Anda di halaman 1dari 14

TRADISI PESANTREN MA’HAD IAIN JEMBER DALAM PEMBACAAN

KITAB NADZOM AQIDATUL AWWAM

Disusun guna memenuhi salah satu tugas mata kuliah Living Hadits

Dosen Pembimbing : Siti Qurrotul Aini, Lc, M Hum

Disusun Oleh:

Robiatus Soleha 082143021

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER

FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB DAN HUMANIORA

PRODI ILMU HADITS

DESEMBER2016
BAB I

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Hadits merupakan suatu hal yang sangat penting bagi umat Islam karena di
dalamnya te rungkap berbagai tradisi yang berkembang pada masa Rasulullah
SAW. Tradsi-tradisi yang hidup masa kenabian tersebut mengacu kepada pribadi
Rasulullah SAW sebagai utusan Allah SWT.1 Di dalamnya syarat akan berbagai
ajaran Islam karenanya keberlanjutannya terus berjalan dan berkembang sampai
saat ini seiring dengan kebutuhan manusia. Adanya keberlanjutan tradisi itulah
sehingga umat manusia zaman sekarang bisa memahami, merekam dan
melaksanakan tuntunan ajaran Islam yang sesuai dengan apa yang dicontohkan
Nabi Muhammad SAW.

Living hadits menjadi cukup menarik untuk dikaji dalam perspektif


budaya dan hadits, living hadits atau yang sering disebut dengan hadits yang
hidup atau hadits yang membudaya telah banyak dikaji oleh para pemuka agama
yang memiliki keilmuan dibidang Ilmu Hadits. Sebab budaya yang ada di
masyarakat sangat bervariasi. Hal ini menjadi hal yang perlu untuk dikaji ulang
terkait budaya yang berkembang dan telah menjadi urf di m asyarakat. Sehingga
hadits itu tidak hanya menjadi teks yang kaku saja, tetapi dapat berdialektika
dengan budaya yang ada di masyarakat, dimanapun dan kapanpun serta dapat
memberikan penjelasan terkait dengan hukum ataupun sumber pembelajaran
dalam kajian ilmu hadits.
Secara sederhana, living hadits dapat dimaksudkan sebagai gejala yang
nampak di masyarakat berupa pola-pola perilaku yang bersumber dari maupun
sebagai respon pemaknaan terhadap hadits Nabi Muhammad SAW. Istilah yang
sama juga diatributkan pada Al-Qur’an, yaitu Living Qur’an. Disini terlihat

1
Alfatih Suryadilaga, Metodologi Penelitian Living Qur’an Dan Hadits, (Yogyakarta: Th-Press,
2007), Hal. 105
adanya pemekaran wilayah kajian, dari kajian teks kepada kajian sosial-budaya
yang menjadikan masyarakat agama sebagai objeknya2
Beberapa ragam living hadits yaitu tulis, lisan dan praktek. Pada tulisan ini
penulis mencoba untuk mengkaji living hadits lisan supaya dapat fokus dan bisa
nambah wawasan keilmuan yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari,
khususnya Ma’had al-jami’ah IAIN Jember.

Tulisan ini akan membahas mengenai tradisi mahasantri Ma’had IAIN


Jember dalam pembacaan kitab Nadhom Aqidatul Awwam. Pelaksanaan
pengajaran kitab ini dilakukan dengan metode hafalan. Metode hafalan adalah
metode pengajaran dengan mengharuskan santri membaca dan menghafalkan
teks-teks kitab yang berbahasa arab secara individual

Dan untuk memahami maksud dari kitab itu kyai menjelaskan arti kata
demi kata dan baru dijelaskan maksud dari bait-bait dalam nadhom. Dan untuk
hafalan, biasanya digunakan istilah setor, yang mana ditentukan jumlahnya
bahkan kadang lama waktunya. Tujuan ma’had ini memilih metode hafalan
dikarenakan Rasulullah pernah bersabda bahwasanya barangsiapa yang
memeliharanya atau menghafalnya akan masuk surga dan tercapai tujuan dari
segala kebaikan yang selaras dengan Qur’an dan Sunnah”
RUMUSAN MASALAH

1. Menjelaskan profil Ma’had Al-jami’ah IAIN Jember


2. Menyebutkan elemen-elemen dalam Pesantren
3. Menjelaskan Sebab dikarang nya Kitab Nadhom Aqidatul Awwam

TUJUAN MASALAH

1. Untuk mengetahui profil Ma’had Al-jami’ah IAIN Jember


2. Untuk menyebutkan elemen-elemen dalam pesantren
3. Untuk menjelaskan Sebab dikarang nya Kitab Nadhom Aqidatul Awwam

2
M. Fatih Suryadilaga Dkk, Metodologi Penelitian Hadits, (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan
Kalijaga, 2006), Hal 193
BAB II

PEMBAHASAN

1.1 Menjelaskan Profil Ma’had IAIN Jember

Ma’had Robi’ah Adawiyah merupakan ma’had putri di bawah naungan


IAIN Jember, ma’had ini termasuk ma’had perdana, dikatakan demikian
karena pembangunan ma’had ini termasuk sangat awal yang ditempati pada
tahun ini, yakni pada tanggal 15 Agustus 2016 dimana mahasantri secara
serentak masuk ma’had ini termasuk pula pengurusnya.

Ma’had Robi’ah Adawiyah memiliki 4 lantai, 2 ruang diskusi, 47


kamar, dan 2 ruang penginapan dan 8 tempat jemuran. Dimana setiap kamar
berisi 5 orang. Kebanyakan dari mereka yang mengetahui ma’had ini
menyebutnya termasuk ma’had dengan fasilitas hotel.

Mengapa demikian?? Dikarenakan sarana dan prasana di ma’had


tersebut sama seperti hotel, misalkan seperti kamar mandi yang biasanya
hanya terdiri dari beberapa kamar mandi, di ma’had ini setiap kamar memiliki
kamar mandi sendiri, lengkap dengan kloset, dan showernya. Dan juga
mengenai air, ma’had ini menggunakan tandon secara otomatis, jadi tidak ada
piketan.

Akan tetapi, karena ini disebut ma’had maka kegiatannyapun tidak


luput seperti kegiatan di pesantren. Seperti diterapkannya kegiatan
pembacaan kitab dan diwajibkannya sholat berjama’ah.

Ma’had ini ditempati oleh mahasiswi IAIN Jember dimana mahasiswi


IAIN Jember tersebut hanya menetap selama 1 tahun. Data terakhir
menunjukkan bahwa mahasantri yang menetap di ma’had tersebut berjumlah
185 mahasantri beserta pengurusnya. Mengenai jadwal kegiatan ma’had
dimulai dari sholat shubuh berjamaah dilanjukan dengan baca kitab langsung
yang dibimbing oleh pengasuh ma’had putri, sampai jam 05.15 dan
dilanjutkan dengan ta’ziran bagi mahasantri yang melakukan pelanggaran
kegiatan ma’had. Kegiatan ngaji pagi ini dilakukan dari hari senin sampai
hari jum’at. Kegiatan ini dilakukan dengan lalaran aqidatul awwam dan
dilanjutkan dengan ustad menjelaskan arti kata demi kata dan baru dijelaskan
maksud dari bait-bait dalam nadhom tersebut. Pada hari sabtu kegiatan
dilakukan dengan khataman qur’an dan untuk hari minggu kegiatan dilakukan
dengan membaca surat al-mulk dan surat al-waqi’ah dilanjutkan dengan
kegiatan olahraga. Dan kegiatan tersebut merupakan kegiatan rutinitas
ma’had putri Robi’ah Adawiyah.

Kegiatan pun dilanjutkan dengan aktivitas masing-masing mahasantri


yakni intensif ataupun kuliah sampai menjelang maghrib dilanjutkan dengan
sholat berjamaah dan diniyah. “Mahasantri ma’had ini di fokuskan pada baca
tulis qur’an (BTQ). mengingat kebanyakan dari mahasiswa IAIN Jember
banyak yang belum lancar dalam baca tulis qur’an “ tegas bapak sukarno,
selaku warek 3 bagian kemahaasiswaan. Oleh karena itu, disetiap kegiatan
diniyah, mereka tidak luput dalam pembacaan al-qur’an, terutama dalam
makharijul hurufnya.

Selesai kegiatan diniyah, mahasantri diperbolehkan untuk melakukan


kegiatan apapun, termasuk organisasi. mereka dipersilahkan untuk memilih
organisasi yang mereka sukai sesuai dengan bakat dan minat dari mereka.
Batas masuk ma’had sampai jam 21.30. setiap malam pengurus melakukan
kegiatan rutinan, yakni absen malam hari untuk mengetahui kondisi
mahasantri dan ada tidaknya mahasantri tersebut. Bagi mahasantri yang
mengikuti kegiatan organisasi, mereka diberi batas masuk ma’had sampai jam
22.00 dan harus disertai dengan surat.

Adapun pengasuh dan pengurus Ma’had al-jami’ah IAIN Jember (putri)


yaitu sebagai berikut

Direktur: Dr. Pujiono, S.Ag


Pengasuh: H. Ahmad Amir Firmansyah, Lc. M. TH.I
Mastur, S.Ag. M.Pdi
Pengurus: 1. Ayyu Ainin Nizar, S.Hi, M.E
2. Yusnita Zakiyah, S.Pdi
3. Qurrotul Aini
4. Lailatun Ni’mah
5. Siti Khozinatul Khoirot
6. Robiatus Soleha
7. Yurika Azza Mafina
8. Ana Safitri
9. Iqlima
10. Fina Naily Mawaddah
11. Ulfiatus Salamiyah
12. Nur Layyinatul Habibah
13. Alfin Miftahul Khoir
1.2 Elemen-elemen dalam Pesantren

Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam


yang pada umumnya pendidikan dan pengajaran tersebut diberikan dengan cara
bandongan dan sorogan, dimana seorang kyai mengajar para santrinya
berdasarkan kitab-kitab klasik, dan para santri biasanya tinggal di pondok/
asrama pesantren tersebut.

a. Kyai
Kyai merupakan elemen yang paling penting dari suatu pesantren.
Ia merupakan pendiri dan pengelola pesantren. Sudah sewajarnya bahwa
pertumbuhan suatu pesantren semata-mata bergantung pada kemampuan
pribadi kyainya.
Di kalangan masyarakat tertentu, para kyai memperoleh posisi
yang amat isimewa, karena dengan kemampuan dan pengetahuannya itu
mereka telah menempatkan dirinya sebagai ulama, pewaris Nabi
Muhammad saw. Sikap hormat, takzhim dan kepatuhan kepada kyai
adalah salah satu nilai pertama yang ditanamkan pada setiap santri. 3
Kyai merupakan cikal bakal dan unsur paling pokok dalam sebuah
pondok pesantren, termasuk ma’had al-jami’ah IAIN Jember. Beliau
mempunyai peranan yang sangat penting dan menentukan. Selain sebagai
guru yang mengajarkan ilmu agama Islam, kyai merupakan pemimpin
yang menentukan arah, bentuk, dan corak pendidikan.
Itulah sebabnya pertumbuhan, perkembangan, dan kelangsungan
hidup suatu pondok pesantren tergantung pada kemampuan pribadi kyai
dan pengelolanya.
b. Santri
Santri merupakan elemen penting dalam suatu lembaga pesantren. Perlu
diketahui bahwa menurut tradisi pesantren santri terdiri dari dua,4:
1. Santri mukim, yaitu murid-murid yang berasal dari daerah yang jauh
dan menetap dalam kelompok pesantren. Santri mukim yang paling
lama tinggal di pesantren biasanya merupakan satu kelompok
tersendiri yang memang bertanggung jawab mengurusi kepentingan
pesantren sehari-hari, mereka juga memikul tanggung jawab mengajar
santri-santri muda tentang kitab-kitab dasar dan menengah.
Para santri mukim hidup mandiri dan sederhana, mereka mengurus
keperluannya sendiri, berpenampilan sederhana, hormat kepada kyai
dan selalu riyadhoh melaksanakan amaliyah sunah.
2. Santri kalong, yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa di sekitar
pesantren, biasanya tidak menetap dalam pesantren. Untuk mengikuti
pelajarannya di pesantrren, mereka bolak-balik dari rumahnya sendiri.
Biasanya perbedaan antara pesantren besar dan pesantren kecil dapat
dilihat dari komposisi santri kalong.

3
Imam Suprayogo, Kyai dan Politik Membaca Citra Politik Kyai, (Malang: UIN Malang Press,
2009), hal.34
4
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup kyai dan visinya,
(Jakarta: LP3ES, 2011), hal. 79-80
Adapun seorang santri pergi dan menetap di suatu pesantren karena
berbagai alasan:
1. Ia ingin mempelajari kitab-kitab lain yang membahas Islam secara
lebih mendalam di bawah bimbingan kyai yang memimpin
pesantren.
2. Ia ingin memperoleh pengalaman kehidupan pesantren, baik dalam
bidang pengajaran, keorganisasian maupun hubungan dengan
pesantren-pesantren terkenal.
3. Ia ingin memusatkan studinya di pesantren tanpa disibukkan oleh
kewajiban sehari-hari di rumah keluarganya.
Santri Ma’had Al-Jami’ah disini dikategorikan termasuk santri
mukim
c. Pondok
Istilah pondok berasal dari pengertian asrama para santri atau
tempat tinggal mereka yang terbuat dari bambu, atau berasal dari bahasa
Arab funduq yang artinya hotel atau asrama.5 Pondok adalah sebuah
asrama pendidikan tradisional, bimbingan guru yang lebih dikenal dengan
sebutan kyai dan mempunyai asrama untuk tempat menginap santri.
Para santri berada dalam lingkungan komplek pesantren dimana
kyai bertempat tinggal yang juga menyediakan sebuah masjid untuk
beribadah, ruangan untuk belajar dan kegiatan-kegiatan keagamaan yang
lain. Komplek pesantren ini biasanya dikelilingi oleh tembok untuk
menjaga keluar dan masuknya para santri sesuai dengan dan tamu-tamu
dengan peraturan yang berlaku.6
Ada tiga alasan utama mengapa pesantren harus menyediakan
asrama bagi para santri:
1. Kemasyhuran seorang kyai dan kedalaman pengetahuannya tentang
Islam menarik santri-santri dari tempat-tempat yang jauh untuk
berdatangan. Untuk dapat menggali ilmu dari kyai tersebut secara
5
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai dan Visinya,
(Jakarta: LP3ES, 2011), hal. 41
6
Ibid, hal. 79-80
teratur dan dalam waktu yang lama, para santri harus meninggalkan
kampung halaman dan menetap di dekat kediaman kyai dalam waktu
yang lama.
2. Hampir semua pesantren berada di desa-desa. Di desa tidak ada model
kos-kosan seperti di kota-kota Indonesia pada umumnya dan juga
tidak tersedia perumahan (akomodasi) yang cukup untuk dapat
menampung santri-santri. Dengan demikian, perlu ada asrama khusus
bagi para santri.
3. Ada sikap timbal balik antara kyai dan santri, dimana para santri
menganggap kyainya seolah-olah sebagai bapaknya sendiri,
sedangkan kyai menganggap para santri sebagai titipan Tuhan yang
harus senantiasa dilindungi. Sikap timbal balik ini menimbulkann
keakraban dan kebutuhan untuk saling berdekatan terus menerus.
Sikap ini juga menimbulkan perasaan tangung jawab di pihak kyai
untuk dapat menyediakan tempat tinggal bagi para santri. Di samping
itu, dari pihak santri tumbuh perasaan pengabdian kepada kyainya,
sehingga para kyai memperoleh imbalan dari para sanri sebagai
sumber tenaga bagi kepentingan pesantren dan keluarga kyai.
d. Masjid
Masjid merupakan elemen yang tak dapat dipisahkan dari
pesantren dan dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik
para santri, terutama dalam praktik sembahyang lima waktu, khutbah dan
sembahyang Jum’ah, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik.
Lembaga-lembaga pesantren memelihara terus tradisi ini. Para kyai
selalu mengajar murid-muridnya di masjid dan menganggap masjid
sebagai tempat yang paling tepat untuk menanamkan disiplin para murid
dalam mengerjakan kewajiban sembahyang lima waktu, memperoleh
pengetahuan agama dan kewajiban agama yang lain.
Seorang kyai yang ingin mengembangkan sebuah pesantren
biasanya pertama-tama akan mendirikan masjid di dekat rumahnya.
Langkah ini biasanya diambil atas perintah gurunya yang telah menilai
bahwa ia akan sanggup memimpin sebuah pesantren.7
Meskipun di Ma’had Al-Jami’ah ini kurang sarana dan prasananya,
termasuk masjid. Akan tetapi kegiatan tersebut tetap berjalan seperti
kegiatan pesantren lainnya.
e. Pengajaran kitab Islam klasik
Pengajaran kitab Islam klasik pada masa lalu merupakan satu-
satunya pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren
terutama karangan-karangan ulama yang menganut faham Syafi’i. Tujuan
utamanya ialah untuk mendidik calon-calon ulama. Di ma’had al-jami’ah
juga diberikan adanya pengajaran kitab Islam klasik, yaitu seperti Nadzom
Aqidatul Awwam
Para santri yang bercita-cita menjadi ulama, mengembangkan
keahliannya mulai upaya penguasaan bahasa Arab terlebih dahulu yang
dibimbing oleh seorang guru ngaji yang mengajar sistem sorogan di
kampungnya. Dengan bekal bahasa Arab secukupnya calon santri diberi
arahan guru pembimbingnya memilih pesantren terdekat. Pilihan pesantren
berikutnya akan bergantung kualitas masing-masing santri, terutama
kualitas intelektual dan ambisinya.

1.3 Sebab dikarang nya Kitab Nadzom Aqidatul Awam8

Kitab Nazhom Aqidatul Awam (‫ )عقيدة العوام‬merupakan kitab yang


berisi syair-syair (nadham) tentang Tauhid, kitab ini dikarang oleh Syaikh as-
Sayyid al-Marzuqiy. Nama lengkap beliau adalah Ahmad bin Muhammad bin
Sayyid Ramadhan al-Marzuqiy al-Hasaniy wal Husainiy al-Malikiy, al-
Mishriy al-Makkiy,, dilahirkan sekitar tahun 1205 H di Mesir. Sepanjang
waktu beliau bertugas mengajar di Masjid Mekkah. Karena kepandaian dan
kecerdasannya, beliau kemudian diangkat menjadi Mufti Mazhab Maliki di
Mekkah menggantikan Sayyid Muhammad yang wafat sekitar tahun 1261 H.

7
Ibid, hal. 85-86
8
Syaikh as-Sayyid al-Marzuqiy, Kitab ‘Aqidah al-‘Awam
Syaikh Ahmad al-Marzuqiy juga terkenal sebagai seorang Pujangga dan
dijuluki dengan Abu Alfauzi.

‫هو شيخ قراء مكة السيد الشريف الشيخ أبو الفوز أحمد بن محمد بن السيد رمضان المرزوقي الحسني‬
‫ وآل‬. ‫ والمرزوقي نسبة إلى العارف باهلل مرزوق الكفافي‬، ‫ المصري ثم المكي‬، ‫والحسيني المالكي‬
‫المرزوقي مشهورون بالعلم والتقوى والورع‬

Salah satu guru beliau adalah asy-Syaikh al-Kabir as-Sayyid Ibrahim al-
‘Ubaidiy, beliau adalah ulama yang berkonsentasi pada Qira’ah al-Asyrah
(Qira’ah 10).

Dan diantara murid-murid beliau adalah Syaikh Ahmad Damhan


(1260 – 1345 H), Syaikh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan (1232 – 1304 H),
Syaikh Thahir at-Takruniy dan lain sebagainya. Salah satu kitab yang beliau
karang adalah kitab Aqidatul Awam. Beliau mengarang kitab ini, bermula
ketika beliau mimpi berjumpa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam dan
para Sahabatnya pada akhir malam Jum’at pertama di bulan Rajab.

Kitab Aqidatul ‘Awam telah beliau rincikan dalam sebuah kitab


syarah yang diberi nama Tahshil Nail al-Maram Libayani Mandhumah
‘Aqidah al-‘Awam (‫)تحصيل نيل المرام لبيان منظومة عقيدة العوام‬, dan turut
memberikan syarah atas kitab ‘Aqidatul Awam yaitu Syaikh al-Imam an-
Nawawiy ats-Tsaniy al-Bantaniy al-Jawiy asy-Syafi’i dengan nama kitab
Nurudl Dlalam ‘alaa Mandhumah ‘Aqidah al-‘Awam (‫نور الظالم على منظومة عقي‬
‫ )دة العوام‬dan juga kitab syarah yang dikarang oleh Syaikh Ahmad al-
Qaththa’aniy al-‘Aysawiy dengan nama Tashil al-Maram liDaarisil Aqidatil
Awam (‫)تسهيل المرام لدارس عقيدة العوام‬.

1.4 Pemaknaan Hadits

Dalam kitab Nurudl Dlalam, Imam an-Nawawiy ats-Tsaniy al-Jawiy


menuturkan bahwa alasan Syaikh al-Marzuqiy menulis kitab tersebut adalah
karena beliau mimpi berjumpa dengan Rasulullah dan para sahabatnya.
Dalam mimpi itu Rasulullah bersabda,9

‫اقرأ منظومة التوحيد التي من حفظها دخل الجنة ونال المقصود من كل خير وافق‬
‫الكتاب والسنة‬
“Bacalah nadham Tauhid yang barangsiapa yang memeliharanya akan masuk
surga dan tercapai tujuan (maksud) dari segala kebaikan yang selaras dengan
Qur’an dan Sunnah”

Tradisi pembacaan kitab Nadhom Aqidatul Awwam di Ma’had Al-


Jami’ah ini termasuk dalam tradisi lisan. Dikatakan demikian karenaTradisi
lisan dalam living hadits sebenarnya muncul seiring dengan praktik yang
dijalankan oleh umat Islam. Seperti bacaan nadhom Aqidatul Awwam yang
dilakukan setiap pagi oleh mahasantri ma’had al-jami’ah IAIN Jember.

9
. Syaikh Muhammad an-Nawawiy, Kitab Nur ad-Dlalaam
BAB III
KESIMPULAN
HASIL WAWANCARA

Berdasarkan hasil wawancara dengan pengasuh Ma’had Al-jami’ah,


yaitu H. Ahmad Amir Firmansyah menjelaskan bahwa alasan beliau
menggunakan Nadzhom Aqidatul Awwam di Ma’had Al-Jami’ah IAIN
Jember dikarenakan disebutkan dalam hadits Rasululah bahwasanya
barangsiapa yang memeliharanya atau menghafalkan nadzom Aqidatul
Awwam tersebut akan masuk surga dan tercapai tujuan (maksud) dari segala
kebaikan yang selaras dengan Qur’an dan Sunnah”.
Mengenai tradisi yang dipakai Ma’had Robi’ah tersebut adalah tradisi
bandongan dimana kyai sebagai pembaca dan penerjemah kitab tersebut,
bukanlah sekadar membaca teks, tetapi juga memberikan pandangan-
pandanagn ( interpretasi) pribadi, baik mengenai isi maupun bahasa pada
teks. Dengan kata lain, para kyai juga memberikan komentara atas teks
sebagai pandangan pribadinya. Oleh karena itu, para penerjemah tersebut
haruslah menguasai tata bahasa arab, literatur dan cabang-cabang
pengetahuan agama Islam yang lain. Dan juga Pelaksanaan pengajaran kitab
ini dilakukan dengan metode hafalan. Metode hafalan adalah metode
pengajaran dengan mengharuskan santri membaca dan menghafalkan teks-
teks kitab yang berbahasa arab secara individual
DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Alfatih Suryadilaga, “Model-model Living Hadis” dalam Sahiron


Syamsuddin (ed.), Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis (Yogyakarta:
TH Press, 2007).

Imam Suprayogo, Kyai dan Politik Membaca Citra Politik Kyai, (Malang: UIN
Malang Press, 2009)

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup kyai


dan visinya, (Jakarta: LP3ES, 2011)

Syaikh Muhammad an-Nawawiy, Kitab Nur ad-Dlalaam


Syaikh as-Sayyid al-Marzuqiy, Kitab ‘Aqidah al-‘Awam

Anda mungkin juga menyukai