Bandung: Mujahid Press,
2014), hlm. 7-9; Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika hingga Ideologi
(Yogyakarta: LKiS, 2013). Kajian tentang sejarah kajian al-Quran di Indonesia bisa dilihat misalnya
dalam Aboebakar, Sedjarah al-Qur’an (Djakarta: Sinar Pudjangga, 1952) ; Anthony H John,
“Qur’anic Exegesis in the Malay World: In Seacrh of Profile” dalam Andrew Rippin, Approaches
to the History of the Interpretation of the Qur’an (Oxford: Cralendon Press, 1988)

35
Ahmad Baidowi Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

Qur’an; Kedua, macam-macam unsur lokalitas yang terdapat dalam


Tafsir al-Iklīl fī Ma’ānī al-Tanzīl.

B. Biografi KH Mishbah Mushthafa


K.H. Mishbah bin Zainal Mushthafa atau yang kemudian lebih
dikenal dengan nama KH Mishbah Mushthafa merupakan seorang
kiai di Pondok Pesantren al-Balagh yang berada di Desa Bangilan,
Tuban, Jawa Timur. Kiai Mishbah Mushthafa dilahirkan di Pesisir
Utara Jawa Tengah, di kampung Sawahan, Gang Palem, Rembang
tahun 1917. Mishbah memiliki beberapa saudara dari beberapa
perkawinan ayahnya. Ayahnya, KH. Zainal Mushthafa menikah
pertama kali dengan Dakilah dan memiliki dua putra, Zuhdi dan
Maskanah, kemudian menikah lagi dengan Khadijah dan kemudian
memiliki putra Mashadi (kemudian dikenal Bisri Mushthafa, penulis
Tafsir al-Ibrīz Li Ma’rifah Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azīz), dan terakhir
menikah dengan Ummu Salamah yang kemudian melahirkan
Mishbah dan Maksum. 7 Nama kecil KH Mishbah Mushthafa adalah
Masruh. Nama Mishbah Mushthafa sendiri digunakan setelah beliau
menunaikan ibadah haji.
Latar belakang intelektual KH. Mishbah Mushthafa dimulai
ketika ia mengikuti pendidikan sekolah dasar yang saat itu bernama
SR (Sekolah Rakyat) pada usianya yang baru menginjak 6 tahun.
Setelah menyelesaikan studinya di Sekolah Rakyat, pada tahun 1928
Mishbah kemudian melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren
Kasingan Rembang di bawah asuhan KH. Khalil bin Harun. Orientasi
pendidikan Mishbah terfokus untuk mempelajari ilmu gramatika
dengan menggunakan Kitāb al-Jurūmiyah, al-‘Imriṭī dan Alfiyah.

7 Beberapa bagian biografi ini merujuk pada referensi yang ditulis oleh Kusminah, Penafsiran KH
Mishbah Mustafa Terhadap Ayat-Ayat Amar Ma’ruf Nahi Munkar dalam Tafsīr aI-lkIīI fl Ma’ānī
al-TanzīI. Skripsi Fakutas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Tahun 2013. Juga pada
karya Zazuli Hasan, “Tafsir Pondok Pesantren: Karakteristik Tafsir Tāj al-Muslimīn min Kalām
Rabb al-‘Ālamīn Karya KH Mishbah bin Zainal Mushthafa”, Wonosobo: Program Pascasarjana
UINSIQ Jawa Tengah di Wonosono, 2014.

36
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Aspek Lokalitas Tafsir Al-Iklīl Fī Ma’ānī Al-Tanzīl

Pada usianya yang masih muda Mishbah berhasil mengkhatamkan


Alfiyah sebanyak 17 kali. Setelah merasa paham dan matang dalam
ilmu Bahasa Arab, Mishbah kemudian mendalami berbagai disiplin
ilmu-ilmu keagamaan, seperti fiqih, ilmu kalam, hadits, tafsir, dan
lain-lain. Selain menimba ilmu pada KH Khalil, ia juga berguru
kepada KH. Hasyim Asy’ari di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang.
Setelah mempelajari aneka ragam disiplin ilmu-ilmu keagamaan
melalui sumber-sumber yang terdapat dalam kitab kuning,
Mishbah pun kemudian mempelajari ilmu-ilmu agama melalui
penelaahan langsung terhadap sumber primer, yaitu al-Qur’an.
Dengan memahami langsung ayat-ayat alQur’an Mishbah semakin
yakin terhadap pengetahuan yang dimilikinya. Mishbah kemudian
sering berdakwah dari satu kampung ke kampung yang lain untuk
menyebarluaskan ajaran Islam. Mishbah Mushthafa adalah seorang
muballigh yang cukup populer saat itu, selain juga seorang qori yang
pandai dalam melagukan bacaan al-Qur’an. Sebelum tampil untuk
berdakwah dan berceramah seringkali Mishbah tampil juga sebagai
qori dalam sebuah pengajian.
Pada tahun 1948, saat berusia 31 tahun, Mishbah menikah
dengan Masruhah dan pindah ke Bangilan Tuban, sekaligus mem­
bantu mengajar di pondok pesantren yang dipimpin mertuanya, KH
Ridhwan dan kemudian menggantikannya. Dari hasil pemikahannya
itu KH Mishbah kemudian dikaruniai lima orang putra yaitu
Syamsiyah, Hamnah, Abdullah, Muhammad Nafis dan Ahmad
Rafiq. Sebelum memiliki kesibukan sebagai pengelola pesantren,
Kiai Mishbah aktif menjadi tenaga pengajar, khususnya mengajar
kitab-kitab kuning baik dalam bidang akidah, bahasa arab, tafsir,
fikih dan yang lainnnya di pesantren tersebut.
Di sela-sela kesibukannya mengajar, KH Mishbah melakukan
aktivitas menulis berbagai buku dan menerjemahkan kitab-kitab
klasik ke dalam bahasa Jawa. Di samping itu, Kiai Mishbah juga
aktif memberikan ceramah-ceramah keagamaan dalam pengajian-

37
Ahmad Baidowi Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

pengajian di masyarakat. Dalam berdakwah Kiai Mishbah sering


mengadakan diskusi bersama teman-temannya terutama terkait
masalah-masalah aktual yang sedang berkembang di masyarakat.
Selain aktif terlibat dalam kegiatan sosial keagamaan, Kiai
Mishbah juga aktif dalam kegiatan politik dengan berganti-ganti
menjadi anggota partai politik, seperti Partai NU, Partai Masyumi,
dan Partai Golkar. Masuknya Mishbah ke dalam beberapa partai
bertujuan untuk berdakwah. Oleh karena itu, Mishbah sering
berdiskusi dengan teman-teman dalam partainya terutama masalah
aktual di masyarakat. Masuk-keluarnya Mishbah dari satu partai
ke partai lain adalah karena ia merasa bahwa pendapatnya tidak
sesuai dengan pendapat yang dianut oleh orang-orang yang duduk
di masing-masing partai. Sebagai seorang yang kuat pendiriannya
dalam menghadapi perbedaan pendapat, Mishbah memilih keluar
dari partai dan memilih mempertahankan pendapatnya itu.
Setelah pensiun dan partai politik, Mishbah kemudian banyak
menghabiskan waktunya untuk mengarang dan menerjemahkan
kitab-kitab ulama salaf karena, menunutnya, dakwah yang paling
efektif dan bersih dari pamrih dan kepentingan apa pun adalah
dengan cara menulis, mengarang, dan menerjemahkan kitab. Inilah
yang terus Kiai Mishbah lakukan hingga memiliki lebih 200 karya
tulis baik yang merupakan karya sendiri atau terjemahan ke dalam
bahasa Jawa dan Indonesia. Bidang yang ditulisnya meliputi kajian
Quran, Hadis, Fiqh, Tasawuf, Kalam dan sebagainya. 8

C. Tafsir Al-Iklīl Fī Ma’anī al-Tanzīl


1. Latar Belakang Penulisan
Penulisan kitab ini dengan menggunakan Bahasa Jawa karena
memang ditujukan khusus untuk orang yang menggunakan bahasa

8 Zazuli Hasan, “Tafsir Pondok Pesantren: Karakteristik Tafsir Tāj al-Muslimīn min Kalām Rabb
al-‘Ālamīn Karya KH Mishbah bin Zainal Mushthafa”, Wonosobo: Program Pascasarjana UINSIQ
Jawa Tengah di Wonosono, hlm. 1-12.

38
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Aspek Lokalitas Tafsir Al-Iklīl Fī Ma’ānī Al-Tanzīl

Jawa baik, yang ada di sekitar daerahnya maupun di tempat lain.


Penggunaan Bahasa Jawa dalam tafsir al-Iklīl ini akan memudahkan
orang-orang untuk memahami dan mencerna makna yang terkandung
di dalam al-Qur’an. Selain untuk memudahkan masyarakat mengerti
isi al-Quran, penulisan kitab al-Iklīl ini dilakukan karena Kiai
Mishbah menyaksikan kehidupan masyarakat di sekelilingnya,
yang menurutnya, tidak mementingkan keseimbangan kepentingan
dunia maupun akhirat. Banyak orang yang hanya mementingkan
kehidupan duniawi saja dan mengesampingkan kehidupan
akhirat. Dengan hadimya al-Iklīl diharapkan al-Quran akan benar-
benar menjadi gemblengan bagi kaum muslimin supaya mereka
mempunyai pribadi kokoh, tidak mudah goyah karena pengaruh
lingkungan. Kiai Mishbah menulis:
“Al-Qur’an suwijine kitab suci saking Allah kang wajib digunaake
kanggo tuntunan urip dening kabeh kawulane Allah kang padha
melu manggon ana ing bumine Allah. Saben wong Islam wajib
ngakoni yen al-Qur’an iku dadi tuntunan uripe, yaiku artine
ucapan “wa al-Qur’ān imāmī”. Wong Islam ora kena urip ing
bumine Allah nganggo tuntunan sak liyane al-Qur’an. Ora kena
urip cara wong kafir, utawa wong Hindu utawa wong Budha
utawa cara apa bahe.”9
Nama al-Iklīl Fī Ma‘ānī al-Tanzīl diberikan sendiri oleh KH
Mishbah. Al-Iklīl berarti “mahkota” yang dalam Bahasa Jawa
dinamakan “kuluk” atau “tutup kepala seorang raja”. KH Mishbah
berharap dengan memberikan nama al-Iklīl bagi kitabnya agar
Allah swt memberi kemudahan kepada umat Islam dan al-Quran

9 KH Misbah bin Zain al-Mushtafa, al-Iklīl Fī Ma‘ānī al-Tanzīl (Surabaya: al-Ihsan,tt), I: 1.


Terjemahan teks di atas adalah:
Al-Quran merupakan kitab suci dari Allah yang harus digunakan sebagai tuntunan hidup oleh
semua hamba Allah yang menempati bumi-Nya. Setiap orang Islam wajib engakui bahwa al-
Qur’an menjadi tuntunan hidupnya, inilah artinya “wa al-Qur’ān imāmī”. Setiap muslim tidak
boleh hidup di bumi Allah dengan menggunakan tuntunan selain al-Qur’an, tidak boleh hidup
dengan cara orang kafir, atau cara orang Hindu, cara orang Budha atau yang lain.

39
Ahmad Baidowi Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

dijadikan sebagai pelindung hidup dengan naungan ilmu dan amal


sehingga akan dapat membawa ketenteraman di dunia dan akhirat.
Kiai Mishbah juga memiliki keinginan untuk mengajak umat Islam
kembali kepada al-Quran.

Kiai Mishbah mulai menulis kitab tafsimya pada tahun 1977 dan
selesai tahun 1985.10 Kitab Al-Iklīl Fī Ma’anī al-Tanzīl ini mempunyai

10 Menurut catatan Kusminah, Kiai Mishbah menjual kitab tersebut (dengan hitungan lembar) kepada
percetakan al-Ihsan Surabaya, Jawa Timur. Pada saat kitab al-Iklīl Fī Ma‘ānī al-Tanzīl diterbitkan
oleh percetakan al-Ihsan Surabaya, banyak penjelasan-penjelasan ayat yang dihilangkan oleh pihak
percetakan untuk menghindari terjadinya perselisihan. Mengetahui hal tersebut, Kiai Mishbah
sangat kecewa terhadap percetakan tersebut, karena tidak meminta izin terlebih dahulu kepada
Kiai Mishbah sebagai pihak penulis. Namun tidak ada yang bisa dilakukan oleh Kiai Mishbah
dari kejadian itu, karena memang tidak ada undang-undang yang baku untuk menyelesaikan
masalah tersebut. Kekecewaan itu membuat Kiai Mishbah tidak puas dengan penerbitan tafsir
al-Iklil tersebut, sehingga beliau menulis kitab tafsir lagi yang diberi nama Taj al-Muslimin min
Kalam Rabb al-‘Alamin pada tahun 1987. Kiai Mishbah berharap semua penafsiran yang ia tulis

40
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Aspek Lokalitas Tafsir Al-Iklīl Fī Ma’ānī Al-Tanzīl

teknik dan sistematika yang khas dalam penulisannya, menggunakan


Bahasa Jawa, dengan aksara Arab pegon dan makna gandul yang
menjadi ciri khas karya-karya ulama pesantren Jawa. Setiap ayat
al-Qur’an diterjemahkan secara harfiah dengan menggunakan
makna gandul yang ditulis miring ke bawah di setiap kata, kemudian
diterjemahkan per ayat di bagian bawah.
Kitab Tafsīr al-Iklīl fī Ma’ānī al-Tanzīl yang ditulis oleh KH
Mishbah Mushthafa ini terdiri atas 30 juz dan dicetak sebanyak
30 jilid. Setiap jilid berisi penafsiran terhadap setiap juz dari al-
Qur’an. Jilid 1 merupakan penafsiran terhadap al-Qur’an juz 1, jilid 2
untuk juz 2 dan seterusnya hingga jilid 30 yang berisi penafsiran KH
Mishbah atas kitab suci al-Qur’an juz 30. Setiap juz dicetak dengan
sampul yang berbeda warnanya dengan juz yang lain.
Juz 1 (137 halaman), Juz 2 (142 halaman), Juz 3 (184 halaman),
Juz 4 (245 halaman), Juz 5 (143 halaman), Juz 6 (157 halaman), Juz
7 (145 halaman), Juz 8 (190 halaman), Juz 9 (210 halaman), Juz 10
(294 halaman), Juz 11 (249 halaman), Juz 12 (180 halaman), Juz 13
(178 halaman), Juz 14 (185 halaman), Juz 15 (236 halaman), Juz 16
(108 halaman), Juz 17 (123 halaman), Juz 18 (140 halaman), Juz 19
(114 halaman), Juz 20 (136 halaman), Juz 21 (141 halaman), Juz 22
(129 halaman), Juz 23 (127 halaman), Juz 24 (97 halaman), Juz 25
(117 halaman), Juz 26 (88 halaman), Juz 27 (80 halaman), Juz 28 (94
halaman), Juz 29 (117 halaman), Juz 30 (192 halaman).
Dari masing-masing juz yang ditafsirkan terlihat bahwa
penafsiran yang paling tebal adalah juz 10 sebanyak 294 halaman,
sementara yang paling sedikit 80 halaman yaitu juz 27. Mulai juz
1 hingga juz 29, halaman ditulis secara berkelanjutan berakhir di
halaman 4482. Sedangkan untuk juz 30 yang diberi nama Tafsir Juz

dalam tafsir ini tidak ada lagi yang dihilangkan. Oleh karena itu, kitab ini dicetak sendiri dengan
mendirikan percetakan pribadi yaitu Majlis Ta’Iif wa al-Khathath. Kitab ini hanya terdiri dari
empat jilid karena di tengah tengah penulisannya Kiai Mishbah meninggal dunia pada tahun 1994.

41
Ahmad Baidowi Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

‘Amma Fī Ma‘ānī al-Tanzīl ditulis dengan halaman tersendiri, yaitu


mulai halaman 1 hingga halaman 192.
Kitab tafsir al-Iklīl Fī Ma‘ānī al-Tanzīl memiliki ciri khas lainnya.
Kiai Mishbah membagi penjelasan terhadap ayat menjadi dua
bagian; secara global yang ditandai dengan garis tipis mendatar
dan secara rinci yang ditandai dengan garis tebal. Kiai Mishbah juga
menggunakan istilah-istilah khusus untuk menunjukkkan adanya
sesuatu yang penting dan penafsiran suatu ayat. Kiai Mishbah
menggunakan istilah “keterangan” untuk menunjukkkan uraian
penafsiran terhadap suatu ayat yang biasanya ditulis relatif lebih
panjang karena bermaksud menjelaskan ayat tersebut, disingkat
dengan ket. dan ditambah dengan nomor ayat yang sedang
ditafsirkan, “masalah” untuk mengungkap contoh persoalan yang
sedang ditafsirkan, “tanbih” sebagai keterangan tambahan dan
bisanya berupa catatan penting, “faedah” yang berisi intisari ayat
dan “kisah” yang berisikan cerita atau riwayat yang dikutip Kiai
Mishbah berkaitan dengan ayat yang sedang ditafsirkan.
Memperhatikan penafsiran Kiai Mishbah dalam kitab al-Iklīl
Fī Ma‘ānī al-Tanzīl, bisa disimpulkan bahwa kitab tersebut ditulis
dengan menggunakan metode analitis (al-manhaj al-taḥlilī). Kitab
tafsir al-Iklīl ini disusun berdasarkan urutan ayat secara tartib
mushafi, kemudian mengemukakan asbāb al-nuzūl, menyebutkan
munasabah antar-ayat serta menjelaskan berbagai hal lain seperti
penjelasan makna kata, menyebutkan hadis-hadis Nabi, riwayat dari
sahabat dan tabiin dan lain-lain.
Dalam menafsirkan al-Qur’an, Kiai Mishbah seringkali meng­
angkat persoalan-persoalan yang berkembang di masyarakat.
Dalam kaitan ini, melalui tafsirnya tersebut, Kiai Mishbah seringkali
memberikan respon atas situasi dan kondisi sosial yang terjadi saat
tafsir ini ditulis. Kasus-kasus seperti MTQ dan berbagai tradisi yang
terjadi di masyarakat adalah di antara kasus-kasus yang mendapatkan
perhatian dari Kiai Mishbah dalam tafsir al-Iklīl Fī Ma‘ānī al-Tanzīl.

42
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Aspek Lokalitas Tafsir Al-Iklīl Fī Ma’ānī Al-Tanzīl

Secara umum bisa dikatakan, bahwa tafsir al-Iklīl Fī Ma‘ānī


al-Tanzīl yang ditulis oleh KH Mishbah bin Zainal Mushthafa ini
merupakan kitab tafsir yang memiliki nuansa lokalitas cukup kuat.
Bukan hanya dari penampilannya yang menggunakan Bahasa Jawa
dan Arab pégon yang merupakan model karya ilmiah khas pesantren
di Indonesia, namun juga dalam penafsiran yang dilakukan pun
memberikan perhatian kepada berbagai aspek lokalitas yang
berkembang dalam masyarakat, khususnya di Jawa, baik untuk
dikritik maupun direspon dengan cara yang lain.

D. Aspek Lokalitas Tafsir Al-Iklīl fī Ma’ānī al-Tanzīl


Sebagaimana sudah dikemukakan sebelumnya, al-Iklīl fī Ma’ānī
al-Tanzīl adalah karya dalam bidang penafsiran al-Qur’an yang
unsur lokalitasnya sangat kental. Unsur-unsur lokalitas itu sangat
menonjol dalam berbagai aspek, seperti bahasa yang digunakan,
penampilan kitabnya maupun muatan penafsirannya. Berikut ini
akan ditelaah secara terperinci berbagai aspek lokalitas yang ada
dalam kitab tafsir tersebut.
1. Lokalitas dalam Penampilan
a. Menggunakan Aksara Arab Pégon
Sebagaimana disinggung dalam Bab sebelumnya, KH Mishbah
ibn Zain Mushtafa menuliskan penafsirannya terhadap al-Qur’an
dalam Kitab al-Iklīl fī Ma’ānī al-Tanzīl dengan menggunakan
huruf Arab pégon. Akan halnya karya-karya lain yang ditulis
atau diterjemahkan dari kitab kuning oleh para kiai di pesantren
tradisional Indonesia, kitab al-Iklīl fī Ma’ānī al-Tanzīl karya KH
Mishbah Mushthafa ini juga ditulis menggunakan huruf Arab pégon
dengan bahasa Jawa.
Tidak berbeda dengan kitab-kitab berbahasa Jawa dan berak­sara
pégon yang lain, al-Iklīl fī Ma’ānī al-Tanzīl ditulis dengan meng­
gunakan pedoman yang berlaku dalam Arab pégon pada umumnya.
Huruf pégon ini digunakan karena memang merupakan tradisi

43
Ahmad Baidowi Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

intelektual yang berlaku di dunia pesantren ketika menuliskan


karya intelektualnya dalam bahasa lokal, dalam hal ini Bahasa Jawa.
Selain menggunakan Bahasa Jawa dengan aksara arab pégon, tradisi
intelektual yang berlaku di pesantren biasanya menggunakan Bahasa
Arab dalam menuliskan karya-karya intelektualnya. Belakangan,
tradisi menulis dalam bahasa Indonesia mulai berkembang luas.
Hal ini memang tidak lepas dari perkembangan dunia pesantren
sendiri dan audiens yang menjadi pembaca karya-karya tersebut
juga semakin meluas, menjangkau kalangan yang beragam.
Pemakaian huruf Arab pégon dalam al-Iklīl fī Ma’ānī al-Tanzīl
tentu akan memudahkan bagi kaum muslim yang menggunakan
bahasa Jawa dalam memahami gagasan yang dikemukakan oeh KH
Mishbah Mushthafa. Oleh karenanya, tidak mengherankan bahwa
di banyak masjid atau majlis taklim di berbagai wilayah di Jawa
Tengah khususnya, pengajian tafsir dilakukan dengan menggunakan
kitab tersebut. Hal ini terlihat misalnya dari tingginya penjualan
kitab tafsir tersebut di Toko Kitab Menara Kudus Yogyakarta. Di
antara yang menggunakan tafsir tersebut dalam pengajian kepada
masyarakat adalah KH Nur Jamil dari MWC Nahdlatul Ulama
Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.11
Bagi seorang santri, pemakaian huruf pégon dalam karya ini
sudah barang tentu akan membantu mereka memahami struktur
kebahasaan al-Qur’an. Pemahaman ini menjadi hal yang sangat
penting bagi seorang santri mengingat dalam tradisi pesantren,
pembacaan – dan oleh karenanya penguasaan – teks-teks berbahasa
Arab tidak bisa dilepaskan dari kemampuannya memahami struktur
bahasa dalam yang ada dalam teks-teks tersebut.

11 Wawancara dengan penjaga Toko Kitab Menara Kudus Yogyakarta pada tanggal 25 September
2014.

44
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Aspek Lokalitas Tafsir Al-Iklīl Fī Ma’ānī Al-Tanzīl

b. Menggunakan Makna Gandul


Dalam al-Iklīl fĪ Ma’ānī al-Tanzīl, KH Mishbah Mushthafa
sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya, menerjemahkan al-
Qur’an dengan dua model. Model yang pertama adalah dengan apa
yang di kalangan pesantren dikenal dengan istilah “makna gandul”,
yaitu arti setiap kata yang digantungkan dalam setiap kata dari teks
arab, yang dalam hal ini adalah al-Qur’an. Makna gandul ini ditulis
dari atas ke bawah agak miring ke kiri dengan menggunakan huruf
arab pégon berbahasa Jawa. Setiap kata dalam teks asli dituliskan
maknanya dalam bahasa Jawa dengan kata berbahasa Jawa yang
ditulis menurun miring ke sebelah kiri.
Sedangkan terjemahan yang kedua adalah terjemahan per ayat
yang diletakkan di bawah terjemahan secara gandul. Terjemahan
yang bersifat naratif ini juga ditulis dengan menggunakan bahasa
Jawa dengan aksara arab pégon. Terjemahan secara naratif ini adalah
seperti yang dilakukan oleh Al-Quran Terjemah dalam bahasa
Indonesia pada umumnya. Bedanya, kalau al-Qur’an Terjemah
ditulis dengan huruf latin dan menggunakan bahasa Indonesia,12
terjemahan yang dilakukan oleh KH Mishbah ibn Zayn al-Mushthafa
menggunakan bahasa Jawa dengan huruf pégon.
Penggunaan makna gandul ini memungkinkan seseorang yang
membacanya mengetahui secara persis arti setiap kata dalam ayat-
ayat al-Qur’an dalam bahasa Jawa. Dengan demikian, selain bisa
memahami makna ayat al-Quran secara ayat-per-ayat, orang yang
mempelajari kitab ini juga bisa mengetahui makna kata-kata dalam
al-Qur’an dalam bahasa Jawa. Tentu saja hal ini akan memudahkan
orang yang menggunakan bahasa Jawa sebagai alat komunikasinya.

12 Sebenarnya al-Qur’an terjemah dengan huruf latin dengan hanya dilakukan dalam bahasa
Indonesia tetapi juga dalam bahasa Inggris seperti yang dilakukan oleh Yusuf Ali, atau dalam
bahasa yang lain. Terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Jawa dengan menggunakan huruf latin
antara lain dilakukan oleh Muhammad Djauzie dalam Al-Qur’an & Terjemahan (Ngajogjakarta:
Penjiaran Islam, t.t.)

45
Ahmad Baidowi Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

2. Lokalitas dalam Komunikasi


Karya tulis merupakan salah satu perantara yang digunakan
oleh seseorang dalam berkomunikasi kepada orang lain. Komunikasi
sendiri bermakna proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada
orang lain untuk memberitahu, mengubah sikap, pendapat atau
perilaku baik langsung yaitu melalui lisan maupun tidak langsung
yang dilakukan melalui media, di antaranya melalui karya tulis
tersebut.
Saat berkomunikasi, terdapat unsur-unsur yang terlibat,
yaitu pengirim atau komunikator (sender), pesan (message),
saluran (channel), penerima atau komunikate (recover), umpan
balik (feedback) serta aturan yang disepakati (protokol). Pengirim
atau komunikator (sender) adalah pihak yang mengirimkan atau
memberikan pesan kepada pihak lain. Pesan (message) adalah isi
pesan yang disampaikan oleh satu pihak kepada pihak lain. Saluran
(channel) adalah media di mana pesan tersebut disampaikan kepada
komunikan. Penerima (komunikate) adalah pihak yang menerima
pesan dari pihak lain. Umpan balik (feedback) adalah tanggapan
daripenerimaan pesan atas isi pesan yang disampaikan. Sedangkan
aturan (protokol) adalah peraturan yang disepakati para pelaku
komunikasi tentang bagaimana komunikasi itu dijalankan.
Dengan melihat unsur-unsur di atas, bisa dikatakan bahwa kitab
tafsir al-Iklīl fī Ma’ānī al-Tanzīl merupakan media atau channel yang
digunakan oleh KH Mishbah Mushthafa untuk menyampaikan
pesan-pesan al-Qur’an kepada umat Islam, khususnya masyarakat
yang menggunakan bahasa Jawa sebagai alat berkomunikasinya.
Penggunaan Bahasa Jawa sebagai alat komunikasi yang dilakukan
oleh KH Mishbah Mushthafa tentu saja karena adanya tujuan-tujuan
tertentu, yaitu agar pesan-pesan yang disampaikan dalam kitab tafsir
tersebut lebih bisa dipahami oleh komunikannya karena karakter dari

46
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Aspek Lokalitas Tafsir Al-Iklīl Fī Ma’ānī Al-Tanzīl

bahasa yang digunakannya.13 Pemakaian Bahasa Jawa merupakan


bentuk pemanfaatan unsur lokalitas dalam berkomunikasi yang
dilakukan oleh KH Mishbah Mushthafa dalam menyampaikan
pesan-pesan al-Qur’an kepada masyarakat pembacanya. Pemakaian
bahasa Jawa ini tentu saja, sebagaimana sudah dikemukakan, adalah
agar pesan-pesannya lebih mudah diterima oleh masyarakat Jawa
yang menggunakan Bahasa Jawa sebagai bahasa pengantarnya.
Masyarakat Jawa yang menjadi tujuan dikirimkannya pesan ini
bisa jadi masyarakat Jawa yang bisa membaca secara langsung aksara
pégon, bisa juga masyarakat umum yang tidak bisa membacanya.
Bagi masyarakat yang bisa membaca aksara pégon dan terbiasa
dengan karya-karya pesantren jenis ini mereka bisa mengakses
secara langsung pesan-pesan al-Qur’an melalui kitab Tafsir al-Iklīl
tersebut. Sedangkan masyarakat yang tidak mampu membaca aksara
pégon bisa mengetahui pesan-pesan yang ada di dalam Tafsir al-Iklīl
dengan mendengarkan pembacaan yang dilakukan oleh orang lain
yang bisa melakukannya.
Sejauh pengalaman peneliti, Kitab Tafsir al-Iklīl ini digunakan
oleh sebagian pemuka agama di kampung-kampung Jawa dalam
mengajarkan tafsir al-Qur’an kepada masyarakat. Hal ini misalnya
yang dilakukan oleh Kiai Asnawi, pengasuh Majlis Ta’lim Miftahul
Huda daerah Sleman. Di Majelis taklim ini, beliau mengajarkan
Tafsir al-Iklīl kepada para jamaah dari berbagai usia, kebanyakan di
atas 40 tahun. Selain Tafsir al-Iklīl sendiri, di Majelis Ta’lim ini juga
dilakukan pengajaran kitab-kitab lain kepada masyarakat dengan
menggunakan kitab berbahasa Jawa dan beraksara pégon.
3. Lokalitas dalam Penafsiran
Sebagaimana sudah disampaikan sebelumnya, Tafsir al-Iklīl
fī Ma’ānī al-Tanzīl ditulis untuk membantu masyarakat yang
menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa komunikasi dalam

13 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hlm. 261.

47
Ahmad Baidowi Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

memahami ayat-ayat al-Quran sebagai pedoman hidup bagi


umat Islam. Untuk tujuan tersebut, dalam banyak kesempatan
KH Misbhah Mushthafa menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan
mema­sukkan unsur-unsur lokalitas yang ada dalam masyarakat
Jawa, baik itu berupa tradisi atau budaya dalam masyarakat, respon
terhadap penafsiran-penafsiran tertentu dan lain-lainnya. Dengan
memasukkan hal-hal yang bersifat lokal ini menjadikan tafsir al-Iklīl
fī Ma’ānī al-Tanzīl sangat tampak “kejawaan”-nya.
Berikut ini akan dicontohkan beberapa aspek lokalitas yang
menjadi perhatian KH Mishbah Mushthafa dan dikemukakan dalam
kitab tafsirnya. Dalam penafsirannya KH Mishbah Musthafa juga
memberikan respon terhadap hal-hal atau tradisi-tradisi yang ada
dalam kehidupan di masyarakat Jawa.
a. Mengritik Tradisi
Salah satu sikap yang diambil oleh KH Mishbah Mushthafa
adalah mengeritik tradisi yang berlangsung di dalam masyarakat.
Sebagai contoh adalah penafsiran KH Mishbah Mushthafa
menafsirkan QS al-Baqarah (2): 10:
ُ َ ٌ ‫اب َأ ِل‬
‫يم ِب َما كانوا‬ ٌ ‫ضا َو َل ُه ْم َع َذ‬ َّ ُ ُ َ َ َ ٌ َ َ ْ ُ ُ
ً ‫الل ُه َم َر‬ ‫ِفي قل ِوب ِهم مرض فزادهم‬
َ ْ
٠ )١٠( ‫َيك ِذ ُبون‬
10. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah
penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka
berdusta.
Setelah memberikan penjelasan global tentang makna ayat
tersebut, KH Mishbah memberikan penegasan di dalam “tanbih”
sebagai berikut:
Kelakuane wong munafiq ono ing iki ayat yaiku tumindak salah
nganggo alasan yen dheweke gawe becik, yoiku anut marang
wong-wong tuwa-tuwa, nanging ora rumangsa keliru. Sebab
mendalam olehe tumindak anut-anutan kang tanpa ono dhasare.

48
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Aspek Lokalitas Tafsir Al-Iklīl Fī Ma’ānī Al-Tanzīl

Kang mengkene iki akeh lumaku ono ing kalangane wong-wong


Jowo kang ugo wong Islam kelawan sah. Kadang-kadang ono ing
kalangane wong kang dadi pengarepe agama. Koyo ngedekake
omah nganggo sajen, kondangan nganggo tumpeng lan liya-liyane
kang iku kabeh lakune wong Budha zaman kuno.14
Sebagaimana bisa dibaca penafsiran di atas, KH Mishbah
Mushthafa mengrtitik tradisi dalam masyarakat Jawa yang diang­
gap­nya mencerminkan unsur-unsur kemunafikan. Dalam hal ini
kemunafikan yang dimaksudkan adalah mengikuti tradisi nenek
moyang yang tidak ada dasarnya dalam agama sebagaimana dalam
pernyataan “anut marang wong-wong tuwa-tuwa, nanging ora
rumangsa keliru. Ssbab mendalam olehe tumindak anut-anutan
kang tanpa ono dhasare.” KH Mishbah mencontohkan sikap ini
dengan kebiasaan orang Jawa ketika mendirikan rumah dengan
menggunakan sesaji atau kenduri dengan membuat tumpeng dan
lainnya yang dinilainya sebagai tradisi orang Budha masa lalu.
Kritik terhadap tradisi masyarakat Jawa juga dikemukakan KH
Mishbah Mushthafa ketika menafsirkan QS. al-Baqarah (2): 141:
َ َُ ُ َ َُ َ َ ََ َ ٌ ُ ْ
‫ِتل َك أ َّمة ق ْد خل ْت ل َها َما ك َس َب ْت َولك ْم َما ك َس ْب ُت ْم َوال ت ْسألون َع َّما‬
َ ُ ُ َ
15
١٤١ )١٤١( ‫كانوا َي ْع َملون‬
Setelah menafsirkan secara global terhadap ayat di atas, KH
Mishbah Mushthafa menyatakan:

14 KH Mishbah ibn Zain al-Mushthafa, al-Iklīl fī Ma’ānī al-Tanzīl (Surabaya: Maktabah al-Ihsan,
t.t.), I: 15. Terjemahan dari eklimat di atas adalah:
Perbuatan orang munafiq dalam ayat ini adalah perbuatan salah dengan merasa dirinya berbuat
kebaikan, yaitu mengikuti nenek moyang tetapi merasa tidak salah, mengikuti perbuatan yang
tidak ada dasar agamanya. Hal seperti ini banyak terjadi di kalangan orang Islam di Jawa, termasuk
di kalangan pemimpin agama. Seperti mendirikan rumah dengan menggunakan sesaji, kenduri
memakai tumpeng dan lain-lain yang sebetulnya merupakan tradisi orang Budha masa lalu.
15 Itu adalah umat yang telah lalu; baginya apa yang diusahakannya dan bagimu apa yang kamu
usahakan; dan kamu tidak akan diminta pertanggungan jawab tentang apa yang telah mereka
kerjakan. (QS. al-Baqarah [2]: 141)

49
Ahmad Baidowi Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

Iki ayat ing ngarep wus ditutur. Dibaleni iku perlune kito ojo
nganti ngendel-ngendelake ngamal leluhur kito. Lan kita ojo
nganti ngendel-ngendelake anak-anak lan poro muslimin, koyo
tahlil, diwacaake qur’an, dishadaqahi telung dino lan liya-liyane.
Sebab ngamal bagus kang ditrimo dening Allah ta’ala kang diarep
ganjarane biso tumeko marang mayit iku ora gampang, opo maneh
kanggo wong kang sembrono ono ing perkoro ngibadah lan ora
anduweni roso ta’dhim marang Allah ono ing saben ngibadah kang
dilakoni. Coba awake ditakoni dhewe-dhewe: He awak! Siro kok
shodaqah kanggo wong mati kang coro mengkono iku opo wus
bener. Yen jawab bener, bisoo diuji mengkena: yen bener ikhlas
coba dhuwit kang arep kanggo shadaqah iku dishadaqahake faqir
miskin utawa bocah yatim, jawabe: ojo. Mengko ora weruh wong.
Kang mengkono iku ora umum. Kelawan ujian kang sithik bahe
biso katon yen coro shadaqahe iku keliru.16
Sebagaimana bisa dibaca dalam petikan di atas, KH Mishbah
Mushthafa mengritik tentang tradisi masyarakat Jawa yang memi­
liki tradisi “mengirimkan pahala” kepada mayit dengan bacaan
tahlil, dzikir dan sebagainya. KH Mishbah tidak sedang mem­
per­soalkan status tahlilan dan sedekah yang menyertainya karena
sebagai seorang kiai yang berlatarbelakang Nahdlatul Ulama beliau
tentu tidak mempersoalkan status hukum “amalan” tersebut. Dalam

16 KH Mishbah ibn Zain al-Mushthafa, Al-Iklil…, I: 137. Terjemahan teks di atas adalah sebagai
berikut:
Ayat ini sudah disebutkan sebelumnya. Namun diulang lagi agar kita tidak mengandalkan amal
kebaikan orang tua kita, juga jangan sampai kita mengandalkan (bantuan) anak-anak dan umat
Islam pada umumnya seperti tahlil, dibacakan al-Qur’an, disedekahi tiga hari dan lain-lain. Amal
kebaikan yang diterima Allah swt yang pahalanya diharapkan bisa sampai ke orang yang sudah
meninggal itu tidak mudah, apalagi bagi orang yang menyepelekan persoalan ibadah dan tidak
memiliki ta’dhim kepada Allah dalam setiap amal yang dikerjakan. Mari kita bertanya kepada diri
kita masing-masing: Engkau bersedekah untuk orang yang sudah meninggal dengan cara seperti
itu apakah sudah benar? Kalau jawabannya benar, maka bisa diuji dengan cara: Kalau memang
ikhlas, cobalah uang yang akan disedekahkan tadi diberikan kepada fakir miskin atau anak yatim.
Pasti jawabannya, jangan karena nggak dilihat orang dan ini tidak biasa. Dengan cara sederhana
saja, kelihatan bahwa sedekah dengan cara tersebut adalah salah.

50
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Aspek Lokalitas Tafsir Al-Iklīl Fī Ma’ānī Al-Tanzīl

pernyataannya di atas, KH Mishbah Mushthafa hanya mempersoalkan


bahwa seringkali tradisi dalam masyarakat membelenggu mereka
sehingga tidak bisa digantikan. Padahal tujuan awal dari tradisi ini
adalah untuk “mengirimkan pahala” sedekah kepada mayit. KH
Mishbah mengkhawatirkan kalau masyarakat hanya mengandalkan
“bantuan” orang lain baik berupa bacaan al-Quran, sedekah atau
yang lainnya tanpa memiliki upaya sendiri dalam meraih surga,
sebagaimana dengan tegas dinyatakan “kita ojo nganti ngendel-
ngendelake anak-anak lan poro muslimin, koyo tahlil, diwacaake
qur’an, dishadaqahi telung dino lan liya-liyane” (jangan sampai kita
mengandalkan (bantuan) anak-anak dan umat Islam pada umumnya
seperti tahlil, dibacakan al-Qur’an, disedekahi tiga hari dan lain-
lain).
KH Mishbah Mushthafa menegaskan bahwa nasib seseorang
di akhirat sangat ditentukan oleh bagaimana dia beramal di dunia,
sebagaimana dinyatakannya “opo maneh kanggo wong kang
sembrono ono ing perkoro ngibadah lan ora anduweni roso ta’dhim
marang Allah ono ing saben ngibadah kang dilakoni” (apalagi bagi
orang yang menyepelekan persoalan ibadah dan tidak memiliki
ta’dhim kepada Allah dalam setiap amal yang dikerjakan).
KH Mishbah Mushthafa juga menegaskan bahwa sampainya
“hadiah pahala” bagi mayit juga bukan persoalan yang sederhana,
karena keikhlasan menjadi faktor yang sangat penting. Masalahnya,
KH Mishbah mempertanyakan, apakah keikhlasan itu benar-
benar ada dalam sedekah yang menyertai amalan tahlilan dalam
masyarakat? “Yen bener ikhlas coba dhuwit kang arep kanggo
shadaqah iku dishadaqahake faqir miskin utawa bocah yatim, jawabe:
ojo. Mengko ora weruh wong. Kang mengkono iku ora umum.”
(Kalau memang ikhlas, cobalah uang yang akan disedekahkan tadi
diberikan kepada fakir miskin atau anak yatim. Pasti jawabannya,
jangan karena nggak dilihat orang dan ini tidak biasa). KH Mishbah
pun kemudian menyimpulkan bahwa sedekah dengan cara tersebut

51
Ahmad Baidowi Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

cenderung tidak tepat, “Kelawan ujian kang sithik bahe biso katon
yen coro shadaqahe iku keliru” (Dengan cara sederhana saja,
kelihatan bahwa sedekah dengan cara tersebut adalah salah).
b. Mengeritik Terjemahan Lokal
KH Mishbah Mushthafa sangat kritis terhadap terjemahan kata
atau ayat dalam al-Qur’an yang berkembang di Indonesia. Salah
satu contoh yang dikemukakan KH Mishbah adalah terkait kata
“baqarah” dalam surah al-Baqarah yang dalam Al-Qur’an dan
Terjemah Departemen Agama Republik Indonesia dengan “sapi
betina”. Terjemahan “sapi betina” untuk kata “baqarah” ini dikritik
KH Mishbah ketika menafsirkan ayat 3 Surat al-Taubah mengenai
pembacaan innallāha barī’ min al musyrikīn wa rasūluh. Dalam hal
ini KH Mishbah menulis:
Penulis ditekani pemuda nuli takon: opo hikmahe sapi kang
disembelih dening wong Bani Israil koh sapi wadon koh ora sapi
lanang? Penulis: Sopo kang dhawuh yen sapi iku sapi wadon (sapi
betina) kerono dipungkasi ha ta’nits. Penulis: Amit-amit, iku salah.
Ta kang ono ing lafdaz baqoroh iku dudu ta’ ta’nīṡ nanging ta’ fāriqah
bayn al-mufrad wa al-jam’i, tegese kang ambedaake antara makna
siji lan makna akeh. Kerono lafadz baqor tanpo ta’ iku isim jinis
jam’i. kang aran jinis jam’i iku isim kang anduweni makna akeh
lan dibedaake saking mufrode nanggo ta’ ing akhire. Yen baqor iku
gerombolan sapi akeh, yen baqoaroh iku sapine siji. Yen tamar iku
korma akeh, yen tamrah iku korma siji. Yen syajar iku wit-witan akeh,
yen syajarah iku wit-witan siji. Yen hirrun iku kucing akeh yen hirroh
iku kucing siji. Yen tsamar iku gerombolan woh-woh, yen tsamroh
iku who-wohan siji. Kejobo songko iku tembung surat baqoroh iku
wus dadi ‘alam. Dadi ora keno dimaknani sapi wadon. Yen ono wong
aran Mansur nuli ono tembung Ja’a Mansur opo siro maknani wus
teko sopo wong kang ditulungi? Temtu ora. Nanging teko sopo pak
Mansur. Hiyo opo ora? Pemuda: hiyo-hiyo. Maturnuwun. Penulis:
Isih akeh kesalahan terjemah kang lumaku ono ing zaman saikikang

52
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Aspek Lokalitas Tafsir Al-Iklīl Fī Ma’ānī Al-Tanzīl

gandheng karo ilmu nahwu, koyo kurange pengertian ambedaake


antarane wawi isti’naf lan wawu ‘athaf. Dadi saben ono wawu diwoco
fathah mesti dimaknani “lan” utowo “dan”. Semono ugo perbedaan
antarane fa ‘athaf lan fa’ fashihah lan liya-liyane.17
Sebagaimana dikemukakan dalam kutipan di atas, KH Mishbah
Mushthafa menjelaskan bahwa penerjemahan kata “baqarah” dengan
makna “sapi betina” sangat tidak tepat. KH Mishbah memberikan
penje­lasan tersebut secara panjang lebar dengan memberikan
referensi ke berbagai kasus yang lain. Selama ini kata “baqarah”
diter­jemahkan dengan “sapi betina” karena ada anggapan bahwa
huruf ta’ pada kata tersebut menunjukkan “kebetinaan” sapi tersebut
yang jantannya adalah “baqar”.
KH Mishbah mengeritik pendapat ini dengan menyatakan
“Amit-amit, iku salah. Ta kang ono ing lafadz baqoroh iku dudu
ta’ ta’nits nanging ta’ fariqah bayn al-mufrod wa al-jam’i” (Maaf,
pendapat ini salah. Ta’ yang ada di kata al-baqarah bukan ta’ ta’nits
melainkan ta’ yang membedakan antara mufrad dan jama’). Lebih
lanjut, KH Mishbah menjelaskan maksud huruf ta’ tersebut dengan

17 Terjemahannya adalah sebagai berikut:


Penulis didatangi seorang pemuda dan bertanya, “apa hikmahnya, sapi yang disembelih oleh Bani
Israil itu sapi betina bukan jantan?” Penulis: Siapa yang bilang bahwa sapi itu sapi betina karena
diakhiri dengan tak ta’nis. Maaf, pendapat ini salah. Ta’ yang ada dalam kata baqarah itu bukan
ta’ ta’nis tetapi ta’ yang membedakan antara makna “satu” dan “banyak”. Sebab kata baqar tanpa
ta’ adalah isim jins jam’I, yaitu isim yang memiliki makna “banyak” dan dibedakan dengan isim
mufrad yang menggunakan ta di akhir. Kalau baqar bermakna gerombolan sapi, kalau baqarah
berarti satu sapi. Kalau tamar bermakna banyak kurma, kalau tamrah berrarti sebiji kurma. Kalau
syajar berarti pepohonan, sementara syajarah berarti satu pohon. Kalau hirrun berarti beberapa
kucing, hirrah berarti seekor kucing. Samrah itu berarti sebiji buah, samar berarti banyak buah.
Selain itu, nama surah al-baqarah adalah isim ‘alam, sehingga tidak bisa diartikan sapi betina.
Kalau ada orang bernama Mansur kemudian ada kalimat Ja’a Mansur, apakah akan dimaknai
“Orang yang ditolong sudah datang”? Tentu tidak, tetapi berarti Mansur sudah datang. Benar
bukan. Pemuda menjawab, iya betul. Penulis: masih banyak kesalahan terjemahan yang terjadi
di masyarakat berkaitan dengan ilmu nahwu, seperti ketidakpahaman untuk membedakan wau
isti’naf dan wau ‘athaf, sehingga setiap wawu dimaknai dengan “dan”. Demikian halnya, dengan
perbedaan fa’ athaf, fa fasihan dan lainnya.

53
Ahmad Baidowi Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

menyatakan kang aran jinis jam’I iku isim kang anduweni makna
akeh lan dibedaake saking mufrode nanggo ta’ ing akhire. Yen baqor
iku gerombolan sapi akeh, yen baqarah iku sapine siji (Yang disebut
jenis jam’I adalah isim yang memiliki makna banyak dan dibedakan
dengan bentuk mufradnya dengan huruf ta’ di belakangnya. Kalau
baqar berarti sapi banyak, maka baqarah berarti sapi satu.
Dengan demikian, dari penjelasan tersebut bisa disimpulkan
bahwa kata “baqarah” tidak bisa diartikan dengan sapi betina
sebagaimana dalam beberapa terjemahan al-Qur’an berbahasa
Indonesia, melainkan berarti “satu sapi”.
c. Mengeritik Kegiatan Keagamaan Musabaqah Tilawatil Qur’an
(MTQ)
Dalam kitab tafsirnya al-Iklīl fi Ma’ānī al-Tanzīl, KH Mishbah
Mushthafa juga dengan sangat keras menolak kegiatan Musabaqah
Tilawatil Qur’an (MTQ) yang merupakan fenomena dalam sejarah
umat Islam Indonesia, bahkan dunia. Ketika memberikan penjelasan
terhadap muatan surah al-Taubah ayat 31:
َ ‫الله َو ْالَس‬
‫يح ْاب َن َم ْرَي َم َو َما‬
َّ ُ ْ ً َ َ ْ َ َ ْ ُ َ ْ ُ َ ْ َ ُ َ َّ
ِ ِ ‫اتخذوا أحبا َرهم ورهبان ُهم أ ْربابا ِمن دو ِن‬
َ ُ ْ َ َ َ ُ
18
١ )٣١( ‫أ ِم ُروا ِإال ِل َي ْع ُب ُدوا ِإل ًها َو ِاح ًدا ال ِإل َه ِإال ُه َو ُس ْب َحان ُه َع َّما ُيش ِركون‬
Dalam hal ini, KH Mishbah Mushthafa menyatakan:
Bid’ah kang meluwas sehingga mumkin ora keno dibendung kerono
ulama, zu’ama kang keliru kepiye bahe wus podho nindaake yaiku
tahlil nganggo pengeras suara, shalat nganggo pengeras suara, do’a
ing khutbah lan liya-liyane kabeh nganggo pengeras suara. Opo
podho anduweni anggepan yen pengeran iku kopoh utowo wis tuwo?
Temtune ora. Opo maksude? Semono ugo MTQ. Mandar penulis

18 Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah
dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam, Padahal mereka hanya disuruh
menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah
dari apa yang mereka persekutukan. (QS. al-Taubah [9]: 31)

54
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Aspek Lokalitas Tafsir Al-Iklīl Fī Ma’ānī Al-Tanzīl

tau nompo cerito yen MTQ iku kanggo ngasilake dana kanggo
pembangunan. Akhire ayat-ayat Qur’an dikaset kanggo hiburan,
seneng-seneng. Gusti kang moho agung dhawuh: Lau Anzalnā
hadzā al-Qur’ān ‘alā jabal dst. Koyo mengkene kedhudhukane al-
Qur’an, nanging wong-wong kang ngaku ‘ulama lan zu’ama podho
anggunaake al-Qur’an kanggo hiburan kanggo seneng-seneng
kanggo golek dana pembangunan. Mandar ono kang nulis yen
salah sijine rencana iku naome miturut Islam yaiku dana MTQ.
Innalillahi wainna ilayhi raji’un.19
Sebagaimana pernyataan di atas, KH Mishbah Mushthafa sangat
tidak menyetujui lomba membaca al-Qur’an dalam MTQ. Bukan
membaca al-Qur’annya yang dipersoalkan, karena membaca al-
Qur’an jelas diperintahkan dan berpahala bagi yang melakukannya.
Tetapi lomba membaca al-Qur’an yang dilakukan dalam MTQ
itu yang kemudian dipersoalkan oleh KH Mishbah Mushthafa,
dengan alasan hal itu dilakukan untuk kepentingan yang bersifat
material yang dinilai bertentangan dengan ajaran Islam sendiri
sebagaimana kalimat: “Koyo mengkene kedhudhukane al-Qur’an,
nanging wong-wong kang ngaku ‘ulama lan zu’ama podho anggunaake
al-Qur’an kanggo hiburan kanggo seneng-seneng kanggo golek dana
pembangunan”. Bahkan dengan tegas KH Mishbah Mushthafa juga
mengeritik “pengkasetan” pembacaan al-Qur’an karena hal tersebut
juga dianggap sebagai upaya untuk memenuhi kepentingan yang

19 KH Mishbah ibn Zain al-Mushthafa, Al-Iklīl…, 10: 1667-1668. Terjemahan teks di atas adalah:
Bid’ah sudah meluas sehingga tidak mungkin dibendung karena ‘ulama’ dan zu’ama yang salah
sudah melakukannya, seperti tahlil menggunakan pengeras suara, shalat menggunakan pengeras
suara, khutbah dan lainnya juga menggunakan pengeras suara. Apakah mereka beranggapan
bahwa Tuhan itu tuli atau sudah tua? Tentu tidak. Demikian halnya dengan MTQ. Penulis pernah
memperoleh cerita bahwa MTQ dilakukan untuk menghasilkan dana guna pembangunan.
Akhirnya, ayat-ayat al-Qur’an dibikin kaset untuk hiburan, bersenang-senang. Allah swt
berfirman: Lau Anzalna hadzal qur’an ‘ala jabalin dst. Beginilah kedudukan al-Quran, namun
orang-orang yang mengaku ulama’ dan zu’ama memanfaatkan al-Qur’an untuk hiburan dan
senang-senang, untuk mencari dana pembangunan. Bahkan ada yang menulis kalau salah satu
rencana itu sejalan dengan Islam, yaitu MTQ. Innalillahi wainna ilayhi raji’un.

55
Ahmad Baidowi Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

bersifat material, sebagaimana dinyatakan: “Akhire ayat-ayat Qur’an


dikaset kanggo hiburan, seneng-seneng.”
Pandangan yang melarang dilakukannya MTQ memang
dipegang oleh beberapa ulama dan kalangan dari beberapa pesantren
di Jawa. KH Mishbah tidak melihat pengkasetan bacaan al-Qur’an
atau pelaksanaan MTQ sebagai salah satu bentuk syi’ar agama Islam
sebagaimana diniatkan para pelakunya, melainkan justru sebagai
kegiatan yang sarat dengan kepentingan-kepentingan materialistik,
bahkan semata-mata sebagai hiburan.
d. Mengeritik Pengkultusan Guru
Hal lain yang juga dijadikan sebagai sasaran kritik oleh KH
Mishbah Mushthafa adalah beberapa tradisi di pesantren yang
dinilai sangat mengkultuskan guru dan dianggap tidak sesuai dengan
ajaran Islam. Beberapa perintah guru kepada santrinya dinilainya
berlebihan dan kelewat batas, sehingga memunculkan pengkultusan
yang berlebihan kepada seorang guru. Dalam lanjutan penjelasnnya
ketika menafsirkan QS al-Taubah (9): 31 misalnya, KH Mishbah
Mushthafa menyatakan:
Semono ugo ulama Islam lan pendhito Islam kang disebut guru
thoriqoh. Bangete nemene olehe andhidhik umat Islam ngawam
kang dadi muride supoyo tetep bodho, ojo nganti weruh dhawuh-
dhawuh quran lan supoyo thoat marang gurune kang ngliwati
bates. Contone sang ngulama dhawuh, santri ora keno madoni
guru kerono su’ul adab. Santri kang kepriye bae ora keno ngungkuli
gurune, “uqūq al-ustāż lā taubata lah”, artine wani guru anggalaake
atine guru iku ora ono taubate. Gunemane kiyahi kang mengkene
iki nimbulake roso murid lan santri luwih ngegungake perintah lan
larangane sang ngulama lan pendhito Islam katimbang ngegungake
perintah lan larangane Allah swt. Lan yen sang ngulama lan
pendhito Islam iku nindaake opo bahe dianggep wenang lan bagus.
Upamane, bebas nyawang lan omong-omong karo muslimat
fatayat, donga lan khutbah nganggo pengeras suara utowo MTQ

56
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Aspek Lokalitas Tafsir Al-Iklīl Fī Ma’ānī Al-Tanzīl

kabeh iki dianggep bener lan bagus. Santri lan murid sebab saking
kebacute olehe takdhim nganggep yen kabeh kang didhawuhake
lan kang dilakoni iku bener ora bakal salah.
Ringkese, gerak pikire santri lan murid, perkembangan jiwane
tansah ditekan. Perlune ojo nganti takdhime santri lan murid
ilang. Mesthine podho ngrasaake kepriye banggane sang ngulama
lan pendhito Islam yen santri lan muride podo nyucupi tangane,
mandar kadang-kadang ngambung dengkule. Koyo opo gurihe yen
santri lan murid wis salaman templek utowo ngaturake amplop.
Kehormatan kang mengkene iki bakal ilang yen santri lan muride
ora diwedeake terhadap pribadine sang guru. Sangka iku kadang-
kadang sang guru lan pendhito nganaake kedadiyan-kedadiyan
kang ketingale nulayani pengadatan. Upamane weruh opo-opo
sedurunge winarah lan liya-liyane kang coro ngumum disebut
keramat. Masyarakat ngumum ora ngerti yen kahanan kang
nulayani pengadatan itu ono kang biso diusahaake liwat jin, ono
kang biso diusahaake liwat syetan. Ono kang biso diusahaake liwat
malaikat senajan sang guru ora ngerti.20

20 KH Mishbah ibn Zain al-Mushthofa, Al-Iklil…, 10: 1667-1668. Terjemahan teks di atas adalah
sebagai berikut:
Demikian juga ulama Islam dan pendeta Islam yang disebut guru thoriqoh. Dia sangat keterlaluan
dalam mendidik umat Islam awam yang menjadi muridnya supaya tetap bodoh, jangan sampai
tahu ajaran al-Quran dan supaya menaati gurunya yang melewati batas. Misalnya, sang ulama
menyatakan bahwa santri tidak boleh membantah guru karena su’ul adab, santri bagaimanapun
tidak boleh ngungkuli guru, “uquq al-ustaz la taubata lah” bahwa berani kepada guru mencederai
hati sang guru tidak ada taubatnya. Pernyataan kiai yang demikian ini memunculkan sikap murid
dan santri lebih mengunggulkan perintah dan larangan Allah swt dan kalau ulama dan pendeta
Islam itu melakukan apa pun dianggap boleh dan bagus.
Misalnya, boleh memandang dan berkomunikasi dengan muslimat dan fatayat, do’a dan khotbah
menggunakan pengeras suara atau MTQ. Semuanya dianggap benar dan bagus. Santri dan murid
karena berlebihan dalam mentakzhimkan guru beranggapan bahwa semua yang diperintahkan
adalah benar dan tidak mungkin salah.
Ringkasnya, gerak pikir santri dan murid, perkembangan jiwa mereka selalu ditekan. Tujuannya
jangan sampai sikap takzhim zantri dan murid kepada guru menjadi hilang. para guru merasakan
bangga kalau santri dan muridnya mencium tangannya, bahkan mencium lututnya. Betapa
nikmatnya kalau santri dan murid melakukan salam templek atau memberi amplop. Kehormatan
yang seperti ini akan lenyap kalau santri dan murid tidak diberikan rasa takut kepada guru.

57
Ahmad Baidowi Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

Sebagaimana pernyataan di atas, KH Mishbah Mushthafa


mengeritik cara yang dilakukan oleh sebagian guru yang sangat
berle­bihan dalam mengajarkan kepada santrinya untuk tunduk
kepada perintahnya, hingga murid lebih takut kepada perintah sang
guru daripada kepada al-Quran sendiri. Hal seperti ini oleh KH
Mishbah Mushthafa dinilai akan sangat mengekang perkembangan
jiwa sang murid, “gerak pikire santri lan murid, perkembangan jiwane
tansah ditekan.”
Model pembelajaran yang dinilai bisa mengekang santri ini sangat
tidak disukai oleh KH Mishbah, yang ironisnya, terkadang diajarkan
melalui ajaran tarekat dengan ibadah sambil membayangkan wajah
guru. “Bangete nemene olehe andhidhik umat Islam ngawam kang
dadi muride supoyo tetep bodho, ojo nganti weruh dhawuh-dhawuh
quran lan supoyo thongat marang gurune kang ngliwati bates.”
e. Mendorong Kemajuan
Ketika menafsirkan QS al-Taubah (9): 13 yang berbunyi:
ُ َّ ‫َأال ُت َقا ِت ُلو َن َق ْو ًما َن َك ُثوا َأ ْي َم َان ُه ْم َو َه ُّموا بإ ْخ َراج‬
‫الر ُسو ِل َو ُه ْم َب َد ُءوك ْم‬ ِ ِِ
21 َ ْ ُ ْ ُ ْ ُ ْ ُ ْ َ ْ َ ْ َ ُّ َ َ ُ َّ َ ْ ُ َ ْ َ ْ َ َ َّ َ ‫َ َّ َل‬
١ )١٣( ‫أو مر ٍة أتخشونهم فالله أحق أن تخشوه ِإن كنتم مؤ ِم ِنين‬
Beliau mendorong bagaimana agar sifat kemukminan bisa
tumbuh dan berkembang untuk hanya takut kepada Allah seraya
menghilangkan sifat-sifat yang memperlihatkan sikap takut kepada
selain-Nya. Dalam hal ini, beliau menyatakan:

Oleh karenanya, kadang-kadang guru dan pendeta melakukan hal-hal yang tidak sejalan dengan
kebiasaan. Seperti weruh sakdurunge winarah dan lainnya yang disebut orang awam dengan
keramat. Masyarakat umum tidak tahu kalau kejadian yang di luar kebiasaan itu bisa diupayakan
lewat jin, syetan atau malaikat sekalipun sang guru tidak menyadarinya.
21 Mengapakah kamu tidak memerangi orang-orang yang merusak sumpah (janjinya), Padahal mereka
telah keras kemauannya untuk mengusir Rasul dan merekalah yang pertama mulai memerangi
kamu?. Mengapakah kamu takut kepada mereka Padahal Allah-lah yang berhak untuk kamu takuti,
jika kamu benar-benar orang yang beriman (QS. al-Taubah [9]: 13)

58
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Aspek Lokalitas Tafsir Al-Iklīl Fī Ma’ānī Al-Tanzīl

Ayat iki nuduhake yen salah sewijine ciri lan sifate wong mu’min
yoiku luwih wedi marang siksane Allah yen ora nindaake perintah
ketimbang wedine marang sak liyane Allah. Wus dadi watak
menuso yen menuso wedi marang opo kang dadi sebab-sebabe
mlarate awake, wedi ulo, wedi macan, wedi gendruwo, wedi feqir,
wedi anake ora mangan, wedi ilang kedhudhukane lan liya-liyane.
Nanging wedi kang macam-macam jurusane iki kanggone wongs
kang ngaku mu’min kudu sak ngisore wedi marang Allah, wedi
marang siksane Allah. Ciri lan sifate wong mukmin kang mengkene
iki arang banget tinemu ono ing kalangane wongkang podho
ngaku mukmin. Koyo opo baguse upamane umat Islam anduweni
sekolahan utowo madrasah kang kanggo andidik muslimin, luwih-
luwih pemudane sehingga anduweni ciri lan sifat-sifate wong
mukmin kang akeh banget kasebut ono ing al-Qur’an. Sebab saben
wong Islam iku mesthi ngakoni yen al-Qur’an iku tuntunan uripe.22
Pernyataan di atas menegaskan bahwa KH Mishbah Mushthafa
sangat menyadari berbagai macam krisis iman yang ada di kalangan
umat Islam. Beliau sangat menginginkan agar umat Islam bisa
memiliki sifat seorang mukmin yang memiliki ciri-ciri yang sangat
banyak di dalam al-Quran. Untuk mencapai hal tersebut, beliau
sangat menyadari pentingnya pendidikan bagi mereka, sehingga
umat Islam perlu memiliki lembaga-lembaga pendidikan. Dengan
pendidikan ini, umat Islam bisa dididik untuk meningkatkan
keislaman dan keimanannya.

22 KH Mishbah ibn Zain al-Mushthafa, Al-Iklīl…, 10: 1620-1622. Terjemahan teks di atas adalah:
Ayat ini menunjukkan bahwa salah satu ciri dan sifat orang mukmin adalah lebih takut kepada
siksa Allah kalau tidak mengerjakan perintah-Nya daripada takut kepada selain-Nya. Sebab
sudah menjadi karakter manusia bahwa mereka takut kepada apa yang menyebabkan munculnya
madlarat baginya, seperti ular, macan, hantu, kemiskinan, takut anaknya tidak makan, takut
kehilangan jabatan dan lain-lain. Namun, takut yang beragam ini bagi seorang mukin harus di
bawah takutnya kepada Allah. Ciri dan sifat orang mukmin yang seperti ini jarang ditemukan
pada orang-orang yang mengaku mukmin. Alangkah bagusnya jika umat Islam memiliki sekolah
atau madrasah untuk mendidik umat Islam, terlebih pemudanya, sehingga memiliki ciri-ciri dan
sifat-sifat orang mukmin sebanyak yang ada dalam al-Qur’an. Sebab, setiap orang Islam pasti
mengakui bahwa al-Qur’an adalah pedoman hidupnya.

59
Ahmad Baidowi Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

E. Kesimpulan
Demikianlah beberapa uraian tentang aspek-aspek lokalitas
yang ada dalam tafsir al-Iklīl fī Ma’ānī al-Tanzīl. Sebagai sebuah
kitab tafsir yang ditulis dan ditujukan untuk masyarakat Islam
yang menggunakan Bahasa Jawa sebagai bahasa pengantarnya,
keberadaan kitab tafsir ini menjadi sangat penting. Dalam khasanah
kemasyarakatan, tafsir ini akan sangat membantu masyarakat Islam
memahami pesan-pesan yang ada di dalam al-Qur’an, dan menjadi
salah satu kitab tafsir alternatif selain kitab-kitab tafsir yang sudah
ada sebelumnya.
Bagi masyarakat akademik, keberadaan kitab tafsir al-Iklīl fī
Ma’ānī al-Tanzīl juga menjadi khasanah tersendiri, di mana kitab ini
merupakan salah satu bentuk karya tafsir yang menggunakan metode
analitis (al-manhaj al-taḥlīlī) yang memberikan cukup perhatian
terhadap persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan. Juga, tafsir
ini merupakan kitab tafsir yang memperlihatkan nuansa lokalitas
dalam penampilan dan aspek komunikasinya sebagaimana sudah
dijelaskan di depan, yakni tafsir yang menggunakan bahasa Jawa dan
aksara pégon. Kitab semacam ini memiliki “pangsa” tersendiri yang
sangat besar jumlahnya di Indonesia, yakni masyarakat santri-Jawa.

60
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Aspek Lokalitas Tafsir Al-Iklīl Fī Ma’ānī Al-Tanzīl

Daftar Pustaka
Aboebakar, Sedjarah al-Qur’an, Djakarta: Sinar Pudjangga, 1952.
Bannā, Jamāl al-, Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm Bayn al-Qudāmā wa
al-Muḥdiṡīn, Kairo: Dār al-Syurūq, 2008.
Faudah, Mahmud Basuni, al-Tafsīr wa Manāhijuh, Kairo: Maṭba’ah
al-Amānah, 1977.
Gusmian, Islah, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika
hingga Ideologi, Yogyakarta: LKiS, 2013.
Hasan, Zazuli, “Tafsir Pondok Pesantren: Karakteristik Tafsir Tāj
al-Muslimīn min Kalām Rabb al-‘Ālamīn Karya KH Mishbah bin
Zainal Mushthafa”, Wonosobo: Program Pascasarjana UINSIQ,
2014.
KH Misbah bin Zain al-Mushtafa, al-Iklīl fī Ma’ānī al-Tanzīl,
Surabaya: al-Ihsan,tt.
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta,
2009.
Kusminah, Penafsiran KH Mishbah Mustafa Terhadap Ayat-Ayat
Amar Ma’ruf Nahi Munkar dalam Tafsīr aI-lkIīI fl Ma’ānī al-
TanzīI. Skripsi Fakutas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta Tahun 2013.
Rippin, Andrew, Approaches to the History of the Interpretation of
the Qur’an, Oxford: Cralendon Press, 1988.
Rohmana, Jajang A, Sejarah Tafsir al-Qur’an di Tatar Sunda, Bandung:
Mujahid Press, 2014.
Saenong, Farid F, “Vernacularization of the Qur’an: Tantangan dan
Prospek Tafsir al-Qur’an di Indonesia.” Interview dengan Prof.
A.H. Johns, Jurnal Studi al-Qur’an, Vol. 1, No. 3, 2006.
Żahabī, Muḥammad Ḥusain al-, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, Beirut:
Dār el-Fikr, 1976.

61
ŪLŪ AL-‘AMR PERSPEKTIF HAMKA
DAN NEGARA BERDASARKAN ISLAM
DI INDONESIA

Ulya
STAIN Kudus

Abstrak
Manusia hidup membutuhkan pedoman. Pedoman hidup bagi
umat muslim adalah Alquran, kitab suci yang berbentuk teks dan
berbahasa Arab. Agar Alquran bisa memberikan pedoman maka
harus membacanya. Membaca dalam arti menafsirkannya dengan
tujuan untuk mendapatkan makna. Upaya untuk mendapatkan
makna ini menuntut peran aktif pembaca, dalam hal ini adalah
penafsir. Imam Ali pernah mengatakan bahwa al-Qur’ān baina
daftayī al-muṣḥafi lā yanṭiqu wa innamā yatakallamu bihi ar-Rijāl.
Tanpa manusia, Alquran selamanya akan bungkam, tak bersuara.
Alquran butuh agen manusia yang menyuarakannya.
Tatkala penafsir menafsirkan alquran tidaklah bisa terlepas
dari konteks yang melingkupinya, ideologi, tujuan yang ingin
dicapai, masalah yang sedang dihadapi, dan seterusnya.
Pendekatan posmodernisme menyatakan tidak ada fakta yang
telanjang. Semua serba dikonstruksi dan representasional. Dalam
konteks inilah, penulis mengasumsikan bahwa tafsir juga hasil
Ulya Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

konstruksi dari penafsirnya, merepresentasikan ideologinya,


kepentingannya, sudut pandangnya, dan lain-lain.
Demikian pula tatkala dibaca tafsir ūlū al-amr Q.S. an-Nisā’
[4]: 59 versi Hamka yang telah terdokumentasikan dalam karya
tafsirnya, Tafsir al-Azhar, sebuah tafsir yang telah ditulisnya untuk
Indonesia di rentang tahun 1958-1966, yakni di era konstituante
dan Demokrasi Terpimpin. Di tengah rentang tahun ini, Hamka
mengintroduksi ūlū al-amr sebagai orang-orang yang berkuasa
atau penguasa atau pemimpin. Penguasa atau pemimpin harus
minkum atau insider, artinya berada dalam satu group dengan yang
komunitas yang memilihnya. Jika kata minkum dikembalikan
pada siapa yang diajak komunikasi, maka ūlū al-amr seharusnya
seagama dan seiman. Mengingat setting penyusunan tafsir itu di
tengah sidang konstituante yang memperdebatkan dasar negara,
Islam vs Pancasila, maka dengan melalui situs tafsirnya, Hamka
berkepentingan untuk mengarahkan dan menggiring agar umat
muslim memilih pemimpin yang islami, yang mendukung usulan
negara berdasarkan Islam .
Keywords: ūlū al-amr, Hamka, Negara Islam.

A. Pendahuluan

A
llah berfirman bahwa “Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada
keraguan padnya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa”. 1
Ini artinya bahwa Alquran diturunkan Allah ke alam dunia
bagaikan kompas bagi umat muslim dalam menempuh jalan-Nya.
Agar kompas itu bisa menunjukkan arah, maka aktivitas tafsir menjadi
solusinya. Aktivitas tafsir berarti kegiatan untuk mengungkap makna
yang terkandung dalam Alquran dan menerangkan maksudnya.
Dengan ini maka aż-Żahabī mengartikan term tafsir dengan al-īḍāh
(menjelaskan) dan at-tabyīn (menerangkan).2

1 Q.S. al-Baqarah [2]: 3. Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur′an Departemen Agama RI,
Al-Qur′an dan Terjemahnya (Jakarta: Indah Press, 1994), hlm.8.
2 Muḥammad Ḥusain aż-Żahabī, At-Tafsīr wa al-Mufassirūn, Jilid 1 (Beirut: Dār al-Fikr, 1976),
hlm.13; Abdul Mustaqim menjelaskan bahwa statemen ‘tafsir’ bisa merujuk pada 2 (dua) makna,

64
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Ūlū Al-‘Amr Perspektif Hamka

Tatkala Rasulullah masih hidup, aktivitas tafsir tersentral dalam


diri beliau. Hal ini karena Rasulullah adalah satu-satunya pemegang
otoritas3 makna Alquran. Rasul menjelaskan apa yang dimaksud
dalam Alquran kepada sahabat-sahabatnya. Kondisi ini berlangsung
sampai Rasulullah wafat. Setelah Rasulullah wafat, otoritas tafsir
berpindah tangan pada generasi sahabat, pengikut sahabat (tābi’ūn),
pengikut tābi’ūn, (tābi’-at-tābi’īn), dan seterusnya.
Kegiatan penafsiran ini mula-mula muncul tatkala sahabat-
sahabat bertanya kepada Rasulullah, khususnya berkaitan dengan
ayat-ayat Alquran yang tidak dipahami dan samar artinya, tetapi
kemudian berkembang dengan munculnya kebutuhan mendialogkan
antara Alquran dengan problem yang dihadapi manusia seiring
dengan akselerasi perkembangan zaman, sejak diturunkannya
sampai sekarang.
Mendialogkan antara Alquran dengan problema kemanusiaan
ini, salah satunya, yang menjadi latar belakang lahirnya banyak
kecenderungan tafsir. Jika Alquran berdialog dengan permasalahan
hukum maka muncullah tafsir bercorak Fiqhi, jika Alquran
berdialog dengan masyarakat berafiliasi Syiah maka muncul tafsir
bercorak Syi’i, jika Alquran berdialog dengan setting politik maka
akan memunculkan tafsir politik, dan seterusnya. Itu adalah ilustrasi
umum yang mengisyaratkan tafsir itu bukanlah sebuah kegiatan
ataupun produk yang bersifat netral dan tanpa ideologis. Asumsi-

yaitu tafsir sebagai proses atau kegiatan penafsiran yang dilakukan oleh mufassir dan tafsir sebagai
produk atau hasil penafsiran dari mufassir. Lihat, Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 5 dan 18
3 Tentang perbincangan otoritas, Khaled M. Abou el-Fadl, membedakannya menjadi 2 (dua), yaitu
otoritas koersif dan otoritas persuasif. Otoritas koersif adalah kekuatan atau kemampuan untuk
mengarahkan perilaku seseorang dengan petunjuk, bujukan, ancaman, hukuman, dan lain-lain
sehingga seseorang tersebut memutuskan bahwa untuk mencapai tujuan yang diinginkannya maka
tidak lain harus mengikuti meski tidak suka atau tidak setuju. Sedangkan yang dimaksud dengan
otoritas persuasif atau otoritas moral adalah kekuatan atau kemampuan untuk mengarahkan
orang lain atas dasar kepercayaan. Lihat dalam Khaled M. Abou el-Fadl, Speaking in God’s Name:
Islamic Law, Authority, and Women (Oxford: Onewordl, 2001), hlm. 18

65
Ulya Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

asumsi inilah yang akan penulis buktikan dengan melakukan


pembacaan ulang terhadap tafsir ūlū al-amr Q.S. an-Nisā’ [4]: 59
versi Hamka berikut ini.

B. Tidak Ada Yang Netral, Semua Serba Dikonstruksi


Pernyataan di atas adalah jargon posmodernisme. Posmoder­
nisme dalam perjalanan sejarah filsafat adalah fase refleksi kritis
terhadap ide-ide modernisme yang memapankan segala bentuk
narasi besar (grand naration), seperti: rasionalitas, obyektifitas,
konstruktivitas, dan seterusnya. I. Bambang Sugiharto, mencatatkan
beberapa kecenderungan dasar umum posmodernisme di antaranya:
kecenderungan menganggap segala klaim tentang realitas adalah
konstruksi bahasa dan ideologis; realitas bisa ditangkap dan dikelola
dengan banyak cara, tidak ada cara tunggal untuk mendefinisikan
realitas; paham tentang otonom cenderung dianggap kurang relevan
diganti dengan jaringan, relasionalitas, ataupun proses yang saling
silang, dan bergerak dinamis; cara pandang yang melihat segala
sesuatu dari sudut oposisi binair dianggap tak lagi memuaskan;
melihat secara holistik berbagai kemampuan (faculties) lain selain
rasionalitas, misalnya: emosi, imajinasi, intuisi, spiritualitas, dan
sebagainya; menghargai komunitas liyan yang selama ini tidak
dibahas atau bahkan dipinggirkan oleh wacana modern, seperti:
perempuan, tradisi lokal, paranormal, agama.4 Intinya bahwa
posmodernisme biasanya selalu tidak puas dan memiliki sifat selalu
mendekonstruksi sesuatu yang sudah establish dan mapan di era
modernitas.
Dalam teori hermeneutika, kesadaran posmodernisme ini
telah diperlihatkan oleh beberapa tokoh, seperti: Dilthey yang
mengatakan bahwa interpretasi selalu berada dalam lingkup

4 I. Bambang Sugiharto, “Foucault dan Posmodernisme” dalam Basis, Nomor 01 – 02, Tahun ke-51,
Januari –Februari 2002, hlm. 52.

66
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Ūlū Al-‘Amr Perspektif Hamka

kesejarahan atau historikalitas;5 sedangkan baik Heidegger maupun


Gadamer memperkenalkannya dengan istilah prasangka atau
prapemahaman, yang dikonkretkannya dengan istilah Vorhabe
(latar belakang pendidikan, agama), Vorsicht (sudut pandang
tertentu tentang teks tersebut), Vorgriff (konsep-konsep yang ada
di kepala penafsir atau pembaca);6 Habermas yang menunjukkan
dengan istilah Erzats yaitu kepentingan, yakni orientasi dasar yang
berakar dalam kondisi fundamental khusus dari reproduksi yang
mungkin bagi kelangsungan hidup manusia, yaitu kerja atau karya
dan interaksi. Sebagai contoh sesuatu yang diminati atas dasar panca
indera adalah kesenangan dan kegunaan, sedangkan yang diminati
atas dasar penalaran adalah masuk akal;7 sedangkan Foucault
mengistilahkannya dengan kekuasaan. 8
Kesadaran ini juga telah merambah dalam studi ke-Islaman dan
ketafsiran. Beberapa ilmuwan bisa dicatat sebagaimana al-Jābirī yang
mengatakan bahwa manusia itu bagaikan angkasawan atau astronot.
Sebagai angkasawan atau astronot maka dia akan selalu bergerak,
diserap, dan ditarik ke dalam arus gerak rotasi iklim intelektual,
sosial, politik, dan lain-lain yang dikondisikan oleh sejarah, yang
disebut dengan al-iṭār al-marji’ī (bingkai rujukan).9 Ini berarti
bahwa setting yang mengitari manusia harus dipertimbangkan dalam
sebuah produk budaya, termasuk dalam sebuah tafsir; Amina Wadud
mengintrodusir terminologi prior text, yaitu persepsi, keadaan,

5 Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger and


Gadamer (Evanston: Northwestern University Press, 1969), hlm. 112-113.
6 Gadamer menyatakan bahwa seluruh prasangka atau praanggapan atau prapemahaman
(prejudices) yang diwarisi seseorang tidak dapat dilepaskan dalam usaha membaca sebuah teks.
Sebaliknya dia malah turut mempengaruhi bagaimana sebuah teks itu dibaca. Lihat dalam Hans
Georg. Gadamer, Truth and Method (New York: The Seabury Press, 1975), hlm. 151; E. Sumaryono,
Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm. 83, 107.
7 Ibid., hlm. 95.
8 Michel Foucault, Power/Knowledge (Brighton, UK: Harvester Press, 1980).
9 Muḥammad ‘Ᾱbid al-Jābirī, Takwīn al-‘Aql al-‘Arabī (Beirut: al-Markaz aṡ-Ṡaqafī al-‘Arabī, 1991),
hlm. 61.

67
Ulya Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

latar belakang penafsir akan mempengaruhi produk penafsiran;10


sedangkan Farid Esack mengatakan bahwa mufassir adalah manusia
yang memikul banyak beban.11
Diletakkan dalam premis-premis turunan posmodernisme ini
dalam melihat tafsir, maka syah untuk mengatakan bahwa antara
tafsir dan ideologi adalah 2 (dua) hal yang tidak bisa dipisahkan. Tidak
pernah ada tafsir yang netral, tafsir adalah kostruksi manusia, tafsir
selalu merepresentasikan keinginan, harapan, cita-cita, kepentingan
penafsirnya. Pelibatan niscaya manusia dalam tafsir mengakibatkan
tafsir tak mungkin berada di luar konteks, terutama manakala teks
ayat yang ditafsirkan berkaitan dengan masalah-masalah politik,
seperti ayat tentang ūlū al-amr sebagaimana tercantum dalam Q.S.
an-Nisā’ [4]: 59.

C. Ūlū al-amr Qs. an-Nisā’ Versi Hamka dan Setting Sosial-


Politik Tersusunnya
Bunyi ayat 59 dari Q.S. an-Nisā’ yang membahas tentang ūlū
al-amr sebagaimana berikut:
َۡ ُ َ ُ ‫ٱلل َوأَط‬ ُ ‫ِين َء َام ُن ٓوا ْ أَط‬ َ َ
ُ َّ ْ ‫ِيعوا‬
‫ٱلر ُسول َوأ ْو ِل ٱل ۡم ِر مِنك ۡ ۖم‬ َ َّ ْ ‫ِيعوا‬ َ ‫يأ ُّي َها َّٱل‬ ٰٓ
َّ َ ُۡ ُ ُ َّ َ ُّ َ ۡ َ ۡ َ َ
ِ‫نت ۡم تؤم ُِنون بِٱلل‬ ‫ٱلر ُسو ِل إِن ك‬
َّ ‫ٱللِ َو‬ ‫شءٖ ف ُردوهُ إِل‬ ‫فإِن ت َنٰ َزع ُت ۡم ِف‬
ً َۡ َ َ َ َ ۡ
٥٩ ‫ َوأ ۡح َس ُن تأوِيل‬ٞ‫َوٱلَ ۡو ِم ٱٓأۡلخ ِِرۚ ذٰل ِك خ ۡي‬
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulul amri di antara kamu. Kemudian jika kamu ber­
lainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah dia kepada
Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnah), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu

10 lihat, Amina Wadud Muhsin, “Qur’an and Women” dalam Charles Kurzman (ed.), Liberal Islam: a
Sourcebook (New York, Oxford: Oxford University Press, 1998), hlm. 12; Amina Wadud Muhsin,
Wanita di dalam al-Qur’an, terj.Yaziar Radianti (Bandung: Penerbit Pustaka, 1994), hlm. 1.
11 Farid Esack, Qur’an Liberation and Pluralism: an Islamic Perspective of Interreligious Solidarity
against Oppression (Oxford: Oneworld Publications, 1997), hlm. 75.

68
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Ūlū Al-‘Amr Perspektif Hamka

lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (Q.S. an-Nisā’


[4]: 59).
Pada persoalan pertama, yaitu:
ۡ َ ۡ ْ ُ َ َّ ْ ‫ِيعوا‬
ُ ‫ٱلل َوأَط‬ ُ ‫ِين َء َام ُن ٓوا ْ أَط‬ َ َ
ُ
ۖ‫ٱلر ُسول َوأو ِل ٱلم ِر مِنك ۡم‬
َ َّ ْ ‫ِيعوا‬ َ ‫يأ ُّي َها َّٱل‬
ٰٓ
oleh Hamka dijelaskan tentang keharusan masyarakat beriman atau
masyarakat muslim mematuhi peraturan dari Allah swt. Peraturan
dari Dia inilah yang pertama dan utama yang wajib dipatuhi.
Allah telah menurunkan peraturan tersebut bersamaan dengan
diutusnya para nabi atau rasul, termasuk Nabi Muhammad saw.
Peraturan dari Allah yang telah diwahyukan kepada nabi atau rasul,
dalam sejarahnya, telah terkodifikasikan dalam kitab-kitab suci, di
antaranya: Taurat, Zabur, Injil, dan Alquran. Peraturan Allah dalam
kitab suci tersebut disampaikan kepada manusia sebagai pegangan
dan pedoman hidup untuk keselamatan dan kebahagiaan kehidupan
mereka di dunia sekarang ini dan di akhirat kelak.12
Kemudian masyarakat beriman atau masyarakat muslim diperin­
tahkan mematuhi petunjuk nabi atau rasul sebagai utusan-Nya dan
Muhammad adalah nabi dan rasul terakhir yang diutus Allah untuk
manusia seluruh dunia. Patuh kepadanya adalah kelanjutan dari
patuh kepada Allah. Dikatakan demikian karena banyak perintah
Allah yang wajib dipatuhi, tetapi tidak dapat dijalankan kalau tidak
melihat contoh teladan dari utusan-Nya tersebut.13 Dengan patuh
kepada utusan-Nya inilah, masyarakat beriman atau masyarakat
muslim menjadi sempurna dalam beragama.
Setelah patuh pada perintah Allah dan rasul, maka masyarakat
beriman atau masyarakat muslim dituntut pula patuh kepada ūlū
al-amr. Menurut Hamka, ūlū al-amr adalah orang-orang yang
menguasai pekerjaan, juga orang-orang yang berkuasa atau penguasa.

12 Hamka, Tafsir al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2008), V: 162.


13 Ibid., V: 163.

69
Ulya Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

Ūlū al-amr yang padanya harus dipatuhi haruslah minkum. Secara


khusus, minkum mempunyai 2 (dua) pengertian, bisa berarti di
antara kamu, bisa juga berarti dari pada kamu.14 Pendeknya, bahwa
ūlū al-amr adalah penguasa. Penguasa hendaklah dari minkum,
dari pada kamu. Dia berkuasa karena dipercaya atau diberi amanat
dan dipilih, dan dia adalah dari kalangan sendiri.15 Berangkat dari
pernyataan-pernyataan Hamka tersebut, maka mengandung 2
(dua) hal kaitannya dengan kualifikasi ūlū al-amr, yakni dari sisi
pengangkatannya harus melalui pemilihan atau pemberian mandat
dari masyarakat pemilih dan dari sisi asal muasalnya berasal dari
kelompok insider atau in-group.
Tentang siapa yang termasuk dalam wilayah orang-orang yang
menguasai pekerjaan atau penguasa atau ūlū al-amr yang wajib
dipatuhi, bagi Hamka, bukanlah ulama atau agamawan saja, tetapi
termasuk di dalamnya adalah panglima-panglima perang dan
penguasa-penguasa besar, petani-petani dalam negara. Di zaman
modern ini maka yang termasuk ūlū al-amr adalah direktur-direktur
pengusaha besar, profesor-profesor, sarjana-sarjana di berbagai
bidang, wartawan, dan lain-lain dari orang-orang yang terkemuka
di masyarakat adalah ahl al-ḥalli wa al-‘aqdi, yang berhak diajak
musyawarah.16
Untuk persoalan apa mematuhi Allah, Rasul-Nya, dan ūlū
al-amr, maka dalam konteks ini, Hamka telah memetakan urusan
kenegaraan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu urusan agama dan urusan
umum. Untuk urusan agama semata-mata, masyarakat beriman
atau masyarakat muslim harus mematuhi perintah dari Rasul dan
perintah Rasul ini bersumber dari Allah. Sedangkan untuk urusan
umum, seperti: perang dan damai, membangun tempat ibadah,
bercocok tanam, memelihara ternak, dan lain-lain, diserahkan

14 Ibid., V: 163.
15 Ibid., V: 173.
16 Ibid., V: 168.

70
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Ūlū Al-‘Amr Perspektif Hamka

kepada umat sendiri berdasarkan syūrā atau musyawarah. 17


Selanjutnya jika terdapat urusan agama, tetapi kelancarannya
berkehendak pada urusan umum hendaklah juga dimusyawarahkan.
Hamka mencontohkan tentang haji. Haji adalah perintah Allah yang
wajib ditaati, namun untuk melaksanakan ibadah haji dibutuhkan
transportasi. Ūlū al-amr mengupayakan transportasi itu. Kalau
masyarakat beriman yang melaksanakan haji diperintahkan
membayar biaya transportasi tersebut oleh ūlī al-amr maka wajiblah
mereka mematuhinya. Tidak mau membayar berarti melanggar
perintah agama sebab urusan umum di saat itu telah menjadi bagian
dari urusan agama.18
Kemudian bagaimana memilih ūlū al-amr, Hamka menunjukkan
kata syūrā atau musyawarah sebagai keyword-nya, sedangkan
teknik dan makanismenya diserahkan kepada umat sendiri. Hal
ini disebabkan Nabi Muhammad tidak pernah meninggalkan wasiat
politik tentang siapa yang akan menggantikannya, namun realitasnya
kepala negara sepeninggalnya selalu dimusyawarahkan dan atau
disepakati dengan menggunakan cara-cara yang berbeda sesuai
dengan situasi dan kondisi yang berkembang di masanya.19
Selanjutnya kewajiban patuh kepada ūlū al-amr yang telah
dipilih dan diberi mandat bukanlah tanpa pembatasan-pembatasan.
Di penghujung penafsirannya, Hamka memberikan garis merah
penegasan bahwa kepatuhan kepada ūlū al-amr adalah wajib
hukumnya selama ūlū al-amr adalah insider atau in-group, tidak
melakukan, tidak memerintah, tidak memiliki kebijakan-kebijakan
yang bertentangan dengan peraturan Allah dan rasul-Nya.20
Selanjutnya tatkala membaca penggalan ayat berikutnya, yaitu

17 Ibid., V: 164.
18 Ibid., V: 165-166.
19 Ibid., V: 166-167.
20 Ibid., V: 15-176.

71
Ulya Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

َّ َ ُ ُّ ُ َ ۡ َ ۡ َ َ
‫ٱلر ُسو ِل‬
َّ ‫ٱللِ َو‬ ‫فإِن ت َنٰ َزع ُت ۡم ِف شءٖ فردوه إِل‬
Bahwa menurut Hamka, musyawarah yang diidealisasi olehnya
adalah yang bertujuan mendapatkan kata sepakat dan akan memberi
maslahat kebaikan bagi kepentingan bersama, namun jika masih
menyisakan perselisihan di antara mereka yang bermusyawarah,
maka jalan keluarnya adalah mengembalikan keputusan sesuai
dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya, dengan menilik ayat-
ayat Alquran dan teks-teks sunnah ataupun roh syariat, dengan
mencermati pendapat para ulama terdahulu dengan memakai
metode analogi (qiyās). Jika pihak-pihak yang bermusyawarah
masih saja berselisih karena lebih mengedepankan hawa nafsu, maka
penguasa tertinggi atau ūlū al-amr dapat mengambil alih tanggung
jawab untuk memutuskan mana yang menurut ijtihadnya lebih dekat
dengan kehendak Allah dan Rasul-Nya.21
Dan akhirnya, tatkala Hamka berhadapan dengan penggal
terakhir dari ayat tersebut, yaitu:
ً َۡ َ َ َ َ ۡ َّ َ ُۡ ُ ُ
‫ َوأ ۡح َس ُن تأوِيل‬ٞ‫نت ۡم تؤم ُِنون بِٱللِ َوٱلَ ۡو ِم ٱٓأۡلخ ِِرۚ ذٰل ِك خ ۡي‬‫إِن ك‬
Dia menyatakan bahwa kalau tidak percaya kepada Allah dan hari
akhirat, tentulah siapa yang kuat itulah yang di atas yang menguasai
dan menindas, dan siapa yang lemah itulah yang tertindas sehingga
bukan kebenaran jadi tujuan, tetapi hanya semata-mata kekuatan.22
Ini artinya bahwa jika permasalahan tidak juga terselesaikan setelah
dikembalikan pada Allah dan Rasul-Nya, maka berarti mereka yang
bermusyawarah tidaklah menempatkan petunjuk Allah dan Rasul
yang didahulukan, tetapi justru hawa nafsu dan kekuatan yang
diunggulkan.

21 Ibid., V: 170.
22 Ibid., V: 169-170.

72
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Ūlū Al-‘Amr Perspektif Hamka

Berangkat dari paparan penafsiran Hamka terhadap Q.S. an-


Nisā’ [4]: 59 di atas, maka secara singkat bisa penulis simpulkan
gagasan inti tentang tafsir ūlū al-amr nya, yaitu :
1. Masyarakat beriman atau masyarakat muslim harus mematuhi
ūlū al-amr, dalam arti penguasa atau pemimpin, termasuk di
dalamnya adalah kepala negara atau kepala pemerintahan,
setelah mereka patuh kepada peraturan Allah dan Rasul-Nya.
22. Ūlū al-amr yang wajib dipatuhi haruslah minkum, yakni berasal
dan dipilih oleh komunitas yang sama dengan pemilihnya
(komunitas insider atau in-group).
3. Hukumnya wajib mematuhi ūlū al-amr tersebut untuk urusan
umum atau duniawi, termasuk pada urusan agama atau ukhrawi
yang kelancarannya tergantung pada urusan umum atau
duniawi, dengan kualifikasi sepanjang aturan atau kebijakan-
kebijakan yang disusun dan diberlakukan atas urusan tersebut
tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, yaitu
peraturan Allah dan Rasulullah.
44. Ūlū al-amr yang wajib dipatuhi bukanlah hanya ulama atau
agamawan saja, tetapi termasuk dalam ūlū al-amr adalah
panglima-panglima perang, penguasa-penguasa besar, petani-
petani dalam negara, direktur-direktur pengusaha besar,
profesor-profesor, sarjana-sarjana di berbagai bidang, wartawan,
dan lain-lain yang terkemuka di masyarakat yang patut diajak
musyawarah (ahl al-ḥalli wa al-‘aqd) atau siapapun yang ditunjuk
oleh kepala pemerintahan lalu diakui dan ditaati oleh orang
banyak.
5. Memilih ūlū al-amr hendaknya melalui forum musyawarah,
sedangkan teknik dan mekanismenya diserahkan kepada
masyarakat sendiri, boleh dengan cara langsung dan terbuka,
boleh juga secara tidak langsung dan melalui perwakilan, dan
lain-lain.

73
Ulya Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

Sesungguhnya penafsiran di atas disuarakan oleh Hamka,


seorang ulama yang multitalenta dari Sumatera Barat. Dia lahir
di Sungai Batang, Manindjau, pada tanggal 16 Februari 1908 dan
meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 24 Juli 1981 dalam usia 73
tahun.23 Dia dikenal sebagai seorang agamawan, orator, politikus,
aktivis organisasi sosial, jurnalis, juga sastrawan. Dia terlahir dari
seorang ibu yang bernama Shafiyah binti Bagindo Nan Batuah yang
telah membesarkannya dan mengajarkan cinta kasih24 dan seorang
ayah yang bernama Haji Abdul Karim Amrullah alias Haji Rasul,
juga dikenal dengan Tuanku Syaikh Nan Mudo, sebagai sebutan
pengakuan dari masyarakat atas kepandaiannya. Ayahnya dikenal
sebagai ulama atau agamawan pembawa paham-paham pembaruan
Islam (tajdīd) di Minangkabau. 25
Menitis dari sosok ayahnya yang seorang pemuka gerakan
pembaharuan di Minangkabau, juga dipengaruhi oleh pertemuannya
dengan beberapa tokoh sosial-keagamaan di Yogyakarta dan
Pekalongan di sekitar tahun 1924, seperti Ki Bagus Hadikusuma,
yang kelak menjadi ketua Pimpinan Pusat (PP.) Muhammadiyah
(1942-1953); H. Fakhruddin, seorang tokoh Muhammadiyah, dan

23 Http://id.wikipedia.org/wiki/Haji_Abdul_Malik_Karim_Amrullah.
24 Lihat, “Kata Pengantar Tafsir al-Azhar (Orang-orang Yang Saya Kenang)” dalam Hamka, Tafsir
al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2008), I: 2.
25 Ayah Hamka adalah seorang ulama yang berprofesi sebagai guru, sejak tahun 1906. Dia mengajar
tanpa membatasi pada suatu kampung atau kota tertentu. Ayahnya mengajar di Padang Panjang,
Matur, dan Padang, serta kampung-kampung yang terletak antara Manindjau dengan Padang
Panjang. Dia seorang yang anti komunis di tahun 1920. Konsekuensinya maka dia tidak disenangi
pihak Belanda sehingga di tahun 1930 dia senantiasa diikuti oleh agen-agen Belanda kemanapun
dia pergi dan laporan tentang pidatonya senantiasa dibuat dan dilaporkan kepada pejabat polisi.
Dia juga sering dipanggil oleh pejabat setempat yang memperingatkannya agar tidak membawa
soal-soal politik dalam pandangan agamanya. Karakter inilah yang kemudian membawa ayah
Hamka di masa tuanya, pada usia 62 tahun, justru mengalami pembuangan di Sukabumi yakni
pada tanggal 12 Januari 1941. Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta:
LP3ES, 1996), hlm. 45, 228.

74
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Ūlū Al-‘Amr Perspektif Hamka

lain-lain, 26 turut memotivasi Hamka aktif di organisasi sosial-


keagamaan Muhammadiyah tersebut 27 dan pada tahun 1925 dia
mengikuti pendirian cabang Muhammadiyah di Padang Panjang
dan di tahun 1928 dia menjadi ketuanya.
Sebagai aktivis Muhammadiyah inilah maka dia memiliki
kedekatan emosional dengan Masyumi28 sehingga dia memilihnya
sebagai tempat aspirasi politiknya. Masyumi sendiri dimaksud di
sini adalah Masyumi yang bukan terbentuk pada masa Jepang,
yang dibentuk oleh para pemimpin Islam pada Oktober 1943
bersama penguasa Jepang sebagai ganti MIAI (Majelis Islam Ala
Indonesia). Masyumi yang ini bukan partai politik sekalipun diam-
diam menjalankan politik. Tetapi Masyumi yang dimaksud adalah
Masyumi paska proklamasi yang didirikan awal November 1945 di
Yogyakarta dan nyata-nyata sebuah partai politik yang berhaluan
Islam.29
Sebagai partai politik, Masyumi mengeluarkan suatu program
aksi dalam kenegaraan, yaitu: mewujudkan suatu negara yang
berdasarkan keadilan menurut ajaran Islam serta memperkuat
dan menyempurnakan Undang-Undang Dasar RI sehingga
dapat mewujudkan masyarakat dan negara Islam. Pada tanggal

26 Muhammad Damami, Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2000),
hlm.41-42.
27 Muhammadiyah merupakan organisasi keagamaan yang melancarkan pemberantasan terhadap
hal-hal yang dianggap taqlīd, bid‘ah, khurafāt. Organisasi sosial-keagamaan ini didirikan pada
tanggal 18 November 1912 oleh H. Ahmad Dahlan di Yogyakarta. Tujuan organisasi ini adalah
memajukan pengajaran berdasarkan agama, pengertian ilmu agama, dan hidup menurut peraturan
agama. A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia (Jakarta: Dian Rakyat, 1994),
hlm.21.
28 Dinyatakan oleh Hefner bahwa Masyumi sebagai partai politik Islam yang pengikut dan
simpatisannya mayoritas berasal dari anggota organisasi sosial-keagamaan Muhammadiyah.
Robert W. Hefner, Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia, terj. Ahmad Baso (Jakarta:
Institut Studi Arus Informasi (ISAI) Bekerjasama dengan The Asia Foundation, 2001), hlm.95.
29 A. Syafii Maarif, Islam Kekuatan Doktrin dan Kegamangan Umat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1997),
hlm. 116.

75
Ulya Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

6 Juli 1947 Masyumi mengeluarkan suatu manifesto politik yang


antara lain menyatakan bahwa: a). Dalam hubungannya dengan
luar negeri, Masyumi berusaha agar umat Islam Indonesia dapat
menempatkan Negara Republik Indonesia berdampingan dengan
negara-negara demokrasi; b). Sedangkan di dalam negeri, Masyumi
berusaha menambah tersiarnya ideologi Islam di kalangan
masyarakat Indonesia dengan tidak menghalangi pihak yang
sejalan memperkokoh sendi Ketuhanan Yang Maha Esa. 30 Atas
dasar program aksinya ini maka Masyumi dengan gigih menuntut
terbentuknya negara agama atas dasar Islam untuk Indonesia.
Tafsir al-Azhar sendiri disusun oleh Hamka di sekitar tahun
1958-1966 di Indonesia. Secara umum digambarkan dalam banyak
literatur sejarah bahwa tahun-tahun tersebut, Indonesia, meski
sudah merayakan kemerdekaannya tetapi masih dalam keadaan
krisis. Krisis ini ditandai dengan adanya pertarungan antar elitis
yang disebabkan perbedaan ideologi, pertikaian sipil-militer, kondisi
ekonomi yang masih semrawut karena sektor-sektor strategis dan
modal masih banyak dikuasai asing, pergolakan daerah melawan
pusat, dan lain-lain. Yang demikian, salah satunya, karena Indonesia
belum memiliki sarana pemersatu bangsa yang akan menjadi dasar
berdirinya sebuah negara, yaitu: dasar negara, bentuk negara, bahasa,
bendera, HAM, dan isu-isu konstitusional lainnya, yang semuanya
menjadi agenda besar yang belum terselesaikan.31
Untuk mengatasi krisis dan memecahkan berbagai masalah
kenegaraan tersebut maka pada tahun 1955 diadakanlah Pemilihan
Umum (Pemilu) yang pertama. Pemilu dilaksanakan untuk memilih
wakil-wakil rakyat atau saat itu disebut dengan konstituante yang

30 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta: UI-Press,
1993), hlm.190.
31 Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsensus Nasional Tentang
Dasar Negara Repubik Indonesia (1945-1949) (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hlm.68.

76
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Ūlū Al-‘Amr Perspektif Hamka

akan bermusyawarah untuk mendapatkan kesepakatan-kesepakatan


final tentang hal-hal yang dimaksudkan di atas.
Pemilu saat itu telah menghasilkan 4 (empat) partai dominan
sebagai pemenang pemilu, yaitu: PNI (Partai Nasional Indonesia),
Masyumi, NU (Nahdatul Uama), dan PKI (Partai Komunis
Indonesia). PNI adalah partai yang mewakili kelompok nasionalis,
Masyumi dan NU mewakili kelompok muslim, dan PKI adalah wakil
dari kelompok komunis. Sebagai partai dominan, konsekuensinya,
mereka akan menempatkan sejumlah wakilnya yang paling banyak
dalam konstituante. Sedangkan Hamka sendiri terpilih menjadi
salah satu anggota konstituante, wakil dari partai Islam Masyumi.32
Sesungguhnya semua agenda besar tentang persoalan-persoalan
fundamental di atas dapat terselesaikan saat dilaksanakan sidang
oleh dewan konstituante saat itu (1957-1959). Sedangkan yang paling
alot adalah diskusi tentang masalah dasar negara karena dewan
sidang konstituante saat itu dihadapkan pada 3 (tiga) pendapat dari
kelompok-kelompok dominan. Pendapat pertama mengusulkan
dasar negara Indonesia adalah Islam sebagaimana diperjuangkan
oleh kelompok atau partai Islam, yaitu Masyumi dan NU; pendapat
kedua mengusulkan Pancasila sebagai dasar negara sebagaimana
diusung oleh kelompok PNI; dan pendapat ketiga mengajukan sosial
ekonomi sebagai dasar negara sebagaimana pendapat PKI. Dari
3 (tiga) usulan ini kemudian mengkristal menjadi penghadapan
antara kelompok yang bercita-cita mendirikan negara berdasarkan
asas Islam dan kelompok yang bercita-cita membangun negara
bangsa atau nation state yang berdasarkan Pancasila. Dan Hamka
sebagai salah satu anggota dewan konstituante perwakilan dari partai
Masyumi, maka bersama tokoh-tokoh Masyumi yang lain turut

32 Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas, dan Aktor Sejarah (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2002) , hlm. 271.

77
Ulya Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

mendukung gagasan dan usaha untuk mendirikan negara Indonesia


yang berasaskan atau berdasarkan Islam.33
Dalam sidang konstituante ini, terutama Masyumi dengan
tegas dan tak bisa ditawar-ditawar dalam mengusulkan dan
menuntut diberlakukannya dasar Islam untuk Indonesia merdeka
dikarenakan 3 (tiga) hal yang menyebabkan Masyumi Pertama, dasar
negara Islam adalah hal yang dijanjikannya selama berkampanye
menghadapi Pemilu tahun 1955. Bagi Masyumi, janji harus
ditepati adalah ajaran agama. Hal itulah yang mengimplikasikan
bahwa perjuangan menuju pemberlakuan dasar Islam dalam
sidang konstituante adalah sebuah kewajiban dan tuntutan agama,
bukan sekedar tuntutan moral. Kedua, Masyumi melihat forum
konstituante sebagai ruang publik terbuka yang mana tiap kelompok
masyarakat diperbolehkan mengungkapkan harapan dan cita-cita
mereka dengan membicarakannya di hadapan kawan ataupun lawan.
Ketiga, forum konstituante juga dilihat oleh Masyumi sebagai forum
dakwah untuk menyampaikan kepada semua pihak tentang apa
yang sebenarnya dimaksud oleh Islam dalam hubungan dengan
masyarakat dan politik.34
Perdebatan sengit dan diskusi alot tentang persoalan dasar
Negara ini berakhir dead lock. Saat inilah Soekarno mengeluarkan
Dekrit, 5 Juli 1959. Dengan Dekrit ini Soekarno menerapkan
Demokrasi Terpimpin; membubarkan konstituante karena dinilai
tidak bisa melaksanakan tugas dengan baik dengan membentuk
MPRS dan DPR-GR, serta kembali diberlakukannya UUD 1945,
dan mengukuhkan Pancasila sebagai dasar negara.
Menanggapi Dekrit Presiden ini, kelompok Islam Masyumi
menegaskan penolakannya. Di tengah sidang konstituante, di
antaranya, Hamka menyatakan bahwa kembali ke UUD 1945 tidak

33 Ibid., hlm. 271.


34 Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965 (Jakarta: Grafiti Press, 1987), hlm. 266.

78
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Ūlū Al-‘Amr Perspektif Hamka

merupakan jalan lurus, melainkan menuju jalan ke neraka. Juga,


menurut Hamka bahwa Demokrasi Terpimpin baginya sama dengan
demokrasi fungsionil, demokrasi totaliter.35 Peristiwa ini, secara
khusus telah menjadi lonceng pembuka yang menandai perlawanan
Masyumi dengan pemerintahan Soekarno dan akhirnya Masyumi
dibubarkan dan dinyatakan sebagai partai terlarang mulai tanggal
17 Agustus 1960 berdasarkan Keputusan Presiden No.200/1960.36

D. Cita-cita Negara Islam dalam Tafsir Ūlū al-Amr Hamka


Dalam paparan penafsirannya atas ūlū al-amr Q.S. an-Nisā’ [4]:59
intinya bahwa Hamka telah menggagas didirikannya pemimpin
atau penguasa yang seiman atau seagama. Masyarakat beriman atau
masyarakat muslim di Indonesia wajib memilih pemimpin atau
penguasa yang muslim. Seperti inilah, bagi Hamka, pemimpin atau
penguasa yang wajib dipatuhi.
Mencermati produk tafsir Hamka tentang ūlū al-amr sebagaimana
di atas, memperlihatkan ekspektasi Hamka untuk membentuk
bangunan rumah Islami untuk muslim Indonesia, dengan cara
menyusun fondasi berupa klaim teologis dari ayat tersebut, yang
akan mengarahkan jalan pikiran dan tubuh masyarakat Indonesia
sebagai pembaca tafsirnya kepada nalar dan praktik eksklusifitas
dalam kehidupan sosial-politik, yakni dengan memilih pemimpin
atau penguasa muslim yang memberlakukan ajaran Islam, yang
memperjuangkan dasar Islam dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara di Indonesia.
Bagi Hamka Islam adalah agama yang superioritas dan holistis.
Bagi mereka, Islam adalah agama yang paling sempurna dan paling
lengkap. Dia tidak hanya mengajarkan manusia berhubungan
dengan Tuhan, tetapi juga memberi petunjuk bagaimana manusia

35 Lihat footnote 69 dalam Ibid., hlm.382.


36 Robert W. Hefner, Civil …, hlm. 88, 171; Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik: Teori Belah
Bambu Masa Demokrasi Terpimpin, (1959-1965) (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 75.

79
Ulya Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

berhubungan dengan manusia yang lain dan lingkungannya,


termasuk dalam hal berpolitik. Oleh karena itu Islam diyakini lebih
unggul jika dikomparasikan dengan semua ideologi dunia yang
lain,37 termasuk Pancasila.
Dalam perjalanan sejarah Indonesia, menurut Hamka, pema­
haman seperti ini telah menjadi dasar dari seluruh gerakan Islam
di Indonesia sejak zaman perjuangan kemerdekaan yang diaktua­
lisasikan dalam bentuk cita-cita penegakan negara Islam. Hamka
mengatakan di depan sidang konstituante sebagaimana dikutip oleh
Ahmad Syafii Maarif bahwa:
Perjuangan menegakkan negara Islam sudah merupakan cita-cita
sejak lama dari semua gerakan Islam di Indonesia, yaitu sejak abad
ke-19. Menurutnya para pahlawan, seperti: Pangeran Diponegoro,
Imam Bonjol, Teuku Cik Ditiro, Pangeran Antasari, Sultan
Agung, dan lain-lain yang telah berperang melawan kolonialisme
Belanda adalah dalam rangka menciptakan suatu tatanan negara
berdasar Islam. Dalam kaitan inilah, kata Hamka, apa yang
diperjuangkan oleh wakil-wakil Islam dalam Majelis Konstituante
adalah semata-mata untuk merealisasikan keinginan yang sudah
dipendam lama oleh para pahlawan di atas dalam konteks abad
ke-20. “Kamilah yang meneruskan wasiat mereka” kata Hamka,
“Dan dapat pulalah Saudara Ketua mengetahui ke mana mestinya
ujung logika dari perkataan saya ini. Mungkin dikatakan bahwa
yang mengkhianati ruh nenek moyang pemimpin yang terdahulu
ialah yang menukar perjuangan mereka dengan Pancasila”. 38
Meminjam kerangka pemetaan Luthfi Assyaukanie maka
Hamka diposisikan ke dalam kelompok yang mengidolakan Negara
Demokrasi Islam, yaitu model negara yang bertujuan menjadikan

37 Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia
(Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 107.
38 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante
(Jakarta: LP3ES, 1987), hlm. 160.

80
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Ūlū Al-‘Amr Perspektif Hamka

Islam sebagai dasar negara dan mendorong masyarakat muslim


mengambil peran utama dalam kehidupan sosial dan politik di
Indonesia39 atau dalam bahasa lain adalah negara agama berdasarkan
Islam.
Menurut penulis, eksklusifitas yang ditampilkan tafsir Hamka
pada era tersebut, pada satu sisi adalah sebagai sabuk pengaman dalam
menghadapi ide-ide sekular dan netral agama yang dihembuskan
oleh kelompok nasionalis yang mengusung Pancasila dalam wadah
negara bangsa (nation state) sebagaimana dibawa oleh PNI. Juga
sebagai benteng pertahanan diri menghadapi ide-ide yang dibawa
oleh PKI, yang mengusung sosialis dan ateis yang secara ideologis
berlawanan dengan ideologi Islam Masyumi sebagaimana dianut
Hamka. Sedangkan pada sisi yang lain, wacana ini disosialisasikan
dalam rangka penguatan cita-cita yang diperjuangkan Masyumi,
sebagai upaya meningkatkan elektabilitas masyarakat muslim untuk
memilih penguasa atau pemimpin dari masyarakat muslim sendiri
yang mengusung Islam sebagai dasar negara atau memberlakukan
Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, meski secara
formal, Masyumi telah bubar.

39 Luthfi Assyaukanie telah dengan teliti memetakan 3 (tiga) model pemerintahan berbasis Islam
yang dicita-citakan dan didukung oleh muslim Indonesia, yaitu: 1). Negara Demokrasi Islam
(NDI), yakni model negara yang bertujuan menjadikan Islam sebagai dasar negara dan mendorong
kaum muslim mengambil peran utama dalam kehidupan sosial dan politik di Indonesia; 2).
Negara Demokrasi Agama (NDA) yakni model yang menekankan pentingnya kehidupan pluralis
di Indonesia dan bertujuan negara sebagai pengawal semua agama; 3). Negara Demokrasi Liberal
(NDL) atau disebut Negara Demokrasi Sekuler (NDS). Model negara ini bertujuan membebaskan
agama dari dominasi dan mengusung sekularisasi sebagai fondasi agama. Selanjutnya dikatakan
oleh Luthfi bahwa berdasarkan 3 (tiga) model negara tersebut, Masyumi termasuk pendukung
model 1 dan salah satunya eksponennya adalah Hamka, meski masih berada dalam batas-batas
yang moderat. Luthfi Assyaukanie, Ideologi Islam dan Utopia: Tiga Model Negara Demokrasi di
Indonesia, (Jakarta: Freedom Institute, 2011), hlm.7 dan 16.

81
Ulya Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

E. Representasi Gagasan Hamka di Indonesia Saat Ini


Sesungguhnya gagasan Hamka tersebut muncul di era
1950/1960an, namun sampai sekarang ini tampaknya gagasan tersebut
belumlah mati, bahkan bisa jadi akan terus hidup selamanya. Yang
demikian, menurut penulis, bahwa nalar eksklusifitas berpolitik yang
demikian tidaklah bisa dilepaskan dan berakar dari nalar eksklusifitas
dalam beragama, dan nalar eksklusifitas beragama merupakan naluri
alamiah yang sulit dihilangkan dari setiap pemeluk agama, apapun
dan dimanapun.
Dalam kenyataannya tafsir ūlū al-amr yang dikonstruksi Hamka
tersebut memiliki daya tarik di tengah-tengah masyarakat muslim
Indonesia sehingga menjadi salah satu alternatif yang dipercaya
masyarakat muslim Indonesia dalam mengonstitusi sikap dan
perilaku mereka. Mereka melimpahkan kepercayaannya, meyakini
apa yang disampaikan Hamka adalah fatwa yang benar, yang
dimaksud al-Qur′ān, bahkan dikehendaki Tuhan sehingga harus
diikuti dan diaktualisasikan dalam kehidupan konkret di dunia.
Mereka menyandarkan komitmennya dan menyetujui tafsir ūlū al-
amr Hamka. Dalam bahasa Khaled M. Abou el-Fadl, melekat dalam
Tafsir ūlū al-amr Hamka ini sebuah otoritas persuasif.40
Komitmen menyetujui tafsir Hamka tersebut karena tak
lain mereka berkeyakinan bahwa dalam diri Hamka melekat
berbagai kompetensi, baik berkaitan dengan penguasaan keilmuan
menafsirkan maupun yang berkaitan dengan kepemilikan moral-
kepribadian atau kesalehan. Dalam bahasa Bourdieu disebut dengan
modal (capital).41

40 Khaled M. Abou el-Fadl, Speaking…, hlm. 18.


41 Menurut Bourdieu ada 4 (empat) jenis modal atau kapital yang mengakibatkan satu pihak dianggap
lebih unggul dari pihak lainnya. Keempat modal tersebut adalah modal ekonomi atau finansial,
modal budaya, modal sosial, dan modal simbolik. Pertama, modal ekonomi atau finansial adalah
sarana produksi dan sarana finansial. Kedua, modal budaya, meliputi: ijazah, pengetahuan, kode
budaya, cara berbicara, kemampuan menulis, cara pembawaan, cara bergaul, yang berperan
dalam penentuan kedudukan sosial. Kapital budaya ini terbagi dalam 3 (tiga) bentuk, yaitu: a).

82
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Ūlū Al-‘Amr Perspektif Hamka

Hamka memiliki modal atau kapital berupa kompetensi penge­


ta­huan dan pemahaman yang lebih memadahi tentang ilmu-ilmu
keagamaan dibandingkan dengan masyarakat muslim awam. Berkat
pengharapan dan doa orang tua sewaktu Hamka masih dalam
kandu­ngan, ditunjang lingkungan Hamka yang sangat religius dan
cinta ilmu. Dalam diri Hamka melekat pula gelar tertinggi di dunia
akademik. Dia menjadi orang yang pertama kali diangkat menjadi
Doktor Honoris Causa (Dr. Hc.) dari universitas al-Azhar Mesir.42
Di samping ketinggian pengetahuan dan keluasan wawasannya,
Hamka terkenal kemampuan berorasinya, kelihaian menulisnya,
yang semuanya telah dibuktikannya dengan menjadi sosok yang
diakui di tengah-tengah masyarakat sebagai pendakwah khususnya
di kalangan Muhammadiyah,43 pernah menjadi juru kampanye yang
ulung saat pemilu tahun 1955. Dia juga diakui sebagai penulis,
jurnalis, dan sastrawan. Sejumlah karya-karyanya di berbagai
bidang, baik di bidang keagamaan maupun di bidang sastra, belum
lagi artikel-artikelnya yang banyak menghiasi lembaran-lembaran
di ber­bagai mass media adalah rekaman yang membuktikan akan
modal atau kapital yang dimilikinya. 44

Yang terintegrasikan ke dalam diri yaitu pengetahuan yang diperoleh selama studi dan yang
disampaikan melalui lingkungan sosialnya sehingga membentuk disposisi yang tahan lama, b).
Kapital budaya obyektif yang meliputi seluruh kekayaan budaya (buku, karya-karya seni), dan
c). Kapital budaya yang terinstitusionalisir, bisa berupa: gelar pendidikan yang dilegalkan oleh
institusi, menjadi anggota asosiasi ilmuwan prestisius. Ketiga, modal sosial berupa kemampuan
bekerjasama karena budaya kerjasama melahirkan kepercayaan. Semua dimensi sosial, organisasi,
institusi, keluarga, merupakan tempat tumbuhnya kapital sosial. Keempat, modal simbolik bisa
berupa: jabatan, mobil mewah, gelar, status tinggi, nama besar keluarga. George Ritzer dan
Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, terj. Alimandan (Jakarta: Prenada Media, 2004),
hlm. 525-526.
42 Hamka, Tafsir…, I: 62.
43 Http://id.wikipedia.org/wiki/Haji_Abdul_Malik_Karim_Amrullah.
44 Tercatat kurang lebih 90 (Sembilan puluh) judul buku yang telah ditulis Hamka semasa hidupnya,
baik berupa karya ilmiah bidang keagamaan, politik, tasawuf, tafsir, dan lain-lain. Juga karya-
karya seni kreatif seperti novel, cerpen, biografi, dan lain lain. Hamka juga tercatat sangat
berpengalaman memimpin redaksi majalah-majalah ke-Islaman, seperti: Mimbar Islam, Gema
Islam, Panji Masyarakat, dan lain lain. Lihat dalam Ibid.

83
Ulya Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

Hamka juga diakui sebagai sosok yang Islami dan teguh meme­
gang prinsip yang dianggapnya benar.45 Oleh karenanya dia pernah
diangkat menjadi pegawai tinggi di Departemen Agama, juga pernah
menjabat sebagai pemimpin tertinggi di lembaga fatwa nasional,
MUI, kendati pada akhirnya Hamka lebih memilih mengundurkan
diri dari kedua jabatan tersebut. Jika yang pertama disebabkan
ultimatum Soekarno yang membuat Hamka harus memilih di
antara 2 (dua) yaitu menjadi pejabat negara dan mengikuti aturan
presiden atau aktif di Masyumi dan bebas dalam gerakannya
memperjuangkan dasar Islam di Indonesia, dan Hamka memilih aktif
di Masyumi saja.46 Sedangkan yang kedua disebabkan karena fatwa
keharaman melakukan natal bersama bagi masyarakat muslim yang
disampaikannya pada tahun 1980-an.47 Dia lebih mempertahankan
pendapatnya ini dari pada mengakomodir kepentingan pemerintah
yang pada saat itu sedang bergulat dalam menumbuhkan kerukunan
beragama.
Ketinggian pengetahuan yang dimiliki Hamka, keluasan
pengalaman­nya, serta watak moral dan kepribadiannya seperti
dipapar­kan di atas telah membuat sebagian masyarakat muslim
Indonesia pembaca tafsirnya mewakilkan otoritas penafsiran
kepada­nya. Keterwakilan ini bukan bersifat derivatif dan bukan
berasal dari Tuhan, tetapi didapatkan dari para pembaca tafsirnya
yang melimpahkan kepercayaan mereka pada Hamka.48 Selanjutnya

45 Sikap tegas Hamka ini sebagaimana dia menyatakannya sendiri bahwa dia dalam memperjuangkan
ajaran Islam, dia hanya mengikuti garis tertentu, tidak membelok ke kanan atau ke kiri, yaitu
menyebarkan kata Allah dan kata Rasulullah menurut yang diyakininya, tidak membenci
pemerintah yang berkuasa tetapi tidak pula bersedia menjilat-jilat pemerintah, tidak mau pula
menyediakan diri mempermainkan agama untuk mencapai kerelaan manusia yang berkuasa.
Lihat, “Hikmat Ilahi” dalam Hamka, Tafsir…, I: 69-70.
46 Http://id.wikipedia.org/wiki/Haji_Abdul_Malik_Karim_Amrullah.
47 Azyumardi Azra, Historiografi..., hlm.279, 288.
48 Dalam bahasa otoritas, maka di sinilah telah terjadi pelimpahan otoritas atau peristiwa
keterwakilan dari wakil umum (common agents) yaitu masyarakat muslim awam kepada wakil
khusus (a special group/ a certain strata of agents), yakni mufassir. Masyarakat muslim atau wakil

84
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Ūlū Al-‘Amr Perspektif Hamka

mereka mengikuti apa yang difatwakannya. Di sinilah masyarakat


muslim Indonesia menempatkan Hamka sebagai juru bicara al-
Qur′ān, sekaligus yang mewakili Tuhan.
Dalam perjalanan sejarah Indonesia, setidak-tidaknya tafsir
Hamka ini telah disetujui oleh masyarakat muslim Indonesia,
yang kemudian mewujud, di antaranya dalam bentuk partai-partai
politik Islam paska era konstituante. Pada masa Orde lama dikenal
partai NU (Nahdatul Ulama), Parmusi (Persaudaraan Muslimin
Indonesia), PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia) , dan Perti
(Persatuan Tarbiyah Islamiyah). Pada masa Orde Baru dikenal PPP
(Partai Persatuan Pembangunan) sampai sebelum diberlakukan
Pancasila sebagai asas tunggal. Pada Orde Reformasi telah lahir
PPP dengan perwajahan baru, PBB (Partai Bulan Bintang), PMB
(Partai Masyumi Baru), PPIM (Partai Politik Islam Masyumi), PK
(Partai Keadilan) yang kemudian beralih nama menjadi PKS (Partai
Keadilan Sejahtera), dan lain-lain.49 Juga mewujud dalam beberapa
kelompok sosial-keagamaan, seperti: FPI (Front Pembela Islam),
MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), HTI (Hizbut Tahrir Indonesia)
, IMI (Ikhwanul Muslimin Indonesia).50 Kedua, baik partai atau
kelompok sosial-keagamaan tersebut, telah memproklamirkan diri
mereka sebagai partai atau kelompok yang memiliki visi menuju
negara Islam atau pemberlakuan ajaran-ajaran Islam sebagai
landasan gerakannya.
Tafsir Hamka ini tampaknya juga mengilhami sekelompok
masyarakat muslim yang menginginkan kembali masuknya Piagam
Jakarta yang sekarang mengejawentah dalam munculnya Peraturan-

umum menundukkan keinginannya dan menyerahkan sebagian keputusannya atas persoalan


tertentu kepada para wakil khusus. Khaled M. Abou el-Fadl, Speaking…, hlm.53.
49 Lili Romli, Islam Yes Partai Islam Yes: Sejarah Perkembangan Partai-Partai Islam di Indonesia
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar dengan Pusat Penelitian Politik – LIPI, 2006), hlm. 70-71; Luthfi
Assyaukanie, Ideologi hlm.137.
50 Baca lebih lanjut dalam situs-situs resminya: www.fpi.or.id; www.mmi.co.id; www.hizbut-tahrir.
or.id

85
Ulya Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

peraturan Daerah (Perda) berbasis syari’ah, seperti: di Sulawesi


Selatan, Nanggroe Aceh Darusssalam, Jawa Barat, Banten, Riau,
Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan di daerah-daerah lain
yang dikenal sebagai basis kekuatan masyarakat muslim.51
Keterkaitan sosial antara partai atau kelompok sosial-keagamaan
ini dengan Hamka memang masih menyisakan sebuah kajian
tersendiri sehingga harus dilakukan pelacakan secara lebih intensif
dan mendalam, kecuali untuk partai atau kelompok tertentu yang
secara sekilas menunjukkan pertaliannya,52 namun setidaknya
bahwa semua partai atau kelompok sosial-keagamaan yang sudah

51 Haedar Nashir, Gerakan Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia (Jakarta: Psap,
2007), hlm. 282-385.
52 Pertalian IMI dan partai-partai penjelmaan Masyumi dan PBB dengan Hamka barangkali
lebih jelas dibandingkan dengan lainnya. Data didapatkan bahwa Ikhwān al Muslimīn di Mesir
memiliki kedekatan dengan Masyumi dan Hamka sebagai salah satu eksponennya. Sebagaimana
dijelaskan bahwa Ikhwān al Muslimīn adalah salah satu jamaah atau kelompok umat Islam
yang semula berdiri di Mesir, 1928, dengan pemimpin Ḥasan al-Bannā, yang mengajak dan
menuntut ditegakkannya Syariat Islam, hidup di bawah naungan Islam seperti yang diturunkan
Allah kepada Rasulullah dan diserukan pada para salaf aṣ-ṣālih. Ikhwān al Muslimīn masuk ke
Indonesia melalui jamaah haji dan kaum pendatang dari Timur Tengah di sekitar tahun 1930. Pada
zaman kemerdekaan, Agus Salim pernah pergi ke Mesir dan mencari dukungan kemerdekaan.
Ikhwān al Muslimīn ini memiliki peran penting dalam proses kemerdekaan Republik Indonesia
karena atas desakan Ikhwān al-Muslimīn, negara Mesir menjadi negara pertama yang mengakui
kemerdekaan Republik Indonesia setelah dijajah selama 3,5 abad oleh Belanda. Kemudian Agus
Salim bersama H. Rasyidi menyampaikan terima kasih kepada Syaikh Ḥasan al-Bannā, pimpinan
Ikhwān al-Muslimīn, yang telah dengan kuat sekali menyokong perjuangan kemerdekaan
Indonesia. Ikhwān al-Muslimīn semakin berkembang di Indonesia setelah Muhammad Natsir
mendirikan partai yang memakai ajaran kelompok ini, yaitu partai Masyumi. Lihat dalam Http://
id.wikipediaorg/../Ikhwanul_Muslimin; seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa Hamka sendiri
adalah salah satu wakil konstituante dari Masyumi, sekaligus ideolog Masyumi. Lihat, Luthfi
Assyaukanie, Ideologi…, hlm.80; dalam perjalanan sejarahnya, di penghujung tahun 1950-an,
Masyumi dibredel oleh Soekarno, namun pada era reformasi, menjelang pemilu tahun 1999 ,
partai ini bermetamorfose dengan nama PMB dan PPIM. Selain itu PBB juga mendeklarasikan
partainya sebagai keluarga besar Masyumi. Oleh karena itu tidak mengherankan jika PBB, partai
yang didirikan oleh Yusril Ihza Mahendra ini, telah memilih halaman Masjid Agung al-Azhar
Kebayoran Baru, Masjid yang didirikan Hamka, sebagai tempat apel akbar pertama setelah PBB
dideklarasikan tanggal 17 Juli 1998. Lihat, Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca – Soeharto
(Jakarta: LP3ES, 2003), hlm.72-73, 66.

86
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Ūlū Al-‘Amr Perspektif Hamka

disebutkan di atas memiliki relevansi dan mewarisi gagasan Hamka.


Paling tidak, mereka terinspirasi dan mengambil wacana-wacana
seperti yang dikedepankan Hamka untuk melegitimasi putusan sikap
dan perilakunya.

F. Kesimpulan
Sebagai akhir pembahasan makalah ini maka perlu penulis
menegaskan bahwa tafsir ūlū al-amr versi Hamka sebagaimana
dijelaskan di atas, dikonstruk untuk merepresentasikan
perlawanannya terhadap ide-ide netral agama atau ide sekular yang
saat itu dibawa kelompok nasionalis yang tergabung dalam PNI, PKI,
dan lain-lain dengan meneguhkan ide besar kelompok Islam yang
tergabung dalam partai Islam Masyumi, yang mengusulkan negara
berdasarkan agama, yakni Islam, tanpa mengenal kompromi.
Meskipun Masyumi telah dibubarkan oleh pemerintahan Orde
Lama, ide besar Masyumi yang telah mendapatkan pendasaran
teologisnya dari Hamka tetaplah hidup sampai sekarang, bahkan
mengilhami, menginspirasi, dan menjadi landasan argumentatif
bagi sebagian umat muslim, siapapun, kapanpun, yang berada dalam
wilayah perjuangan dalam mencapai cita-cita yang sama. Pewarisan
ide Hamka ini telah merevitalisasi munculnya partai-partai
berasaskan Islam pada masa sesudahnya, menjadi akar bagi tumbuh
kembangnya gerakan-gerakan yang bercita-cita memberlakukan
ajaran Islam dalam kehidupan sosial- politik, menjadi dalil bagi
masyarakat muslim tertentu yang menghendaki formalisasi Islam
dalam kehidupan bernegara, dan akhirnya memicu mekarnya ide-
ide khilafah atau lahirnya kembali negara Islam. 53

53 Hal yang demikian pernah dilontarkan dengan tegas oleh Luthfi Assyaukanie bahwa di sepanjang
sejarahnya, gagasan negara Islam ini selalu berkaitan dengan Masyumi, dan Hamka adalah
salah satu eksponennya. Bisa dikatakan bahwa semua tokoh radikal yang muncul di masa paska
pemerintahan Soeharto juga memiliki kaitan secara langsung dan tidak langsung dengan DDII,
lembaga sosial Islam yang berkonsentrasi pada misi dan pengajaran Islam. DDII ini merupakan
kepanjangan tangan Masyumi setelah Masyumi dibubarkan. Abu Bakar Ba’asyir, pimpinan Jamaah

87
Ulya Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Al-Jābirī, Muḥammad ‘Ᾱbid, Takwīn al-‘Aql al-‘Arabī, Beirut: al-
Markaz aṡ-Ṡaqafī al-‘Arabī, 1991.
Amir, Zainal Abidin, Peta Islam Politik Pasca – Soeharto, Jakarta:
LP3ES, 2003.
Anshari, Endang Saifuddin, Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah
Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Repubik Indonesia
(1945-1949), Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
Assyaukanie, Luthfi, Ideologi Islam dan Utopia: Tiga Model Negara
Demokrasi di Indonesia, Jakarta: Freedom Institute, 2011.
Azra, Azyumardi, Historiografi Islam Kontemporer: Wacana,
Aktualitas, dan Aktor Sejarah, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2002.
Aż-Żahabī, Muḥammad Ḥusain, At-Tafsīr wa al-Mufassirūn, Jilid I,
Beirut: Dār al-Fikr, 1976.
Damami, Muhammad, Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka,
Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2000.
Effendi, Bahtiar , Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan
Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998.
El-Fadl, Khaled M. Abou, Speaking in God’s Name: Islamic Law,
Authority, and Women, Oxford: Onewordl, 2001.
Esack, Farid, Qur’an Liberation and Pluralism: an Islamic Perspective
of Interreligious Solidarity against Oppression, Oxford: Oneworld
Publications, 1997.

Islamiyah, dan Abdullah Sungkar, pimpinan Jamaah Islamiyah lainnya, adalah ketua DDII cabang
Jawa Tengah; Ja’far Umar Talib, pemimpin Laskar Jihat, adalah salah satu Khatib DDII yang
paling sukses, Tamsil Linrung, yang ditangkap di Philipina karena membawa peledak, adalah
juga pemimpin DDII. Lihat, Luthfi Assyaukanie, Ideologi…, hlm.20, 236, 237,243.

88
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Ūlū Al-‘Amr Perspektif Hamka

Foucault, Michel, Power/Knowledge, Brighton, UK: Harvester Press,


1980.
Gadamer, Hans Georg., Truth and Method, New York: The Seabury
Press, 1975.
Goodman, George Ritzer dan Douglas J., Teori Sosiologi Modern,
terj. Alimandan , Jakarta: Prenada Media, 2004.
Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz I, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2008.
-------, Tafsir al-Azhar, Juz V, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2008.
Hefner, Robert W., Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia,
terj. Ahmad Baso,Jakarta: Institut Studi Arus Informasi (ISAI)
Bekerjasama dengan The Asia Foundation, 2001.
Maarif, A. Syafii, Islam Kekuatan Doktrin dan Kegamangan Umat,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1997.
-------, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan
dalam Konstituante , Jakarta: LP3ES, 1987.
-------, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi
Terpimpin, (1959-1965), Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Muhsin, Amina Wadud, “Qur’an and Women” dalam Charles
Kurzman (ed.), Liberal Islam: a Sourcebook, New York, Oxford:
Oxford University Press, 1998.
-------, Wanita di dalam al-Qur’an, terj.Yaziar Radianti, Bandung:
Penerbit Pustaka, 1994.
Mustaqim, Abdul, Pergeseran Epistemologi Tafsir, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008.
Nashir, Haedar, Gerakan Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis
di Indonesia, Jakarta: Psap, 2007.
Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta:
LP3ES, 1996.
-------, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, Jakarta: Grafiti
Press, 1987.

89
Ulya Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

Palmer, Richard E., Hermeneutics: Interpretation Theory in


Schleiermacher, Dilthey, Heidegger and Gadamer, Evanston:
Northwestern University Press, 1969.
Pringgodigdo, A.K., Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, Jakarta:
Dian Rakyat, 1994.
Romli, Lili, Islam Yes Partai Islam Yes: Sejarah Perkembangan Partai-
Partai Islam di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar dengan
Pusat Penelitian Politik – LIPI, 2006.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan
Pemikiran, Jakarta: UI-Press, 1993.
Sugiharto, I. Bambang, “Foucault dan Posmodernisme” dalam Basis,
Nomor 01 – 02, Tahun ke-51, Januari –Februari 2002.
Sumaryono, E., Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta:
Kanisius, 1999.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur′an Departemen Agama
RI, Al-Qur′an dan Terjemahnya , Jakarta: Indah Press, 1994.

Internet
Http://id.wikipedia.org/wiki/Haji_Abdul_Malik_Karim_Amrullah.
Http://id.wikipedia.org/../Ikhwanul_Muslimin
www.fpi.or.id
www.hizbut-tahrir.or.id
www.mmi.co.id

90
TEOLOGI BENCANA
DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN

Abdul Mustaqim
UIN Sunan Kalijaga

A. PENDAHULUAN

S
alah satu persoalan yang sedang mendera masyarakat dewasa
ini adalah terjadinya berbagai bencana, mulai dari tanah
longsor, banjir di Jakarta, gempa bumi di Bantul, tsunami di
Aceh dan Mentawai Sumatera Barat, hingga meletusnya gunung
Merapi di Yogyakarta dan lain sebagainya. Bencana tersebut telah
mengakibatkan rusaknya harta benda, rumah dan pemukiman
warga. Bahkan puluhan ribuan korban jiwa meninggal dengan
mengenaskan, belum lagi duka nestapa para anggota keluarga yang
ditinggalkan.
Menangani persoalan bencana, sesungguhnya diperlukan berba­
gai pendekatan, tidak hanya pendekatan ekonomi, politik, atau
psikologi, melainkan juga diperlukan pendekatan teologis (baca:
agama). Telebih al-Qur’an juga diyakini sebagai sumber nilai tertinggi
bagi umat Islam, bahkan ia juga menjadi sumber inspirasi untuk
mencari solusi dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan
termasuk masalah bencana.
Abdul Mustaqim Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

Terkait dengan bencana, ternyata komentar masyarakat itu


beragam. Ada yang menganggap bahwa bencana itu merupakan
kutukan Tuhan, Dia sedang murka, karena perbuatan dosa dan
maksiat manusia. Ada pula yang memandangnya bahwa Tuhan
sedang menguji kesabaran manusia, sehingga ketika lolos dari
ujian ia akan meraih derajat yang lebih tinggi di sisi-Nya.1 Sebagian
yang lain berkata bahwa bencana itu terjadi karena Tuhan sedang
menegur (Jawa: menjewer) manusia, sebab terlalu jauh dari jalan
kebenaran, agar manusia kembali ke jalan lurus. Ada lagi yang
menganggap bahwa bencana itu muncul karena masyarakat banyak
melakukan bid’ah dan khurafat dengan melakukan sesaji, ruwatan
dan sebagainya. Bahkan ada pula menghubungkan terjadinya
bencana-bencana dengan pihak pemerintahan Presiden Susilo
Bambang Yudoyono yang dinilai tidak mampu menuntaskan kasus-
kasus besar yang melanda Indonesia.2
Pendek kata, pandangan masyarakat sangat beragam, mulai
dari yang terkesan sinis, blaming the victims, pesimis, hingga yang
sarat dengan muatan politis. Dari sinilah peneliti merasa perlu
merujuk kembali kepada al-Qur’an sebagai sumber dan sistem nilai
tertinggi dalam kehidupan, sebab agaknya tidak semuanya persepsi
masyarakat tersebut dapat dibenarkan secara teologis menurut
pandangan al-Qur’an. Tidak sedikit ayat-ayat al-Qur’an yang justru
menyatakan bahwa bencana menjadi bahan introspeksi diri bagi
umat manusia. Oleh sebab itu, riset ini penting dilakukan untuk
mencari rumusan teologi bencana yang lebih arif dan konstruktif
tentang hakikat bencana menjadi salah satu prasyarat bagi semangat
untuk bangkit kembali dari keterpurukan pasca bencana.

1 Komentar seperti itu, biasanya muncul dari kalangan pemerintah, misalnya komentar SBY dan
Sri Sultan Hamengkubuono ke X Yogyakarta ketika terjadi bencana Gempa bumi dan meletusnya
Merapi, tujuannya untuk menenangkan masyarakat.
2 Disarikan dari beberapa wawancara penulis dengan para korban gempa dan bencana Merapi di
Yogyakarta.

92
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Teologi Bencana dalam Perspektif Al-Qur’an

Kekeliruan pandangan teologis tentang hakikat bencana bisa


menyebabkan tindakan–tindakan yang tidak produktif.3 Sebaliknya
pandangan teologis yang optimis dalam menyikapi bencana
merupakan entri point yang baik dalam rekonstruksi pasca bencana.
Dalam teori Disaster Risk Management dikatakan bahwa bencana
terjadi akibat pertemuan ancaman dengan kerentanan masyarakat
setempat yang minus kapasitas yang tersedia.4
Al-Qur’an sendiri banyak menyebut istilah bancana dengan
berbagai term di mana masing-masing term memiliki aksentuasi
makna yang berbeda.5 Misalnya, terdapat kata mushîbah yang
terulang sepuluh kali.6 Ada pula term fitnah yang terulang tiga
puluh kali dalam al-Qur’an, dan term bala’, yang terulang enam kali
dalam al-Qur’an. Semua ayat-ayat tersebut mestinya perlu dipahami
secara holistik-tematik untuk menemukan konsepsi teologis yang
komprehensif tentang hakikat bencana, bagaimana menyikapinya,
serta apa pesan moral di balik bencana yang terjadi tersebut.
Sayang kitab-kitab tafsir yang beredar, baik klasik maupun
modern-kontemporer, cenderung masih parsial dalam menjelaskan
masalah bencana. Itu karena umumnya metode tafsir mereka
adalah metode tahlili yang bersifat atomistik, sehingga tidak
mam­pu merumuskan konstruksi teologi bencana secara holistik-
komprehensif. Untuk itu, merumuskan teologi bencana berbasis
ayat-ayat al-Qur’an secara tematik diharapkan akan mampu

3 Misalnya, ada sebagian warga yang nekad melakukan aksi bunuh diri dengan terjun ke sumur,
karena merasa tidak ada lagi harapan hidup, ketika terjadi gempa di Bantul Informasi dari seorang
informan di Bantul Yogyakarta saat terjadi Gempa Bumi Tektonik Sabtu 26, Mei 2006.
4 Lihat Stephan Baas, Disaster Risk Management Systems Analysis (New York: USA Press, 2008).
5 Dalam teori anti sinonimtas dikatakan bahwa,. Ikhtilâf al-`Ibârat mûjiban li’ikhtilâf al-maani fi
kull lughah. Artinya, perbedaan ungkapan pasti mendatangkan perbedaan maknanya, dalam
setiap bahasa. Abu Hilâl al-Askari, al-Furûq fil Lughah (Beirut: Dar al-Afaq al-Adikah, 1973),
hlm. 13-14.
6 Yaitu di Q.S al-Baqarah :156, Ali Imrân 165, al-Nisâ’ 62 dan 72, al-Mâidah: 106, al-Tawbah: 50,
al-Qashash: 47, al-Syura: 30, al-Hadîd 22, dan al-Taghâbun: 11.

93
Abdul Mustaqim Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

melahirkan pandangan teologis yang lebih konstruktif-optimis,


katimbang yang fatalistik dan pesimis. Hal ini jelas sangat penting,
karena al-Qur’an merupakan sumber nilai tertinggi bagi umat Islam
yang akan dijadikan sumber insiprasi, motivasi dan advokasi dalam
menghadapi masalah bencana.
Berangkat dari latar belakang di atas, ada beberapa problem
akademik yang hendak dijawab dalam artikel ini yaitu, Pertama,
bagaimana konstruksi teologi bencana menurut al-Qur’an, yang
kemudian akan dirinci sebagai berikut: 1) Term-term apa saja yang
dipakai oleh al-Qur’an untuk menyebut bencana? 2) Bagaimana
sebenarnya pandangan ontologis al-Qur’an terhadap bencana,
mengapa bencana itu bisa terjadi, apa faktor penyebab terjadinya
bencana menurut perspektif al-Qur’an? Dan apa pesan moral di balik
terjadinya bencana, serta tindakan apa saja yang perlu dilakukan
manusia untuk menghadapi terjadinya bencana?

B. METODOLOGI
Dalam riset ini penulis menempuh beberapa proses dan prosedur
dalam rangka menjawab problem akademik, sebagai berikut:
1. Kerangka Teori
Dalam khazanah Islam klasik, teologi selama ini sering dipa­
hami sebagai ilmu akidah atau ushuluddin yang berbicara tentang
sistem keyakinan Islam.7 Istilah teologi selama ini dipahami sangat
teosentris, artinya hanya membincang sejumlah konsep-konsep
untuk “mengurusi” Tuhan, misalnya apakah kalâmullâh itu qadîm
atau hadîts?, bagaimana sifat-sifat Tuhan, bagaimana keadilan
Tuhan, bagaimana menilai orang lain kafir atau mukmin dan
sebagainya, sementara persoalan manusia dan lingkungan nyaris
tidak disinggung.

7 Harun Nasution, Teologi Islam (Jakarta: UI Press 1986), hlm. ix

94
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Teologi Bencana dalam Perspektif Al-Qur’an

Dalam riset ini “teologi bencana” dipahami sebagai sebuah kon­


sep yang berbasis dari al-Qur’an, terkait dengan persoalan bencana,
yang dapat dijadikan landasan teologis dalam menghadapi bencana.
Untuk itu, dalam mengurai persoalan bencana peneliti menggunakan
teori teologi “antroposentris-fungsional”, yakni teologi sebagai
kekuatan iman yang sejalan dengan visi sosial emansipatoris. Teologi
yang berangkat dari kebutuhan kini, dari realitas kini dan tantangan-
tantangan yang dirasakan manusia di era sekarang, bukan dulu atau
nanti. Ruang lingkup teologi antroposentris-fungsional tidak hanya
pada persoalan keimanan, dalam arti sempit, tetapi lebih kepada
persoalan kemanusian yang dihadapi masyarakat kontemporer,
termasuk di dalamnya masalah bencana. Pendek kata, teologi
antroposentris-fungsional adalah teologi yang “ilmiah” dan secara
fungsional mampu menuntun dan membangkitkan masyarakat
dalam mengarungi kehidupan nyata.8
Dengan kerangka teori tersebut, maka dalam penelitian ini
akan dirumuskan konstruksi “teologi baru” tentang bencana, di
mana ia tidak hanya sekumpulan konsep dan keyakinan berkaitan
dengan persoalan ketuhanan, menyangkut nama, sifat, dan af ’alnya,
melainkan lebih berkaitan dengan persoalan kemanusiaan, termasuk
bagaimana memandang dan menyikapi bencana. Basis utama
teologi ini adalah kitab suci al-Qur’an, sedang logika dipakai untuk
mensistematisasi sehingga terbentuk konstruksi pengetahuan.
2. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode tafsir tematik kontekstual
dengan pendekatan hermeneutik. Inilah salah satu wujud konkret
dari kajian interkoneksi dalam kajian tafsir. Dan, kajian tafsir tematik
menjadi trend dalam perkembangan tafsir era modern-kontemporer.
Maka, sebagai konsekuensinya dalam model penelitian ini, peneliti

8 Lihat Hasan Hanafi, Min al-Aqîdah ila al-Tsaurah Juz I (Kairo: Maktabah Matbuli, 1991). Lihat
pula Abdul Hadziq, “Teologi Fungsional..” dalam Amin Syukur dkk. Teologi Terapan Upaya
Antispatif Terhadap Hedonisme Modern (Solo: Tiga Serangkai, 2003), hlm. 37.

95
Abdul Mustaqim Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

akan mengambil tema (maudlû’) tertentu yaitu bencana. Hal ini


berangkat dari asumsi bahwa dalam al-Qur’an itu terdapat berbagai
tema atau topik, baik terkait persoalan keimanan, gender, fikih,
etika, sosial, pendidikan, politik, filsafat, ekologi, seni dan budaya
dan lain sebagainya. Namun, ayat-ayat yang terkait dengan tema
itu, biasanya tersebar di berbagai ayat dan surat. Oleh sebab itu,
tugas peneliti adalah bagaimana mengumpulkan dan memahami
ayat-ayat yang terkait dengan tema bencana tersebut, --baik terkait
langsung maupun tidak langsung--, kemudian dikonstruksi secara
logis menjadi sebuah konsep yang utuh, holistik dan sistematis
dalam perspektif al-Qur’an.
Metode ini diyakini dapat mengeliminasi gagasan subjektif
penafsir. Setidak-tidaknya, gagasan “ekstra qur’ani” dapat dimini­
malisasi sedemikian rupa, sebab antara ayat satu dengan yang lain
yang terkait dengan tema didialogkan secara kristis, sehingga mela­
hirkan kesimpulan yang ‘obyektif ’.
Dalam hal ini penulis memilih metode tafsir tematik karena
beberapa alasan:
Pertama, sedikit sekali usaha yang dilakukan oleh para mufassir
klasik, tentang tema tertentu yang menggunakan tinjauan tafsir
tematik, sehingga gagasan al-Qur’an tentang tema tertentu sebagai satu
kesatuan belum dapat dideskripsikan secara utuh dan komprehensip.
Kedua, seperti dikatakan Fazlur Rahman, terdapat kesalahan yang
umum dalam memahami keterpaduan al-Qur’an, sehingga ia
cenderung dipahami secara atomistik dan parsial.9 Dengan kata lain,
metode tematik cukup menjanjikan untuk memperoleh pemahaman
yang holistik dan komprehensip yang benar-benar dideduksi dari
al-Qur’an. Ketiga, dengan lewatnya waktu, maka sudut pandang
yang berbeda dan pemikiran yang dimiliki sebelumnya (baca:
pra konsepsi atau al-âfâq al-musbiqah ) cenderung lebih menjadi
objek penilaian bagi pemahaman yang ‘baru’, daripada menjadi

9 Fazlur Rahman, Islam and Modernity (Chicago: The University Chicago Presd tth), hlm. 2-4

96
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Teologi Bencana dalam Perspektif Al-Qur’an

bantuan untuk memahami al-Qur’an.10 Dengan kata lain, prior texts


cenderung membawa ke arah subjektivitas mufasir yang berlebihan.
Meskipun produk tafsir ini tidak diragukan mampu menghasilkan
pandangan yang mendalam, akan tetapi sekali lagi gagasan itu tidak
diambil dari internal al-Qur’an itu sendiri, melainkan dari eksternal
al-Qur’an, yang bisa berupa ideologi penafsirnya atau hal lain yang
sebenarnya tidak ada kaitannya dengan pesan ayat al-Qur’an.
Metode tematik akan mampu mengontrol bias-bias idiologi
yang dipaksakan dalam penafsiran al-Qur’an. Sebab akurasi sebuah
penafsiran al-Qur’an dapat dilacak dengan mempertimbangkan
struktur logis dan hubungan ayat-ayat yang setema yang sedang
menjadi objek kajian. Dengan begitu, maka gagasan non qur’ani
dalam penafsiran al-Qur’an dapat diminimalkan sedemikian rupa.
Di sinilah sekali lagi, peran penting metode tematik yang ditawarkan
Fazlur Rahman dan telah diaplikasikan dalam buku Major Themes
of the Qur’an. Bahkan Farid Esack menilai bahwa karya tersebut
merupakan kontribusi yang sangat penting dari seorang modernis
kontemporer untuk kajian al-Qur’an secara tematik.11
3. Langkah-langkah Metodis
Adapun langkah-langkah metode tematik dengan modifikasi
seperlunya adalah sebagai berikut Pertama, menetapkan tema yang
akan dibahas, yakni tema tentang bencana. Kedua, menghimpun ayat-
ayat yang berkaitan dengan masalah bencana. Ketiga, menafsirkan
ayat-ayat tersebut secara cermat, baik aspek semantik, semiotik dan
bahkan hermeneutik, dengan mempertimbangkan struktur kalimat
dalam ayat serta aspek asbâbun nuzûlnya untuk menemukan makna
yang relevan kontekstual. Disamping itu penulis juga akan mencari
aspek hubungan atau korelasi ayat-ayat yang hendak ditafsirkan,
untuk menemukan akurasi makna yang hendak dicari. Di sinilah
teori ilmu munâsabah menjadi sangat penting Keempat, menyusun

10 Ibid., hlm 6-7


11 Farid Esack, The Qur’an: A Short Introduction (Oxford: Oneworld Publication, 2002) hlm. 5

97
Abdul Mustaqim Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

pembahasan dalam kerangka yang sempurna sesuai dengan problem


akademis dalam penelitian ini. Kelima, melengkapi dengan hadis-
hadis yang relevan dan penjelasan dari para ahli ekologi. Keenam,
mencermati kembali penafsiran ayat-ayat bancana tersebut secara
keseluruhan dan mencari pemaknaan yang relevan dan aktula untuk
konteks kekinian terkairt dengan masalah bencana, kemudian
membuat kesimpulan-kesimpulan secara holistik-komprehensif.12
Sedangkan pendekatan hermeneutik sebagaimana disinggung
oleh Roger Trigg sebagai berikut:”The paradigm for hermeneutics
is interpretation of the traditional text, where the problem must
always be how we can come to understand in our own context
something which was written in radically different situation“.13
Artinya, paradigma hermeneutik adalah suatu penafsiran terhadap
teks tradisional (klasik), di mana suatu permasalahan harus selalu
diarahkan bagaimana supaya teks tersebut selalu dapat kita pahami
dalam konteks kekinian yang situasinya sangat berbeda. Pendek
kata, pendekatan hermeneutik dipakai untuk menjelaskan dan
memahami ayat-ayat bencana dengan mempertimbangkan struktur
teks ayat, konteksnya, baik internal maupun eksternal, dan kemudian
melakukan kontekstualisasi untuk menemukan makna yang relevan
dan aktual dengan konteks kekinian.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Term-term Bencana dalam al-Qur’an
Term “bencana” dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan
disaster yang menurut kamus Cambridge Advanced Leaner’s
Dictionary diartikan sebagai an event which results in great harm,

12 Bandingkan dengan Abû Hayy al-Firmawi, al-Bidâyah fi al-Tafsîr al-Mawdlû‘i (Kairo: al-Hadarah
al-’Arabiyah, 1976), hlm. 49-50.
13 Dikutip dari Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm.
161.

98
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Teologi Bencana dalam Perspektif Al-Qur’an

damage or death, or serious difficulty.14 (Suatu peristiwa yang


mengakibatkan kerugian besar, kerusakan, atau kematian atau
kesulitan yang serius). Sementara itu, menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, term “bencana” merupakan bentuk kata benda yang
berarti sesuatu yang menyebabkan (menimbulkan) kesusahan,
kerugian, atau penderitaan; kecelakaan; bahaya. Term “bencana”
seperti itu semakna dengan musibah, yang diartikan sebagai kejadian
(peristiwa) menyedihkan yang menimpa. Misalnya dia mendapat
musibah yang beruntun, setelah ibunya meninggal, dia sendiri
sakit sehingga harus dirawat di rumah sakit. Contoh lain, musibah
(malapetaka; bencana) banjir itu datang dengan tiba-tiba.15
Di dalam al-Qur’an banyak ditemukan ayat-ayat yang terkait
dengan berbagai peristiwa bencana yang pernah menimpa, baik
umat-umat terdahulu maupun umat Nabi Muhammad Saw,
umumnya bencana tersebut ditimpakan kepada orang kafir yang
melakukan pelanggaran, seperti mendustakan para rasul dan kufur
terhadap ayat-ayat Tuhan. Diantara bencana-bencana yang pernah
terjadi adalah:
Pertama, bencana banjir yang menimpa kaum Nabi Nuh (Q.S.
al-Mukminun [23]: 27). Kedua, bencana hujan batu seperti yang
menimpa umat Nabi Luth. (Q.S. Al-A’râf [7]: 84). Ketiga, Bencana
gempa bumi atau (al-zalzalah) ini pernah terjadi pada umat Nabi
Musa (Q.S. (Q.S. al-A’râf [7]:155). Keempat, bencana angin topan
yang menimpa orang kafir pada waktu perang Khandaq (Q.S. al-
Ahzâb [33]:9).
Sedangkan term yang lazim dipakai untuk menyebut bencana
setidaknya ada tiga term pokok, yaitu: Pertama, al-bala’ yang berarti
ujian..Kata tersebut berasal dari empat huruf ba’-lam-ya’-wau, yang
secara morfologis berasal dari kata balâ-yablû-balwan wa balâ’an,

14 CambridgeAdvanced Leaner’s Dictibary, Thirth Edition (Cambridge: Cambridge University Press,


2008). entry disaster
15 Lihat http://kamusbahasaindonesia.org/bencana#ixzz2dBWi8hYI diakses 25 Agustus 2013.

99
Abdul Mustaqim Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

berarti: tampak jelas, rusak, menguji, dan sedih. Kata balâ’ dalam al-
Qur’an terulang enam kali. Bentuk jamaknya adalah balayâ, dengan
segala derivasinya dipakai dalam al-Qur’an sebanyak 33 kali, tersebar
dalam berbagai surat 16
Masing-masing makna dasar tersebut ternyata memiliki relasi
semantis yang sangat kuat. Misalnya bahwa kata balâ sebagai ujian
sengaja diberikan Allah Swt untuk menguji atau mengetes seseorang,
agar tampak jelas, atau untuk mengetahui kualitas objek yang diuji.
Itu sebabnya, kata bala’ lalu diartikan dengan cobaan atau ujian.17
Di sisi lain, bala’ yang menimpa manusia seringkali juga membawa
kesedihan dan kerusakan.18 Bukankah ketika seseorang tertimpa bala’,
secara piskologis umumnya juga sedih dan sering mengakibatkan
kerusakan material ?
Diantara makna balâ’ yang berarti ujian atau cobaan adalah
sebagaimana disebut dalam al-Qur’an:
ُ َۡ َۡ ۡ َ ِ ُ ۡ َ ۡ َ ۡ َ ّ ۡ َ ُ َّ َ ُ ۡ َ َ َ
‫وع َونق ٖص ّم َِن ٱل ۡم َو ٰ ِل َوٱلنف ِس‬‫ولبلونكم بِشءٖ مِن ٱلو ِف وٱل‬
َّ
َ ‫ٱلصٰب‬ ّ َ َ ٰ َ َ َّ َ
١٥٥ ‫ين‬ ِِ ‫ش‬
ِ ِ ‫ت وب‬ۗ ِ ‫وٱثلمر‬
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan
sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-
buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang
sabar. (Q.S. al-Baqarah [2]: 155)
Dalam al-Qur’an, term balâ’digunakan untuk menunjuk
pada ujian yang berupa kenikmatan, seperti kekayaan atau
kemuliaan. Term balâ juga dapat merujuk pada ujian yang
berupa keburukan, seperti kemiskinan, kematian kegagalan
dan sebagainya. Itulah mengapa dalam percakapan sehari-hari,

16 Ibn Faris, Mu’jam Maqâyis fi al-Lughah, hlm 134-135, Lihat pula Ahmad Warson, Kamus al-
Munawir, hlm. 118.
17 Ibn Manzhûr, Lisânul Arab, (Libanon: Dar Al-Kutub Al-ilmiyah, 2009), Vol. 14, hlm. 103.
18 Al-Râghib al-Asfihani, Mu’jam Mufradât Alfâdz al-Qur’ân (Beirut: Dar al-Fikr, tth), hlm. 59

100
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Teologi Bencana dalam Perspektif Al-Qur’an

sering dikatakan: ‫ هللا تعالى يبلي العبد بالء حسنا و بالء سيأ‬yang artinya
Allah menguji seorang hamba dengan ujian yang baik dan ujian
yang buruk.
Dalam ayat tersebut terdapat frasa walanabluwannakum (Dan
sungguh kami akan memberi bala’ kepada kalian). Kalimat tersebut
menggunakan fiil mudlari (bentuk sekarang atau akan datang).
Menurut para ulama Ulumul Qur’an, al-khithâb bil fi’il yadullu
‘alâ al-tajaddud wal hudûts (bahwa khitab dengan fiil mudlari’
menunjukkan peristiwa yang selalu mengalami pembaharuan)19
Hal itu memberi isyarat bahwa bala atau ujian dalam kehidupan
manusia ini akan terus berlangsung dan dialami oleh manusia.
Apabila manusia mampu menyikapinya dengan sikap terbaik dan
bersabar, niscaya akan dilimpahkan rahmat Tuhan dan digolongkan
sebagai orang-orang yang memperoleh petunjuk (Q.S. al-Baqarah
[2]: 157).
Term balâ’dengan makna ikhtibâr (ujian) yang menunjukkan
bentuk cobaan yang menyenangkan, misalnya dalam Surat al-Anfâl
[8] 17, yakni ketika umat Islam diberi kemenangan pada waktu
perang Badar. Dalam ayat tersebut, kemenangan dalam peperangan
disebut dengan kata balâ’an hasanâ (ujian kemenangan). Demikian
pula ketika Nabi Sulaiman diberikan berbagai kemuliaan berupa
kekayaan dan kekuasaan serta kemampuan berkomunikasi dengan
hewan/binatang (Q.S. al-Anfâl [27]:40). Sementara bala’ dalam
konteks yang tidak menyenangkan terungkap dalam kisah umat Nabi
Musa, ketika mereka diuji oleh Allah melalui Fir’aun yang menyiksa
mereka serta membunuh anak-anak mereka (Q.S al-Baqarah [2]:
49, al-A’raf [7]: 141, dan kisah Nabi Ibrahim ketika diuji oleh Allah
untuk menyembelih puteranya Isma’il (Q.S. al--Shaffât: 104-106).

19 Manna’ al-Qaththan, Mabâhits fi `Ulûm al-Qur’ân (ttp: Mansyurat lil Al-Ashr al-Hadis 1973),
hlm. 206.

101
Abdul Mustaqim Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

Kedua, terma term mushibah. Term mushibah adalah bentuk


ism al-fâ’il muannats terulang dalam al-Qur’an sebanyak sepuluh
kali. Term mushîbah berasal dari kata ashâba-yushîbu-ishâbatan-
mushîbun, yang berarti sesuatu yang menimpa (objek tertentu).
Adapun kata dasar dari ashâba adalah shâba, asalnya dari kata
shawaba, yang berarti benar atau tepat. Agaknya hal ini secara
semantis memberi kesan makna bahwa mushibah adalah sesuatu
yang menganai sasaran (objek) secara tepat, sehingga akan menun­
juk­kan kebenaran kualitas seseorang yang terkena mushibah.
Sisi lain, kata shâba yang berasal dari shawaba, shad-wawu-ba’
menunjukkan arti sesuatu yang turun secara kontinyu. Itu sebabnya
mengapa kata al-shawb dalam Bahasa Arab berarti hujan lebat yang
turun sacara terus-menerus, dan al-shayyab berarti awan yang
berpotensi menurunkan hujan lebat seperti dalam Q.S al-Baqarah
[2]: 19).20 Dari sini, dapat dipahami bahwa dalam kehidupan
manusia, muhibah bisa menimpa seseorang secara terus-menerus,
bagaikan hujan lebat yang turun terus-menerus.
Term “mushibah” telah menjadi istilah serapan ke dalam bahasa
Indonesia. Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) kata
musibah berarti kejadian atau peristiwa yang menimpa, malapetaka,
dan bencana. Dengan demikian, arti kata “musibah” dalam al-
Quran, relatif sama artinya dalam pengertian bahasa Indonesia,
sebagaimana dalam Q.S al-Baqarah [2]: 156). Kesimpulannya,
bahwa term musibah dalam al-Qur’an menyangkut segala macam
peristiwa petaka yang dapat menimpa umat manusia, baik mukmin,
kafir atau munafik. Term mushibah bisa berupa hal positip maupun
yang negatip, namun umumnya term musibah mengacu pada hal-
hal yang berupa petaka. Dalam teori semantik ini disebut dengan
penyempitan makna (tadlayyuq al-ma’na). Apapun perubahan
makna yang terjadi yang jelas musibah tidak pernah terjadi kecuali

20 Abû Hasan Ahmad ibn Fâris, Mu’jam Maqâyis al-Lughah (Beirut: Dar Ihya al-Turâts), hlm.556

102
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Teologi Bencana dalam Perspektif Al-Qur’an

atas izin Tuhan dan dalam pengetahuan-Nya, meski manusia juga


ikut terlibat dalam mengundang datangnya berbagai musibah, ketika
perilakunya tidak ramah lingkungan. (Q.S. al-Rum [30]:41).
Ketiga, term fitnah secara morfologis berasal dari kata fatana-
yaftunu-fitnah. Makna asalnya adalah memasukkan emas ke
dalam api atau membakar emas untuk menguji keaslian emas
atau ‫ادخال الذهب النارلتظهرجودته من ردائته‬.21. Term fitnah dengan
derivasinya, terulang sebanyak 64 kali dan tersebar di berbagai
surat dalam al-Qur’an.
Kata “fitnah” ketika sudah masuk ke dalam bahasa Indonesia
sering dipahami banyak orang secara parsial, sebagaimana tampak
dalam pengertian fitnah menurut KBBI ialah: perkataan bohong
atau tanpa berdasarkan kebenaran yang disebarkan dengan maksud
menjelekkan orang. 22 Sementara, term fitnah dalam al-Qur’an terkait
konteks bencana lebih dekat maknanya dengan ikhtibâr (ujian/
cobaan). Makna ini berarti sama dengan bala’, sebagaimana ketika
Allah menguji ibu Nabi Musa as. Perhatikan firman Allah Swt:
َ َ َ ۡ َ َ َ ُ ُ ُ ۡ َ َ ٰ َ َ ۡ ُ ُّ ُ َ ۡ َ ُ ُ َ َ َ ُ ۡ ُ
ٰٓ ِ ‫ك إ‬
‫ل‬ ٰ‫ش أختك فتقول هل أدلكم ع من يكفله ۖۥ فرجعن‬ ٓ ِ ‫إ ِ ۡذ َت ۡم‬
َ َّ َ َ ۡ َ َ ۡ َ َ ۡ َ َ َ َ َ ۡ َ َ َ َ ُ ۡ َ َّ َ َ ۡ َ َ ّ ُ
‫ت نف ٗسا ف َن َّج ۡي َنٰك م َِن ٱلغ ِّم َوف َتنٰك‬ ‫ن وقتل‬ ۚ ‫أمِك ك تقر عينها ول تز‬
٤٠ ‫وس‬
َ
ٰ َ ‫ت‬
ٰ َ ‫ع قَ َدر َي ٰ ُم‬ َ ‫ف أَ ۡهل َم ۡد َي َن ُث َّم ج ۡئ‬ َ ‫ونا ۚ فَلَب ۡث‬
َ ‫ت ِسن‬
ٓ ِ ‫ني‬ِ
ٗ ُُ
‫فت‬
ٖ ِ ِ ِ
Ketika saudaramu yang perempuan berjalan, lalu ia berkata kepada
(keluarga Fir’aun): “Bolehkah saya menunjukkan kepadamu
orang yang akan memeliharanya?” Maka Kami mengembali­
kanmu kepada ibumu, agar senang hatinya dan tidak berduka
cita. dan kamu pernah membunuh seorang manusia. lalu Kami
selamatkan kamu dari kesusahan dan Kami telah mencobamu
dengan beberapa cobaan; Maka kamu tinggal beberapa tahun
diantara penduduk Madyan. kemudian kamu datang menurut

21 Al-Raghib al-Ashfihani, Mu’jam Mufradati Alfadzil Qur’an,(Beirut: Dar al-Fikr, tth), hlm.385
22 Lihat KBBI entri “fitnah”

103
Abdul Mustaqim Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

waktu yang ditetapkan (yakni Nabi Musa a.s. datang ke lembah


Thuwa untuk menerima wahyu dan kerasulan) Hai Musa, (Thaha
[20]: 40)
Bencana yang menggunakan term fitnah dalam al-Qur’an, dapat
terjadi karena sesuatu hal yang disebabkan oleh perilaku diri sendiri,
sebagaimana contoh yang telah disebutkan dalam Q.S. al-Taubah
[9]: 49, bahwa mereka (orang-orang munafik ) karena permohonan
izinnya agar tidak ikut perang bersama Rasul,justru mereka malah
terjerumus kedalam fitnah. Maka dalam contoh ini mengisyaratkan
kepada kita bahwa tidak selamanya cobaan/fitnah itu datang dari
Allah Swt secara tiba-tiba dan tanpa sebab, melainkan ada perilaku
yang kita perbuat dalam kehidupan sehari-hari yang menyebabkan
Allah menurunkan fitnah atau cobaan tersebut. Maka hendaknya
kita selalu menjaga segala tingkah laku dalam kehidupan sehari-
hari dari perbuatan-perbuatan yang dimurkai oleh Allah, agar tidak
terkena fitnah yang dapat mendatangkan azab-Nya.
2. Pendangan Ontologis al-Qur’an tentang Bencana
Secara ontologis al-Qur’an memandang bahwa bencana itu
merupakan bagian dari sunnah kehidupan (min lawazim al-hayâh).
Hal ini sebagaimana diisyaratkan dalam firman Allah Swt:
َ ُ ُّ َ ۡ ُ ُ ۡ َ َ ۡ َ َ ۡ َ ۡ َ َ َ
ُ‫ك ۡم أ ۡح َس ُن َع َم ٗل ۚ َو ُه َو ۡٱل َعزيز‬ ‫ي‬ ‫أ‬ ‫م‬‫ك‬‫و‬ َ ‫َّٱلِي خلق ٱلموت و‬
َ ‫ٱلي ٰوة ِلَبل‬
ِ
ُ ‫ۡٱل َغ ُف‬
٢ ‫ور‬
Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu,
siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha
Perkasa lagi Maha Pengampun, (Q.S. al-Mulk [67]: 2).
Pendek kata, sebenarnya bencana itu menjadi “desain” Tuhan di
al-Lauh Mahfudz dan bencana tidak mungkin terjadi kecuali atas
izin Tuhan (Q.S. al-Taghabun [64]: 11) dan atas sepengetahuan-Nya.
Perhatikan firman Allah Swt:

104
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Teologi Bencana dalam Perspektif Al-Qur’an

َ َّ ۡ ُ ُ َ ٓ ََ َۡ َ ‫َما ٓ أَ َص‬
‫ب ّمِن‬
ٖ ٰ ‫ِت‬ ‫ك‬ ‫ف‬ ‫ل‬
ِ ِ ‫إ‬ ‫م‬ ‫ِك‬
‫س‬ ‫نف‬ ‫أ‬ ‫ف‬ِ ‫ل‬ ‫و‬ ِ
‫ۡرض‬ ‫ٱل‬ ‫ف‬ِ ‫ة‬
ٖ
َ ‫اب مِن ُّم ِص‬
‫يب‬
ٞ َ َّ َ َ َ ٰ َ َّ ٓ َ َ َ ۡ َّ َ ۡ َ
٢٢ ‫قب ِل أن نبأها ۚ إِن ذل ِك ع ٱللِ يسِري‬
Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu
sendiri, semuanya telah tertulis dalam kitab (lauh mahfudz)
sebelum kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu
mudah bagi Allah. Q.S Al-Hadid [57]: 22
Namun hal ini tidak berarti lalu manusia boleh menyalahkan
Tuhan, Manusia tidak boleh “mengkambing hitamkan” Tuhan
sebab semua perbuatan Tuhan adalah baik, sementara aktualisasi
terja­dinya bencana yang dalam konteks teguran atau siksaan lebih
disebabkan oleh perilaku manusia yang kufur terhadap Tuhan atau
menentang sunnatullah.Perhatikan firman Allah Swt:

٣٠ ‫ري‬ ‫ث‬
َ َ ْ ََُۡ ۡ ُ
‫ك‬ ‫ن‬ ‫ع‬ ‫وا‬ ‫ف‬ ‫ع‬ ‫ي‬ ‫و‬ ‫م‬ ‫ِيك‬
‫د‬ ۡ‫ت َأي‬
ۡ ‫يبة فَب َما َك َس َب‬ ُ َٰ َ َ ٓ َ َ
َ ‫كم ّمِن ُّم ِص‬ ‫وما أصب‬
ٖ ِ ِ ٖ
dan apa saja musibah yang menimpa kamu Maka adalah
disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaaf­
kan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). (Q.S. al-Syura;
42; 30)
Oleh karena itu, manusia perlu berbenah diri dan introspeksi
serta kembali ke jalan Tuhan agar bencana dalam konteks petaka
alam dapat dihindarkan seminimal mungkin.
3. Faktor Penyebab Bancana
Terdapat berbagai penyebab terjadinya bencana alam antara
lain adalah: Pertama, sikap takdzîb (mendustakan) terhadap ayat-
ayat Tuhan dan ajaran para rasul, sebagaimana dalam Q.S. Ali
Imran [3]:11 dan Q.S. al-A’raf [7]:64. Kedua, sikap zhalim berbuat
aniaya diri, sebagaimana dalam Q.S. al-Anfal [8]: 25. Ketiga, isrâf
(berlebihan-lebihan) dalam berbuat maksiat (Q.S. al-Araf [7]:
81) dan juga berlebihan dalam mengeksplotasi alam Q.S. al-Rum
[30]:41. Keempat, jahl (berlaku bodoh) termasuk ketika manusia

105
Abdul Mustaqim Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

mengetahui kebenaran, tetapi melanggarnya maka itu termasuk


jahl. Kebodohan dalam mengelola alam dengan berbuat kerusakan
di muka bumi juga dapat mengundang bencana. (Q.S. al-Baqarah
[2]: 11) dan Kelima, takabbur (sombong) (Q.S. Fushilat [41]: 15)
dan kufur nikmat. Q.S. al-Nahl [16]:112. Untuk itu, diperlukan sikap
arif dalam menghadapi bencana antara lain, bersabar, optimis, tidak
berputus asa dari rahmat Tuhan dan introspeksi diri.
4. Pesan Moral di Balik Bencana
Berbagai bencana yang menimpa manusia mengandung pesan
moral antara lain, pertama sebagai tanda peringatan Tuhan, bukankah
manusia sering lengah dan lupa? Maka dengan bencana sebenarnya
manusia diingatkan agar kembali ke jalan yang lurus. Kedua, sebagai
bahan evaluasi diri (muhasabah). Bencana mengandung pesan agar
manusia mau melakukan introspeksi diri. Apa yang salah selama ini,
jangan-jangan terdapat pandangan yang keliru tentang kehidupan
yang fana ini. Manusia begitu cinta terhadap dunia, hingga lupa
akan kehidupan akhirat. Padahal dunia ini sesungguhnya fana dan
tidak abadi. Betapa ketika terjadi bencana gempa bumi atau tsunami
misalnya hamper seluruh bangunan dan harta benda bisa lenyap dan
luluh lantak seketika. Itu dapat dijadikan introspeksi agar manusia
menyadari bahwa kehidupan dunia ini sementara dan fana.
Ketiga, bencana mengandung pesan tanda kekuasaan Allah
yang luar biasa. Manusia tidak boleh sombong dan pongah atas
segala prestasi yang dicapainya dalam pentask kehidupan dunia
ini. Mestinya manusia semakin tunduk dan tawadlu’ di hadapan
Tuhannya, dan semakin pandai bersyukur atas segala fasilitas di
dunia ini yang disediakan Tuhan. Namun seringkali ketika manusia
telah sukses, ia cenderung sombong.Tuhan tidak rela kalau baju
kesombongnNya diambil alih oleh manusia, sehingga bagi orang
beriman, bencana dapat dimaknai sebagai pesan bahwa kekuasaan
Allah sangat hebat. Dunia ini benar-benar dalam genggaman-Nya.
Wa allahu a’alam.

106
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Teologi Bencana dalam Perspektif Al-Qur’an

D. Kesimpulan
1. Teologi bencana adalah suatu konsep tentang bencana dengan
berbagai kompleksitasnya yang didasarkan pada pandangan
al-Qur’an. Menurut al-Qur’an term bencana dapat terwakili
dengan beberapa istilah, yaitu bala’ yang secara bahasa dapat
berarti jelas, ujian, rusak. Bencana yang diungkapkan dengan
term bala’ mempunyai aksentuasi makna bahwa bencana
itu merupakan bentuk ujian Tuhan yang sengaja diberikan
Tuhan untuk menguji manusia, agar tampak jelas keimanan.
Bala’ dapat berupa hal-hal yang menyenangkan , dapat pula
hal-hal yang tidak menyenangkan. Sementara itu, bencana
dengan term mushîbah lebih merupakan segala sesuatu yang
menimpa manusia yang umunya berupa hal-hal yang tidak
menyenangkan. Ketika terkait dangan hal-hal yang baik, maka
al-Qur’an menisbatkannya kepadaAllah, sementara ketika
musibah itu terkait dnegan hal-hal yang menyengsarakan, al-
Qur’an menyatakannya, bahwa hal itu akibat kesalahan manusia.
Maka musibah itu sesungguhya bisa sebagai ujian, bisa pula
sebagai teguran, bahkan juga bisa sebagai siksaan. Sedangkan
bencana disebut dengan fitnah, maka kecenderungan maknanya
adalah untuk menguji manusia. Bencana yang diungkapkan
dengan term fitnah lebih merupakan ujian untuk mengetahui
kualitas seseorang.
2. Secara ontologis al-Qur’an memandang bahwa bencana itu
meru­pakan bagian dari sunnah kehidupan, yang memang
telah menjadi “desain” Tuhan di al-Lauh Mahfudz. Bencana
tidak mungkin terjadi kecuali atas izin Tuhan dan atas sepenge­
tahuan-Nya. Namun hal ini tidak berarti lalu manusia hendak
menyalahkan Tuhan, sebab terdapat berbagai penyebab
terjadinya bencana alam antara lain adalah 1) sikap takdzîb
(mendustakan) terhadap ayat-ayat Tuhan dan ajaran para
rasul, 2) zhalim berbuat aniaya diri, tidak menempatkan

107
Abdul Mustaqim Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

sesuatu pada tempatnta 3) israf (berlebihan-lebihan) dalam


bermaksiat dan mengeksplotasi alam, 4) jahl (berlaku bodoh),
yakni tahu kebenaran dan kebaikan tetapi dilanggar. dan 5)
takbbur (sombong) dan kufur nikmat. Untuk itu, diperlukan
arif dalam menghadapi bencana antara lain, bersabar, optimis,
tidak berputus asa dari rahmat Tuhan dan introspeksi diri.
3. Berbagai bencana yang menimpa manusia mengandung pesan
moral antara lain sebagai tanda peringatan Tuhan, sebagai bahan
evaluasi diri, tanda kekuasaan-Nya dan teguran Tuhan buat
manusia supaya kembali ke jalan yang benar.

Daftar Pustaka
A.S. Hornby, CambridgeAdvanced Leaner’s Dictibary, Thirth Edition,
Cambridge: Cambridge University Press, 2008.
Asfihani, a-lRâghib al-, Mu’jam Mufradât Alfâdz al-Qur’ân Beirut:
Dar al-Fikr, tth
Askari, Abu Hilâl al-, al-Furûq fi al-Lughah , Beirut: Dar al-Afaq
al-Adikah, 1973.
Azhar, Muhammad, Wawasan Sosial Politik Islam Kontekstual,
Yogyakarta: UPFE, Universitas Muhammadiyah, 2005.
Baas, Stephan, Disaster Risk Management Sytems Analysis, New York:
USA Press, 2008.
Firmawi, Abû Hayy, al- al-Bidâyah fi al-Tafsîr al-Mawdlû‘I, Kairo:
al-Hadarah al-’Arabiyah, 1976.
Gracia, Jorge J.E. A Theory of Textuality: The Logic and Epistemology,
Albany: State University of New York Press, 1995
Hadziq, Abdul, “Teologi Fungsional..” dalam Amin Syukur dkk.
Teologi Terapan Upaya Antispatif terhadap Hedonisme Modern,
Solo: Tiga Serangkai, 2003.
Hanafi, Hasan, Min al-Aqîdah ila al-Tsaurah Juz I, Kairo: Maktabah
Matbuli, 1991.

108
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Teologi Bencana dalam Perspektif Al-Qur’an

Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama, Jakarta:


Paramadina, 1996.
Ibn Fâris, Abû Hasan Ahmad, Mu’jam Maqâyis al-Lughah Beirut:
Dar Ihya al-Turâts, tth.
Ibn Manzhûr, Lisânul Arab, Libanon: Dar Al-Kutub al-Ilmiyah, 2009.
Ibnu `Asyur, Muhammad Thahir, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Cet
I Beirut: Mu’assah al-Tarikh al-Arabi 2000.
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim Juz VIII, Ttp: Dar al-Tahyyibah
li al-Nasyr wa al-Tawzi’ 1999.
Jacquette, Dale, Ontology, McGill: McGill-Queen’s University Press,
2002.
Jurjawî, Imâm Ahmad ‘Alî, al-, Hikmah al-Tasyrî‘ wa Falsafatuh, Juz
II, .Beirut: Dar al- Fikr 1994.
Mustaqim, Abdul , Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta:
LKiS, 2008.
Nasution, Harun, Teologi Islam, Jakarta: UI Press, 1986.
Qaththan, Manna’ al-, Mabâhits fi `Ulûm al-Qur’ân ttp: Mansyurat
lil Al-Ashr al-Hadis, 1973.
Qurthubi, Syamsyuddin al-, al-Jami li Ahkam al-Qur’an Juz V, al-
Riyadl: Dar Alam al-Riyadl, 2003.
Ramli, Affan, “Teologi Bencana:Meluruskan Hubungan Tuhan
dengan Bencana”.
Râzi, Fakhruddîn al-, Mafâtih al-Ghaib, Juz XV, hlm. 367 dalam al-
Maktabah al-Syâmilah Edisi II
Shan’ânî, al-, Subul al-Salâm: Syarh Bulûgh al-Marâm min Jam’
Adillah al-Ahkâm, Jilid IV, Bandung: Dahlan, t.th.
Singgih, Gerrit , Menguak Isolasi Menjalin Relasi , Teologi Kristen
Tantangan Dunia Postmodern, Jakarta: Gunung Mulia, 2009.
__________, Mengantsipasi Masa Depan: Berteologi dalam Konteks
di Awal Milenium III. Jakarta: Gunung Mulia 2004.

109
Abdul Mustaqim Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

Syukur, Nico , Pustaka Teologi; Teologi Sistematika, Yogyakarta:


Kanisius, 2004.
Thabari, Ibn Jarir al-Jami’ al-Bayân Tafsîr al-Thabari Juz, 8, 9, 12,
13, 19, ttp: Mu`assasah Risalah 2000, dalam al-Maktabah al-
Syamilah ed. II.
Toynbee, Arnold , A Study of History, Oxford: Oxford University
Press, 1946.
Warson, Ahmad, Kamus al-Munawir, Yogyakarta: Pondok Pesantren
Krapyak, 1989.
Watt, Montgomery, Mohammad at Madina,, tttp: Clarendon Press
1988.
Zakaria. J. Ngelow dkk, Teologi Bencana Pergumulan Iman dalam
Konteks Bencana Alam dan Bencana Sosial, Makassar: Oase
Intim, 2006.
Zamakhsyari, al-, al-Kasy-syaf, Juz II, IV , dalam al-Maktabah al-
Syamilah, ed. II.
Zarkasyi, Ahmad Fathullah, Dirâsah fil Ilm al-Kalâm, Ponorogo:
Dar al-Salam 2006.
Zarkasyi, Badruddin Muhammad Ibnu Abdullah al-, al-Burhan fi
Ulum al-Qur’an, Jilid IV, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001.
http://kamusbahasaindonesia.org/bencana#ixzz2dBWi8hYI diakses
25 Agustus 2013.
http://gampoengmeuadat.blogspot.com/2007/10/teologi-bencana.
html
http://id.wikipedia.org/wiki/Asteroid
http://id.wikipedia.org/wiki/Bencana_alam

110
RESEPSI HERMENEUTIKA
DALAM PENAFSIRAN AL-QUR’AN
OLEH M. QURAISH SHIHAB:
Upaya Negosiasi Antara Hermeneutika
dan Tafsir al-Qur’anuntuk Menemukan
Titik Persamaan dan Perbedaan.

Muzayyin

“…tidak semua ide yang diketengahkan oleh berbagai aliran dan


pakar hermeneutika merupakan ide yang keliru atau negatif. Pasti
ada di antaranya yang baik dan baru serta dapat dimanfaatkan
untuk memperluas wawasan,bahkan memperkaya penafsiran,
termasuk penafsiran al-Qur’an.”
M.Quraish Shihab

A. Pendahuluan
Kajian kritis keagamaan lewat pendekatan hermeneutika1 dalam
konteks studi al-Qur’an banyak menarik perhatian kalangan

1 Hermeneutika berasal dari kata Hermenium (Bahasa Yunani) yang berarti penjelasan, penafsiran,
penerjemahan.Ada juga yang berpendapat bahwa kata tersebut diambil dari kata Hermes, yang
dalam mitologi Yunani merupakan sosok yang bertugas menyampaikan berita dari para dewa dan
bertugas menjelaskan maksudnya kepada manusia. Mengomentari sosok Hermes, banyak ulama
Muzayyin Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

kesarjanaan Muslim, khususnya mereka para pemerhati studi al-


Qur’an.2Diskursus ini menjadi menarik karena menghubungkan
antara hemerneutika sebagai metodologi pembacaan Bibel dengan
al-Qur’an sebagai firman Tuhan yang absolut,3 untuk diuji dan dikaji

maupun cendekiawan Muslim, seperti Sulaiman ibn Hassan ibn Juljul dalam Thabaqat al-Athibba’,
Muhammad Thaher Ibn ‘Asyur ketika menafsirkan QS.Maryam [19]; 56, Seyyed Hossein Nasher,
dalam Knowledge an the Sacred, dan masih banyak lagi lainnya berpendapat bahwa Hermes adalah
nabi Idris as. Quraish Shihab, menambahkan penjelasan tersebut, menurutnya penamaan Hermes
dengan Idris bisa jadi, karena menurutnya beliau adalah orang pertama yang mengenal tulisan
atau orang yang banyak belajar dan mengajar. Ini menunjukkan bahwa Hermes adalah orang
terpilih untuk menjelaskan pesan-pesan yang Mahakuasa kepada manusia. M. Quraish Shihab,
Kaidah Tafsir, (Tangerang:Lentera Hati, 2013). hlm. 402.
2 Gagasan perlunya penerapan metode hermeneutika dalam studi Al-Qur’an ini, begitu marak.
Seruan itu serempak disuarakan oleh para sarjana Muslim kontemporer, baik di negara-negara
Timur Tengah maupun belahan dunia Islam lainnya, termasuk juga di Indonesia. Sebagai contoh
para tokoh Arab kontemporer yang getol menyuarakan gagasan ini antara lain; Fazlur Rahman,
Muhammad Syahrur, Nasr Hamid Abu Zayd, Hassan Hanafi, Asghar Ali Engineer, Riffat Hasan,
Amina Wadud dan para tokoh lain dengan konsep-konsep barunya yang cenderung berbeda
dengan konsep para ulama terdahulu. Adapun dalam konteks di Indonesia sendiri, metode
hermeneutika ini telah ditetapkan sebagai mata kuliah wajib di jurusan Tafsir Hadis di beberapa
Perguruan Tinggi Islam seperti Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN
Sunan Gunung Djati Bandung, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Perguruan Tinggi lainya.
Bahkan bisa dikatakan, hermeneutika ini telah menjadi madzhab kampus mereka, karena kuatnya
pengaruh petinggi kampus yang mempromosikan paham ini. Misalnya, dalam acara workshop
di Hotel Santika Yogyakarta pada bulan Ramadhan 2005, yang dihadiri oleh para dosen dari
sejumlah kampus di Yogyakarta, materi yang paling pelik pembahasannya adalah materi tentang
hermeneutika. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa, “Bagi IAIN Yogya (sekarang UIN),
masalah hermeneutika sudah selesai. Istilahnya, “Pencarian kami sudah selesai dan ketemu dengan
hermeneutika”.Ada juga yang mengatakan bahwa, “Di kampus itu, penggunaan hermeneutika
untuk menafsirkan Al-Qur’an sudah menjadi harga mati”.Lihat, Adian Husaini dan Abdurrahman
al-Baghdadi, Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an (Jakarta: Gema Insani Press, 2007), hlm.2; lihat
pula Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi (Jakarta:
Gema Insani Press, 2006), hlm.134, 142.
3 Argumentasi tentang keabsolutan al-Qur’an sebagai firman Tuhan, yang mengatasnamakan
dirinya sebagai satu-satunya kitab yang terbebas dari segala unsur kesalahan dan perubahan,
ditegaskan oleh Tuhan dalam beberapa ayat-Nya, salah satunya ialah Q.S.al-Hijr:9 yang berbunyi;
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya”.Ayat ini memberikan jaminan tentang kesucian dan kemurnian al-Quran selama-
lamanya.

112
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Resepsi Hermeneutika

secara kritis.4 Pertanyaan pokok yang perlu diajukan kemudian


ialah apakah metodologi Bibel ini relevan ketika diterapkan
dalam al-Qur’an ?5jawaban atas pertanyaan ini sangatlah beragam
(interpretative) dan sarat dengan perdebatan (debatable). Jika
diklasifikasi paling tidak ada tiga kubu yang menanggapi persoalan
ini.pertama kubu yang menerima hermeneutika secara keseluruhan,
kedua, kubu yang menolak hermeneutika secara totalitas. ketiga, kubu
yang berusaha menengah-nengahi perbedaan pendapat tersebut
dengan mengatakan bahwa sebagian teori hermeneutika dipandang
acceptable dalam kajian keislaman. Oleh karena itu, menurut Sahiron
Syamsudin, argumentasi-argumentasi penerimaan dan penolakan
pun disusun dengan sedemikian rupa guna memperkuat posisi
masing-masing mereka.6

4 Ide ini juga tidak terlepas dari argumentasi yang disampaikan oleh al-Qur’an sendiri yaitu yang
siap menantang siapa saja yang masih meragukan kebenarannya untuk menciptakan suatu karya
sastra yang dapat menandingi dan menyamainya. Pada mulanya al-Qur’an menantang kepada
mereka yang tidak dapat mempercayai kebenarannya berasal dari Allah, agar dapat pula menyusun
sepuluh surat yang setara dengan sepuluh surat yang terdapat di dalamnya. Tantangan tersebut
bisa dibaca di surat Hud:13-14. Oleh karena mereka tidak sanggup menjawab tantangan tersebut,
maka dipermudah lagi menjadi satu surat saja, hal ini bisa dibaca di surat al-Baqarah:23. Al-Qur’an
juga mempertegas lagi ketidakmampuan mereka dalam menjawab tantangan ini, tetapi mereka
tidak mampu melakukannya. Oleh karena itu, tidak ada seorang pun yang mampu menyamainya
meskipun manusia dan jin bekerja sama. Hal ini ditegaskan dalam surat al-Isra’:88. Atas dasar
itulah, tantangan al-Qur’an menjadi arena diskursus yang sangat menarik perhatian beberapa
kalangan masyarakat dunia baik outsider maupun insider, khususnya para pengkaji al-Qur’an
untuk terus mengkajinya, memverifikasi, dan mengujinya dengan berbagai cara. Uraian mengenai
bagaimana Otentisitas al-Qur’an diuji oleh beberapa pembacaan kontemporer. Lihat Muzayyin,
“Menguji “Otentisitas Wahyu Tuhan” dengan Pembacaan Kontemporer: Telaah Atas Polemical
Studies Kajian Orientalis dan Liberal”. Jurnal Esensia. Vol.15:2, September 2014.
5 Menurut Amin Abdullah pendekatan ini bagi banyak orang cenderung dihindari.Mendengarnya
saja sudah antipati, alih-alih mau menggunakan hermeneutika untuk kajian akademik, misalnya
sosial keagamaan (al-Qur’an dan Hadits). Banyak hal yang dilekatkan terhadap hermeneutika;
Misalnya; predikat relativisme, pendangkalan akidah,pengaruh kajian biblical studies dilingkungan
Kristen. Lihat Amin Abdullah, “Pendekatan Hermeneutik dalam Studi Fatwa-fatwa Keagamaan”,
pada pengantar pada buku Atas Nama Tuhan: dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, Cet.I, Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta. 2004
6 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Pesantren
Nawesea Press, 2009). hlm. 1.

113
Muzayyin Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

Penting untuk diurai lebih lanjut mengenai argumentasi


yang dibangun oleh masing-masing mereka.Karena keterbatasan
penelitian, makadalam hal ini penulis hanya mengetengahkan dua
pendapat dari masing-masing kelompok tersebut.kubu yang kedua,
yaitu mereka yang menolak hermeneutika secara totalitas yaitu salah
satunya disebabkan oleh faktor teologis. Di antara pihak yang kontra
adalah Muhammad Mahmud Kalu dan Adian Husaini,.Mereka
menegaskan penolakannya dengan alasan bahwa hermeneutika
merupakan terminologi Barat yang awalnya digunakan untuk
menafsirkan Bibel. Penggunaan terminologi Barat tersebut dapat
membawa dampak buruk bagi keteguhan iman umat Islam tentang
status al-Qur’an, sebab otentisitasnya sebagai kalam Allah akan
tergugat.7 Al-Qur’an akan diperlakukan sama dengan teks teks yang
lain dan dianggap sebagai teks historis, padahal sebenarnya ia adalah
tanzil.8Adian Husaini dengan sikap ekstrim, mengatakan bahwa
hermeneutika telah tercemar dengan polusi ideologi Barat yang
kafir (kapitalisme sekuler). Karena sebenarnya hermeneutika bukan
produk tradisi keilmuan Islam, melainkan berasal dari tradisi Yahudi/
Kristen, yang kemudian hari diadopsi oleh para teolog dan filsuf
Barat modern menjadi metode interpretasi teks secara umum.9 Oleh
karena itu, Ilmu tafsir yang sudah mapan dalam Islam, masih tetap

7 Mahmud Kalu menegaskan perbedaan antara tafsir Bibel dan tafsir al-Qur’an.Keduanya memiliki
problem yang sangat mendasar.Sebab tafsir Bibel muncul untuk mengungkap problem-problem
validitas teks teks.Sementara tafsir al-Qur’an bertujuan untuk mengungkap makna-makna yang
tersimpul di balik teks yang diyakini sumbernya dari Tuhan. Mahmud Kalu, Al-Qira’at al-Mu’asirah
li al-Qur’an al-Karim fi Daw’i Dawabit al-Tafsir, (Syiria: Dar al-Yaman, 2009). hlm. 62.
8 Menurut Adian Husaini, tanpa memahami hakikat perbedaan antara teks al-Qur’an dan Bibel dan
metode penafsirannya, banyak sarjana yang telah latah menjiplak istilah-istilah yang digunakan
studi Bibel, seperti istilah “Islam fundamental”, “Islam eksklusif ”, “Islam radikal” dan sejenisnya,
yang diidentifikasikan sebagai orang-orang yang menafsirkan al-Qur’an secara tekstual atau literal.
Sebaliknya, kata Adian, kelompok yang berpaham liberal, inklusif dan pluralis adalah mereka
yang menafsirkan al-Qur’an secara kontekstual.Adin Husaini dan Abdurrahman al-Baghdadi,
Hermeneutika dan Tafsir al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani. 2007).hlm. 26.
9 Adian Husaini, Problem Teks Bibel dan Hermeneutika, Dalam Majalah Pemikiran dan Peradaban
Islam ISLAMIA,Tahun 1, No. 1 Maret 2004.hlm.

114
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Resepsi Hermeneutika

relevan untuk studi tafsir al-Qur’an sehingga tidak membutuhkan


“barang baru” seperti hermeneutika.10
Terakhir, kelompok yang ketiga ialah menengahi dari dua
model kelompok tersebut, dengan kata lain, mereka menengah-
nengahi perbedaan pendapat tersebut dengan mengatakan bahwa
sebagian teori hermeneutika dipandang acceptable dalam kajian
keislaman.11Kelompok ini cenderung melihat dari segi subtansi dari
model hermeneutika.Bagi kelompok ini, hermeneutika merupakan
ilmu yang telah mengalami perkembangan pesat melalui para
tokoh dan alirannya. Sahiron Syamsuddin, misalnya, menerima
penggunaan hermeneutika sebagai metodologi tafsir al-Qur’an
karena beberapa alasan sebagai berikut; Pertama, secara terminologi;
hermeneutika dalam arti ilmu tentang “seni menafsirkan” dan ilmu
tafsir pada dasarnya tidaklah berbeda. keduanya mengajarkan
bagaimana cara memahami dan menafsirkan teks secara benar
dan cermat. Kedua, aspek yang membedakan antara keduanya,
selain sejarah kemunculannya, adalah ruang lingkup dan obyek
pembahasannya: hermeneutika mencakup seluruh obyek penelitian
dalam ilmu sosial dan humaniora (termasuk di dalamnya bahasa
atau teks), sementara ilmu tafsir secara umum hanya berkaitan
dengan teks. Teks sebagai obyek inilah yang mempersatukan antara
hermeneutika dan ilmu tafsir.Ketiga, meskipun al-Qur’an diyakini
oleh umat Islam sebagai wahyu Allah secara verbatim dan Bibel
dipercaya kaum Kristiani sebagai wahyu Tuhan dalam bentuk
inspirasi, namun bahasa yang digunakan untuk mengkomunikasikan
pesan ilahi kepada manusia adalah bahasa manusia yang bisa diteliti
baik melalui hermeneutika maupun ilmu tafsir. Keempat, setelah
menelaah teori-teori hermeneutika Gadamer, Sahiron Syamsuddin

10 Adnin Armas, “Tafsir al-Qur’an atau Hermeneutika al-Qur’an”, dalam ISLAMIA, vol. 1:1 2004,
hlm. 45.
11 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Pesantren
Nawesea Press, 2009). hlm. 1.

115
Muzayyin Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

berkeyakinan bahwa teori-teori tersebut dapat memperkuat konsep


konsep metodis yang selama ini telah ada dalam ilmu tafsir.12
Berangkat dari uraian di atas, maka penulis dalam makalah ini
akan berusaha menspesifikkan kajiannya pada kelompok yang ketiga
yaitu kelompok yang menengahi dua kelompok sebelumnya, dengan
tokohnya M.Quraish Shihab. Pilihan atas M.Quraish Shihab tentunya
didasarkan atas beberapa hal: pertama, ada sisi keunikan bagaimana
seorang Quraish Shihab baru turut andil menuangkan gagasannya
dalam menyelesaikan persoalan ini, padahal isu ini sudah dibilang
cukup lama diperdebatkan di kalangan kesarjanaan Muslim. Kedua,
sikap toleran, dan moderat Quraish Shihab untuk bisa menerima
secara terbuka wacana keilmuan Barat (hermeneutika) dalam studi
al-Qur’an, tanpa harus menolak secara totalitas. Meski dengan
cara proses menyeleksi, mengoreksi, dan melakukan verivikasi,
mengambil salah satu yang cocok dan meninggalkan sebagian
lainnya yang tidak cocok untuk kajian al-Qur’an.

B. Sketsa Intelektual M. Quraish Shihab


Muhammad Quraish Shihab lahir di Rappang, Sulawesi
Selatan, pada tanggal 16 Februari 1944.Setelah menyelesaikan
pendidikan dasarnya di Ujung Pandang, dia melanjutkan pendidikan
menengahnya di Malang, di Pondok Pesantren Darul-Hadits al-
Faqihiyyah.Pada 1958, dia berangkat ke Kairo, Mesir, dan diterima di
kelas II Tsanawiyyah al-Azhar.Pada 1967, dia meraih gelar Lc. (S-1)
pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Hadits Universitas al-
Azhar. Kemudian dia melanjutkan pendidikannya di fakultas yang
sama pada tahun 1969 meraih gelar MA untuk spesialisasi bidang

12 Sahiron Syamsuddin, “Integrasi Hemeneutika Hans George Gadamer ke dalam Ilmu Tafsir,
Sebuah Proyek Pengembangan Metode Pembacaan al-Qur’an pada Masa Kontemporer,” Draft
Makalah pada “Annual Conference Kajian Islam” yang dilaksanakan oleh Ditpertais DEPAG RI
pada tanggal 26-30 November 2006 di Bandung, hlm. 9-10.

116
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Resepsi Hermeneutika

tafsir al-Qur’an dengan tesis yang berjudul Al-I’z Al-Tasyri’iy Al-


Qur’an Al-Karim.
Sekembalinya ke Ujung Pandang, Quraish Shihab dipercayakan
untuk menjabat Wakil Rektor bidang Akademis dan Kemahasiswaan
pada IAIN Alauddin, Ujung Pandang. Selain itu, dia juga diserahi
jabatan-jabatan lain, baik di dalam kampus seperti Koordinator
Perguruan Tinggi Swasta (Wilayah VII Indonesia Bagian Timur),
maupun di luar kampus seperti Pembantu Pimpinan Kepolisian
Indonesia Timur dalam bidang pembinaan mental. Selama di
Ujung Pandang ini, dia juga sempat melakukan berbagai penelitian;
antara lain, penelitian dengan tema “Penerapan Kerukunan Hidup
Beragama di Indonesia Timur” (1975) dan “Masalah Wakaf Sulawesi
Selatan” (1978).
Pada tahun 1980, Quraish Shihab kembali ke Kairo melanjutkan
pendidikannya di almamaternya yang lama, Universitas al-Azhar.
Pada tahun 1982, dengan Disertasi berjudul Nazhm Al-Durar Li Al-
Biqa’I, Tahqiq wa Dirasah, dia berhasil meraih gelar Doktor dalam
ilmu-ilmu al-Qur’an dengan yudisium Summa Cum Laude disertai
penghargaan tingkat I (Mumtaz Ma’a Martabat Al-Syaraf Al-‘Ula).
Sekembalinya ke Indonesia, sejak 1984, Quraish Shihab
ditugaskan di Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Pasca-Sarjana IAIN
Syarif Hidayatullah, Jakarta. Selain itu, di luar kampus, dia juga
dipercayakan untuk menduduki berbagai jabatan. Antara lain: Ketua
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984); Anggota Lajnah
Pentashih Al-Quran Departemen Agama (sejak 1989); Anggota
Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (sejak 1989), dan Ketua
Lembaga Pengembangan. Dia juga banyak terlibat dalam beberapa
organisasi profesional; antara lain: Pengurus Perhimpunan Ilmu-
ilmu Syari’ah; Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Departemen

117
Muzayyin Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

Pendidikan dan Kebudayaan; dan Asisten Ketua Umum Ikatan


Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).13
Dari seluruh karya tulis Quraish Shihab yang dianalisis Kusmana
ditemukan kesimpulan bahwa secara umum karakteristik pemikiran
keislaman Quraish Shihab adalah bersifat rasional dan moderat.
Sifat rasional pemikirannya diabdikan tidak untuk, misalnya,
memaksakan agama mengikuti kehendak realitas kontemporer, tetapi
lebih mencoba memberikan penjelasan atau signifikansi khazanah
agama klasik bagi masyarakat kontemporer atau mengapresiasi
kemungkinan pemahaman dan penafsiran baru tetapi dengan sangat
menjaga kebaikan tradisi lama.
Beliau juga terkenal sebagai penulis yang sangat produktif lebih
dari 20 buku telah lahir di tangannya. Diantaranya yang paling
legendaries adalah”membumikan Al-Qur’an,Lentera Hati,Wawasan
Al-Qur’an, dan Tafsir Al-Misbah.sosoknya juga sering tampil di
berbagai media untuk memberikan siraman ruhani dan intelektual.
Aktivitas utamanya sekarang adalah Dosen (Guru Besar) Pasca-
Sarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta dan Direktur Pusat
Studi Al-Qur’an (PSQ) Jakarta.14

C. Sejarah dan Aliran Hermeneutika dalam Tradisi Barat


Kemunculan hermeneutika memang tidak terlepas dari persoalan
mendasar yaitu terkait dengan otentisitas teks Bibel dan makna asal
yang terkandung di dalamnya.15Secara historis, Old Testament atau

13 M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 421.


14 M.Quraish Shihab, Lentera Al-Qur’an, Cet. I (Bandung: Mizan).hlm 5
15 Hermeneutika sebagai bagian dari metodologi Bibel ini muncul disebabkan Bibel memiliki
persoalan yang sangat mendasar seperti persoalan teks, banyaknya naskah asal, versi teks yang
berbeda-beda, redaksi teks, gaya bahasa (genre) teks dan bentuk awal teks (kondisi oral sebelum
Bibel disalin). Persoalan-persoalan tersebut melahirkan kajian Bibel yang historis-kritis.lihat.
Muzayyin, Pendekatan Historis-kritis dalam Studi al-Qur’an (Studi Komparatif terhadap Pemikiran
Theodor Noldeke dan Arthur Jeffery), TESIS, Program Studi Agama dan Filsafat, UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2015.

118
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Resepsi Hermeneutika

Perjanjian Lama yang disingkat dengan (PL),16 misalnya, hingga


saat ini masih menyimpan sejumlah persoalan penting khususnya
mengenai kepengarangan (authorship).17 Sebagaimana dikutip Adian
Husaini dalam The New Encyclopedia Britannica menjelaskan bahwa
hermeneutika adalah “the study of the general principle of Biblical
interpretation to discover the truths and values of the Bible” (studi
prinsip-prinsip umum tentang penafsiran Bibel untuk mencari

16 Perjanjian Lama (PL) adalah istilah yang diperkenalkan oleh penganut agama Kristen.Melito
(m. 190 M), seorang Pendeta dari Sardis mungkin orang Kristen pertama yang menyebut istilah
PL. Ia menyebutnya dalam bahasa Yunani kuno. Lihat. Stephen Bigger, “Introduction” dalam
Creating the Old Testament: The Emergence of the Hebrew Bible, editor Stephen Bigger (Oxford:
Basil Blackwell, 1989).hlm. xiii; Dalam bahasa Ibrani PL (Perjanjian Lama) terdiri dari tiga
bagian: Pentateuch (lima buku pertama dari PL), Nabi-nabi, dan Tulisan-tulisan, yang dianggap
Bangsa Yahudi sebagai dua puluh empat buku. Teks PL yang berbahasa Ibrani dikenal sebagai
teks Massoreti (Massoretic Text-MT).Liha James Hastings, D.D., Dictionary of the Bible (Second
Edition), T.&T. Clark, Edinburgh. hlm. 972; Ulasan secara mendalam mengenai definisi dan
pembahasan mengenai Teks Massoreti bisa dilihat dalam bukunya M. M. Al-A’zami, The History
of The Qur’anic Text From Revelation to Compilation: A Comparative Study with The Old and New
Testaments, (Leicester: UK Islamic Academic ,2003),hlm.238.
17 Richard Elliot Friedman, dalam bukunya, Who Wrote The Bible, menulis, “It is a strange fact that
we have never known with certainty who produced the book that has played a central role in our
civilization”, Menurut Friedman tidak seorang pun tahu tentang siapa yang menulis kitab ini.
Ia mencontohkan, the Book of Torah, atau The Five Book of Moses, diduga ditulis oleh Moses.
Book of Lamentation ditulis Nabi Jeremiah.Separoh Mazmur (Psalm) ditulis King David.Tetapi,
kata Friedman, tidak seorang pun tahu, bagaimana penyandaran itu memang benar. The Five
Book of Moses, kata Friedman, merupakan teka-teki paling tua di dunia (It is one of the oldest
puzzles in the world). Tidak ada satu ayat pun dalam Torah yang menyebutkan, bahwa Moses
adalah penulisnya.Sementara di dalamnya dalam teks-nya dijumpai banyak kontradiksi. Lihat.
Richard Elliot Friedman, Who Wrote The Bible, (New York: Perennial Library, 1989), hlm.15-17;
Hal serupa terjadi dalam New Testament atau Perjanjian Baru yang disingkat dengan (PB), yang
mana mengalami problem otentisitas teks. Bruce M. Metzger, guru besar bahasa Perjanjian Baru
di Princeton Theological Seminary, menerbitkan sebuah buku yang berjudul “The Text of The New
Testament: its Transmission, Corruption, and Restoration”, (Oxford University Press, 1985). Dalam
bukunya yang lain, berjudul “A Textual Commentary on the Greek New Testament”, (United Bible
Societies,1975), Merger menuliskan di pembukaan bukunya, ia menjelaskan ada dua kondisi yang
selalu dihadapi oleh penafsir Bible, yaitu pertama, tidak adanya dokumen Bible yang orisinil saat
ini, dan kedua, bahan-bahan yang ada pun sekarang ini berbeda satu sama lainnya. Ada sekitar
5.000 manuskrip teks Bible dalam bahasa Yunani, yang berbeda satu sama lainnya.lihat. Bruce M.
Metzger, a Textual Commentary On The Greek New Testament, (Stugard; United Bible Societies,
1975),hlm.xiii-xxi.

119
Muzayyin Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

kebenaran dan nilai-nilai kebenaran Bibel).18 Dengan demikian


para ahli Kristen Protestan sekitar tahun 1654 M. mendesak untuk
menggunakan hermeneutika sebagai alat atau seni penafsiran untuk
menguak kebenaran tentang problematika pengarang teks Bibel.19
Hal ini dibuktikan misalnya dengan banyaknya pengarang Bibel yang
mana hal itu berimplikasi pada hasil atau gaya teks yang beragam,
bahkan informasi yang bertolak belakang.20Persoalan pengarang ini
kemudian berimplikasi pada otentisitas Bibel itu sendiri.Bibel yang
diyakini sebagai textus receptus menurut sebagian peneliti dinilai
masih diragukan otentisitasnya.21 Penulis penulis Bibel diklaim telah
merubah struktur bahasa, gaya dan substansi ajarannya berdasarkan
asumsi-asumsi pribadi.22Sehingga dengan demikian, sukar untuk
membedakan mana yang benar-benar wahyu danmana yang bukan
karena banyaknya pengarang Bibel.23 Saint Jerome juga dikabarkan
mengeluhkan tentang fakta banyaknya penulis Bibel yang diketahui
bukan menyalin perkataan yang mereka temukan, tetapi malah
menuliskan apa yang mereka pikir sebagai maknanya. Kenyataan
semacam itu, kemudian cukup menyita pemikiran sebagian para

18 Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat Dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi Islam,
(Jakarta:Gema InsaniPress,2006).hlm.236
19 Salah satu motif dari penggunaan hermeneutika sebagai alat dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan
para cendekiawan Kristen Protestan terhadap penafsiran gereja atas teks perjanjian Lama dan
Baru. M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, hlm. 403
20 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir,.hlm.404
21 Mereka yang meragukan otentisitas Bibel di antaranya; Jerome, Abraham Ibnu Ezra, Thomas
Hobbes, Baruch Spinosa, Bruce M. Metzger, Richard Elliot Friedman dan lain-lain.
22 Kurt Aland and Barbara Aland mengatakan ”Until the beginning of the fourth century, the text of
the new testament developed freely…even for later scribes, for example, the parallel passages of the
gospels were so familiar that they would adapt the text of one gospels to that of another. They also felt
them selves free to make corrections in the text, improving ut by their own standart of corrections,
whether garammatically, stylistically, or more substantity” lihat: Kurt Aland And Barbara Aland
The Text Of the New Testament: An Introduction to the Critical Editions and to the Theory and
Practice of Modern Textual Criticism (Michigan: Grand Rapids, 1995), hlm.69.
23 Problem yang paling serius yang dihadapi oleh gereja di abad ke 19 ialah masalah
“authorship”(kepengarang).Lihat. Edgar Krentz, The Historical-Critical Method, (Philadelphia:
Fortress Press, 1975), hlm. 4.

120
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Resepsi Hermeneutika

teolog dan kalangan sarjana Barat untuk berfikir serius guna


menemukan solusi dalam menyikapi problem otentisitas teks Bibel
yang dianggap bermasalah tersebut.24
Ibn Hazm (994-1064 M), salah seorang pelopor pertama periode
pertengahan yang melakukan analisis kritisnya terhadap teks kitab-
kitab suci Perjanjian Lama dan Baru, terutama Kitab Torah dan Injil
sebagai sumber utama kajiannya.25Ia membandingkan ayat Kej. 4:2
dengan Kej.4:19-20, Ibn Hazm menemukan adanya perbedaan dalam
penyebutan nama orang yang pertama kali disebutkan menjadi
pemelihara ternak atau pengembala. Kej.4:2 menyatakan bahwa
Habel, putra Adam, adalah seorang pengembala kambing domba,
yang berarti pemelihara ternak. Tetapi dalam Kej. 4:19-20 disebutkan:
“Lamekh mengambil istri dua orang: yang satu namanya adalah Ada,
yang lain Zila. Ada itu melahirkan Yabal; dialah yang menjadi bapa
orang yang diam dalam kemah dan memelihara ternak”.Jadi, makna
ayat Kej. 4:2 dan 4:19-20 tersebut saling bertentangan, dan menurut
Ibn Hazm tidak ada jalan memadukannya.26
Inkonsistensi lain ditemukan berkenaan dengan sunat atau
khitan. Seperti disebutkan dalam Kej. 17:10-14, bagi setiap keturunan
dan generasi Abraham yang telah membuat perjanjian dengan
Tuhan sunat atau khitan harus dilakukan pada hari ke delapan
setelah kelahiran. Khitan merupakan tanda sekaligus bagian dari
pelaksanaan perjanjian tadi.Ditegaskan pula bahwa orang-orang
yang tidak disunat harus dilenyapkan yang berarti dibunuh karena
dianggap tidak melaksanakan perjanjian tadi.Tetapi, dalam Yos.5:2-

24 Sarjana Kristen yang melakukan analisa teks dan menolak textus receptus di antaranya; Lobegott
Friedrich Constantin Von Tischendorf (1815-1874), Samuel Prideaux Tregelles (1813-1875),
Henry Alford (1810-1871), Brooke Foss Westcott (1825-1901), dan lain-lain. Lihat. Bruce M
Metzger, The Text of the New Testament: Its Transmission, Corruption, and Restoration (Oxford:
Oxford University Press, 1968), hlm.124-146.
25 Djam ‘annuri, BIBLE: dalam Pandangan Seorang Muslim Analisis Kritis Teks Kitab Torah dan Injil,
Yogyakarta: PT.Kurnia Kalam Semesta, 1998), hlm. 5
26 Ibn Hazm, al-Fasl fi al-Milal wa al-Ahwa’ wa al-nihal, Cet. I (Toronto:al-Qhirah,1899).hlm. 121.

121
Muzayyin Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

7 disebutkan bahwa orang orang Israel yang dilahirkan di padang


gurun dalam perjalan mereka sejak keluar dari Mesir tidak disunat.
Empat puluh tahun lamanya mereka mengarungi padang pasir, dan
selama itu pula keharusan sunat tidak dilaksanakan. Sesuai perintah
Tuhan, Yosua melaksanakan kembali ketentuan khitan tadi bagi
orang orangnya sewaktu mereka berada di Gilgal sebelum memasuki
Tanah Suci dan berperang melawan musuh. Menurut Ibn Hazm,
pernyataan bahwa orang-orang Yahudi yang lahir dalam perjalanan
sejak keluar dari Mesir menuju Tanah Suci tidak disunat, memberi
pengertian bahwa Musa tidak melaksanakan atau telah melanggar
perjanjian yang dibuatnya dengan Tuhan. Musa, menurut Ibn Hazm,
tentu tidak mungkin mengabaikan dan melanggar ketentuan khitan
tadi, sebab Tuhan sangat menekankan pelaksanaannya.27
Aliran hermeneutika pada dasarnya sangat beragam. Menurut
Sahiron Syamsuddin, dengan beragamnya aliran tersebut, dalam satu
aliran bisa saja terdapat model-model pemikiran yang bervariasi
yang saling melengkapi satu terhadap yang lainnya. Dengan kata
lain, masing-masing pemikir memiliki tipikal pemikirannya
sendiri. Namun bila dilihat dari segi pemaknaan terhadap objek
penafsirannya, maka aliran Hermeneutika diklasifikasikan menjadi
tiga aliran utama:
Pertama, Hermeneutika Teoretis. Problem hermeneutisnya
adalah metode ini mempersoalkan metode apa yang sesuai untuk
menafsirkan teks sehingga mampu menghindarkan seorang penafsir
dari kesalahpahaman.28 Dengan kata lain, bentuk hermeneutika
seperti ini menitikberatkan kajiannya pada problem pemahaman,
yakni bagaimana memahami dengan benar. Sedangkan makna
yang menjadi tujuan pencarian dalam hermeneutika ini adalah
makna yang dikehendaki oleh penggagas teks. Oleh karena itu,

27 Ibid., hlm.205.
28 Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan. (Jakarta: TERAJU,2002).hlm.34

122
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Resepsi Hermeneutika

hermeneutika model ini dianggap juga sebagai hermeneutika


romantis yang bertujuan untuk merekonstruksi makna.29Adapun
tokoh-tokohnya ialah Schleiemacher, W. Dilthey dan Emilio
Betti.30 Sahiron Syamsuddin memasukkan kelompok ini ke dalam
aliranObjektivis.31
Kedua, Hermeneutika filosofis. Problem utama dari herme­
neutika model ini bukanlah bagaimana memahami teks dengan benar
dan objektif sebagaimana hermeneutika teoritis.Problem utamanya
adalah bagaimana “tindakan memahami” itu sendiri.Tokoh-
tokohnya ialah Heideger, Jorge Gracia, dan Gadamer.32Gadamer
berbicara tentang watak interpretasi bukan teori interpretasi.
Karena itu, dengan mengambil konsep fenomenologi Heideger
tentang das Sein (ke-ada-annya di dunia), Gadamer menganggap
hermeneutikanya bertujuan sebagai risalah ontologi, bukan
metodologi.Dalam rumusan hermeneutikanya, Gadamer menolak
anggapan hermeneutika teoritis yang menganggap hermeneutika
bertujuan menemukan makna objektif. Gadamer menggap
tidak mungkin diperoleh pemahaman objektif dari sebuah teks
sebagaimana digagas para penggagas hermeneutika teoritis, karena
dua alasan pertama, orang tidak bisa berharap menempatkan dirinya
dalam posisi pengarang asli teks untuk mengetahui makna aslinya.
Kedua, memahami bukanlah komunikasi misterius jiwa-jiwa di
mana penafsir menggenggam makna teks yang subjektif. Memahami
menurutnyaadalah sebuah fusi horizon-horizon: horizon penafsir

29 Aksin Wijaya. Arah Baru Studi Ulum al-Qur’an. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009).hlm.185-6.
30 Uraian lebih rinci mengenai teori hermeneutika yang dikembangkan oleh ketiga tokoh tersebut
bisa dilihat dalam Aksin Wijaya. Arah Baru. hlm.186; Fahruddin Faiz, Hermeneutika. hlm. 8;
Ilham B. Saenong, Hermeneutika.hlm. 34.
31 Aliran Objektivis yaitu aliran hermeneutika yang lebih menekankan pada pencarian makna
asal dari obyek penafsiran (teks tertulis, teks diucapkan, prilaku, simbol-simbol kehidupan dll.).
Jadi, penafsiran disini adalah upaya merekonstruksi apa yang dimaksud oleh pencipta teks. Lihat
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an (Yogyakarta: Pesantren
Nawesea Press, 2009), hlm. 26.
32 Fahruddin Faiz, Hermeneutika, hlm. 8.

123
Muzayyin Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

dan horizon teks.33Sahiron Syamsuddin menggolongkan model


hermeneutika yang dikembangkan oleh Gadamer ini kepada aliran
Objektivis-cum-Subjektivis.34
Ketiga,Hermeneutika kritis. Hermeneutika model ini bertujuan
untuk mengungkap kepentingan35 di balik teks.Hermeneutika
kritis memberikan kritik terhadap model hermeneutika seperti
disebutkan sebelumnya.Menurut pendirian hermeneutika kritis, baik
hermeneutika filosofis maupun hermeneutika teoritis, mengabaikan
hal-hal di luar bahasa seperti kerja dan dominasi yang justru sangat
menentukan terbentuknya konteks pemikiran dan perbuatan.36
Adapun concern dari hermeneutika kritis bukan untuk mengklarifikasi
kebenaran tersebut, tetapi untuk mendemistifikasi. Dengan kata lain,
teks lebih banyak dicurigai daripada diafirmasi, dan tradisi bisa jadi
menjadi tempat persembunyian kesadaran palsu.37Tokohnya ialah
Habermas.Sahiron Syamsuddin menempatkan model hermeneutika
kritis ke dalam aliran subjektivis.38

33 Aksin Wijaya. Arah Baru, hlm. 189-190.


34 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika, hlm. 26.
35 Menurut Paul Ricoeur, ada tiga bentuk kepentingan yang ditelusuri Habermas. Pertama,
kepentingan teknis atau kepentingan instrumental yang menguasai ilmu pengetahuan empiris
analitis; kedua, teknis dan praksis, yakni ranah komunikasi intersubjektif yang menjadi wilayah
ilmu pengetahuan historis-hermeneutis; ketiga, kepentingan emansipasi, yang menjadi wilayah
garapan ilmu sosial kritis, Paul Ricoeur, Hermeneutika Ilmu Sosial, terj. Muhammad Syukri,
(Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2006). hlm. 108-111.
36 Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy and Critique,
(London: Routledge and Kegan Paul, 1980). hlm. 3.
37 Ilham B. Saenong, Hermeneutika. hlm. 42-43.
38 Aliran Subjektivis ialah aliran yang lebih menekankan pada peran para pembaca/ penafsir dalam
pemaknaan terhadap teks.Menurutnya, pemikiran-pemikiran dalam aliran ini terbagi menjadi
tiga.Ada yang sangat subjektivis, yaitu ‘dekonstruksi’ dan reader-response critism.Ada yang agak
subjektivis seperti post-strukturalisme dan ada yang kurang subjektivis, yakni strukturalisme.
Lihat. Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika. hlm. 26.

124
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Resepsi Hermeneutika

D. PandanganM. Quraish Shihab Tentang Relevansi Herme­


neutika dalam Pengembangan Studi al-Qur’an
1. Problem Otentisitas al-Qur’an dan Bibel.
Sebelum membahas tentang bagaimana argumentasi M. Quraish
Shihab mengenai hermeneutika39 dalam pengembangan ilmu al-
Qur’an, maka terlebih dahulu akan dijelaskan tentang kedudukan al-
Qur’an dan Bibel, sebab dua kitab ini menjadi objek sekaligus sumber
inspirasi bagi sebagian para pakar dalam penerapan hermeneutikanya.
Persoalannya adalah apakah al-Qur’an menghadapi problem
ontologis sebagaimana halnya Bibel? Menjawab pertanyaan tersebut,
M. Quraish Shihab berpendapat bahwa Bibel (Perjanjian lama dan
Baru) berbeda dengan al-Qur’an.Pemahaman ini menurutnya diakui
oleh cendekiawan Kristen sendiri.Perbedaannya bukan hanya dari
segi sifat kitabnya, melainkan juga sejarah dan otentistasnya.40
Perbedaan yang sangat menonjol antara al-Qur’an dan Bibel dari
segi bahasa.Kalau al-Qur’an yang ditulis dan dibaca sejak turunnya
hingga sekarang merupakan bahasa aslinya, tidak demikian halnya
dengan Bibel.Ada dugaan keras bahwa bahasa asal Bibel adalah
Ibrani untuk perjanjian Lama dan Yunani untuk perjanjian Baru.
Sementara Yesus sendiri berbicara dengan bahasa Aram. Oleh karena
itu, Bibel kemudian diterjemahkan secara keseluruhannya ke dalam
bahasa Latin, lalu ke dalam bahasa-bahasa Eropa yang lain, seperti

39 Menurut Quraish Shihab, Hermeneutika adalah alat-alat yang digunakan terhadap teks dalam
menganalisis dan memahami maksudnya dan menampakkan nilai yang dikandungnya. Dengan
kata lain, ia adalah cara kerja untuk memahami suatu teks baik teksnya yang terlihat nyata atau
yang kabur, bahkan yang tersembunyi akibat perjalanan sejarah atau pengaruh ideologi dan
kepercayaan. Oleh karena itu, ketika seorang hermeneut berusaha menerapkan hermeneutika,
seolah ia bagaikan menggali peninggalan lama atau fosil yang hidup yang berada pada ratusan
tahun yang lalu. Adapun persoalan pokok yang dibahas dalam hermeneutika ialah teks-teks
sejarah atau agama baik hubungannya dengan adat, budaya, serta hubungan peneliti dengan
teks itu dalam konteks melakukan studi kritis atasnya.lihat. M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir,.
hlm.401-402
40 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, hlm. 431.

125
Muzayyin Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

Jerman, Inggris, Prancis, dan lain-lain termasuk bahasa Indonesia


yang banyak mengambil dari Bibel berbahasa Inggris. Karena tidak
ada seorangpun saat ini yang native dalam bahasa Hebrew kuno,
maka untuk memahami bahasa Hebrew Bible itu, para teolog Yahudi
dan Kristen memerlukan bantuan bahasa yang serumpun dalam
bahasa semit, yakni bahasa Arab.41
Dengan menyadari fakta atas Bible tersebut, para cendekiawan
Barat menilai Bibel sebagai produk budaya yang mengandung
kesalahan-kesalahan dalam sebagian informasinya serta perten­
tangan-pertentangan dengan hakekat ilmiah yang berkembang tetapi
enggan ditafsir ulang oleh Gereja. Quraish Shihab menyebutkan
pertentangan itu, misalnya, pertentangan antara gereja dan ilmuan.
Sikap ilmuan ini mengantar mereka tidak segan menyatakan bahwa
ada yang keliru dalam Bibel dan bahwa autentisitasnya diragukan
sehingga para tokoh hermeneutika berpesan agar bersikap hati-hati
menghadapi atau mencurigai teks.42
Namun, kenyataan-kenyataan yang terjadi dalam Bibel tersebut
jauh berbeda dengan apa yang terjadi dalam al-Qur’an. al-Qur’an
menurut Quraish Shihab tidaklah demikian. Cendekiawan Muslim
meyakini al-Qur’an autentik dan bersumber dari Allah, semuanya
benar, kata demi kata, masing-masing pada tempatnya, sedang
teksnya sedikit pun tidak berubah. Sikap ini bukan saja karena iman
dan kepercayaan tentang jaminan yang diberikan Allah (baca:QS.
Al-Hijr:9), tetapi juga berdasar pada argumentasi-argumentasi
ilmiah dan sejarah.
Argumentasi lain yang disampaikan oleh Shihab ialah al-Qur’an
yang ada di tangan kita saat ini tidak berbeda lafaznya dengan apa
yang disampaikan oleh malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad,
tidak juga dengan apa yang dibaca dan disampaikan oleh Nabi

41 Ibid,. hlm. 433


42 Ibid., hlm.433

126
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Resepsi Hermeneutika

saw kepada umat manusia, dan bahwa Nabi Muhammad tidak


memiliki sedikitpun ketrlibatan dalam hal al-Qur’an, kecuali dalam
penyampaian dan penjelasan maknanya.43
2. Argumentasi al-Qur’an Sebagai Produk Budaya
Sebagai true believer, Shihab memiliki keyakinan penuh bahwa al-
Qur’an adalah kalam Allah yang tidak dapat disentuh oleh kabatilan
dan kesalahan dari aspek manapun. Pandangan tersebut diikuti oleh
kebanyakan Muslim sebagai konsekuensi keimanan mereka akan
firman Tuhan. Mengingkarinya sebagai kalam Tuhan, maka sama
artinya dengan keluar dari Islam. Meski demikian, tidak menutup
kemungkinan bahwa masih ada pendangan yang mempersepsikan
al-Qur’an secara lebih radikal. Dalam konteks ini, Shihab melakukan
kritik terhadap pandangan salah seorang hermeneut Muslim, Nasr

43 Ibid., hlm. 438; ada pendapat yang terlihat ekstrim, mengatakan bahwa ada keterlibatan Nabi dalam
proses penyampaian wahyu, uraian berikut akan memperjelas hal itu, aksin Wijaya dalamkaryanya
berjudul Arah Baru Studi Ulum al-Qur’an: Menburu Pesan Tuhan di Balik Fenomena Budaya, ia
menuliskan bahwa bahwa lancarnya penerimaan pesan Tuhan oleh masyarakat Arab tidak lain
karena “Muhammad” membahasakan pesan Tuhan yang awalnya menggunakan bahasa non-
ilmiah dalam bentuk parole Tuhan itu dengan sistem bahasa ilmiah yang digunakan masyarakat
Arab sebagai audiens awal. Dia menyatakan dengan tegas bahwa Muhammad berperan besar
dalam pemilihan bahasa ini.Dalam pandangan Aksin wahyu dalam konteks ini mulai mengalami
“naturalisasi”.Oleh karena itu, Pernyataan bahwa al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad baik lafal dan maknanya sebagaimana yang dipahami oleh para ulama seperti Az-
Zarqani, As-Suyuti, dan Manna’ Kholil al-Khattan ditolaknya. Sebab, menurut Aksin perdebatan
tentang apakah lafadz dan makna wahyu berasal dari Tuhan atau Muhammad yang menunjuk
pada realitas supranatural dalam parole Tuhan atau di lawh al-Mahfudz merupakan perdebatan
yang tidak pada tempatnya, sebab hal itu wilayah supra-natural itu berada di luar jangkauan
kapsitas akal manusia.lihat, Aksin Wijaya, Arah Baru, hlm. 86-89.

127
Muzayyin Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

Hamid Abu Zayd,44 yang melontarkan ide yang cukup kontroversial,


yakni bahwa al-Qur’an adalah produk budaya.45
Pernyataan tersebut dinilai Shihab bertentangan dengan ayat-
ayat al-Qur’an. Misalnya; “Dan apabila dibacakan kepada mereka
ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan
pertemuan dengan Kami berkata: “Datangkanlah Al Quran yang
lain dari ini46 atau gantilah dia47.” Katakanlah: “Tidaklah patut
bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikut
kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut
jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat).”
QS. Yunus:15), di tempat yang lain Allah memberikan ancaman
terhadap Nabi Muhammad seandainya mengubah wahyu al-Qur’an.
“Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan
atas (nama) Kami,niscaya benar-benar Kami pegang dia pada
tangan kanannya.48Kemudian benar-benar Kami potong urat tali
jantungnya.Maka sekali-kali tidak ada seorangpun dari kamu yang
dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi itu.”Q.S.al-
Haqqah: 44-47.

44 Ia adalah tokoh intelektual sekaligus seorang Islamolog kontemporer asal Mesir.Dia adalah
seorang professor bahasa Arab dan Studi al-Qur’an di Universitas Kairo Mesir. Selain itu ia juga
menjadi dosen tamu di Universitas Leiden, Belanda, mulai tahun 1995 sampai 2010. Dia sangat
dikenal dengan gagasannya yang cukup kontroversial, salah satunya ialah al-Qur’an sebagai
cultural product, atau produk budaya. Tentu saja, isu yang dilontarkan Nasr Hamid Abu Zayd
cukup controversial dan menentang kesepakatan umum di kalangan umat Islam akan sakralitas
al-Qur’an. Lihat. Fahruddin Faiz, Hermeneutika. hlm. 98-99
45 Pandangan Nasr Hamid ini dinilai murtad oleh pengadilan resmi Mesir.Ada banyak bukti yang
menunjukkan tentang hal itu.Misalnya; ajakannya untuk membebaskan diri dari kungkungan
teks dan semua kungkungan yang menghalangi kemajuan manusia. Hal ini bisa dilihat dalam
karyanya, Mafhum an-Nash; teks (al-Qur’an) pada hakekat dan subtansinya adalah produk budaya
dan itu adalah satu aksioma yang tidak memerlukan pembuktian.lihat, M. Quraish Shihab, Kaidah
Tafsir, hlm. 472.
46 Maksudnya: datangkanlah kitab yang baru untuk kami baca yang tidak ada di dalamnya hal-hal
kebangkitan kubur, hidup sesudah mati dan sebagainya
47 Maksudnya: gantilah ayat-ayat yang menerangkan siksa dengan ayat-ayat yang menerangkan
rahmat, dan yang mencela tuhan-tuhan kami dengan yang memujinya dan sebagainya.
48 Maksudnya: Kami beri tindakan yang sekeras-kerasnya.

128
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Resepsi Hermeneutika

Bertolak daripada uraian di atas, Shihab tidak sependapat dengan


pandangan bahwa al- Qur’an adalah produk budaya sebagaimana
yang dilontarkan Nasr Hamid.Alasannya, jika al-Qur’an sebagai
produk budaya, maka bukankah ayat ayat yang turun meluruskan
budaya masyarakat.49Jika al-Qur’an adalah produk budaya, maka
ada saja dari sekelompok orang yang menyusun semacam al-Qur’an,
tetapi hingga saat ini tak ada seorangpun yang berani menyetujui
bahkan menerima tantangan tersebut dengan membuat sebanding
dengan al-Qur’an.50Ketidakmampuan mereka menerima tantangan
al-Qur’an ini mengindikasikan dan membuktikan bahwa itulah
wahyu dari Tuhan.Oleh karena itu, jika yang dimaksud dengan
produk budaya ialah kandungan al-Qur’an sebagai hasil karya,
rasa dan cipta manusia sebagaimana definisi budaya, maka hal itu
bertentangan dengan akidah Islam.51 Selanjutnya, Shihab menegaskan
bahwa definisi tentang al-Qur’an sebagai produk budaya inilah cara-
cara yang lazim ditempuh oleh sebagian penganut hermeneutika
khususnya dalam menghadapi teks-teks Bibel.52
Bila dianalisis secara lebih mendalam, bahwa apa yang dilaku­
kan oleh Nasr Hamid Abu Zayd adalah upaya untuk mengatasi
pemutarbalikan pemahaman teks, dengan mengajukan pertanyaan
utama “apakah pengertian teks itu dan bagaimana memahaminya?”
Dalam metodologinya ia menggunakan alat bedah seperti semiotika
dan hermeneutika, sehingga kesimpulan akhirnya adalah al-Qur’an
sebagai produk budaya. Mengomentari persoalan ini, Fahruddin
Faiz berpendapat bahwa dasar pemikiran Abu Zayd sebelum
menyimpulkan status al-Qur’an tersebut sebenarnya didasarkan
pembagiannya terhadap dua fase teks al-Qur’an yang menggambarkan

49 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir,.hlm.473


50 Uraian mengenai tantangan al-Qur’an terhadap mereka manusia, jin dan lain-lain, dijelaskan
dalam QS. Al-Baqarah: 23.
51 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, hlm. 473.
52 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, hlm. 474.

129
Muzayyin Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

dialektika teks dengan realitas sosial-budayanya. Dengan demikian,


kita akan menilai pada fase mana al-Qur’an sebagai Kalam Allah dan
sebagai produk budaya.53
3. Perlukah Ulum al-Qur’an Menggunakan Pendekatan Herme­
neutika?
Mengomentari statemen pertanyaan di atas, Shihab berpendapat
bahwa tentu saja jawabannya tidaklah hitam putih, “ya” atau “tidak”.
Jika hermeneutika sebatas diartikan sebagai ilmu yang digunakan
untuk menjelaskan maksud firman Tuhan, maka tidaklah keliru
jika hermeneutika telah dikenal lama oleh ulama-ulama Islam jauh
sebelum munculnya hermeneutika di Eropa. Lanjut Shihab, ulama
dahulu sudah banyak mengenal bahasan-bahasan hermeneutika.Ia
memberikan contoh Hermeneutika klasik yang menekankan pada
metode penafsiran teks.54 Ia memiliki banyak landasan yang mirip
dengan apa yang dikenal dalam bahasan ulama Islam terkait ilmu-
ilmu penafsiran al-Qur’an.55 Oleh karena itu, jika hermeneutika secara
umum dipahami sebagai ilmu yang menjelaskan metode pemahaman
yang benar terhadap teks serta cara-cara menyingkap kekaburan,
maka tujuan ini sejalan dengan makna dan ilmu tafsir yang dikenal
sejak dahulu oleh pakar-pakar tafsir al-Qur’an, walaupun tentunya
terdapat perbedaan yang berkaitan dengan syarat-syarat penafsir
al-Qur’an dan kaidah-kaidahnya.56

53 Uraian selengkapnya bisa dilihat dalam Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an, hlm. 99-106.
54 Aliran hermeneutika klasik ini berpendapat bahwa seorang penafsir/penakwil dapat mengetahui
tujuan pengarang teks dan subtansinya selama menempuh metode yang sahih.Meski juga tidak
dapat dipungkiri bahwa ada sekian teks yang diliputi oleh kekaburan makna sehingga dapat
menghalangi pemahaman, tetapi hal itu bisa diselesaikan dengan memperhatikan kaidah-kaidah
dan prinsip-prinsip metode penafsiran/pemahaman yang tepat.Dengan demikian, menurut Shihab
hermeneutika klasik memulai kerjanya saat menemukan kesulitan dalam proses pemahaman
makna setelah gagal dalam memahaminya dengan cara yang biasa dan normal.Lihat. M. Quraish
Shihab, Kaidah Tafsir, hlm.406.
55 Ibid., hlm. 428.
56 Ibid., hlm. 406-407.

130
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Resepsi Hermeneutika

Jika tujuan terpenting dari mempelajari hermeneutika ialah


untuk menafsirkan dan memahami makna kosa-kata, konteks,
yang terdalam dan tersembunyi dari kitab suci. Dengan demikian,
maka menurut Shihab mempelajari hermeneutika diperlukan untuk
memahami kitab suci al-Qur’an. Kesadaran akan pentingnya ilmu
ini bukan saja lahir akhir-akhir ini, tetapi telah lama dibahas dan
dirumuskan oleh para ulama terdahulu. Shihab mencohkan Imam
Syafi’i (150-204 H/760-820 M) dengan kaidah-kaidah ushul fiqihnya
menyangkut kebahasaan yang dikreasikannya lebih dari seribu tahun
yang lalu dan berkembang hingga sekarang.Bahkan banyak diadopsi
oleh pakar-pakar al-Qur’an.57
Salah satu bukti bahwa hermeneutika telah dikenal oleh ulama
terdahulu ialah terlihat dari bahasan-bahasan mereka yang masuk
pada upaya melacak kedalaman bahasa tentang makna-makna kitab
suci al-Qur’an; berawal dari bahasan tentang kosakata dalam berbagai
aspeknya, hakiki atau metafora, ambigu atau sinonim, makna-makna
lafazh dan pengecualian-pengecualian yang berkaitan dengannya.
Kemudian berlanjut pada pembahasan mengenai pengertian
semantik satu kata dan perkembangannya, yang melahirkan makna-
makna tersurat dan tersirat.Dengan demikian, pengetahuan tersebut
kemudian dijadikan syarat bagi mereka yang hendak menafsirkan
al-Qur’an.58
Berangkat dari uraian singkat di atas, sekaligus kritik Shihab
terhadap mereka yang anti-hermeneutika dengan menolak herme­
neutika secara keseluruhan sebagaimana terlihat dalam penjelasan
terdahulu, maka penting kita simak argument yang ditulis oleh
Shihab sebagai berikut;
“…tidak semua ide yang diketengahkan oleh berbagai aliran dan
pakar hermeneutika merupakan ide yang keliru atau negatif. Pasti

57 Ibid., hlm. 429.


58 Ibid., hlm. 429.

131
Muzayyin Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

ada di antaranya yang baik dan baru serta dapat dimanfaatkan


untuk memperluas wawasan,bahkan memperkaya penafsiran,
termasuk penafsiran al-Qur’an.Meski demikian, berpagi-pagi
harus digarisbawahi bahwa bisa jadi ada kesalahan dalam
penerapannya. Di sisi lain, pemahaman para pemikir menyangkut
ide seorang filosof dapat berbeda-beda akibat perbedaan latar
belakang, disiplin ilmu, dan kecendrungan mereka, sebagaimana
ditekankan oleh pakar-pakar Islam jauh sebelum lahirnya
hermeneutika Barat. Belum lagi penerjemahan ide itu dari bahasa
aslinya ke bahasa lain dapat juga merupakan factor perbedaan
tanggapan. Karena itu, tidaklah wajar bagi yang tidak menyetujui
Hermeneutika untuk menolaknya mentah-mentah secara
keseluruhan.Ini bukan saja karena ada pendapat-pendapat yang
dikemukakan oleh pakar-pakarnya yang sejalan dengan pendapat
ulama-ulama Islam, sebagaimana ada juga yang dengan sedikit
penakwilan dapat mengantar ke penerimaan subtansinya.Ada
jug ide pokok yang melahirkan rincian yang banyak, sebagian
dari yang banyak itu dapat diterima dan sebagian lainnya tidak
diterima. Jelas sekali bahwa keragaman di atas merupakan wujud
nyata dalam kehidupan keseharian kita menyangkut aneka
bidang, termasuk bidang Hermeneutika.”59
Dengan demikian, kita bisa menilai bahwa Shihab sendiri
bersikap netral dalam menaggapi persoalan hermeneutika. Dalam
arti bahwa ia setuju dalam beberapa hal mengenai bahasan dan
penerapan hermeneutika, meski juga sebagian lain ia menolaknya
dengan syarat-syarat tertentu. Namun, penolakan secara keselu­
ruhan terhadap hermeneutika menurutnya sungguh tidak fair atau
dianggap tidak wajar. Sebab ada salah satu dari gagasan hermeneutika
dari pakar atau aliran hermeneutika yang sejalan atau memiliki
landasan yang sama dengan pendapat ulama-ulama ilmu al-Qur’an
menyangkut ilmu-ilmu penafsiran al-Qur’an.60

59 Ibid., hlm. 427.


60 Ibid., hlm. 428.

132
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Resepsi Hermeneutika

Shihab mencontohkannya dengan Hermeneutika klasik. Aliran


ini berpendapat bahwa seorang penafsir/penakwil dapat mengetahui
tujuan pengarang teks dan subtansinya selama menempuh metode
yang sahih. Memang ada sekian teks yang diliputi kekaburan makna
yang dapat menghalangi pemahaman. Namun hal itu bisa teratasi
dengan memperhatikan kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip metode
penafsiran/pemahaman yang tepat. Dengan demikian, menurut
Shihab, hermeneutika klasik memulai kerjanya saat menemukan
kesulitan dalam proses pemahaman makna setelah gagal dalam
memahaminya dengan cara yang biasa dan normal. Oleh karena itu,
secara umum para penganutnya memahami hermeneutika sebagai
ilmu yang menjelaskan metode pemahaman yang benar terhadap teks
serta cara-cara menyingkap kekaburannya. Dari uraian ini, Shihab
menyimpulkan bahwa secara umum, tujuan dari hermeneutika
klasik sejalan dengan makna dan ilmu tafsir yang dikenal sejak
dahulu oleh pakar-pakar Tafsir al-Qur’an, walau pun juga terdapat
perbedaannya telebih menyangkut syarat-syarat penafsir al-Qur’an
sertakaidah-kaidahnya.61

E. Apa yang Diperoleh dari Perspektif Hermeneutika terhadap


al- Qur’an.
Menurut Shihab, Ada banyak hal positif yang bisa diambil dari
bahasan tentang hermeneutika, khususnya dari beberapa aliran
hermeneutika. Sebut saja, misalnya, aliran hermeneutika Romansis
yang dipelopori oleh Friedrich Schleiermacher dan Wilhelm Diltheiy,
yang merupakan peletak dasar rambu-rambu untuk memperoleh
makna yang benar dan final terhadap objek yang dibahas, serta
keharusan memahami bahasa teks dan perangkat-perangkatnya.
Shibah menilai bahwa hal itu merupakan hal-hal positif yang sangat
diperlukan oleh siapa saja yang ingin menemukan dan memahami
kebenaran. Sebab itu juga yang selalu ditekankan oleh ulama-ulama

61 Ibid., hlm. 406-407.

133
Muzayyin Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

al-Qur’an,tegas Shibah. Hal positif lainnya ialah keharusan untuk


berhati-hati dalam proses memahami sebuah objek agar tidak
terjebak pada kesalahpahaman. Hal yang sama juga dilakukan oleh
ulama-ulama al-Qur’an ketika menegaskan bahwa penafsiran tidak
boleh berdasar “kira-kira” atau “dugaan tak berdasar”. Atas dasar ini,
jika seorang penafsir belum tahu betul makna teks, maka hendaklah
dia menangguhkan penafsirannya dengan berucap “Allah A’lam”
(Allah Maha Mengetahui).62
Agar bisa mendapatkan pemahaman yang benar atas sebuah
teks, sebagaimana ditegaskan oleh Aliran Hermeneutika Romansis,
maka seorang penafsir harus masuk merasuk ke kedalaman diri
sang pengarang, yakni menyelami pikiran dan perasaannya. Dalam
konteks persoalan ini, Shihab menggarisbawahi, upaya tersebut
tidaklah mudah, terlebih bila yang dimaksud pengarang teks (al-
Qur’an) adalah Allah.Dikatakan tidak mudah selain karena jarak
waktu antara penafsir dan pengarang menganga lebar. Di sisi
lain, sangatlah mustahil untuk menyelami terlebih menganalisis
psikologi Allah. Karena sebagaimana Pendapat Shihab yang ia kutip
dari tulisan al-Ghazali, al-Maqshad al-Asna, menjelaskan bahwa
ketuhanan adalah sesuatu yang hanya dimiliki Allah, tidak dapat
tergambar dalam benak ada yang mengenalnya kecuali Allah atau
yang sama dengan-NYa, dan karena tidak ada yang sama dengan-
NYa, maka tidak ada yang mengenal-Nya kecuali Allah.63 Selain itu,
Shihab juga mengutip ayat al-Qur’an yang menyampaikan ucapan
Nabi Isa as, yang menyatakan: “Engkau mengetahui apa yang terdapat
dalam diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri-Mu,
sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui segala yang gaib” (Q.S. al-
Ma’idah:116).

62 Ibid., hlm. 444.


63 Ibid., hlm. 445.

134
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Resepsi Hermeneutika

Dengan demikian, jikalau pandangan Schleirmacher akan


diterapkan pada teks-teks al-Qur’an, maka itu hanya berlaku pada
batas-batas pengenalan di atas dan pengenalan tentang sirah Nabi
Muhammad sebagimana dilakukan oleh kebanyakan ulama tafsir
dan fiqih ketika menjelaskan makna ayat-ayat al-Qur’an.64Shihab
mencontohkan misalnya; tentang uraian menyangkut qath’iy dan
zhanny, bahwa yang dapat memastikan maksud sebenarnya dari
pengucap/teks hanya pengucapnya.Dalam ushul fiqih dikenal
dengan istilah dalalah haqiqiyyah dan dalalah nisbiyyah.65Shihab
member contoh ucapan; “saya belum makan”, yang dapat dipahami
oleh pendengarnya ialah dengan banyak makna, seperti saya masih
kenyang, atau saya sedang lapar, atau jangan habiskan makanan itu.66
Menerima hermeneutika sebagai sebuah metode penafsiran bagi
Shihab adalah sah-sah saja, karena hermeneutika dan tafsir keduanya
sama-sama sebagai kaidah penafsiran. Namun sesekali orang mudah
terjebak dalam menyamakan keduanya untuk diterapkan pada
dua objek berbeda tetapi dianggap sama. Persamaan inilah yang
kemudian dimaksud Shihab di mana seorang akan terjebak pada
kerancuan. Ia mengistilahkan dua alat yang sama namun digunakan
untuk objek yang berbeda. “Pisau” yang biasa digunakan untuk
menyembelih binatang, sama dengan “pisau” yang digunakan oleh
dokter bedah pasien,demikian juga metode dan kaidah-kaidah
penafsiran.
Menurut Shihab, keliru jika hermeneutika sebagai pisau analisis
yang biasa digunakan dalam memahami teks-teks karya manusia,
lalu digunakan untuk memahami teks-teks Pencipta manusia (Allah).
Sebenarnya, jika ini disadari atau diakui, maka banyak hal yang
dapat lebih mempertemukan antara hermeneutika dengan kaidah-
kaidah penafsiran yang diperkenalkan oleh ulama dan cendekiawan

64 Ibid., hlm. 447.


65 Ibid., hlm. 448.
66 Ibid., hlm. 463.

135
Muzayyin Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

Muslim.67 Namun dengan demikian, Shihab menyarankan agar kita


harus memiliki mata yang jeli, bahkan harus menggunakan lensa
yang jernih, agar apa yang potretnya tidak kabur atau bahkan buruk
tak memenuhi syarat pemotretan. Tidak jarang ada orang yang
menggunakan kamera yang buram, ia pun belum memiliki syarat
minimal untuk tampil mengambil gambar. Ini tidak pelak lagi pasti
menghasilkan gambar yang kabur, bahkan bisa jadi gambarnya amat
buruk.68
Artinya, apa yang disampaikan Shihab tersebut ialah upaya
hati-hati dalam mengaplikasikan hermeneutikan dalam al-Qur’an;
jangan sampai kita rancu dalam mendefinisikan objek (kitab suci)
sebagai sebuah karya yang profan sebagaimana layaknya teks-teks
lain sebagai karya manusia. Inilah yang dikhawatirkan Shihab bahwa
seseorang akan terjebak pada kesalahan dan kerancuan akibat tidak
jeli, dan tidak memiliki pengetahuan penuh tentang hal itu.

F. Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapatlah disimpulkan bahwa posisi
Quraish Shibah dalam merespon perdebatan hermeneutika berada
di antara dua kubu mereka yang menolak hermeneutika secara
keseluruhan dan kubu yang menerima hermeneutika secara totalitas.
Sebagaimana diakui oleh Shihab tidak semua ide yang diketengahkan
oleh berbagai aliran dan pakar hermeneutika merupa­kan ide yang
keliru atau negatif.Pasti ada di antaranya yang baik dan baru serta dapat
dimanfaatkan untuk memperluas wawasan, bahkan memperkaya
penafsiran, termasuk penafsiran al-Qur’an. Hermeneutika dan
Tafsir, keduanya sama-sama sebagai kaidah penafsiran. Terlepas
dari perbedaan pada segi objek (al-Qur’an sebagai kalam Allah,
Sedangkan Bibel hasil karya manusia). Namun, yang jelas bagi
Shihab ada banyak hal positif yang bisa diambil dari bahasan tentang

67 Ibid., hlm. 481.


68 Ibid., hlm. 482.

136
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Resepsi Hermeneutika

hermeneutika, khususnya dari beberapa aliran hermeneutika.sebut


saja misalnya aliran hermeneutika Romansis yang dipelopori oleh
Friedrich Schleiermacher dan Wilhelm Diltheiy, yang merupakan
peletak dasar rambu-rambu untuk memperoleh makna yang benar
dan final terhadap objek yang dibahas, serta keharusan memahami
bahasa teks dan perangkat-perangkatnya. Dalam konteks ini, Shibah
menilai bahwa itu merupakan hal-hal positif yang sangat diperlukan
oleh siapa saja yang ingin menemukan dan memahami kebenaran.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M.Amin, 2004.“Pendekatan Hermeneutik dalam Studi
Fatwa-fatwa Keagamaan”, Pengantar pada buku Atas Nama
Tuhan: dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, Cet.I, Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta.
Aland, Kurt, and Barbara Aland ,The Text Of The New Testament:
An Introduction to the Critical Editions and to the Theory and
Practice of Modern Textual Criticism (Michigan: Grand Rapids,
1995).
Armas, Adnin, Tafsir al-Qur’an atau Hermeneutika al-Qur’an, Dalam
ISLAMIA, 1,1 2004.
Bigger, Stephen, “Introduction” dalam Creating the Old Testament: The
Emergence of the Hebrew Bible, editor Stephen Bigger (Oxford:
Basil Blackwell, 1989).
Bleicher, Josef, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as
Method, Philosophy and Critique.(London: Routledge and Kegan
Paul, 1980).
Djam ‘annuri, BIBLE: dalam Pandangan Seorang Muslim Analisis
Kritis Teks Kitab Torah dan Injil, Yogyakarta: PT.Kurnia Kalam
Semesta, 1998).
Elliot Friedman, Richard, Who Wrote The Bible, (New York: Perennial
Library, 1989).

137
Muzayyin Nun, Vol. 1, No. 1, 2015

Faiz, Fahruddin, Hermeneutika Al-Qur’an Tema-tema Kontroversial,


Cet.1 (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005).
Hazm, Ibn, al-Fasl fi al-Milal wa al-Ahwa’ wa al-nihal, Cet.I
(Toronto:al-Qhirah,1899).
Husaini, Adian Husaini dan al-Baghdadi, Abdurrahman,
Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an (Jakarta: Gema Insani Press,
2007).
---------------------, Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di
Perguruan Tinggi (Jakarta: Gema Insani Press, 2006).
----------------------,Problem Teks Bibel dan Hermeneutika, Dalam
Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA,Tahun 1,
No. 1 Maret 2004
Kalu, Mahmud, al-Qira’at al-Mu’asirah li al-Qur’an al-Karim fi Daw’I
Dawabit al-Tafsir, (Syiria: Dar al-Yaman, 2009).
Krentz, Edgar, The Historical-Critical Method, (Philadelphia: Fortress
Press, 1975).
M. Metzger, Bruce, a Textual Commentary On The Greek New
Testament, (Stugard; United Bible Societies, 1975).
M.M.Al-A’zami, The History of The Qur’anic Text From Revelation
to Compilation: A Comparative Study with The Old and New
Testaments, (Leicester: UK Islamic Academic ,2003)
Muzayyin, MENGUJI “OTENTISITAS WAHYU TUHAN” DENGAN
PEMBACAAN KONTEMPORER: Telaah Atas Polemical Studies
Kajian Orientalis dan Liberal. [Jurnal Esensia]Vol.15.No.2,
September 2014 Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
---------------, “Pendekatan Historis-kritis dalam Studi al-Qur’an
(Studi Komparatif terhadap Pemikiran Theodor Noldeke dan
Arthur Jeffery)”, TESIS, Program Studi Agama dan Filsafat, UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015.

138
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Resepsi Hermeneutika

Ricoeur, Paul, Hermeneutika Ilmu Sosial, terj. Muhammad Syukri,


(Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2006).
Shihab, M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang:Lentera Hati,
2013).
--------------------,Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1994).
--------------------,Lentera Al-Qur’an,Cet I (Bandung:Mizan).
Syamsuddin, Sahiron, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul
Qur’an, (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009).
---------------------,Integrasi Hemeneutika Hans George Gadamer
ke dalam Ilmu Tafsir, Sebuah Proyek Pengembangan Metode
Pembacaan al-Qur’an pada Masa Kontemporer, Draft Makalah
pada “Annual Conference Kajian Islam” yang dilaksanakan oleh
Dipertais DEPAG RI pada tanggal 26-30 November 2006 di
Bandung.
Wijaya, Aksin, Arah Baru Studi Ulum Al-Qur’an Memburu Pesan
Tuhan di Balik Fenomena Budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2009), hal. 86-89.

139

Anda mungkin juga menyukai