Anda di halaman 1dari 36

Bab II

kejahatan Struktural, Kekersan Terlembaga, dan Hasrat


Mimesis
Kejahatan yang menjadi akibat lansung kekuasaan politik kekuasaan ialah
kejahatan struktural. Pemahaman kejahatan struktural tidak dipisahkan dari tindakan
moral, ada tiga dimensi tindakan yang harus di perhitungkan agar masuk dalam
kategori moral. Namun kejahatan struktural tidak bias di reduksi ke masalah etika
individual, ia masuk ke dalam bidang etika sosial. Kekhasan etika sosial berasal dari
keterputusan epistemologi abad XIX, ketika yang sosial di pahami bukan hanya
sebagai kumpulan individu-individu, melainkan mempunyai hakikat khas. Dengan
kekhasan etika sosial yang mengacu ke tindakan kolektif dan struktur-struktur sosial
seakan-akan ada determinisme. Lalu muncul masalah tangung jawab karena adanya
otonomisasi tindakan.
strukur yang mendukung kekerasan itu seakan memberi peluang bagi alibi
tangung jawab. Terlalu berat sebelah bila hanya menekankan struktur kejahatan
yang merupakan faktor dari luar, refleksi ini perlu menjelaskan factor interaksi
pelaku yang membentuk struktur kekerasan. Maka pemahaman hasrat mimetis
pelaku dari perspektif Rene Girad akan melengkapi refleksi ini.
2.1. Tiga dimensi tindakan manusia, kejahatan struktural dan etika
sosial
Dalam etika individual, masalah kejahatan bisasanya dikaitkan dengan
keputusan atau tindakan seseorang. Kejahatan atau atau keutamaan di tentukan oleh
tiga dimensi tindakan manusia, pertama, yang terkait dengan diri subyek pelaku
yaitu masalah kehendak baik dan/jahat, masalah kebebasan dan masalah
pengetahuan tindakan dikatan bias di pertangungjawabkan secara moral bila secara
sadar di kehendaki dan secara bebas dilakukan. Jadi, melibatkan kehendak dan
pengetahuan subyek. Kehendak di defenisikan oleh obyeknya.
Kedua, masalah konteks atau situasi, yaitu masalah tempat maupun waktu,
termasuk konteks komunita; konteks tindakan dilihat dari tiga dimensi waktu : yang
lalu, sekarang, dan yang akan datang. Tindakan yang di lakukan di masa lalu harus
di tangung meskipun sekarang pelaku tidak menghendakinya. Dalam perspektif
moral, pelaku di anggap menginginkan tindakan itu in causa (dalam penyebabnya).
Ketiga, adalah masalah tujuan, hasil, risiko, atau konsokuensi. Dimensi ketiga
ini sangat terkait dengan teleologi (finalitas). Dalam tindakan ada tujuan yang di
kehendaki, bias di ramalkan hasilnya. Masalahnya dalam tindakan sering akibat atau
konsokuensinya tidak bias diramalkan atau malahan berlawanan dengan yang
dikehendaki. Ini bias terjadi karena proses otonomisasi tindakan: tindakan terlepas
dari maksud awal pelaku dan mempunyai dinamika tersendiri. Hal ini sering dilihat
sebagai awal terbentiknya struktur kejahatan.
Masalahnya menjadi berbeda ketika ketika kejahatan di lihat tidak hanya
sebagai tindakan orang perseorangan, tetapi adanya eksterioritas kejahatan atau
factor luar dir manusia misalnya kejahatan struktural. Struktur dipahami pertama,
sebagai aturan-aturan dan sumber daya yang berperan di dalam reproduksi system-
sistem sosial; dan kedua, struktur diangap sebagai yang mengacu ke bentuk-bentuk
yang terinstitusionalisasi dalam msyarakat. Gidens mengatakan bahwa analisa
prinsip-prinsip struktural mengacu ke bentuk-bentuk diferensiasi dan artikulasi
institusi-institusi dalam bentang waktu dan tempat tertentu.
Tiga dimensi strukturasi yang dominan di dalam dominan di dalam
masyarakat ialah pemaknaan, dominasi, dan legitimasi. Maka, kejahatan struktural
harus dilihat dari kacamata-kacamat strukturasi tersebut, terutama terutama dari
dominasi dan pencarian legitimasi. Interaksi kekuasaan yang akan menghasilkan
sesuatu dominasi yang sangat dipengaruhi oleh fasilitas yang ada (ekonomi, budaya,
politik, dan idielogi). Penyalahgunaan norma untuk kepentingan tertentu akan
menghasilkan kejahatan yang bersifat struktural.
Pemikiran gidedens itu membantu menunjukan factor-faktor yang berperan
dalam kejahatan ini. Pertama, kejahatan struktural dipahami sebagai kejahatan moral
dan bias melawan hukum yang merupakan akibat dari baik kejahatan pribadi
maupun kolektif yang menghasilkan struktur-struktur yang yang mengondisikan
tindakan dan prilaku individu/kolektivitas yang mengarah ke kejahatan; kedua ia
dimengerti sebagai keseluruhan factor negatif yang terdapat dalam intitusi-institusi
masyarakat itu sendiri dan bekerja melawan keadilan dan kesejahteraan umum.
Bentuk kejahatan itu tidak hanya menyangkut masalah etika individual, tetapi
mnjadi objek etika sosial. Mengapa, supaya bisa menempatkan permasalahan
kejahatan struktural ini dalam kerangka yang relevan perlu lebih dahulu menjelaskan
perbedaan etika individual dan etika sosial. Meskipun kejahatan struktural lebih
benyak berhubngan dengan etika sosial, masalah kualitas moral pelaku bukanya
tidak berperan . perbedaan ini tentu tidak terlepas dari perkembangan ilmu-ilmu
sosial pada abad XIX yang menandai adanya keterputusan epistemologi dalam etika
sosial.
Fakta sosial tidak bisa direduksi ke fata indifidu. Saint-simon mendefenisikan
masyarakat sebagai suatu makhluk yang sunguh-sunguh hidup atau mesin sunguh-
sunguh yang terorganisir; bahkan aguste comte meyankinkan bahwa masyarakat itu
ada tidak tergantung pada individu dan bahkan mendahului individu.
Nasib manusia tidak bisa di pisahkan dari struktur-struktur sosial, meskipun
tidak bisa direduksi kedalam struktur-struktur itu. Pemahaman baru tentang sosial
ini membuka ckrawala baru dalam etika sosial.
Etika sosial berbeda dengan etika individu: pertama, objek etika sosial adalah
hukum, politik, strategi dan praktik-praktik kelompok komunitas dan institusi sosial.
Jadi bukan lagi hanya masalah prilaku individu-individu di dalam masyarakat; etika
sosial terkait dengan struktur-struktur sosial dan tindakan kolektif. Oleh karena itu,
hubungan antara visi dan tindakan tidak langsung, harus melalui mediasi. Mediasi
ini berupa nilai-nilai, makna dan symbol-simbol. Perspektif ini secara epistemologis
ada semacam keterputusan dengan pemahaman etika sosial sebelum abad ke XIX
karena mengandaikan pengetahuan sosiologis akan realitas sosial.
Berbicara kejaharan struktural berarti masuk dalam permasalahan
permsalahan etika sosial dan pemahaman akan struktur itu sendiri sendiri.
Kejahatan struktural menjadi semacam praktik sosial yang berulang dan
terpola yang mengkondisikan mereka yang ada di dalamnya. Kedudukan pelaku
didalam kontelasi sosial politik sangat berpengaruh terhadap keberadaan atau
pelanggengan struktur-struktur kejahatan. Jadi kejahatan individu dan kolektif
melahirkan, memperkuat, dan membuat struktur itu sulit dihancurkan.
2.2. Awal pemahaman kejahatan struktural
Baru pada abad ke XIX masalah kejahatan struktural dalam arti ketidakadilan
struktural disadari sebagi masalah yang tidak bisa di pecahkan hanya dengan
pendekatan individual. Seorang pemikir sosial utopis seperti saint-simon melihat
perubahan struktual menjadi syarat untuk memberantas kejahatan struktural
penyebab kemiskinan. Hubungan-hubungan dalam masyarakat harus diubah secara
radikal: antarapemerintah dan yang di perintah, antara pemalas/parasite dan pekerja.
Masyarakat dipahaminya sebagai sebagai kesatuan manusia yang menyediakan diri
untuk pekerjaan yang berguna. Defenisi ini sudah mengandung proyek organisasi
sosial yang dicita-citakannya. Sebuah sitem idustri dibangun untuk menghadapi
kesengsaraan, kemalasan, dan ketiktahuan yang merupakan penyebab pokok
kemiskinan. Dalam isndustri terdapat kekuatan-kekuatan rill masyarakat.
Kekuatan ril itu ada pada diri seniman, pakar, dan kaum industrial. Kelas
industrial yang menghasilkan produk yang berguna bagi masyarakat merupakan
kelas pemberi makan.
Gagasan pokok upaya ini ialah bahwa masyarakat memproduksi diri melalui
Upaya baik individual maupun kolektif, dan melalui tindakan yang mengubah alam
dengan mengatasi struktur yang ada. Gagasan ini mengaris bawahi pentingnya
ekonomi bahkan politik diatur oleh ekonomi: politik tidak lain adalah ilmu produksi
yang objeknya semua yang terkait dengan produksi.
Perubahan tatanan sosial hanya mungkin melalui perubahan kepemilikan sehinga
menjadi milik seluruh masyarakat dalam aspek hubungan kebebasan dan kekayaan.
Keteraturan tercipta, karena kekacauan disebabkan oleh kelas pemalas atau parasite.
Phiere-joseph Proudhon lebih radikal lagi ketika mengatakan bahwa
kepemilikan bahwa kepemikikan pribadi adalah pencurian. Dia mengkritik sistem
kepemilikan pribadi sebagai sumber ketidakadilan karena memungkinkan orang
yang tak bekerja mendapatkan penghasilan. Ini merupakan kontradiksi sosial dan
sumber kejahatan. Proudhon mengusulkan revolusi sosial akan dapat membuahkan
prinsip-prinsip baru untuk mengatur masyarakat.
Analisa tentang revolusi tahun 1848 yang mengantarkannya pada gagasan
bagaimana perubahan sosial bisa terjadi: demian reformasi pemerintahan parlemen
menuntut perubahan pemilihan umum; perubahan pemilihan umum mengandaikan
perubahan UUD; perubahan UUD akan membawa pada penghapusan sistem
kerajaan. Perubahan terkhir ini sama saja dengan revolusi sosial.
Sebagai ganti dari sentralisasi matrealis dan sangat menyita kekuasaan public
harus diciptkan setralisasi intelektual dan liberal yang berasal dan kekuatan-
kekuatan ekonomi.
Ferdinand Laselle pemikir sosial yang di jerman menjadi rival karl marx pada
tahun 1860-an. Perdebatan antara kedua pemikir ini tidak terbatas pada doktrin
ekonomi analisa situasi kaum ploretar-, tetapi sampai pada masalah strategi politik
dan konsepsi Negara. Laselle sangat prihatin terhadap nasib kaum buruh yang hanya
hidup didalam substansi. Menurutnya penyebab utama kemiskinan buruh adalah
iron law” upah buruh. Jalan pemecahan yang di tawarkan oleh lassalle ada dalam
surat terbuka (1863) yang kemudian menjadi landasan pendirian asosiasi buruh di
jerman.
Maka lassalle mengusulkan agar buruh menjadi majikannya sendiri dengan
mengorganisir diri dalam asosiasi sukarela dan menghilangkan pembedaan antara
upah dan keuntungan sehingga produksi mengantikan upah kerja.
Apa yang ingin digarisbawahi dari ketiga pendekatan pemikiran sosial ini
ialah kemampuan mereka untuk menangkap dari mana bisa di mulai suatu perubahan
struktural. Dalam gagasan-gagasan tersebut di atas struktur ekonomi, sosial atau
politik tertentu menjadi penyebab ketidakadilan dan kejahatan.
2.3. Kejahatan struktural dan otonomisasi tindakan
Struktur-struktur itu hanya bisa diciptakan, dilangengkan, dan diubah oleh
pelaku-pelaku sosial; sebaliknya pelaku-pelaku sosial kendati dikatan bebas, di
kosndisikan oleh struktur-struktur tersebut. Semakin banyak orang mampu
mengambil jarak, memberi makna atau nilai terhadap tindakan, dan kritis terhadap
apa yang di lakukan, semakin terbuka kemungkinan perubahan struktural:
membongkar kejahatan struktural dan menekan ketidakadilan.
Struktur-struktur sosial merupakan buah aktivitas kolektivitas manusia dan
bisa menjadi mandiri terhadapnya seperti dikatakan roger mehl: struktur sosial selalu
merupakan hasil aktivitas kolektif, meskipun tidak bisa dikatakan sebagai buah
ciptaan yang di sengajah. Pada umumnya, struktur-struktur itu merwujud tampa
kesadaran para pelakunya meskipun mereka bekerja dalam pembentukan struktur-
struktur itu.
Ambigus pembentukan dan pelangaran struktural sosial ini bisa dijelaskan
dengan dua cara yang sebetulnya saling terkait: pertama melalui mekanisme menjadi
otonomya suatu tindakan atau institusi, artinya pemisahan terhadap maksud pelaku
atau pengarang. Isntitusi sebagi karya suatu masyarakat memisahkan diri dari
masyarakat dan berkembang sesuai dengan dinamikannya sendiri.
Ambiguitas itu merupakan permasalahan tindakan dimana penanda
memisahkan diri dari yang ditandai , artinya sudah tidak ada situasi bersama antara
pelaku dan penafsir tindakan tersebut. Dengan kata lain pemaknaan dan maksud
masyarakat tidak bertemu lagi karena pelaku hadir dalam tindakan.
Dalam kasus pertama, sangat sulit melokalisir peran tangung jawab seorang
bertitik tolak dari inskripsi sosial, atau melacak peran dan tanggung jawabnya (kasus
pembunuhan besar-besaran terhadap angota PKI, kasus trisakti, Mei 1998,
penculikan aktivis, dan sebagainya). Mungkin sulit dibuktikan dari sudut pandang
hokum positif, meskipun dari sudut pandang moral bisa di tuntut tangung jawabnya
melalui cara pendekatan dari dimensi tindakan manusia atas dasar konteks yang
disebut keterlibatan in causa dan pada tingkat yang lebih ringan keterlibatan bisa
dalam bentuk connivance. Sedangkan dalam kasus kedua, tanggung jawab pelaku
sulit di tentukan karena adanya jarak antara maksud pelaku dan pemaknaan tindakan.
Struktur-struktur sosial mempunyai makna etis. Struktur-struktur itu
mempunyai makna etis. Struktur-struktur itu merupakan karya manusia yang tidak
indiferen terhadap nasib manusia. Dimensi moral berhadapan dengan struktur-
struktur tersebut terletak dalam cara bagaimana menerima atau mmenolak tatanan
tertentu. Menerima sistem ekonomi yang hanya mengacu akumulasi modal berarti
secara moral sudah memihak kepada yang kuat. Menerima sistem pemberian kartu
identitas dengan tanda tertentu kepada kelompok atau agama tertentu berarti
menyetujui adanya diskriminasi. Kedua hal ini dalam arti tertentu sudah merupakan
bentuk kekerasan terselubung atau bentuk kejahatan yang terlembagakan.
Kejahatan struktural mempunyai akibat yang lebih dahsyat merugikan
masyarakat karena bekerja melawan keadilan. Ketidakadilan ini cenderung
memperlemah atau menghancurkan struktur dasar masyarakat.
Kejahatan semacam ini semakin Nampak ketika masyarakat
mendefenisinakan diri melulu dari sudut pandang ekonomi. Masyarakat yang
bertarung di dalam kompetisi. Setiap orang berhadapan dengan hambatan yang
mengalanginya untuk mendapatan hasil pekerjaannya. Masyarakat semacam ini
terdiri dari kelompok-kelompok yang saling bertarung tampa ada yang menengahi.
Mereka diuntungkan oleh sistem ekonomi adalah mereka yang diuntungkan oleh
sistem ekonomi adalah mereka yang sudah memiliki modal baik modal ekonomi,
budaya, simbolis atau sosial.
Perasaan ketidakadilan muncul akibat dengan adanya perpecahan masyarakat
atas dasar kepemilikan modal tersebut dalam kelompok kelas-kelas. Perpecahan ini
melangengkan ketertutupan dan perasaan tidak aman dari setiap orang yang harus
mengadu nasib dalam mekanisme sosial keras.
Sampai penjelasan terakhir ini kejahatan struktural lebih berupa kondisi yang
menghalangi atau melawan terwujudnya keadilan, kesamaan kesempatan atau
kesejahteraan umum. Ada bentuk kejahatan struktural yang langsung merugikan
korban, yaitu kekerasan terlembaga.
2.4.Kekerasan terlembaga
Kejahatan struktural yang paling berbahaya ialah yang langsung terkait
dengan kekerasan. Dan kekerasan yang sulit di bongkar adalah ialah kekerasan
psikologi yang di pakai dalam sistem sosial politik. Bentuk kekerasan ini biasanya
secara sistematis dipraktikan oleh penguasa-penguasa totaliter untuk melawan
kelompok disiden, lawan politik melemahkan atau meniadakan oposisi, dan
mengorek informasi.
Sebagai alat, kekeraasan psikologis ini sulit untuk dipisahkan dari kekerasan
Negara atau kekerasan yang terlembagakan. Memang pertama-tama kekerasan yang
terlembagakan. Memang pertama-tama kekerasan ini leih sebagai ekes dan
penyalahgunaan. Tetapi kemudian kekerasan ini lebih dikaitkan dengan negasi
terhadap martabat manusia yang terlembagakan. Di sebut terlembagakan, karena
kekerasan ini bukan sekadar sesuatu yang terjadi secara kebetulan atau sesaat saja,
tetapi didukung oleh bangunan sistem sosial dan politik.
Dalam kebanyakan Negara-negara Dunia ketiga, kekerasan yang
dilembagakan ini memakan korban kaum oposan, orang-orang miskin yang
tersingkir, kelompok minoritas. Mereka yang yang diangap musuh oleh Negara,
akan menjadi korban kekerasan ini. Dan musuh didefenisikan oleh penguasa atas
dasar sesuai atau tidak dengan politik penguasa. Dan ini bisa direkayasa melalui
suatu antisipasi logis dari perkembangan peristiwa-peristiwa yang secara objektif
terjadi.
Kekerasan sebagai alat penghukuman bagi mereka yang melanggar kekuasaan
atau tatanan sosial telah bergeser maknanya. Kekerasan menjadi alat
mempertahankan kekuasaan. Selama kekuasaan tidak menjadi jangkauan rakyat dan
hanya dipaksakan kepada mereka, kejahatan hanya akan menumbuhkan balas
dendam dari penguasa, artinya kekerasan hanya menjadi alat penguasa. Lalu yang
terjadi adalah bahwa penyiksaan yang tidak boleh dilakukan terhadap rakyat bisa
dan digunakan terhadap kejahatan politik.
Dengan perlembagaan proses demokrasi di maksudkan bahwa semua
kekuasaan termasu semua kekuasaan untuk menghukum pelanggarab ada di tangan
rakyat.
Memang di Negara-negara berkembang, kesadaran akan HAM di antara masa
maju lebih cepat dari pada kemampuan untuk memuaskan kebutuhan ekonomi dan
material serta untuk menjamin berfungsinya mekanisme integrasi dan consensus.
Hal ini dikarenakan oleh pandangan sempit dan keserakahan dari kelas penguasa dan
egoism multinasional.
Realitas kekerasan, kemaatian dan ketidakadilan yang dilembagakan dan
pelangaran terus menerus terhadab martabat masnusiabukan hanya sekedar
gambaran tentang kelaparan, penyakit, buta huruf, dan tekanan terhadap orang
miskin. Relitas ini mrupakan penindasan yang ditumpu dengan resepsi oleh
pembela-pembela tatanan sosial yang ada berhadapan dengan upaya
mempertanyakan hak-hak istimewa kkerasan ini terkait dengan lemaga, sistem atau
struktur politik yang ada.
Harus disadari bahwa kekerasan struktural bukan berarti tampa andil dari
individu atau kelompok pelaku. Ada dialektika pelaku dan struktur. Mereka yang
berkuasa cenderung mengatasnakan hokum dan tatanan untuk memberi pebenaraan
pada tindakan kekerasan.
Korban-korban kekerasan pada gilirannya bisa didorong untuk melakukan
kekerasan Karena merasa diperlakukan tidak adil. Sasaran kekerasan mereka bisa
symbol-simbol atau representasi penguasa, bisa juga kelompok yang yang
diuntungkan atau bahkan korban-korban tak bersalah.
Orang-orang sering mengunakan istilah kekerasan struktural sebagai untuk
menunjuk dehumanisasi akibat dari struktur-struktur yang menindas yang akan
mengundang kekerasan lain, bahkan kadang-kadang kekerasan demi kekerasan itu
sendiri.
Tentusaja mereka yang menangkap pelaku tidak adil ini bisa bereaksi keras.
Reaksi ini bisa mengambil bentuk kekerasan dan dendam penuh kebencian. Jadi,
kekerasan dalam konteks ini lahir dari kepahitan-kepahitan yang menumpuk karena
di kondisikan.
Kekerasan yang menindas merupakan kejahatan. Namun ekerasan yang
menindas seperti anarkisme misalnya, juga akan menciptakan kejahatan. Tidak ada
pembenaran terhadap kekerasan yang digunakan untuk melawan kekerasan.
Kekerasan akan memancing kekerasan yang lain. Kekerasan juga dapat
mengubah siapapun yang mengunakannya menjadi mirip dengan penindas. Tak
seorang pun mengunakan kekerasan akan bisa lepas tampa ternodai oleh kekerasan
itu. Apapun alsannya kekerasan tidak bisa menjadi landasan argument etika politik
karena kekerasan berasal dari argument keniscayaan bukan merupakan bukan
merupakan argument etika. Etika selalu merupakan hasil dari suatu pilihan;
sedangkan keniscayaan mengandaikan tindakan pilihan lain.
2.5. Hasrat memesis dan kemarahan
Menurut rene girad (le bouce emissaire, 1982, dan la violence et le sarce,
1972) bukan seks, tetapi kemarahan yang merukan kekuatan yang tersembunya yang
beroperasi pada diri manusia. Orang yang marah akan ngawur menghadapi apa saja
yang kebetulan di lihatnya. Kemarahan menciptakan musuh dan buta terhadap
musuh-musuhnya. Namun, manusia bisa mengambil jarak terhadap musuh dan dapat
terus menyerang kapanpun dikehendaki.
Kemarahan adalah buta, maka akan dengan mudah di tipu dan dialihkan.
Campur tangan kepentingn dari luar bisa memanipulasi kemarahan itu untuk
keuntungannya. Kemarahan akan menyesuaikan sarana apasaja atau kerja sama
macam apa saja yang akan membantu untuk melampiaskan balas dendam.
Pandangan tentang kemarahan buta ini dalam kasus pertentangan antar agama
bisakah dikaitkan dengan fungsi sosial agama. Dalam konteks ini bisakah di
terapkan hipotesa girad bahwa ritual korban dimaksudkan untuk memberi silih
terhadap kekerasan dengan proses yang diatur dengan dengan demikian dapat
menetralisir kekuatan berbahaya. Korban dipilih dari bagian kelompo yang paling
lemah (budak, anak-anak, perembpuan). Resistensi mereka dianggap paling emmah.
Jadi, semua perpecahan, permusuhan, kecemburuan, pertentangan di dalam
komunitas akan dipadamkan dengan ritual korban.
Girad mengtakan bahwa kemarahan merupakan struktur dasar hasrat manusia.
Struktur dasar ini ada karena manusa ingin mengafirmasi keberadaanya. Maka, bila
ada sesuatu yang kurang pada dirinya dan orang lain memilikinya itu menimbulkan
hasrat untuk mendapatkannya. Jadi orang lain menginformasikan kepada dirinya apa
yang harus diingini supaya bisa mencapai kepenuhan keberadaannya.
Hasrat dasarih manusia ialah mimetis (meniru). Hasrat itu beroperasi dengan
meniru keinginan orang lain terhadap suatu obyek. Dengan demikian, orang lain
menjadi perantara. Hasrat seseorang mengenali keinginan perantara antara obyek.
Lalu menginginkannya karena perantara menginginkannya. Jadi, ada dimensi
segitiga hasrat, yaitu dari subyek melalui perantara ke obyek.
Mimetis (meniru) yang telah berubah menjadi hasrat untuk memperoleh tidak
dapat dihindarkan berubah menjadi mimesis konfliktual.
Dalam perspektif ini, kekerasan ini dipahami sebagai akibat hubungan antara
hasrat dan mediator, namun mediator sudah menjadi penghambat di dalam proses
penghambat di dalam proses perkembangan persaingan mimetis itu. Dan, ironinya
ialah bahwa hasrat itu membutuhkan pesaing untuk bisa ada. Pemenuhan hasrat itu
terjadi karena di tangtang oleh keinginan pesaing untuk memperoleh obyek. Dengan
kata lain, pemenuhannya adalah tujuanny.
Hasrat pada dasarnya dalah meniru, artinya hasrat akan sesuatu itu bukan
hasrat langsung, tetapi muncul karena dijembatani melalui peniuan terhadap hasrat
orang lain akan suatu obyek. Secara eksistensial masalahnya lebih mendasar lagi.
Hasrat itu ternyata tidak hanya menginginkan apa yang diinginkan oleh pesaing,
tetapi hasrat hasrat itu adalah untuk memiliki ada orang lain. Jadi hasrat itu bersifat
metafisik karena berakar pada kekurangan diri subyek dan didasarkan pad keyakinan
bahwa perantara akan menutup kekurangan itu.
Dalam pertentangan antara agama-agama hasrat mimetis ini sangat berperan.
Kebenaran merupakan obyek yang paling diinginkan oleh stiap agama. Kebenaran
yang di klaim oleh suatu agama menumbuhkan keinginan agama lain untuk
menegaskan kebenaran hanya pada agamanya. Meskipun kebenaran yang
diwahyukan Allah itu utuh dan mutlak, namun ketika kebenaran itu sampai kepad
manusia akan dipahami oleh manusia yang menyerah dan terbatas. Kebenaran yang
mutlak itu ditafsirkan oleh manusia yang terbatas kemampuan Bahasa untuk
merumuskan pengalaman keberagaman juga terbatas.
Bab III
3.1. Dua wajah agama
Agama sering tampil dalam dua wajah yang saling bertentangan. Satu sisi,
agama merupakan tempat dimana orang-orang menemukan kedamaian, kedamaian
hidup, dan harapan yang kukuh. Di dalam agama, banyak orang yang berkelompok
menimba kekuatan dan mendapatkan topangan berhadapan dengan penderitaan,
penindasan, dan rezim totaliter. Pembelaan cenderung mengatakan bahwa agama
mengajarkan perdamaian dan menentang kekerasan, namun manusia
menyalahgunakannya untuk kepentingan pribadi atau kelompok sehingga menyulut
kekerasan.
Agama baru menjadi kongkret sejauh dihayati oleh pemeluknya. Kalau agama
menganjurkan pemelunya untuk menghormati dan menghargai sesama manusia,
kenyataan sering berbicara lain.
Sering muncul pembelaan bahwa agama bukan merupakan pemicu utama
suatu konflik. Banyak pengamat dan pemuka agama menuding kesengjangan
eonomi, pertarungan kkuasaan politik, atau kecemburuan sosial. Tetapi masalahnya
mengapa agama yang dikatakan bukan pemicu utama konflik justru mmberikan
jaminan dukungan bagi pihak yang bersengketa. Agama cukup sering bukannya
mengelakan konflik, tetapi malah memberikan landasan idielogis dan pembenaran
simbolis. Pembenaran ini bukan hanya berfungsi meringankan atau memberi alibi
tangung jawab pribadi, tetapi semakin meneguhkan tekad, mempertajam
permusuhan dan memistiskan motif pertentangan menjadi perjuangan membela
iman dan kebenaran, singkat kata demi Tuhan sendiri.
Dengan pemistisan motif tersebut, konflik berubah bentuk menjadi
perjuangan yang mempertaruhkan keberadaan manusia. Lalu menjadi lebih
irasional. Setiap kompromi akan dianggap sebagai kelemahan atau penghianatan.
Motif konflik menjadi irasional. Irasionalitas ini tercermin dalam mencampuradukan
kepentingan pribadi/kelompok dengan kehendak tuhan. Agama tidak bisa mngelak
dari tangung jawabnya, karena memcampuradukan itu adalah tanda tiadanya unsur
kritis, tidak berfungsinya perangkat kewaspadaan dan kaburnya rambu-rambu
pengaruh pemahaman atau penafsiran.
Dengan menempatkan agama sebagai suatu entitas tersendiri yang tidak bisa
salah berarti mengsingkan diri dari pemeluknya. Klaim bahwa agama selalu
mengajarkan yang baik memang benar, tetapi apakah para pemuka agama menyadari
antara ajaran (pengetahuan) dan tindakan itu masih ada jarak. Keyakinan dan ajaran
tidak otomatis menjadi sistem tindakan. Justru yang rentan terhadap kekerasan
adalah yang terakhir ini. Agama yang kongkret adalah yang di hayati oleh
pemeluknya dengan sistem ajaran, norma moral, institusi, ritus, symbol, para
pemukannya. Memahami agama secara kongret ini akan membawa pada kesadaran
akan mekanisme kekrasan.
3.2. Tiga peran agama yang rentan kekerasan
Dua wajah agama yang bertolak belakang itu menunjukan mekaisme tertentu
di dalam agama yang memang rentan terhadap kekerasan. Mekanisme ini terkait
dengan pemahaman peran agama. Tiga peran pemahaman agama yang bisa
menjelaskan kaitan antara agama dan kekerasan adalah pertama, sebagai kerangka
penafsiran religius terhadap hubungan sosial (fungsi idieologis); kedua agama
sebagai faktor identitas; dan ketiga, agama sebagai legitimasi etis hubungan sosial.
Pertama peran agama sebagai idieologi. Agama menjadi perekat suatu
masyarakat karena memberi kerangka penafsiran dalam pemaknaan hubungan-
hubungan sosial.
Masalah tatanan sosial ini menjadi peka sehingga perbedaan pendapaat yang
menjurus ke konflik akan sangat mudah dipicu terutama yang berkaitan dengan
masalah kekuasaan ketidak adilan.
Pemaknaan atau penafsiran cenderung menyembunyikan kepentingan-
kepentingan pribadi atau kelompok. Penyembunyian kepentingan ini terkait dengan
peran idieologis agama, dalam arti sebagai faktor integrasi dan pembenaran
dominasi. Keuasaan menuntut lebih dari keyakinan yang kita miliki. Untuk mengisi
kekurangannya, agama berperan sebagai sistem pembenaran dominasi.
Kedua, agama dalam perannya sebagai faktor identitas dapat didefenisikan
sebagai kepemilikan pada kelompok sosial tertentu. Ini menjadi lebih kental lagi bila
dikombinasikan dengan identitas etnis seperti aceh muslim, flores khatolik, bali
hindu, dan sebagainya. Pertentangan pribadi atau etnis bisa menyulut atau berubah
menjadi konflik antar agama. Identitas agamaini tidak bisa dilepas dari masalah haga
diri, martabat, dan kebanggaan. Ada dua hal yang sangat kuat dikhayati dalam
konteks ini, yaitu pertma, agama sebagai faktor perekat sosial dan, kedua, agama
menjadi struktur simbolis dari ingatan kolektif pemeluknya.
Oleh karena itu, identitas agama tidak bisa dilepaskan dari masalah stabilitas
dan status sosial, serta landasan keberadaan pemeluknya. Jadi, kalau, kalau identitas
agama tidak dihormati akan segera memicu konflik karena mengancam status sosial,
stabilitas, dan keberadaan pemeluknya.
Ketiga, agama menjadi legitimasi etis hubungan sosial. Berbeda dengan
agama sebagai kerangka penafsiran, peran agama yang ketiga ini bukan sakralisasi
hubungan sosial, namun suatu tatanan sosial mendapat dukungan dari agama.
Klaim bahwa bahwa nilai-nilai HAM berasal dari barat, yang sering
diidentikan dengan kristianisme, bisa memancing reaksi penolakan dari bangsa-
bangsa timur dan dari islam. Penolakan semacam ini semacam ini menjadi rentan
terhadap terhadap kekerasan karena semakin semakin menjauhkan kesepakatan
bersama dalam penentuan kriteria obyektif tindakan. Penolakan biasannya bukan
bukan pertama-tama keberatan terhadap substansi HAM itu, tetapi lebih karena
klaim bahwa nilai-nilai berasal dari agama atau budaya saya. Triumphalisme nilai
agama tertentu akan ditafsirkan sebagai bentuk martabat terhadap suatu kelompok
sosial. Penghayatan agama semacam ini cenderung menekankan simbol-simbol.
Maka, legitimasietis hubungan sosial akan mudah menyulut konflik. Kegagalan atau
keberhasilan sistem sosial tertentu akan diidentikan dengan kelompok agama
tertentu.
Bila pemahaman dan penghayatan agama yang dominan mengarah ketiga
peran tersebut tidak mengeharkan bahwa yang berkembang justru fanatisme.
Hannah arendt, filsuf politik murid hedigger, mengingatkan: kita tergoda untuk
mengubah dan menyalahgunakan agama menjadi idielogi, dan menidai usaha yang
telah kita perjuangan melawan totalitarisme dengan suatu fanatisme. Padahal,
fanatisme adalah musuh besar kebesasan.
Lahan subur fanatisme bukan pertama-tama orang bodoh yang mudah di
pengaruhi, tetapi mungkin lebih dekat dengan disebut Hannah arendt individu
masa’’ yang tak berkepribadian itu: orang yang tidak membedakan kenyataan dari
makna apa yang terjadi; orang tidak mempertanyaan lagi perbedaan antara
kebenaran dan makna wacana; orang yang terlepas dari pijakan realitas. Kelemahan
mendasar seorang fanatic ialah tidak mampu mengambil jarak terhadap keyakinan,
tidak kritis lagi terhadap keyakinan dan tindakannya. Jadi, intelektual pun rentan
terhadap fanatisme.
3.3. pengambilan jarak: kritik idieologi, pembongkaran, dan analogi
permainan
Keterbukaan banyak dibantu oleh kemampuan mengambil jarak dan kritis
terhadap keyakinannya. Kalau agama memberi peluang bagi sikap kritis tentu akan
menyumbang bagi terciptanya perdamaian. Sejarah agama-agama menuunjukan
bahwa tiadannya sikap kritis itu telah menjerumuskan pada konflik antar agama-
agama.
Penafsiran kritik agama yang dilontarkan oleh karl marx, Nietzsche, dan freud
menyumbang didalam pemurnian pemahaman agama. Kritik agama itu terbentuk di
luar proses hermeneutika, sebagai kritik idieologi, sebagai kritik atas prasangka dan
ilusi agama. Terbuka terhadap kritik ini berarti pengakuan adanya serangan dari luar,
yang mungkin bisa destruktif, tetapi kemudian diubah menjadi alat otokritik. Maka
jawaban atas kritik itu bukan apologia (membela diri), tetapi transformasi kritik
tersebut untuk pemurnian pemahaman agama. Kritik itu menjadi sarana pemurnian
diri, bukan dalam artimempertanyakan iman. Tetapi teolog sebagai fidesquarens
intellectum (iman yang mencari pendasaran rasional) ditantang mengelaborasi
konsep yang lebih memadai.
Sedangkan dengan pembongkaran, penafsir diajak untuk membongkar ilusi-
ilusi, motivasi-motivasi, tujuan-tujuan serta kepentingan pribadi atau kelompok,
serta motivasi bermanfaat untuk menghindrkan dari penyalahgunaan agama. Ilusi
yang dibangun cenderung ke pembentukan kelompok eksklusif.
Dengan cara ini, ajaran diterima atas dasa kebebasan, bukan paksaan atau
conditioning. Pembongkaran juga dilakukan untuk membuka kedok penafsiran yang
menyembunyikan kepentingan-kepentingan entah pribadi atau kelompok. Dengan
pembongkaran ini, setidak-tidaknya kepentingan yang disembunyikan itu tampil di
dalam kesadaran. Dengan demikian, masalah bisa dilokalisir agar tidak
mengatasnamakan agama.
Analogi permainan adalah juga suatu bentuk pengambilan jarak terhadap diri.
Permainan bisa membantu membuka kemungkinan-kemungkinan baru yang
terpenjara oleh pemikiran atau kehidupan yang terlalu serius dan formal. Permainan
bisa mendorong tumbuhnya kreatifitas karena melalui permainan subjek dibebaskan
dari ketakutan akan sangsi sosial.
Pertama-tama didalam imajinasi terbentuk sesuatu yang baru, bukan didalam
kehendak. Karena kemampuan untuk ditangkap oleh kemungkinan baru mendahului
kemampuan untuk memilih dan mengambil keputusan.
Relevansi pengambilan jarak yang mengambil bentuk analogi permainan
dalam hubungan antara agama, terletak didalam upaya untuk menciptakan peluang
bagi perjumpaan perjumpaan informal yang memberi ruang untuk perjumpaan
antarpribadi atau kelompok seperti olahraga, teater, musik.
Penolakan terhadap yang berbeda agama bisa datang dari kebiasaan hanya
mau bergaul dengan yang beragama sama. Kemampuan komunikasi terbatas,
paradigma pluralitas dikerdilkan.
3.4. Menerima Pluralitas: membangun dialog dan toleransi
Dalam pemahaman agama, yang menjadi masalah pokok adalah penafsiran.
Wahyu sampai kepada manusia melalui perantara, apa pun bentuknya: manusia,
Bahasa tradisi budaya. Dalam bidang penafsiran, setiap usaha pemutlakan
pandangan atau suatu monopoli kebenaran merupakan pelecehan terhadap prinsip
dan kaidah penafsiran, setiap usaha pemutlakan pandangan atau suatu monopoli
kebenaran merupakan pelecehan terhadap prinsip dan kaidah penafsiran itu sendiri.
Kekerasan yang terungkap dalam sikap doktriner, otoriter, eksklusif serta
kekerasan fisik merupakan jalang paling pendek untuk memutlakan suatu
pandangan atau penafsiran. Kekerasan bertentangan dengan hakikat agama sebagai
sumber kedamaian, terbuka terhadap penalaran terbuka untuk semua orang.
Agama-agama besar tidak menutup diri pada kelompok tertentu, etnis
tertentu, bangsa tertentu. Manusia dipandang lebih karena identitasnya yang dimiliki
pangilan ilahi.
Toleransi bukan hanya karena tuntutan realitas: demi keteraturan dan
keselarasan hidup bersama harus ada aturan main. Ini penting tetapi toleransi yang
terlalu cepat dijadikan norma atau kaidah tingkah laku cenderung menyembunyikan
kemunafikan dan mendera keyakinan umat kebanyakan. Toleransi diharapkan
sampai pada suatu pendasaran teologis yang dalam: Tuhan Yang Maha Esa menjadi
lebih kaya terungkap oleh beragamnya agama daripada hanya oleh satu agama.
Kekhasan suatu agama tidak sama dengan masalah superioritas. Kekhasan
suatu agama lalu mungkin bisa dirummuskan dalam kerangka orthopraksis: sejauh
mana suatu agama membantu menyediakan sarana-sarana pembebasan dari dosa dan
kejahatan manusia; sejauh mana agama mampu mengantar penganutnya menuju
perdamaian dengan tuhan dan sesame sehingga memihak kepada pembangunan
kemanusiaan. Kekhasan agamanya itu akan menjadi dasar pijakan yang kuat.
Keyakinan akan dasar berpijak ini memungkinkan keterbukaan terhadap ’’ karena
memberikan perangkat atau kategori untuk memahami kebenaran, juga kebenaran
yang terungkap diluar agamanya.
Emmanuel Levinas, filsuf pranis dengan indah merumuskan: hubungan tidak
menetralisasi yang lain, tetapi memelihara yang lain. Yang lain, sebagai yang
berbeda bukan menjadi obyek yang menjadi milik kita atau menjadi kita, tetapi
menarik diri dalam misterinya.
Akhirnya, uraian melalui empat tahap ini bisa menjawab pertanyaan-
pertanyaan yang menggugat peran agama di awal Makala ini jawaban bisa di ringkas
dalam tiga butir
Pertama, kita diajak untuk menyadari agama bukan suatu entitas suci yang
tak tersentuh, tetapi menjadi konkret dalam penghayatan pemeluknya. Oleh karena
itu sebagai lembaga sosial-sejarawi, agama tidak terlepas dari kepentingan dan tentu
bisa keliru. Terlebih bila pemahaman dan penghayatan agama terfokus pada tiga
perannya: fungsi idieologis, faktor identitas, dan legitimasi etis hubungan sosial.
Kedua, menafsirkan ajaran atau teks kitab suci suatu agama bukan hanya
masalah teknis atau normative, tetapi juga diukur dari buahnya, artinya apakah
penafsiran apakah penafsiran itu membawa kita pada pemahaman diri lebih baik.
Pemahaman diri yang lebih hanya mungkin bila ada proses apropriasi teks (menjadi
milik diri penafsir). Dalam proses ini di tuntut adanya pengambilan jarak (kritik
idieologi, pembongkaran, analogi permainan). Agama hanya akan mampu
menciptakan perdamaian dan menyumbang kemanusiaan bila berani melakukan
pengambilan jarak dan menerapkan secara otokritik.
Ketiga, penerimaan pluralitas tidak cukup kalau hanya atas dasar tuntutan
realitas: demi keteraturan dan keselarasan hidup bersama. Tetapi, penerimaan
pluralitas itu didasarkan atas pemahaman teologis bahwa Tuhan menjadi lebih kaya
terungkap oleh beragamnya agama daripada oleh satu tradisi agama saja.
3.5. Apa yang Tersisa dari Agama ?
Secara tidak sadar orang erring menyamakan keinginan dengan realitas. Hal
ini terlihat dari pernyataan para pemuka agama yang bersifat apologetic menghadapi
kasus-kasus kekerasan yang melanda indonesia akhir-akhir ini. Biasanya mereka
mengatakan bahwa agama menhajarkan perdamaian dan hidup baik.
Resistensi terhadap Agama Membuahkan Kemanusiaan
Ide bahwa agama menyumbang peradaban dan memajukan kemnusiaan
seakan-akan tidak dipertanyakan lagi. Orang akan membelallakan mata ketika
menilik sejarah lahirnya gagasan-gagasan yang menjadi benih-benih HAM. Justru
bentuk-bentuk resistensi terhadap agama telah berjasa melahirkan pembelaan
terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Kritisisme bagi hegel merupakan momen keterpecahan di mana dunia objektif
menjadi akhir dari kesadaran: kesadaran diri sebagai akan musuh (L’Esprit du
christianisme et son destin, 1798). Seakan –akan identitas diri ditentukan di dalam
kesadaran akan musuh. Maka, proyek filsafat harus mengarah pada kebebasan riil
dan kebahagiaan manusia.
Resistensi monumental terhadap tirani agama manusia dengan nilai-nilainya:
kebebasan, kesamaan, dan persaudaraan. Para pemikir sosial abad XIX seperti saint-
simon, Charles fourier, joseph Proudhon, Ferdinand Lasselle adalah mereka yang
membela kepentingan kaum buruh miskin tertindas dan mengkritik peran agama
yang mengabaikan atau bahkan ikut melanggengkan penderitaan mereka.
Telah berabad-abad pencitraan nilai dan makna menjadi privilese agama-
agama. Tetapi, ketika pemikiran moderen berkembang, lebih-lebih dengan semakin
diterimanya gagasan otonom moral yang dilontarkan Kant, privilese agama itu mulai
dipertnyakan. Kesadaran baru, di mana rasio memegang peran utama, mendobrak
tradisi, cara pemikiran metafisik dan semua bentuk otoritas.
Pendasaran Teologis Tidak cukup!
Semua umat manusia dilahirkan bebas dan sama dalam hak dan martabat.
Mereka dikaruniai akal budi dan hati nurani, dan harus bersikap terhadap satu sama
lain dalam semangat persaudaraan (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, 10
Desember 1948, pasal 1).
Passal 1 ini dianggap mendefinisakn dasarfilosofis HAM. Hak akan
kebebasan dan persamaan merupakan hak yang melekat pada manusia sejak lahir
dan tidak bisa dicabut darinya. Hak dan kebebasan yang diperoleh manusia ini
didasarkan pada ciri yang membedakan manusia dari makhluk lain, yaitu rasionalitas
dan moralitas. Untuk menekankan bahwa HAM itu melekat pada manusia dan tidak
diberikan melalui tatanan hokum, sejak awal modernitas tradisi HAM berbicara
tentang hak-hak kodratiah. Aliran pemikiran hokum kodrat sangat kentara
mempengaruhi perumusan landasan HAM. Penekanan ini membawa pemikiran
bahwa manusia lahir bersama hak-hak itu.
Gagasan seperti itu tidak ada maknanya kecuali dalam perspektif teologis,
karena hak-hak special diciptakan dan diberikan. Perspektif ini Nampak lebih jelas
dalam deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat yang menyebut sang pencipta
sebagai yang memberi hak-hak itu berarti juga pihak yang bisa dituntut.
Kalau dikatakan setiap orang mempunyai hak tidak sama makanya dengan
setiap orang memiliki kewajiban yang terkait dengan hak itu. Karena penilaian
dilihat dari sudut pandang yang memiliki hak tersebut. Jadi, hak tidak hanya
tergantung pada kebaikan orang lain, namun setidaknya orang dapat menuntut bagi
dirinya. Memang harus diakui bahwa konsep hak bersandar pada konsep kewajiban.
Namun dalam arti bahwa kewajiban hanya sebagai reaksi terhadap hak yang
dituntutnya. Dengan demikian yang menuntut hak bukan hanya menjadi objek dari
kewajiban saya, melainkan sebagai subjek akan hak-haknya.
Permasalahan utama tidak terletak pada pendasaran teologis hak-hak asasi
manusia, namun pada kelemahan konsep hak-hak asasi itu sendiri. Maksudnya
bahwa konsep hak asasi manusia tidak memiliki sarana yang memberi bobot pada
tuntutan untuk memperolehnya, keuali bila diterjemahkan menjadi hokum positif.
Dari sini muncul kewajiban moral untuk untuk menciptakan suatu instalasi legal
yang menjadi representasi individu-individu.dengan kata lain, hak asasi manusia
hanya dapat dimengerti sejayh ada kewajiban moral kolektif untuk
menginstitusionalisasi suatu instansi hokum.
3.6. Tuhan Menjadi Postulat: Humanisasi Transenden
Salah seorang pemikir yang menyumbang visi baru tentang manusia adalah
rousseau. Kebaharuannya terletak dalam upaya untuk mentematisasi filsafat
sehingga memungkinkan pendasaran moral di luar kerangka agama dengan melulu
mengacu ke kebebasan manusia.
Ciri khas tindakan manusia adalah kebebasan, yaitu kemampuan melepaskan
diri dari determinasi hakikatnya. Padahal, manusia mendorong untuk egois, namun
manusia bisa menjauhkan diri dari kecendrungan itu untuk bertindak tampa pamrih.
Ini merupakan ungkapan keprihatinan terhadap kepentingan umum. Mengapa?
Karena kalau manusia mengikuti kodrat kebinatangannya tidak mungkin bisa
mewujudkan kesejahteraan umum. Kebebasan telah membantu manusia
menjauhkan diri dari egoism dan mendekatkan diri kepada yang lain dengan
komunikasi dan memperhitungkan kepentingan-kepentingan mereka. Tampa adanya
kebebasan, tindakan tampa pamrih tidak ada maknanya.

Pemikiran ini bisa dilihat sebagai proses sekularisasi moral kristiani. Selain
ada unsur pelagianisme (kebebasan atau liberum arbitrium dan karya), tetapi ada
juga warisan luther. Warisan luther terungkap dalam pernyataan bahwa karya
manusia tidak mempunyai nilai moral kecuali bila diarahkan kepada tidak mencari
keuntungan.
Motif pengorbanan sebagai pemberian diri dewasa ini memang bertentangan
dengan kecendrungan umum mencari kenyamanan hidup. Tetapi bukankah motifasi
pengorbanan tetap bernilai bila itu dilakukan untuk orang-orang yang kita cintai?
Jadi, terjadi perubahan dari transendensi vertikal ke transendensi horizontal yang
terwujud dalam kemanusiaan itu sendiri. Dalam konteks ini, transenden dimengerti
sebagai eksistensial (Andre Comte-Sponville,1998, hal 242), artinya tindakan
melampaui diri dalam kehidupan nyata seperti ditampakan dalam nilai-nilai yang
lebih tinggi dari kehidupan, misalnya, pengorbanan itu. Jadi, transededen sebagai
eksterioritas atau yang melampaui dunia, dan bukan pula fenomenologis, kearah
mana kesadaran di proyeksikan.
Dengan demikian, cinta merupakan wujud paling tinggi kebenaran yang
merengut manuia, dan tak dapat dirumuskan sebagai transendensi dalam imanensi,
artinya dalam diri manusia ada yang melampauinya.
Sumbangan refleksi humanism sekular ini ialah bahwa, pertama, kemanusiaan
tidak bisa diinjak dengan mengatasnamakan yang transsenden. Cara pandangan ini
mengindarkan sikap meremehkan realitas. Menomorduakan pertimbangan realitas
biasanya menjadi sumber fanatisme. Padahal, dalam realitas itu justru merupakan
tempat terjadinya hubungan konkret antara manusia dengan makna. Dengan tercabut
dari pengalaman real, pemikiran tercabut juga dari akar etikanya. Terasing dari
realitas berarti terasing dari etika karena, yang sebetulnya terjadi, fanatisme
mengasingkan manusia dari kemanusiaan yang konkret.
Kedua, kebebasan yang memungkinkan manuia menolak hakikat egoisnya
mendekatkan manusia dengan manusia lain dalam komunikasi. Ia juga membantu
memperhitungkan kepentingan-kepentingan orang lain.
Ketiga, konsep universalitas konkret membongkar sekat-sekat
pengelompokan baik agama, maupun etnis idieologi. Konsep itu memberi kriterium
objektif dan sekaligus dapat digunakan untuk menilai sejauh mana suatu agama
otentik menjalankan misinya. Seperti dikatakan oleh hans kung: menurut suatu
kriterium etika umum suatu agama dikatakan benar dan baik bila dan sejauh agama
itu manusiawi, tidak menghilangkan dan menghancurkan kemanusian, namun
melundungi dan memajukannya. Apapun pembenarannya bila agama memakai
kebenarannya untuk merendahkan dan melecehkan martabat manusia, orang akan
mempertanyakan otentisitas agama tersebut.
3.7. Agama dan Universalitas Konkret
Kedua tuntutan itu menantang agar transeden semakin menjadi insani.
Universalitas itu menjadi konkret karena berakar karena berakar dalam partikularitas
itu menjadi konkret karena berakar didalam partikularitas masing-masing agama.
Luc ferry, filsuf politik perancis yang memberi tiga makna universalitas imperium
yang mendasari kolonisasi. Universalitas ini palsu karena sebetulnya merupakan
partikulasi eropa yang mengklaim diri sebagi tempat khas peradaban. Universalitas
ini tidak lain kecuali kedok suatu dominasi.
Kedua, universalitas kebebasan, missal deklarasi HAM. Gagasan pokoknya
adalah bahwa manusia berhak manusai berhak untuk dihormati. Ini merupakan
universalitas abstrak yang mendefenisikan prinsip-prinsip formal (moral Kantian).
Universalitas ini menetapkan syarat-syarat kemungkinan minimal kehidupan
bersama, bukan makna hidup bagi komunitas.
Ketiga, universalitas konkret. Contoh paling jelas ialah karya seni. Karya yang
berhasil ialah objek konkret yang membuat hampir semua orang menghargai atau
memujinya. Kekaguman terhadap karya seni atau monument tertentu merupakan
bentuk universalitas itu. Individualitas ini juga berlaku bagi suatu budaya, misalnya
individualitas yunan: bentuk hidup bersama yang particular, tetapi memiliki makna
bagi kemanusiaan keseluruhya. Agama-agama juga dipangil untuk menjadi individu
dalam arti itu, juga kita para pemeluknya. Undangan untuk membuat kita sebagai
karya seni berarti ambil bagian dalam kehidupan bersama manusia dan mempunyai
makna bagi semua.
3.8. visi etika religius: pengakuan akan keterbatasan
Kritik ideologi yang dilontarkan humanisme sekkular ini menantang agama-
agama untuk menawarkan kekhasan mereka. Apakah agama memperkaya etika?
Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis bertitik-tolak dari pemikiran herman cohen
(la religion dans les limites de la philosophie, CERF, paris, 1990). Jawabannnya
bukan agama memperkaya etika, namun agama menspesifikasi tindakan etika,
karena agama dalam etika menjadi penjaga kekhasan individu. Agama
menempatkan etika di dalam komunitas konkret (bukan abstrak seperti dalam
konsep kemanusiaan).
Akan tetapi, aspek konkret itu sebagai pedang bermata dua. Di satu pihak
agama menjadi perekat sosial dan menjadi struktur simbolis dari ingatan kolektif
pemeluknya. Ingatan kolektif terhadap peristiwa perwahyuan yang menjadi raison
d’etre kelompok sosial tersebut. Di lain pihak, identitas konkret agama ini bisa
menimbulkan masalah karena agama juga berperan sebagai ideologi, artinya
memberi kerangka penafsiran untuk memahami dunia dan dalam pemaknaan
hubungan-hubungan sosial. Pemaknaan atau penafsiran cenderung
menyembunyikan kepentingan-kepentingan. Penyembunyian kepentingan ini tidak
bisa dilepaskan dari upaya integrasi dan pembenaran dominasi. Apa yang ditafsirkan
dan mendapat pembenaran dari agama adalah hubungan kekuasaan.
Dalam etika religius yang indah sering tersingkir oleh focus yang baik dan
yang benar. Tetapi, bukan sama sekali diabaikan. Perhatian pada orientasi estetis
kesadaran mengundang kehati-hatian untuk tidak mengidentifikasi kesadaran estetis
dengan kesadaran religius. Yang terakhir ini menangung penderitaan individu-
individu konkret, sedangkan kesadaran estetis mau membidik tipe-tipe karena seni
tidak mengenal kepedihan pada dirinya sendiri. Seni hanya melihat wajah
buruk/indah atau materi ungkapannya. Dalam estetika, agama menampakan diri
melalui kemampuannya membangkitkan perasaan khas yang tidak dapat direduksi
menjadi perasaan estetis, tetapi berubah dalam bela rasa dan belas kasih.
Agama konkret cenderung menerima hukuman pemisihan yang mendasari
hubunganTuhan dan manusia. Pemisihan ini tampa disadari oleh para pemeluknya
ingin disatukan, yaitu ketika manusia melakukan kekerasan dengan
mengatasnamakan Tuhan.
Dari sudut pandang etika humanis sekular, kekerasan sampai pembunuhan
yang didorong oleh motivasi transenden seperti itu sama sekali tidak bisa
dibenarkan. Memang kemanusaiaan dalah konsep abstrak, tetapi kekerasan atau
pembunuhan korbannya adalah konkret. Dalam hal ini agama mengajarkan yang
baik, dalam praktik banyak kekerasan mengatasnamakan agama.
Kalau etika humanis sekular cenderung mengabaikan individu atas nama
kemanusiaan, agama menyapa subjek etika bertitik tolak dari pengalaman yang khas
yaitu pengakuan akan kedosaan. Visi etika yang melulu humanis melihat manusia
sebagai bebas dan bertangung jawab, visi yang mengandung kepercayaan diri
cenderung arogan. Sedangkan visi religius membawa kepada pengakuan diri sebagai
makhluk lemah yang dapat jatuh dan bisa bersalah.
Paul ricoeur Dalam bukunya la syimbolique du mal (simbolisme kejahatan)
menjelaskan bagaimana sulitnya menimpakan kejahatan sepenuhnya pada diri
pelaku dengan mengunakan symbol ular. Menafsirkan ular sebagai bagian dari diri
manusia berarti tidak menangkap makna simbolisme itu. Ular bukan hanya proyeksi
godaan manusia oleh dirinya sendiri.
Ungkapan dari luar mau menegaskan bahwa kejahatan memang sudah ada
sebelum manusia melakukan. Dari luar, berarti ada struktur kejahatan yang
menkondisikan manusia. Kejahatan menjadi bagian dari hubungan antarmanusia
seperti halnya bahsa lembaga kejahatan seperti diwariskan melalui tradisi sehingga
bukan haanya melalui peristiwa. Sebelum kejahatan terjadi sudah di dahului oleh
kejahatan. Jadi, kejahatan selalu mendahului dirinya sendiri. Lalu orang-orang itu
menemukannya atau meneruskan untuk melakukannya.
Struktur kejahatan itu melampaui tuntutan etika yang hanya mengandaikan
manusia sekaligus pelaku dan budak kejahatan mutlak. Tetapi manusia menjadi jahat
karena digoda. Penjelasan bahwa kejahatan sudah ada di luar manusia, mau
memberikan pembenaran bahwa manusia sering dihadapkan pada ketidak
mamupuan mengunakan kebebasannya.
Kekuatan Pengampunan: Memutus Rantai Kejahatan
Tindakan manusia pada dasarnya, menurut Hannah Arendt, mempunyai dua
kelemahan: unpredictable (tak dapat diramalkan) dan irreversible (tak bisa
dikembalikan ke titik nol). Pertama, tindakan manusia sulit di ramalkan
(unpredictable) karena, begitu suatu tindakan dilakukan, lalu terjadi otonomisasi
tindskan dalam arti beroperasi menurut dinamika sendiri lepas dari control
pelakunya. Orang bisa mempunyai maksud baik membantu membiayai sekolah
seorang anak dari keluarga miskin. Tetapi, bisa saja bantuan itu ditafsirkan sebagai
bentuk proselytisme agama karena pemberi beragama berbeda dengan anak yang
bersangkutan, lalu reaksi keras datang dari tetangga-tetangga anak tersebut terhadap
donator itu, tindakan tindakan donator itu telah menghasilkan akibat yang tak diduga
sama skali. Kalau semua tindakan bisa berakibat yang tidak bisa diramalkan orang
takut untuk melakukan sesuatu.
Kedua, kelamahan lain tindakan manusia adalah tidak bisa dikembalikan lagi
ke titik nol lagi (irreversible). Kalau orang membuat mainan mainan pesawat terbang
dari kertas, bila keliru, dengan mudah bisa dirombak dan dikoreksi tampa
meningalkan bekas yang berarti. Tetapi, kalau orang yang melakukan tindakan
tertentu, tindakan ini tidak bisa dikembalikan ke titik nol lagi. Bila orang sudah
melukai hati yang lain, orang tidak bisa mengatakan bahwa tindakan itu ditarik
kembali atau mau diulangi lagi untuk dikoreksi. Tindakan itu terlanjur meningalkan
bekas bekasnya: kepedihan hati.
Ampun atau maaf membantu mengembalikan kepada titik nol atau
rekonsiliasi. Memohon ampun atau mengampuni bukan tindakan logis. Logis, bila
orang disakiti membalas menyakiti. Logis, bila orang dirugikan menuuntut
mendapat ganti rugi. Memohon ampun atau mengampunimelampaui logika
kesalingan itu, ia berasal dari generosity (kemurahan hati). Dalam perspektif ini,
agama merupakan komonitas yang yakin pengampunan menjadi dasar upaya
memperbaruhi hidup. Apakah tampa agama hal ini tidak bisa dilakukan? Bisa, hanya
agama menjadikan pengampunan sebagai mekanisme pembaharuan diri komunitas,
dijamin oleh kolektivits agar menjadi sistem tindakan.
Bab IV
Demokrasi, Radikalisme, dan Kekerasan
Orang berharap banyak dari demokrasi. Dengan demokrasi diharapkan
keputusan-keputusan yang menentukan kehidupan kehidupan kolektif akan
mendasarkan pada pertimbangan public yang luas. Orang berharap demokrasi akan
mengurangi ketidak adilan dan membuat pengorganisasian kolektif menjadi lebih
rasional. Selain itu, deokrasi sering dianggap akan melindungi kebebasan warga
Negara dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Orang begitu percaya kepada sistem
politik ini sehingga demokrasi ini selain identic dengan kebebasan, hormat terhadap
martabat manusia, kesamaan, keadilan, keamanan dan pertumbuhan ekonomi.
Orang kecewa ketika menyaksikan dan mengalami bahwa demokrasi tidak
otomatis menghasilkan apa yang diharapkan itu, ironisnya demokrasi harus lahir
melalui konflik yang berkepanjangan: kerusuhan terjadi di mana-mana;
pertumbuhan ekonomi tidak juga menampakan batang hidungnnya, bahkan
penganguran semakin merajarela; banyak kasus dimana pertumbuhan ekonomi bisa
terwujud tampa demokrasi; tiadanya rasa aman karena kriminalitas semakin meluas
dan nekat; korupsi tidak juga mereda; angka kemiskinan semakin tinggi.
Terhadap keberatan bahwa janji retribusi kekayaan yang adil tidak terwujud
dan klaim sistem representasi tidak lain hanyalah rekayasa perlu memperhatikan
penjelasan Adam prezworski dalam msyarakat di mana konflik kepentingan sangat
mendominasi, nilai demikrasi pertama-tama tidak terletak dalam janji akan adanya
redistribusi kekayaan yang adil, tetapi terutama lebih kepada kemampuan untuk
membereskan konflik-konflik kepentingan secara damai.
Representativitas menjadi suatu mekanisme keputusan demokrasi yang tidak
jelas. Atas pernyataan ini przeworski mengemukakan dua hal: pertama, para
politikus wakil rakyat itu sangat mungkin mempunyai tujuan, kepentingan atau nilai
tersendiri. Mereka juga mengetahui sesuatu dan melakukan tindakan yang tidak
mungkin semuanya dapat diamati dan dimonitor oleh rakyat banyak; kedua, para
politikus itu tenttu ingin terpilih kembali karena dengan jabatannya itu mereka
memperoleh keuntungan bagi kepentingn mereka, namun sering tujuan mereka
berbeda dengan kepentingan rakyat yang diwakilinya.
Mekanisme politik dalam demokrasi tidak selektif dan representatif seperti
yang dijanjikan karena akhirnya hanya beberapa orang yang menjalankan kekuasaan
itu. Dalam keseharian hidup, masyarakat selalu dalam posisi di bawah belas kasih
Negara dan pasar. Kalau polotok berarti kekuasan untuk memutuskan di dalam
kehidupan kolektif, politik hanya merupakan bidang beberapa orang saja. kalau
disuruh mengindentifikasi siapa beberapa orang itu dengan mudah orang akan
menjunjuk mereka yang menguasai operasi-operasi pasar, yang menguasai seluk-
beluk dan para jendral. Mereka ini yang sbetulnya mengatur Negara. Negara terdiri
dari lembaga-lembaga yang tersentralisir. Negara mengendalikan sumber-sumber
serta serta kesetiaan baik dengan paksa maupun secara persuasive. Akhirnya hanya
segelintir orang yang memiliki akses ke lembaga-lembaga tersebut. Sedangkan pasar
diandaikan dikendalikan melalui kompetisi bebas, namun dalam kenyataan sangat
jarang ada kompetisi bebas.Janji sistem representasi yang seharusnya memperluas
pertimbangan public atau partisipasi, akhirnya kandas di serap kedua mekanisme
tersbut.
Bukan berarti demokrasi gagal, tetapi mekanisme dan proses demokrasi harus
selalu di control dan di koreksi agar aspirasi masyarakat sungguh-sungguh mendapat
mendapat tempat. Memang lebih rasional bertaruh menerapkan sistem sistem
demokrasi dari pada menentangnya. Setidaknya dalam demokrasi masih ada
kebebasan berpendapat, masih bisa berharap kepada kebebasan melawan berbagai
bentuk dominasi.
Pandangan prezworski yang mempertanyakan sistem representativitas
mendapat inspirasi dari Schumpeter dalam capitalism, socialism, and democracy
(1942). Schumpeter memodifikasi teori klasik demokrasi. Ia mempertanyakan
gagasan tentang kehendak umum dianggap sebagai inti demokrasi. Pretensi politikus
bahwa dirinya merupakan wakil pemilih harus dipisahkan dari legitimasi demokrasi.
Yang menyatakan diri wakil rakyat tidak lain kecuali yang piawai menjual gagasan.
Ia sendiri mengusulkan teori demokrasi yang mendasar pada teori neo-klasik tentang
kompetisi harga. Kedudukan politikus disamakan dengan perusahan.
Oleh karena itu, demokrasi bukan pertama-tama masalah representasi, tetapi
masalah menjual produk, dalam hal ini adalah apa yang menjadi output pemerintah.
Lalu output ini dipertukarkan dengan dukungan pemilih. Sudut pandang inin tidak
mengabaikan prinsip demokrasi karena tetap mempertahankan kompetisi kekuasaan
yang dilembagakan.
Dengan kata lain, demokrasi masih mempertahankan nilainya dengan
melembagakan kemampuan untuk membereskan konflik-konflik kepentingan secara
damai dalam kompetisi tersebut. Yang kalah mengakui kekalahanya dengan janji
akan aka nada perdamaian dan kemungkinan untuk menang di masa-masa
mendatang. Pemenang mengendalikan diri dan dituntut juga melayani mereka yang
tidak menjadi pendukungnya. Dalam konteks ini, mayoritas yang memerintah
dituntut untuk peka terhadap informasi tentang nilai, aspirasi dan kepentingan yang
harus diperhitungkan.
Demokrasi memungkinkan kekuatan-kekuatan politik yang dalam konflik
menaati hasil pemilihan. Kekerasan buan menjadi sarana, melainkan persuasi
melalui wicara.
4.1. kebebasan Berpendapat dan Kekerasan
Demokrasi diidentikan dengan kebebasan mengungkapkan pendapat. Bila
kebebasan berpendapat ini dihalngi, demokrasi sebagai sistem politik terancam.
Hipotesa ini mau mengukuhkan bahwa kebebasan berpendapat, yang berarti
kemampuan komunikasi, menjalankan fungsinya, yaitu mengantungkan kekerasan.
Di indonesia dewasa ini, kebebasan berpendapat belum menjadi sarana
utamadan eksklusif bagi tindakan politik, meskipun demokratisasi terus bergulir
intimidasi, ancaman, pengerahan masa, dan kekerasan fisik masih menjadi sarana
dominan bagi pencapaian tujuan-tujuan politik. Mungkin benar kata Machiavelli
bahwa hokum tampa pedang tidak akan ditaati, demikian pula pendapat tampa
dukungan keuatan yang menekan tidak akan didengarkan.
Kekerasan bukan hanya hanya monopoli politikus dan kelompok yang
terbiasa dengan premanisme. Ada pula kecendrungan beberapa kelompok yang
mengatasnamakan tatanan moral menghalalkan kekerasan. Dalih yang dipakai
karena aparat tidak efektif. Tidak efektifnya aparat itu dikaitkan dengan dua alasan:
pertama yaitu kurangnya personel, tempat tidak terjangkau; sedangkan alasan yang
memicu peradilan masa, kekerasan massa adalah tuduhan bahwa petugas korup,
terlibat, melindungi pelaku kejahatan.
Memang dengan memberi kebebasan berpendapat bukan berarti bahwa
lingkup public bisa dibersihkan dari tindak kekerasan. Kekerasan dalam berbagai
bentuknya tetap ada dan akan tetap terjadi bahakan didalam wicara. Memang benar
wicara merupakan alternatif terhadap kekerasan simbolis yang sering terjadi dalam
wacana.
Kalau demokrasi merupakan prinsip seharusnya segala sesuatu bentuk
wacana politik dan aliran tidak bisa dilarang. Namun, perlu ada batas-batas yang
harus ditetapkan untuk melindungi kerentanan demokrasi. Dua catatan kritis tersebut
di atas perlu dipertimbangkan.
Hampir tidak ada rezim politik, bahkan yang paling anti demokrsi, yang tidak
memoles diri sebagai rezim demokrasi. Dari sejarah orang dapat belajar bahwa
demokrasi bukan sistem politik instan, yang akan terwujud begitu dikehendaki.
Dunia barat sejak awal mengenal demokrasi mengalami kemunduran berulang kali
dalam upaya menerapkannya. Setelah enam abad demokrasi, di yunani, kemudian di
roma, kemunduran terjadi silih berganti dalam bentuk kekaisaran.
Sebetulnya yang paling mengahantui dunia politik adalah sarana politik itu
sendiri yaitu wicara. Ketika penguasa adalah tunggal, tidak ada lagi tempat bagi
wicara. Tiada lagi debat politi, dan dengan demikian institusi demorasi dikosongkan
dari isinya. Lalu seni wicara hanya berusaha menyesuaikan diri sehingga
kemunafikan, intimidasi, sindiran, mewarnai wacana.
Suasana politik semacam ini sangat subur bagi upaya menjilat penguasa,
kebohongan, dan kesaksian palsu.
Politik tidak bisa dilepaskan dari retorika, seni membujuk rakyat, yang tentu
yang tentu saja menjadi bagian dari manipulasi. Manipulasi wicara dan
sistematisasinya, terutama sepanjang abad XX, merupakan hasil dari ketegangan
antara keinginan menggalang sebanyak mungkin pendapat masyarakat melalui
sistem demokrasi ketidakmungkinan sistem politik ini mewadahi dan menyalurkan
pendapat-pendapat tersebut. Pelembagaan manipulasi tidak lepas dari pandangan
bahwa rakyat sendiri ingin diyakinkan. Jacquels ellu pernah mengatakan bahwa
bangsa jerman pada masa hitler dalam arti tertentu tidak menolak dimanipulasi
melalui propaganda Nazi. Pada rezim demokratis sedikit terjadi kekerasan fisik,
tetapi banyak tekanan psikologis kekerasan simbolis yang dilakukan melalui wicara
dan manipulasinya mengantikan kekerasan fisik.
Moctar Buchori dalam seminar pendidikan di Yogyakarta akhir Agustus 2000
sempat mengatakan bahwa kebaikan itu baru akan terjadi generasi politisi yang akan
datang. Genarasi politisi sekarang sekarang ini masih mengutamakan kepentingan
diri dan kelompoknya. Agar politisi mempunyai wawasan negarawan yang
mengutamakan kepentingan semua warga Negara tampa diskriminasi agama, suku,
dan kelompok, dibutuhkan pendidikan dasar yang kuat.
4.2. kekerasan menjadi biasa
Ambon, sampit, dan poso masih meniggalkan trauma dan pengungsi.
Kehidupan rakyat selalu dibayangi kekerasan. Seakan-akan kekerasan selalu
mengiringi peristiwa-peristiwa sosial dan politik di indonesia. Hannah arendt,
seorang filsuf politik, menyebut fenomena semacam itu bisa banalisasi kejahatan
(menjadi biasanya tindak kejahatan). Bagaimana kejahatan itu bisa dilakukan oleh
orang-orang tampa ada perasaan bersalah? Bebrapa menjelaskan pertanyaan ini:
korban kekerasan dibuat inpersonal, lemahnya pertimbangan reflektif para pelaku
kekerasan, impunity, fanatisme.
Korban Kekerasan Dibuat Impersonal
Korban dibuat impersonal berarti korban dibuat sedemikian rup sehingga
tidak dianggap lagi sebagai seorang pribadi manusia. Proses inpersonalisasi korban
kekerasan itu bisa ditempuh dengan berbagai cara. Dalam novel tulisan Alexander
Soljenitsyne yang berjudul sehari-hari kehidupan ivan Denissovitch, para
narapidana direduksi menjadi angka-angka. Choukov, salah seorang narapidana,
diberi label angka CH 854. Reduksi menjadi angka itu merupakan ilustrasi bahwa
kamp konsentrasi telah mengubah pribadi manusia menjadi suatu hal saja. dengan
cara ini pembunuhan menjadi impersonal, orang tidak merasa membunuh seorang
pribadi, tetapi hanya menghilangkan angka.
Bentuk kekerasan atau pembunuhan impersonal dimungkinkan dengan
menempatkan korban sebagai musuh. Musuh didefenisikan atas dasar kepemilikan
agama atau suku: yang berbeda adalah musuh. Status musuh itu sudah cukup untuk
mengobarkan fanatisme yang tak segan membunuh. Provokator tidak akan berhasil
kalau kebencian itu tidak ada. Pembunuhan itu menjadi impersonal karena
mistifikasi motif kebencian itu: agama mamberi landasan idieologis dan pembenaran
simbolis.
Yang Legal Belum Tentu Moral
Mereka yang mengorganisir kerusuhan tentunya orang-orang professional
yang terlatih. Nurani mereka sudah bebal. Mereka terasing dari pencairan makna.
Agama bagi mereka hanyalah kedok dan alat untuk menggapai kekuasan. Mereka
tak terlatih dalam pertimbangan reflektif yang mengandaikan pengambilan pajak
pajak terhadap apa yang dilakukan, yang menuntut sikap kritis.
Terasing dari realitas
Tidak berjumpah wajah, terasing dari realitas membutakan nurani.
Keterasingan dari realitas ini sangat kental melekat pada fanatisme agama dan
idieologi. Sering fanatisme ini didorong oleh motivasi yang saleh: mengehendaki
adanya perubahan terhadap masyarakat yang dibusukan oleh kemunafikan idieologi.
Fanatisme itu menjanjikan pembaharuan yang radikal sehingga banyak yang
memeluknya.
Keterasingan terhadap realitas dan terhadap orang lain akhirnya
menghancurkan hubungan dengan dirinya sendiri maksudnya ialah tidak ada lagi
spntanitas yang menjadi sumber kebebasan gagasan, keyakinan, keyakinan, dan
pikiran kritis. Penolakan diri ini melepaskan diri ini dari tanggung jawab terhadap
dirinya sendiri. Analisa ini menunjuk adanya kaitan erat antara terasing dari realitas
dan tindakan yang tidak bertangung jawab, yang tercermin dari gegabah dalam
beroikir.
Fanatisme Menolak yang Berbeda
Dari sisi pelaku, proses menjadi fanatic menyebabkan orang lepas dari
tanggung jawab terhadap tindakan-tindakannya dengan bersembunyi dibalik
pembenaran simbolis, idieologis atau teologis. Dari impersonalisasi tindak
kekerasan jangan cepat mengambil kesimpulan bahwa pelajaran agama kurang
mendapat tempat. Masalahnya bukan pada pelajaran agama, tetapi pada bagaimana
disampaikan. Sering ada kisah memprihatinkan tentang pelajaran agama yang
dipakai sebagai alat cuci otak. Tidak ada ruang kritis.
Fanatisme adalah bentuk penolakan terhadap yang berbeda dan menjadi lahan
subur bagi para pelaku kekerasan yang tak merasah bersalah. Jadi proses
impersonalisasi korban itu benihnya sudah ditebarkan oleh para guru agama,
pengkhotbah dan pemuka agamasejak masih kanak-kanak. Pernah seorang peserta
seminar dialog antar agamadalam keputusannya mengatakan: bukankah humanism
dan local wisdom akan lebih baik mengantikan agama, supaya orang tidak mencari
pendasaran teologis dan pembenaran simbolis dari tuhan dalam melakukan
kekerasan dan pembunuhan. Sejarah menunjukan bahwa konflik dan peperangan
karena agama sering terjadi. Hannah arendt mengatakan: kita tergoda untuk
mengubah dan menyalahgunakan agama menjadi idieologi dan menodai usaha yang
kita perjuangkan melawan totalitarisme dengan suatu fanatisme. Padahal, fanatisme
adalah musuh besar dari kebebasan.
4.3. Tanggung Jawab Kolektif: Masalah Politik?
tanggung jawab kolektif lebih bermuatan politik daripada yuridis dan moral.
Hokum dan moral mengacu ke kriteria yang kurang lebih sama yaitu ke pribadi
pelaku dan tindakanny. Jika seseorang terlibat dalam kejhatan yang direncanakan
oleh suatu kelompok, yang diadili adalah pelaku pribadi tersebut.
Tingat keterlibatannya, perannya, dan sebagainya dan bukan kelompoknya.
Kepemilikan seseorang dalam suatu kelompok tidak berperan kecuali bila semakin
memperkuat kemungkinan melakukan kejahatan. Apakah tertuduh merpakan angota
partai politik tertentu atau angota organisasi keagamaan atau suku tertentu yang
diadili adalah pribadi pelaku itu. Bahkan pengakuannya bahwa dirinnya hanya bidak
yang melaksanakan perintah atasan (orang lain dalam posisi yang sama tentu tidak
akan dapat menolak) tidak mengubah situasi bahwa dia diadili atas dasar
tindakannya.
Mungkinkah orang yang dianggap bertanggung jawab atas sesuatu tidak
dilakukannya karena kepemilikan orang tersebut pada suatu kelompok? Tangung
jawab seperti ini sifatnya pertama-tama dalah politik. Setiap pemerintahan
bertangung jawab atas masalalunya. Bangsa jerman ikut memikul beban atas apa
yang dilakukan hitler terhadap bangsa yahudi. Tidak ada kriteria moral yang dapat
melepaskan diri dari tanggung jawab kolektif, termasuk terorisme di mana yang
menjadi korban adalah bangsa lain.
4.4. Terorisme dan Politik Porno
Terorisme itu sering digunakan untuk mengkualifikasi tindakan seperti
musuh, seperti halnya arti idieologi menurut napoleon. Raja prancis ini
mendefenisikan idieologi sebagai pemikiran musuh-musuh politiknya (Jean
beachler, 1976). Demikian pula yang dianggap teroris oleh amerika serikat, bisa
dipuja sebagai pahlawan oleh pengikut dan simpatisan Osama bin laden. Tetapi,
apapun istilah yang dipakai, siapapun siapapun yang menyebut, fakta menunjukan
telah terjadi kekerasan yang meningalkan korban. Kebanyakan korban tidak bersalah
dan dalam posisi lemah. Mereka adalah korban kekerasan politik.
Politik porno dan kekerasan
Yves Michaud dalam violence et politique (1978) secara sarkastis
menyebutkan politik-porno semua bentuk kekerasan untuk tujuan tertentu. Porno
berasal dari Bahasa yunani porneia yang berarti hal-hal tidak senonoh. Politik porno
merupakan manajemen kekerasan sebagai cara sarana/cara yang efisien dan andal.
Ini bukan pujian ironis, tetapi istilah ini mau mengambarkan betapa kasar dan tidak
senonohnya realitas politik itu sehingga lebih tepat disebut kekejian dan kepala
dingin gangsterisme politik.
Masuk dalam kategori politik-porno ini demonstrasi dengan kekerasan,
penculikan, penyanderaan, perampokan untuk biaya perjuangan politik, intimidasi,
adu domba, pemboman, menciptakan ketegangan atau kerusuhan untuk destabilisasi
situasi, eksekusi peradilan jalanan oleh kelompok tertentu. Politik-porno ini
megakibatkan korban yang tidak bersalah dan terror yang membekas menjadi
trayma. Prinsip yang dipegang politik porno ini ialah tujuan menghalalkan segala
cara.
Kriminalisasi Politik dan Politisasi Kriminalitas
Ketika tujuan menghalalkan cara, cara bisa semena-mena sehingga sulit di
bedakan dari tujuan. Oleh karena itu, sulit dibedakan antara demonstrasi dengan
kekerasan itu bayaran atau murni aspirasi pendemo; kerusuhan, pembakaran rumah
ibadat, saling bunuh itu konflik agama atau rekayasa. Kriminalisasi politik
menghasilkan politisasi kriminalitas.
Kekerasan semacam itu juga ada batasnya. Tetapi batas itu justru dipakai
sebagai alat pembenaran. Betapa kasarnya suatu kekerasan politik, ia tetap
membutuhkan legitimasi. Kekerasan tidak akan operasional bila lepas sama skali
dari hokum. Maka, kekerasan bersembunyi dibalik lubang hukum: kerusuhan masih
dipakai sebagai sarana karena para pelaku tidak ditindak keras, bahkan menikmati
impunity; intimidasi dan terror digunakan karena sulit dibuktikan secara hukum;
para saksi tidak berani membuka mulut. Kekerasan politik bisa berjalan karena
memperhitungkan aspek hukum itu.
Terorisme merupakan bagian dari politik-porno, apapun alasanya tidak bisa
dibenarkan dari segi etika. Terorisme mencerminkan tindakan dari argument
keharusan. Argument keharusan bukan merupakan merupakan argument etika. Etika
selalu merupakan hasil dari suatu pilihan, sedangkan keharusan mengandaikan
tiadannya pilihan lain. Lalu dari perspektif mana kekerasan politik berusaha mencari
pembenaran?
Tujuan Menghalalkan Cara
Biasanya pembenaran itu bertitik-tolak dari tindakan rasional dalam
pengertian marx weber: tujuan menentukan pemilihan sarana. Prinsip rasionalitas
tindakan ini membawa kepada pembedaan anratara pandangan pakar dan poltik itu
sendiri. Politik mendasarkan pada komitmen terhadap nilai-nilai yang diyakini,
sedangkan analisa tindakan rasional tindakan adalah masalah koherensi tujuan,
penyesuaian sarana yang efektif, akibat-akibat yang dapat diperhitungkan. Bila yang
dikehendaki dipisahkan dari sarana untuk mencapainya, tujuan dengan mudah
melegitimasi sarana apapun yang dipakai. Risiko dan korban diabaikan, yang
penting tujuan bisa tercapai. Bahkan lebih sadis lagi kormab dianggap sebagai
ukuran keberhasilan atau bagian dari strategi.
Pemahaman ini memberi peluang masuk di dalam suatu proses legitimasi
kekerasan melalui prinsip kasuistik (pada kasus tertentu kekerasan di benarkan).
Seakan-akan orang masuk dalam etika tangung jawab dengan mengkualifikasi
kekerasan sebagai sarana yang telah teruji dan terseleksi atas dasar kriteria
efektivitas adalah prinsip realism.
Rasionalitas Instrumental dan Nihilisme
Dengan mengabaikan masalah pilihan nilai-nilai itu, orang dibawa masuk
kerasionalitas instrumental ditandai oleh dominasi sarana atas tujuan atau menjadi
sarana menjadi dictator. Akibatnya, realism berubah menjadi sikap yang bisa
menghendaki apa saja. dengan demikian, tindakan rasional bisa direduksi menjadi
hanya masalah penyesuaian tujuan dan saran-sarana. Dari perspektif etika seakan-
akan netral. Sedangkan komitmen terhadap niai-nilai tertentu lebih merupakan
masalah keyakinan.
Rasionalitas tindakan yang mengklaim bebas nilai ini ternyata
menyebunyikan suatu komitmen terhadap nilai tertentu. Nilai tersebut hanya
mengacu ke satu tujuan, yaitu kemajuan tindakan rasional sebagai sebagai tindakan
instrumental yang mengabaikan semua pertimbangan mengenai tujuan. Keksongan
nilai yang tercermin dalam tujuan menghalalkan cara memungkinkan kegilaan
nihilisme seperti yang dilakukan oleh facisme dan terorisme. Dalam prinsip tujuan
menghalalkan cara karena tidak ada lagi tujuan, sarana/cara menjadi mutlak dan
memberikan pembenaran diri. Inilah yang disebut nihilisme: legitimasi kekerasan
dilakukan dengan cara mengosongkan substansi tujuan dan akhirnya kekerasan
memberi pembenaran diri sebagai sarana yang efektif.
Etika Diskurs dan Proposionalisme
Akan tetapi bagaimana dengan masalah tujuan menghalalkan cara yang bisa
diterima dari sudut pandang etika? Misalnya menyiksa satu orang untuk
menyelamatkan seribu orang. Dalam etika, kasus ini masuk dalam kategori konflik
kewajiban. Tetapi, perlu dua catatan. Pertama, pertama ketika orang berusaha
melegitimasi sarana melalui tujuannya, en6ah sarana yang dipilih itu berupa
kekerasan atau yang lain, harus terbuka terhadap evaluasi. Dengan kata lain, pilihan
sarana harus terbuka bagi perdebatan, kritik, dan bukan hanya berhenti pada
keyakinan.
Kedua, dalam kasus itu, proposionalisme bisa menolong memberi argument
lain. Pendekatan ini menuntut empat syarat agar dari segi etika bisa diterima.
Pertama, tujuan harus baik (mau menyelamatkan seribu orang) kedua, hanya akibat
yang baik benar-benar dicari dan efek yang jelek tidak diperbolehkan atau hanya
ditolelir ketiga, ada alasan yang proposional untuk mempertanyakan sebabnya
(urgensi pemecahan), yang dalam kasus itu adalah keselamatan seribu orang
keempat, perbandingan harus seimbang antara dua akibat tersebut (seribu orang
diselamatkan tetapi satu orang disiksa) kalau akibatnya lebih besar berarti melawan
moralitas.
Pendekatan yang terakhir ini mengatakan bahwa dalam situasi apapun
manusia harus menjadi tujuan bukan sarana bagi tujuan-tujuan lain. Dalam situasi
dilematis orang sering terpaksa harus mengunakan prinsip minus malum, artinya
memilih yang terbaik dari pilihan-pilihan jahat. Pilihan kekerasan sering lebih
didasarkan pada emosi daripada rasionalitas.
Demaggogi: Wacana Manipulatif dan Penuh Kebencian
Fenomena Jean-Marie Le Pen (Prancis), Fourtyn (Belanda), dan Joerg Haider
(Austria) menguncang demokrasi di eropa berkat perolehan suara yang banyak,
partai ekstrem kan yang mereka pimpin mendapat simpati dari cukup banyak
penduduk asli. Reaksi keras biasnya bermunculan: pada kasus Austria Israel
memangil pulang duta besarnya. Menteri luar negri amerika serikat waktu itu,
madeliane Albright, memberi peringatan keras. Negara – Negara Uni Eropa
mengancam akan mengisolasi Austria. Di dalam negeri dilanda gelombang
demonstrasi menentang pemerintah baru. Bukankah itu hasil pemilihan yang
demokratis? Mengapa ditentang? Apa yang keliru? Dalam suatu konferensi pers
Joerg Haider pernah membuat pernyataan yang meremehkan arti pembantaian jutaan
warga Yahudi oleh Nazi Jerman: “Tragedi itu hanya sebagian kecil dari sejarah”.
Tidak hanya karena pernyataan itu Joerg Haider ditentang. Ada alasan lebih
mendasar: Ideologi partai politik itu kebencian, kebencian terhadap orang asing.
Alasan yang mendasari kebencian terkesan logis: pertama, angka
pengangguran di Austria cukup tinggi. Orang asing di anggap merebut pekerjaan
warga Austria asli; kedua, orang asing di Austria menjadi parasite karena
memanfaatkan sistem asuransi sosia; ketiga, angka kejahatan serta kekerasan tinggi
dan kebanyakan pelakunya adalah orang asing. Siapa warga Austria yang tidak
tergiur oleh program yang menjanjikan dapat memberantas ketiga penyakit sosial
ini: bebas dari penganggura, bebas dari rasa takut akan kekerasan dan kejahatan,
kemakmuran karena Austria hanya untuk orang Austria. Caranya: “Yang bukan
orang Austria minggir!” Xenophobia, takut orang asing berubah menjadi benci
terhadap orang asing, itulah inti ideologi partai Joerg Haider.
Akan tetapi, bila dianalisa dengan cermat argument yang kelihatan logis itu
sangat bias. Argumen bahwa orang asing merebut pekerjaan warga Austria sulit di
buktikan karena kebanyakan orang asing bekerja pada sektor yang disingkiri warga
asli, alias pekerjaan kasar. Krisis ekonomi yang menjadi penyebab utama
pengangguran tidak dikaitkan. Orang asing yang mendapat santunan asuransi sosial
banyak yang sudah lama tinggal di Negara tersebut. Dulu orang tua mereka atau
mereka sendiri dibutuhkan untuk pekerjaan kasar itu. Angka kejahtan yang tinggi
dari warga asing tentu saja sulit dihindari.
Bagaimana argument yang bias itu bisa mempunyai daya Tarik yang luar
biasa? Pengangguran dan rawan kejahatan adalah pengalaman nyata, yang membuat
takut dan marah perasaan cemas akan masa depan karena belum melihat tanda-tanda
perbaikan ekonomi. Lalu partai ekstrem kanan ini menjanjikan pemecahan dengan
mengeksploitasi perasaan takut, cemas, dan marah itu untuk kepentingan politik
demagogy. Mereka mereduksi semua persoalan itu menjadi karena kehadiran orang
asing. Berkorbarlah kebencian terhadap orang asing, biang kerok semua masalah
sosial.
Itulah demagogy. Joerg haider itu adalah seorang demagogue. Demagogue
secara harfiah berarti orang yang meminjamkan suaranya kepada rakyat. Di
indonesia fenomena demagogue seperti itu menghinggapi juga beberapa politikus
politikus yang gemar mengaduk-aduk perasaan masyarakat, biasanya dengan
mengunakan isu agama, untuk kepentingan politiknya daripada mengajak berpikir
secara obyektif dalam mencari jalan keluar. Sayangnya warna yang dominan dari
banyak pemuka agama, para pengkhotbah dan guru-guru agama adalah demagogy.
Demagogy ini lebih berbahaya lagi lagi ketika Koran, tabloid, dan majalah tertentu
mengadopsinya sebagai gaya pemberitaan: penyebaran kebencian semakin efektif
dan luas.
Demagogy, tipe wacana manipulatif, efektif untuk menggalang dukungan
politik dari khalayak karena mempunyai mekanisme yang khas: pertama, seorang
demagogy selalu mencari kambing hitam atas segala masalah. Maka, kebencian
terhadap suatu kelompok tertentu ditumbuhkan, dipelihara dan kalau perlu
diperdahsyat intensitasnya. Dengan cara ini, fanatisme kelompok dijamin karena
jalan keluar masalah diidentikan dengan mengahncurkan suatu kelompok tertentu.
Kedua, argument yang menjadi senjata utama biasanya ad hominen
(menyerang pribadian orangnya) dan argumen kepemilikan kelas (gagasan
seseorang tidak bisa lepas dari lingkungan atau kelas dari mana dia berasal) yang
penuh kebencian. Orang tahu kedua bentuk argument ini rentan terhadap masalah
sara, mudah untuk membangun sentiment agama dan kelompok. Argument ini
cenderung mengalihkan perhatian dari substansi permasalahan, karena hanya
mencari kambing hitam.
Ketiga, seorang demagogue biasanya sangat canggih dalam membuat
skematisasi: upaya menyerdehanakan suatu gagasan atau pemikiran agar bisa
memiliki efektivitas sosial; maka pemikiran atau gagasan itu harus bisa menjadi
opini. Opini inilah yang membentuk keyakinan. Dari keyakinan tingal satu langkah
untuk sampai ke tindakan.
46. Utopia Politik dan Radikalisme
Seccara berala dalam masyarakat muncul suatu utopia. Utopia biasanya
disambut hangat dengan di dalam masyarakat yang sedang dilanda krisis. Di jawa
masa penjajahan, orang mengenal utopia dalam bentuk mesiannisme: janji akan
datangnya ratu adil. Di eropa, pengaruh teks Thomas More. Utopia terhadap
idieologi sosialis utopis abad XIX tidak bisa diabaikan. Utopia sosialis dari Charles
Fourier sampai Karl Marx, dari Sain Simon sampai Robert Owen mempunyai
kesamaan, yaitu mempertanyakan gagasan-gagasan jaman itu.
Hampir semua agama menjadi sumber inspirasi gagasan utopia politik. Dalam
kristianisme dikenal tokoh seperti Savonarola di Firenze (1498) dan jan baukels di
munste dalam islam, masa nabi Muhammad SAW selalu menjadi acuan utopia
kehidupan sosio-politik bagi pemikiran-pemikiran dan gerakan-gerakan sosial-
politik muslim. Satau hal yang menandai gerakan-gerakan utopis ini ialah
radikalisme.
Visi manikean
Dunia ini pada dasarnya hanya dibagi menjadi dua kelompok: baik dan jahat,
terang dan kegelapan, benar dan salah. Musuh adalah wujud nyata kejahatan itu.
Dalam utopia sosialis, pilihannya anatara sosialisme (wujud nyata yang baik) atau
borjouisie/kapitalisme (wujud nyata kejahatan). Dalam utopia politico-religius, tidak
hanya dua kelompok yang seagama atau musuh. Model manikean utopia politico
religius membagi tiga klompok: yang terpilih (militant), massa pemeluk
(simpatisan), dan para pendosa atau kaum kafir yang ada di luar agama pilihan.
Visi manikean ini mendorong ke radikalisasi tindakan melalui tiga cara, yaitu
sataniasih musuh, hierarkisasi keangotaan, dan puritinasi gerakan. Pertama,
pemisahan baik-jahat, berfungsi untuk satanisasi musuh. Dengan cara itu,
pembunuhan musuh menjadi suatu yang impersonal karena musuh merupakan
negasi terhadap nilai-nilai yang diperjuangkan oleh agama pilihan.
Kejahatan ada di mana-mana, licik dan penuh jebakan, maka harus
dihancurkan. Ada konspirasi jahat. Adalah senjata yang harus digunakan kaum
utopis politico-religius untuk mendiskualifikasi setiap upaya menghalanginya.
Komplotan jahat yang berupa jaringan desinformasi, penghianatan, dan
pembunuhan adalah strategi musuh untuk menghambat perwujudan utopia itu.
Kedua, hierarkisasi keangotaan. Semakin besar keinginan menjadi bagian inti dari
organisasi semakin nekat dan radikal tindakannya. Pengakuan militanisasi hanya
datang melalui fanatisme semacam itu. Ketiga, puritanisasi gerakan adalah upaya
menghindari segala bentuk kontaminasi ajaran, tradisi, kebiasan, serta usaha untuk
menyeleksi anggota atas dasar militanisasi. Tuduhan penghianatan merupakan cara
menyingkirkan anggota yang dianggap tak berguna.
Revolusi Sudah di Aambang Pintu
Saatnya tiba, besuk kemenanggan akan di peroleh berkat perjuangan partai
pekerja: buruh dan petani bersatu menuntut hak-hak mereka. Pada tahun 1948,
Marx mengumumkan kehancuran borjuisi. Tiba-tiba masyarakat jatuh dalam situasi
biadab: kelaparan dan perang yang menghancurkan telah memisahkan diri dari
sarjana kehidupan. Industri dan perdagangan bangkrut. Borjuisi tidak mampu
mempertahankan diri sebagai kelas dominan. Harus berubah! Aksi revolusioner
menjadi keharusan, karena masyarakat terlalu muak terhadap perubahan jaman ini.
Utopia politiko-religius tidak hanya mengumumkan perunahan yang
didahului bencana alam, kemiskinan, konflik, dan perang yang menghancurkan
bangsa. Kataklisme kemiskinan dan perang itu hanya sindrom dari kebobrokan
moral. Maka, focus utama revolusi agama adalah mengatakan dekadensi moral.
Banyak revolusioner agama menggumumkan saatnya sudah tiba. Sutyasi yang sudah
tidak bisa ditolelir lagi. Saat yang dijanjikan tidak hanya sudah dekat, tetapi juga
fatal, sudah dikehendaki tuhan.
Dalam self-acoumplished prophecy, yang meramalkan sekaligus adalah
pelaksanaanya. Dalam rapat akbar di nurenberg hitler pernah meramalkan bahwa
pengisap darah rakyat jerman (yang dimaksud adalah yahudi) suatu saat akan binasa.
Dalam benak hitler sudah ada rencana pengejaran dan pembunuhan masal terhadap
orang-rang yahudi. Janji dan ramalan para musuh para agama pilihan akan binasa
menjadi alat pembenraran untuk melakukan apa saja, termasuk kekerasan terhadap
siapa saja yang dianggap musuh. Saatnya sudah tiba lalu memang mempunyai efek
radikalisasi gerakan.
Cobaan Akan Datang
Betapa pedihnya cobaan, penantian yang lama, saat-saat putus asa selalu
mmpunyai makna. Cobaan-cobaan itu menjadi pemurnian dan seleksi mereka yang
terpilih. Tanda keterpilihan itu adalah tahan menghadapi semua tantaggan dan
cobaan. Idieologi memberi makna terhadap cobaan, kegagalah atau kekalahan
dengan meyakinkan kemenangan akhir sudah dekat. Karl Marx (1848) menulis:
kadang-kadang kaum borjuis menang, tetapi kemenangan mereka henya sementara
tidak ada alasan yang mengendurkan semangat dan militansi mereka.
Kekayaan idieologi semacam ini mendorong dedikasi dan pengorbanan,
namun juga membawa kepada tiadannya toleransi, tidak peka lagi terhadap
kekejaman dan kekerasan. Kesetiaan tampa syarat memberi makna kepada hidup
dan kekecewaan mereka. Pahit karena kekalahan dilihat sebagai sesuatu yang
sementara. Melemahnya idieologi ditanggapi dengan optimism bahwa gagasan besar
akan bisa bertahan hidup. Proses ini tampa disadari menjadi proses perubahan dari
keyakinan agama menjadi keyakinan politik yang memuncak sampai utopia.

Anda mungkin juga menyukai