Anda di halaman 1dari 18

BAB II

HUBUNGAN SIPIL MILITER PERSPEKTIF FIQIH SIYASAH

A. Hubungan Sipil Militer Perspektif Politik Modern

Hubungan sipil militer merupakan kajian yang baru populer pada

pertengahan abad XX, yaitu pasca-Perang Dunia II. Sebelum Perang Dunia

II, hubungan sipil-militer baru sedikit mendapat perhatian para sarjana sosial

daan ahli sejarah, setidak-tidaknyaa pada literatur-literatur inggris dan

demikian pula literatur Amerika. Konflik Prsdien Truman dengan Jendral

Mac. Arthur pada tahun-tahun 1950-an telah merangsang suatu arus baru

bagi penganalisaan ilmiah maasalah-masalah hubungan sipil-militer dan

perumusan garis kebijaksanaan militer.1

Perspektif politik Barat yang senantiasa mengagungkan supremasi

sipil, seringkali mengkaji seputar hubungan sipil militer menyangkut dua

aspek, yaitu kontrol sipil atas militer dan intervensi militer pada domain

polittik.

1. Kontrol Sipil Atas Militer

Ada beberapa teori menyangkut hubungan sipil militer. Huntington

melihat bahwa ada dua bentuk hubungan sipil militer. Pertama, kontrol

sipil obyektif (Objective Civilian Control). Istilah ini mengandung makna

profesionalisme militer yang tinggi dan pengakuan dari pejabat militer

akan batas-batas profesionalisme yang menjadi bidang mereka,

1
Samuel P. Huntington, Pendahuluan, dalam Amos Perlmutter, Thee Military and Politics
and Modern Times, terj. Sahat Simamora, ‘Militer dan Politik’, Jakarta: RajaGraafindo Persada,
2000, hlm XLIII

17
18

subordiansi yang efektif dari militer kepada pemimpin politik yang

membuat keputusan pokok tentang kebijakan luar negeri dan militer,

pengakuan dan persetujuan dari pihak pemimpin politik tersebut atas

kewewenangan profesional dan otonomi bagi militer, minimalisasi

intervensi militer dalam politik dan minimalisasi intervensi polittik dalam

militer.2

Kedua, kontrol sipil subyektif (subjective civilian control). Bentuk

kontrol ini adalah memaksimalkan kekuasaan sipil. Model ini bisa

diartikan sebagai upaya meminimalkan kekuasaan militer dan

memaksimalkan kekuasaan kelompok-kelompok sipil.3

Dengan merujuk Huntington, Michael C. Desch menganalisis

hubungan sipil militer dari munculnya persoalan internal maupun eksternal

suatu negara. Desch mencatat suatu negara yang menghadapi tantangan

militer tradisional, yaitu ancaman dari luar, tampaknya lebih mungkin

memiliki hubungan sipil militer yang stabil. Ancaman lingkungan seperti

itu memaksa institusi sipil lebih menyatu dan karenanya membuat mereka

mampu menangani masalah bersama-sama dan bersatu dengan militer.4

Kemudian Desch mempertegas:

Sebaliknya, jika negara menghadapi ancaman internal yang


signifikan, institusi dan otoritas sipil mungkin akan sangat lemah dan
2
Samuel P. Hunttington, Mereformasi Hubungan Sipil-Militer dalam Larry Diamond dan
Marc F. Plattner (ed), Civil-Military Relations and Democracy, terj Tri Wibowo Budi Santosa
“Hubungan Sipil-Militer dan Konsolidasi Demokrasi, Jakarta: Raja Grafindo Persadaaa, 2000, hlm
4.
3
Ibid, lihat juga Malik Haramain, Gus Dur Militer dan Politik, Yogyakaarta: LkiS, 2004
hlm 16
4
Michael C. Desch, Civiliaan Control of The Military: The Changing Security
Environment, Terj Tri Wibowo Budi Santoso “Politisi Versus Jenderal”, Jakarta: RaajaaaGrafindo
Persada, 2002, hlm 24-25
19

terpecah belah, yang menyulut mereka untuk mengontrol militer.


Situasi seperti ini akan membuat hubungan sipil militer terganggu
atau tidak sehat.5

Alfred Stepan melihat hubungan sipil militer dengan mengamati

sejauhmana sipil mampu mengurangi hak istimewa militer dan

sejauhmana militer berhasil mempertahankan hak-hak istimewanya. Ia

memperkenalkan konsep “hak Istimewa”.6 Oleh karena itu, reposisi militer

tidak bisa dilepaskan dari sejauhmana pihak sipil mampu membatasi dan

mengurangi otoritas militer dari non militernya.7

2. Intervenssi Militer

Konsep intervensi menurut Taufik Abdullah seperti dikutip Malik,

bertolak dari “pra anggapan bahwa sesuatu telah memasuki daerah yang

sebenarnya bukan haknya.”8 Dengan kata lain, intervensi berkaitan dengan

sesuatu penilaian normatif akan tidak sahnya hal tersebut terjadi. Dengan

demikian hubungan sipil militer bisa dilihat dari sejauhmana pemimpin-

pemimpin sipil mampu mengatasi dan mengantisipasi intervensi militer ke

dalam domain politik.

Amos Perlmutter menyebut ada dua kondisi yang memberikan

kesempatan bagi militer untuk melakukan intervensi. Pertama, kondisi

5
Ibid, hlm 25
6
dengan merujuk kamus Inggris Oxford, Stepaan mendefinisikan Hak Istimewa sebaga
“hak atau hak istimewa yang utama eksklusif, atau khusus, dan sebagai suatu kemampuan atau hak
milik yang secara khusus dan menguntungkan membedakan seseorang lebih tinggi dari yang lain”.
Alfred Stepan, Militer dan Demokratisasi:Pengalaman Brasil dan Beberapa Negara Lain, Jakarta:
Grafiti, 1996, hlm 127.
7
Ibid, hlm 127
8
A. Malik Haramain, Op. cit. hlm 21
20

sosial. Suatu negara yang kondisi sosialnya lemah, maka kepentingan

kelompok akan tersebar dalam frekuensi yang tinggi. Kalau struktur

negara lemah maka institusi-institusi politik tidak berfungsi efektif dan

dengan demikian kontrol sosial tidak efektif. Sebab saluran-saluran

komunikasi terhambat, maka militer memiliki peluang untuk melakukan

intervensinya.

Kedua, kondisi politik. Intervensi militer muncul dari persoalan-

persoalan sipil. Dalam banyak kasus kembalinya sipil ke militer untuk

mendapatkan dukungan ketika struktur politik sipil terfragmentasi dalam

faksi-faksi politik dan ketika perangkat konstitusi tidak berjalan.9

Berbeda dengan Perlmutter yang lebih melihat faktor eksternal

militer yang memperngaruhi hubungan sipil militer, S. F. Finer lebih

melihat faktor internal militer. Ia menyebut:

…lebih melihat internal militer sebagai faktor utama terjadinya


intervensi. Faktor motivasi biasanya sangat berpengaruh besar
apakah militer akan memengintervensi atau tidak. Faaktor ini
mencakup beberapa motivasi antara lain; motivasi sebagai tujuan
akhir tentara, dorongan dari kepentingan nasional, kepentingan
kelompok yang meliputi kepentingan kelas, kepentingan regional,
kepentingan korps, dan kepentingan individu.10

Dari dua paandangan itu bisa disebut ada dua gerbong dalam

memahami intervensi militer pada domain sipil, yaitu memahami

intervensi militer disebabkan faktor-faktor eksternal dan melihat intervensi

militer sebagai dorongan atau motivasi internal yang dikandung oleh

militer.
9
Amos Perlmutter, Op. cit. hlm 144-155
10
S. F Finer, The Man on Horseback, The Role of the Military in Politics, Colorado:
Westview Press, hlm 20-54
21

Terlepas dari perdebatan itu, perlu dikaji saluran-saluran yang

memungkinkan terjadinya intervensi militer. Finer mencatat, intervensi

dapat dilakukaan melalui:

a. The normal constitusional chanels (melalui saluran-saluran

konstitusi normal)

b. Collusion and/or competition with the civilian authoritis (kolusi

dan/atau persaingan dengan otoritas sipil)

c. The intimidation of the civilian authoritis (intimidasi terhadap

otoritas sipil)

d. Threaths of non-cooperation with, or violence towards the

civilian authoritis (mengancam dengan menolak

bekerjasamadan/atau dengan kekerasan terhadap otoritas sipil)

e. Failure to defend the civilian authoritis from violence (gagalnya

mempertahankan otoritas sipil terhadap kekerasan)

f. The exercise of violence againts the civilian authorities

(menggunakan kekerasan terhadap otoritas sipil).11

B. Terminologi Militer dalam Fiqih Siyasah

1. Pengertian Perang dan Militer

Pada masa pra Islam, di Jazirah Arab belum dikenal istilah maupun

sistem militer. Meskipun demikian peperangan sudah menjadi tradisi di

kalangan suku-suku Arab untuk menempuh kehidupan. Peperangan yang

11
Ibid, hlm 127
22

mereka lakukan bersifat sporadis dan temporer. Sehingga kriteria militer

sebagaimana dikenal pada era modern sekarang ini belum dikenal. Siapa

saja yang merasa menjadi warga sebuah suku atau kelompok, dengan sadar

akan mengikuti peperangan dalam rangka mempertahankan suku dan atau

kelompoknya.12 Perang dalam bahasa Arab sering disebut dengan harb,

dan ghazwah.13

Ghazwah adalah masuknya kekuatan perang sebuah negara ke

daerah musuh, tetapi tidak termasuk di dalamnya penyempurnaan

kekuasaan pada daerah itu.14 Sedangkan harb adalah pergulatan dengan

senjata antara dua negara atau dua kelompok dalam sebuah negara dengan

tujan untuk merebut hak negara atau kelompok.15 Sehingga harb terjadi

jika ada dua negara yang bertikai.

Para orientalis sering menyamakannya dengan jihad, dengan

menyebut jihad sebagai ‘perang suci’. Padahal istilah perang dan jihad

adalah sesuatu yang berbeda.16

Pada masa Islam awal pun belum dikenal mengenai terminologi

militer. Walaupun demikian tradisi peperangan masih cukup kental. Kaum

12
Imam Yahya, Tradisi Militer dalam Islam, Yogyakarta: Logung, 2005, hlm. 42
13
Debby M. Nasution, Kedudukan Militer dalam Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003.
hlm.1
14
Wahbah Zuhaili, Atsaru al-Harbi fi fiqhi al-Islami, Damaskus: Daar al-Fikr, 1962, hlm
24
15
Ibid, hlm 25
16
perkataan jihad seringkali diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan ‘perang suci’
Namun, jihad berbeda artinya dengan kata bahasa arab ‘qital’ (pertempuran) dan ‘harb’
(peperangan). Kata-kata tersebut hanya menunjukkan peperangan yang dilakukan di luar Islam.
Dalam Islam, praktik peperangan memiliki makna yang berbeda sekali. Definisi yang lebih tepat
mengenai ‘jihad’ adalah ‘berjuang’. Dalam konteks pemikiran dan praktik Islam, definisi ini
selanjutnya dipersempit sehingga menunjukkan perjuangan di jalan Allah. Jamilah Jitmoud,
Prinsip-prinsip Kihad dalam AlQur’an dan Sunnah dalam Mumtaz Ahmad, State Politics, and
Islam, terj. Ena Hadi “Masalah-masalah Teori Politik Islam”Bandung: Mizan, 1996, hlm 171
23

muhajirin yang berasal dari Makkah sudah terbiasa dengan perikehidupan

padang pasir yang kental dengan peperangan dan penyergapan.

Perpindahan muhajirin dari Makah ke Madinah tetap melakukan kebiasaan

peperangan dan penyergapan dalam menyelesaikan suatu masalah.

Perbedaannya terletak pada motivasi peperangan dan penyergapan.

Sejarah bangsa-bangsa besar di dunia dari masa ke masa pun

menunjukkan bahwa eksistensi mereka ditentukan oleh kemampuan dan

kekuatan mereka melakukan perang dan penaklukan atau ekspansi ke

daerah lain, seperti bangsa Romawi, Persia, Mongol, dan lain-lain.17

Di dalam al Qur’an pun dibahas mengenai masalah perang, baik

dalam dimensi sejarah, hukum, moral dan strategi.18 Dalam dimensi

sejarah bisa disebut Q.S Ali Imran ayat 146:

‫ُﻫ ْﻢ ﻓِﻲ‬ ‫ﺏ‬


َ ‫َﻭ ﹶﻛﹶﺄﱢﻳ ْﻦ ِﻣ ْﻦ َﻧِﺒ ﱟﻲ ﻗﹶﺎَﺗ ﹶﻞ َﻣ َﻌﻪُ ِﺭﱢﺑﻴﱡﻮ ﹶﻥ ﹶﻛِﺜ ٌﲑ ﹶﻓﻤَﺎ َﻭ َﻫﻨُﻮﺍ ِﻟﻤَﺎ ﹶﺃﺻَﺎ‬
١٩
‫ﺤﺐﱡ ﺍﻟﺼﱠﺎِﺑﺮِﻳ َﻦ‬
ِ ‫ﺿﻌُﻔﹸﻮﺍ َﻭﻣَﺎ ﺍ ْﺳَﺘﻜﹶﺎﻧُﻮﺍ ﻭَﺍﻟﱠﻠ ُﻪ ُﻳ‬
َ ‫َﺳﺒِﻴ ِﻞ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ َﻭﻣَﺎ‬
Artinya: dan berapa banyaknya nabi yang berperang dengan disertai
sejumlah besar pengikutnya yang bertaqwa. Mereka tidak menjadi
lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan
tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Dan Allah
menyukai orang-orang yang sabar.

Dalam dimensi hukum bisa dilihat pada Q.S Al Baqarah ayat 190:

٢٠
‫ﺤﺐﱡ ﺍﹾﻟ ُﻤ ْﻌَﺘﺪِﻳ َﻦ‬
ِ ‫َﻭﻗﹶﺎِﺗﻠﹸﻮﺍ ﻓِﻲ َﺳﺒِﻴ ِﻞ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﺍﱠﻟﺬِﻳ َﻦ ﻳُﻘﹶﺎِﺗﻠﹸﻮَﻧﻜﹸ ْﻢ َﻭﻟﹶﺎ َﺗ ْﻌَﺘﺪُﻭﺍ ِﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠ َﻪ ﻟﹶﺎ ُﻳ‬

17
ibid.
18
ibid
19
Depag RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: Toha Putra, 1989, hlm 100
20
Ibid, hlm 46
24

Artinya : Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangio


kalian, (tetapi) janganlah kalian melampui batas sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.

Sedangkan ayat-ayat perang yang berdimensi moral terdapat pada Q.S

An-Nisa ayat 94

ُ‫ﺿ َﺮْﺑُﺘ ْﻢ ﻓِﻲ َﺳﺒِﻴ ِﻞ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﹶﻓَﺘَﺒﱠﻴﻨُﻮﺍ َﻭﻟﹶﺎ َﺗﻘﹸﻮﻟﹸﻮﺍ ِﻟ َﻤ ْﻦ ﹶﺃﹾﻟﻘﹶﻰ ِﺇﹶﻟْﻴﻜﹸﻢ‬
َ ‫ﻳَﺎﹶﺃﱡﻳﻬَﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳ َﻦ ﺀَﺍ َﻣﻨُﻮﺍ ِﺇﺫﹶﺍ‬

‫ﻚ‬
َ ‫ﺤﻴَﺎ ِﺓ ﺍﻟ ﱡﺪْﻧﻴَﺎ ﹶﻓ ِﻌْﻨ َﺪ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ َﻣﻐَﺎِﻧﻢُ ﹶﻛِﺜ َﲑﹲﺓ ﹶﻛ ﹶﺬِﻟ‬
َ ‫ﺽ ﺍﹾﻟ‬
َ ‫ﺖ ُﻣ ْﺆ ِﻣﻨًﺎ َﺗْﺒَﺘﻐُﻮ ﹶﻥ َﻋ َﺮ‬
َ ‫ﺴ‬
ْ ‫ﺴﻠﹶﺎ َﻡ ﹶﻟ‬
‫ﺍﻟ ﱠ‬
٢١
‫ﹸﻛْﻨُﺘ ْﻢ ِﻣ ْﻦ ﹶﻗْﺒﻞﹸ ﹶﻓ َﻤ ﱠﻦ ﺍﻟﱠﻠ ُﻪ َﻋﹶﻠْﻴ ﹸﻜ ْﻢ ﹶﻓَﺘَﺒﱠﻴﻨُﻮﺍ ِﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠ َﻪ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ِﺑﻤَﺎ َﺗ ْﻌ َﻤﻠﹸﻮ ﹶﻥ َﺧِﺒﲑًﺍ‬

Artinya: wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian pergi


(berperang) di jalan Allah, maka telitilah, dan jangan kalian
mengatakan kepada orang yang mengucapkan salam kepada
kalian: “kamu bukan seorang mukmin” (lalu kalian
membunuhnya) dengan maksud mencari harta benda kehidupan
dunia karena di sisi Allah dan harta yang banyak. Begitu jugalah
keadaan kalian dahulu, lalu Allah menganugrahkan nikmat-Nya
kepada kalin, maka telitilah, sesungguhnnya Allah mengatahui apa
yang kalian kerjakan.

Adapun ayat-ayat yang berdimensi strategi dan taktik terdapat pada

Q.S. Al-Anfal ayat 15 dan 16:

‫ َﻭ َﻣ ْﻦ ﻳُ َﻮﱢﻟ ِﻬ ْﻢ‬.َ‫ﻳَﺎﹶﺃﱡﻳﻬَﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳ َﻦ ﺀَﺍ َﻣﻨُﻮﺍ ِﺇﺫﹶﺍ ﹶﻟﻘِﻴُﺘ ُﻢ ﺍﱠﻟﺬِﻳ َﻦ ﹶﻛ ﹶﻔﺮُﻭﺍ َﺯ ْﺣﻔﹰﺎ ﹶﻓﻠﹶﺎ ُﺗ َﻮﻟﱡﻮ ُﻫ ُﻢ ﺍﹾﻟﹶﺄ ْﺩﺑَﺎﺭ‬

‫ﺐ ِﻣ َﻦ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ َﻭ َﻣ ﹾﺄﻭَﺍ ُﻩ‬


ٍ ‫ﻀ‬
َ ‫ﺤﱢﻴﺰًﺍ ِﺇﻟﹶﻰ ِﻓﹶﺌ ٍﺔ ﹶﻓ ﹶﻘ ْﺪ ﺑَﺎ َﺀ ِﺑ َﻐ‬
َ ‫ﺤ ﱢﺮﻓﹰﺎ ِﻟ ِﻘﺘَﺎ ٍﻝ ﹶﺃ ْﻭ ُﻣَﺘ‬
َ ‫َﻳ ْﻮ َﻣِﺌ ٍﺬ ﺩُﺑُ َﺮﻩُ ِﺇﻟﱠﺎ ُﻣَﺘ‬
٢٢
ُ‫ﺼﲑ‬
ِ ‫ﺲ ﺍﹾﻟ َﻤ‬
َ ‫َﺟ َﻬﱠﻨﻢُ َﻭِﺑﹾﺌ‬
Artinya: hai orang-orang yang beriman, apabila kalian bertemu dengan
orang-orang kafir yang sedang menyerang kalian, maka janganlah

21
Ibid, hlm 136
22
Ibid, hlm 262
25

kalian membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa yang


membelakngi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk
(siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan
yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan
membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka
jahanam. Dan amat buruklah tempat kmbalinya.

2. Kajian Fiqih tentang Perang

Perang bukanlah konsep utama yang dikembangkan dalam Islam.

Perang disyariatkan oleh Islam dalam rangka mempertahankan eksistensi

Islam dan kaum muslimin. Tidak benar, Islam disebarkan dengan kekerasan

atau pedang.23 Sejarah perang dalam Islam klasik bukan semata-mata

menyebarkan Islam, tetapi mempertahankan sebuah negara Islam yang

dipimpin Nabi Muhammad. Islam sebagai spirit peperangan tidak bisa

dipungkiri, karena secara subyektif kaum musliminlah yang menjadi tulang

punggung negara Islam Madinah.

Dalam konteks fiqih, peperangan harus dilandasi dengan beberapa

sebab. Wahbah Zuhaili menyebut di antara sebab-sebab diperbolehkannya

adalah perbedaan pemikiran, perbedaan terhadap ajaran agama, persoalan

politik kenegaraan, menghalang-halangi keinginan manusia, mengalahkan

yang lain, dan ekspansi ke negara lain.24

Sedangkan macam-macam peperangan dalam Islam menurut Wahbah

adalah peperangan dengan non muslim, peperangan melawan orang-orang

murtad, memerangi para pemberontak, dan memerangi perampok.25

23
Wahbah Zuhaili, op. cit. hlm 62
24
ibid, hlm 47
25
ibid, hlm 47
26

Dalam peperangan melawan kaum musyrikin atau non Islam harus

melihat status dar al-harb tersebut. Ada dua status dalam konteks ini.

Pertama, mereka yang disentuh oleh dakwah Islam, namun mereka tidak

menanggapi dan menolaknya. Dalam situasi ini, tindakan yang harus

dilakukan adalah satu di antara dua pilihan. Pilihan pertama adalah memilih

sikap yang paling membawa kemaslahatan bagi kaum muslimin dan

membuat gentar kaum musyrikin, seperti menyerang merekaa pada malam

daan siang hari dengan membunuh dan membakar perkaampungan mereka.

Pilihan kedua adalah dengan mengancam mereka dengan diperangi atau

dibunuh.26

Kedua, mereka yang tidak tersentuh dakwah Islam. Pada situasi ini

kita diharamkan memerangi mereka baik pada siang maupun malam hari,

baik membunuh maupun membakar perkampungan mereka. Tidak boleh

memerangi mereka sebelum menyampaikan dakwah Islam kepada mereka.27

Adapun kewajiban yang harus dilakukan oleh pasukan Islam adalah:

a. bersikaap teguh dalam menghadapi musuh saat kedua pasukan

bertemu dan bertempur, dan tidak mundur serta tidak gentar untuk

menghadapi musuh yang dua kali lebih banyak dari pasukannya

atau yang lebih banyak lagi.

b. perang yang dilakukan harus karena Allah SWT.

26
Imam Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthoniyah wa al-Wilayah ad-Diniyah, terj. Abdul
Hayyie al-Katani “Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam”, Jakarta: Gema
Insani Press, 2000, hlm. 79
27
ibid, hlm 79
27

c. di antara kewajiban yang harus ditunaikan terhadap Allah SWT

adalah agar menunaikan amanat ghanimah yang mereka dapatkan

dan tidak ssedikitpun atas harta ghanimah itu.

d. tidak condong kepada kaum musyrikin yang mempunyai ikatan

kekerabatan.28

C. Tradisi Militer dalam Sejarah Arab

1. Tradisi Pra-Islam

Jazirah Arab, sebagai tempat tinggal bangsa Arab lebih banyak

dipenuhi dengan gurun atau padang pasir. Realitas ini menimbulkan tiga

karakteristik, yaitu sifat fatalistik, ikatan kesukuan yang tinggi, dan sifat

pragmatisme.29 Akibat karakteristik demikian peperangan antar suku adalah

hal biasa.30

Di dalam masyarakat yang mempunyai tabiat perang antar suku nilai-

nilai ‘kemanusiaan’ sangat rendah. Hukum alam, homohomoni lupus,

menjadi pegangan dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari. Sejak Arab

jahiliyah, perang dikenal sebagai ‘solusi’ konflik. Hal ini kembali pada

tradisi dan karakter bangsa Arab yang keras dan nonkompromistik.31

28
ibid, hlm 91-98
29
Said Aqiel Siradj, Ahl Sunnah wa Al-Jama’ah dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: LKPSM,
1997, hlm 45
30
lebih jelas bisa dilihat dalam Ira Lapidus, A History of Islamic Societies, terj. Ghufron A.
Mas’adi “Sejarah Sosial Umat Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000, hlm19-28. Demikian
pula dapat dikaji dalam Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in
a World Civilization, terj. Mulyadi Kartanegara “The Venture of Islam: Iman dan Sejarah dalam
Peradaban Islam”, Jakarta: Paramadina, 2002, hlm 145-206.
31
Imam Yahya, op. cit. hlm 53
28

Kebiasaan perang masa itu tentunya tidak bisa disamakan dengan

perang era sekarang. Peperangan pada masa itu harus dipahami sebagai

betuk penjagaan keamanan dan memupuk rasa solidaritas antar warga

masyarakat.32

Akibat peperangan yang terus menerus, kebudayaan Arab tidak

berkembang. Karena itu, bahan-bahan sejarah Arab pra-Islam sangat langka

didapatkan, di dunia Arab daan dalam bahasa Arab.33

2. Tradisi Militer Masa Islam (Masa Muhammad dan Khulafa al-

Rasyidiin)

Muhammad sebagai pembawa risalah Islam tidak hanya berperan

sebagai nabi melainkan juga berperan sebagai kepala negara, hakim, dan

komandan perang. Posisi ini sesuai dengan eksistensi Islam itu sendiri, yang

tidak hanya merupakan sistem kepercayaan, tetapi juga mencakup sistem

hidup bagi umatnya yang diwujudkan dalam kehidupan negara.

Sebagai sebuah negara-kota keperluan terhadap kekuatan militer tidak

bisa dihindari. Ia berfungsi sebagai alat mempertahankan diri dari ancaman

eksternal serta menjaga keamanan di dalam negeri. Pada mulanya, Allah

melarang Nabi dan kaum muslimin melakukan perang, tetapi setelah

kedzaliman yang bertubi-tubi datang dari kaum musyrikin, maka kemudian

Allah mengizinkan perang. Ketentuan itu terdapat Q.S. al-Baqarah:190 “dan

32
ibid, hlm 53
33
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Rajawali Press, 1993, hlm 11
29

perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi

janganlah kamu melampaui batas.”

Ayat itulah yang dijadikan sebagai legitimasi diperbolehkannya

perang. Tidak mengherankan jika perjalanan hidup Muhammad pun dihiasi

dengan berbagai peperangan. Perang yang diikuti Muhammad sering disebut

sebagai ghazwah sedangkan yang tidak diikutinya disebut dengan sariyah.

Begitu ekspansifnya militer Islam dalam menaklukkan daerah-daerah

sekitar berakibat pandangan miring bahwa Islam disebarkan dengan pedang.

Mengenai pandangan ini agaknya perlu dicermati beberapa hal. Pertama,

peperangan yang merupakan pintu darurat itu terjadi tidak disebabkan oleh

perbedaan agama karena perbedaan agama dapat dicarikan titik temunya.

Kedua, Islam memerintahkan amr ma’ruf nahy munkar. Kemunkaran yang

dilakukan oleh siapa saja, baik beragama Islam atau tidak harus diberantas

dengan segenap daya upaya. Ketiga, amr ma’ruf nahy munkar ini tidak

terkait langsung dengan penyiaran Islam, karena dalam kenyataan,

masyarakat asing obyek nahy munkar tidak harus masuk Islam. Keempat,

karena perang itu menghadapi musuh maka orang Islam tidak dibenarkan

membunuh orang yang bukan musuh, seperti anak-anak, wanita, dan orang

jompo.34

34
M. Zuhri, Potret Keteladanan Kiprah Politik Muhammad Rasulullah, Yogyakarta:
LESFI, 2004, hlm 92-94
30

Piagam Madinah pun menyebut bahwa mempertahankan negara

Madinah adalah hak dan kewajiban umum segenap warga Madinah.35

Ketentuan ini bertujuan untuk mempertahankan kedaulatan negara Madinah

dan menciptakan rasa aman bagi kepentingan perkembangan ajaran Islam di

jazirah Arab.

Pada masa kenabian, kekuatan militer yang dimiliki oleh Islam belum

diorganisasi secara sistematis dan belum ada pembagian tugas secara

profesional dengan pengangkatan tentara reguler, karena setiap muslim

dewasa yang sehat diwajibkan untuk berperang. Namun demikian, bukan

berarti aksi militer yang dilakukan tanpa persiapan dan strategi sama sekali.

Masa Abu Bakar (11-13 H/632-634 M) yang diwarnai pula dengan

perluasan wilayah Islam belum menunjukkan pengorganisasian militer

secara sistematis. Pengorganisasian militer secara sistematis baru ditemui

pada era Umar ibn Khatthab (13-24 H/634-644 M).36 Ini ditunjukan dengan

dibentuknya diwan al-jund (dewan militer) dan diwan al-ahdats (dewan

kepolisian).37

Adanya diwan al-jund tersebut berimplikasi pada pendataan tentara

Islam. Sehingga pada masa Umar semakin menegaskan adanya dua

kategorisasi militer/tentara dalam Islam. Pertama, militer murtaziqah.

Militer murtaziqah adalah militer yang secara resmi diberikan gaji oleh

35
J. Sayuti Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari
Pandangan Al-Qur’an, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996, hlm 173
36
Masykuri Abdillah, Militer dalam Persspektif Islam, dalam Arief Subhan “Indonesia
dalam Transisi Menuju Demokrasi”, Jakarta: LSAF, 1999, hlm 150
37
Tamir Abu as Saud Mohammad, Biography of the Rightly Guided Caliph, Kairo: Daar
Manaril, 2001, hlm 209-217
31

negara. Mereka dipersiapkan secara khusus untuk memepertahankan negara

dengan menghalau musuh-musuh yang dari luar dan akan menduduki

negara.

Mereka digaji negara dari pos pertahanan dan keamanan. Sebagai

konsekuensinya mereka harus siap setiap saat untuk berperang apabila

negara dalam keadaan bahaya. Gaji tentara adalah sah, akrena jasa yang

telah diberikan kepada negara.

Kedua, militer mutathowi’ah. Militer mutathowi’ah adalah militer

sukarela yang dijadikan sebagai cadangan kalau negara dalam keadaan

bahaya. Kelompok ini tidak saja terdiri laki-laki, tetapi juga perempuan dan

anak-anak.38 Mereka mamasuki kelompok ini atas dasar kesadaran dan

kemauan dalam rangka iktu serta mempertahankan negara dari pasukan

asing.

Kalau militer murataziqah dianggarkan dari negara, bentuk militer

yang kedua ini tidak ada anggaran rutin, budget yang disediakan diambilkan

dari dana baitul maal yang menjadi hak fi sabilillah, yakni orang-orang

yang berjuang di jalan Allah SWT.

Di samping itu, terobosan baru diciptakan Umar dengan tidak

memberikan harta rampasan perang kepada tentara Islam. harta rampasan

perang itu dimasukkan ke baitul maal. Sedangkan tentara Islam diberi gaji

38
hal ini bisa dibandingkan dengan komponen cadangan dalam UU No 3 tahun 2002
tentang pertahanan
32

yang diambilkan dari pajak umat Islam. Pemberlakuan pajak ini juga

merupakan terobosan baru yang diciptakan Umar.39

Kebijakan brilian lain yang diterapkan Umar adalah dengan

menciptakan lembaga qadhi atau hakim. Sebelumnya, jabatan hakim

dirangkap oleh masing-masing gubernur yang diangkat. Pada masa Umar

Hakim ini diangkat dan bersifat independen. Haikm-hakim yang diangkat

itu adalah Abu Dardaa’ di Madinah, Surayah Ibn al-harits al-Kindi di Kufah,

dan Qays bin Abi al-Ash di Mesir.40 Tidak heran jika Philip K. Hitti

menyebut sebagai pemimpin Islam terbesar pasca Muhammad.41

Pasca-Umar, tradisi ekspansi masih dilakukan oleh khilafah Islam.

Akan tetapi, pengornisasian militer hanya menganut pada fondasi yang

dibangun oleh Umar. Dengan kata lain, tidak ada hal-hal baru yang

fenomenal dalam konteks pengornisasian militer.

D. Hubungan Sipil Militer Perspektif Fiqih Siyasah

Konsep hubungan sipil militer perspektif fiqih siyasah sangat samar,

untuk tidak mengatakan tidak ada. Sehingga terkesan agak dipaksakan. Ini

sangat wajar mengingat kajian pada tradisi militer pada perspektif politik

barat pun baru marak pada abad ke-20. Namun, setidaknya ada kerangka

hubungan sipil militer yang diambil dari realitas empirik pemerintahan

Muhammad dan Khulafa al-Rasyidiin. Di samping itu, perspektif dari

39
Sidney Nettleton Fisher, The Middle East A History, New York: Alfred A. Knopf, 1969,
hlm 51-52
40
Tamir Abu as Saud Mohammad, op. cit. hlm 216
41
Philip K. Hitti, The Arab: A Short History, Washington: Regnery Publishing, 1996, hlm
74-75
33

teoritisi politik muslim yang pada umumnya merujuk tradisi pemerintahan

era Muhammad dan Khulafa al-Rasyidiin bisa dijadikan pijakan.

Beberapa fakta tentang tradisi militer dan hubungan sipil militer bisa

diungkap saat membaca sejarah pemerintahan Muhammad dan Khulafa al-

Rasyidiin. Dari pembacaan sejarah itu bisa disebut beberapa hal. Pertama,

mempertahankan negara adalah hak dan kewajiban warga negara. Dari

perspektif ini bisa disebut bahwa semua warga negara adalah anggota

militer. Kondisi ini relevan jika melihat pada era awal masa Muhammad.

akan tetapi jika menilik pada masa Umar bin Khatthab terdapat diferensiasi

dengan kebijakan pembentukan diwan al-jund (dewan tentara) dan diwan

al-ahdats (dewan kepolisian).

Kedua, pembentukan tentara profesional.42 Ini bisa dilihat dengan

kebijakan Umar yang menarik harta rampasan perang ke baitu al-maal dan

kemudian militer digaji dari hasil pajak rakyat. Realitas ini menunjukkan

bahwa telah terbentuk komponen utama pertahanan negara, yakni militer

murtaziqah. Sedangkan komponen cadangannya adalah militer

mutathowi’ah.

Ketiga, pembagian peran dalam pemerintahan. Terobosan yang

dilakukan Umar dalam menunjuk qadhi menunjukkan adanya pembagian

wilayah kerja. Sebelumnya, wilayah kerja itu terpusat di tangan gubernur

masing-masing propinsi. Dengan adanya pengangkatan qadhi setidaknya

42
Bandingkan dengan Imam Yahya yang melihat dengan memakai perspektif Amos
Perlmutter bahwa militer era khalifah adalah militer revolusioner. Imam Yahya, Artikulasi Politik
Militer dalam Sejarah Islam, dalam Jurnal Ahkam. Vol XIV/Ed I/April 2003, hlm 90-110
34

ada pembagian peran dari sisi kelembagaan. Artinya semua tidak ditangani

oleh lembaga militer.

Keempat, kepala negara sebagai pemimpin tertinggi militer.

Pengerahan pasukan, memilih panglima perang, dan menentukan strategi

makro pertahanan lainnya adalah wewenang kepala negara. Mentaati

perintah kepala negara adalah kewajiban warga negara.

Anda mungkin juga menyukai