Anda di halaman 1dari 15

KELOMPOK 5

ZINA DAN TUDUHAN ZINA


Makalah ini di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Jinayah
Dosen pengampu: Ainun Yudhistira, S.H.I, M.H.I.

Disusun oleh:
Nurfalah Finajiyah 183111015/PAI 4G
Putri Novita Sari Asrofi 183111144/PAI 4G
Nur Khoiriyah 183111191/PAI 4G

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
2020/2021
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Allah SWT, menciptakan kita sebagai makhluk bernama manusia ke bumi.
Yang tidak lain, kita berkewajiban mentaati segala aturan-Nya, baik itu perintah
maupun larangan. Manusia merupakan makhluk sosial yang saling berinteraksi.
Diantara manusia terjadi sebuah interaksi sosial, sebuah hubungan timbal balik,
berupa aksi saling mempengaruhi antara individu maupun kelompok.
Dalam proses interaksi sosial, kadang terjadi perbedaan diantara masyarakat
yang nantinya menjadi sebuah konflik. Konflik adalah sesuatu yang tidak dapat
kita hindari dalam kehidupan. Dalam kehidupan masyarakat saat ini banyak kita
temukan kasus-kasus pelanggaran, yang menyalahi aturan agama. Dimana
mereka melakukan perbuatan tanpa memikirkan akibat, dan dosa yang
ditimbulkan.
Salah satu perbuatan dosa yang sering terjadi, dan menjadi hal lumrah saat
ini adalah zina. Dimana perbuatan ini dilakukan oleh orang yang tidak memiliki
hubungan perkawinan yang sah, hanya menuruti kehendak hawa nafsu, dan
kenikmatan sesaat. Perbuatan ini terjadi karena lemahnya iman dan kurangnya
pengetahuan mereka akan agama.
Selain perbuatan zina diatas, perbuatan menuduh seseorang berbuat zina,
yang mana hal ini amat dibenci oleh Allah SWT. Di dalam Islam disebut Qadzaf,
perbuatan yang masuk dalam kategori fitnah. Menuduh seseorang melakukan
perbuatan zina tanpa adanya bukti yang kuat. Untuk lebih detailnya, akan
dijelaskan dalam bab selanjutnya.

1
B. Rumusan Masalah.
1. Apa pengertian dan jenis- jenis zina ?
2. Bagaimana hukuman zina dalam hukum pidana Islam dan hukum positif ?
3. Apa pengertian dari Qadzaf ?
4. Apa saja syarat-syarat Qadzaf ?
5. Bagaimana hukum Qadzaf dalam hukum pidana Islam dan hukum positif ?
C. Tujuan Masalah.
1. Mengetahui apa pengertian dan jenis-jenis zina.
2. Mengetahui bagaimana hukuman zina dalam Islam dan hukum poitif.
3. Mengetahui apa pengertian dari Qadzaf.
4. Mengetahui apa saja syarat-syarat Qadzaf.
5. Mengetahui bagaimana hukum Qadzaf dalam hukum pidana Islam dan
hukum positif.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Zina.
1. Pengertian dan jenis-jenis zina.
Zina menurut fiqh merupakan suatu perbuatan dosa besar, yaitu berhubungan
suami istri tanpa adanya ikatan perkawinan yang sah. Tidak masalah apakah
seorang atau kedua belah pihak telah memiliki pasangan hidupnya
masing-masing, ataupun belum menikah sama sekali.1
Menurut pendapat Hanafiyah, “zina merupakan nama dari persetubuhan yang
haram dalam qubul (Kemaluan) perempuan yang masih hidup dalam keadaan
ikhtiar (tanpa paksaan), di dalam negeri yang adil, yang dilakukan orang-orang
kepadanya berlaku hukum Islam, dan wanita tersebut bukan miliknya, dan tidak
ada syubhat dalam miliknya”.
Menurut pendapat Syafi’iyah, “Zina adalah memasukkan dzakar ke dalam
farji yang diharamkan karena dzatnya tanpa adanya syubhat, dan menurut
tabiatnya adalah syahwat”2
Zina adalah perbuatan yang sangat tercela dan pelakunya dikenai sanksi yang
amat berat, baik itu hukum dera ataupun rajam, karena alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan secara moral dan akal.
Pelaku yang berzina dibagi menjadi dua, yaitu:
a) Zina Muhsan, zina yang telah dilakukan oleh orang yang sudah menikah,
syarat seseorang dikatakan sebagai muhsan adalah muslim, baligh, berakal,
dan merdeka, bahkan seandainya ia telah bercerai dengan pasangannya, ia
melakukan zina, ia dikenai hukuman muhsan. Apabila syarat-syarat tersebut
tidak terpenuhi, seseorang itu tidak dikatakan muhsan
b) Zina Ghairu Muhsan, zina yang telah dilakukan oleh mereka yang belum
pernah menikah.3

1
Mustofa Hasan Dkk, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Bandung: Pustaka Setia), 2013,
hlm.255
2
Syamsul Huda, Zina dalam prespektif hukum Islam dan kitab undang-undang hukum pidana,
Hunafa: Jurnal Studia Islamika, Vol. 12, No. 2, 2015, Hlm 381.
3

3
2. Hukum zina dalam hukum pidana Islam dan hukum positif.
a. Hukum zina dalam hukum pidana Islam.
 Menurut Al-Qur’an.
Hukum Islam memang berbeda dengan hukum positif terlebih pada masalah
hadd (hukuman) pada Zina. Islam memandang bahwa setiap orang yang sudah
melakukan hubungan kelamin, baik sudah menikah ataupun belum, baik atas
suka sama suka atau tidak, akan tetap dikenai hukuman karena zina termasuk
kedalam jarimah Hudud. Jarimah Hudud yaitu jarimah yang telah ditentukan
macam dan jumlahnya yang menjadi hak Allah, yaitu hak masyarakat artinya
hakim (penguasa) hanya berkewajiban untuk menjatuhkan hukuman berdasarkan
al-Qur’an dan al-Sunnah dan tidak berhak menambah atau mengurangi
hukumannya.
Dalam al-Qur’an sendiri sudah dijelaskan tentang hukuman bagi orang yang
berzina pada surah An-Nur ayat 2:

˴ Ϥ Ϥ Ϣ˵ϛ˸ά˴˵ ˴ ˴o u˴ua˴ ˴a˴a Ϥ ˴ Ϥ uϤa ˴o ˵ ouϤa ˴ Ϥ ΍ ˴o a˴˴Ϥ ΍


u˴ ˴˴ ˴o ϤaϤ˸V Ϥϡ˸˴˴ ˴o Ϥ Ϥ ˴ϥ˸ Ϥ ˵ Ϣ˴ ˵ ϥϤm Ϥ ϤϦ Ϥ Ϥ a˴ ˵˴Ϩ
˴Ϧ˴Ϥ Ϥ ˴ϦϤ a˴ϮϤa ˴ ˴ ˴ ˴ϛ˴Α
Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah
tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan
kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu
beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman
mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”.4
Hukuman yang dijelaskan pada ayat tersebut sudah jelas dan sangat tegas
dilarang memberikan belas kasih kepada orang yang berbuat zina dan dilarang
untuk memperlakukan mereka secara lemah lembut. Oleh karena itu, dilarang
untuk menunda pemberia hukuman dan hendaknya hukuman diberikan di depan
khalayak ramai. Hal tersebut dilakukan untuk memberi efek jera bagi pelaku dan

4
Mia Amalia, Prostitusi Dan Perzinahan Dalam Perspektif Hukum Islam, Tahkim, Jurnal
Peradaban dan Hukum Islam, Vol.1 No.1, (Maret, 2018), hal 75-76, EISSN : 2598-1129 ISSN :
2597-7962.

4
memberikan pengaruh secara fisik maupun mental atau kejiwaan, serta
memberikan pelajaran dan pengajaran bagi orang yang menyaksikan. Hukuman
bagi pelaku zina yang berstatus muḥṣan adalah rajam. Rajam adalah hukuman
mati dengan cara dilempari dengan batu. Karena hukuman rajam tidak tersebut
secara jelas dalam Alquran, maka kaum khawarij mengingkarinya. Menurut
mereka hukuman bagi pezina muḥṣan maupun ghair muḥṣan adalah sama yaitu
didera.5
 Dalam Hadis.
Didalam al-Qur’an sudah disebutkan secara jelas bahwa hukuman bago
orang yang berzina adalah di dera. Namun, para ulama sepakat bahwa
mengategorikan hukuman sesuai dengan status dari pelaku zina. Penetapan
hukuman zina ini didasarkan atas sebuah hadits yang diriwayatkan dari ‘Ubadah
bin al-Shamit Rasulullah Saw., pernah bersabda: “Dari „Ubadah bin al-Shamit ia
berkata: Rasulullah Saw., bersabda: “Ambillah dari diriku, ambillah dari diriku,
sesungguhnya Allah telah memberi jalan keluar (hukuman) untuk mereka
(pezina). Jejaka dan perawan yang berzina hukumannya didera seratus kali dan
pengasingan selama satu tahun, sedangkan duda dan janda yang berzina
hukumannya didera seratus kali dan dirajam”. (HR. Muslim)
Dari hadis tersebut maka kategori hukuman zina ditentukan berdasarkan
jenisnya;
1) Zina Ghairu Muhshan.
Hukuman zina untuk ghairu muhshan ini ada dua macam: didera seratus kali
dan diasingkan/dipenjara selama satu tahun. 6
Hukuman diasingkan bagi
bersandar pada keterangan Ibnu al-Munẓir yang mengatakan: “Dalam kasus
seorang pelayan yang berzina dengan majikan putri, Rasulullah saw. bersumpah
bahwa beliau akan memutusinya berdasarkan Kitabullah. Kemudian beliau
menyatakan, bahwasanya pelayan tersebut harus dihukum dera sebanyak seratus
kali dan diasingkan selama setahun. Itulah penjabaran dari firman Allah dan

5
Syamsul Huda, Zina Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Kitab Undang Undang Hukum Pidana,
Hunafa: Jurnal Studia Islamika, Vol. 12, No. 2, Desember 2015, hlm 380.
6
Rokhmadi, Hukuman Rajam Bagi Pelaku Zina Muhshan Dalam Hukum Pidana Islam, Jurnal
at-Taqaddum, Volume 7, Nomor 2, November 2015 hlm 313.

5
itulah yang dipidatokan oleh Umar bin Khattab di atas mimbar dan yang
kemudian diamalkan atau dipraktekkan oleh para Khulafa‘ alRāsyidin dan
mengamininya. Kemudian hal tersebut menjadi dasar ijma’.7 Terdapat perbedaan
dalam tata cara pelaksanaan hukuman dera. Menurut Imam Malik yang didera
adalah punggung dan seputarnya serta harus menanggalkan baju. Menurut Imam
Syafi’I yang didera seluruh anggota badan, kecuali kelamin dan muka yang harus
dihindarkan serta penanggalan baju. Menurut Abu Hanifah seluruh anggota
badan, kecuali kelamin, muka dan kepala serta penaggalan baju.
2) Zina Muhshan
Hukuman untuk pelaku zina muhshan ini ada dua macam; didera seratus kali
dan dirajam. Hukuman rajam adalah hukuman mati dengan cara dilempari batu
atau sejenisnya sampai mati. Hukuman rajam merupakan hukuman yang telah
diterima oleh hampir semua fuqaha.8 Hukum rajam adalah hukuman terberat
dalam Islam yang semestinya dicantumkan secara pasti di dalam al-Qur’an,
sebagaimana hukuman cambuk seratus kali yang tercantum dalam. QS. an-Nur:
2.9
Pemberian hukuman yang lebih berat pada pelaku zina Muhshan supaya
menimbulkan efek jera karena mereka sudah mendapatkan kesempatan dari tuhan
untuk melakukan hubungan seksual yang sah dengan pernikahan namun malah
melakukan hubungan yang tidak sah. Dengan demikian pengingkaran terhadap
nikmat yang telah diberikan harus dibalas dengan kepedihan rajam. Sedangkan
zina ghairu muḥṣan dihukum dera dan pengasingan adalah karena mungkin sifat
keingintahuannya yang mendorong untuk berbuat zina sedang dia belum menikah
sehingga tidak ada tempat untuk menyalurkan keingintahuannya secara syar’i.
Oleh karena itu Islam menghalalkan nikah dan menghramkan zina. Jadi

7
Syamsul Huda, Zina Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Kitab Undang Undang Hukum Pidana,
hlm 380.
8
Rokhmadi, Hukuman Rajam Bagi Pelaku Zina Muhshan Dalam Hukum Pidana Islam, hlm 313.
9
Rokhmadi, Hukuman Rajam Bagi Pelaku Zina Muhshan Dalam Hukum Pidana Islam, hlm 332.

6
hubungan apapun antara laki-laki dan perempuan di luar batasan syariat
dinamakan zina.10
b. Hukum Zina dalam Hukum Positif.
Dalam hukum positif, perbuatan zina bersumber dari hukum barat bukan
hukum Islam dan terdapat di dalam rumusan Pasal 284 KUHP. Di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia Pasal 284 bahwa zina adalah
persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin
dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya. Hal ini dapat
dilihat bunyi rumusan Pasal 284 KUHP sebagai berikut :
1) Dihukum penjara selama-lamanya Sembilan bulan :
 laki-laki yang beristeri, berbuat zina, sedang diketahuinya, bahwa Pasal 27
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (sipil) berlaku padanya.
 perempuan yang bersuami, berbuat zina: Laki-laki yang turut melakukan
perbuatan itu, sedang diketahuinya, bahwa kawannya itu bersuami:
 Perempuan yang tiada bersuami yang turut melakukan perbuatan itu, sedang
diketahuinya, bahwa kawannya itu beristeri dan Pasal 27 Kitab
Undang-Undang Hukum perdata (sipil) berlaku pada kawannya itu.
2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan suami (isteri) yang mendapat
malu dan jika pada suami (isteri) itu berlaku Pasal 27 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (sipil) dalam tempo 3 bulan sesudah pengaduan itu, diikuti
dengan permintaan akan bercerai atau bercerai tempat tidur dan meja makan
(scheiding van tafel en bed) oleh perbuatan itu juga.
3) Tentang pengaduan ini Pasal 27, 73, dan 75 tidak berlaku.
4) Pengaduan itu boleh dicabut selama pemeriksaan dimuka sidang pengadilan
belum dimulai.
5) Kalau bagi suami dan isteri itu berlaku Pasal 27 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (sipil) maka pengaduan itu tidak diindahkan, sebelum

10
Syamsul Huda, Zina Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Kitab Undang Undang Hukum Pidana,
hlm 389.

7
mereka itu bercerai, atau sebelum keputusan hakim tentang perceraian
tempat tidur dan meja makan mendapat ketetapan.11
Tindak pidana perzinahan yang dimaksud dalam Pasal 284 KUHP ayat (1)
KUHP itu merupakan suatu delik atau merupakan tindak pidana yang harus
dilakukan dengan sengaja. Ini berarti bahwa unsur kesengajaan itu harus terbukti
pada si pelaku agar ia dapat terbukti sengaja dalam melakukan salah satu tindak
pidana perzinahan dari tindak pidana-tindak pidana perzinahan yang diatur dalam
Pasal 284 ayat (1) KUHP. Adapun mengenai kesengajaan ini, KUHP tidak
memberikan definisi secara jelas. Petunjuk untuk mengetahui arti kesengajaan
dapat diambil dari Memorie van Toelchting (MvT) yang mengartikan
kesengajaan sebagai menghendaki dan mengetahui Sehingga dapat dikatakan
bahwa sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang ia lakukan.
Apabila unsur kesengajaan dari pelaku zina ini tidak dapat dibuktikan maka
pelaku tidak terbukti menghendaki atau tidak terbukti mengetahui perzinahan
yang dilakukan, sehingga hakim harus memutuskan bebas dari tuntutan hukum
(onslag van rechtsvervolging) bagi pelaku.12
Mengenai sanksi tindak pidana zina, KUHP hanya mengancam hukuman
maksimal sembilan bulan pidana penjara. Dalam rancangan undang-undang
(RUU) KUHP telah dirumuskan sanksi tindak pidana zina yang baru. Yaitu pada
pasal 484 disebutkan tentang ancaman hukuman untuk perbuatan zina adalah
lima tahun penjara. Dan diancam pidana maksimal dua tahun penjara bagi pelaku
kumpul kebo, yaitu perbuatan tinggal serumah tanpa ada ikatan perkawinan.
Meskipun belum sah diundangkan, tapi setidaknya ada perencanaan
perubahan sanksi zina. Dan sepertinya terjadi perluasan kriteria zina. Buktinya
dalam RUU KUHP tersebut telah disebutkan definisi kumpul kebo, yaitu
perbuatan tinggal serumah tanpa ada ikatan perkawinan. Namun demikian, yang
terjerat hukuman hanya yang melakukan perbuatan tinggal serumah, sedangkan

11
Ishaq, Kontribusi Konsep Jarimah Zina Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia Ijtihad,
Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, Volume 14, No. 1, Juni 2014 hlm 90.
12
Muhammad Adlan Nasution, Tindak Pidana Zina Menurut Hukum Positif (KUHP) Dan Qanun
Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara Medan, 2018, hlm 6

8
persetubuhan yang dilakukan oleh mereka yang belum menikah dan tidak tinggal
serumah tetap tidak bisa dijerat hukum.13
B. Tuduhan Zina (Qadzaf).
1. Pengertian Qadzaf.
Makna Qadzaf berasal dari kata arramyu, yang artinya melempar, dengan
batu ataupun dengan yang lainnya. Arti qadzaf kaitannya dengan zina, menuduh
orang lain berzina, dengan cara memfitnah atau melecehkannya.14
Menurut hukum Islam qadzaf dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a. Qadzaf yang diancam dengan hukuman Had, menuduh orang muhsan dengan
tuduhan berbuat zina, atau dengan tuduhan yang menghilangkan nasabnya.
b. Qadzaf yang diancam dengan hukuman Ta’zir, menuduh dengan tuduhan
selain berbuat zina atau selain menghilangkan nasabnya, baik orang yang
dituduh itu muhsan maupun ghairu muhsan. Mencakup perbuatan mencaci
maki orang, dan dapat dikenakan hukuman Ta’zir.15
Abu Rahman al-Jairi, mendefinisikan Qadzaf sebagai berikut:
“Qadzaf adalah suatu ungkapan tentang penuduhan seseorang kepada orang
lain, dengan tuduhan zina, baik dengan menggunakan lafadz yang sharih (tegas),
atau secara dilalah (tidak jelas)”.
Contoh tuduhan Sharih (jelas/tegas) seperti, “Engkau orang yang berzina”.
Adapun contoh tuduhan yang dilalah (tidak jelas) seperti menasabkan orang
dengan yang bukan ayahnya. Seseorang wajib dikenakan hukuman had karna
menuduh orang lain berzina yang kemungkinan besar ia telah berbohong dan
mencemarkan nama baik orang yang dituduh, sedangkan orang yang menuduh
tidak bisa menjaga kehormatannnya.
2. Syarat-syarat Qadzaf16

13
Syamsul Huda, Zina Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Kitab Undang Undang Hukum Pidana,
hlm 390.
14
Mustofa Hasan Dkk, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Bandung: Pustaka Setia), 2013,
hlm.260-261.
15
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hlm. 60-61.
16
Op.Cit. Hlm 263-266.

9
Dalam menjatuhkan hukuman dera dalam qadzaf terdapat syarat-syarat yang
harus ada. Syarat-syarat tersebut meliputi tiga hal, diantaranya sebagai berikut:
a. Syarat-syarat Penuduh (Qadzif).
 Berakal
 Dewasa
 Dalam keadaan ikhtiar, yakni tidak dipaksa pihak lain.
Hukum tidak dapat dijatuhkan kepada seseorang yang tidak memenuhi ketiga
syarat tersebut. Jadi, apabila orang gila, anak kecil, atau orang yang dipaksa
menuduh zina kepada orang lain, mereka tidak dapat dijatuhi hukuman dera. Hal
ini berdasarkan sabda Nabi Saw, bahwa hukum tidak dapat dibebankan kepada
tiga orang yaitu orang tidur sehingga ia bangun, anak kecil, orang gila. Hukum
tidak dapat dijatuhkan kepada umatku yang keliru dengan tidak sengaja, lupa, dan
yang dipaksa.
b. Syarat-syarat yang dituduh (Maqdzuf).
 Berakal.
 Dewasa.
 Islam.
 Merdeka.
 Belum pernah, dan menjauhi zina.
Orang yang dituduh harus orang yang baik-baik, agar had menuduh berzina
dapat diberlakukan.
c. Syarat-syarat Sesuatu yang dibuat menuduh zina (Maqdzuf bih).
Segala pernyataan, baik berupa lisan maupun tulisan, yang dapat
dikategorikan sebagai tuduhan zina adalah:
 Pernyataan dengan kata-kata yang jelas, seperti panggilan, “Hai orang yang
berzina”, Atau kata-kata yang dianggap jelas seperti pernyataan, “Hai, kamu
lahir tanpa bapak.”.
 Pernyataan dengan kata-kata sindiran yang jelas arahnya, misalnya ada dua
orang bertengkar. Kemudian yang satu berkata, “Walaupun aku jelek seperti
ini, aku tidak pernah berbuat zina, dan ibuku juga tidak pernah berbuat zina.”,

10
pernyataan seperti ini merupakan sindiran yang dianggap menuduh zina
kepada lawannya dan ibunya.
3. Hukum Qadzaf dalam Hukum pidana Islam dan Hukum Positif.
a. Had Qadzaf dalam Hukum Pidana Islam
Had qadzaf bisa dijatuhkan dengan salah satu dari dua perkara, yaitu:
1) Pengakuan penuduh
2) Adanya dua orang saksi yang adil
Penuduh zina tidak dapat menunjukkan bukti maka ia wajib dijatuhi
hukuman materi, yaitu didera 80 kali dan hukuman bersifat edukatif, yaitu
dianggap fasik serta kesaksiannya tidak dapat diterima selamanya karena tidak
adil lagi menurut manusia dan Allah. Apabila hamba sahaya menuduh zina
kepada orang merdeka yang mukhson, ia harus dihad. Mayoritas ulama fiqh
berpendapat hukumannya 40 kali dera. Karena hukuman 40 dera disesuaikan
dengan statusnya sebagai hamba.17
Apabila seorang penuduh bertobat dengan baik, ada dua pendapat:
 Imam Malik, Syafi’I, Ahmad, Laits, Atha’, Sufyan bin Uyainah, Syi’bi,
Qasim, Salim dan Zuhri, bahwa kesaksiannya dapat diterima apabila
tobatnya termasuk tobatan nasuha. Umar r.a pernah menerima kesaksian
seseorang yang telah di-had qadzaf olehnya, tetapi ia sudah bertobat.
 Ahnaf, Auza’I, Tsauri, Hasan, Sa’id bin Jabir, bahwasanya kesaksiannya
tidak dapat diterima.18 Namun apabila belum bertobat, para ulama sepakat
bahwa kesaksiannya tidak bisa diterima karena telah melakukan perbuatan
fasik, dan kefasikan mengakibatkan tidak adil. Sedangkan adil adalah syarat
diterimanya kesaksian seseorang.
b. Had Qadzaf dalam Hukum Pidana Indonesia
Menuduh adalah melakukan perbuatan menunjuk dan mengatakan kepada
seseorang bahwa ia melakukan perbuatan yang kurang baik atau perbuatan yang
melanggar hukum. Didalam kitab Undang-undang hukum pidana (KUHP) tidak

17
Mustofa Hasan Dkk, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Bandung: Pustaka Setia),
2013, hlm.268
18
Ibid., hlm.269-270

11
ada kata yang langsung menunjuk kepada perbuatan menuduh zina, yang ada
hanya kata-kata menuduh, tuduhan, atau dituduhkan terhadap hal-hal yang dapat
merusak kehormatan atau mencemarkan nama baik seseorang. Perbuatan tersebut
dilakukan sengaja agar tuduhan tersebut diketahui oleh umum. Kata-kata
menuduh terdapat dalam pasal 310 KUHP,19 yang berbunyi:
 “Barangsiapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan
jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan denagn maksud yang nyata
akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman
penjara selama-lamanya 9 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.
4.500,-.
 Kalau hal ini dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan,
dipertunjukkan pada umum atau ditempelkan, maka yang berbuat itu
dihukum karena menista dengan tulisan dengan hukuman penjara
selama-lamanya 1 tahun 4 bulan atau denda sebanyak-banyak Rp.4.500,-.
 Tidak termasuk menista atau menista dengan tulisan, jika ternyata bahwa si
pembuat melakukan hal itu untuk kepentingan umum atau lantaran terpaksa
perlu untuk mempertahankan dirinya sendiri.
 Menurut hukum pidana di indonesia, jarimah qadzaf dibagi menjadi beberapa
klasifikasi, diantaranya jarimah qadzaf sebagai sebagai tindak pidana
penghinaan, tindak pidana memfitnah, tindak pidana aaduan. Adapun
hukuman yang dikenakan terhadap pelaku jarimah qadzaf dibedakan
tergantung dari jenisnya deliknya yang ketentuan hukumnya tercantum
dalam KUHP yang ada.20

19
R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Serta Komentar-komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: polities), 1995 hlm.225
20
Sehatus Slamah, Jarimah Qadzaf Menurut Hukum Pidana Islam Dan Hukum Pidana Di
Indonesia,

12
BAB III
KESIMPULAN

Zina, dan tuduhan zina (Qadzaf), dalam hukum pidana Islam maupun hukum
positif di Indonesia, merupakan perbuatan dosa besar, yang diharamkan atau
dilarang, dan harus dijauhi. Yang pelakunya diancam hukuman berat, sesuai
dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, dan tergantung pada jenisnya
masing-masing.
Hukum zina dalam Islam, apabila pelakunya adalah Muhsan, maka diancam
hukuman rajam sampai mati, dan jika pelakunya adalah Ghairu Muhsan, maka
diancam dera seratus kali. Begitu pula dalam hukum positif di Indonesia, juga
mencantumkan hukuman bagi perbuatan zina, terdapat di dalam rumusan Pasal
284 KUHP. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia Pasal 284
bahwa zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan
yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau
suaminya.
Hukum Qadzaf, menuduh orang lain berzina dalam Islam, apabila penuduh
zina tidak dapat menunjukkan bukti, dan mendatangkan saksi, maka ia wajib
dijatuhi hukuman materi, yaitu didera 80 kali dan hukuman bersifat edukatif,
yaitu dianggap fasik serta kesaksiannya tidak dapat diterima selamanya karena
tidak adil lagi menurut manusia dan Allah. Apabila hamba sahaya menuduh zina
kepada orang merdeka yang mukhson, ia harus dihad. Mayoritas ulama fiqh
berpendapat hukumannya 40 kali dera. Karena hukuman 40 dera disesuaikan
dengan statusnya sebagai hamba.
Dan didalam hukum positif sendiri tercantum dalam kitab Undang-undang
hukum pidana (KUHP) tidak ada kata yang langsung menunjuk kepada perbuatan
menuduh zina, yang ada hanya kata-kata menuduh, tuduhan, atau dituduhkan
terhadap hal-hal yang dapat merusak kehormatan atau mencemarkan nama baik
seseorang. Perbuatan tersebut dilakukan sengaja agar tuduhan tersebut diketahui
oleh umum. Kata-kata menuduh terdapat dalam pasal 310 KUHP.

13
DAFTAR PUSTAKA

Amalia, Mia. Maret 2018 Prostitusi Dan Perzinahan Dalam Perspektif


Hukum Islam, Tahkim, Jurnal Peradaban dan Hukum Islam, Vol.1 No.1, EISSN :
2598-1129 ISSN : 2597-7962.
Hasan, Mustofa, Dkk. 2013. Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah). Bandung:
Pustaka Setia.
Huda, Syamsul. Desember 2015. Zina Dalam Perspektif Hukum Islam Dan
Kitab Undang Undang Hukum Pidana. Hunafa: Jurnal Studia Islamika. Vol. 12,
No. 2.
Ishaq. Juni 2014. Kontribusi Konsep Jarimah Zina Dalam Pembaharuan
Hukum Pidana Indonesia. Ijtihad, Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan.
Volume 14, No. 1.
Muslich, A. 2005. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2005
Nasution, Muhammad Adlan. 2018. Tindak Pidana Zina Menurut Hukum
Positif (KUHP) Dan Qanun Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat. Jurnal
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.
Rokhmadi. November 2015 Hukuman Rajam Bagi Pelaku Zina Muhshan
Dalam Hukum Pidana Islam. Jurnal at-Taqaddum. Volume 7, Nomor 2.
Soesilo, R. 1995. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Serta
Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: polities.

14

Anda mungkin juga menyukai