Anda di halaman 1dari 12

BAB I

INTERELASI BISNIS DALAM ISLAM

Hukum Bisnis Islam adalah dimensi hukum dalam aktifitas bisnis yang
didasarkan pada syariat Islam. Hukum dipahami sebagai seperangkat aturan yang
memiliki sanksi serta dibuat oleh penguasa agar terwujud kedamaian di tengah
masyarakat. Hukum Islam sebagai satu sistem hukum yang datang dari Allah
Ta’ala memiliki fungsi yang sama, yaitu memberikan kemashlahatan bagi
masyarakat. Hukum Islam memiliki karakteristik yang khas yaitu tidak hanya
terbatas pada kemashlahatan di dunia saja namun juga keselamatan di akhirat.
Berdasarkan beberapa definisi yang telah disebutkan maka Hukum Bisnis
Islam adalah aturan-aturan hukum Islam yang terkait dengan aktifitas bisnis.
Istilah ini dalam konteks hukum Islam adalah aturan-aturan yang terkait dengan
hukum-hukum yang berhubungan antara manusia dengan manusia lainnya, di
mana secara khusus dalam fiqh Islam termasuk bagian dari fiqh muamalah.

Muamalah secara bahasa berasal dari kata ) ‫ يعام)ل – عامل‬- ‫ معامل))ة‬aamala,


yuamilu, muamalatan (yang berarti perlakuan atau tindakan terhadap orang lain,
serta hubungan kepentingan antara satu orang dengan orang lainnya. Louis Ma’luf
mendefinisikan muamalah dengan “Hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan
urusan dunia, dan kehidupan manusia, seperti jual beli, perdagangan, dan lain
sebagainya”.

Hukum Bisnis Islam sebagai satu disiplin ilmu hukum didasarkan kepada
sumber hukum yang ada di dalam Islam dan peraturan perudang-undangan yang
memiliki dimensi syariah Islam. Secara umum sumber dari Hukum Bisnis Islam
adalah seluruh syariat Islam yang ada di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Selain
itu terdapat pula dalil hukum yang merupakan metode ijtihad seperti qiyas, ijma’,
mashlahah, istishab, syar’u man qablana, qaul ash-Shahabah dan ‘Urf.

Sedangkan sumber hukum bisnis Islam dalam legal formal adalah undang-
undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri, Peraturan Bank Indonesia,
Peraturan OJK, fatwa dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
(DSN-MUI) serta peraturan lembaga resmi pemerintah lainnya.

Beberapa metode ijtihad dalam Islam yang menjadi dasar hukum bisnis adalah:

a. Ijma’

Ijma’ adalah kesepakatan mujtahid terhadap suatu hukum syar’i dalam


suatu masa setelah wafatnya Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam. Secara
bahasa ijma’ bermakna ‫ لتفا ْقوا العزم‬yang berarti niat, maksud dan keinginan yang
kuat serta bersepakat. Sedangkan menurut istilah ijma’ adalah:

‫اتفاق علماء العصر على حكم الحادثة‬

Kesepakatan para ulama pada suatu masa atas permasalahan-permasalahan


yang baru". Salam Madkur berpendapat bahwa ijma' adalah “Kesepakatan para
mujtahid dari umat Islam atas hukum syara' (mengenai suatu masalah) pada suatu
masa sesudah Nabi wafat. Sementara Abdul Wahab Khalaf mengatakan bahwa
Ijma' adalah bersepakatnya seluruh ulama mujtahid dari kaum muslimin pada
suatu masa setelah wafatnya Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam pada
hukum syar'i yang mereka hadapi.

b. Qiyas

Qiyas secara bahasa berarti mengukur dan menyamakan antara dua hal,
baik yang konkret, seperti benda-benda yang dapat dipegang, diukur dan
sebagainya, maupun benda yang abstrak seperti kebahagiaan, kepribadian dan
sebagainya. Penulis Syarh Al-Waraqat menyebutkan bahwa qiyas adalah
“Mengembalikan hukum furu' (cabang) kepada hukum Ushul (pokok) dengan
sebab adanya illat yang sama”.

Abdul Wahab Khalaf menyebutkan “Definisi qiyas menurut pendapat


ulama ushul adalah “Memutuskan sesuatu yang terjadi yang tidak ada nash hukum
tentang hal tersebut dengan sesuatu yang terjadi dan telah ada nash hukumnya dan
pada hukum yang sudah jelas nashnya, menyamakan dua kejadian tersebut dengan
ilat hukum yang sama.

c. Istihsan

Istilah istihsan secara bahasa berasal dari bahasa Arab yang memiliki akar
kata hasan, yaitu kata ‫استحسن‬-‫يستحسن‬-‫)استحسانا‬ihtasana-yastahsinu-istihsaanan) yang
bermakna menganggap sesuatu yang baik atau mengikuti sesuatu yang baik.
Wahbah Al-Zuhaily berpendapat bahwa kata istihsan menurut bahasa Arab
bermakna ‫(حسنا واعتقاده الش))ء عد‬memilih suatu masalah yang dianggap lebih baik
dari yang lainnya). Sedangkan Abdul Wahab Khalaf mengatakan bahwa istihsan
secara bahasa adalah “Memperkirakan sesuatu hukum yang dianggap terbaik”.

Sedangkan menurut istilah istihsan adalah “Tindakan mujtahid dalam


menghadapi suatu masalah yang lebih mengutamakan dalil qiyas yang jaly
daripada qiyas khafy, atau dari hukum yang bersifat kully (menyeluruh) kepada
hukum yang bersifat pengecualian pada dalil yang diambil dalam pemikirannya
yang lebih rajih dalam hal keadilan”.

d. Maslahah Mursalah/Istishlah

Secara etimologi (‫ مص))لحة‬maslahah) memiliki makna yang dekat dengan


manfaat walaupun sejatinya keduanya berbeda, baik dari segi lafal maupun
makna. Maslahah juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung
manfaat. Apabila dikatakan bahwa perdagangan itu suatu kemaslahatan dan
menuntut ilmu itu suatu kemaslahatan, maka hal tersebut berarti bahwa
perdagangan dan menuntut ilmu itu penyebab diperolehnya manfaat lahir dan
batin.

Menurut ulama ushul, maslahah mursalah adalah kemaslahatan (kebaikan)


yang disyariatkan Allah akan tetapi tidak ditetapkan hukumnya, dan tidak ada
dalil syar'i yang menetapkannya atau membatalkannya. Imam Al-Ghazaly
mengatakan “Maslahat menurut makna asalnya berarti menarik manfaat atau
menolak mudzarat (hal-hal yang merugikan).
e. 'Urf

Istilah urf ‫ )العرف‬Al-'Urf ) secara bahasa adalah mengetahui, kemudian


dipakai dalam arti sesuatu yang diketahui, dikenal, dianggap baik dan diterima
oleh pikiran sehat, sebagaimana firmanNya :

"Jadilah engkau pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf,


serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh” QS Al-A'raf ayat 199.

'Urf biasa diterjemahkan dengan adat atau kebiasaan sebuah masyarakat,


Ahmad Fahmi Abu Sunnah mengatakan dalam Al-'Urf wa Al-'Adah fi Ra'yi Al-
Fuqaha bahwa adat adalah “Sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa
adanya hubungan rasional”

f. Istishab
Secara etimologi ‫( إصتص)))حاب‬Istishab) berarti “Minta bersahabat” atau
“Membandingkan sesuatu dan mendekatkannya”, sedangkan secara terminologi
yaitu hukum pada sesuatu dengan keadaan yang telah terjadi sebelumnya, sampai
adanya dalil pada perubahan keadaan tersebut, atau menjadikan sebuah hukum
yang tetap pada waktu yang lampau pada sebuah keadaan hingga adanya dalil
yang merubahnya.

h. Manhaj Shahabat Nabi


Setelah wafatnya Rasulullah, sangat diperlukan fatwa bagi kaum muslimin
dan penetapan hukum bagi mereka dari kalangan shahabat Nabi yang telah
diketahui dengan pemahaman mereka tentang fiqh, ilmu dan lamanya mereka
bersama Nabi serta pemahaman mereka terhadap Al-Qur'an serta hukum-
hukumnya, maka banyak muncul fatwa-fatwa yang bermacam-macam pada
berbagai permasalahan.
Hal inilah yang mendasari pendapat bahwa manhaj shahabat dapat
dijadikan dalil hukum, karena ketika seorang shahabat Nabi berkata atau beramal,
tentu ia mendengarnya langsung dari Nabi.
Berdasarkan pembahasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa dasar hukum dari
hukum bisnis Islam adalah Al-Qur’an Al-Hadits dan metode ijtihad yang
dikembangkan oleh para ulama yaitu; qiyas, ijma, mashlahah, istishab, syar’u man
qablana, qaul ash-Shahabah dan ‘Urf.

Adapun sumber hukum bisnis Islam yang telah menjadi hukum positif di
Indonesia adalah berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
bisnis syariah, peraturan presiden, peraturan menteri, peraturan Bank Indonesia,
Peratuan OJK dan peraturan lembaga resmi pemerintah lainnya. Termasuk yang
menjadi sumber dalam hukum bisnis Islam adalah fatwa DSN-MUI, ia menjadi
standar bagi pelaksanaan bisnis Islam di Indoensia.Pembahasan lebih detail akan
dibahas dalam modul-modul berikutnya yang membahas lembaga keuangan bank
dan non-bank.
Kesimpulan
Sumber hukum yang menjadi dasar dalam hukum bisnis Islam adalah Al-
Qur’an dan As-Sunnah serta metode ijtihad yaitu qiyas, ijma, mashlahah, istishab,
syar’u man qablana, qaul ash-Shahabah dan ‘Urf. Metode ijtihad adalah cara yang
digunakan oleh para ulama dalam menetapkan suatu hukum dalam Islam yang
tidak terdapat nash di dalamnya. Masing-masing mujtahid memiliki metode yang
berbeda-beda sehingga berimplikasi kepada perbedaan dalam masalah fiqh
muamalah.
Metode Ijtihad yang digunakan oleh para Imam Mujtahid diantaranya
adalah qiyas, ijma, mashlahah, istishab, syar’u man qablana, qaul ash-Shahabah
dan ‘Urf. Semua metode tersebut menjadi satu metode dalam penetapan hukum
Islam pada masa lalu dan hingga kini masih digunakan sebagai dalil dalam hukum
bisnis Islam.
Sumber hukum yang menjadi hukum positif diantaranya adalah
perundang-undangan, peraturan presiden, peraturan menteri, peraturan Bank
Indonesia, Peratuan OJK dan peraturan lembaga resmi pemerintah lainnya.
Termasuk fatwa DSN-MUI yang menjadi standar bagi pelaksanaan bisnis Islam di
Indoensia.
BAB II

BISNIS DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

1. Hasil Ijtihad Yûsuf al-Qaradâwi tentang Bisnis Islam

a. Norma dan Etika Bisnis Islam

Menurut Yûsuf al-Qaradâwi, terdapat empat sendi utama (ciri-ciri) norma


dan etika dalam bisnis Islam, yakni ketuhanan, etika, kemanusiaan, dan sikap

pertengahan.36 Setiap norma itu mempunyai cabang-cabang, buah dan


pengaruh bagi aspek ekonomi, bisnis, dan sistem keuangan Islam, baik dalam
hal produksi, konsumsi, distribusi, ekspor, maupun impor yang semuanya
diwarnai dengan norma-norma di atas. Jika tidak, maka akan dipastikan bahwa
Islam hanya sekadar simbol atau slogan dan pengakuan belaka.

1) Sistem Bisnis Bercirikan Ketuhanan

Bisnis Islam adalah bisnis yang berdasarkan ketuhanan. Sistem ini bertitik
tolak dari firman-firman Allah Swt. di dalam al- Qur’an dan menggunakan
sarana yang tidak akan mungkin lepas dari ketentuan-ketentuan Allah

(syarî’ah).37 Aktivitas bisnis Islam tidak lepas dari titik tolak ketuhanan dan
bertujuan akhir untuk Tuhan. Kalau seorang muslim melakukan aktivitas bisnis
maka pasti yang menjadi tujuan akhirnya adalah apa yang disebut dengan
hanya untuk beribadah kepada Allah Swt. atau untuk memenuhi perintah-Nya.
Allah Swt. berfirman:

“Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di
segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki- Nya. Dan hanya kepada-Nya-
lah kamu (kembali setelah) dibangkit- kan.”

2) Sistem Bisnis Bercirikan Etika Yang membedakan Islam dengan


materialisme adalah bahwa Islam tidak pernah memisahkan aktivitas bisnis
dengan etika, sebagaimana tidak pernah memisahkan ilmu dengan akhlak,
politik dengan etika, perang dengan etika, dan kerabat sedarah sedaging dengan
kehidupan Islam. Islam adalah risalah yang diturunkan Allah melalui Rasul
untuk menyempurnakan akhlak mulia, Rasulullah Muhammad Saw.

3) Sistem Bisnis Bercirikan Kemanusiaan.

Selain bercirikan ketuhanan dan etika, sistem bisnis Islam juga berkarakter
kemanusiaan. Dengan artian bahwa bisnis ini menciptakan kehidupan manusia
yang aman dan sejahtera. Manusialah yang memahami nash, menafsirkan,
menyimpulkan, dan memindahkannya dari teori untuk diaplikasikan dalam
setiap lini kehidupan.

Dalam berbisnis, manusia adalah tujuan dan sarana, bukan hanya profit.
Faktor kemanusiaan dalam bisnis Islam terdapat dalam kumpulan etika yang
disebutkan di dalam al-Qur’an dan hadîts serta terdapat di dalam buku-buku
klasik (turâts) yang mencakup etika, kebebasan, kemuliaan, keadilan, sikap
moderat, dan persaudaraan sesama manusia. Bisnis Islam mengajarkan manusia
untuk menjalin kerja sama, tolong-menolong dan menjauhkan sikap iri, dengki,
dan dendam.

4) Sistem Bisnis Bercirikan Sikap Pertengahan

Jiwa tatanan Islam adalah keseimbangan yang adil. Hal ini terlihat jelas
pada sikap Islam terhadap hak individu dan masyarakat. Kedua hak itu
diletakkan dalam neraca keseimbangan yang adil (pertengahan) tentang dunia
dan akherat, jiwa dan raga, akal dan hati, perumpamaan dan kenyataan. Islam
juga bersikap di tengah-tengah (washat) antara iman dan kekuasaan.

Menurut al-Qaradâwi, berbisnis yang moderat adalah dengan tidak


menzalimi masyarakat, khususnya kaum lemah (du’afâ’) sebagaimana yang
terjadi pada masyarakat kapitalis. Islam juga tidak menzalimi hak-hak individu
sebagaimana yang dilakukan oleh kaum sosialis, terutama komunis, tetapi
Islam berada di tengah-tengah antara keduanya
b. Bidang-bidang Hukum Bisnis Islam

Terdapat dua hal bidang ijtihad yang saat ini sangat berubah dengan
keadaannya terdahulu, yakni masalah (bidang) ekonomi (bisnis) dan juga masalah
kedokteran. Keadaan ini ini seolah-oleh berbalik 180 derajat dengan keadaannya
terdahulu, di mana dahulu mungkin saja belum diharapkan adanya ijtihâd terhadap
masalah tersebut sedangkan saat ini menjadi sesuatu yang amat penting untuk
dikeluarkannya ijtihâd baru.

Jika diperhatikan secara saksama maka akan didapatkan bahwa, bidang-


bidang bisnis yang telah disebut di atas adalah bidang-bidang bisnis yang benar-
benar merupakan masalah kontemporer, sebagiannya memang terdapat bidang-
bidang yang hampir sama atau dekat dengan kegiatan bisnis zaman dahulu
sedangkan lainnya merupakan himpunan antara kegiatan bisnis klasik dengan
bisnis modern, dan semuanya ini berpijak pada aqad yang halal.
c. Produk Ijtihâd tentang Hukum Bisnis Islam

Dalam bukunya Fiqh Prioritas, al-Qaradâwi menyatakan bahwa para ulama


berbeda pendapat mengenai jenis bisnis yang paling utama dan juga mendapatkan
pahala yang besar dari Allâh Swt., apakah pertanian, perindustrian, ataukah
perdagangan. Oleh sebab itulah, pada akhirnya, dalam menjawab permasalah di
zaman modern ini, al-Qaradâwi membuat banyak tulisan yang membahas tentang
hukum bisnis tersebut.

Begitu banyak hasil (produk) ijtihâd yang dikeluarkan oleh al-Qaradâwi


dalam menjawab permasalahan-permasalahan hukum bisnis dalam Islam era
modern ini, dan semuanya terangkum dalam jawaban halâl, harâm, mubâh dan
makrûh. Pedoman tentang aktivitas bisnis secara umum adalah Islam tidak
membolehkan pengikut-pengikutnya untuk berbisnis (mendapatkan profit) sesuka
hatinya dan dengan jalan apa saja yang dikehendaki, tetapi Islam memberi garis
pemisah antara mana yang dibolehkan dan mana yang tidak. Garis pemisah ini
berdiri di atas landasan kulli (menyeluruh) yang menyatakan bahwa semua jalan
untuk berbisnis yang tidak menghasilkan manfaat (profit) kecuali dengan jalan
menjatuhkan orang lain adalah tidak dibenarkan.

Bisnis Islam. Begitu banyak firman Allah di dalam alQur’an yang


menunjukkan kewajiban seorang hamba Allah untuk mencari apa yang telah
diberikan oleh Allah berupa nikmat atau rezeki dengan jalan usaha atau bekerja
(termasuk juga melakukan kegiatan bisnis), dan untuk memungkinkan manusia
untuk mendapatkan rezeki tersebut maka Allah melapangkan bumi serta
menyediakan berbagai fasilitas yang dapat dimanfaatkan. Allah Swt. berfirman
QS.Ibrahim ayat 32-34 yang artinya:

“Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan
dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-
buahan menjadi rezeki untukmu, dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu
supaya bahtera itu berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah
menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. [32] Dan Dia telah menundukkan
(pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya);
dan telah menundukkan bagimu malam dan siang. [33] Dan Dia telah
memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan
kepadanya. Dan jika kamu menghitung ni`mat Allah, tidaklah dapat kamu
menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat
mengingkari (ni`mat Allah). [34]”

Penjelasan singkat di atas menunjukkan bahwa definisi bisnis Islam adalah


serangkaian aktivitas bisnis dalam berbagai bentuknya yang tidak dibatasi jumlah
(kuantitas) kepemilikan hartanya (barang atau jasa) termasuk profitnya, namun di
batasi dalam perolehan dan pendayagunaan hartanya (ada aturan halâl dan harâm).

BAB III
HUKUM KONTRAK DALAM BISNIS SYARIAH

Di Indonesia perkembangan kajian dan praktek ilmu ekonomi Islam juga


berkembang pesat. Kajian- kajiannya sudah banyak diselenggarakan di berbagai
universitas negeri maupun swasta. Sementara itu dalam bentuk prakteknya,
ekonomi Islam telah berkembang dalam bentuk perbankan dan lembaga-lembaga
keuangan ekonomi Islam non bank. Perkembangan Ekonomi Islam di Indonesia
mulai mendapatkan momentum yang berarti sejak didirikannya Bank Muamalat
Indonesia pada tahun 1992. Pada saat itu sistem perbankan Islam memperoleh
dasar hukum secara formal dengan berlakunya Undang - Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang perbankan, sebagaimana yang telah direvisi dalam Undang-undang
nomor 10 tahun 1998 dan dilengkapi oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia.

Hukum Kontrak Syari’ah

Akad atau kontrak berasal dari bahasa Arab yang berarti ikatan atau
simpulan baik ikatan yang nampak (hissyy) maupun tidak nampak (ma'nawy).
Kamus al-Mawrid, menterjemahkan al-‘Aqd sebagai contract and agreement
atau kontrak dan perjanjian. Sedangkan akad atau kontrak menurut istilah adalah
suatu kesepakatan atau komitmen bersama baik lisan, isyarat, maupun tulisan
antara dua pihak atau lebih yang memiliki implikasi hukum yang mengikat untuk
melaksanakannya. Subhi Mahmasaniy mengartikan kontrak sebagai ikatan atau
hubungan di antara ijab dan qabul yang memiliki akibat hukum terhadap hal-hal
yang dikontrakkan.
Sehubungan dengan pengertian Hukum Kontrak dalam literatur Ilmu
Hukum, terdapat berbagai istilah yang sering dipakai sebagai rujukan di samping
istilah ”Hukum Perikatan” untuk menggambarkan ketentuan hukum yang
mengatur transaksi dalam masyarakat. Ada yang menggunakan istilah ”Hukum
Perutangan”, ”Hukum Perjanjian” ataupun ”Hukum Kontrak”. Masing-masing
istilah tersebut mempunyai artikulasi yang berbeda satu dengan lainnya Hukum
perjanjian digunakan apabila melihat bentuk nyata dari adanya transaksi. Hal ini
mengacu kepada pengertian perjanjian menurut Subekti, yaitu suatu peristiwa
dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling
berjanji untuk melaksanakan suatu hal.
Apabila pengaturan hukum tersebut mengenai perjanjian dalam bentuk
tertulis sering disebut Hukum Kontrak. Sedangkan digunakan Hukum Perikatan
untuk menggambarkan bentuk abstrak dari terjadinya keterikatan para pihak
yang mengadakan transaksi tersebut, yang tidak hanya timbul dari adanya
perjanjian antara para pihak, namun juga dari ketentuan yang berlaku di luar
perjanjian tersebut yang menyebabkan terikatnya para pihak untuk melaksanakan
tindakan hukum tertentu. Di sini tampak bahwa Hukum Perikatan memiliki
pengertian yang lebih luas dari sekadar Hukum Perjanjian.
Hukum kontrak merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu contract
of law, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan overeenscomstrecht.
Michael D. Bayles mengartikan contract of law atau hukum kontrak adalah
“Might then be taken to be the law pertaining to enporcement of promise or
agreement” yaitu sebagai aturan hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan
perjanjian atau persetujuan. Lebih lengkap lagi Salim.H.S mengartikan hukum
kontrak sebagai “Keseluruhan dari kaidah- kaidah hukum yang mengatur
hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk
menimbulkan akibat hukum”. 19 Definisi tersebut didasarkan kepada pendapat
Van Dunne, yang tidak hanya mengkaji kontrak pada tahap kontraktual semata-
mata, tetapi juga harus diperhatikan perbuatan sebelumnya yang mencakup tahap
pracontractual dan post contractual.
Adapun yang dimaksud dengan istilah hukum kontrak syari'ah disini
adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum
di bidang mu'amalah khususnya perilaku dalam menjalankan hubungan
ekonomi antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk
menimbulkan akibat hukum secara tertulis berdasarkan hukum Islam. Kaidah-
kaidah hukum yang berhubungan langsung dengan konsep hukum kontrak
syari'ah di sini, adalah yang bersumber dari Al Qur'an dan Al Hadis maupun
hasil interpretasi terhadap keduanya, serta kaidah- kaidah fiqih.
Dari definisi tersebut apabila dikaitkan dengan perjanjian dalam hukum
kontrak syariah adalah, kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berpikir
dan alasan pendapat tentang perjanjian terutama dalam penegakan dan
pelaksanaan hukum kontrak syari'ah. Dalam hukum kontrak syari'ah terdapat
asas-asas perjanjian yang melandasi penegakan dan pelaksanaannya. Asas-asas
perjanjian tersebut diklasifikasikan menjadi asas- asas perjanjian yang tidak
berakibat hukum dan sifatnya umum dan asas- asas perjanjian yang berakibat
hukum dan sifatnya khusus.

Kebebasan berkontrak lebih Nampak jelas dalam sabda beliau yang


merupakan lanjutan yaitu ”wal muslimun ‘ala syurutihim illa syartan halalan aw
ahalla harraman”. Di sini kaum muslimin dibenarkan memperjanjikan syarat-
syarat dan perjanjian itu mengikat untuk dipenuhi dalam batas-batas ketentuan
halal dan haram. Kata syurut adalah bentuk jama' yang diidafahkan kepada kata
ganti ”mereka”. Kasus ini menunjukkan bahwa dia termasuk lafal umum,
sehingga hal itu berarti bahwa kaum muslimin dapat mengisikan syarat apa saja
ke dalam perjanjian mereka dalam batas-batas ketentuan halal dan haram, artinya
dalam batas- batas ketertiban umum syara'.

Dalam hukum kontrak syariah, paling tidak terdapat 14 macam asas


perjanjian yang dapat digunakan sebagai landasan berpikir dan bertransaksi
dalam penegakan hukum kontrak syariah tersebut. Asas-asas perjanjian itu
adalah, Asas ilahiah, asas konsensualitas, asas kebebasan berkontrak, asas
kebolehan, asas perjanjian itu mengikat, asas keseimbangan prestasi, asas
keadilan, asas persamaan, asas kejujuran, asas tertulis, asas kepastian hukum, asas
iktikad baik,asas kepribadian, dan asas kemanfaatan atau kemaslahatan.

Anda mungkin juga menyukai