Anda di halaman 1dari 14

A.

Pengertian Legislasi Hukum Islam

Legislasi secara bahasa sering disebut juga dengan legalisasi. Legislasi


merupakan cara yang digunakan untuk mengesahkan hukum di suatu negara.
Tujuan dari legislasi adalah untuk mengemukakan hukum, bukan sebagaimana
adanya saat ini atau dahulu tetapi sebagaimana seharusnya.
Dengan demikian suatu prinsip baru yang digariskan oleh keputusan
yudisial dapat dikatakan sebagai ketentuan legislasi, sedangkan tidak demikian
halnya, sebab legislasi dalam artian yang luas adalah sumber hukum yang
berupa deklarasi aturan-aturan hukum otoria yang berkompeten dari
kekuasaan yang berdaulat di dalam negara yang tidak dapat dihapuskan atau
digugurkan oleh otoria legislatif lain dari manapun. sedangkan dalam artian
sempit legislsi adalah aturan yang berseumber dari suatu otoria yang lain
daripada kekuasaan yang berdaulat selain itu eksistensi dan validitasnya
bergantung pada suatu otoria yang tertinggi atauyang lebih tinggi.

Legislasi dalam pengerian ini, dapat diklasifikasikan dalam legislasi


tingkat tinggi dan legislasi tingkat rendah. Legislasi tingkat tinggi bersumber
pada kekuasaan yang tertinggi dalam negara atau disebut (kehendak negara).
Hukum Islam adalah kehendak Tuhan, dan fungsi negara adalah untuk
memberlakukannya, bukan untuk menciptakannya. Hukum Islam berwatak
etis muncul dari resep-resep Al-Qur’an bagi perilaku sosial. Negara membuat
keterangan hukumnya daripadanya dan hanya sedikit mempunyai andil atau
bagian dalam pembentukannya.

B. Teori Legislasi (Taqnin)


Secara bahasa, kata “taqnin” berasal dari tiga huruf, yaitu qaf, nun,
dan nun. Dalam kamus, ketiga huruf ini memberikan arti: mencari
kabar/berita, melihat-lihat, berada di puncak gunung, dan memukul dengan
tongkat. Jika ketiga huruf dibuat menjadi kata taqnin, maka maknanya adalah
membuat atau menetapkan undang-undang, membatasi dan menjadi tengik1

1
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), 1164

5
Berdasarkan beberapa arti ini, Taqnin merupakan pembuatan undang-
undang yang berfungsi membatasi kebebasan masyarakat. Dalam
pembuatannya, perlu memperhatikan berita tentang kehendak dan kondisi
masyarakat. Akhirnya, undang-undang memiliki kedudukan yang tinggi.
Dengan pembatasan ini, anggota masyarakat yang melanggar undang-undang
dinilai telah menjadi tengik yang harus dipukul dengan tongkat.
Dari kata Taqnin juga terbentuk istilah “Qanun” yang berarti asal, pokok,
pangkal (al-ashl) dan ukuran segala sesuatu (al-miqyas)2. Baik taqnin
maupun Qanun merupakan Bahasa Arab yang diserap dari bahasa Romawi.
Ada yang mengatakan dari bahasa Persia. Apapun serapannya, Qanun
didapatkan oleh bangsa Arab Islam dari bangsa asing saat mereka telah
menguasai wilayah-wilayah di luar Jazirah Arab.
Taqnin atau Qanun, sesungguhnya telah dikenal pada masa Nabi saw,
yakni berupa Piagam Madinah. Setelah Nabi saw hijrah, seluruh wakil rakyat
dikumoulkan untuk membuat kesepakatan bersma. Kesepakatan ini menjadi
pijakan hubungan berbangsa dan bernegara. Namun, pelaksaan kesepakatan
ini tidak berlangsung lama, mengungat terjadi banyak pelanggaran oleh
orang-orang non muslim.
Dalam negara demokrasi, terdapat tiga wilayah kekuasaan, yaitu
kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif.
Kekuasaan legislatif berwenang dalam menyetujui dan mengawasi jalannya
peraturan perundang-undangan. Kekuasaan eksekutif berwenang dalam
menjalankan peraturan perundang-undnagan. Kekuasaan yudikatif berwenang
dalam menegakkan dan memberi keputusan keadilan dalam pelaksaan
peraturang perundang-undangan. Karena proses pembentukkan peraturan
perundang-undangan ditentukan oleh persetujuan pihak legislatif, maka
Taqnin diterjemahkan dengan legislasi.
Terjemahan di atas relevan dengan definisi tentang Taqnin. Secara
terminologis, Taqnin atau taqnin al-Ahkam berarti mengumpulkan
hukum-hukum dan kaidah-kaidah penetapan penetapan hukum (tasyri’)

2
Ibid, 1165

6
yang berkaitan dengan masalah hubungan sosial, menyusunnya secara
sistematis, serta mengungkapkannya dengan kalimat-kalimat yang tegas,
ringkas, dan jelas dalam bentuk bab, pasal, dan atau ayat yang memiliki
nomor secara berurutan, kemudian menetapkannya sebagai undnag-
undnag atau peraturan, lantas disahkan oleh pemerintah, sehingga para
penegak hukum wajib menerapkannya di tengah masyarakat.
C. Teori Pemikiran dan Strategi Penerapan Hukum Islam Di Indonesia
a. Secara konseptual, sungguhnya telah banyak teori pemikiran mengenai
penerapan hukum Islam (syari’at) di Indonesia, antara lain:
1. Teori pemikiran formalistik-legalistik.
Berpendapat Bahwa penerapan syari’at Islam harus melalui
institusi negara. Hal ini disampaikan oleh Habib Riziq Shihab, ketua
Front Pembela Islam. Berkaitan dengan pertanyaan: apakah syari’at
Islam harus diformulasikan dalam sebuah konstitusi, Rizik menjawab:
”Ya. ” Negara itu nantinya dapat menjaga berjalannya syari’at. karena
itu formalisasi syari’at melalui konstitusi atau undang-undang harus
diusahakan untuk menjaga subtansi syari’at agar agama bisa dijalankan
secara baik. Oleh karena itu beliau tidak setuju memisahkan antara
subtansi dan formal.
Menjadi keyakinan bahwa tidak akan ada kemuliaan
kecuali dengan Islam; tidak ada Islam kecuali dengan syari’at; dan
tidak ada syari’at kecuali dengan daulah (negara). Pemikiran ini
disampaikan dengan mengemukakan suatu argumentasi berdasarkan
fakta sejarah dan keyakinan bahwa aturan Allah pastilah yang terbaik.
Hanya syari’at sajalah yang mampu menjawab segala persoalan yang
tengah membelit umat Islam Indonesia baik di lapangan ekonomi,
politik, sosial, budaya, maupun pendidikan.
2. Teori Pemikiran Strukturalistik.
Pendekatan ini menekankan transformasi dalam tatanan
sosial dan politik agar bercorak Islami. Transformasi melalui
pendekatan struktural dimaksudkan dapat mempengaruhi transformasi

7
perilaku sosial sehingga lebih Islami. Sebaliknya transformasi prilaku
sosial diharapkan dapat mempengaruhi transformasi institusi-institusi
sosial dan politik menjadi lebih Islami. Pendekatan struktural
mensyaratkan pendekatan politik, lobi atau melalui sosialisasi ide-ide
Islam, kemudian menjadi masukan bagi kebijakan umum.
Salah seorang pendukung utama pendekatan ini adalah
Amin Rais, yang berpendapat sebagaimana dikutip oleh Rahmat
Rosyadi dan Rais Ahmad, bahwa transformasi nilai-nilai Islam melalui
kegiatan dakwah harus mencakup segala dimensi kehidupan manusia.
Dengan kata lain, kegiatan-kegiatan politik, ekonomi, sosial, budaya,
ilmiah, dan lainnya harus menjadi sarana untuk merealisasikan nilai-
nilai Islam. Konsekuensi dari pandangan ini, Amin mendukung
perumusan dan implementasi sistem sosial Islam termasuk melegislasi
hukum Islam dalam tata hukum negara Indonesia berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945.
3. Teori Pemikiran Kulturalistik.
Pendekatan ini hanya mensyaratkan sosialisasi dan
internalisasi syari’at Islam oleh umat Islam sendiri, tanpa dukungan
langsung dari otoritas politik dan institusi negara. Para pendukung
pendekatan kultural ini ingin menjadikan Islam sebagai sumber etika
dan moral; sebagi sumber inspirasi dan motivasi dalam kehidupan
bangsa bahkan dalam pembentukan struktur sosial. Pendukung utama
pendekatan kultural ini adalah Abdurrahman Wahid. Beliau menyadari
bahwa secara historis ekspresi ideologi Islam tidak berhasil.
Menurutnya Islam harus bertindak sebagai faktor komplementer untuk
mengembangkan sistem sosio-ekonomi dan politik, bukan sebagai
faktor alternatif yang dapat membawa dampak disintegratif kehidupan
bangsa secara keseluruhan. Menurut beliau, umat Islam telah dapat
menerima falsafah negara, sementara pada saat yang bersamaan masih
mempertahankan jalan hidup “Islamnya” dalam varian lokal dan

8
individu. Oleh karena itu Beliau tidak menyetujui idealisme Islam
dalam sebuah sistem sosial.
Mengenai legislasi hukum Islam, menurut Abdurrahman
Wahid, bahwa tidak semua ajaran Islam dilegislasi oleh negara.
Banyak hukum negara yang berlaku secara murni dalam bimbingn
moral yang terimplementasikan dalam kesadaran penuh masyarakat.
Kejayaan hukum agama tidak akan hilang dengan fungsinya sebagai
sebuah sistem etika sosial. Kejayaannya bahkan akan tampak karena
pengembangannya dapat terjadi tanpa dukungan dari negara. Karena
alasan ini, Beliau lebih cenderung untuk menjadikan syariat’at Islam
sebagai sebuah perintahmoral(moral injuction) daripada sebagai
sebuah tatanan legalistik-formalistik.
4. Teori Pemikiran Subtantialistik-Aplikatif.
Di kalangan akademis, pemikiran penerapan syari’at Islam
lebih cendrung kepada analisis akademis yang tidak menunjukan pro
dan kontra karena mereka tidak memihak kepada pendapat siapapun
dan pihak manapun. Pemikiran ini hanya lahir dari sudut teoritik
ajaran Islam yang bersifat dogmatis dan aplikatif. Penerapannya
diserahkan kepada umat Islam sendiri; apakah harus berdasarkan
otoritas negara atau bersifat struktural, kultural, substansial, individu,
atau kolektif. Misalnya komentar Juhaya S. Praja, Guru Besar Hukum
Islam IAIN Sunan Gunung Jati Bandung, atas wacana bagaimana
menjadikan hukum Islam sebagai penunjang pembangunan dalam
kerangka sistem hukum Pancasila. Menurutnya, walaupun dalam
praktik tidak lagi berperan secara penuh dan menyeluruh, hukum Islam
masih memiliki arti besar bagi kehidupan para pemeluknya. Setidak-
tidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan hukum Islam masih
memiliki peran besar dalam kehidupan bangsa. Pertama, hukum Islam
telah turut serta menciptakan tata nilai yang mengatur kehidupan umat
Islam, minimal menetapkan apa yang harus dianggap baik dan buruk;
apa yang menjadi perintah, anjuran, perkenaan, dan larangan agama.

9
Kedua, banyak putusan hukum dan yurisprudensial dari hukum Islam
telah diserap menjadi hukum positif yang berlaku. Ketiga, adanya
golongan yang masih memiliki aspirasi teokratis di kalangan umat
Islam dari berbagai negeri sehingga penerapan hukum Islam secara
penuh masih menjadi slogan perjuangan yang masih mempunyai daya
tarik cukup besar.
Muhammad Daud Ali, Guru Besar Hukum Islam UI,
menjelaskan bahwa hukum Islam yang berlaku di Indonesia ada dua
macam, yaitu secara normatif dan formal yuridis. Hukum Islam yang
berlaku secara nomatif adalah bagian hukum Islam yang mempunyai
sanksi kemasyarakatan apabila norma-norma itu dilanggar. Kuat
tidaknya sanksi kemasyarakatan tergantung pada kuat lemahnya
kesadaran umat Islam akan norma-norma normatif itu. Hukum Islam
yang bersifat normatif antara lain salat, puasa, zakat, dan haji.
Menurut pendapatnya, hampir semua hukum Islam yang mengatur
hubungan manusia dengan Tuhan bersifat normatif. dipatuhi tidaknya
hukum Islam yang berlaku scara normatif itu tergantung dari
kesadaran imannya.
Berkaitan dengan hukum Islam yang berlaku secara formal-
yuridis, Daud Ali berkomentar bahwa hukum Islam yang mengatur
hubungan manusia dengan manusia lainnya dan benda dengan
masyarakat. Di dalam proses peralihannya menjadi hukum positif
harus berdasarkan atau ditunjuk oleh peraturan dan perundang-
undangan, misalnya hukum perkawinan, hukum kewarisan, dan hukum
wakaf yang telah dikompilasikan.
b. Strategi Legislasi Hukum Islam dalam Hukum Nasional.
Hukum Islam memiliki cakupan lebih luas dari pada hukum
nasional, maka sebagian ketentuannya tidak membutuhkan kekuasaan
negara untuk penegakkannya. Hal ini bergantung pada situasi dan
kondisi. Dengan demikian, tidak semua ketentuan hukum islam perlu

10
dilegislasikan. Ketentuan hukum islam yang perlu dilegislasi adalah
ketentuan hukum yang memiliki kategori :
1. Penegakannya memerlukan bantuan kekuasaan negara.
2. Berkorelasi dengan ketertiban umum.

Kekuasaan negara yang diperlukan untuk penegakan hukum islam


adalah kekuasaan peradilan, misalnya dalam kasus perceraian,
pewarisan, dan kekuasaan administrative (misalnya : pencatatan
perkawinan dan pencatatan wakaf).

Untuk strategi dan upaya integrasi hukum islam bagi


pembinaan hukum nasioanal, tergantung pada tiga komponen sebagai
berikut :

1. Komponen Struktur
Struktur politik Indonesia yang di dalamnya terdapat mayoritas
penganut Islam harus memiliki komitmen terhadap keberadaan
(eksistensi) dan keefektifan berlakunya hukum Islam di Indonesia.
Artinya pemahaman keagamaan tidak hanya berdasarkan teks-teks
formal, tetapi juga melihat kondisi sosio-kultural masyarakat bangsa
Indonesia serta filosofi ajaran Islam itu sendiri, yakni untuk
kemaslahatan, keadilan, dan rahmat bagi umat manusia. Kondisi
masyarakat yang perlu diperhatikan adalah kemajemukan, baik dari
segi agama maupun tingkat penghayatan keagamaan, sementara
tingkat pendidikan dan ekonomi masyarakat secara umum masih
rendah. Tentu produk dari penafsiran seperti ini suatu saat bisa
berubah jika kondisi sosio-kultural itu mengalami perubahan.
2. Komponen Subtansi

Subtansi hukum Islam yang diangkat ke dalam hukum nasional


perlu pengkajian lebih mendalam. Pengkajian inipun tidak mudah,
karena luasnya cakupan (materi) hukum Islam yang dikaji. Karena
itu, sebelum mengkaji bidang-bidang hukum tertentu, perlu

11
pengkategorian hukum Islam mana yang bisa bertranformasi ke dalam
hukum nasional. Pengkajian subtansi diarahkan pada aspek
dinamikanya dalam rangka beradaptasi dengan hukum nasional yang
di dalamnya unsur kebhinekaan. Subtansi hukum Islam yang dinilai
kaku oleh sebagaian kalangan, bahkan mungkin menakutkan karena
sikap absolut pemeluknya, perlu dikaji lebih serius agar lebih bersifat
terbuka dan kontekstual, dalam arti terbuka bagi penafsiran baru yang
lebih sesuai dengan konteks sosial keindonesiaan dan kekinian,
sehingga hukum Islam akan integrated dalam hukum nasional bukan
separated.

3. Komponen Kultur
Berfungsinya hukum Islam secara efektif dalam masyarakat
harus melalui proses pelembagaan (institusionalization), agar hukum
Islam menjadi bagian darisuatu lembaga sosial. Pelembagaan yakni
suatu proses ketika norma-norma hukum Islam dapat diketahui,
dipahami, dinilai, dihargai, dijiwai dan ditaati oleh sebagian besar
masyarakat. Masyarakat akan menghargai dan mentaati hukum Islam,
apabila hukum tersebut benar-benar menjamin kemaslahatan hidup
mereka di dunia dan di akhirat, ketentraman, kedamaian, dan
kesejahteraan lahir dan batin, baik secara individu maupun sosial. 26
Dengan kata lain, hukum Islam harus mampu memfasilitasi manusia
dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Sosok hukum
Islam seperti ini juga sangat ditentukan oleh ”subtansinya,” karena itu
untuk dapat memperoleh dukungan kultur, maka subtansinya perlu
dibenahi lebih dahukultur
D. Wacana Legislasi Hukum Islam: Pro dan Kontra
Legislasi hukum Islam jarang dibahas oleh ulama klasik. Mereka
melihat legislasi sebagai penyempitan kebenaran hukum, karena ia
mendorong penguasa untuk memilih satu madzhab dan mengabaikan
madzhab yang lain. Padahal, madzhab yang diabaikan ini juga dalam
kebenaran hukum, bukan madzhab yang sesat. Bagi ulama klasik, seorang

12
hakim harus memiliki wawasan yang luas tentang madzhab-madzhab
hukum, tanpa mengunggulkan madzhab yang satu dan merendahkan
madzhab yang lain. Pengambilan keputusan hukum oleh hakim ini telah
dilaksanakan umat Islam, sejak zaman Nabi saw, masa sahabat, dan masa-
masa Dinasti Umayyah maupun ‘Abbasiyah.
Menurut Imam Abu Hanifah, wewenang seorang hakim dibatasi
oleh waktu, tempat, dan kondisi masyarakat yang tertentu. Karenanya,
hakim tidak bisa memaksakan hukum Islam yang relevan di suatu
masyarakat untuk masyarakat yang lain. Setidaknya, keputusan hakim
untuk kasus tertentu di suatu masyarakat tertentu bisa menjadi rujukan
hukum untuk kasus yang sama dalam masyarakat yang sama pula. Selain
itu, menurut Abu Hanifah, hakim adalah wakil dari penguasa, sehingga ia
harus mengikuti madzhab yang ditentukan oleh penguasa. Pendapat Abu
Hanifah tersebut bisa dijadikan dasar untuk memberlakukan legislasi
hukum Islam.
Hingga saat ini tidak semua ulama kontemporer yang sepakat
dengan legislasi hukum Islam. Syaikh Shalih bin Ghashun, Abdul Majid
bin Hasan, Abdullah bin Mani’, Abdullah Khayyath, Rasyid bin Khunain,
Musthafa al-Zarqa, Muhammad Abu Zahrah, Ali al-Khafif, Yusuf al-
Qardhawi, dan Wahbah al-Zuhaili adalah di antara ulama yang mendukung
legislasi hukum Islam. Sementara itu, Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid,
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman
al-Jabirin, Abdurrahman bi Abdullah al-Ajlan, Syaikh Abdullah bin
Muhammad al-Ghunaiman, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah ar-Rajihi –
hampir semua ulama Wahabi- adalah di antara ulama-ulama yang menolak
legislasi hukum Islam.
Penolak legislasi hukum Islam memberikan beberapa argumentasi.
Pertama, surat al-Maidah ayat 42:”Dan jika kau memutuskan perkara di
antara mereka,maka putuskan dengan adil (al-qisth). Sesungguhnya,
ALLAH mencimtai orang-orang yang berbuat adil” memerintahkan hakim
untuk memberi keputusan yang adil. Keadilan ini ditentukan oleh

13
kebebasan hakim, bukan dibatasi oleh undang-undang. Kedua, hakim
harus taat kepada hukum Allah SWT dibanding undang-undnag buatan
manusia. Ketiga, tidak ada sejarah Islam awal yang menerapkan legislasi.
Keempat, legislasi merubah perbedaan pendapat yang telah menjadi tradisi
ulama dulu. Kelima, legislasi memungkinkan adanya pasal yang
bertentangan.
Pihak yang menerima legislasi hukum juga memberikan beberapa
argumentasinya. Pertama, surat an-Nisa’ ayat 59: “Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara
kamu....” memerintahkan untuk patuh kepada pemerintah selama tidak
untuk kemaksiatan. Kedua, kebijakan Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan untuk
menetapkan Mushaf ‘Utsmani saja dan membakar mushaf yang lain adalah
bukti penyatuan keputusan yang menjadi ciri dari legislasi. Ketiga,
pembuatan undang-undang dilaksanakan oleh para pakar studi hukum
Islam dengan memperhatikan al-Qur’an dan Sunnag Nabi saw serta
mempertimbangkan kemashlahatan umat. Keempat, legislasi membuahkan
kepastian hukum, sedangkan perbedaan pendapat menunjukkan
ketidakpastian hukum. Kelima, kemampuan hakim sangat terbatas serta
berbeda satu sama lain. Karenanya, legislasi dapat mempermudah hakim
dalam memutuskan perkara serta mampu menyamakan hasil keputusan
untuk kasus yang sama meski hekimnya berbeda.
Dengan membandingkan kedua argumentasi di atas, ternyata
argumentasi dari pendukung legislasi sesuai dengan perkembangan zaman
modern saat ini. Di antara ciri negara modern adalah demokratisasi.
E. Syariat Islam dalam Legalisme Yuridis
a) Formalisasi syariat islam tentang perkawinan
Sejak proklamasi kemerdekaan indonesia pada tanggal 17 augustus 1945,
indonesia mewarisi sistem hukum yang ditinggalkan belanda. Karena itu,
keinginan untuk mereformasi hukum-hukum peninggalan belanda muncul.
Keluarnya kompilasi hukum islam (KHI) dengan instruksi presiden nomor

14
1 tahun 1991 , sebagai hasil ijtihad bersama mengandung beberapa
hikmah, diantaranya :
1. Memposisikan hukum islam, khususnya di bidang hukum keluarga yang
berlaku di lingkungan peradilan agama. Dengan demikian, KHI dapat
memenuhi kebutuhan masyarakat muslim indonesia sebagai pencari
keadilan.
2. KHI dapat mempercepat arus al-taqrībī bayna al-ummah. KHI diharapkan
menjadi media untuk memperkecil khilāfīyah yang telah dialami oleh umat
islam di indonesia dalam waktu yang cukup lama, minimal membuat
kesatuan dan kesamaan paham di bidang hukum perkawinan, kewarisan,
hibah wasiat, dan wakaf.
3. KHI menjamin tercapainya kesatuan dan kepastian hukum.
4. KHI merupakan langkah awal sasaran antara untuk mewujudkan
kodifikasi dan unifikasi hukum nasional yang berlaku untuk warga
masyarakat. Agar ketentuan hukum yang terdapat dalam kompilasi dapat
diangkat menjadi bahan hukum nasional di masa yang akan datang.
5. KHI merupakan satu wujud konkret dari hasil ijtihad bersama (jamā’i) ,
diantara umat islam yang ada di berbagai lapisan , khususnya Mahkamah
agung, departemen agama, ulama, kiai, dan cendikiawan.
6. KHI mempertegas bentuk sosiologis unity and variety (kesatuan dan
keberagaman) dalam hukum di bidang akidah, islam adalah satu (unity).
b) Formalisasi syariat islam tentang waris
Kewarisan masuk dalam pengadilan pada masa itu (tahun 1882)
tampaknya mengikuti teori receptie in complexu yang berarti menerima
ajaran agama islam secara menyeluruh.
Teori receptie in complexo ditentang oleh Van Vollehhoven dan
Snouck Hurgronje dengan memunculkan teori receptie yang isinya bahwa
hukum islam bisa diterapkan jika tidak bertentangan dengan hukum adat.
Hukum kewarisan Islam diberlakukan karena bertentangan dengan hukum
adat3.

3
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), 141

15
Ditetapkannya teori receptie mengakibatkan kemandegan hukum
islam. Pada masa sebelumnya pemerintah kolonial belanda tidak
menghiraukan hukum adat, kemudian mereka melakukan upaya sistematis
untuk mengganti hukum islam dengan hukum adat. Hal itu ditandai
dengan penggantian nama undang- undang dasar belanda dari regeerings
reglement (RR) menjadi ibdisce staaatsregeling (IS) tahun 1919. Teori
receptie ditolak oleh hazairin. Undang-undang nomor 3 tahun 2006
tentang perubahan atas undang-undang nomor 7 tahun 1989 mengenai
perkara waris dalam penjelasan umum undang-undang nomor 7 tahun
1989 yang menyebutkan “para pihak sebelum berperkara dapat
mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam
pembagian warisan” dinyatakan hangus. Rumusan tersebut
mendeskripsikan bahwa opsi bagi umat islam dalam menyelesaikan
perkara waris tidak diperjenankan dan diputus oleh pengadilan agama.
c) Formalisme syariat islam tentang wakaf
Kata wakaf adalah mencegah atau menahan. Keluarnya undang-
undang nomor 41 tahun 2004, berbagai hal penting tentang pengembangan
wakaf dapat dioptimalkan, terutama tentang masalah nazir, harta benda
yang diwakafkan (mawqūf bih), peruntukan harta wakaf (mawqūf’alayh),
serta perlunya dibentuk badan wakaf indonesia dan juga tentang wakaf
tunai dan produktif. Dalam undang-undang ini, benda wakaf tidak hanya
benda tidak bergerak tetapi termasuk benda bergerak seperti, uang, logam
mulia, surat berharga, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual, hak sewa,
dan lain lain sesuai dengan ketentuan syariat islam dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku

Sebagai implementasi terhadap undang-undang nomor 41 tahun 2004,


pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah nomor 42 tahun 2006
tentang pelaksanaan undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf.
Pengaturan ini adalah upaya penyederhanaan agar mudah dipahami oleh
berbagai kalangan dan menghindari perbedaan penafsiran.

16
d) Formalisme syariat islam tentang zakat
Zakat adalah ibadah māliyah ijtimā’iyah dan merupakan salah satu
rukun islam yang mempunyai status dan fungsi yang penting dalam syariat
islam, sehingga al-qur’ān menegaskan kewajiban zakat bersama dengan
kewajiban salat di 82 tempat4.
Untuk menjamin pengelolaan zakat sebagai amanah agama, dalam
undang-undang ditentukan adanya unsur pertimbangan dan unsur undang-
undang pengawas yang terdiri atas ulama, kaum cendikia, masyarakat dan
pemerintah serta adanya sanksi hukum terhadap pengelola. Dengan
dibentuknya undang-undang tentang pengelolaan zakat diharapkan dapat
meningkatkan kesadaran muzakkī untuk menunaikan kewajiban zakat
dalam rangka mensucikan diri terhadap harta yang dimiliki, mengangkat
derajat mustahiq, dan meningkatkan keprofesionalan pengelola zakat, yang
semuanya untuk mendapatkan rida allah.
e) Formalisme syariat islam tentang ekonomi
Berdirinya bank muamalat indonesia (BMI) yang diikuti berdirinya
bank perkreditan rakyat (BPR) islam merupakam angin segar bagi umat
islam, karena membuka peluang untuk bermuamalat, khususnya melalui
perbankan secara islami.
Salah satu yang menjadi dasar pemikiran berdirinya BMI adalah bahwa
meningkatnya pembangunan di sektor agama akan meningkatkan
kesadaran umat islam untuk melaksanakan nilai-nilai dan ajaran agama.
Praktik keuangan syariah memerlukan panduan hukum islam guna
mengawal pelaku ekonomi sesuai dengan tuntutan syariat islam. Dalam
hal ini, MUI sebagai payung dari lembaga lembaga organisasi keagamaan
islam di indonesia menganggap perlu dibentuknya satu badan dewan
syariah yang bersifat nasional dan membawahi seluruh lembaga keuangan,
termasuk di dalamnya bank bank syariah. Dewan syariah tersebut disebut
dewan syariah nasional majlis ulama indonesia (DSN -MUI).

4
Masifuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah (Jakarta: PT Toko Gunung Agung, 1994), 225. Lihat Sayyid
Saabiq, Fiqh al-Sunnah, vol. 1 9Libanon: Daar al-Fikr, 19820, 276

17
Perkembangan ekonomi syariah secara dinamis terus berjalan. Untuk itu,
fatwa-fatwa DSN-MUI yang berkaitan dengan ekonomi syariah tetap
muncul untuk merespons perkembangan ekonomi syariah, terutama
perkembangan perbankan syariah sesuai kebutuhan masyarakat.
f) Formalisme syariat islam tentang haji
Era sebelum reformasi, cara penyelenggaraan ibadah haji
dilaksanakan secara tradisional dan belum computerized. Orang bebas
melaksanakan ibadah haji lebih dari satu kali dan menjamurnya biro-biro
haji di luar ketentuan pemerintah yang terkadang berdampak negatif.
Setelah dikeluarkannya undang-undang nomor 17 tahum 1999 tentang
penyelenggaraan haji, beberapa ketentuan diatur, diantaranya adalah cara
pendaftaran, pembinaan dsb . Ketegasan sanksi itu dituangkan dalam pasal
27 dan 28 undang-undang tersebut.

18

Anda mungkin juga menyukai