Anda di halaman 1dari 20

PENYELESAIAN SENGKETA PERIKATAN ISLAM DI INDONESIA

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


“Hukum Perikatan”
Dosen Pengampu :
Faridatul Fitriyah, M.Sy

Disusun Oleh:
PUTRI MULYANASARI (931201718)
BAYU RIZQI ARDIYAN (931204018)
NUR SANNY CAMALIA (931208018)
KHOLIEFAH (931216218)

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARI’AH


FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KEDIRI
2020
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyanyang. Kami
panjatkan puji syukur kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, serta inayah-NyA
kepada kami sehingga kami bisa menyelesaikan makalah tentang “PENYELESAIAN
PERIKATAN ISLAM DI INDONESIA”.
Makalah ini sudah saya susun dengan maksimal dan mendapat bantuan dari berbagai
pihak sehingga bisa memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan
terimakasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari segala hal tersebut. Kami sadar sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karenannya kami dengan lapang
dada.menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah
ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah ini tentang “PENYELESAIAN
PERIKATAN ISLAM DI INDONESIA” dapat memberi manfaat maupun inspirasi terhadap
pembaca.

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................... 1


DAFTAR ISI................................................................................................................................... 2
PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 3
LATAR BELAKANG................................................................................................................. 3
RUMUSAN MASALAH ............................................................................................................ 3
TUJUAN PENELITIAN ............................................................................................................. 3
PEMBAHASAN ............................................................................................................................. 4
A. MUSYAWARAH ............................................................................................................ 4
B. MEDIASI ......................................................................................................................... 6
C. Perumusan klausul arbitrase dalam sebuah perjanjian atau kontrak bisnis .................... 11
D. PERADILAN (AL-QADHA’) ....................................................................................... 13
PENUTUP..................................................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 19

2
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Dalam menghadapi sengketa yang terjadi antara manusia, Allah SWT telah
menganugerahi wahyu yaitu al Quran sebagai petunjuk dan akal. Dengan akalnya manusia dapat
menggali dan mencari segala macam cara dan strategi untuk menyelesaikan sengketa mereka
berdasarkan petunjuk wahyu. Penyelesaian sengketa berdasarkan nilai agama diyakini akan
mampu melahirkan kedamaian, karena ajaran agama membawa nilai universal kemanusiaan.
Nilai universal kemanusiaan itu diantaranya berupa keadilan, kesamaan kedudukan, martabat
manusia, persaudaraan, penghormatan terhadap hak orang lain, terbuka terhadap pandangan
orang lain.
Prinsip dasar penyelesaian sengketa yang dimiliki Al Quran diimplementasikan Nabi
Muhammad SAW sebagai contoh bagi umatnya dalam berbagai bentuk yaitu negosiasi, mediasi,
arbitrase, dan peradilan Sejalan dengan apa yang dijelaskan dalam hukum perikatan Islam bahwa
penyelesaian sengketa pada prinsipnya bisa dilaksanakan melalui tiga jalan yaitu dengan jalan
perdamaian (shulhu), arbitrase (tahkim) dan proses peradilan (al Qadla)

RUMUSAN MASALAH

- Apa yang di maksud musyawarah dalam perikatan islam ?


- Apa yang di maksud mediasi dalam perikatan islam ?
- Bagaimana Penjelasan dan Cara Arbitrase dalam perikatan Islam ?
- Bagaimana peradilan dalam Islam ?

TUJUAN PENELITIAN
- Mengetahui dan memahami apa yang dimaksud musyawarah dalam perikatan islam
- Mengetahui dan memahami apa yang dimaksud mediasi dalam perikatan islam
- Mengetahui dan memahami penjelasan dan cara arbitrase dalam perikatan islam
- Mengetahui bagaimana peradilan dalam perikatan islam

3
PEMBAHASAN

A. MUSYAWARAH
Akar kata musyawarah yang sudah menjadi bahasa Indonesia tersebut adalah
‫ شور‬yang berakar kata sy-wa-ra (‫( ش و ر‬berarti menampakan sesuatu atau mengeluarkan
madu dari sarang lebah .
Landasan Hukum Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam Bentuk Musyawarah
Alternatif penyelesaian sengketa (APS) atau dikenal juga dengan alternative dispute
resolution (ADR). Meskipun memaknai bahasa yang umum dan holistik. Namun pada
prinsipnya alternatif penyelesaian sengketa (APS) tidak dapat secara serta merta
mewakili keseluruhan dari jenis dan bentuk penyelesaian sengketa secara nonlitigasi,
setidaknya pendapat ini dilandasi oleh beberapa alasan yang cukup kuat.
Secara garis besar, alternatif penyelesaian sengketa terdiri dari dua jenis mekanisme,
Pertama, dengan sistem musyawarah, yang terdiri dari berbagai bentuk di antaranya
mediasi, konsultasi, negosiasi, konsiliasi dan penilaian ahli. Kedua, arbitrase yang terdiri
dengan berbagai instrumemnya. Pada umumnya, para pihak menganggap mekanisme
penyelesaian melalui jalur nonlitigasi ini adalah awal (first resort). Adapun jalur litigasi
baru digunakan manakala upaya penyelesaian nonlitigasi tidak berhasil dilakukan.
Menguraikan musyawarah sebagai penyelesaian sengketa ekonomi syariah jalur
nonlitigasi sebagai berikut:

1. Mediasi

Mediasi merupakan pengelesaian sengketa jalur nonlitigasi melalui proses


perundingan para pihak dengan di bantu oleh mediator sebagai perantara ataupun
penghubung.

2. Konsultasi

Konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak (klien)
dan pihak lain yang merupakan konsultan, yang memberikan pendapatnya atau saran
kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan klien.

3. Negosiasi
Negosiasi merupakan cara penyelesaian sengketa jalur nonlitigasi, antara dua orang

4
yang berperkara atau lebih untuk dikompromikan atau tawar-menawar kepentingan
dalam menyelesaikan perkara untuk mencapai kesepakatan bersama
4. Konsiliasi
Usaha perdamaian dengan menggunakan pihak ketiga yang disebut konsiliator
dengan mengupayakan pertemuan diantara pihak yang berselisih, pertemuan
konsiliasi bisa juga disebut pertemuan suka rela. konsiliator biasanya tidak terlibat
secara mendalam atas subtansi dari perselisihan dan pertemuan konsiliasi dapat
berupa permintaan maaf, perubahan kebijaksanaan dan kebiasaan, memeriksa
kembali prosedur pekerjaan, mempekerjakan kembali, ganti rugi uang dan sebagainya.

Musyawarah sebagai cara dalam menyelesaikan permasalahan hendaknya melalui


dengan proses musyawarah dengan mengutamakan pertimbangan moral dan bersumber
dari hati nurani yang luhur. Sedapat mungkin usul atau pendapat mudah untuk dipelajari,
dilakukan atau bahkan hasilnya dilaksanakan nantinya, yang dibicarakan harus diterima
akal sehat dan tidak menyusahkan. Dan hasil musyawarah sesuai dengan kepentingan
bersama yang mendatangkan kemaslahatan. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam
proses musyawarah saling memahami apa yang sedang dimusyawarahkan untuk
mengambil keputusan sehingga mendatangkan kemaslahatan dan jika menghasilkan
putusan dalam bermusyawarah, maka menerima hasil putusan yang sudah diambil adalah
keputusan yang terbaik. Menerima masukan masukan dalam bentuk kritik, usul maupun
saran dalam bermusyawarah karena tidak ada unsur pemaksaan dalam mengambil suatu
keputusan sehingga dibutuhkan saling memahami dan menghargai pendapat dari orang
lain. Jika nantinya kemungkinannya tidak didapatkan pendapat yang baik atau tidak
menguntungkan bagi kedua pihak yang bersengketa atau beberapa pendapat dianggap
sama baiknya maka jalan ditempuh adalah mencari pendapat yang paling mendatangkan
kemaslahatan.

Manfaat Musyawarah sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Nonlitigasi

1. Sistem penyelesaian sengketa dengan bersifat informal, sederhana dan


fleksibel.
2. Menggunakan biaya yang ringan karena penyelesaian sengketa ekonomi
syariah diselesaikan oleh pihak yang berperkara sendiri.

5
3. Kemenangan didapatkan dari kedua belah pihak sehingga tetap terjalin
silahturahmi demi terwujudnya keadilan sosial rahmatan lil alamin.
4. Para pihak menyelesaikan konflik dengan baik dan hasilnya dapat diterima
oleh kedua pihak yang bersengketa.1

B. MEDIASI
Salah satu penyelesaian sengketa adalah mediasi. Mediasi merupakan proses para
pihak yang bersengketa menunjuk pihak ketiga yang netral untuk membantu mereka
dalam mendiskusikan penyelesaian dan mencoba menggugah para pihak untuk
menegosiasikan suatu penyelesaian dan sengketa itu. Tujuan utama mediasi itu adalah
kompromi dalam menyelesaikan suatu persengketaan.
Mediasi adalah suatu proses yang bersifat pribadi, rahasia (tidak terekspos keluar)
dan kooperatif dalam menyelesaikan masalah. Karena mediator selaku pihak ketiga yang
tidak memihak membantu para pihak (perorangan atau lembaga) yang bersengketa dalam
menyelesaikan konflik dan menyelesaikan atau mendekatkan perbedaan-perbedaannya.
Mediasi adalah cara yang praktis, relatif tidak formal seperti proses di pengadilan.
Dalam proses mediasi, semua pihak bertemu secara pribadi dan langsung dengan
mediator bersama-sama dan/atau, dalam pertemuan yang berbeda. Mediator tidak
memaksakan penyelesaian atau mengambil kesimpulan yang mengikat tetapi lebih
memberdayakan para pihak untuk menentukan solusi apa yang mereka inginkan.
Mediator mendorong dan memfasilitasi dialog, membantu para pihak mengklarifikasi
kebutuhan dan keinginan-keinginan mereka, menyiapkan panduan, membantu para pihak
dalam meluruskan perbedaan-perbedaan pandangan dan bekerja untuk suatu yang dapat
diterima para pihak dalam penyelesaian yang mengikat.
Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Pasal 6 ayat (3), mediasi merupakan
proses kegiatan sebagai kelanjutan dari gagalnya negosiasi yang dilakukan oleh para
pihak menurut ketentuan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Akan
tetapi undang-undang ini tidak memberikan rumusan definisi yang jelas mengenai
mediasi ataupun mediator. Perkembangan yang menarik dari penyelesaian sengketa
melalui mediasi ini adalah mediasi tidak lagi semata-mata digunakan untuk
1Musyfikah, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Musyawarah dalam Penyelesaian Sengketa
Ekonomi Syariah, Jurnal Al-Qadau Volume 5 Nomor 2 Desember 2018. Diakses pada tanggal
21 November 2020

6
menyelesaikan sengketa di luar pengadilan akan tetapi dalam perkembangannya mediasi
juga digunakan untuk menyelesaikan sengketa di pengadilan.
1. Prinsip-Prinsip Dasar Dalam Mediasi
Dalam berbagai literatur ditemukan sejumlah prinsip mediasi. Prinsip dasar (basic
principle) adalah landasan filosofis dari diselenggarakannya kegiatan mediasi. Prinsip
atau filosofi ini merupakan kerangka kerja yang harus diketahui oleh mediator,
sehingga dalam menjalankan mediasi tidak keluar dari arah filosofi yang
melatarbekalangi lahirnya institusi mediasi13. David Spencer dan Michael Brogan
merujuk pada pandangan Ruth Carlton tentang lima prinsip dasar mediasi. Lima
prinsip ini dikenal dengan lima dasar filsafat mediasi. Kelima prinsip tersebut adalah:
a. Kerahasiaan Atau Confidentiality
Kerahasiaan ini artinya adalah bahwa hanya para pihak dan mediator yang
menghadiri proses mediasi, sedangkan pihak lain tidak diperkenankan untuk
menghadiri sidang Mediasi.
b. Volunteer (sukarela).
Masing-masing pihak yang bertikai datang ke mediasi atas keinginan dan
kemauan mereka sendiri secara sukarela dan tidak ada paksaan dan tekanan dari
pihak-pihak lain
atau pihak luar. Prinsip kesukarelaan ini dibangun atas dasar bahwa orang akan
mau bekerja sama untuk menemukan jalan keluar dari persengketaan mereka, bila
mereka datang ketempat perundingan atas pilihan mereka sendiri.
c. Pemberdayaan Atau Empowerment
Prinsip ini didasarkan pada asumsi bahwa orang yang mau datang ke mediasi
sebenarnya mempunyai kemampuan untuk menegosiasikan masalah mereka
sendiri dan dapat mencapai kesepakatan yang mereka inginkan.
d. Netralitas (Neutrality).
Di dalam mediasi, peran seorang mediator hanya menfasilitasi prosesnya saja, dan
isinya tetap menjadi milik para pihak yang bersengketa. Mediator hanyalah
berwenangmengontrol proses berjalan atau tidaknya mediasi. Dalam mediasi,
seorang mediator tidak bertindak. layaknya seorang hakim atau juri yang
memutuskan salah atau benarnya salah satu pihak atau mendukung pendapat dari

7
salah satunya, atau memaksakan pendapat dan penyelesaiannya kepada kedua
belah pihak.
e. Solusi Yang Unik (A Unique Solution).
Bahwasanya solusi yang dihasilkan dari proses mediasi tidak harus sesuai dengan
standar legal, tetapi dapat dihasilkan dari proses kreativitas. Oleh karena itu, hasil
mediasi mungkin akan lebih banyak mengikuti keinginan kedua belah pihak, yang
terkait erat dengan konsep pemberdayaan masing-masing pihak
2. Mediasi di Luar Pengadilan
Mediasi di Luar Pengadilan dapat diajukan dalam bentuk gugatan untuk
memperoleh akta perdamaian ke pengadilan yang berwenang. Pengaju gugatan
tentunya adalah pihak yang dalam sengketa ini mengalami kerugian. Pengaturan
untuk memperoleh akta perdamaian bagi kesepakatan perdamaian di luar pengadilan
dengan pengajuan gugatan mungkin dapat dipandang agak aneh. Bagaimana sebuah
sengketa yang pada dasarnya telah dapat diselesaikan secara perdamaian, tetapi
kemudian salah satu pihak mengajukan gugatan kepada pihak lawannya yang telah
berdamai dengan dirinya. Akan tetapi, jika melihat keadaan empiris bahwa tidak
semua orang yang telah mengikat perjanjian dengan pihak lainnya bersedia menaati
perjanjian itu, maka pengaturan ini memiliki dasar rasional, mengapa tetap diperlukan
syarat melalui pengajuan gugatan padahal para pihak telah berdamai karena
pengadilan terikat pada aturan prosedural dalam sistem hukum Indonesia bahwa
pengadilan hanya dapat menjalankan fungsinya atas dasar adanya gugatan untuk
sengketa-sengketa dan adanya permohonan untuk masalah hukum yang bukan
sengketa.
Di samping itu penyelesaian sengketa para pihak di luar pengadilan secara
mediasi apabila tidak diajukan ke pengadilan yang berwenang untuk memperoleh
akta perdamaian, jika salah satu pihak mengingkari hasil kesepakatan mediasi
tersebut, maka upaya hukum yang dapat ditempuh adalah melakukan gugatan
wanprestasi, karena kesepakatan damai tanpa akta perdamaian dari pengadilan status
hukumnya adalah sebagai perjanjian bagi para pihak.
3. Mediasi di Pengadilan

8
Terintegrasinya mediasi dalam proses acara pengadilan adalah untuk
memfasilitasi, berusaha dengan sungguh-sungguh membantu para pihak bersengketa
mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana,
cepat dan biaya ringan melalui perundingan, bermusyawarah dengan
mengesampingkan hukum untuk menuju perdamaian yang disepakati oleh kedua
belah pihak.
Dalam konteks usaha yang sungguh-sungguh dari pengadilan untuk membantu
para pihak yang bersengketa seperti tersebut, Satjipto Rahardjo mengemukakan
menegakkan hukum tidak sama dengan menerapkan undang-undang dan prosedur.
Menegakkan hukum adalah lebih dari itudalam khasanah spritual Timur (jawa)
dikenal kata “Mesu Budi” yaitu penegakan hukum dengan pengerahan seluruh
potensi kejiwaan dalamdiri para penyelenggara hukum.21 Hal itu berarti dalam
penegakan hukum “Mesu Budi” tidak saja semata-mata berpegang pada kecerdasan
intelektual (mendasarkan undang-undang atau peraturan tertulis sebagai sumber
hukum), akan tetapi juga dengan memadukan budi nurani, karena kebenaran
sesungguhnya sudah ada di hati sanubari atau budi nurani setiap insani, yang harus
dipahami dan dimiliki oleh setiap penyelenggara atau penegak hukum serta para
pihak pencari keadilan. Dengan demikian hakekat yang dicari dalam penyelesaian
sengketa atau perkara dengan pengintegrasian mediasi ke acara pengadilan adalah
“keadilan”, karena keinginan kedua pihak dapat terpenuhi, tidak ada yang merasa
dikalahkan apalagi direndahkan.
Dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 memuat sepuluh prinsip
pengaturan tentang menggunaan mediasi terintegrasi di pengadilan (court-connected
mediation). sepuluh prinsip tersebut adalah sebagai berikut :
a. pertama Mediasi wajib ditempuh, sebelum sengketa diputus oleh hakim para
pihak wajib terlebih dahulu menempuh mediasi. Jika proses mediasi tidak
ditempuh atau sebuah sengketa langsung diperiksa dan diputus oleh hakim,
konsekwensi hukumnya adalah putusan itu batal demi hukum. Ketentuan ini
terdapat dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun
2008.

9
b. Kedua, otonomi para pihak. Prinsip otonomi para pihak merupakan prinsip yang
melekat pada proses mediasi. Karena dalam mediasi para pihak berpeluang untuk
menentukan dan mempengaruhi proses dan hasilnya berdasarkan mekanisme
konsensus atau mufakat para pihak dengan bantuan pihak netral. Prinsip ini
dikenal dengan sebutan self determination,yaitu para pihak lah yang berhak atau
berwenang untuk menentukan dalam arti menerima atau menolak segala sesuatu
dalam proses mediasi.
c. Ketiga, mediasi dengan itikad baik. Mediasi merupakan proses penyelesaian
sengketa melalui musyawarah mufakat atau konsensus para pihak yang akan
dapat berjalan dengan baik jika dilandasi oleh iktikad untuk menyelesaikan
sengketa.
d. Keempat, Efisiensi Waktu. Masalah waktu merupakan salah satu faktor penting
dalam menyelesaikan sebuah sengketa atau perkara.
e. Tanggung Jawab Mediator. Mediator memiliki tugas dan tanggung jawab yang
bersifat prosedural dan fasilitatif.
f. kerahasiaan. Berbeda dengan proses litigasi yang bersifat terbuka untuk umum,
proses mediasi pada asasnya tertutup bagi umum kecuali para pihak menghendaki
lain.
g. Pembiayaan. Pembiayaan yang berkaitan dengan proses mediasi paling tidak
mencakup hal-hal sebagai berikut: ketersediaan ruang-ruang mediasi, honor para
mediator, biaya para ahli jika diperlukan, dan biaya transport para pihak yang
datang ke pertemuanpertemuan atau sesi-sesi medias
h. Pengulangan mediasi. Pasal 18 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1
Tahun 2008 memberikan kewenangan kepada hakim pemeriksa perkara untuk
tetap mendorong para pihak supaya menempuh perdamaian setelah kegagalan
proses mediasi pada tahap awal atau pada tahap sebelum pemeriksaan perkara
dimulai.proses perdamaian setelah memasuki tahap pemeriksaan dimediasi
langsung oleh hakim pemeriksa.
i. kesepakatan perdamaian di luar pengadilan. Peraturan Mahkamah Agung Nomor
1 Tahun 2008 pada dasarnya lebih dimaksudkan untuk mengatur prinsip dan

10
prosedur penggunaan mediasi terhadap perkara atau sengketa perdata yang telah
diajukan ke pengadilan (court-connected mediation). 2

C. Perumusan klausul arbitrase dalam sebuah perjanjian atau kontrak bisnis


Klausul arbitrase dalam sebuah perjanjian atau kontrak bisnis syariah sangat
bervariasi. Hal ini menuntut kemampuan, pengalaman dan kreativitas para pelaku bisnis
dan para lawyers dalam menyusun rumusan klausul arbitrase sehingga pilihan
penyelesaian sengketa dengan cara arbitrase benar-benar dapat tercapai secara lebih cepat
dan biaya yang ditanggung para pihak yang bersengketa menjadi lebih ringan. Dalam
perjanjian atau akad perbankan syariah, klausul arbitrase yang digunakan biasanya sangat
sederhana, misalnya dengan memuat pasal tentang penyelesaian sengketa sebagai berikut:

1. Dalam hal terjadi perbedaan pendapat atau penafsiran atas hal-hal yang tercantum di
dalam Surat Perjanjian ini atau terjadi perselisihan atau sengketa dalam pelaksanaan-
nya, para pihak sepakat untuk menyelesaikannya secara musyawarah untuk mufakat.
2. Apabila musyawarah untuk mufakat telah diupayakan namun perbedaan pendapat
atau penafsiran, perselisihan atau sengketa tidak dapat diselesaikan oleh kedua belah
pihak, maka para pihak bersepakat, dan dengan ini berjanji serta mengikatkan diri
satu terhadap yang lain, untuk menyelesaikannya melalui Badan Arbitrase Syariah
Nasional (Basyarnas) menurut prosedur beracara yang berlaku di dalam Badan
Arbitrase tersebut.
3. Para pihak sepakat, dan dengan ini mengikatkan diri satu terhadap yang lain, bahwa
pendapat hukum (legal opinion) dan/atau putusan yang ditetapkan oleh Badan
Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) tersebut bersifat final dan mengikat (final and
binding).3

Senyatanya, perumusan klausul arbitrase dalam sebuah akad tidak selalu


sesederhana sebagaimana klausul yang biasa terdapat dalam perjanjian baku perbankan
syariah. Dalam perjanjian-perjanjian bisnis yang besar dan melibatkan banyak pihak, baik

2 Rika Lestari, Perbandingan Hukum Penyelesaian Sengeketa Secara Mediasi di Pengadilan Dan
di Luar Pengadilan di Indonesia. Jurnal Ilmu Hukum Voume 3 No 2. Diakses pada tanggal 21
November 2020
3 A. Halim Barkatullah, Akad Murabahah, Termuat dalam Bahan Kuliah Pascasarjana Program

Studi Filsafat Islam, Konsentrasi Hukum Bisnis Syariah IAIN Antasari, Banjarmasin, 2011.

11
perusahaan di dalam maupun luar negeri, klausul arbitrase haruslah mengakomodir
kepentingan para pihak yang tentu saja mempunyai latar belakang yang berbeda baik
sosial maupun hukumnya. Untuk perjanjian-perjanjian semacam itu, maka dalam klausul
arbitrase para pihak dibebaskan untuk memperjanjikan hal-hal sebagai berikut, pertama,
menentukan acara arbitrase yang digunakan dalam pemeriksaan sengketa sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan. Kedua, menentukan penggunaan
institusi arbitrase (nasional/internasional) dan ketiga, menentukan pilihan hukum.

Oleh karenanya, dalam upaya mengantisipasi timbulnya persoalan di kemudian


hari yang terkait dengan proses arbitrase, maka ketika menyusun klausul arbitrase perlu
diperhatikan hal-hal berikut:4

1. Pilihan Hukum, Mengingat sistem nasional yang beragam, maka dalam klausul
pilihan hukum (khususnya dalam kontrak internasional) harus disebutkan secara tegas
dan tertulis hukum mana yang akan berlaku atas perjanjian tersebut. Klausul pilihan
hukum membuat arbiter meninggalkan hukum nasional tertentu dan mengharuskan
putusannya berdasarkan pada hukum yang dipilih para pihak.
2. Ketentuan Penggantian Klausul arbitrase perlu menyebut secara tegas apakah
ketentuan penggantian (yang bersifat sementara) seperti melakukan penyitaan atau
perintahmenahan diri bagi para pihak dapat diperoleh dengan mengajukan
permohonan kepada arbiter. Tidak adanya klausul ini akan membuat salah satu pihak
harus mengeluarkan biaya ekstra untuk memperoleh putusan pengadilan mengenai
hal tersebut.
3. Ketentuan Escrow, Mengingat biaya untuk melaksanakan putusan arbitrase
(khususnya arbitrase internasional) cukup besar, para pihak dapat memastikan
pembayaran tersebut dengan mewajibkan pembentukan dana yang disimpan oleh
pihak ketiga(diistilahkan dengan dana escrow). Dana tersebut dapat dipercayakan
pada arbitrase institusi seperti Basyarnas atau ICC.
4. Tempat Arbitrase, Tempat arbitrase seharusnya ditentukan pada satu kota. Untuk
arbitrase internasional, perlu dipilih lokasi dari negara yang bersangkutan, biasanya

4Gatot P. Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesi, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2006), h. 48.

12
adalah negara yang termasuk dalam negara penanda tangan Konvensi Newyork
(Indonesia hanya mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase asing secara
resiprositas).5
5. Pemilihan Arbiter Ada dua cara memilih arbiter yaitu dilakukan oleh para pihak atau
oleh institusi arbitrase. Dilakukan oleh para pihak jika hanya satu arbiter yang
digunakan dan dapat mendelegasikan pilihan mereka pada institusi arbitrase. Untuk
pemilihan 3 arbiter, setiap pihak biasanya memilih satu 1 arbiter dari daftar yang
diberikan oleh institusi arbitrase, selanjutnya kedua arbiter akan memilih arbiter
ketiga untuk bergabung.
6. Alasan Hukum Sebagian peraturan arbitrase tidak mengharuskan arbiternya untuk
mencantumkan alasan-alasan hukum dalam putusan mereka, sehingga tidak
memberikan pedoman bagi para pihak dalam mengambil langkah selanjutnya.
Karenanya dapat dicantumkan dalam klausul arbitrase agar arbiter membuat putusan
secara tertulis dengan memuat penemuan atas fakta dan konklusif hukumnya.

Pada dasarnya, meskipun perjanjian /akad syariah yang bertaraf internasional


masih jarang dilakukan, namun pengaturan mengenai klausul arbitrase dalam perjanjian
konvensional juga berlaku terhadap pengaturan klausul arbitrase dalam perjanjian/akad
syariah.

D. PERADILAN (AL-QADHA’)

Al-Qadha secara harfiah berarti antara lain memustuskan atau menetapkan.


Menurut istilah fikih yaitu menetapakan hukum syarak pada suatu peristiwa atau
sengketa untuk menyelesaikannya secara adil dan mengikat. Lembaga peradilan ini
berwenang menyelesaikan perkara pidana maupun perdata. Kekuasaan qadhi tak dapat
dibatasi oleh persetujuan pihak yang bertikai dan keputusan dari qadhi ini mengikat
kedua belah pihak.
Dasar hukum al-qâdhî dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 35 dinyatakan
sebagai berikut :

5 Ibid., h. 49.

13
‫ق اللَّ ُھ َب ْینَ ُھ َن ا ۗ ِإ َّن‬ ْ ِ‫َو ِإ ْن خِ ْفت ُ ْن ِش قَاقَ َب ْینِ ِھ َم ا فَا ْب َعثُوا َح َك ًن ا ِم ْن أ َ ْھ ِل ِھ َو َح َك ًما ِم ْن أ َ ْھ ِل َھا ِإ ْن ی ُِر یدَا إ‬
ِ ِّ‫ص الَ ًح ا ی َُو ف‬
‫یر ا‬ ً ‫ال َّل َھ َكانَ َع ِلی ًما َخ ِب‬
“Dan jika kamu khawatir akan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah
seorang hakim dari keluarga laki-laki dan seorang hakim dari keluarga perempuan.Jika
kedua orang hakim itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik
kepada suami-isteri itu.Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
(QS. An-Nisa’ [4]: 35).
Tujuan dari risalah Allah adalah keadilan yang memiliki nilai tinggi dalam agama
Islam. Keadilan dapat dicapai manakala hak dapat ditunaikan dengan baik kepada orang
yang berhak menerimanya, menetapkan hukum sesuai dengan yang disyariatkan oleh
Allah dan memutuskan perkara yang terjadi diantara manusia dengan tanpa pandang bulu
(musâwah), bahwa para pihak di depan hukum mempunyai kedudukan yang sama.
Mengingat pentingnya lembaga yang dapat mengayomi semua pihak maka adanya
lembaga peradilan menjadi sangat penting
Lembaga peradilan ini di dalam tradisi Islam dikenal dengan nama Qadha yakni
lembaga yang memutuskan/menyelesaikan persengketaan antar manusia berdasarkan
hukum Allah 6 sehingga perselisihan itu menjadi hilang 7 . Keberadaan lembaga ini
termasuk rukun dalam suatu negara9 dan termasuk fardh kifâyah10, wajib bagi pemimpin
negara untuk mengadakannya. hanya mengurusi perkara-perkara al-ahwal al-
Syakhshiyyah (hukum keluarga) saja. Beberapa penjelasan di atas terkait dengan proses
penyelesaian sengketa dari masa Rasul sampai daulat-daulat dapat disimpulkan bahwa
penyelesaian sengketa dalam tradisi Islam dapat dilakukan melalui jalur litigasi dan
nonlitigasi sebagai berikut: Qadha (Peradilan) Tujuan dari risalah Allah adalah keadilan
yang memiliki nilai tinggi dalam agama Islam. Keadilan dapat dicapai manakala hak
dapat ditunaikan dengan baik kepada orang yang berhak menerimanya, menetapkan
hukum sesuai dengan yang disyariatkan oleh Allah dan memutuskan perkara yang terjadi
diantara manusia dengan tanpa pandang bulu (musawah), bahwa para pihak di depan
hukum mempunyai kedudukan yang sama. Mengingat pentingnya lembaga yang dapat
mengayomi semua pihak maka adanya lembaga peradilan menjadi sangat penting.

6 Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1997), Juz VIII,
hal. 5921.
7 Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Bayrut: Dar al-Fikr, t.th ), hal. 312.

14
Lembaga peradilan ini di dalam tradisi Islam dikenal dengan nama Qadha yakni lembaga
yang memutuskan/menyelesaikan persengketaan antar manusia berdasarkan hukum Allah
sehingga perselisihan itu menjadi hilang8 . Keberadaan lembaga ini termasuk rukun
dalam suatu negara8 dan termasuk fardh kifâyah19, wajib bagi pemimpin negara untuk
mengadakannya.
Unsur-unsur yang terkait dengan pelaksanaan lembaga peradilan ini meliputi:
Pertama, hakim adalah orang yang diberi kewenangan untuk memutuskan atau
menyelesaikan gugatan-gugatan dan persengketaan, seseorang dapat menjadi hakim
dengan persyaratan: baligh dan berakal, merdeka, Islam, sehat panca indera, mengerti
hukum syarak.
Kedua, hukum yaitu putusan hakim terhadap suatu perkara yang
dipersengketakan, bentuk putusan ini ada dua macam. Pertama, Qadha ilzam, yaitu
menetapkan hak atau macam hukuman kepada salah satu pihak atau menetapkan suatu
hak dengan tindakan, misalnya pembagian dengan paksa. Kedua, Qadha tarki, yaitu
penetapan berupa penolakan gugatan. Diktum keputusan ini harus harus jelas dan kata-
katanya harus mengena.10
Ketiga, mahkum bih, yaitu objek sengketa atau disebut juga dengan “hak”. Bila
hak tersebut terkait dengan kasus perdata, maka yang menuntut adalah pihak penggugat.
Sedangkan bila yang menjadi hak itu terkait dengan hak publik, maka yang menuntut
adalah penuntut umum. Ini dilakukan agar tidak ada upaya balas dendam dari pihak
tergugat.11 Keempat, mahkum „alaih, yaitu tergugat atau terhukum. Dan kelima, mahkum
lah, yaitu penggugat.
Yurisdiksi hakim terbagi dua. Pertama, yurisdiksi absolut, yakni kasus-kasus yang
ditangani sesuai dengan penugasannya sebagai hakim baik materi hukum pidana atau
materi hukum perdata. Kedua, yurisdiksi relatif yakni sah memutuskan hukum di wilayah
hukum di mana ia diangkat oleh penguasa, perselisihan domisili mengikuti domisili
tergugat. Upaya banding dan kasasi dapat dilakukan manakala para pihak tidak puas
dengan keputusan hukum yang ditetapkan pada peradilan tingkat pertama, pembatalan

8 Wahbah al-Zuhayli,loc. cit.


9 Ibid., hal. 5935
10 Muhammad Salam Madkur, Peradilan dalam Islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1990), hal.

29.
11 Ibid., hal. 30

15
juga dapat dilakukan apabila: (1) putusan berlawanan dengan nas dan ijmak; (2)
wewenang hakim dalam memutuskan perkara diperselisihkan; (3) peninjauan kembali
putusan oleh hakim dapat dilakukan manakala putusan belum dijatuhkan, bila sudah
dijatuhkan maka untuk kasus yang sama yang terjadi di masa depan.
Penyelesaian sengketa merupakan lingkup hukum perjanjian sehingga bersifat
open system, karena mengenai penyelesaian sengketa ini terkait dengan pilihan hukum
(choiche of Law) dan pilihan forum (choice of forum) sepenuhnya diserahkan kepada para
pihak yang bersengketa. Klausula mengenai penyelesaian sengketa ini biasanya tertuang
dalam perjanjian pokok yang dibuat oleh para pihak. Dengan demikian ketentuan yang
ada dalam hukum positif berupa asas kebebasan berkontrak (vide pasal 1338 jo 1320
KUHPerdata) berlaku disini, begitu dengan asas kebebasan (al-hurriyah) sebagimana
dikenal dalam sistem perjanjian menurut hukum Islam. Akibatnya para pihak terkait
dengan perjanjian dan harus melaksanakannya dengan penuh iktikad baik.12
Penyelesaian sengketa dikatakan bersifat litigasi yaitu apabila para pihak yang
bersengketa menyelesaikannya melalui lembaga peradilan resmi dalam suatu negara
yakni peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Negeri.
Prosedurnya adalah melalui beracara di depan sidang pengadilan hingga mendapatkan
putusan pengadilan yang mempunyai hukum tetap (in kracht van gewijsde).13

12 Abdul GhafurAnshori, Tanya Jawab Perbankan Syariah, (Yogyakarta:UII Press, 2008)


hal.103.
13 Ibid hal. 104

16
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Musyawarah sebagai cara dalam menyelesaikan permasalahan hendaknya melalui
dengan proses musyawarah dengan mengutamakan pertimbangan moral dan
bersumber dari hati nurani yang luhur. Sedapat mungkin usul atau pendapat
mudah untuk dipelajari, dilakukan atau bahkan hasilnya dilaksanakan nantinya,
yang dibicarakan harus diterima akal sehat dan tidak menyusahkan. Dan hasil
musyawarah sesuai dengan kepentingan bersama yang mendatangkan
kemaslahatan.Hal-hal yang harus diperhatikan dalam proses musyawarah saling
memahami apa yang sedang dimusyawarahkan untuk mengambil keputusan
sehingga mendatangkan kemaslahatan dan jika menghasilkan putusan dalam
bermusyawarah, maka menerima hasil putusan yang sudah diambil adalah
keputusan yang terbaik.
2. Mediasi adalah suatu proses yang bersifat pribadi, rahasia (tidak terekspos keluar)
dan kooperatif dalam menyelesaikan masalah. Karena mediator selaku pihak
ketiga yang tidak memihak membantu para pihak (perorangan atau lembaga) yang
bersengketa dalam menyelesaikan konflik dan menyelesaikan atau mendekatkan
perbedaan-perbedaannya. Mediasi adalah cara yang praktis, relatif tidak formal
seperti proses di pengadilan. Mediasi dilakukan dengan prinsip kerahasiaan,
sukarela, pemberdayaan, netralitas, dan solusi yang unik. Mediasi ada yang
dilakukan di pengadilan dan di luar pengadilan.
3. Klausul arbitrase dalam sebuah perjanjian atau kontrak bisnis syariah sangat
bervariasi. Hal ini menuntut kemampuan, pengalaman dan kreativitas para pelaku
bisnis dan para lawyers dalam menyusun rumusan klausul arbitrase sehingga
pilihan penyelesaian sengketa dengan cara arbitrase benar-benar dapat tercapai
secara lebih cepat dan biaya yang ditanggung para pihak yang bersengketa
menjadi lebih ringan.
4. Penyelesaian sengketa dikatakan bersifat litigasi yaitu apabila para pihak yang
bersengketa menyelesaikannya melalui lembaga peradilan resmi dalam suatu
negara yakni peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan
Negeri. Prosedurnya adalah melalui beracara di depan sidang pengadilan hingga

17
mendapatkan putusan pengadilan yang mempunyai hukum tetap (in kracht van
gewijsde).

18
DAFTAR PUSTAKA
Ilyas, Musyfikah. 2018. “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Musyawarah dalam Penyelesaian
Sengketa Ekonomi Syariah”, dalam: Jurnal Al-Qadau Volume 5. Makassar: UIN
Alauddin Makassar
Lestari, Rika. 2013. “Perbandingan Hukum Penyelesaian Sengeketa Secara Mediasi di
Pengadilan Dan di Luar Pengadilan di Indonesia” dalam: Jurnal Ilmu Hukum Voume
3 No 2. Riau: Jurnal Ilmu Hukum Riau.
Barkatullah , A. Halim. 2011. Akad Murabahah, Termuat dalam Bahan Kuliah Pascasarjana
Program Studi Filsafat Islam, Konsentrasi Hukum Bisnis Syariah IAIN Antasari,
Banjarmasin: IAIN Antasari
Soemartono, Gatot P. 2006. Arbitrase dan Mediasi di Indonesi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Al-Zuhayli, Wahbah. 1997. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Damaskus: Dar al-Fikr.
Sabiq, Al-Sayyid. 1971. Fiqh al-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr.
Madkur, Muhammad Salam. Peradilan dalam Islam. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Anshori, Abdul Ghafur. Tanya Jawab Perbankan Syariah. Yogyakarta:UII Press.

19

Anda mungkin juga menyukai