Editor Utama:
Dr. phil. Sahiron Syamsuddin, M.A.
Editor Pelaksana:
Dr. phil. Munirul Ikhwan, M.A.
Anggota:
Dr. Ahmad Baidowi, M.Si.
Ahmad Rafiq, Ph.D.
Lien Iffah Naf ’atu Fina, M.Hum.
Fitriana Firdausi, M.Hum.
Tim Ahli:
Prof. Yudian Wahyudi, Ph.D.
Prof. Dr. Nasaruddin Umar
Dr. Hamim Ilyas, M.A.
Yusuf Rahman, Ph.D.
ALAMAT REDAKSI
Krapyak Kulon, Rt. 07 No. 212 Panggungharjo Sewon Bantul
Yogyakarta 55188. CP: 081803045946
Email: aiat.indonesia@gmail.com
Daftar Isi
Islah Gusmian
Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Surakarta
Abstrak
Artikel menjelaskan tentang sejarah dan dinamika penulisan
tafsir Al-Qur’an di Indonesia. Unsur-unsur yang diuraikan terdiri
dari keragaman basis identitas sosial penulis tafsir Al-Qur’an,
latar belakang keilmuan, bahasa serta aksara yang digunakan
dalam penulisan tafsir Al-Qur’an, serta produk penafsiran. Dari
sudut sejarah, basis identitas sosial penafsir di Indonesia cukup
beragam: mulai dari ulama, akademisi, sastrawan, dan birokrat.
Basis sosial penulisannya juga beragam: ada basis pesantren,
akademik, dan masyarakat umum. Dari sisi aksara dan bahasa
yang dipakai juga beragam: selain bahasa Indonesia dan aksara
Latin, tafsir di Indonesia juga ditulis dengan bahasa dan aksara
lokal, seperti aksara Jawi, Pegon, dan Lontara. Adapun dari sisi isi,
tafsir Al-Qur’an di Indonesia juga mengkontestasikan problem-
problem sosial-politik yang terjadi ketika tafsir ditulis. Kajian ini
menunjukkan bahwa sejarah tafsir Al-Qur’andi Indonesia dari
berbagai sudutnya, cukup dinamis.
Kata Kunci: Tafsir, Al-Qur’an, Indonesia, dan pesantren
Islah Gusmian Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
A. Pendahuluan
S
ejauh ini,kajian tentang tafsir Al-Qur’an Indonesia telah
dilakukan oleh para ahli dengan berbagai sudut pandang
serta pilihan subjek yang berbeda-beda. Ada kajian yang
secara khusus mengungkapkan karakteristik tafsir, keterpenga
ruhan,sertaproses adopsi yang terjadi. Model semacam ini, misalnya
dilakukan oleh Anthony H.John dalam “The Qur’an in the Malay
World: Reflection on ‘Abd al-Ra’uf of Singkel (1615-1693)” yang
dipublikasikan di Journal of Islamic Studies, 9:2 (1998).1 Selain
A.H.John, dua indonesianis lain, yaituPeter G. Riddell dan Howard
M.Federspiel, melakukan kajian dengan mengacu pada pengaruh
dinamika keilmuan Islam di Timur Tengah dalam tafsir Al-Qur’an
Indonesia dalam bentuk respons dan transmisi.2
Dalamartikel “The Use of Arabic Commentaries on the Qur’an
in the Early Islamic Period in South and Southeast Asia: a Report
on Work Process”,3 Riddell secara spesifik menganalisis penggunaan
tafsir berbahasa Arab di kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara pada
1 Artikel-artikelnya yang lain, yaitu “Quranic Exegesis in the Malay World: in Search of a Profile”,
menjadi salah satu artikel dalam buku yang diedit oleh Andrew Rippin berjudul Approaches to
the History of the Interpretation of the Qur’an yang diterbitkan oleh Oxford University Press pada
1988. Dalam buku Islam in Asia: Volume II Southeast Asia and East Asia (Boulder: Westview,
1984) yang diedit oleh R. Israeli dan dirinya sendiri, A.H. Johns menulis satu artikel berjudul
“Islam in the Malay World: an Explanatory Survey with Some Reference to Qur’anic Exegesis”.
Dalam buku Approaches to the Qur’an in Contemporary Indonesia (New York: Oxford University
Press, 2006) yang diedit oleh Abdullah Saeed, A.H. Johns menulis satu artikel berjudul “Qur’anic
Exegesis in the Malay-Indonesian World: an Introduction Survey”. Dari sejumlah tulisannya itu,
kajian A.H. Johns secara umum bertumpu pada tafsir Al-Qur’an di Indonesia pada abad 17 M
(yang dikaji adalah tafsir Tarjumān al-Mustafīd) dan abad 19 M (yang dikaji adalah tafsir Marāh
Labīd) dengan menunjukkan metode penafsiran dan keterpengaruhannya dengan karya tafsir
klasik serta proses arabisasi pemakaian istilah dalam konteks bahasa di Indonesia.
2 Selengkapnya Lihat Peter G. Riddell, Islam and The Malay-Indonesian World: Transmission and
Responses (Honolulu: University of Hawaii Press, 2001). Pada bab IX dan XII di buku Islam and
The Malay-Indonesian World karya Riddell, juga dia tulis dalam artikel khusus, yaitu “Earliest
Qur’anic Exegetical Activity in Malay-Speaking State”, Archipel, 38 (1989),hlm. 107-124.
3 Peter G. Riddell, “The Use of Arabic Commentaries on the Qur’an in the Early Islamic Period in
South and Southeast Asia: a Report on Work Process”, Indonesia Circle Journal, Vol. LI (1990).
2
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Tafsir Al-Qur’an di Indonesia: Sejarah dan Dinamika
4 Peter G. Riddell, “Controversy in Qur’anic Exegesis and Its Relevance to the Malay-Indonesia
World”, dalam Anthony Reid (ed.), The Making of an Islamic Political Discourse in Southeast Asia
(Calyton: Monas Paper on Southeast Asia, 1993), hlm. 27-61.
5 Howard M. Federspiel, “An Introduction to Qur’anic Commentaries in Contemporary Southeast
Asia”, dalam The Muslim World, Vol. LXXXI, No. 2, 1991, hlm. 149-161.
6 Lihat Howard M. Federspiel, Kajian Al-Qur’an di Indonesia, terj. Tadjul Arifin(Mizan: Bandung,
1996).
7 Lihat Jurnal Pesantren, No. I, Vol.VIII, Tahun 1991, hlm. 34.
8 Lihat Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. III, No. 4, Tahun 1992, hlm. 50.
3
Islah Gusmian Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
4
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Tafsir Al-Qur’an di Indonesia: Sejarah dan Dinamika
9 Abdul Basith Adnan,Prof. K.H.R. Muhammad Adnan: Untuk Islam dan Indonesia(Yayasan
Mardikintaka: Surakarta, 2003), hlm. 13.
10 Sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri Agama RI Nomor BD/28/2008 tanggal 14
Februari 2008, Menteri Agama membentuk tim pelaksana kegiatan penyusunan tafsir tematik.
Hal ini sebagai wujud pelaksanaan rekomendasi Musyawarah Kerja Ulam Al-Qur’an tanggal
8-10 Mei 2006 di Yogyakarta dan 14 -16 Desember 2006 di Ciloto. Lihat Sambutan Kepala Badan
Litbang dan Diklat Departemen Agama RI dalam Tafsir Tematik, Pembangunan Ekonomi Umat
5
Islah Gusmian Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
(Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang dan Diklat, Departemen Agama
RI, 2009), hlm. xiv-v
11 Pesantren merupakan dunia dan tradisi yang khas dan unik di tengah masyarakat. Secara
lahiriah, dalam kompleks pesantren umumnya dikelilingi dengan pagar sebagai pembatas yang
memisahkan dengan masyarakat di sekelilingnya. Di dalamnya terdapat bangunan pemondokan,
dalam tradisi pesantren disebut pondok.Fungsinya sebagai asrama di mana para santri tinggal
bersama dan belajar di bawah bimbingan seorang kiai. Kedua, bangunan surau atau masjid.
Dalam struktur pesantren, masjid merupakan unsur dasar yang harus dimiliki pesantren karena
merupakan tempat utama yang ideal untuk mendidik dan memberikan pelajaran kepada para
santri, khususnya tata cara ibadah. Ketiga, di dekat masjid biasanya terdapat rumah di mana kiai
bermukim. Lihat Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi, Esai-Esai Pesantren (Yogyakarta:
LKiS, 2001), hlm. 3.Ada dua versi mengenai sejarah asal-usul Pesantren di Indonesia. Pertama,
pesantren sebagai kultur yang berakar pada tradisi Islam sendiri, yaitu tradisi tarekat. Berdasarkan
fakta bahwa penyiaran Islam di Indonesia awalnya lebih banyak dikenal dalam bentuk kegiatan
tarekat. Kedua, pesantren merupakan pengambilalihan dari sistem pesantren yang diselenggarakan
orang-orang Hindu di Nusantara. Lihat Hasan Muarif Ambary et al., Ensiklopedi Islam, jilid 4
(Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1994), hlm. 103.
12 Lihat,Abdul Basith Adnan, “Purwaka” dalam Muhammad Adnan, Tafsir Al-Qur’an Suci Basa Jawi
(Bandung: Al-Maarif, t.th), hlm. 6. Pengantar ini ditulis pada 21 Nopember 1977. Berdasarkan
informasi ini, berarti tafsir karya Muhammad Adnan telah dicetak pada akhir tahun 1970-an.
Namun, dalam kata pembuka yang ditulis Muhammad Adnan dalam tafsir ini, ditulis pada 11 Juli
1965. Ini artinya bahwa ia telah menyelesaikan karya tafsir ini pada pertengahan tahun 1960-an.
6
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Tafsir Al-Qur’an di Indonesia: Sejarah dan Dinamika
edisi cetaknya, karya ini kemudian ditulis dengan bahasa Jawa dan
aksara Latin.13
Dari rahim pesantren Manbaul Ulum Solo ini pula, Kiai Imam
Ghazali, salah seorang guru di pesantren tersebut, pada 1936 M
menulis Tafsir Al-Balagh.Penerbitannya dibuat secara serial, seperti
edisi majalah: ada tahun dan nomor. Edisi Th. 1 dan nomor 1,
cetakan kedua diterbitkan pada 13 Juli 1938/15 Jumadil Awal 1357
oleh penerbit Toko Buku Al-Makmuriyah Sorosejan Surakarta.
Pada edisi Th. 2 dan nomor 2, dicetak pada 7 Safar 1356/19 April
1937.14SelainTafsir Al-Balagh, terdapat naskah anonim terjemah
Al-Qur’an dengan aksara pegon. Naskah ini, sejak tahun 1927M.
dipakai bahan pengajaran di Pesantren Manba’ul Ulum Surakarta.15
Adapun tafsir-tafsir yang lahir dari rahim pesantren di luar
kraton bisa dilihat, misalnya Rauḍat al-‘Irfān fī ma’rifah al-Qur’ān
dan Tamsyiyatul Muslimīn fī Tafsīr Kalām Rabb al-‘Ᾱlamīn16karya
KH. Ahmad Sanoesi (1888-1950 M.), Al-Ibrīz li Ma‘rifati Tafsīr al-
Qur’ān al-‘Azīz (1960) karya K.H. Bisri Mustofa(1915-1977), Iklīl
fī Ma‘āni at-Tanzīl (1980) dan Tāj al-Muslimīn karya K.H. Misbah
ibn Zainul Mustofa(1916-1994), dan Jāmi’ al-Bayān karya KH.
Muhammad bin Sulaiman.
13 Tidak ada informasi yang jelas perihal pemakaian aksara Latin. Diperkirakan agar tafsir ini mudah
dibaca oleh lebih banyak masyarakat Muslim, tidak hanya orang yang menguasai aksara pegon.
14 Penulis tidak menemukan buku ini untuk edisi cetakan pertama Tahun I dan nomor pertama,
sehingga tidak bisa memberikan kepastian terkait tahun terbit untuk kali pertama.
15 Kesimpulan ini didasarkan pada informasi yang terdapat pada halaman lima dalam naskah ini
yang ditempeli kertas putih bertuliskan: “Kagungan Ndalem hing pamulangan Manba’ul Ulum,
1346 H: 1858 Q: 1927 M.” Tulisan ini diketik—bukan tulisan tangan—dengan rapi.
16 Selain dua karya ini, terdapat karya-karya tafsir lain yang ditulis KH. Ahmad Sanoesi, yaitu: Tafrīj
al-Qulūb al-Mu’min fī Tafsīr Kalimat Sūratal-Yāsīn, Kasyfu as-sa’ādah fi Tafsīr Sūrat al-Wāqi’ah,
Tanbīh al-Hairan fī Tafsīr Sūrat ad-Dukhān, Yāsīn Waqi’ah Digantoeng Loegat dan Keterangannya,
Kanz al-Raḥmat wa al-Luth fī Tafsīr Sūrat Al-Kahfi, Hidāyah al- Qulūb fī Fadli Sūrat Tabārak
al-Mulk min Al-Qur’ān, Kasyful Auham fī wa al-Dzunūn fī Bayān Qaul Ta’ālā Lā Yamassuhu illā
al-Muthahharūn, Maljā’ al-Thālibīn fī Tafsīr al-Kalām al-Rabb al-‘Ᾱlamīn.
7
Islah Gusmian Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
17 Di era zaman Jepang organisasi ini berganti nama Persatoen Oemat Islam Indonesia (POII). Lihat,
Ensiklopedi Nasional Indonesia (Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka, 1990), 14: 400.
18 Sulasman, KH. Ahmad Sanoesi, dari Pesantren ke Parlemen (Bandung: PW PUI Jawa Barat, 2007),
hlm. 89.
8
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Tafsir Al-Qur’an di Indonesia: Sejarah dan Dinamika
terdiri dari dua jilid. Tafsir ini ditulis secara ringkas. Diterbitkan
olehPenerbit Pesantren Kedung Puyuh, Sukabumi.
Adapun yang kedua, merupakan tafsir berbahasa Indonesia
aksara Latin. Ditulis pada Oktober 1934, sebulan setelah ia kembali
ke Sukabumi dari pengasingannya di Batavia.20Tafsir ini diterbitkan
seperti bentuk majalah setiap satu bulan sampai 53 edisi, mulai
juz 1 hingga juz 8.21 Edisi pertama diterbitkan oleh Tup Masduki,
Tarikolot 3 Soekaboemi, dan sejak edisi kedua diterbitkan oleh
Druk Al-Ittihad Soekaboemi. Pada edisi kedua dan selanjutnya
ini KH. Ahmad Sanusi menyertakan transliterasi ayat Al-Qur’an
yang kemudian melahirkan kontroversi di kalangan ulama Jawa
Barat.22Tafsir ini tampak didedikasikan bukan hanya untukkalangan
para santri, melainkan untuk masyarakat awam yang lebih luas.
Hal ini diperkuat dengan penjelasan dalam Tamsyiyat al-Muslimīn
volume pertama pada halaman “tambihat”, bahwa tafsir ini ditulis
untuk menerangkan agama Islam dan mazhab Ahlussunnah Wal
Jama’ah kepada masyarakat.
Selanjutnya, tafsirAl-Ibrīz li Ma’rifat Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azīz
karya KH. Bisri Mustofa (1925-1977). Karya tafsir ini selesai ditulis
menjelang subuh pada Kamis, 29 Rajab 1376 H / 28 Januari 1960
M.23Ditulis dengan bahasa sederhana agar mudah dipahami oleh
20 Sejak 1928 ia diasingkan oleh Belanda dengan alasan karena keterlibatannya dengan SI ketika
itu, tetapi alasan yang sesungguhnya adalah karena fatwa-fatwanya yang kontroversial, misalnya
tentang slametan dan zakat fitrah, bisa merongrong wibawa Penghulu dan Patih Sukabumi yang
merupakan kaki tangan Belanda. Dadang Darmawan, “Ortodoksi Tafsir: Respon Ulama terhadap
Tafsir Tamsjijjatoel Moeslimin karya KH. Ahmad Sanoesi” Disertasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2009, hlm. 65.
21 Gunseikanbu, Orang Indonesia yang Terkemuka di Jawa (Yogyakarta: Gadjah Mada Press, 1986),
hlm. 443.
22 Mengenai kontroversi ini lebih lanjut lihat Dadang Darmawan, “Ortodoksi Tafsir: Respon
Ulama terhadap Tafsir Tamsjijjatoel Moeslimin karya KH. Ahmad Sanoesi” Disertasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2009.
23 KH. Bisri Mustofa,Al-Ibrīz li Ma’rifat Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azīz (Kudus: Menara Kudus, t.th.) jilid
III, hlm. 2270.
9
Islah Gusmian Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
10
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Tafsir Al-Qur’an di Indonesia: Sejarah dan Dinamika
bahasa dan aksara Bugis muncul lagi pada tahun 1961 berjudul Tafsir
Al-Qur’an al-Karim bi al-Lughah al-Bugisiyyah, Tafséré Akorang
Bettuwang Bicara Ogi, diterbitkan pertama kali oleh penerbit Adil
di Sengkang pada 1961. Karya tafsir ini ditulis oleh AG. H.M. Yunus
Martan (w. 1986 M). Karya ini hanya terdiri dari tiga juz. Judulnya
ditulis dalam dua bahasa: Arab dan Bugis. Juz ketiga dicetak pertama
kali pada tahun 1961. Model tafsirnya masih sederhana, yaitu setelah
menerjemahkan setiap ayat, penulis memberikan penjelasan pada
konteks-konteks yang dianggap perlu. Jadi, tidak semua ayat diberi
penjelasan.28
Pada 1980-an, AG. H. Daud Ismail (1908-2006 M) menulis tafsir
dalam bahasa dan aksara Bugis. Juz pertamanya terbit pada tahun
1983 oleh penerbit Bintang Selatan di Ujung Pandang. Pada tahun
2001 muncul edisi satu jilid yang berisi tiga juz. Judulnya diberi
tambahan, tetapi penjelasan tentang juz masih tetap ada. Misalnya,
untuk jilid pertama, yang mencakup juz I, II dan III dari Al-Qur’an
diberi judul Tafsir Munir, Tarjamah wa Tafsir al-Juz al-Awwal wa
al-Tsani wa al-Tsalits. Tata letak yang dipakai adalah dengan menulis
ayat Al-Qur’an di kolom bagian kanan sedangkan terjemahannya di
kolom bagian kanan. Adapun tafsirnya ditulis di bagian bawahnya
dengan menyebut nomor ayat, tanpa menyebutkan teks ayatnya.29
Pada era 1990-an Ahmad Asmuni Yasin dari pesantren Petuk Kediri
juga mempublikasikan karya-karya tafsir memakai bahasa Arab.
Ketiga, karya-karya tafsir yang ditulis ketika penulisnya aktif
di lembaga pendidikan formal, seperti madrasahdan kampus. Pada
1978, KH. Hamzah Manguluang, seorang pengajar di Madrasah
As’adiyah di Sengkang Kabupaten Wajo, menyelesaikan terjemah
Al-Quran dengan bahasa dan aksara Bugis. Terjemahan lengkap
30 juz ini dibagi menjadi tiga jilid. Formatnya dalam dua kolom
11
Islah Gusmian Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
30 Lihat Islah Gusmian, “Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur’an di Indonesia: dari Tradisi, Hierarki
hingga Kepentingan Pembaca” dalam Tsaqafah Jurnal Peradaban Islam Volume 6, Nomor 1, April
2010.
31 Lihat, Mahmud Yunus, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim (Jakarta: P.T. Hidakarya Agung, 1973), hlm.
iii. Tidak ditemukan penjelasan, siapa dosen Yunus dari Al-Azhar yang memberikan penjelasan
tentang kebolehan menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa lokal tersebut.
32 Ibid.
12
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Tafsir Al-Qur’an di Indonesia: Sejarah dan Dinamika
33 Tidak ada data kapan dimulai pelanjutan penafsiran yang dilakukan oleh H. Ilyas Muhammad
Bakry dan kapan dihentikan.
34 Lihat, Pidato Promotor Prof. H. Soenardjo pada Penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa
kepada Prof. H. Mahmud Yunus dalam Ilmu Tarbiyah, 15 Oktober 1977 (Jakarta: Hidakarya
Agung, 1977).
35 Untuk riwayat hidup Mahmud Yunus, baca Pidato Promotor Prof. H. Soenardjo pada Pengukuhan
Gelar Doctor Honoris Causa kepada Prof. Dr. Mahmud Yunus dalam Ilmu Tarbiyah, 15 Oktober
1977 (Jakarta: Hidakarya Agung, 1977).
13
Islah Gusmian Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
Rahmat lengkap 30 juz. Tafsir ini selesai ditulis pada tahun 1981,
memperoleh surat tashih dari Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an
Departemen Agama RI pada 1983 dan pada tahun ini pula tafsir ini
dipublikasikan.
Selanjutnya, dari rahim kampus juga lahir tafsir Al-Qur’an.
Misalnya, T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, dosen di IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, menulis Tafsir Al-Nur(1952)36 dan Tafsir Al-Bayan (1966);
Bakri Syahid (1918-1994)menulis Al-Huda, Tafsir Al-Qur’an Boso
Jawi ketika dirinya menjabat sebagai Rektor IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.Sebelumnya ia berkarier menjadi Komandan Kompi,
Wartawan Perang No. 6-MTB, Kepala Staf Batalion STM-Yogyakarta,
Kepala Pendidikan Pusat Rawatan Ruhani Islam Angkatan Darat,
Wakil Kepala Pusroh Islam Angkatan Darat, dan Asisten Sekretaris
Negara, Republik Indonesia.37
Keempat, organisasi sosial Islam, seperti Muhammadiyah
dan Persis juga menjadi basis ruang penulisan tafsir Al-Qur’an di
Indonesia. Misalnya, pada 1927 ormas Muhammadiyah bidang
Taman Pustaka di Surakarta menerbitkan Kur’an Jawen, yaitu
terjemah Al-Qur’an dengan memakai Cacarakan dan bahasa Jawa.
Di perpustakaan Mangkunegaran tersimpan hanya juz 10. Bisa
36 tafsir ini ditulis Hasbi disela-sela kesibukannya mengajar, memimpin Fakultas, menjadi anggota
Konstituante dan kegiatan lainnya. Ia ingin menghadirkan tafsir yang bukan sekadar terjemah
kepada khalayak di Indonesia. Ia mendektekan naskah kitab tafsirnya kepada seorang pengetik
(anaknya sendiri, Nourouzzaman Shiddiqi), dan langsung menjadi naskah siap cetak. Ketika proses
mendektekan tersebut, berserakan catatan kecil pada kepingan kertas. Itulah yang barangkali
menjadi penyebab terjadi pengulangan informasi, penekanan atau maksud ayat, uraian yang
kurang terpadu dan pembuatan catatan kaki yang tidak mengikuti metode penulisan karya ilmiah.
Dalam edisi revisi yang diterbitkan oleh Pustaka Rizki putra terdapat beberapa poin yang
dibenahi:perbaikan redaksional ke arah gaya bahasa masa kini tanpa mengubah subtansi:
menghilangkan pengulangan informasi, penekanan atau maksud ayat: membuang sisipan
informasi yang tidak relevan; memadukan uraian; membetulkan penomoran catatan kaki. Lihat
“Dari Penyunting” dalam Tafsir Al-Nur (Semarang: Rizki Putra, 2000), Jilid I, hlm. ix.
37 Bakri Syahid, al-Huda: Tafsir Qur’an Basa Jawi (Yogyakarya: Bagus Arafah, 1979), bagian “Prakata
dari Penerbit”.
14
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Tafsir Al-Qur’an di Indonesia: Sejarah dan Dinamika
38 Namanya yang sebenarnya adalah Hasan bin Ahmad, tetapi ia sering dan lebih populer dipanggil
Ahmad Hassan (huruf ‘s’ rangkap) atau Hassan Bandung (karena ia berdomisili di Bandung).
39 Pada 1937 edisi bahasa Sundanya terbit berjudu Tafsir Al-Foerqan Basa Sunda diterbitkan oleh
Taman Poestaka Persatoean Islam, sebanyak 3 jilid. Lihat Hawe Setiawan, “Al-Qur’an dan Tafsir
Sunda”, dalam Pikiran Rakyat, Sabtu, 23 September 2006.
40 Lihata “Kata Pengantar” dalam A. Hassan, Tafsir Al-Furqan (Surabaya: Salim Nabhan, 1956). Kata
Pengantar ini ditulis pada 26 April 1956.
15
Islah Gusmian Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
16
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Tafsir Al-Qur’an di Indonesia: Sejarah dan Dinamika
17
Islah Gusmian Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
44 Lihat KBBI versi Offline versi 1.1 freeware-2010 oleh Ebta Setiawan.
45 Lihat halaman cover belakang Abdoel Moerad Oesman, al-Hikmah: Tafsir Ayat-Ayat Dakwah,
cetakan 1 (Jakarta: Kalam Mulia, 1991).
46 Bakri Syahid, al-Huda: Tafsir Qur’an Basa Jawi (Yogyakarya: Bagus Arafah, 1979), bagian “Prakata
dari Penerbit”.
18
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Tafsir Al-Qur’an di Indonesia: Sejarah dan Dinamika
47 Lihat P.N.H. Simanjuntak, Kabinet-kabinet Republik Indonesia dari Awal Kemerdekaan sampai
Reformasi (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2003), hlm. 386.
48 Lihat KBBI versi Offline versi 1.1 freeware-2010 oleh Ebta Setiawan.
49 Lihat penjelasan di sampul belakang buku Misbah Mustafa, Shalat dan Tatakrama. Hal ini
dipertegas oleh K.H. Muhammad Nafis, putra K.H. Misbah. Wawancara dengan K.H. Muhammad
Nafis di Bangilan Tuban, 16 Juli 2010.
50 Oemar Bakry, Tafsir Rahmat, cetakan 3 (Jakarta: PT Mutiara, 1984), khususnya halaman tentang
biografi penulis tafsir.
51 Kepada berbagai media massa, seperti detik.com, hal ini disampaikan Didin Hafidhuddin untuk
memberikan alasan mengapa ia tidak aktif di dunia politik, khususnya di Partai Keadilan Sejahtera.
19
Islah Gusmian Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
52 Judul ini sebagaimana disebutkan dalam edisi yang diterbitkan di Singapura, bukan Faiḍ ar-
Raḥmān fī Tafsīr al-Qur’ān yang ditulis secara sembrono oleh sejumlah peneliti.
53 Kiai Saleh Darat dilahirkan di desa Kedung Cumpleng, Mayong, Jepara pada 1235 H/1820 M, dan
wafat di Semarang, pada Jumat, 29 Ramadhan 1321 H/18 Desember 1903 M. Ayahnya, Kiai Umar,
merupakan salah satu pejuang yang dipercaya oleh Diponegoro untuk perjuangan di wilayah Jawa
bagian utara, yaitu Semarang [Lihat, H.M. Danuwijoto, “Ky. Saleh Darat Semarang, Ulama Besar
Dan Pujangga Islam Sesudah Pakubuwono Iv” dalam Majalah Mimbar Ulama, nomor 17 tahun
1977, hlm. 68.] Para pejuang pendukung perjuangan Diponegoro kebanyakan adalah para kiai
yang mempunyai pesantren, seperti KH. Jamsari, K.H. Hasan Bashari, Kiai Syada’, Kiai Darda’ dan
Kiai Murtadha. [Aly As’ad, K.H.M. Moenawir (Yogyakarta: Pondok Krapyak Yogyakarta, 1975),
hlm. 4.].
54 lihat, KH. Bisri Mustofa, Tafsīr Sūrat Yāsīn (Kudus: Menara Kudus, t.th.). Di dalam kata pengantar
penulis dijelaskan bahwa penulisan tafsir ini mengacu pada karya-karya tafsir terpercaya
(mu’tabar), yaitu tafsīrJalālain, tafsīr al-Baidhāwī, tafsīr al-Khāzin, tafsīr Ḥamamī Zādah, tafsīr
Munīr dan yang lain.
20
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Tafsir Al-Qur’an di Indonesia: Sejarah dan Dinamika
Jawa dengan aksara Latin. Tafsir jenis ini bisa dilihat misalnya dapat
dilihat pada usaha yang dilakukan Moenawar Chalil (1908-1961).
Seorang Muslim modernis55 ini, pada 1958 menulis Tafsir Qur’an
Hidaajatur-Rahman. Dua tahun kemudian muncul Tafsir Al-Qur’an
Suci Basa Jawi (1965)karya Raden Muhammad Adnan,56 lalu pada
1970-an disusul Al-Huda Tafsir Qur’an Basa Jawi karya Bakri
Syahid sebagai salah satu jawaban atas kebutuhan dan permintaan
masyarakat Islam Suriname. Bahkan, demi tujuan melestarikan seni
macapat, Ahmad Djawahir Anomwidjaja pada 1992 menulis Sekar
Sari Kidung Rahayu, Sekar Macapat Terjemahanipun Juz Amma.57
Selain bahasa Jawa, bahasa-bahasa lokal yang lain, seperti Sunda
dan Bugis juga dipakai dalam penulisan tafsir dengan dua versi: ada
yang pegon Sunda dan atau Latin. Untuk edisi Pegon, bisa dilihat
misalnya, Raudlatul ‘Irfān fī Ma’rifatil Qur’ān dan Tafrīju Qulūb al-
Mu’min fī Tafsīr Kalimah Sūrat al-Yāsīn karya Kiai Ahmad Sanusi
Sukabumi. Adapun untuk edisi Latin bisa dilihat misalnya, Nurul-
Bajan: Tafsir Qur’an Basa Sunda(1960) ditulis KH. Mhd. Romli dan
H.N.S. Midjaja, Al-Kitabul Mubin Tafsir Al-Qur’an Basa Sundakarya
K.H. Mhd. Romli, dan Ayat Suci Lenyepaneun(1984) karya Moh. E.
Hasim. Adapun aksara Bugis bisa dilihat misalnya, Tafsir Al-Qur’an
al-Karim bi al-Lughah al-Bugisiyyah, Tafséré Akorang Bettuwang
Bicara Ogi, (1961) karya AG. H.M. Yunus Martan (w. 1986 M),58Tafsir
55 Ia pernah menjadi anggota Majlis Tarjih Muhammadiyah. Lihat, Asmuni Abdul Rahman, dkk.,
Majlis Tarjih Muhammadiyah (Yogyakarta: Lembaga Research dan Survey IAIN Sunan Kalijaga,
1985), hlm. 27; menjadi majlis ulama persis, dan pengurus Masyumi, dan sekretaris lajnah ahli-ahli
hadis. Lihat, Thoha Hamim, Paham Keagamaan Kaum Reformis, Terj. Imron Rosyidi (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2000), khususnya Bab II.
56 Abdul Hadi Adnan, “Pak Adnan: Jangan Minta-Minta Jabatan” dalam Prof. Kiai Haji Raden
Muhammad Adnan (Jakarta: t.tp., 1996), hlm. 30.
57 Ahmad Djawahir Anomwidjaja, Sekar Sari Kidung Rahayu, Sekar Macapat Terjemahanipun Juz
Amma (Yogyakarta: Bentang, 2003).
58 Lihat, M. Rafii Yunus Martan, “Membidik Universalitas, Mengusung Lokalitas: Tafsir Al-Qur’an
Bahasa Bugis Karya AG. H. Daud Ismail” dalam Jurnal Studi Al-Qur’an Vol. I No. 3 Tahun 2006,
hlm. 523.
21
Islah Gusmian Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
59 ia adalah pengasuh pondok pesantren Petuk Semen Kediri. Pada periode 1996/1997 tercatat
sebagai kepala madrasah hidayatut thulab, sebuah madrasah yang dalam naungan pesantren
petuk semen. Lihat, informasi tentang penerimaan siswa baru yang diselipkan dalam bukunya,
Tafsīr Bismillāhirraḥmānirraḥīm (surabaya: bungkul indah, t.th).
22
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Tafsir Al-Qur’an di Indonesia: Sejarah dan Dinamika
60 Bakri Syahid, al-Huda: Tafsir Qur’an Basa Jawi, hlm. 153, ck. 222.
61 Ibid., hlm. 364, ck. 491.
62 Moh. E. Hasim, Ayat Suci dalam Renungan, juz 2 (Bandung: Penerbit Pustaka, 2007), hlm. 379.
23
Islah Gusmian Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
63 Syu’bah Asa, Dalam Cahaya Al-Qur’an, Tafsir Ayat-Ayat Sosial Politik (Jakarta: Gramedia, 2000),
hlm. 178.
64 Didin Hafidhuddin, Tafsir al-Hijri: Kajian Tafsir Al-Qur’an Surat al-Ma’idah, hlm. 185.
65 Didin Hafidhuddin, Tafsir al-Hijri: Kajian Tafsir Al-Qur’an Surat an-Nisa’, hlm. 38.
66 Moh. E. Hasim, Ayat Suci dalam Renungan, juz 15, hlm. 39.
67 Ibid., juz 3, hlm. 83.
68 Syu’bah Asa, Dalam Cahaya Al-Qur’an, hlm. 373.
69 Ibid., hlm. 83.
70 Ibid., hlm. 96.
24
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Tafsir Al-Qur’an di Indonesia: Sejarah dan Dinamika
71 Didin Hafidhuddin, Tafsir a-Hijri: Tafsir Al-Qur’an Surat al-Ma’idah, hlm. 90.
72 Ibid., hlm. 42.
73 Ibid., hlm. 90.
74 Lihat Bakri Syahid dalam “Kata Pengantar”, dalam Bakri Syahid, al-Huda, hlm. 7-8.
75 Ibid., hlm. 367.
25
Islah Gusmian Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
76 Merujuk pada Kata Pengantar penulis, buku ini merupakan disertasi di IAIN Jakarta, mulai ditulis
pada akhir 1986, selesai ditulis pada 1988, dan diterbitkan pada 1992.
77 Buku ini berasal dari tesis di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dipertahankan di depan dewan
penguji pada 1988.
78 Ibid., hlm. 170-1.
79 Lihat M. Atho Mudzhar, “Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI”
dalam Tafsir Al-Qur’an Tematik (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang
dan Diklat Departemen Agama RI, 2009), hlm. xv.
80 Lihat Muhammad Shohib, “Sambutan Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Kementerian
Agama”, dalam Tafsir Al-Ilmi (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang dan
Diklat, 2011), hlm. xv.
26
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Tafsir Al-Qur’an di Indonesia: Sejarah dan Dinamika
27
Islah Gusmian Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
28
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Tafsir Al-Qur’an di Indonesia: Sejarah dan Dinamika
G. Penutup
Kajian atas tafsir Al-Qur’an secara umum telah dilakukan
dengan berbagai variasi dan model pendekatan. Misalnya, kajian
yang menekankan pada aspek paradigma dan aliran dilakukan
oleh Ignaz Goldziher dan Muḥammad aẓ-Ẓahabī, model kawasan
dengan karakteristik yang muncul dilakukan oleh J.J.G. Jansen untuk
konteks wilayah Mesir, dan model periodesasi dilakukan oleh Abdul
Mustaqim.Pada sisi yang lain juga berkembang model analisis yang
fokusnya pada produk penafsiran.
Ke depan diperlukan kajian tafsir Al-Qur’an, tidak terkecuali di
Indonesia, yang mempertimbangkan aspek-aspek kesejarahan dan
dimensi lokalitas, baik dari aspek bahasa dan aksara yang dipakai
maupun karakteristik lokal yang menyangganya. Dalam konteks
Indonesia, kajian tentang tafsir Al-Qur’an berbahasa dan beraksara
lokal Nusantara serta dialektika yang terjadi dengan aspek sosial,
budaya, dan politik yang terjadi, merupakan isu-isu menarik yang
membutuhkan sentuhan oleh para pengkaji tafsir Al-Qur’an di
Indonesia.[]
29
Islah Gusmian Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
Daftar Pustaka
Adnan, Abdul Basith. “Purwaka” dalam Muhammad Adnan, Tafsir
Al-Qur’an Suci Basa Jawi. Bandung: Al-Maarif, t.th.
__________Prof. K.H.R. Muhammad Adnan: Untuk Islam dan
Indonesia. Yayasan Mardikintaka: Surakarta, 2003.
Adnan, Abdul Hadi. “Pak Adnan: Jangan Minta-Minta Jabatan”
dalam Prof. Kiai Haji Raden Muhammad Adnan. Jakarta: t.tp.,
1996.
Ambary, Hasan Muarif (et al.).Ensiklopedi Islam. jilid 4. Jakarta: PT.
Ichtiar Baru van Hoeve, 1994.
Anomwidjaja, Ahmad Djawahir. Sekar Sari Kidung Rahayu, Sekar
Macapat Terjemahanipun Juz Amma. Yogyakarta: Bentang, 2003.
As’ad, Aly. K.H.M. Moenawir. Yogyakarta: Pondok Krapyak
Yogyakarta, 1975.
Asa, Syu’bah. Dalam Cahaya Al-Qur’an. Jakarta: Gramedia, 2000.
Ash-Shiddieqi, Hasbi. Tafsir Al-Nur. Semarang: Rizki Putra, 2000.
Bakry, Oemar. Tafsir Rahmat. Jakarta: PT Mutiara, 1984.
Darmawan, Dadang. “Ortodoksi Tafsir: Respon Ulama terhadap
Tafsir Tamsjijjatoel Moeslimin karya KH. Ahmad Sanoesi”
Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009.
Ensiklopedi Nasional Indonesia. Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka, 1990.
Federspiel, Howard M. Kajian Al-Qur’an di Indonesia, terj. Tadjul
Arifin.Mizan: Bandung, 1996.
__________ “An Introduction to Qur’anic Commentaries in
Contemporary Southeast Asia”, dalam The Muslim World, Vol.
LXXXI, No. 2, 1991.
Gunseikanbu. Orang Indonesia yang Terkemuka di Jawa. Yogyakarta:
Gadjah Mada Press, 1986.
30
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Tafsir Al-Qur’an di Indonesia: Sejarah dan Dinamika
31
Islah Gusmian Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
32
ASPEK LOKALITAS
TAFSIR AL-IKLĪL FĪ MA’ĀNĪ AL-TANZĪL
KARYA KH MISHBAH MUSTHAFA
Ahmad Baidowi
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
A. Pendahuluan
S
ejarah penafsiran al-Qur’an memperlihatkan bahwa kitab
suci umat Islam ini dipahami secara dinamis dalam sejarah
umat Islam, sejak Nabi Muhammad SAW hingga kini. Dalam
bukunya yang berjudul al-Tafsīr wa al-Mufassīrūn, misalnya,
Muḥammad Ḥusain al-Żahabī mengungkapkan dinamika penafsiran
al-Qur’an tersebut, baik terkait dengan pendekatan, corak, metode
dan lainnya, khususnya pada periode klasik dan pertengahan.1 Hal
yang sama juga dikemukakan oleh beberapa peneliti yang lain,
semisal Mahmud Basuni Faudah2, Jamal al-Banna3 dan lain-lain.
1 Muḥammad Ḥusain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn (Beirut: Dār el-Fikr, 1976), Jilid I dan
II.
2 Mahmud Basuni Faudah, al-Tafsīr wa Manāhijuh (Kairo: Matba’ah al-Amānah, 1977)
3 Jamāl al-Bannā, Tafsir al-Qur’ān al-Karīm Bayn al-Qudāmā wa al-Muḥdiṡīn (Kairo: Dar al-Syuruq,
2008)
Ahmad Baidowi Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
4 Muḥammad Ḥusain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn (Beirut: Dār el-Fikr, 1976), Jilid I dan
II.
5 Farid F Saenong, “Vernacularization of the Qur’an: Tantangan dan Prospek Tafsir al-Qur’an di
Indonesia.” Interview dengan Prof. A.H. Johns, Jurnal Studi al-Qur’an, Vol. 1, No. 3, 2006, hlm.
579.
34
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Aspek Lokalitas Tafsir Al-Iklīl Fī Ma’ānī Al-Tanzīl
6 Lihat dalam Jajang A Rohmana, Sejarah Tafsir al-Qur’an di Tatar Sunda (Bandung: Mujahid Press,
2014), hlm. 7-9; Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika hingga Ideologi
(Yogyakarta: LKiS, 2013). Kajian tentang sejarah kajian al-Quran di Indonesia bisa dilihat misalnya
dalam Aboebakar, Sedjarah al-Qur’an (Djakarta: Sinar Pudjangga, 1952) ; Anthony H John,
“Qur’anic Exegesis in the Malay World: In Seacrh of Profile” dalam Andrew Rippin, Approaches
to the History of the Interpretation of the Qur’an (Oxford: Cralendon Press, 1988)
35
Ahmad Baidowi Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
7 Beberapa bagian biografi ini merujuk pada referensi yang ditulis oleh Kusminah, Penafsiran KH
Mishbah Mustafa Terhadap Ayat-Ayat Amar Ma’ruf Nahi Munkar dalam Tafsīr aI-lkIīI fl Ma’ānī
al-TanzīI. Skripsi Fakutas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Tahun 2013. Juga pada
karya Zazuli Hasan, “Tafsir Pondok Pesantren: Karakteristik Tafsir Tāj al-Muslimīn min Kalām
Rabb al-‘Ālamīn Karya KH Mishbah bin Zainal Mushthafa”, Wonosobo: Program Pascasarjana
UINSIQ Jawa Tengah di Wonosono, 2014.
36
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Aspek Lokalitas Tafsir Al-Iklīl Fī Ma’ānī Al-Tanzīl
37
Ahmad Baidowi Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
8 Zazuli Hasan, “Tafsir Pondok Pesantren: Karakteristik Tafsir Tāj al-Muslimīn min Kalām Rabb
al-‘Ālamīn Karya KH Mishbah bin Zainal Mushthafa”, Wonosobo: Program Pascasarjana UINSIQ
Jawa Tengah di Wonosono, hlm. 1-12.
38
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Aspek Lokalitas Tafsir Al-Iklīl Fī Ma’ānī Al-Tanzīl
39
Ahmad Baidowi Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
Kiai Mishbah mulai menulis kitab tafsimya pada tahun 1977 dan
selesai tahun 1985.10 Kitab Al-Iklīl Fī Ma’anī al-Tanzīl ini mempunyai
10 Menurut catatan Kusminah, Kiai Mishbah menjual kitab tersebut (dengan hitungan lembar) kepada
percetakan al-Ihsan Surabaya, Jawa Timur. Pada saat kitab al-Iklīl Fī Ma‘ānī al-Tanzīl diterbitkan
oleh percetakan al-Ihsan Surabaya, banyak penjelasan-penjelasan ayat yang dihilangkan oleh pihak
percetakan untuk menghindari terjadinya perselisihan. Mengetahui hal tersebut, Kiai Mishbah
sangat kecewa terhadap percetakan tersebut, karena tidak meminta izin terlebih dahulu kepada
Kiai Mishbah sebagai pihak penulis. Namun tidak ada yang bisa dilakukan oleh Kiai Mishbah
dari kejadian itu, karena memang tidak ada undang-undang yang baku untuk menyelesaikan
masalah tersebut. Kekecewaan itu membuat Kiai Mishbah tidak puas dengan penerbitan tafsir
al-Iklil tersebut, sehingga beliau menulis kitab tafsir lagi yang diberi nama Taj al-Muslimin min
Kalam Rabb al-‘Alamin pada tahun 1987. Kiai Mishbah berharap semua penafsiran yang ia tulis
40
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Aspek Lokalitas Tafsir Al-Iklīl Fī Ma’ānī Al-Tanzīl
dalam tafsir ini tidak ada lagi yang dihilangkan. Oleh karena itu, kitab ini dicetak sendiri dengan
mendirikan percetakan pribadi yaitu Majlis Ta’Iif wa al-Khathath. Kitab ini hanya terdiri dari
empat jilid karena di tengah tengah penulisannya Kiai Mishbah meninggal dunia pada tahun 1994.
41
Ahmad Baidowi Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
42
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Aspek Lokalitas Tafsir Al-Iklīl Fī Ma’ānī Al-Tanzīl
43
Ahmad Baidowi Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
11 Wawancara dengan penjaga Toko Kitab Menara Kudus Yogyakarta pada tanggal 25 September
2014.
44
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Aspek Lokalitas Tafsir Al-Iklīl Fī Ma’ānī Al-Tanzīl
12 Sebenarnya al-Qur’an terjemah dengan huruf latin dengan hanya dilakukan dalam bahasa
Indonesia tetapi juga dalam bahasa Inggris seperti yang dilakukan oleh Yusuf Ali, atau dalam
bahasa yang lain. Terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Jawa dengan menggunakan huruf latin
antara lain dilakukan oleh Muhammad Djauzie dalam Al-Qur’an & Terjemahan (Ngajogjakarta:
Penjiaran Islam, t.t.)
45
Ahmad Baidowi Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
46
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Aspek Lokalitas Tafsir Al-Iklīl Fī Ma’ānī Al-Tanzīl
13 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hlm. 261.
47
Ahmad Baidowi Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
48
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Aspek Lokalitas Tafsir Al-Iklīl Fī Ma’ānī Al-Tanzīl
14 KH Mishbah ibn Zain al-Mushthafa, al-Iklīl fī Ma’ānī al-Tanzīl (Surabaya: Maktabah al-Ihsan,
t.t.), I: 15. Terjemahan dari eklimat di atas adalah:
Perbuatan orang munafiq dalam ayat ini adalah perbuatan salah dengan merasa dirinya berbuat
kebaikan, yaitu mengikuti nenek moyang tetapi merasa tidak salah, mengikuti perbuatan yang
tidak ada dasar agamanya. Hal seperti ini banyak terjadi di kalangan orang Islam di Jawa, termasuk
di kalangan pemimpin agama. Seperti mendirikan rumah dengan menggunakan sesaji, kenduri
memakai tumpeng dan lain-lain yang sebetulnya merupakan tradisi orang Budha masa lalu.
15 Itu adalah umat yang telah lalu; baginya apa yang diusahakannya dan bagimu apa yang kamu
usahakan; dan kamu tidak akan diminta pertanggungan jawab tentang apa yang telah mereka
kerjakan. (QS. al-Baqarah [2]: 141)
49
Ahmad Baidowi Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
Iki ayat ing ngarep wus ditutur. Dibaleni iku perlune kito ojo
nganti ngendel-ngendelake ngamal leluhur kito. Lan kita ojo
nganti ngendel-ngendelake anak-anak lan poro muslimin, koyo
tahlil, diwacaake qur’an, dishadaqahi telung dino lan liya-liyane.
Sebab ngamal bagus kang ditrimo dening Allah ta’ala kang diarep
ganjarane biso tumeko marang mayit iku ora gampang, opo maneh
kanggo wong kang sembrono ono ing perkoro ngibadah lan ora
anduweni roso ta’dhim marang Allah ono ing saben ngibadah kang
dilakoni. Coba awake ditakoni dhewe-dhewe: He awak! Siro kok
shodaqah kanggo wong mati kang coro mengkono iku opo wus
bener. Yen jawab bener, bisoo diuji mengkena: yen bener ikhlas
coba dhuwit kang arep kanggo shadaqah iku dishadaqahake faqir
miskin utawa bocah yatim, jawabe: ojo. Mengko ora weruh wong.
Kang mengkono iku ora umum. Kelawan ujian kang sithik bahe
biso katon yen coro shadaqahe iku keliru.16
Sebagaimana bisa dibaca dalam petikan di atas, KH Mishbah
Mushthafa mengritik tentang tradisi masyarakat Jawa yang memi
liki tradisi “mengirimkan pahala” kepada mayit dengan bacaan
tahlil, dzikir dan sebagainya. KH Mishbah tidak sedang mem
persoalkan status tahlilan dan sedekah yang menyertainya karena
sebagai seorang kiai yang berlatarbelakang Nahdlatul Ulama beliau
tentu tidak mempersoalkan status hukum “amalan” tersebut. Dalam
16 KH Mishbah ibn Zain al-Mushthafa, Al-Iklil…, I: 137. Terjemahan teks di atas adalah sebagai
berikut:
Ayat ini sudah disebutkan sebelumnya. Namun diulang lagi agar kita tidak mengandalkan amal
kebaikan orang tua kita, juga jangan sampai kita mengandalkan (bantuan) anak-anak dan umat
Islam pada umumnya seperti tahlil, dibacakan al-Qur’an, disedekahi tiga hari dan lain-lain. Amal
kebaikan yang diterima Allah swt yang pahalanya diharapkan bisa sampai ke orang yang sudah
meninggal itu tidak mudah, apalagi bagi orang yang menyepelekan persoalan ibadah dan tidak
memiliki ta’dhim kepada Allah dalam setiap amal yang dikerjakan. Mari kita bertanya kepada diri
kita masing-masing: Engkau bersedekah untuk orang yang sudah meninggal dengan cara seperti
itu apakah sudah benar? Kalau jawabannya benar, maka bisa diuji dengan cara: Kalau memang
ikhlas, cobalah uang yang akan disedekahkan tadi diberikan kepada fakir miskin atau anak yatim.
Pasti jawabannya, jangan karena nggak dilihat orang dan ini tidak biasa. Dengan cara sederhana
saja, kelihatan bahwa sedekah dengan cara tersebut adalah salah.
50
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Aspek Lokalitas Tafsir Al-Iklīl Fī Ma’ānī Al-Tanzīl
51
Ahmad Baidowi Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
cenderung tidak tepat, “Kelawan ujian kang sithik bahe biso katon
yen coro shadaqahe iku keliru” (Dengan cara sederhana saja,
kelihatan bahwa sedekah dengan cara tersebut adalah salah).
b. Mengeritik Terjemahan Lokal
KH Mishbah Mushthafa sangat kritis terhadap terjemahan kata
atau ayat dalam al-Qur’an yang berkembang di Indonesia. Salah
satu contoh yang dikemukakan KH Mishbah adalah terkait kata
“baqarah” dalam surah al-Baqarah yang dalam Al-Qur’an dan
Terjemah Departemen Agama Republik Indonesia dengan “sapi
betina”. Terjemahan “sapi betina” untuk kata “baqarah” ini dikritik
KH Mishbah ketika menafsirkan ayat 3 Surat al-Taubah mengenai
pembacaan innallāha barī’ min al musyrikīn wa rasūluh. Dalam hal
ini KH Mishbah menulis:
Penulis ditekani pemuda nuli takon: opo hikmahe sapi kang
disembelih dening wong Bani Israil koh sapi wadon koh ora sapi
lanang? Penulis: Sopo kang dhawuh yen sapi iku sapi wadon (sapi
betina) kerono dipungkasi ha ta’nits. Penulis: Amit-amit, iku salah.
Ta kang ono ing lafdaz baqoroh iku dudu ta’ ta’nīṡ nanging ta’ fāriqah
bayn al-mufrad wa al-jam’i, tegese kang ambedaake antara makna
siji lan makna akeh. Kerono lafadz baqor tanpo ta’ iku isim jinis
jam’i. kang aran jinis jam’i iku isim kang anduweni makna akeh
lan dibedaake saking mufrode nanggo ta’ ing akhire. Yen baqor iku
gerombolan sapi akeh, yen baqoaroh iku sapine siji. Yen tamar iku
korma akeh, yen tamrah iku korma siji. Yen syajar iku wit-witan akeh,
yen syajarah iku wit-witan siji. Yen hirrun iku kucing akeh yen hirroh
iku kucing siji. Yen tsamar iku gerombolan woh-woh, yen tsamroh
iku who-wohan siji. Kejobo songko iku tembung surat baqoroh iku
wus dadi ‘alam. Dadi ora keno dimaknani sapi wadon. Yen ono wong
aran Mansur nuli ono tembung Ja’a Mansur opo siro maknani wus
teko sopo wong kang ditulungi? Temtu ora. Nanging teko sopo pak
Mansur. Hiyo opo ora? Pemuda: hiyo-hiyo. Maturnuwun. Penulis:
Isih akeh kesalahan terjemah kang lumaku ono ing zaman saikikang
52
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Aspek Lokalitas Tafsir Al-Iklīl Fī Ma’ānī Al-Tanzīl
53
Ahmad Baidowi Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
menyatakan kang aran jinis jam’I iku isim kang anduweni makna
akeh lan dibedaake saking mufrode nanggo ta’ ing akhire. Yen baqor
iku gerombolan sapi akeh, yen baqarah iku sapine siji (Yang disebut
jenis jam’I adalah isim yang memiliki makna banyak dan dibedakan
dengan bentuk mufradnya dengan huruf ta’ di belakangnya. Kalau
baqar berarti sapi banyak, maka baqarah berarti sapi satu.
Dengan demikian, dari penjelasan tersebut bisa disimpulkan
bahwa kata “baqarah” tidak bisa diartikan dengan sapi betina
sebagaimana dalam beberapa terjemahan al-Qur’an berbahasa
Indonesia, melainkan berarti “satu sapi”.
c. Mengeritik Kegiatan Keagamaan Musabaqah Tilawatil Qur’an
(MTQ)
Dalam kitab tafsirnya al-Iklīl fi Ma’ānī al-Tanzīl, KH Mishbah
Mushthafa juga dengan sangat keras menolak kegiatan Musabaqah
Tilawatil Qur’an (MTQ) yang merupakan fenomena dalam sejarah
umat Islam Indonesia, bahkan dunia. Ketika memberikan penjelasan
terhadap muatan surah al-Taubah ayat 31:
َ الله َو ْالَس
يح ْاب َن َم ْرَي َم َو َما
َّ ُ ْ ً َ َ ْ َ َ ْ ُ َ ْ ُ َ ْ َ ُ َ َّ
ِ ِ اتخذوا أحبا َرهم ورهبان ُهم أ ْربابا ِمن دو ِن
َ ُ ْ َ َ َ ُ
18
١ )٣١( أ ِم ُروا ِإال ِل َي ْع ُب ُدوا ِإل ًها َو ِاح ًدا ال ِإل َه ِإال ُه َو ُس ْب َحان ُه َع َّما ُيش ِركون
Dalam hal ini, KH Mishbah Mushthafa menyatakan:
Bid’ah kang meluwas sehingga mumkin ora keno dibendung kerono
ulama, zu’ama kang keliru kepiye bahe wus podho nindaake yaiku
tahlil nganggo pengeras suara, shalat nganggo pengeras suara, do’a
ing khutbah lan liya-liyane kabeh nganggo pengeras suara. Opo
podho anduweni anggepan yen pengeran iku kopoh utowo wis tuwo?
Temtune ora. Opo maksude? Semono ugo MTQ. Mandar penulis
18 Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah
dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam, Padahal mereka hanya disuruh
menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah
dari apa yang mereka persekutukan. (QS. al-Taubah [9]: 31)
54
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Aspek Lokalitas Tafsir Al-Iklīl Fī Ma’ānī Al-Tanzīl
tau nompo cerito yen MTQ iku kanggo ngasilake dana kanggo
pembangunan. Akhire ayat-ayat Qur’an dikaset kanggo hiburan,
seneng-seneng. Gusti kang moho agung dhawuh: Lau Anzalnā
hadzā al-Qur’ān ‘alā jabal dst. Koyo mengkene kedhudhukane al-
Qur’an, nanging wong-wong kang ngaku ‘ulama lan zu’ama podho
anggunaake al-Qur’an kanggo hiburan kanggo seneng-seneng
kanggo golek dana pembangunan. Mandar ono kang nulis yen
salah sijine rencana iku naome miturut Islam yaiku dana MTQ.
Innalillahi wainna ilayhi raji’un.19
Sebagaimana pernyataan di atas, KH Mishbah Mushthafa sangat
tidak menyetujui lomba membaca al-Qur’an dalam MTQ. Bukan
membaca al-Qur’annya yang dipersoalkan, karena membaca al-
Qur’an jelas diperintahkan dan berpahala bagi yang melakukannya.
Tetapi lomba membaca al-Qur’an yang dilakukan dalam MTQ
itu yang kemudian dipersoalkan oleh KH Mishbah Mushthafa,
dengan alasan hal itu dilakukan untuk kepentingan yang bersifat
material yang dinilai bertentangan dengan ajaran Islam sendiri
sebagaimana kalimat: “Koyo mengkene kedhudhukane al-Qur’an,
nanging wong-wong kang ngaku ‘ulama lan zu’ama podho anggunaake
al-Qur’an kanggo hiburan kanggo seneng-seneng kanggo golek dana
pembangunan”. Bahkan dengan tegas KH Mishbah Mushthafa juga
mengeritik “pengkasetan” pembacaan al-Qur’an karena hal tersebut
juga dianggap sebagai upaya untuk memenuhi kepentingan yang
19 KH Mishbah ibn Zain al-Mushthafa, Al-Iklīl…, 10: 1667-1668. Terjemahan teks di atas adalah:
Bid’ah sudah meluas sehingga tidak mungkin dibendung karena ‘ulama’ dan zu’ama yang salah
sudah melakukannya, seperti tahlil menggunakan pengeras suara, shalat menggunakan pengeras
suara, khutbah dan lainnya juga menggunakan pengeras suara. Apakah mereka beranggapan
bahwa Tuhan itu tuli atau sudah tua? Tentu tidak. Demikian halnya dengan MTQ. Penulis pernah
memperoleh cerita bahwa MTQ dilakukan untuk menghasilkan dana guna pembangunan.
Akhirnya, ayat-ayat al-Qur’an dibikin kaset untuk hiburan, bersenang-senang. Allah swt
berfirman: Lau Anzalna hadzal qur’an ‘ala jabalin dst. Beginilah kedudukan al-Quran, namun
orang-orang yang mengaku ulama’ dan zu’ama memanfaatkan al-Qur’an untuk hiburan dan
senang-senang, untuk mencari dana pembangunan. Bahkan ada yang menulis kalau salah satu
rencana itu sejalan dengan Islam, yaitu MTQ. Innalillahi wainna ilayhi raji’un.
55
Ahmad Baidowi Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
56
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Aspek Lokalitas Tafsir Al-Iklīl Fī Ma’ānī Al-Tanzīl
kabeh iki dianggep bener lan bagus. Santri lan murid sebab saking
kebacute olehe takdhim nganggep yen kabeh kang didhawuhake
lan kang dilakoni iku bener ora bakal salah.
Ringkese, gerak pikire santri lan murid, perkembangan jiwane
tansah ditekan. Perlune ojo nganti takdhime santri lan murid
ilang. Mesthine podho ngrasaake kepriye banggane sang ngulama
lan pendhito Islam yen santri lan muride podo nyucupi tangane,
mandar kadang-kadang ngambung dengkule. Koyo opo gurihe yen
santri lan murid wis salaman templek utowo ngaturake amplop.
Kehormatan kang mengkene iki bakal ilang yen santri lan muride
ora diwedeake terhadap pribadine sang guru. Sangka iku kadang-
kadang sang guru lan pendhito nganaake kedadiyan-kedadiyan
kang ketingale nulayani pengadatan. Upamane weruh opo-opo
sedurunge winarah lan liya-liyane kang coro ngumum disebut
keramat. Masyarakat ngumum ora ngerti yen kahanan kang
nulayani pengadatan itu ono kang biso diusahaake liwat jin, ono
kang biso diusahaake liwat syetan. Ono kang biso diusahaake liwat
malaikat senajan sang guru ora ngerti.20
20 KH Mishbah ibn Zain al-Mushthofa, Al-Iklil…, 10: 1667-1668. Terjemahan teks di atas adalah
sebagai berikut:
Demikian juga ulama Islam dan pendeta Islam yang disebut guru thoriqoh. Dia sangat keterlaluan
dalam mendidik umat Islam awam yang menjadi muridnya supaya tetap bodoh, jangan sampai
tahu ajaran al-Quran dan supaya menaati gurunya yang melewati batas. Misalnya, sang ulama
menyatakan bahwa santri tidak boleh membantah guru karena su’ul adab, santri bagaimanapun
tidak boleh ngungkuli guru, “uquq al-ustaz la taubata lah” bahwa berani kepada guru mencederai
hati sang guru tidak ada taubatnya. Pernyataan kiai yang demikian ini memunculkan sikap murid
dan santri lebih mengunggulkan perintah dan larangan Allah swt dan kalau ulama dan pendeta
Islam itu melakukan apa pun dianggap boleh dan bagus.
Misalnya, boleh memandang dan berkomunikasi dengan muslimat dan fatayat, do’a dan khotbah
menggunakan pengeras suara atau MTQ. Semuanya dianggap benar dan bagus. Santri dan murid
karena berlebihan dalam mentakzhimkan guru beranggapan bahwa semua yang diperintahkan
adalah benar dan tidak mungkin salah.
Ringkasnya, gerak pikir santri dan murid, perkembangan jiwa mereka selalu ditekan. Tujuannya
jangan sampai sikap takzhim zantri dan murid kepada guru menjadi hilang. para guru merasakan
bangga kalau santri dan muridnya mencium tangannya, bahkan mencium lututnya. Betapa
nikmatnya kalau santri dan murid melakukan salam templek atau memberi amplop. Kehormatan
yang seperti ini akan lenyap kalau santri dan murid tidak diberikan rasa takut kepada guru.
57
Ahmad Baidowi Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
Oleh karenanya, kadang-kadang guru dan pendeta melakukan hal-hal yang tidak sejalan dengan
kebiasaan. Seperti weruh sakdurunge winarah dan lainnya yang disebut orang awam dengan
keramat. Masyarakat umum tidak tahu kalau kejadian yang di luar kebiasaan itu bisa diupayakan
lewat jin, syetan atau malaikat sekalipun sang guru tidak menyadarinya.
21 Mengapakah kamu tidak memerangi orang-orang yang merusak sumpah (janjinya), Padahal mereka
telah keras kemauannya untuk mengusir Rasul dan merekalah yang pertama mulai memerangi
kamu?. Mengapakah kamu takut kepada mereka Padahal Allah-lah yang berhak untuk kamu takuti,
jika kamu benar-benar orang yang beriman (QS. al-Taubah [9]: 13)
58
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Aspek Lokalitas Tafsir Al-Iklīl Fī Ma’ānī Al-Tanzīl
Ayat iki nuduhake yen salah sewijine ciri lan sifate wong mu’min
yoiku luwih wedi marang siksane Allah yen ora nindaake perintah
ketimbang wedine marang sak liyane Allah. Wus dadi watak
menuso yen menuso wedi marang opo kang dadi sebab-sebabe
mlarate awake, wedi ulo, wedi macan, wedi gendruwo, wedi feqir,
wedi anake ora mangan, wedi ilang kedhudhukane lan liya-liyane.
Nanging wedi kang macam-macam jurusane iki kanggone wongs
kang ngaku mu’min kudu sak ngisore wedi marang Allah, wedi
marang siksane Allah. Ciri lan sifate wong mukmin kang mengkene
iki arang banget tinemu ono ing kalangane wongkang podho
ngaku mukmin. Koyo opo baguse upamane umat Islam anduweni
sekolahan utowo madrasah kang kanggo andidik muslimin, luwih-
luwih pemudane sehingga anduweni ciri lan sifat-sifate wong
mukmin kang akeh banget kasebut ono ing al-Qur’an. Sebab saben
wong Islam iku mesthi ngakoni yen al-Qur’an iku tuntunan uripe.22
Pernyataan di atas menegaskan bahwa KH Mishbah Mushthafa
sangat menyadari berbagai macam krisis iman yang ada di kalangan
umat Islam. Beliau sangat menginginkan agar umat Islam bisa
memiliki sifat seorang mukmin yang memiliki ciri-ciri yang sangat
banyak di dalam al-Quran. Untuk mencapai hal tersebut, beliau
sangat menyadari pentingnya pendidikan bagi mereka, sehingga
umat Islam perlu memiliki lembaga-lembaga pendidikan. Dengan
pendidikan ini, umat Islam bisa dididik untuk meningkatkan
keislaman dan keimanannya.
22 KH Mishbah ibn Zain al-Mushthafa, Al-Iklīl…, 10: 1620-1622. Terjemahan teks di atas adalah:
Ayat ini menunjukkan bahwa salah satu ciri dan sifat orang mukmin adalah lebih takut kepada
siksa Allah kalau tidak mengerjakan perintah-Nya daripada takut kepada selain-Nya. Sebab
sudah menjadi karakter manusia bahwa mereka takut kepada apa yang menyebabkan munculnya
madlarat baginya, seperti ular, macan, hantu, kemiskinan, takut anaknya tidak makan, takut
kehilangan jabatan dan lain-lain. Namun, takut yang beragam ini bagi seorang mukin harus di
bawah takutnya kepada Allah. Ciri dan sifat orang mukmin yang seperti ini jarang ditemukan
pada orang-orang yang mengaku mukmin. Alangkah bagusnya jika umat Islam memiliki sekolah
atau madrasah untuk mendidik umat Islam, terlebih pemudanya, sehingga memiliki ciri-ciri dan
sifat-sifat orang mukmin sebanyak yang ada dalam al-Qur’an. Sebab, setiap orang Islam pasti
mengakui bahwa al-Qur’an adalah pedoman hidupnya.
59
Ahmad Baidowi Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
E. Kesimpulan
Demikianlah beberapa uraian tentang aspek-aspek lokalitas
yang ada dalam tafsir al-Iklīl fī Ma’ānī al-Tanzīl. Sebagai sebuah
kitab tafsir yang ditulis dan ditujukan untuk masyarakat Islam
yang menggunakan Bahasa Jawa sebagai bahasa pengantarnya,
keberadaan kitab tafsir ini menjadi sangat penting. Dalam khasanah
kemasyarakatan, tafsir ini akan sangat membantu masyarakat Islam
memahami pesan-pesan yang ada di dalam al-Qur’an, dan menjadi
salah satu kitab tafsir alternatif selain kitab-kitab tafsir yang sudah
ada sebelumnya.
Bagi masyarakat akademik, keberadaan kitab tafsir al-Iklīl fī
Ma’ānī al-Tanzīl juga menjadi khasanah tersendiri, di mana kitab ini
merupakan salah satu bentuk karya tafsir yang menggunakan metode
analitis (al-manhaj al-taḥlīlī) yang memberikan cukup perhatian
terhadap persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan. Juga, tafsir
ini merupakan kitab tafsir yang memperlihatkan nuansa lokalitas
dalam penampilan dan aspek komunikasinya sebagaimana sudah
dijelaskan di depan, yakni tafsir yang menggunakan bahasa Jawa dan
aksara pégon. Kitab semacam ini memiliki “pangsa” tersendiri yang
sangat besar jumlahnya di Indonesia, yakni masyarakat santri-Jawa.
60
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Aspek Lokalitas Tafsir Al-Iklīl Fī Ma’ānī Al-Tanzīl
Daftar Pustaka
Aboebakar, Sedjarah al-Qur’an, Djakarta: Sinar Pudjangga, 1952.
Bannā, Jamāl al-, Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm Bayn al-Qudāmā wa
al-Muḥdiṡīn, Kairo: Dār al-Syurūq, 2008.
Faudah, Mahmud Basuni, al-Tafsīr wa Manāhijuh, Kairo: Maṭba’ah
al-Amānah, 1977.
Gusmian, Islah, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika
hingga Ideologi, Yogyakarta: LKiS, 2013.
Hasan, Zazuli, “Tafsir Pondok Pesantren: Karakteristik Tafsir Tāj
al-Muslimīn min Kalām Rabb al-‘Ālamīn Karya KH Mishbah bin
Zainal Mushthafa”, Wonosobo: Program Pascasarjana UINSIQ,
2014.
KH Misbah bin Zain al-Mushtafa, al-Iklīl fī Ma’ānī al-Tanzīl,
Surabaya: al-Ihsan,tt.
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta,
2009.
Kusminah, Penafsiran KH Mishbah Mustafa Terhadap Ayat-Ayat
Amar Ma’ruf Nahi Munkar dalam Tafsīr aI-lkIīI fl Ma’ānī al-
TanzīI. Skripsi Fakutas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta Tahun 2013.
Rippin, Andrew, Approaches to the History of the Interpretation of
the Qur’an, Oxford: Cralendon Press, 1988.
Rohmana, Jajang A, Sejarah Tafsir al-Qur’an di Tatar Sunda, Bandung:
Mujahid Press, 2014.
Saenong, Farid F, “Vernacularization of the Qur’an: Tantangan dan
Prospek Tafsir al-Qur’an di Indonesia.” Interview dengan Prof.
A.H. Johns, Jurnal Studi al-Qur’an, Vol. 1, No. 3, 2006.
Żahabī, Muḥammad Ḥusain al-, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, Beirut:
Dār el-Fikr, 1976.
61
ŪLŪ AL-‘AMR PERSPEKTIF HAMKA
DAN NEGARA BERDASARKAN ISLAM
DI INDONESIA
Ulya
STAIN Kudus
Abstrak
Manusia hidup membutuhkan pedoman. Pedoman hidup bagi
umat muslim adalah Alquran, kitab suci yang berbentuk teks dan
berbahasa Arab. Agar Alquran bisa memberikan pedoman maka
harus membacanya. Membaca dalam arti menafsirkannya dengan
tujuan untuk mendapatkan makna. Upaya untuk mendapatkan
makna ini menuntut peran aktif pembaca, dalam hal ini adalah
penafsir. Imam Ali pernah mengatakan bahwa al-Qur’ān baina
daftayī al-muṣḥafi lā yanṭiqu wa innamā yatakallamu bihi ar-Rijāl.
Tanpa manusia, Alquran selamanya akan bungkam, tak bersuara.
Alquran butuh agen manusia yang menyuarakannya.
Tatkala penafsir menafsirkan alquran tidaklah bisa terlepas
dari konteks yang melingkupinya, ideologi, tujuan yang ingin
dicapai, masalah yang sedang dihadapi, dan seterusnya.
Pendekatan posmodernisme menyatakan tidak ada fakta yang
telanjang. Semua serba dikonstruksi dan representasional. Dalam
konteks inilah, penulis mengasumsikan bahwa tafsir juga hasil
Ulya Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
A. Pendahuluan
A
llah berfirman bahwa “Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada
keraguan padnya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa”. 1
Ini artinya bahwa Alquran diturunkan Allah ke alam dunia
bagaikan kompas bagi umat muslim dalam menempuh jalan-Nya.
Agar kompas itu bisa menunjukkan arah, maka aktivitas tafsir menjadi
solusinya. Aktivitas tafsir berarti kegiatan untuk mengungkap makna
yang terkandung dalam Alquran dan menerangkan maksudnya.
Dengan ini maka aż-Żahabī mengartikan term tafsir dengan al-īḍāh
(menjelaskan) dan at-tabyīn (menerangkan).2
1 Q.S. al-Baqarah [2]: 3. Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur′an Departemen Agama RI,
Al-Qur′an dan Terjemahnya (Jakarta: Indah Press, 1994), hlm.8.
2 Muḥammad Ḥusain aż-Żahabī, At-Tafsīr wa al-Mufassirūn, Jilid 1 (Beirut: Dār al-Fikr, 1976),
hlm.13; Abdul Mustaqim menjelaskan bahwa statemen ‘tafsir’ bisa merujuk pada 2 (dua) makna,
64
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Ūlū Al-‘Amr Perspektif Hamka
yaitu tafsir sebagai proses atau kegiatan penafsiran yang dilakukan oleh mufassir dan tafsir sebagai
produk atau hasil penafsiran dari mufassir. Lihat, Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 5 dan 18
3 Tentang perbincangan otoritas, Khaled M. Abou el-Fadl, membedakannya menjadi 2 (dua), yaitu
otoritas koersif dan otoritas persuasif. Otoritas koersif adalah kekuatan atau kemampuan untuk
mengarahkan perilaku seseorang dengan petunjuk, bujukan, ancaman, hukuman, dan lain-lain
sehingga seseorang tersebut memutuskan bahwa untuk mencapai tujuan yang diinginkannya maka
tidak lain harus mengikuti meski tidak suka atau tidak setuju. Sedangkan yang dimaksud dengan
otoritas persuasif atau otoritas moral adalah kekuatan atau kemampuan untuk mengarahkan
orang lain atas dasar kepercayaan. Lihat dalam Khaled M. Abou el-Fadl, Speaking in God’s Name:
Islamic Law, Authority, and Women (Oxford: Onewordl, 2001), hlm. 18
65
Ulya Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
4 I. Bambang Sugiharto, “Foucault dan Posmodernisme” dalam Basis, Nomor 01 – 02, Tahun ke-51,
Januari –Februari 2002, hlm. 52.
66
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Ūlū Al-‘Amr Perspektif Hamka
67
Ulya Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
10 lihat, Amina Wadud Muhsin, “Qur’an and Women” dalam Charles Kurzman (ed.), Liberal Islam: a
Sourcebook (New York, Oxford: Oxford University Press, 1998), hlm. 12; Amina Wadud Muhsin,
Wanita di dalam al-Qur’an, terj.Yaziar Radianti (Bandung: Penerbit Pustaka, 1994), hlm. 1.
11 Farid Esack, Qur’an Liberation and Pluralism: an Islamic Perspective of Interreligious Solidarity
against Oppression (Oxford: Oneworld Publications, 1997), hlm. 75.
68
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Ūlū Al-‘Amr Perspektif Hamka
69
Ulya Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
14 Ibid., V: 163.
15 Ibid., V: 173.
16 Ibid., V: 168.
70
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Ūlū Al-‘Amr Perspektif Hamka
17 Ibid., V: 164.
18 Ibid., V: 165-166.
19 Ibid., V: 166-167.
20 Ibid., V: 15-176.
71
Ulya Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
َّ َ ُ ُّ ُ َ ۡ َ ۡ َ َ
ٱلر ُسو ِل
َّ ٱللِ َو فإِن ت َنٰ َزع ُت ۡم ِف شءٖ فردوه إِل
Bahwa menurut Hamka, musyawarah yang diidealisasi olehnya
adalah yang bertujuan mendapatkan kata sepakat dan akan memberi
maslahat kebaikan bagi kepentingan bersama, namun jika masih
menyisakan perselisihan di antara mereka yang bermusyawarah,
maka jalan keluarnya adalah mengembalikan keputusan sesuai
dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya, dengan menilik ayat-
ayat Alquran dan teks-teks sunnah ataupun roh syariat, dengan
mencermati pendapat para ulama terdahulu dengan memakai
metode analogi (qiyās). Jika pihak-pihak yang bermusyawarah
masih saja berselisih karena lebih mengedepankan hawa nafsu, maka
penguasa tertinggi atau ūlū al-amr dapat mengambil alih tanggung
jawab untuk memutuskan mana yang menurut ijtihadnya lebih dekat
dengan kehendak Allah dan Rasul-Nya.21
Dan akhirnya, tatkala Hamka berhadapan dengan penggal
terakhir dari ayat tersebut, yaitu:
ً َۡ َ َ َ َ ۡ َّ َ ُۡ ُ ُ
َوأ ۡح َس ُن تأوِيلٞنت ۡم تؤم ُِنون بِٱللِ َوٱلَ ۡو ِم ٱٓأۡلخ ِِرۚ ذٰل ِك خ ۡيإِن ك
Dia menyatakan bahwa kalau tidak percaya kepada Allah dan hari
akhirat, tentulah siapa yang kuat itulah yang di atas yang menguasai
dan menindas, dan siapa yang lemah itulah yang tertindas sehingga
bukan kebenaran jadi tujuan, tetapi hanya semata-mata kekuatan.22
Ini artinya bahwa jika permasalahan tidak juga terselesaikan setelah
dikembalikan pada Allah dan Rasul-Nya, maka berarti mereka yang
bermusyawarah tidaklah menempatkan petunjuk Allah dan Rasul
yang didahulukan, tetapi justru hawa nafsu dan kekuatan yang
diunggulkan.
21 Ibid., V: 170.
22 Ibid., V: 169-170.
72
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Ūlū Al-‘Amr Perspektif Hamka
73
Ulya Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
23 Http://id.wikipedia.org/wiki/Haji_Abdul_Malik_Karim_Amrullah.
24 Lihat, “Kata Pengantar Tafsir al-Azhar (Orang-orang Yang Saya Kenang)” dalam Hamka, Tafsir
al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2008), I: 2.
25 Ayah Hamka adalah seorang ulama yang berprofesi sebagai guru, sejak tahun 1906. Dia mengajar
tanpa membatasi pada suatu kampung atau kota tertentu. Ayahnya mengajar di Padang Panjang,
Matur, dan Padang, serta kampung-kampung yang terletak antara Manindjau dengan Padang
Panjang. Dia seorang yang anti komunis di tahun 1920. Konsekuensinya maka dia tidak disenangi
pihak Belanda sehingga di tahun 1930 dia senantiasa diikuti oleh agen-agen Belanda kemanapun
dia pergi dan laporan tentang pidatonya senantiasa dibuat dan dilaporkan kepada pejabat polisi.
Dia juga sering dipanggil oleh pejabat setempat yang memperingatkannya agar tidak membawa
soal-soal politik dalam pandangan agamanya. Karakter inilah yang kemudian membawa ayah
Hamka di masa tuanya, pada usia 62 tahun, justru mengalami pembuangan di Sukabumi yakni
pada tanggal 12 Januari 1941. Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta:
LP3ES, 1996), hlm. 45, 228.
74
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Ūlū Al-‘Amr Perspektif Hamka
26 Muhammad Damami, Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2000),
hlm.41-42.
27 Muhammadiyah merupakan organisasi keagamaan yang melancarkan pemberantasan terhadap
hal-hal yang dianggap taqlīd, bid‘ah, khurafāt. Organisasi sosial-keagamaan ini didirikan pada
tanggal 18 November 1912 oleh H. Ahmad Dahlan di Yogyakarta. Tujuan organisasi ini adalah
memajukan pengajaran berdasarkan agama, pengertian ilmu agama, dan hidup menurut peraturan
agama. A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia (Jakarta: Dian Rakyat, 1994),
hlm.21.
28 Dinyatakan oleh Hefner bahwa Masyumi sebagai partai politik Islam yang pengikut dan
simpatisannya mayoritas berasal dari anggota organisasi sosial-keagamaan Muhammadiyah.
Robert W. Hefner, Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia, terj. Ahmad Baso (Jakarta:
Institut Studi Arus Informasi (ISAI) Bekerjasama dengan The Asia Foundation, 2001), hlm.95.
29 A. Syafii Maarif, Islam Kekuatan Doktrin dan Kegamangan Umat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1997),
hlm. 116.
75
Ulya Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
30 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta: UI-Press,
1993), hlm.190.
31 Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsensus Nasional Tentang
Dasar Negara Repubik Indonesia (1945-1949) (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hlm.68.
76
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Ūlū Al-‘Amr Perspektif Hamka
32 Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas, dan Aktor Sejarah (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2002) , hlm. 271.
77
Ulya Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
78
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Ūlū Al-‘Amr Perspektif Hamka
79
Ulya Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
37 Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia
(Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 107.
38 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante
(Jakarta: LP3ES, 1987), hlm. 160.
80
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Ūlū Al-‘Amr Perspektif Hamka
39 Luthfi Assyaukanie telah dengan teliti memetakan 3 (tiga) model pemerintahan berbasis Islam
yang dicita-citakan dan didukung oleh muslim Indonesia, yaitu: 1). Negara Demokrasi Islam
(NDI), yakni model negara yang bertujuan menjadikan Islam sebagai dasar negara dan mendorong
kaum muslim mengambil peran utama dalam kehidupan sosial dan politik di Indonesia; 2).
Negara Demokrasi Agama (NDA) yakni model yang menekankan pentingnya kehidupan pluralis
di Indonesia dan bertujuan negara sebagai pengawal semua agama; 3). Negara Demokrasi Liberal
(NDL) atau disebut Negara Demokrasi Sekuler (NDS). Model negara ini bertujuan membebaskan
agama dari dominasi dan mengusung sekularisasi sebagai fondasi agama. Selanjutnya dikatakan
oleh Luthfi bahwa berdasarkan 3 (tiga) model negara tersebut, Masyumi termasuk pendukung
model 1 dan salah satunya eksponennya adalah Hamka, meski masih berada dalam batas-batas
yang moderat. Luthfi Assyaukanie, Ideologi Islam dan Utopia: Tiga Model Negara Demokrasi di
Indonesia, (Jakarta: Freedom Institute, 2011), hlm.7 dan 16.
81
Ulya Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
82
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Ūlū Al-‘Amr Perspektif Hamka
Yang terintegrasikan ke dalam diri yaitu pengetahuan yang diperoleh selama studi dan yang
disampaikan melalui lingkungan sosialnya sehingga membentuk disposisi yang tahan lama, b).
Kapital budaya obyektif yang meliputi seluruh kekayaan budaya (buku, karya-karya seni), dan
c). Kapital budaya yang terinstitusionalisir, bisa berupa: gelar pendidikan yang dilegalkan oleh
institusi, menjadi anggota asosiasi ilmuwan prestisius. Ketiga, modal sosial berupa kemampuan
bekerjasama karena budaya kerjasama melahirkan kepercayaan. Semua dimensi sosial, organisasi,
institusi, keluarga, merupakan tempat tumbuhnya kapital sosial. Keempat, modal simbolik bisa
berupa: jabatan, mobil mewah, gelar, status tinggi, nama besar keluarga. George Ritzer dan
Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, terj. Alimandan (Jakarta: Prenada Media, 2004),
hlm. 525-526.
42 Hamka, Tafsir…, I: 62.
43 Http://id.wikipedia.org/wiki/Haji_Abdul_Malik_Karim_Amrullah.
44 Tercatat kurang lebih 90 (Sembilan puluh) judul buku yang telah ditulis Hamka semasa hidupnya,
baik berupa karya ilmiah bidang keagamaan, politik, tasawuf, tafsir, dan lain-lain. Juga karya-
karya seni kreatif seperti novel, cerpen, biografi, dan lain lain. Hamka juga tercatat sangat
berpengalaman memimpin redaksi majalah-majalah ke-Islaman, seperti: Mimbar Islam, Gema
Islam, Panji Masyarakat, dan lain lain. Lihat dalam Ibid.
83
Ulya Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
Hamka juga diakui sebagai sosok yang Islami dan teguh meme
gang prinsip yang dianggapnya benar.45 Oleh karenanya dia pernah
diangkat menjadi pegawai tinggi di Departemen Agama, juga pernah
menjabat sebagai pemimpin tertinggi di lembaga fatwa nasional,
MUI, kendati pada akhirnya Hamka lebih memilih mengundurkan
diri dari kedua jabatan tersebut. Jika yang pertama disebabkan
ultimatum Soekarno yang membuat Hamka harus memilih di
antara 2 (dua) yaitu menjadi pejabat negara dan mengikuti aturan
presiden atau aktif di Masyumi dan bebas dalam gerakannya
memperjuangkan dasar Islam di Indonesia, dan Hamka memilih aktif
di Masyumi saja.46 Sedangkan yang kedua disebabkan karena fatwa
keharaman melakukan natal bersama bagi masyarakat muslim yang
disampaikannya pada tahun 1980-an.47 Dia lebih mempertahankan
pendapatnya ini dari pada mengakomodir kepentingan pemerintah
yang pada saat itu sedang bergulat dalam menumbuhkan kerukunan
beragama.
Ketinggian pengetahuan yang dimiliki Hamka, keluasan
pengalamannya, serta watak moral dan kepribadiannya seperti
dipaparkan di atas telah membuat sebagian masyarakat muslim
Indonesia pembaca tafsirnya mewakilkan otoritas penafsiran
kepadanya. Keterwakilan ini bukan bersifat derivatif dan bukan
berasal dari Tuhan, tetapi didapatkan dari para pembaca tafsirnya
yang melimpahkan kepercayaan mereka pada Hamka.48 Selanjutnya
45 Sikap tegas Hamka ini sebagaimana dia menyatakannya sendiri bahwa dia dalam memperjuangkan
ajaran Islam, dia hanya mengikuti garis tertentu, tidak membelok ke kanan atau ke kiri, yaitu
menyebarkan kata Allah dan kata Rasulullah menurut yang diyakininya, tidak membenci
pemerintah yang berkuasa tetapi tidak pula bersedia menjilat-jilat pemerintah, tidak mau pula
menyediakan diri mempermainkan agama untuk mencapai kerelaan manusia yang berkuasa.
Lihat, “Hikmat Ilahi” dalam Hamka, Tafsir…, I: 69-70.
46 Http://id.wikipedia.org/wiki/Haji_Abdul_Malik_Karim_Amrullah.
47 Azyumardi Azra, Historiografi..., hlm.279, 288.
48 Dalam bahasa otoritas, maka di sinilah telah terjadi pelimpahan otoritas atau peristiwa
keterwakilan dari wakil umum (common agents) yaitu masyarakat muslim awam kepada wakil
khusus (a special group/ a certain strata of agents), yakni mufassir. Masyarakat muslim atau wakil
84
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Ūlū Al-‘Amr Perspektif Hamka
85
Ulya Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
51 Haedar Nashir, Gerakan Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia (Jakarta: Psap,
2007), hlm. 282-385.
52 Pertalian IMI dan partai-partai penjelmaan Masyumi dan PBB dengan Hamka barangkali
lebih jelas dibandingkan dengan lainnya. Data didapatkan bahwa Ikhwān al Muslimīn di Mesir
memiliki kedekatan dengan Masyumi dan Hamka sebagai salah satu eksponennya. Sebagaimana
dijelaskan bahwa Ikhwān al Muslimīn adalah salah satu jamaah atau kelompok umat Islam
yang semula berdiri di Mesir, 1928, dengan pemimpin Ḥasan al-Bannā, yang mengajak dan
menuntut ditegakkannya Syariat Islam, hidup di bawah naungan Islam seperti yang diturunkan
Allah kepada Rasulullah dan diserukan pada para salaf aṣ-ṣālih. Ikhwān al Muslimīn masuk ke
Indonesia melalui jamaah haji dan kaum pendatang dari Timur Tengah di sekitar tahun 1930. Pada
zaman kemerdekaan, Agus Salim pernah pergi ke Mesir dan mencari dukungan kemerdekaan.
Ikhwān al Muslimīn ini memiliki peran penting dalam proses kemerdekaan Republik Indonesia
karena atas desakan Ikhwān al-Muslimīn, negara Mesir menjadi negara pertama yang mengakui
kemerdekaan Republik Indonesia setelah dijajah selama 3,5 abad oleh Belanda. Kemudian Agus
Salim bersama H. Rasyidi menyampaikan terima kasih kepada Syaikh Ḥasan al-Bannā, pimpinan
Ikhwān al-Muslimīn, yang telah dengan kuat sekali menyokong perjuangan kemerdekaan
Indonesia. Ikhwān al-Muslimīn semakin berkembang di Indonesia setelah Muhammad Natsir
mendirikan partai yang memakai ajaran kelompok ini, yaitu partai Masyumi. Lihat dalam Http://
id.wikipediaorg/../Ikhwanul_Muslimin; seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa Hamka sendiri
adalah salah satu wakil konstituante dari Masyumi, sekaligus ideolog Masyumi. Lihat, Luthfi
Assyaukanie, Ideologi…, hlm.80; dalam perjalanan sejarahnya, di penghujung tahun 1950-an,
Masyumi dibredel oleh Soekarno, namun pada era reformasi, menjelang pemilu tahun 1999 ,
partai ini bermetamorfose dengan nama PMB dan PPIM. Selain itu PBB juga mendeklarasikan
partainya sebagai keluarga besar Masyumi. Oleh karena itu tidak mengherankan jika PBB, partai
yang didirikan oleh Yusril Ihza Mahendra ini, telah memilih halaman Masjid Agung al-Azhar
Kebayoran Baru, Masjid yang didirikan Hamka, sebagai tempat apel akbar pertama setelah PBB
dideklarasikan tanggal 17 Juli 1998. Lihat, Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca – Soeharto
(Jakarta: LP3ES, 2003), hlm.72-73, 66.
86
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Ūlū Al-‘Amr Perspektif Hamka
F. Kesimpulan
Sebagai akhir pembahasan makalah ini maka perlu penulis
menegaskan bahwa tafsir ūlū al-amr versi Hamka sebagaimana
dijelaskan di atas, dikonstruk untuk merepresentasikan
perlawanannya terhadap ide-ide netral agama atau ide sekular yang
saat itu dibawa kelompok nasionalis yang tergabung dalam PNI, PKI,
dan lain-lain dengan meneguhkan ide besar kelompok Islam yang
tergabung dalam partai Islam Masyumi, yang mengusulkan negara
berdasarkan agama, yakni Islam, tanpa mengenal kompromi.
Meskipun Masyumi telah dibubarkan oleh pemerintahan Orde
Lama, ide besar Masyumi yang telah mendapatkan pendasaran
teologisnya dari Hamka tetaplah hidup sampai sekarang, bahkan
mengilhami, menginspirasi, dan menjadi landasan argumentatif
bagi sebagian umat muslim, siapapun, kapanpun, yang berada dalam
wilayah perjuangan dalam mencapai cita-cita yang sama. Pewarisan
ide Hamka ini telah merevitalisasi munculnya partai-partai
berasaskan Islam pada masa sesudahnya, menjadi akar bagi tumbuh
kembangnya gerakan-gerakan yang bercita-cita memberlakukan
ajaran Islam dalam kehidupan sosial- politik, menjadi dalil bagi
masyarakat muslim tertentu yang menghendaki formalisasi Islam
dalam kehidupan bernegara, dan akhirnya memicu mekarnya ide-
ide khilafah atau lahirnya kembali negara Islam. 53
53 Hal yang demikian pernah dilontarkan dengan tegas oleh Luthfi Assyaukanie bahwa di sepanjang
sejarahnya, gagasan negara Islam ini selalu berkaitan dengan Masyumi, dan Hamka adalah
salah satu eksponennya. Bisa dikatakan bahwa semua tokoh radikal yang muncul di masa paska
pemerintahan Soeharto juga memiliki kaitan secara langsung dan tidak langsung dengan DDII,
lembaga sosial Islam yang berkonsentrasi pada misi dan pengajaran Islam. DDII ini merupakan
kepanjangan tangan Masyumi setelah Masyumi dibubarkan. Abu Bakar Ba’asyir, pimpinan Jamaah
87
Ulya Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Al-Jābirī, Muḥammad ‘Ᾱbid, Takwīn al-‘Aql al-‘Arabī, Beirut: al-
Markaz aṡ-Ṡaqafī al-‘Arabī, 1991.
Amir, Zainal Abidin, Peta Islam Politik Pasca – Soeharto, Jakarta:
LP3ES, 2003.
Anshari, Endang Saifuddin, Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah
Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Repubik Indonesia
(1945-1949), Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
Assyaukanie, Luthfi, Ideologi Islam dan Utopia: Tiga Model Negara
Demokrasi di Indonesia, Jakarta: Freedom Institute, 2011.
Azra, Azyumardi, Historiografi Islam Kontemporer: Wacana,
Aktualitas, dan Aktor Sejarah, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2002.
Aż-Żahabī, Muḥammad Ḥusain, At-Tafsīr wa al-Mufassirūn, Jilid I,
Beirut: Dār al-Fikr, 1976.
Damami, Muhammad, Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka,
Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2000.
Effendi, Bahtiar , Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan
Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998.
El-Fadl, Khaled M. Abou, Speaking in God’s Name: Islamic Law,
Authority, and Women, Oxford: Onewordl, 2001.
Esack, Farid, Qur’an Liberation and Pluralism: an Islamic Perspective
of Interreligious Solidarity against Oppression, Oxford: Oneworld
Publications, 1997.
Islamiyah, dan Abdullah Sungkar, pimpinan Jamaah Islamiyah lainnya, adalah ketua DDII cabang
Jawa Tengah; Ja’far Umar Talib, pemimpin Laskar Jihat, adalah salah satu Khatib DDII yang
paling sukses, Tamsil Linrung, yang ditangkap di Philipina karena membawa peledak, adalah
juga pemimpin DDII. Lihat, Luthfi Assyaukanie, Ideologi…, hlm.20, 236, 237,243.
88
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Ūlū Al-‘Amr Perspektif Hamka
89
Ulya Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
Internet
Http://id.wikipedia.org/wiki/Haji_Abdul_Malik_Karim_Amrullah.
Http://id.wikipedia.org/../Ikhwanul_Muslimin
www.fpi.or.id
www.hizbut-tahrir.or.id
www.mmi.co.id
90
TEOLOGI BENCANA
DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN
Abdul Mustaqim
UIN Sunan Kalijaga
A. PENDAHULUAN
S
alah satu persoalan yang sedang mendera masyarakat dewasa
ini adalah terjadinya berbagai bencana, mulai dari tanah
longsor, banjir di Jakarta, gempa bumi di Bantul, tsunami di
Aceh dan Mentawai Sumatera Barat, hingga meletusnya gunung
Merapi di Yogyakarta dan lain sebagainya. Bencana tersebut telah
mengakibatkan rusaknya harta benda, rumah dan pemukiman
warga. Bahkan puluhan ribuan korban jiwa meninggal dengan
mengenaskan, belum lagi duka nestapa para anggota keluarga yang
ditinggalkan.
Menangani persoalan bencana, sesungguhnya diperlukan berba
gai pendekatan, tidak hanya pendekatan ekonomi, politik, atau
psikologi, melainkan juga diperlukan pendekatan teologis (baca:
agama). Telebih al-Qur’an juga diyakini sebagai sumber nilai tertinggi
bagi umat Islam, bahkan ia juga menjadi sumber inspirasi untuk
mencari solusi dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan
termasuk masalah bencana.
Abdul Mustaqim Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
1 Komentar seperti itu, biasanya muncul dari kalangan pemerintah, misalnya komentar SBY dan
Sri Sultan Hamengkubuono ke X Yogyakarta ketika terjadi bencana Gempa bumi dan meletusnya
Merapi, tujuannya untuk menenangkan masyarakat.
2 Disarikan dari beberapa wawancara penulis dengan para korban gempa dan bencana Merapi di
Yogyakarta.
92
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Teologi Bencana dalam Perspektif Al-Qur’an
3 Misalnya, ada sebagian warga yang nekad melakukan aksi bunuh diri dengan terjun ke sumur,
karena merasa tidak ada lagi harapan hidup, ketika terjadi gempa di Bantul Informasi dari seorang
informan di Bantul Yogyakarta saat terjadi Gempa Bumi Tektonik Sabtu 26, Mei 2006.
4 Lihat Stephan Baas, Disaster Risk Management Systems Analysis (New York: USA Press, 2008).
5 Dalam teori anti sinonimtas dikatakan bahwa,. Ikhtilâf al-`Ibârat mûjiban li’ikhtilâf al-maani fi
kull lughah. Artinya, perbedaan ungkapan pasti mendatangkan perbedaan maknanya, dalam
setiap bahasa. Abu Hilâl al-Askari, al-Furûq fil Lughah (Beirut: Dar al-Afaq al-Adikah, 1973),
hlm. 13-14.
6 Yaitu di Q.S al-Baqarah :156, Ali Imrân 165, al-Nisâ’ 62 dan 72, al-Mâidah: 106, al-Tawbah: 50,
al-Qashash: 47, al-Syura: 30, al-Hadîd 22, dan al-Taghâbun: 11.
93
Abdul Mustaqim Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
B. METODOLOGI
Dalam riset ini penulis menempuh beberapa proses dan prosedur
dalam rangka menjawab problem akademik, sebagai berikut:
1. Kerangka Teori
Dalam khazanah Islam klasik, teologi selama ini sering dipa
hami sebagai ilmu akidah atau ushuluddin yang berbicara tentang
sistem keyakinan Islam.7 Istilah teologi selama ini dipahami sangat
teosentris, artinya hanya membincang sejumlah konsep-konsep
untuk “mengurusi” Tuhan, misalnya apakah kalâmullâh itu qadîm
atau hadîts?, bagaimana sifat-sifat Tuhan, bagaimana keadilan
Tuhan, bagaimana menilai orang lain kafir atau mukmin dan
sebagainya, sementara persoalan manusia dan lingkungan nyaris
tidak disinggung.
94
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Teologi Bencana dalam Perspektif Al-Qur’an
8 Lihat Hasan Hanafi, Min al-Aqîdah ila al-Tsaurah Juz I (Kairo: Maktabah Matbuli, 1991). Lihat
pula Abdul Hadziq, “Teologi Fungsional..” dalam Amin Syukur dkk. Teologi Terapan Upaya
Antispatif Terhadap Hedonisme Modern (Solo: Tiga Serangkai, 2003), hlm. 37.
95
Abdul Mustaqim Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
9 Fazlur Rahman, Islam and Modernity (Chicago: The University Chicago Presd tth), hlm. 2-4
96
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Teologi Bencana dalam Perspektif Al-Qur’an
97
Abdul Mustaqim Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
12 Bandingkan dengan Abû Hayy al-Firmawi, al-Bidâyah fi al-Tafsîr al-Mawdlû‘i (Kairo: al-Hadarah
al-’Arabiyah, 1976), hlm. 49-50.
13 Dikutip dari Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm.
161.
98
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Teologi Bencana dalam Perspektif Al-Qur’an
99
Abdul Mustaqim Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
berarti: tampak jelas, rusak, menguji, dan sedih. Kata balâ’ dalam al-
Qur’an terulang enam kali. Bentuk jamaknya adalah balayâ, dengan
segala derivasinya dipakai dalam al-Qur’an sebanyak 33 kali, tersebar
dalam berbagai surat 16
Masing-masing makna dasar tersebut ternyata memiliki relasi
semantis yang sangat kuat. Misalnya bahwa kata balâ sebagai ujian
sengaja diberikan Allah Swt untuk menguji atau mengetes seseorang,
agar tampak jelas, atau untuk mengetahui kualitas objek yang diuji.
Itu sebabnya, kata bala’ lalu diartikan dengan cobaan atau ujian.17
Di sisi lain, bala’ yang menimpa manusia seringkali juga membawa
kesedihan dan kerusakan.18 Bukankah ketika seseorang tertimpa bala’,
secara piskologis umumnya juga sedih dan sering mengakibatkan
kerusakan material ?
Diantara makna balâ’ yang berarti ujian atau cobaan adalah
sebagaimana disebut dalam al-Qur’an:
ُ َۡ َۡ ۡ َ ِ ُ ۡ َ ۡ َ ۡ َ ّ ۡ َ ُ َّ َ ُ ۡ َ َ َ
وع َونق ٖص ّم َِن ٱل ۡم َو ٰ ِل َوٱلنف ِسولبلونكم بِشءٖ مِن ٱلو ِف وٱل
َّ
َ ٱلصٰب ّ َ َ ٰ َ َ َّ َ
١٥٥ ين ِِ ش
ِ ِ ت وبۗ ِ وٱثلمر
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan
sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-
buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang
sabar. (Q.S. al-Baqarah [2]: 155)
Dalam al-Qur’an, term balâ’digunakan untuk menunjuk
pada ujian yang berupa kenikmatan, seperti kekayaan atau
kemuliaan. Term balâ juga dapat merujuk pada ujian yang
berupa keburukan, seperti kemiskinan, kematian kegagalan
dan sebagainya. Itulah mengapa dalam percakapan sehari-hari,
16 Ibn Faris, Mu’jam Maqâyis fi al-Lughah, hlm 134-135, Lihat pula Ahmad Warson, Kamus al-
Munawir, hlm. 118.
17 Ibn Manzhûr, Lisânul Arab, (Libanon: Dar Al-Kutub Al-ilmiyah, 2009), Vol. 14, hlm. 103.
18 Al-Râghib al-Asfihani, Mu’jam Mufradât Alfâdz al-Qur’ân (Beirut: Dar al-Fikr, tth), hlm. 59
100
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Teologi Bencana dalam Perspektif Al-Qur’an
sering dikatakan: هللا تعالى يبلي العبد بالء حسنا و بالء سيأyang artinya
Allah menguji seorang hamba dengan ujian yang baik dan ujian
yang buruk.
Dalam ayat tersebut terdapat frasa walanabluwannakum (Dan
sungguh kami akan memberi bala’ kepada kalian). Kalimat tersebut
menggunakan fiil mudlari (bentuk sekarang atau akan datang).
Menurut para ulama Ulumul Qur’an, al-khithâb bil fi’il yadullu
‘alâ al-tajaddud wal hudûts (bahwa khitab dengan fiil mudlari’
menunjukkan peristiwa yang selalu mengalami pembaharuan)19
Hal itu memberi isyarat bahwa bala atau ujian dalam kehidupan
manusia ini akan terus berlangsung dan dialami oleh manusia.
Apabila manusia mampu menyikapinya dengan sikap terbaik dan
bersabar, niscaya akan dilimpahkan rahmat Tuhan dan digolongkan
sebagai orang-orang yang memperoleh petunjuk (Q.S. al-Baqarah
[2]: 157).
Term balâ’dengan makna ikhtibâr (ujian) yang menunjukkan
bentuk cobaan yang menyenangkan, misalnya dalam Surat al-Anfâl
[8] 17, yakni ketika umat Islam diberi kemenangan pada waktu
perang Badar. Dalam ayat tersebut, kemenangan dalam peperangan
disebut dengan kata balâ’an hasanâ (ujian kemenangan). Demikian
pula ketika Nabi Sulaiman diberikan berbagai kemuliaan berupa
kekayaan dan kekuasaan serta kemampuan berkomunikasi dengan
hewan/binatang (Q.S. al-Anfâl [27]:40). Sementara bala’ dalam
konteks yang tidak menyenangkan terungkap dalam kisah umat Nabi
Musa, ketika mereka diuji oleh Allah melalui Fir’aun yang menyiksa
mereka serta membunuh anak-anak mereka (Q.S al-Baqarah [2]:
49, al-A’raf [7]: 141, dan kisah Nabi Ibrahim ketika diuji oleh Allah
untuk menyembelih puteranya Isma’il (Q.S. al--Shaffât: 104-106).
19 Manna’ al-Qaththan, Mabâhits fi `Ulûm al-Qur’ân (ttp: Mansyurat lil Al-Ashr al-Hadis 1973),
hlm. 206.
101
Abdul Mustaqim Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
20 Abû Hasan Ahmad ibn Fâris, Mu’jam Maqâyis al-Lughah (Beirut: Dar Ihya al-Turâts), hlm.556
102
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Teologi Bencana dalam Perspektif Al-Qur’an
21 Al-Raghib al-Ashfihani, Mu’jam Mufradati Alfadzil Qur’an,(Beirut: Dar al-Fikr, tth), hlm.385
22 Lihat KBBI entri “fitnah”
103
Abdul Mustaqim Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
104
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Teologi Bencana dalam Perspektif Al-Qur’an
َ َّ ۡ ُ ُ َ ٓ ََ َۡ َ َما ٓ أَ َص
ب ّمِن
ٖ ٰ ِت ك ف ل
ِ ِ إ م ِك
س نف أ فِ ل و ِ
ۡرض ٱل فِ ة
ٖ
َ اب مِن ُّم ِص
يب
ٞ َ َّ َ َ َ ٰ َ َّ ٓ َ َ َ ۡ َّ َ ۡ َ
٢٢ قب ِل أن نبأها ۚ إِن ذل ِك ع ٱللِ يسِري
Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu
sendiri, semuanya telah tertulis dalam kitab (lauh mahfudz)
sebelum kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu
mudah bagi Allah. Q.S Al-Hadid [57]: 22
Namun hal ini tidak berarti lalu manusia boleh menyalahkan
Tuhan, Manusia tidak boleh “mengkambing hitamkan” Tuhan
sebab semua perbuatan Tuhan adalah baik, sementara aktualisasi
terjadinya bencana yang dalam konteks teguran atau siksaan lebih
disebabkan oleh perilaku manusia yang kufur terhadap Tuhan atau
menentang sunnatullah.Perhatikan firman Allah Swt:
٣٠ ري ث
َ َ ْ ََُۡ ۡ ُ
ك ن ع وا ف ع ي و م ِيك
د ۡت َأي
ۡ يبة فَب َما َك َس َب ُ َٰ َ َ ٓ َ َ
َ كم ّمِن ُّم ِص وما أصب
ٖ ِ ِ ٖ
dan apa saja musibah yang menimpa kamu Maka adalah
disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaaf
kan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). (Q.S. al-Syura;
42; 30)
Oleh karena itu, manusia perlu berbenah diri dan introspeksi
serta kembali ke jalan Tuhan agar bencana dalam konteks petaka
alam dapat dihindarkan seminimal mungkin.
3. Faktor Penyebab Bancana
Terdapat berbagai penyebab terjadinya bencana alam antara
lain adalah: Pertama, sikap takdzîb (mendustakan) terhadap ayat-
ayat Tuhan dan ajaran para rasul, sebagaimana dalam Q.S. Ali
Imran [3]:11 dan Q.S. al-A’raf [7]:64. Kedua, sikap zhalim berbuat
aniaya diri, sebagaimana dalam Q.S. al-Anfal [8]: 25. Ketiga, isrâf
(berlebihan-lebihan) dalam berbuat maksiat (Q.S. al-Araf [7]:
81) dan juga berlebihan dalam mengeksplotasi alam Q.S. al-Rum
[30]:41. Keempat, jahl (berlaku bodoh) termasuk ketika manusia
105
Abdul Mustaqim Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
106
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Teologi Bencana dalam Perspektif Al-Qur’an
D. Kesimpulan
1. Teologi bencana adalah suatu konsep tentang bencana dengan
berbagai kompleksitasnya yang didasarkan pada pandangan
al-Qur’an. Menurut al-Qur’an term bencana dapat terwakili
dengan beberapa istilah, yaitu bala’ yang secara bahasa dapat
berarti jelas, ujian, rusak. Bencana yang diungkapkan dengan
term bala’ mempunyai aksentuasi makna bahwa bencana
itu merupakan bentuk ujian Tuhan yang sengaja diberikan
Tuhan untuk menguji manusia, agar tampak jelas keimanan.
Bala’ dapat berupa hal-hal yang menyenangkan , dapat pula
hal-hal yang tidak menyenangkan. Sementara itu, bencana
dengan term mushîbah lebih merupakan segala sesuatu yang
menimpa manusia yang umunya berupa hal-hal yang tidak
menyenangkan. Ketika terkait dangan hal-hal yang baik, maka
al-Qur’an menisbatkannya kepadaAllah, sementara ketika
musibah itu terkait dnegan hal-hal yang menyengsarakan, al-
Qur’an menyatakannya, bahwa hal itu akibat kesalahan manusia.
Maka musibah itu sesungguhya bisa sebagai ujian, bisa pula
sebagai teguran, bahkan juga bisa sebagai siksaan. Sedangkan
bencana disebut dengan fitnah, maka kecenderungan maknanya
adalah untuk menguji manusia. Bencana yang diungkapkan
dengan term fitnah lebih merupakan ujian untuk mengetahui
kualitas seseorang.
2. Secara ontologis al-Qur’an memandang bahwa bencana itu
merupakan bagian dari sunnah kehidupan, yang memang
telah menjadi “desain” Tuhan di al-Lauh Mahfudz. Bencana
tidak mungkin terjadi kecuali atas izin Tuhan dan atas sepenge
tahuan-Nya. Namun hal ini tidak berarti lalu manusia hendak
menyalahkan Tuhan, sebab terdapat berbagai penyebab
terjadinya bencana alam antara lain adalah 1) sikap takdzîb
(mendustakan) terhadap ayat-ayat Tuhan dan ajaran para
rasul, 2) zhalim berbuat aniaya diri, tidak menempatkan
107
Abdul Mustaqim Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
Daftar Pustaka
A.S. Hornby, CambridgeAdvanced Leaner’s Dictibary, Thirth Edition,
Cambridge: Cambridge University Press, 2008.
Asfihani, a-lRâghib al-, Mu’jam Mufradât Alfâdz al-Qur’ân Beirut:
Dar al-Fikr, tth
Askari, Abu Hilâl al-, al-Furûq fi al-Lughah , Beirut: Dar al-Afaq
al-Adikah, 1973.
Azhar, Muhammad, Wawasan Sosial Politik Islam Kontekstual,
Yogyakarta: UPFE, Universitas Muhammadiyah, 2005.
Baas, Stephan, Disaster Risk Management Sytems Analysis, New York:
USA Press, 2008.
Firmawi, Abû Hayy, al- al-Bidâyah fi al-Tafsîr al-Mawdlû‘I, Kairo:
al-Hadarah al-’Arabiyah, 1976.
Gracia, Jorge J.E. A Theory of Textuality: The Logic and Epistemology,
Albany: State University of New York Press, 1995
Hadziq, Abdul, “Teologi Fungsional..” dalam Amin Syukur dkk.
Teologi Terapan Upaya Antispatif terhadap Hedonisme Modern,
Solo: Tiga Serangkai, 2003.
Hanafi, Hasan, Min al-Aqîdah ila al-Tsaurah Juz I, Kairo: Maktabah
Matbuli, 1991.
108
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Teologi Bencana dalam Perspektif Al-Qur’an
109
Abdul Mustaqim Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
110
RESEPSI HERMENEUTIKA
DALAM PENAFSIRAN AL-QUR’AN
OLEH M. QURAISH SHIHAB:
Upaya Negosiasi Antara Hermeneutika
dan Tafsir al-Qur’anuntuk Menemukan
Titik Persamaan dan Perbedaan.
Muzayyin
A. Pendahuluan
Kajian kritis keagamaan lewat pendekatan hermeneutika1 dalam
konteks studi al-Qur’an banyak menarik perhatian kalangan
1 Hermeneutika berasal dari kata Hermenium (Bahasa Yunani) yang berarti penjelasan, penafsiran,
penerjemahan.Ada juga yang berpendapat bahwa kata tersebut diambil dari kata Hermes, yang
dalam mitologi Yunani merupakan sosok yang bertugas menyampaikan berita dari para dewa dan
bertugas menjelaskan maksudnya kepada manusia. Mengomentari sosok Hermes, banyak ulama
Muzayyin Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
maupun cendekiawan Muslim, seperti Sulaiman ibn Hassan ibn Juljul dalam Thabaqat al-Athibba’,
Muhammad Thaher Ibn ‘Asyur ketika menafsirkan QS.Maryam [19]; 56, Seyyed Hossein Nasher,
dalam Knowledge an the Sacred, dan masih banyak lagi lainnya berpendapat bahwa Hermes adalah
nabi Idris as. Quraish Shihab, menambahkan penjelasan tersebut, menurutnya penamaan Hermes
dengan Idris bisa jadi, karena menurutnya beliau adalah orang pertama yang mengenal tulisan
atau orang yang banyak belajar dan mengajar. Ini menunjukkan bahwa Hermes adalah orang
terpilih untuk menjelaskan pesan-pesan yang Mahakuasa kepada manusia. M. Quraish Shihab,
Kaidah Tafsir, (Tangerang:Lentera Hati, 2013). hlm. 402.
2 Gagasan perlunya penerapan metode hermeneutika dalam studi Al-Qur’an ini, begitu marak.
Seruan itu serempak disuarakan oleh para sarjana Muslim kontemporer, baik di negara-negara
Timur Tengah maupun belahan dunia Islam lainnya, termasuk juga di Indonesia. Sebagai contoh
para tokoh Arab kontemporer yang getol menyuarakan gagasan ini antara lain; Fazlur Rahman,
Muhammad Syahrur, Nasr Hamid Abu Zayd, Hassan Hanafi, Asghar Ali Engineer, Riffat Hasan,
Amina Wadud dan para tokoh lain dengan konsep-konsep barunya yang cenderung berbeda
dengan konsep para ulama terdahulu. Adapun dalam konteks di Indonesia sendiri, metode
hermeneutika ini telah ditetapkan sebagai mata kuliah wajib di jurusan Tafsir Hadis di beberapa
Perguruan Tinggi Islam seperti Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN
Sunan Gunung Djati Bandung, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Perguruan Tinggi lainya.
Bahkan bisa dikatakan, hermeneutika ini telah menjadi madzhab kampus mereka, karena kuatnya
pengaruh petinggi kampus yang mempromosikan paham ini. Misalnya, dalam acara workshop
di Hotel Santika Yogyakarta pada bulan Ramadhan 2005, yang dihadiri oleh para dosen dari
sejumlah kampus di Yogyakarta, materi yang paling pelik pembahasannya adalah materi tentang
hermeneutika. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa, “Bagi IAIN Yogya (sekarang UIN),
masalah hermeneutika sudah selesai. Istilahnya, “Pencarian kami sudah selesai dan ketemu dengan
hermeneutika”.Ada juga yang mengatakan bahwa, “Di kampus itu, penggunaan hermeneutika
untuk menafsirkan Al-Qur’an sudah menjadi harga mati”.Lihat, Adian Husaini dan Abdurrahman
al-Baghdadi, Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an (Jakarta: Gema Insani Press, 2007), hlm.2; lihat
pula Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi (Jakarta:
Gema Insani Press, 2006), hlm.134, 142.
3 Argumentasi tentang keabsolutan al-Qur’an sebagai firman Tuhan, yang mengatasnamakan
dirinya sebagai satu-satunya kitab yang terbebas dari segala unsur kesalahan dan perubahan,
ditegaskan oleh Tuhan dalam beberapa ayat-Nya, salah satunya ialah Q.S.al-Hijr:9 yang berbunyi;
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya”.Ayat ini memberikan jaminan tentang kesucian dan kemurnian al-Quran selama-
lamanya.
112
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Resepsi Hermeneutika
4 Ide ini juga tidak terlepas dari argumentasi yang disampaikan oleh al-Qur’an sendiri yaitu yang
siap menantang siapa saja yang masih meragukan kebenarannya untuk menciptakan suatu karya
sastra yang dapat menandingi dan menyamainya. Pada mulanya al-Qur’an menantang kepada
mereka yang tidak dapat mempercayai kebenarannya berasal dari Allah, agar dapat pula menyusun
sepuluh surat yang setara dengan sepuluh surat yang terdapat di dalamnya. Tantangan tersebut
bisa dibaca di surat Hud:13-14. Oleh karena mereka tidak sanggup menjawab tantangan tersebut,
maka dipermudah lagi menjadi satu surat saja, hal ini bisa dibaca di surat al-Baqarah:23. Al-Qur’an
juga mempertegas lagi ketidakmampuan mereka dalam menjawab tantangan ini, tetapi mereka
tidak mampu melakukannya. Oleh karena itu, tidak ada seorang pun yang mampu menyamainya
meskipun manusia dan jin bekerja sama. Hal ini ditegaskan dalam surat al-Isra’:88. Atas dasar
itulah, tantangan al-Qur’an menjadi arena diskursus yang sangat menarik perhatian beberapa
kalangan masyarakat dunia baik outsider maupun insider, khususnya para pengkaji al-Qur’an
untuk terus mengkajinya, memverifikasi, dan mengujinya dengan berbagai cara. Uraian mengenai
bagaimana Otentisitas al-Qur’an diuji oleh beberapa pembacaan kontemporer. Lihat Muzayyin,
“Menguji “Otentisitas Wahyu Tuhan” dengan Pembacaan Kontemporer: Telaah Atas Polemical
Studies Kajian Orientalis dan Liberal”. Jurnal Esensia. Vol.15:2, September 2014.
5 Menurut Amin Abdullah pendekatan ini bagi banyak orang cenderung dihindari.Mendengarnya
saja sudah antipati, alih-alih mau menggunakan hermeneutika untuk kajian akademik, misalnya
sosial keagamaan (al-Qur’an dan Hadits). Banyak hal yang dilekatkan terhadap hermeneutika;
Misalnya; predikat relativisme, pendangkalan akidah,pengaruh kajian biblical studies dilingkungan
Kristen. Lihat Amin Abdullah, “Pendekatan Hermeneutik dalam Studi Fatwa-fatwa Keagamaan”,
pada pengantar pada buku Atas Nama Tuhan: dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, Cet.I, Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta. 2004
6 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Pesantren
Nawesea Press, 2009). hlm. 1.
113
Muzayyin Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
7 Mahmud Kalu menegaskan perbedaan antara tafsir Bibel dan tafsir al-Qur’an.Keduanya memiliki
problem yang sangat mendasar.Sebab tafsir Bibel muncul untuk mengungkap problem-problem
validitas teks teks.Sementara tafsir al-Qur’an bertujuan untuk mengungkap makna-makna yang
tersimpul di balik teks yang diyakini sumbernya dari Tuhan. Mahmud Kalu, Al-Qira’at al-Mu’asirah
li al-Qur’an al-Karim fi Daw’i Dawabit al-Tafsir, (Syiria: Dar al-Yaman, 2009). hlm. 62.
8 Menurut Adian Husaini, tanpa memahami hakikat perbedaan antara teks al-Qur’an dan Bibel dan
metode penafsirannya, banyak sarjana yang telah latah menjiplak istilah-istilah yang digunakan
studi Bibel, seperti istilah “Islam fundamental”, “Islam eksklusif ”, “Islam radikal” dan sejenisnya,
yang diidentifikasikan sebagai orang-orang yang menafsirkan al-Qur’an secara tekstual atau literal.
Sebaliknya, kata Adian, kelompok yang berpaham liberal, inklusif dan pluralis adalah mereka
yang menafsirkan al-Qur’an secara kontekstual.Adin Husaini dan Abdurrahman al-Baghdadi,
Hermeneutika dan Tafsir al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani. 2007).hlm. 26.
9 Adian Husaini, Problem Teks Bibel dan Hermeneutika, Dalam Majalah Pemikiran dan Peradaban
Islam ISLAMIA,Tahun 1, No. 1 Maret 2004.hlm.
114
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Resepsi Hermeneutika
10 Adnin Armas, “Tafsir al-Qur’an atau Hermeneutika al-Qur’an”, dalam ISLAMIA, vol. 1:1 2004,
hlm. 45.
11 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Pesantren
Nawesea Press, 2009). hlm. 1.
115
Muzayyin Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
12 Sahiron Syamsuddin, “Integrasi Hemeneutika Hans George Gadamer ke dalam Ilmu Tafsir,
Sebuah Proyek Pengembangan Metode Pembacaan al-Qur’an pada Masa Kontemporer,” Draft
Makalah pada “Annual Conference Kajian Islam” yang dilaksanakan oleh Ditpertais DEPAG RI
pada tanggal 26-30 November 2006 di Bandung, hlm. 9-10.
116
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Resepsi Hermeneutika
117
Muzayyin Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
118
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Resepsi Hermeneutika
16 Perjanjian Lama (PL) adalah istilah yang diperkenalkan oleh penganut agama Kristen.Melito
(m. 190 M), seorang Pendeta dari Sardis mungkin orang Kristen pertama yang menyebut istilah
PL. Ia menyebutnya dalam bahasa Yunani kuno. Lihat. Stephen Bigger, “Introduction” dalam
Creating the Old Testament: The Emergence of the Hebrew Bible, editor Stephen Bigger (Oxford:
Basil Blackwell, 1989).hlm. xiii; Dalam bahasa Ibrani PL (Perjanjian Lama) terdiri dari tiga
bagian: Pentateuch (lima buku pertama dari PL), Nabi-nabi, dan Tulisan-tulisan, yang dianggap
Bangsa Yahudi sebagai dua puluh empat buku. Teks PL yang berbahasa Ibrani dikenal sebagai
teks Massoreti (Massoretic Text-MT).Liha James Hastings, D.D., Dictionary of the Bible (Second
Edition), T.&T. Clark, Edinburgh. hlm. 972; Ulasan secara mendalam mengenai definisi dan
pembahasan mengenai Teks Massoreti bisa dilihat dalam bukunya M. M. Al-A’zami, The History
of The Qur’anic Text From Revelation to Compilation: A Comparative Study with The Old and New
Testaments, (Leicester: UK Islamic Academic ,2003),hlm.238.
17 Richard Elliot Friedman, dalam bukunya, Who Wrote The Bible, menulis, “It is a strange fact that
we have never known with certainty who produced the book that has played a central role in our
civilization”, Menurut Friedman tidak seorang pun tahu tentang siapa yang menulis kitab ini.
Ia mencontohkan, the Book of Torah, atau The Five Book of Moses, diduga ditulis oleh Moses.
Book of Lamentation ditulis Nabi Jeremiah.Separoh Mazmur (Psalm) ditulis King David.Tetapi,
kata Friedman, tidak seorang pun tahu, bagaimana penyandaran itu memang benar. The Five
Book of Moses, kata Friedman, merupakan teka-teki paling tua di dunia (It is one of the oldest
puzzles in the world). Tidak ada satu ayat pun dalam Torah yang menyebutkan, bahwa Moses
adalah penulisnya.Sementara di dalamnya dalam teks-nya dijumpai banyak kontradiksi. Lihat.
Richard Elliot Friedman, Who Wrote The Bible, (New York: Perennial Library, 1989), hlm.15-17;
Hal serupa terjadi dalam New Testament atau Perjanjian Baru yang disingkat dengan (PB), yang
mana mengalami problem otentisitas teks. Bruce M. Metzger, guru besar bahasa Perjanjian Baru
di Princeton Theological Seminary, menerbitkan sebuah buku yang berjudul “The Text of The New
Testament: its Transmission, Corruption, and Restoration”, (Oxford University Press, 1985). Dalam
bukunya yang lain, berjudul “A Textual Commentary on the Greek New Testament”, (United Bible
Societies,1975), Merger menuliskan di pembukaan bukunya, ia menjelaskan ada dua kondisi yang
selalu dihadapi oleh penafsir Bible, yaitu pertama, tidak adanya dokumen Bible yang orisinil saat
ini, dan kedua, bahan-bahan yang ada pun sekarang ini berbeda satu sama lainnya. Ada sekitar
5.000 manuskrip teks Bible dalam bahasa Yunani, yang berbeda satu sama lainnya.lihat. Bruce M.
Metzger, a Textual Commentary On The Greek New Testament, (Stugard; United Bible Societies,
1975),hlm.xiii-xxi.
119
Muzayyin Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
18 Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat Dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi Islam,
(Jakarta:Gema InsaniPress,2006).hlm.236
19 Salah satu motif dari penggunaan hermeneutika sebagai alat dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan
para cendekiawan Kristen Protestan terhadap penafsiran gereja atas teks perjanjian Lama dan
Baru. M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, hlm. 403
20 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir,.hlm.404
21 Mereka yang meragukan otentisitas Bibel di antaranya; Jerome, Abraham Ibnu Ezra, Thomas
Hobbes, Baruch Spinosa, Bruce M. Metzger, Richard Elliot Friedman dan lain-lain.
22 Kurt Aland and Barbara Aland mengatakan ”Until the beginning of the fourth century, the text of
the new testament developed freely…even for later scribes, for example, the parallel passages of the
gospels were so familiar that they would adapt the text of one gospels to that of another. They also felt
them selves free to make corrections in the text, improving ut by their own standart of corrections,
whether garammatically, stylistically, or more substantity” lihat: Kurt Aland And Barbara Aland
The Text Of the New Testament: An Introduction to the Critical Editions and to the Theory and
Practice of Modern Textual Criticism (Michigan: Grand Rapids, 1995), hlm.69.
23 Problem yang paling serius yang dihadapi oleh gereja di abad ke 19 ialah masalah
“authorship”(kepengarang).Lihat. Edgar Krentz, The Historical-Critical Method, (Philadelphia:
Fortress Press, 1975), hlm. 4.
120
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Resepsi Hermeneutika
24 Sarjana Kristen yang melakukan analisa teks dan menolak textus receptus di antaranya; Lobegott
Friedrich Constantin Von Tischendorf (1815-1874), Samuel Prideaux Tregelles (1813-1875),
Henry Alford (1810-1871), Brooke Foss Westcott (1825-1901), dan lain-lain. Lihat. Bruce M
Metzger, The Text of the New Testament: Its Transmission, Corruption, and Restoration (Oxford:
Oxford University Press, 1968), hlm.124-146.
25 Djam ‘annuri, BIBLE: dalam Pandangan Seorang Muslim Analisis Kritis Teks Kitab Torah dan Injil,
Yogyakarta: PT.Kurnia Kalam Semesta, 1998), hlm. 5
26 Ibn Hazm, al-Fasl fi al-Milal wa al-Ahwa’ wa al-nihal, Cet. I (Toronto:al-Qhirah,1899).hlm. 121.
121
Muzayyin Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
27 Ibid., hlm.205.
28 Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan. (Jakarta: TERAJU,2002).hlm.34
122
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Resepsi Hermeneutika
29 Aksin Wijaya. Arah Baru Studi Ulum al-Qur’an. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009).hlm.185-6.
30 Uraian lebih rinci mengenai teori hermeneutika yang dikembangkan oleh ketiga tokoh tersebut
bisa dilihat dalam Aksin Wijaya. Arah Baru. hlm.186; Fahruddin Faiz, Hermeneutika. hlm. 8;
Ilham B. Saenong, Hermeneutika.hlm. 34.
31 Aliran Objektivis yaitu aliran hermeneutika yang lebih menekankan pada pencarian makna
asal dari obyek penafsiran (teks tertulis, teks diucapkan, prilaku, simbol-simbol kehidupan dll.).
Jadi, penafsiran disini adalah upaya merekonstruksi apa yang dimaksud oleh pencipta teks. Lihat
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an (Yogyakarta: Pesantren
Nawesea Press, 2009), hlm. 26.
32 Fahruddin Faiz, Hermeneutika, hlm. 8.
123
Muzayyin Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
124
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Resepsi Hermeneutika
39 Menurut Quraish Shihab, Hermeneutika adalah alat-alat yang digunakan terhadap teks dalam
menganalisis dan memahami maksudnya dan menampakkan nilai yang dikandungnya. Dengan
kata lain, ia adalah cara kerja untuk memahami suatu teks baik teksnya yang terlihat nyata atau
yang kabur, bahkan yang tersembunyi akibat perjalanan sejarah atau pengaruh ideologi dan
kepercayaan. Oleh karena itu, ketika seorang hermeneut berusaha menerapkan hermeneutika,
seolah ia bagaikan menggali peninggalan lama atau fosil yang hidup yang berada pada ratusan
tahun yang lalu. Adapun persoalan pokok yang dibahas dalam hermeneutika ialah teks-teks
sejarah atau agama baik hubungannya dengan adat, budaya, serta hubungan peneliti dengan
teks itu dalam konteks melakukan studi kritis atasnya.lihat. M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir,.
hlm.401-402
40 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, hlm. 431.
125
Muzayyin Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
126
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Resepsi Hermeneutika
43 Ibid., hlm. 438; ada pendapat yang terlihat ekstrim, mengatakan bahwa ada keterlibatan Nabi dalam
proses penyampaian wahyu, uraian berikut akan memperjelas hal itu, aksin Wijaya dalamkaryanya
berjudul Arah Baru Studi Ulum al-Qur’an: Menburu Pesan Tuhan di Balik Fenomena Budaya, ia
menuliskan bahwa bahwa lancarnya penerimaan pesan Tuhan oleh masyarakat Arab tidak lain
karena “Muhammad” membahasakan pesan Tuhan yang awalnya menggunakan bahasa non-
ilmiah dalam bentuk parole Tuhan itu dengan sistem bahasa ilmiah yang digunakan masyarakat
Arab sebagai audiens awal. Dia menyatakan dengan tegas bahwa Muhammad berperan besar
dalam pemilihan bahasa ini.Dalam pandangan Aksin wahyu dalam konteks ini mulai mengalami
“naturalisasi”.Oleh karena itu, Pernyataan bahwa al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad baik lafal dan maknanya sebagaimana yang dipahami oleh para ulama seperti Az-
Zarqani, As-Suyuti, dan Manna’ Kholil al-Khattan ditolaknya. Sebab, menurut Aksin perdebatan
tentang apakah lafadz dan makna wahyu berasal dari Tuhan atau Muhammad yang menunjuk
pada realitas supranatural dalam parole Tuhan atau di lawh al-Mahfudz merupakan perdebatan
yang tidak pada tempatnya, sebab hal itu wilayah supra-natural itu berada di luar jangkauan
kapsitas akal manusia.lihat, Aksin Wijaya, Arah Baru, hlm. 86-89.
127
Muzayyin Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
44 Ia adalah tokoh intelektual sekaligus seorang Islamolog kontemporer asal Mesir.Dia adalah
seorang professor bahasa Arab dan Studi al-Qur’an di Universitas Kairo Mesir. Selain itu ia juga
menjadi dosen tamu di Universitas Leiden, Belanda, mulai tahun 1995 sampai 2010. Dia sangat
dikenal dengan gagasannya yang cukup kontroversial, salah satunya ialah al-Qur’an sebagai
cultural product, atau produk budaya. Tentu saja, isu yang dilontarkan Nasr Hamid Abu Zayd
cukup controversial dan menentang kesepakatan umum di kalangan umat Islam akan sakralitas
al-Qur’an. Lihat. Fahruddin Faiz, Hermeneutika. hlm. 98-99
45 Pandangan Nasr Hamid ini dinilai murtad oleh pengadilan resmi Mesir.Ada banyak bukti yang
menunjukkan tentang hal itu.Misalnya; ajakannya untuk membebaskan diri dari kungkungan
teks dan semua kungkungan yang menghalangi kemajuan manusia. Hal ini bisa dilihat dalam
karyanya, Mafhum an-Nash; teks (al-Qur’an) pada hakekat dan subtansinya adalah produk budaya
dan itu adalah satu aksioma yang tidak memerlukan pembuktian.lihat, M. Quraish Shihab, Kaidah
Tafsir, hlm. 472.
46 Maksudnya: datangkanlah kitab yang baru untuk kami baca yang tidak ada di dalamnya hal-hal
kebangkitan kubur, hidup sesudah mati dan sebagainya
47 Maksudnya: gantilah ayat-ayat yang menerangkan siksa dengan ayat-ayat yang menerangkan
rahmat, dan yang mencela tuhan-tuhan kami dengan yang memujinya dan sebagainya.
48 Maksudnya: Kami beri tindakan yang sekeras-kerasnya.
128
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Resepsi Hermeneutika
129
Muzayyin Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
53 Uraian selengkapnya bisa dilihat dalam Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an, hlm. 99-106.
54 Aliran hermeneutika klasik ini berpendapat bahwa seorang penafsir/penakwil dapat mengetahui
tujuan pengarang teks dan subtansinya selama menempuh metode yang sahih.Meski juga tidak
dapat dipungkiri bahwa ada sekian teks yang diliputi oleh kekaburan makna sehingga dapat
menghalangi pemahaman, tetapi hal itu bisa diselesaikan dengan memperhatikan kaidah-kaidah
dan prinsip-prinsip metode penafsiran/pemahaman yang tepat.Dengan demikian, menurut Shihab
hermeneutika klasik memulai kerjanya saat menemukan kesulitan dalam proses pemahaman
makna setelah gagal dalam memahaminya dengan cara yang biasa dan normal.Lihat. M. Quraish
Shihab, Kaidah Tafsir, hlm.406.
55 Ibid., hlm. 428.
56 Ibid., hlm. 406-407.
130
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Resepsi Hermeneutika
131
Muzayyin Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
132
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Resepsi Hermeneutika
133
Muzayyin Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
134
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Resepsi Hermeneutika
135
Muzayyin Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
F. Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapatlah disimpulkan bahwa posisi
Quraish Shibah dalam merespon perdebatan hermeneutika berada
di antara dua kubu mereka yang menolak hermeneutika secara
keseluruhan dan kubu yang menerima hermeneutika secara totalitas.
Sebagaimana diakui oleh Shihab tidak semua ide yang diketengahkan
oleh berbagai aliran dan pakar hermeneutika merupakan ide yang
keliru atau negatif.Pasti ada di antaranya yang baik dan baru serta dapat
dimanfaatkan untuk memperluas wawasan, bahkan memperkaya
penafsiran, termasuk penafsiran al-Qur’an. Hermeneutika dan
Tafsir, keduanya sama-sama sebagai kaidah penafsiran. Terlepas
dari perbedaan pada segi objek (al-Qur’an sebagai kalam Allah,
Sedangkan Bibel hasil karya manusia). Namun, yang jelas bagi
Shihab ada banyak hal positif yang bisa diambil dari bahasan tentang
136
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Resepsi Hermeneutika
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M.Amin, 2004.“Pendekatan Hermeneutik dalam Studi
Fatwa-fatwa Keagamaan”, Pengantar pada buku Atas Nama
Tuhan: dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, Cet.I, Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta.
Aland, Kurt, and Barbara Aland ,The Text Of The New Testament:
An Introduction to the Critical Editions and to the Theory and
Practice of Modern Textual Criticism (Michigan: Grand Rapids,
1995).
Armas, Adnin, Tafsir al-Qur’an atau Hermeneutika al-Qur’an, Dalam
ISLAMIA, 1,1 2004.
Bigger, Stephen, “Introduction” dalam Creating the Old Testament: The
Emergence of the Hebrew Bible, editor Stephen Bigger (Oxford:
Basil Blackwell, 1989).
Bleicher, Josef, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as
Method, Philosophy and Critique.(London: Routledge and Kegan
Paul, 1980).
Djam ‘annuri, BIBLE: dalam Pandangan Seorang Muslim Analisis
Kritis Teks Kitab Torah dan Injil, Yogyakarta: PT.Kurnia Kalam
Semesta, 1998).
Elliot Friedman, Richard, Who Wrote The Bible, (New York: Perennial
Library, 1989).
137
Muzayyin Nun, Vol. 1, No. 1, 2015
138
Nun, Vol. 1, No. 1, 2015 Resepsi Hermeneutika
139