Hukum Bisnis Islam adalah dimensi hukum dalam aktifitas bisnis yang
didasarkan pada syariat Islam. Hukum dipahami sebagai seperangkat aturan yang
memiliki sanksi serta dibuat oleh penguasa agar terwujud kedamaian di tengah
masyarakat. Hukum Islam sebagai satu sistem hukum yang datang dari Allah
Ta’ala memiliki fungsi yang sama, yaitu memberikan kemashlahatan bagi
masyarakat. Hukum Islam memiliki karakteristik yang khas yaitu tidak hanya
terbatas pada kemashlahatan di dunia saja namun juga keselamatan di akhirat.
Berdasarkan beberapa definisi yang telah disebutkan maka Hukum Bisnis
Islam adalah aturan-aturan hukum Islam yang terkait dengan aktifitas bisnis.
Istilah ini dalam konteks hukum Islam adalah aturan-aturan yang terkait dengan
hukum-hukum yang berhubungan antara manusia dengan manusia lainnya, di
mana secara khusus dalam fiqh Islam termasuk bagian dari fiqh muamalah.
Hukum Bisnis Islam sebagai satu disiplin ilmu hukum didasarkan kepada
sumber hukum yang ada di dalam Islam dan peraturan perudang-undangan yang
memiliki dimensi syariah Islam. Secara umum sumber dari Hukum Bisnis Islam
adalah seluruh syariat Islam yang ada di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Selain
itu terdapat pula dalil hukum yang merupakan metode ijtihad seperti qiyas, ijma’,
mashlahah, istishab, syar’u man qablana, qaul ash-Shahabah dan ‘Urf.
Sedangkan sumber hukum bisnis Islam dalam legal formal adalah undang-
undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri, Peraturan Bank Indonesia,
Peraturan OJK, fatwa dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
(DSN-MUI) serta peraturan lembaga resmi pemerintah lainnya.
Beberapa metode ijtihad dalam Islam yang menjadi dasar hukum bisnis adalah:
a. Ijma’
b. Qiyas
Qiyas secara bahasa berarti mengukur dan menyamakan antara dua hal,
baik yang konkret, seperti benda-benda yang dapat dipegang, diukur dan
sebagainya, maupun benda yang abstrak seperti kebahagiaan, kepribadian dan
sebagainya. Penulis Syarh Al-Waraqat menyebutkan bahwa qiyas adalah
“Mengembalikan hukum furu' (cabang) kepada hukum Ushul (pokok) dengan
sebab adanya illat yang sama”.
c. Istihsan
Istilah istihsan secara bahasa berasal dari bahasa Arab yang memiliki akar
kata hasan, yaitu kata استحسن-يستحسن-)استحساناihtasana-yastahsinu-istihsaanan) yang
bermakna menganggap sesuatu yang baik atau mengikuti sesuatu yang baik.
Wahbah Al-Zuhaily berpendapat bahwa kata istihsan menurut bahasa Arab
bermakna (حسنا واعتقاده الش))ء عدmemilih suatu masalah yang dianggap lebih baik
dari yang lainnya). Sedangkan Abdul Wahab Khalaf mengatakan bahwa istihsan
secara bahasa adalah “Memperkirakan sesuatu hukum yang dianggap terbaik”.
d. Maslahah Mursalah/Istishlah
f. Istishab
Secara etimologi ( إصتص)))حابIstishab) berarti “Minta bersahabat” atau
“Membandingkan sesuatu dan mendekatkannya”, sedangkan secara terminologi
yaitu hukum pada sesuatu dengan keadaan yang telah terjadi sebelumnya, sampai
adanya dalil pada perubahan keadaan tersebut, atau menjadikan sebuah hukum
yang tetap pada waktu yang lampau pada sebuah keadaan hingga adanya dalil
yang merubahnya.
Adapun sumber hukum bisnis Islam yang telah menjadi hukum positif di
Indonesia adalah berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
bisnis syariah, peraturan presiden, peraturan menteri, peraturan Bank Indonesia,
Peratuan OJK dan peraturan lembaga resmi pemerintah lainnya. Termasuk yang
menjadi sumber dalam hukum bisnis Islam adalah fatwa DSN-MUI, ia menjadi
standar bagi pelaksanaan bisnis Islam di Indoensia.Pembahasan lebih detail akan
dibahas dalam modul-modul berikutnya yang membahas lembaga keuangan bank
dan non-bank.
Kesimpulan
Sumber hukum yang menjadi dasar dalam hukum bisnis Islam adalah Al-
Qur’an dan As-Sunnah serta metode ijtihad yaitu qiyas, ijma, mashlahah, istishab,
syar’u man qablana, qaul ash-Shahabah dan ‘Urf. Metode ijtihad adalah cara yang
digunakan oleh para ulama dalam menetapkan suatu hukum dalam Islam yang
tidak terdapat nash di dalamnya. Masing-masing mujtahid memiliki metode yang
berbeda-beda sehingga berimplikasi kepada perbedaan dalam masalah fiqh
muamalah.
Metode Ijtihad yang digunakan oleh para Imam Mujtahid diantaranya
adalah qiyas, ijma, mashlahah, istishab, syar’u man qablana, qaul ash-Shahabah
dan ‘Urf. Semua metode tersebut menjadi satu metode dalam penetapan hukum
Islam pada masa lalu dan hingga kini masih digunakan sebagai dalil dalam hukum
bisnis Islam.
Sumber hukum yang menjadi hukum positif diantaranya adalah
perundang-undangan, peraturan presiden, peraturan menteri, peraturan Bank
Indonesia, Peratuan OJK dan peraturan lembaga resmi pemerintah lainnya.
Termasuk fatwa DSN-MUI yang menjadi standar bagi pelaksanaan bisnis Islam di
Indoensia.
BAB II
Bisnis Islam adalah bisnis yang berdasarkan ketuhanan. Sistem ini bertitik
tolak dari firman-firman Allah Swt. di dalam al- Qur’an dan menggunakan
sarana yang tidak akan mungkin lepas dari ketentuan-ketentuan Allah
(syarî’ah).37 Aktivitas bisnis Islam tidak lepas dari titik tolak ketuhanan dan
bertujuan akhir untuk Tuhan. Kalau seorang muslim melakukan aktivitas bisnis
maka pasti yang menjadi tujuan akhirnya adalah apa yang disebut dengan
hanya untuk beribadah kepada Allah Swt. atau untuk memenuhi perintah-Nya.
Allah Swt. berfirman:
“Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di
segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki- Nya. Dan hanya kepada-Nya-
lah kamu (kembali setelah) dibangkit- kan.”
Selain bercirikan ketuhanan dan etika, sistem bisnis Islam juga berkarakter
kemanusiaan. Dengan artian bahwa bisnis ini menciptakan kehidupan manusia
yang aman dan sejahtera. Manusialah yang memahami nash, menafsirkan,
menyimpulkan, dan memindahkannya dari teori untuk diaplikasikan dalam
setiap lini kehidupan.
Dalam berbisnis, manusia adalah tujuan dan sarana, bukan hanya profit.
Faktor kemanusiaan dalam bisnis Islam terdapat dalam kumpulan etika yang
disebutkan di dalam al-Qur’an dan hadîts serta terdapat di dalam buku-buku
klasik (turâts) yang mencakup etika, kebebasan, kemuliaan, keadilan, sikap
moderat, dan persaudaraan sesama manusia. Bisnis Islam mengajarkan manusia
untuk menjalin kerja sama, tolong-menolong dan menjauhkan sikap iri, dengki,
dan dendam.
Jiwa tatanan Islam adalah keseimbangan yang adil. Hal ini terlihat jelas
pada sikap Islam terhadap hak individu dan masyarakat. Kedua hak itu
diletakkan dalam neraca keseimbangan yang adil (pertengahan) tentang dunia
dan akherat, jiwa dan raga, akal dan hati, perumpamaan dan kenyataan. Islam
juga bersikap di tengah-tengah (washat) antara iman dan kekuasaan.
Terdapat dua hal bidang ijtihad yang saat ini sangat berubah dengan
keadaannya terdahulu, yakni masalah (bidang) ekonomi (bisnis) dan juga masalah
kedokteran. Keadaan ini ini seolah-oleh berbalik 180 derajat dengan keadaannya
terdahulu, di mana dahulu mungkin saja belum diharapkan adanya ijtihâd terhadap
masalah tersebut sedangkan saat ini menjadi sesuatu yang amat penting untuk
dikeluarkannya ijtihâd baru.
“Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan
dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-
buahan menjadi rezeki untukmu, dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu
supaya bahtera itu berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah
menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. [32] Dan Dia telah menundukkan
(pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya);
dan telah menundukkan bagimu malam dan siang. [33] Dan Dia telah
memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan
kepadanya. Dan jika kamu menghitung ni`mat Allah, tidaklah dapat kamu
menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat
mengingkari (ni`mat Allah). [34]”
BAB III
HUKUM KONTRAK DALAM BISNIS SYARIAH
Akad atau kontrak berasal dari bahasa Arab yang berarti ikatan atau
simpulan baik ikatan yang nampak (hissyy) maupun tidak nampak (ma'nawy).
Kamus al-Mawrid, menterjemahkan al-‘Aqd sebagai contract and agreement
atau kontrak dan perjanjian. Sedangkan akad atau kontrak menurut istilah adalah
suatu kesepakatan atau komitmen bersama baik lisan, isyarat, maupun tulisan
antara dua pihak atau lebih yang memiliki implikasi hukum yang mengikat untuk
melaksanakannya. Subhi Mahmasaniy mengartikan kontrak sebagai ikatan atau
hubungan di antara ijab dan qabul yang memiliki akibat hukum terhadap hal-hal
yang dikontrakkan.
Sehubungan dengan pengertian Hukum Kontrak dalam literatur Ilmu
Hukum, terdapat berbagai istilah yang sering dipakai sebagai rujukan di samping
istilah ”Hukum Perikatan” untuk menggambarkan ketentuan hukum yang
mengatur transaksi dalam masyarakat. Ada yang menggunakan istilah ”Hukum
Perutangan”, ”Hukum Perjanjian” ataupun ”Hukum Kontrak”. Masing-masing
istilah tersebut mempunyai artikulasi yang berbeda satu dengan lainnya Hukum
perjanjian digunakan apabila melihat bentuk nyata dari adanya transaksi. Hal ini
mengacu kepada pengertian perjanjian menurut Subekti, yaitu suatu peristiwa
dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling
berjanji untuk melaksanakan suatu hal.
Apabila pengaturan hukum tersebut mengenai perjanjian dalam bentuk
tertulis sering disebut Hukum Kontrak. Sedangkan digunakan Hukum Perikatan
untuk menggambarkan bentuk abstrak dari terjadinya keterikatan para pihak
yang mengadakan transaksi tersebut, yang tidak hanya timbul dari adanya
perjanjian antara para pihak, namun juga dari ketentuan yang berlaku di luar
perjanjian tersebut yang menyebabkan terikatnya para pihak untuk melaksanakan
tindakan hukum tertentu. Di sini tampak bahwa Hukum Perikatan memiliki
pengertian yang lebih luas dari sekadar Hukum Perjanjian.
Hukum kontrak merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu contract
of law, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan overeenscomstrecht.
Michael D. Bayles mengartikan contract of law atau hukum kontrak adalah
“Might then be taken to be the law pertaining to enporcement of promise or
agreement” yaitu sebagai aturan hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan
perjanjian atau persetujuan. Lebih lengkap lagi Salim.H.S mengartikan hukum
kontrak sebagai “Keseluruhan dari kaidah- kaidah hukum yang mengatur
hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk
menimbulkan akibat hukum”. 19 Definisi tersebut didasarkan kepada pendapat
Van Dunne, yang tidak hanya mengkaji kontrak pada tahap kontraktual semata-
mata, tetapi juga harus diperhatikan perbuatan sebelumnya yang mencakup tahap
pracontractual dan post contractual.
Adapun yang dimaksud dengan istilah hukum kontrak syari'ah disini
adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum
di bidang mu'amalah khususnya perilaku dalam menjalankan hubungan
ekonomi antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk
menimbulkan akibat hukum secara tertulis berdasarkan hukum Islam. Kaidah-
kaidah hukum yang berhubungan langsung dengan konsep hukum kontrak
syari'ah di sini, adalah yang bersumber dari Al Qur'an dan Al Hadis maupun
hasil interpretasi terhadap keduanya, serta kaidah- kaidah fiqih.
Dari definisi tersebut apabila dikaitkan dengan perjanjian dalam hukum
kontrak syariah adalah, kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berpikir
dan alasan pendapat tentang perjanjian terutama dalam penegakan dan
pelaksanaan hukum kontrak syari'ah. Dalam hukum kontrak syari'ah terdapat
asas-asas perjanjian yang melandasi penegakan dan pelaksanaannya. Asas-asas
perjanjian tersebut diklasifikasikan menjadi asas- asas perjanjian yang tidak
berakibat hukum dan sifatnya umum dan asas- asas perjanjian yang berakibat
hukum dan sifatnya khusus.