Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. DASAR PEMIKIRAN
Sekian banyak cendikiawan Muslim—dalam arti pemikir—yang memiliki
komitmen cukup baik kepada Islam dan juga keahlian dalam ilmu-ilmu agama
Islam, yang tetap berusaha mengembangkan pemikirannya untuk membangun
peradaban yang didasarkan atas nilai-nilai universalitas Islam tersebut. Salah satu
dari cendikiawan itu adalah Hasan Hanafi, yang berusaha mengambil inisiatif
dengan memunculkan suatu gagasan tentang keharusan bagi Islam untuk
mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif dengan dimensi pembebasan.
Dengan gagasan tersebut, baginya, Islam bukan sebagai institusi penyerahan diri
yang membuat kaum Muslimin menjadi tidak berdaya dalam menghadapi kekuatan
arus perkembangan masyarakat, tetapi Islam merupakan sebuah basis gerakan
ideologis populistik yang mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia.
Proyek besar itu dia tempuh dengan gayanya yang revolusioner dan menembus
semua dimensi ajaran keagamaan Islam.
Hasan Hanafi bukanlah nama yang asing di telinga akademis masyarakat
Indonesia, terutama yang genar membaca karya tentang kebangkitan Islam. Dalam
pemikirannya ia dapat disejajarkan dengan tokoh pemikir Islam yang lain seperti
Fazlur Rahaman, Mohammad Arkoun, Ali Syariati, M. Sahrur, Ismail Raji Al
Faruqi, Sayyed Hossein Nasr, Salman Rushdie, Ali Asghar E. dan lain-lain. Hasan
Hanafi merupakan tokoh yang berbeda dengan pemikiran Islam yang lain
pemikirannya lebih mengedepankan al turats wa tajdid (tradisi dan pembaharuan).
Hasan Hanafi dalam forum internasional juga dikenal dengan “Kiri Islam”.
Dalam membaca pemikiran Hasan Hanafi yang terasa adalah adanya
gugatan terhadap tradisi lama Islam. Gugatan tersebut bukan hanya terhadap tradisi
paradigma klasik dalam ushuluddin tetapi juga terhadap terdisi dan konvensi teknis
dikalangan muttakalimun dalam pembahan ilmu ini. Bahwa menurut Hasan Hanafi
bahwa ulma klasik dalam mukadimahnya telah memperlihatkan pembahasan
keimanan pada pendahuluan hingga seakan-akan merupakan kesimpulan.
Sedangkan pembahasan antara mukadimah dan kesimpulan merupakan sesuatu

1
yang tidak berarti. Sebenarya ungkapan muatan keimanan sering mengabaikan
argumentasi.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Siapakah Hasan Hanafi?
2. Bagaimana Background Pemikiran Hasan Hanafi?
3. Apa saja butir-butir pemikiran Hasan Hanafi?
4. Apa saja karya-karya Hasan Hanafi?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui profil pemikir Hasan Hanafi.
2. Untuk mengetahui Background Pemikiran Hasan Hanafi
3. Untuk mengetahui pemikiran Hasan Hanafi.
4. Untuk mengetahui karya-karya warisan Hasan Hanafi.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. BIOGRAFI HASAN HANAFI


1. Riwayat Hidup
Hasan Hanafi adalah Guru Besar pada fakultas Filsafat Universitas
Kairo. Ia lahir pada 13 Februari 1935 di Kairo dari keluarga Musisi1, di dekat
Benteng Salahuddin, daerah perkampungan Al-Azhar. Meskipun lingkungan
sosialnya dapat dikatakan tidak terlalu mendukung, tradisi keilmuan
berkembang di sana sejak lama. Secara historis dan kultural, kota Mesir
memang telah dipengaruhi peradaban-peradaban besar sejak masa Fir’aun,
Romawi, Bizantium, Arab, Mamluk dan Turki, bahkan sampai dengan Eropa
modern.2 Hal ini menunjukkan bahwa Mesir, terutama kota Kairo, mempunyai
arti penting bagi perkembangan awal tradisi keilmuan Hasan Hanafi. Selain itu
ia juga mempelajari pemikiran sayyid Quthub tentang keadilan sosial dan
keislaman.
Tahun 1952 dia menyelesaikan jenjang sekolah Tsanawiyah. Selama di
Tsanawaiyah ini, Hanafi sudah aktif mengikuti diskusi-diskusi kelompok
Ikhwân al-Muslimîn,3 sehingga paham pemikiran-pemikiran yang
dikembangkan dan aktivitas-aktivitas sosial yang dilakukan. Selain itu, ia juga
mempelajari pemikiran Sayyid Quthub (1906-1966) tentang keadilan sosial dan
keislaman. Disamping dunia akademik Hanafi juga aktif dalam organisasi
ilmiah dan kemasyarakatan. Aktif sebagai sekretaris umum Persatuan
Masyarakat Filsafat Islam Mesir, anggota Ikatan Penulis Asia-Afrika dan
menjadi wakil presiden Persatuan Masyarakat Filsafat Arab. Pemikirannya

1
John L. Esposito, The Oxford Encyklopedia of the Modern Islamic World (New York: Oxford
University Press, 1995), 98; Kazuo Shimogaki, Kiri Islam, (Yogyakarta LKiS, 1994), hal. 3.
2
‘Iwad, Dirasat fi al-Hadlarat, Kairo: Dar al-Mustaqbal al-‘Arabiy, 1989, hal. 133
3
Ikhwân al-Muslimîn bisa dianggap sebagai sayap kanan, sebagai tandingan sayap kiri dari partai
komunis, yang sama-sama berebut pengaruh di Mesir. Ikhwan didirikan oleh Hasan alBanna tahun 1929
di Ismailia. Kelompok ini mempunyai pengaruh sangat besar, tidak hanya di Mesir, tetapi juga sampai
ke Indonesia. Pada sekitar tahun 1952, ketika sekelompok perwira muda yang dikenal sebagai Free
Officers yang dikomandoi Najib dan Gamal Abd Naser melakukan kudeta terhadap raja Faruq, mereka
menggandeng kalangan Ikhwan ini yang mempunyai basis kuat dikalangan masyarakat bawah. Tetapi
setalah berkuasa, kelompok ini kemudian ditendang oleh Najib dan dibasmi oleh Gamal Naser karena
dianggap membahayakan kekuasaannya. Lihat George Lenczowski, Timur Tengah di Tengah Kancah
Dunia, terj. Asgar Bixby, (Bandung, Sinar Baru, 1992), 298; Ali Rahmena, Para Perintis Zaman Baru
Islam, (Bandung, Mizan, 1996), 159-165.

3
tersebar di dunia Arab dan Eropa. Tahun 1981 memprakarsai dan sekaligus
sebagai pimpinan redaksi penerbitan jurnal ilmiah Al-Yasar Al-Islami.
Hanafi melanjutkan studi di Departemen Filsafat Universitas Kairo,
selesai tahun 1956 dengan menyandang gelar Sarjana muda, kemudian ia
melanjutkan studi ke Universitas Sorbone, Prancis. Pada tahun 1966 ia berhasil
menyelesaikan progam Master dan Doktornya dengan judul tesis Les Methodes
d’Exegeses: Essei sur La Science des Fondament de La Conprehension Ilmu
Ushul Fiqh dan desertasi berjudul L’Exegese de La Phenomenologie, L’etat
actuel de la Methode Phenomenologie et sonapplication au Phenomene
Religiux.4
Karier akademiknya dimulai tahun 1967 ketika diangkat sebagai Lektor,
kemudian Lektor Kepala (1973), Profesor Filsafat (1980) pada jurusan Filsafat
Universitas Kairo, dan diserahi jabatan sebagai Ketua Jurusan Filsafat pada
Universitas yang sama. Selain itu, Hanafi juga aktif memberi kuliah di beberapa
negara, seperti di Perancis (1969), Belgia (1970), Temple University
Philadelpia AS (1971-1975), Universitas Kuwait (1979) dan Universitas Fez
Maroko (1982- 1984).5 Selanjutnya, diangkat sebagai guru besar tamu pada
Universitas Tokyo (1984-1985), di Persatuan Emirat Arab (1985), dan menjadi
penasehat program pada Universitas PBB di Jepang (1985-1987).
2. Kondisi Sosial
Hanafi lahir dibesarkan dalam kondisi masyarakat Mesir yang penuh
pergolakan dan pertentangan. Dari sisi Sosial-Politik saat itu, terdapat dua
kelompok ekstern yang saling berebut pengaruh. Pada sayap kiri ada partai
komunis yang semakin kuat atas pengaruh Soviet di seluruh dunia.
Kemenangan Soviet selama perang dan dikukuhkannya perwakilan soviet di
Kairo (1942) ini semakin meningkatkan minat mahasiswa untuk belajar
Komunisme. Sementara di sayap kanan, ada Ikhwanul Muslimin, didirikan
Hasan al-Bana tahun 1929 di Ismailiyah yang pro-Islam dan anti barat.
Kelompok ini memiliki sejumlah besar pengikut, termasuk Hasan Hanafi
sendiri pada awalnya.

4
Sholahuddin, Devi Muharrom. Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Al-Qur’an Hasan Hanafi. 2010
5
John L. Esposito, The Oxford Encyklopedia, 98. Keberangkatanya ke Amerika sebagai dosen tamu ini,
sebenarnya, dikarenakan perselisihannya dengan Anwar Sadat yang memaksanya meninggalkan Mesir.
Lihat pula AH. Ridwan, Reformasi Intelektual Islam, (Yogyakarta, Ittaqa Press, 1998), hal. 16.

4
Pemerintah Mesir sendiri ambil alih dalam pergolakan tersebut, dengan
melakukan pembersihan terhadap kaum komunis (1946) setelah setahun
sebelumnya melarang aktifitas kelompok ini. Pergolakan ini terus berlanjut,
setelah tahun 1952 meletus revolusi yang dimotori oleh Ahmad Husain, tokoh
partai sosialis. Dari sisi Pemikiran, ada tiga kelompok pemikiran yang berbeda
dan bersaing saat itu. Pertama, kelompok yang cenderung pada Islam (The
Islamic Trend) yang diwakili oleh al-Bana dengan Ikhwanul Muslim-nya.
Kedua, kelompok yang cenderung pada pemikiran bebas dan rasional (The
Rasional Scientific And Liberal Trend) yang diwakili oleh Luthfi al-Sayyid
dan para imigran Syiria yang lari ke Mesir. Dasar pemikiran kelompok ini
bukan Islam tetapi peradaban Barat dengan presentasi-presentasinya. Ketiga,
kelompok yang berusaha memadukan Islam dan Barat (The Synthetic Trend)
yang diwakili oleh ‘Ali ‘Abdul Raziq (1966)
Dalam menghadapi tantangan mordenitas dan liberalisme politik,
kelompok pertama dan kebanyakan ulama konservatif menganggap bahwa
politik Barat tidak bisa diterapkan di Mesir, dengan alasan Bid’ah.
Pengadopsian sistem politik Barat oleh pemerintah Mesir berarti pengingkaran
terhadap nilai-nilai Islam.6 Sebaliknya, kelompok kedua yang kebanyakan para
sarjana didikan barat menganggap bahwa, jika mwsie ingin maju, maka harus
menerapkan sistem Barat. Mereka menganggap bahwa para ulama adalah
kendala Mordenisasi, bahkan penyebab keterbelakangan Mesir dalam sosial
politik dan ekonomi. Pemikiran dan gerakan kelompok kedua ini, banyak
mendapat dukungan daari pemerintah, sehingga dalam hal tertentu mereka
dapat menjalankan program-programnya.
Tetapi Hanafi sendiri tidak begitu setuju dengan gagasan-gagasan
kelompok pemikiran diatas, meski awal karier intelektualnya pernah berpihak
pada kelompok pertama7, tetapi pemikirannya mengalami proses dengan
banyak dipengaruhi oleh kelompok dua dan tiga, terutama setelah belajar di
prancis.

6
Hanafi, Hasan, Arab Studies Quarterly, Vol. 4, No. 1/2, The Islamic Alternative (Spring 1982), pp. 54-
74
7
Hanafi, Hasan. Miftah Faqih (penerjemah), Islamologi II (dari Rasionalisme ke Empirisme). LkiS
Yogyakarta. Cet. 2, 2007, hal. xiii. Dalam kata pengantar dan hasil kesimpulan penulis.

5
B. BACKGROUND PEMIKIRAN HASAN HANAFI
Metode dan pemikiran Hasan Hanafi tentang fenomena al-Qur`an di latar
belakangi oleh beberapa faktor, baik internal maupun eksternal. Faktor internal
yang muncul dari umat Islam sendiri, antara lain, (1) dari sisi metode tafsir,
disebabkan adanya metode interpretasi yang lebih banyak bersifat tekstual,
terutama oleh kaum Hambali seperti yang banyak terjadi di Mesir saat itu. Meski
ekspresi al-Qur`an mencakup yang nyata dan metafor, fenomena dan interpretasi,
muhkam dan mutasyabihat dan seterusnya, kaum Hambali hanya mengambil satu
sisi dari teks suci tersebut dan menolak untuk mendiskusikan detailnya, sehingga
tidak ada dialog antar teks maupun dialog antara teks dengan realitas. Artinya, di
sini mereka lebih memberi priorotas pada aspek eksternal daripada essensi teks,
sehingga pemahaman yang dihasilkan tidak mendalam. (2) Sisi pemikiran, bahwa
rasionalitas tidak ditempatkan pada posisi netral, kritis dan digunakan sebagai
sarana dialog, melainkan pada posisi kontradiktif, perselisihan dan justifikasi,
sehingga tidak memberikan kamajuan, penemuan baru dan kedewasaan berfikir
pada masyarakat Islam.9 (3) Sisi teologi, khususnya Asy`arisme yang dianut
mayoritas muslim cenderung deterministik, sentralistik dan otoriter, sehingga
memunculkan ide tentang penguasa tunggal, penyelamat agung dan ketundukan
pada penguasa. Konsep ini memberi peluang pada penguasa politik untuk
memanipulasi kezaliman dan kesewenang-wenangannya dengan atas nama Tuhan
dan sebagai khadim al-umat (pelayan umat), sehingga akhirnya menciptakan
despot-despot dalam dunia Islam.8 Di samping itu, konsep-konsepnya tentang
teologi juga terlalu teosentris (melangit), tidak berkaitan dengan persoalan
kemanusiaan, sehingga tidak memberikan kontribusi positif pada kehidupan
konkrit muslim. (4) Sisi sosial budaya, masyarakat muslim adalah terbelakang,
tertindas dan miskin. Kondisi menyedihkan ini tidak hanya terjadi pada
masyarakat muslim di Afrika melainkan juga pada dunia ketiga yang memang
kebanyakan dihuni masyarakat muslim, sehingga gerakannya lewat “Islam Kiri”
tidak hanya mewakili muslim wilayah tertentu melainkan gerakan revolusioner
dari kaum miskin, tertindas dan terbelakang secara keseluruhan.9
Faktor eksternal, dari luar dunia Islam, adalah adanya ancaman kolonialisme,
imperialisme, zionisme dan kapitalisme dari Barat. Hasan Hanafi mengingatkan

8
Simogaki, Kiri Islam, hal. 45.
9
Simogaki, Kiri Islam, hal. 6.

6
bahwa ancaman Barat tidak hanya dari sisi ekonomi atau politik tetapi yang
terpenting adalah pada sisi kultural. Imperalisme dan kolonialisme kultural Barat
pada akhirnya akan membasmi kebudayaan bangsa-bangsa lain,
khususnya Islam, sehingga masyarakat Islam akan kehilangan jati diri dan
kebudayaannya sendiri.10
Berangkat dari realitas dunia muslim yang memprihatinkan dan adanya
ancaman dari Barat yang demikian, Hanafi mengusulkan adanya gerakan
revolusioner “Islam Kiri”, yang secara garis besar bertopang pada tiga pilar.
Pertama, revitalisasi khazanah Islam klasik. Hanafi menekankan perlunya
rasionalisme untuk revitalisme khazanah Islam ini. Rasionalisme adalah
keniscayaan untuk kemajuan dan kesejahteraan muslim saat ini. Dalam hal ini
Hanafi mengintroduksi Muktazilah, karena Muktazilah mampunyai rasionalisme
dan kebebasan yang bertanggung-jawab, sementara umat Islam sekarang
menghadapi krisis kebebasan dan demokrasi.13 Kedua, perlunya menantang
peradaban Barat. Untuk itu, dengan mengelaborasi semangat Khawarij, Hanafi
mengusulkan adanya “Oksidentalisme” sebagai jawaban atas “Orentalisme” dalam
rangka mengakhiri mitos peradaban Barat. Setidaknya untuk menyeimbangkan
posisi Barat dan Timur (Islam), sehingga akan terjadi dialog yang wajar. Ketiga,
analisa atas realitas dunia muslim, dari sisi pemikiran, sosial, politik, maupun
ekonomi. Dalam kaitannya dengan tafsir, Hanafi mengkritik metode tafsir
tradisional yang dianggapnya lebih bertumpu pada teks, kemudian mengusulkan
metode baru agar dunia Islam bisa berbicara bagi dirinya sendiri.11

C. PEMIKIRAN HASAN HANAFI


1. Pemikiran Hasan Hanafi Tentang Tafsir al-Quran atau Hermeneutika al-
Quran.
Hasan Hanafi dalam karyanya yang berjudul at-Turats wa at-Tajdid
dirumuskan kedalam tiga bagian yang saling berhubungan12. Pertama, adalah
rekonstruksi tradisi Islam dengan melakukan interpretasi kritis dan kritik
historis yang mencerminkan “apresiasi terhadap khazanah klasik”. Kedua,
rekonstruksi ulang terhadap batas-batas kultural Barat melalui pendekatan kritis

10
Simogaki, Kiri Islam, hal. 35-39; 106-118.
11
Simogaki, Kiri Islam, hal. 7-8.
12
Sholahuddin, Devi Muharrom. Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Al-Qur’an Hasan Hanafi. 2010

7
yang tercermin dalam “sikap kita terhadap barat”. Yang ketiga, adalah upaya
membangun sebuah teori interpretasi al-Quran yang mencakup dimensi
kebudayaan dari agama dalam skala global yang memposisikan Islam sebagai
fondasi ideologis bagi kemanusiaan (sikap kita terhadap realitas).
a. Pandangan Hasan Hanafi tentang al-Quran
Hasan Hanafi adalah seorang tokoh kontemporer, tetapi dalam
pemikirannya ia berbeda dengan kebanyakan ulama lainnya. Ia tidak
mempermasalahkan keotentikan dan keabsahan teks al-Quran. Menurut Hanafi
dari sekian banyak kitab suci yang di turunkan oleh Allah SWT hanya al-Quran
-lah yang bisa dijamin keasliannya saat ini. Hasan Hanafi juga sepakat dengan
ulama terdahulu, Hasan Hanafi menyatakan bahwa Allah SWT menurunkan al-
Quran secara vertikal kepada nabi Muhammad melalui malaikat Jibril. Dalam
proses vertikal ini Malaikat dan Nabi Muhammad bertindak sebagai Passive
Transmiters. Keduanya bertindak sebagai sebagai record sepenuhnya, sehingga
wahyu Allah bersifat verbatim.13
Sebagai Passive Transmitters, Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad
menyampaikan apa adanya wahyu yang mereka terima dari Allah. Sebagai
contoh, ada beberapa surat Al-Qur’an yang dimulai dengan huruf-huruf
muqaṭṭa’ah seperti Nūn, Qāf, Yāsīn dan lain sebagainya, kemudian terdapat
pula ayat yang mengkritik Nabi Muhammad seperti yang terdapat pada awal
surat Abbasa. Keberadaan ayat-ayat semacam ini merupakan bukti internal
bahwa Al-Qur’an otentik, terbebas dari campur tangan Nabi Muhammad14.
Hanafi juga meyakini bahwa semua ayat dalam al-Quran itu mempunyai
asbabul nuzul.
Menurut Hasan Hanafi al-Quran sebagai wahyu mempunyai 3
keunggulan dibandingkan dengan kitab-kitab lainnya.
1. Al-Quran adalah kitab terakhir dalam sejarah kenabian sejak nabi Adam
as sampai nabi Muhammad saw. Sebagai kitab terakhir adalah ia yang
kitab yang sempurna bentuknya, dan oleh karena itu ia dijadikan sumber
syariat tanpa harus menunggu perubahan, penggantian dan penghapusan.

13
Hanafi, Hasan. Hermeneutika Al-Quran. Yogyakarta . 2010, hlm 41
14
Sholahuddin, Devi Muharrom. Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Al-Qur’an Hasan Hanafi. 2010

8
2. Al-Quran adalah kitab yang paling di jamin keotentikannya, tidak ada
perubahan di dalamnya. Berbeda dengan kitab-kitab sebelumnya yang
terdapat perubahan didalamnya.
3. Al-Quran adalah kitab suci yang terakhir diturunkan dan tidak sekaligus
melainkan bertahap sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pada saat itu.
Ayat-ayat al-Quran yang turun sebagai penyelesaian atas kondisi pada
saat itu. Ayat-ayat tersebut terkumpul selama 23 tahun dan sekarang kita
kenal dengan mushaf al-Quran.
Menurut Hasan Hanafi membaca teks sama saja dengan memahaminya.
Teks adalah perubahan kehendak dari lisan menjadi tulis. Menurutnya teks
bukanlah dokumen yang lebih dekat kepada catatan kuno tetapi realitas yang
hidup dalam keadaan diam, yang akan terbangkit melalui pembacaan sehingga
hidup kembali dalam berbagai bentuk15. Teks bukan saja sebagai bentuk
dokumentasi-dokumentasi yang bertujuan untuk melestarikan dan untuk
mencatat melainkan cermin keotoritasan pengorentasian, koodifikasi dan
penetapan hukum.
b. Pandangan Hasan Hanafi tentang Penafsiran Klasik al-Quran
Awal mula Hanafi mengemukakan pendapatnya tentang al-Quran adalah
ketika dia tidak merasa puas dengan teori klasik yang telah dibangun oleh
ulama tafsir. Ia beranggapan bahwa teori yang dipakai tidak memiliki teori
yang solid yang memiliki prinsip-prinsip yang teruji dan terseleksi. Karena
penafsiran model klasik ini tidak menginjak pada level syarah (komentar),
tafsil (detailisasi), dan tikrar (pengulangan) serta penjelas tentang apa point-
point yang harus di tekankan ketika menafsirkan ayat/surah tertentu. Disisi lain
ia mengabaikan kehidupan, problem, kebutuhan manusia yanag mengakibatkan
teks tersebut hanya berkutat pada dirinya sendiri16
Teori tafsir adalah teori yang menghubungkan antara wahyu dan realita (
antara dunia dan akhirat dan manusia dengan Tuhan)17 Menurut Hasan Hanafi
problematika penafsiran al-Quran klasik ada 2 hal yang berpengaruh besar.
Pertama tentang krisis Orientasi, Hanafi menginginkan penafsiran al-Quran
menjadi sumber rujukan utama dalam bidang keilmuan lainnya seperti filsafat,

15
Sholahuddin, Devi Muharrom. Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Al-Qur’an Hasan Hanafi. 2010
16
Hanafi, Hasan.Hermeneutika Al-Quran?. Yogyakarta. 2010. hlm 40
17
Sholahuddin, Devi Muharrom. Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Al-Qur’an Hasan Hanafi. 2010

9
fiqih, tasawuf ushul fiqih dan lain-lain. Penafsiran klasik tidak pernah tuntas
dan tafsir ini hanya terjebak pada orientasi metodologis dari disiplin ilmu
klasik Islam. Dalam penafsiran ini al-Quran lebih banyak digunakan sebagai
justifikasi atas posisi keilmuan lain daripada memahaminya secara sunggung-
sungguh. al-Quran dipaksakan untuk menguatkan posisi ilmu yang lain.
Orientasi tafsir klasik menurut hasan hanafi mempunyai 3 kelemahan. Pertama
penafsiran ini lebih bersifat teosentris daripada antroposentris. Kedua,
berujukan kepada lingkup Islam klasik, dan yang terakhir tidak pernah dimulai
dengan mengkritik.
Kedua tentang krisis Epistimologi, Menurut Hanafi, khazanah pemikiran
klasik tidak pernah memiliki suatu teori penafsiran yang otoritatif dengan
prinsip-prinsip ilmiah yang mengarah pada kepentingan tertentu. Sebaliknya,
mayoritas tafsir-tafsir klasik menurut Hanafi, hanya menjelaskan masalah-
masalah yang sama sekali bertentangan dengan kepentingan masyarakat.
Adapun ciri-cirinya adalah mengulang-ngulang pendapat klasik dalam
mempormulasikan berbagai argumen.18
c. Metode Hermeneutika; Tawaran Solusi Hasan Hanafi
Didalam berbagai artikel, makalah bahkan yang lebih spesifik adalah
didalam pengantar buku Tradisi dan Modernisasi (at-Turats wa at-Tajdid)
Hanafi menyatakan bahwa mega proyek daripada Tradisi dan Modernisasi
adalah upaya rekonstruksi peradaban dengan menunjukan pada sumber-
sumbernya dalam wahyu, atau reinterpretasi wahyu itu sendiri, disamping
pendasaran kepada realitas kontemporer dan tradisi klasik. Tujuan akhirnya
adalah transformasi wahyu kedalam disiplin kemanusiaan yang komprehensif.
19
Untuk kepentingan di atas, Hanafi merencanakan sebuah hermeneutika yang
mencakup berbagai teori interpretasi, baik atas teks maupun terhadap realitas.
Hasan Hanafi menggunakan hermeneutika sebagai alternatif metode
interpretasi teks atas kritiknya pada metode tafsir klasik. Hanafi juga
memperluas cakupan hermeneutika, dari sekedar ilmu interpretasi atau teori
pemahaman, menjadi ilmu yang menjelaskan tentang penerimaan wahyu sejak
tingkat perkataan hingga tingkat dunia. Hermeneutika adalah ilmu tentang

18
Hasan Hanafi dalam Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir Al-Qur’an
menurut Hassan Hanafi (Jakarta: Teraju, 2002) hal. 140-141
19
Hasan Hanafi, At-Turāts wa at-Tajdīd: Mauqifunā min Al-Turāts Al-Qadīm, (Kairo: Al-Markaz Al-
‘Arabī, 1980) Hal. 213

10
proses wahyu dari huruf sampai kenyataan, dari logos sampai praksis, dan juga
transformasi wahyu dari pikiran Tuhan kepada kehidupan manusia.20
Melihat berbagai kekurangan dan kelemahan didalam tafsir klasik,
Hanafi menawarkan teori penafsiran yang baru dalam menafsirkan Al-Qur’an
yang ia rumuskan melalui pendekatan sosial, Hanafi menyebut teori penafsiran
ini dengan ”Hermeneutika Sosial” (al-Manhaj al-Ijtimā’ī fī at-Tafsīr) atau
lebih tepatnya metode tafsir tematik (at-Tafsīr al-Mauḍū’ī). Dengan
hermeneutika Al-Qur’an seperti ini, menurut Hanafi, seorang mufassir yang
ingin mendekati makna Al-Qur’an tidak saja mendeduksikan makna dari teks,
tapi sebaliknya, dapat juga menginduksikan makna dari realitas kedalam teks.
Bukan sekedar menjelaskan, tapi juga memahami. Bukan hanya mengetahui,
tapi sekaligus menyadari. Seorang mufassir bukan hanya menerima, tapi
memberi makna. Ia menerima makna dan meletakannya dalam struktur rasional
dan nyata. Karena tafsir tematis berusaha menemukan identitas sejati antara
wahyu, kesadaran dan alam.21
Menafsirkan dalam pandangan Hanafi berarti mencari sesuatu, fokus dari
objek. menafsirkan adalah menemukan sesuatu yang baru antara bahasa teks.
Menafsirkan menurut Hanafi, serupa dengan menulis teks baru, mengungkap
isi terdalam dari teks yang berhubungan dengan kesadaran yang paling
dalam.22
Berhubungan dengan metodologi hermeneutika sosial yang dibangun ini,
Hanafi meletakan premis-premis dan landasan filosofis dalam mencari makna
dari teks Al-Qur’an. Premis-premis itu adalah:
Pertama, wahyu diletakan dalam ”tanda kurung” (epoche23), tidak diafirmasi,
tidak pula ditolak. Penafsir tidak perlu lagi mempertanyakan keabsahan dan
keaslian Al-Qur’an yang banyak diperdebatkan oleh kalangan orientalis,
bahkan sebagian cendikiawan muslim kontemporer seperti Nashr Hamid Abu

20
Ahmad Khudori Sholeh dalam, Pemikiran Islam Kontemporer, Hasan Hanafi: Hermeneutika
Humanistik (Yogyakarta: Jendela. 2003) Hal. 160-161
21
Hasan Hanafi dalam Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir Al-Qur’an
menurut Hassan Hanafi (Jakarta: Teraju, 2002) hal. 146
22
Hasan Hanafi dalam Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir Al-Qur’an
menurut Hassan Hanafi (Jakarta: Teraju, 2002) hal. 141
23
Kata epoche berasal dari bahas Yunani, yang berarti: “menunda putusan” atau ”mengosongkan diri
dari keyakinan tertentu”.

11
Zaid dan Muhammad Arkoun24, apakah ia dari Tuhan atau dari pandangan
Muhammad Saw. Penafsiran dimulai dari teks apa adanya tanpa
mempertanyakan keasliannya terlebih dahulu. Menurut Hanafi, dalam tahap
interpretasi pertanyaan tentang asal-usul teks tidak lagi relevan, karena teks
adalah teks, tidak ada permasalahan apakah ia bersifat Ilahiah atau manusiawi,
sakral atau profan, elegius atau sekular. Pertanyaan tentang asal-usul teks
merupakan permasalahan kejadian teks, sedangkan penafsiran berkaitan
dengan isi teks tersebut.
Kedua, Al-Qur’an diterima sebagaimana layaknya teks-teks lain, seperti
karya sastra, teks filosofis, dokumen sejarah dan sebagainya. Al-Qur’an tidak
memiliki kedudukan istimewa secara metodologis, semua teks ditafsirkan
berdasarkan aturan yang sama. Baik itu yang sakral atau profan, termasuk Al-
ur’an.Al-Qur’an menurut Hanafi, hanyalah merupakan transfigurasi bahasa
manusia, sebagaimana halnya juga hadits Nabi.25
Ketiga, Tidak ada penafsiran palsu atau benar, pemahaman benar atau
salah. Yang ada hanyalah perbedaan pendekatan terhadap teks yang ditentukan
oleh perbedaan kepentingan dan motivasi. Konflik interpretasi mencerminkkan
pertentangan kepentingan, dalam interpretasi yang bersifat linguistik bahasa
selalu berubah-ubah. Kesamaan antara makna teks yang sedang dijelaskan
dengan makna penafsiran terhadap teks hanyalah preposisi formal yang
sifatnya hipotesis berdasarkan pada hukum keserupaan. Menurut Hanafi,
kesenjangan waktu yang lebih dari 14 abad yang menyebabkan teori
keserupaan teks dan penafsiran jadi mustahil.
Keempat, Tidak ada penafsiran tunggal terhadap teks, tapi pluralitas
penafsiran yang disebabkan oleh perbedaan pemahaman penafsir, teks
hanyalah alat kepentingan, bahkan ambisi manusia. Penafsirlah yang
memberinya isi sesuai ruang dan waktu dalam masa mereka.

24
Dalam pandangan Nashr hamid Abu Zaid, keabsolutan AL-Qur’an yang sakral sebatas dalam
bentuknya yang metafisis atau saat berada di lawh mahfudz yang tidak diketahui hakekatnya dan tidak
dapat dibuktikan melainkan hanya sekedar cerita dari Al-Qur’an saja. Kemudian Al-Qur’an yang
absolut dan sakral tersebut menjadi pudar, relatif dan nisbi saat diwahyukan kepada Nabi dan dipahami
oleh ummat Islam. Hal ini karena keabsolutan dan kesakralan Al-Qur’an telah hilang saat berada dalam
akal pembacaan manusia yang bercampur dengan pewarnaan dan kepentingan masing-masing penafsir.
Maka kesimpulannya, menurut Abu Zaid, Al-Qur’an yang absolut dan sakral sudah tidak ada lagi di
dunia ini. Sumber: Henri, Shalahuddin M.A., Al-Qur’an Dihujat (Jakarta: Al-Qalam, 2007)
25
Hasan hanafi, Humūm al-Fikr al-Waṭan: at-Turats wa al-’Aṣr wa al-Hadātsah Vol. II, (kairo: Dār
Qubā, 1997) Hal. 23-30

12
Terakhir, Konflik penafsiran merefleksikan konflik sosio-politik dan
bukan konflik teoritis. Teori sebenarnya hanyalah merupakan kedok
epistemologis. Setiap penafsiran mengungkapkan sosio-politik penafsir.
Penafsiran menurut Hanafi, merupakan senjata ideologis yang banyak
digunakan oleh kekuatan sosio-politik, baik dalam rangka mempertahankan
keuasaan atau merubahnya.26
Dari lima premis diatas, Hanafi bertujuan untuk menghindarkan dari
penafsiran yang bertele-tele, maka dari itu Hanafi merumuskan beberapa
karakteristik dalam penafsiran Al-Qur’an.27
Pertama, Harus mampu menghasilkan tafsir yang sifatnya spesifik (at-
tafsir al-juz’i) yaitu menafsirkan ayat-ayat tertentu Al-Qur’an bukannya
menafsirkan seluruh ayat-ayat Al-Qur’an.
Kedua, tafsir semacam ini disebut juga tafsir tematik (at-tafsir al-
maudhu’i) karena hanya menafsirkan tema-tema tertentu yang dibutuhkan.
Ketiga, bersifat temporal, (at-tafsir az-zamani). Penafsiran tidak
diarahkan kepada pencarian makna universal, melainkan diarahkan untuk
menelusuri makna sesuai yang diinginkan Al-Qur’an untuk generasi tertentu.
Tafsir semacam ini tidak berurusan dengan masa lalu atau masa yang akan
datang, melainkan dikaitkan dengan realitas kontemporer dimana ia muncul.
Keempat, berkarakter realistik (at-tafsir al-waqi’i). Yaitu memulai
penafsiran dari realitas kaum muslimin, kehidupan dengan segala
problematikanya krisis dan kesengsaraan yang mereka hadapi.
Kelima, beroeientasi pada makna tertentu dan bukan merupakan
perbincangan teoritik tentang huruf dan kata. Karena menurut Hanafi, wahyu
pada dasarnya memiliki tujuan, orientasi dan kepentingan. Yaitu kepentingan
masyarakat dan hal-hal yang menurut akal bersifat manusiwi, rasional dan
natural.
Keenam, bersifat experimental, karena ia merupakan tafsir yang sesuai
dengan kehidupan dan pengalaman hidup mufassir.

26
Hassan Hanafi, Islam In The Modern World: Religion, Ideology, and Development, vol. I (Kairo:
Anglo-Egyptian Bookshop, 1995) Hal. 417-418
27
Hasan Hanafi, Humūm al-Fikr al-Waṭan: at-Turats wa al-’Aṣr wa al-Hadātsah Vol. II (kairo: Dār
Qubā, 1997) Hal. 45-50.

13
Ketujuh, perhatian terhadap problem kontemporer. Bagi Hanafi, Mufassir
tidak dapat memulai penafsirannya tanpa didahului oleh perhatian dan
penelitian yang mendalam atas masalah-masalah kehidupan.
Terakhir, posisi sosial mufassir ditentukan secara sosial sekaligus
menentukan corak penafsiran yang dilakukannya. Penafsiran merupakan
bagian dari struktur sosial, baik itu bagian dari golongan atas, menengah atau
bawah.28
Setelah meletakan berbagai premis dan karakteristik penafsiran,
kemudian Hanafi merumuskan beberapa aturan metodis untuk mendukung
hermeneutika Al-Qur’an yang ia bangun. Aturan-aturan ini berfungsi sebagai
petunjuk teknis ketika menafsirkan Al-Qur’an.
Pertama: merumuskan komitmen sosial politik. Mufassir bukanlah seorang
yang netral, sebab ia berada dalam drama negeri tertentu dan dalam krisis
dalam masanya. Ia terobsesi pada perubahan sosial. Tidak ada mufassir tanpa
komitmen tertentu, sebab hilangnya komitmen berarti tidak memiliki
komitmen apa-apa.
Kedua: mencari sesuatu. Seorang mufassir tidak memulai penafsiran dengan
tangan kosong atau tanpa mengetahui apa yang ingin ia ketahui terlebih dahulu.
Menurut Hanafi, kesadaran adalah kepentingan itu sendiri. Sementara hikmah
yang dikandung asbab an-nuzul merupakan gambaran dari prioritas realitas
atas teks.
Ketiga: seorang mufassir berusaha mensinopsis ayat-ayat yang berkaitan
dengan tema-tema tertentu. Setiap ayat yang berhubungan satu sama lain dalam
tema-tema tertentu dikumpulkan, kemudian dibaca dan dipahami berulang-
ulang secara seksama dan simultan sehingga orientasi umum dari ayat-ayat
tersebut dapat ditemukan.
Keempat: klasifikasi bentuk-bentuk linguistik. Bagi Hanafi, bahasa
merupakan bentuk pemikiran yang membawa mufassir kedalam makna.
Kelima: membangun struktur. Setelah bentuk-bentuk linguistik memberi
orientasi makna, mufassir berusaha membangun suatu struktur berangkat dari
suatu makna menuju suatu objek. Makna dan objek adalah sisi koin yang sama.
Keduanya adalah kolerasi yang sama dalam keasadaran.

28
Hasan Hanafi, ad-Dīn wa at-Tsaurah fi Miṣr 1952-1981, al-Yamīn wa al-Yasār fī fikri ad-Dīnī Vol. 7
(Kairo: Maktabah Madbuli, 1989) Hal. 102-111

14
Keenam: analisis situasi faktual. Setelah membangun suatu tema sebagai
struktur ideal, mufassir menggabungkan dan menghubungkannya dengan
situasi nyata, untuk mengetahui status kuantitatif masalah. Menurut Hanafi,
diagnosa sosial adalah cara lain untuk memahami makna sebagai dinamika teks
dalam dunia nyata.
Ketujuh: membandingkan yang ideal dengan yang riil. setelah proses
membangun struktur memberikan tema kualitatif dan analisis fakta sosial
memberi status kuantitatif sebagai fenomena sosio-historis, mufassir
membandingkan struktur ideal yang dideduksi dari analisis isi teks dan situasi
faktual yang diinduksi olek statistik dalam ilmu-ilmu sosial.
Terakhir, deskripsi model-model aksi. Apabila ditemukan adanya kesenjangan
antara dunia ideal dengan dunia riil, maka aksi sosial merupakan langkah
berikutnya dari proses interpretasi. Mufassir mentransformasikan diri dari teks
ke aksi, dari teori ke praktek dan dari pemahaman ke perubahan.29
2. Kiri Islam ala Hasan Hanafi.
Inspirasi Kiri Islam timbul karena melihat keberhasilan revolusi Islam di
Iran, dimana rakyatnya tegak kokoh melawan tekanan militer dan
menumbangkan rezim Syah atas nama Islam untuk menumpas keotoriteran
Syah. Maka dapat dilihat bahwa kiri islam adalah benteng pelindung bagi Islam,
yang akan mengembangkan reformasi agama.
Istilah “kiri” Islam dikenal luas sejak kemunculan jurnal al-Yasar al-Islami
(“Kiri” Islam: Beberapa Essai tentang Kebangkitan Islam) pada tahun 1981.30 Esai
pertama dalam jurnal itu, Maza Ya’ni al-Yasar al-Islami, yang dimaksudkan Hanafi
sebagai “tajuk rencana” jurnal dan gerakan pemikirannya. Namun, istilah itu sendiri
seperti dijelaskan Shimogaki, bukan ciptaan Hanaf. Ahmad Gabbas Shalih dalam al-
Yamin wa al-Yasar f al-Islami (1972) mengatakan bahwa dalam Islam, “kiri”
memperjuangkan pemusnahan, penindasan bagi orang-orang miskin dan tertindas. Ia
juga memperjuangkan persamaan hak dan kewajiban di antara seluruh masyarakat ...
singkat kata, “kiri” adalah kecenderungan sosialistik dalam Islam.31 Hanafi tampaknya,
seperti dikatakan Shimogaki, mengambil ide “kiri” itu dari Shalih yang kemudian ia

29
Hasan Hanafi dalam Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir Al-Qur’an
menurut Hassan Hanafi (Jakarta: Teraju, 2002) hal. 151-153.
30
Shimogaki, Kazuo. 1994. Between Modernity and Postmodernity the Islamic Left and Dr. Hassan
Hanaf’s Thought: A Critical Reading. Terj. LKiS. Yogyakarta:LKiS. Hal. 5
31
Shimogaki, Kazuo. 1994. Between Modernity and Postmodernity the Islamic Left and Dr. Hassan
Hanaf’s Thought: A Critical Reading. Terj. LKiS. Yogyakarta:LKiS. Hal. 4

15
kembangkan dalam jurnalnya. Dalam Jurnalnya, Hanaf menjelaskan bahwa kiri
mengangkat posisi kaum yang dikuasai, kaum yang tertindas, kaum miskin dan yang
menderita.32 Kiri adalah nama ilmiah, sebuah ilmu politik yang berarti resistensi,
kritisisme, dan menjelaskan antara realitas dan idealitas. karena itu, Hanafi juga
memberikan nama lain bagi “Kiri” Islam dengan “Islam Kritis”.
Hanafi mengakui bahwa kiri dan kanan sebenarnya tidak ada dalam akidah
Islam, melainkan hanya ada dalam tataran sosial, politik, ekonomi, dan sejarah.
Sehingga Hanafi menegaskan bahwa Kiri Islam berbicara pada konteks ini, yaitu pada
tataran kaum muslimin di dalam realitas historis tertentu dan dalam sistem sosial
tertentu. Bagi Hanafi, mengenalkan terminologi “Kiri” dan “orang-orang Kiri” adalah
penting sebagai upaya menghapus seluruh sisa-sisa imperialisme.33
“Kiri” Islam hadir untuk menantang dan menggantikan kedudukan peradaban
barat, menghadapi ancaman imperialisme ekonomi berupa korporasi multinasional
ancaman imperialisme kebudayaan. Ia ingin memperkuat umat Islam dari dalam, dari
tradisinya sendiri dan berdiri melawan pembaratan yang pada dasarnya
bertujuan melenyapkan kebudayaan nasional dan memperkokoh dominasi kebudayaan
Barat.34
Pada garis besarnya “Kiri” Islam bertopang pada tiga pilar utama yang
sekaligus merupakan isi pokok “Kiri” Islam, dalam rangka mewujudkankebangkitan
Islam, revolusi tauhid dan kesatuan umat. Pertama, revitalisasi khazanah klasik Islam.
Hanafi secara tegas menekankan perlunya rasionalisme untuk revitalisasi khazanah
klasik Islam itu. rasionalisme merupakan keniscayaan bagi kemajuan dan kesejahteraan
umat untuk memecahkan situasi kekinian dalam dunia Islam. Kedua, perlunya
menantang peradaban Barat. Hanafi memperingatkan akan bahaya imperialisme
kultural barat yang cenderung membasmi kebudayaan bangsa-bangsa yang secara
historis kaya. Ketiga, adalah analisis atas realitas dunia Islam untuk upaya ini ia
mengkritik metode penafsiran tradisional yang bertumpu pada teks (nas) dan
mengusulkan suatu metode tertentu agar realitas dunia Islam dapat berbicara sendiri.35
Dengan demikian Kiri Islam didasarkan atas tiga topik utama. Usaha
merekonstruksi warisan intelektual yang telah usang, menjadi suatu konstruk yang
sesuai dengan tuntutan zaman. Namun, bagi Hanafi usaha yang pertama
ini tidak cukup. Sebab kenyataan menunjukkan bahwa Barat dengan warisan

32
Hanafi, Hasan. Al-Yasr al-Islami: Kitabah al-Nahdah al-Islamiyyah. (Kairo Mesir. 1987), hal. 7.
33
Shimogaki, Kazuo. 1994. Between Modernity and Postmodernity the Islamic Left and Dr. Hassan
Hanaf’s Thought: A Critical Reading. Terj. LKiS. Yogyakarta:LKiS. Hal. 5
34
Hanafi, Hasan. Al-Yasr al-Islami: Kitabah al-Nahdah al-Islamiyyah. (Kairo Mesir. 1987), hal. 20.
35
Shimogaki, Kazuo. 1994. Between Modernity and Postmodernity the Islamic Left and Dr. Hassan
Hanaf’s Thought: A Critical Reading. Terj. LKiS. Yogyakarta:LKiS. Hal. 6

16
intelektualnya saat ini berpengaruh pula pada umat Islam. Menurutnya warisan Barat
juga harus dipelajari menurut versi kita sebagaimana para orientalis mempelajari
warisan kita melalui versi mereka sendiri.36
3. Pemikiran Tentang Oksidentalisme.
Secara etimologi Oksidental berasal dari bahasa Inggris, ”Occident”
yang berarti negeri barat. Hassan Hanafi mendefinisikan Oksidentalisme dalam
bahasa Arab Al-Istighrab, sebagaimana judul bukunya Muqaddimat fi ’Ilmi Al-
Istighrab (Pengantar Ilmu Oksidentalisme), bahwa oksidentalisme adalah
kebalikan (antonym) dari orientalis, yang diartikan secara umum,
Oksidentalisme adalah kajian kebaratan atau suatu kajian komprehensif dengan
meneliti dan merangkum semua aspek kehidupan masyarakat Barat, dalam
oksidentalisme, posisi subyek obyek menjadi terbalik. Timur sebagai subyek
pengkaji dan Barat sebagai obyek kajian. Walaupun istilah Oksidentalisme
adalah antonim dari Oreantalisme, tapi di sini ada perbedaan lain,
oksidentalisme tidak memiliki tujuan hegemoni dan dominasi sebagaimana
orientalisme, tetapi para oksidentalis hanya ingin merebut kembali ego Timur
yang telah dibentuk dan direbut Barat.
Oksidentalisme terlahir dari realitas historis berupa tampilnya
superioritas tradisi Barat melalui alat pandangnya atas dunia Timur yang lazim
disebut orientalisme. “Proyek” oksidentalisme merupakan kajian obyektif-
teoritis atas tradisi Barat. Selama ini ruang epistemologi masyarakat dunia
seolah hanya menghadirkan satu realitas kajian yang dominan, yaitu studi
orientalisme (kajian tentang tradisi Timur oleh Barat). Orientalisme sebenarnya
lahir seiring dengan proses kolonialisme dan imperialisme yang dijalankan oleh
masyarakat Barat (Eropa). Sejak awal ia menyajikan sebuah bacaan tentang
dunia Timur yang sangat mempengaruhi misi kolonialisme. Mulai tahun 1815
hingga 1914 sejarah menjadi bukti betapa kekuasaan Eropa sudah merentang
hampir ke seluruh daratan bumi.
Menurut Edward Said, gerakan orientalisme bukanlah suatu kebetulan,
tetapi merupakan gerakan ilmiah yang analoginya dalam dunia politik empiris
adalah akumulasi kolonial di Timur dan akuisisi Barat. Bahkan orientalisme
telah difungsikan sebagai suatu “sistem hegemoni penuh” yang mendistribusikan

36
Hasan Hanafi, Muqaddimah fi Ilm al-Istigrab Mauqifuna min al-Turas al-Garb, Cet.I, (Bairut: Al-
Mu’assasah al-Jam’iyyah, 1992b). Hal. 9-14

17
persoalan-persoalan geopolitik Barat ke dalam segenap realitas estetis, etis,
ekonomi, sosiologis, budaya, filologis dan bahkan ranah ideologis. 37 Dominasi
ini pada akhirnya memicu lahirnya ketidakseimbangan perhatian antara Barat di
satu sisi dengan Timur di sisi yang lain. Said mengakui bahwa Barat memiliki
kebudayaan yang maju dan superior, sementara Timur terbelakang dan bodoh.
Tetapi superioritas tersebut bukan hasil dari proses yang sehat, melainkan proses
politik yang penuh dengan kepentingan kolonial. Kajian Said tersebut diakui
telah memperlihatkan dan “menguliti” orientalisme sebagai gerakan ilmiah yang
didorong oleh motif-motif kekuasaan kolonialisme. Dengan melalui
orientalisme, Barat mempunyai “jendela” untuk melihat dan melokalisasi Timur
dengan tujuan bagaimana Timur dapat dikuasai dan sekaligus didikte.
Melalui studi orientalismenya Edward Said telah memberikan angin
segar bagi pemikir dunia Timur, termasuk Hanafi untuk secara kritis melihat
tradisi Barat yang spirit dasarnya adalah kolonialisasi. Berdasar pada konteks ini
pula, mitos Barat sebagai tradisi yang hebat dan superior dapat diminimalisasi.
Caranya adalah dengan menjadikan Barat sebagai obyek kajian. Suatu kajian
kritis atas Barat untuk menarik tradisi Barat dari kesadaran ego masyarakat
Islam. Perspektif yang digunakan diawali dari rekonstruksi kritis terhadap tradisi
klasik sebagai identifikasi awal ego/al-ana yang akan menjadi tegas apabila
pengetahuan tentang tradisi Barat sebagai the other/al-akhar bisa digali dan
direlokasi dalam habitatnya sendiri.

D. KARYA-KARYA HASAN HANAFI

Karya Hasan Hanafi dapat dibagi kepada tiga periode. Periode pertama
berlangsung pada tahun 60-an, periode kedua tahun 70-an dan periode ketiga tahun
80-an sampai 90-an. Pada periode pertama, khususnya awal dasawarsa 60-an,
pemikiran Hasan Hanafi dipengaruhi oleh paham-paham dominan yang
berkembang di Mesir, yaitu nasionalistik-sosialistik-populistik yang juga
dirumuskan sebagai ideologi Pan Arabik. Karya-karya tersebut adalah sebagai
berikut38 :

37
Said, Edward, Orientalisme, (New York: Vintage Books, 1978), hlm. 17
38
Shimogaki, Kazuo. 1994. Between Modernity and Postmodernity the Islamic Left and Dr. Hassan
Hanaf’s Thought: A Critical Reading. Terj. LKiS. Yogyakarta:LKiS. Hal. 23.

18
1. Les Methode d’Exegese
2. Essei Sur La Science des Fondament de La Comprehension
3. ‘Ilm Ushl Fiqh (1965)
4. L’Exegese de la Phenomenologie L’etat actuel de la methode Phenomenologie
et son application ua Phenomene Religiux (1965)
5. La Phenomenologie d L’Eexgese: essei d’Une Hermenuetique existentille a
partidu Nouvea Testanment (1966)

Pada periode kedua, yaitu tahun 70-an, Hasan Hanafi memberikan perhatian utama
pada sebab-sebab kekalahan bangsa Arab ketika berperang melawan Israel pada
tahun 1967. Karya-karyanya adalah sebagai berikut :

1. Qadhaya Mu’ashirah fi Fikrina al-Mu’ashir (1977), yang merupakan kumpulan


dari tulisan-tulisannya pada berbagai majalah, seperti Al-Khatib, Al-Akhbar, Al-
Adab, Al-Fikr al-mu’ashir dan Minbar al- Islam.
2. Qadhaya Mu’ashirah fi Fikr al-Gharbi al Mu’ashir (1977)
3. Religious Dialogue and Revlution (1977)
4. Dirasat Islamiyah (1978)

Pada periode terakhir yaitu tahun 80-an sampai tahun 90-an, Karya-karya Hasan
Hanafi memiliki latar belakang politik yang relatif lebih stabil dibandingkan pada
masa-masa sebelumnya. Diantara karya-karyanya adalah sebagai berikut :

1. Al-Turats wa Al-Jadid
2. Al-Yassar al-Islami
3. Dirasat Falsafiyah (1988)
4. Min Al-Aqidah ila Al-Tsawrah (1988)
5. Hiwar al-Masyriq wa al-Magrib (1990)
6. Islam in the Modern World (1995)
7. Humum al Fikr wa Al-Wathan (1997)
8. Jamaludin Al-Afghani (1997)
9. Hiwar al-Ajyal (1998)

19
Selain dalam tiga periode tersebut, masih ada lagi karya-karya lain Hasan Hanafi
yang masuk dalam kategori Karya terjemahan, saduran dan suntingan. Diantara
karya-Karya tersebut adalah sebagai berikut :

1. Muhammad Abu Husain Al-Bashri


2. Al-Mu’tamad fi ‘Ilm Ushul Al-Fiqh (1964-1965)
3. Al-Hukumah al-Islamiyah li Al-Imam Khamaini (1980)
4. Jihad Al-Nafs aw Jihad al-Akbar li Al-Imam Khamaini (1980)
5. Namadzij min al-Falsafah al Masihiyyah fi Al-Ashr al Wasith
6. Al-Mu’allim li Aghustin : Al Iman al-Basits ‘an al-Aql la Taslim, Al Wujud wa al-
Mahiyah li Tuma al-Akwini (1968)
7. Spinoza : Risalah fi al-Lahut wa al-siyasah (1973)
8. Lessing : Tarbiyah fi al-Jins al-Basyari wa a’mal ukhra (1977)
9. Jean-Paul Sarte : Ta’ali al-‘ana Al-Mawjud (1978)

20
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Hasan Hanafi adalah tokoh pemikir modern yang visoner dan penggerak dalam
dunia Islam. Ia mempunyai berbagai pemikiran yang reformis dan revolusioner dalam
pembaharu pemikiran-pemikiran Islam. Ide-ide pemikiran ini berada pada berbagai
bidang, tetapi hanya beberapa pemikiran beliau yang sangat fenomenal dan sangat
berpengaruh hingga sekarang.
Beberapa inti pemikiran beliau adalah tentang Kiri Islam yaitu bentuk
perlawanan “politik” dalam memperbaiki kehidupan masyarakat dalam menghadapi
kenyataan. Teori ini ingin menghapus adanya sekat-sekat yang ada dalam realitas
masyarakat seperti tuan dengan hambanya, atasan dengan bawahannya, si kaya dan si
miskin, dll.
Kedua, yaitu tentang Hermeneutika Al-Quran. Pemikirannya mengkritik tentang
model penafsiran klasik yang hanya berkutat pada penafsiran yang berhubungan dengan
teosentris saja tanpa ada pengaruh terhadap realita kehidupan. Ia juga memberikan
model-model penafsiran yang berhubungan keadaan sekarang.
Pemikiran yang ketiga adalah tentang oksidentalisme, dimana ia orang pertama
yang mencetuskan tentang term Oksidentalisme. Pemikiran ini muncul sebagai reaksi
dia terhadap hegemoni bangsa barat yang selalu mendominasi setiap unsur kehidupan.

21
DAFTAR PUSTAKA

John L. Esposito, The Oxford Encyklopedia of the Modern Islamic World (New York:
Oxford University Press, 1995)
Kazuo Shimogaki, Kiri Islam, (Yogyakarta LKiS, 1994)
‘Iwad, Dirasat fi al-Hadlarat, (Kairo: Dar al-Mustaqbal al-‘Arabiy, 1989)
George Lenczowski, Timur Tengah di Tengah Kancah Dunia, terj. Asgar Bixby,
(Bandung, Sinar Baru, 1992)
Ali Rahmena, Para Perintis Zaman Baru Islam, (Bandung, Mizan, 1996)
Sholahuddin, Devi Muharrom. Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Al-Qur’an Hasan
Hanafi.2010
AH. Ridwan, Reformasi Intelektual Islam, (Yogyakarta, Ittaqa Press, 1998)
Hanafi, Hasan, Arab Studies Quarterly, Vol. 4.
____________, Islam In The Modern World: Religion, Ideology, and Development,
vol. I (Kairo: Anglo-Egyptian Bookshop, 1995)
____________, The Islamic Alternative (Spring 1982)
____________. Miftah Faqih (penerjemah), Islamologi II (dari Rasionalisme ke
Empirisme). (LkiS Yogyakarta. Cet. 2, 2007).
____________, Hermeneutika Al-Quran. Yogyakarta
____________, At-Turāts wa at-Tajdīd: Mauqifunā min Al-Turāts Al-Qadīm, (Kairo:
Al-Markaz Al-‘Arabī, 1980)
____________, ad-Dīn wa at-Tsaurah fi Miṣr (Kairo: Al-Markaz Al-‘Arabī, 1981)
____________, al-Yamīn wa al-Yasār fī fikri ad-Dīnī Vol. 7 (Kairo: Maktabah Madbuli,
1989)
____________, Muqaddimah fi Ilm al-Istigrab Muwaqifuna min al-Turas al-Garb,
Cet.I, (Bairut: Al-Mu’assasah al-Jam’iyyah, 1992b).
____________, Humūm al-Fikr al-Waṭan: at-Turats wa al-’Aṣr wa al-Hadātsah Vol. II
. Kairo: Dār Qubā, 1997
Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir Al-Qur’an menurut
Hassan Hanafi (Jakarta: Teraju, 2002)
Ahmad Khudori Sholeh dalam, Pemikiran Islam Kontemporer, Hasan Hanafi:
Hermeneutika Humanistik (Yogyakarta: Jendela. 2003)
Henri, Shalahuddin M.A., Al-Qur’an Dihujat (Jakarta: Al-Qalam, 2007)

22
Shimogaki, Kazuo. 1994. Between Modernity and Postmodernity the Islamic Left and
Dr. Hassan Hanaf’s Thought: A Critical Reading. Terj. LKiS. Yogyakarta:LkiS.
Said, Edward, Orientalisme, (New York: Vintage Books, 1978).

23

Anda mungkin juga menyukai