pertengahan abad XX, yaitu pasca-Perang Dunia II. Sebelum Perang Dunia
II, hubungan sipil-militer baru sedikit mendapat perhatian para sarjana sosial
Mac. Arthur pada tahun-tahun 1950-an telah merangsang suatu arus baru
aspek, yaitu kontrol sipil atas militer dan intervensi militer pada domain
polittik.
melihat bahwa ada dua bentuk hubungan sipil militer. Pertama, kontrol
1
Samuel P. Huntington, Pendahuluan, dalam Amos Perlmutter, Thee Military and Politics
and Modern Times, terj. Sahat Simamora, ‘Militer dan Politik’, Jakarta: RajaGraafindo Persada,
2000, hlm XLIII
17
18
militer.2
itu memaksa institusi sipil lebih menyatu dan karenanya membuat mereka
tidak bisa dilepaskan dari sejauhmana pihak sipil mampu membatasi dan
2. Intervenssi Militer
bertolak dari “pra anggapan bahwa sesuatu telah memasuki daerah yang
sesuatu penilaian normatif akan tidak sahnya hal tersebut terjadi. Dengan
5
Ibid, hlm 25
6
dengan merujuk kamus Inggris Oxford, Stepaan mendefinisikan Hak Istimewa sebaga
“hak atau hak istimewa yang utama eksklusif, atau khusus, dan sebagai suatu kemampuan atau hak
milik yang secara khusus dan menguntungkan membedakan seseorang lebih tinggi dari yang lain”.
Alfred Stepan, Militer dan Demokratisasi:Pengalaman Brasil dan Beberapa Negara Lain, Jakarta:
Grafiti, 1996, hlm 127.
7
Ibid, hlm 127
8
A. Malik Haramain, Op. cit. hlm 21
20
intervensinya.
Dari dua paandangan itu bisa disebut ada dua gerbong dalam
militer.
9
Amos Perlmutter, Op. cit. hlm 144-155
10
S. F Finer, The Man on Horseback, The Role of the Military in Politics, Colorado:
Westview Press, hlm 20-54
21
konstitusi normal)
otoritas sipil)
Pada masa pra Islam, di Jazirah Arab belum dikenal istilah maupun
11
Ibid, hlm 127
22
sebagaimana dikenal pada era modern sekarang ini belum dikenal. Siapa
saja yang merasa menjadi warga sebuah suku atau kelompok, dengan sadar
dan ghazwah.13
senjata antara dua negara atau dua kelompok dalam sebuah negara dengan
tujan untuk merebut hak negara atau kelompok.15 Sehingga harb terjadi
menyebut jihad sebagai ‘perang suci’. Padahal istilah perang dan jihad
12
Imam Yahya, Tradisi Militer dalam Islam, Yogyakarta: Logung, 2005, hlm. 42
13
Debby M. Nasution, Kedudukan Militer dalam Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003.
hlm.1
14
Wahbah Zuhaili, Atsaru al-Harbi fi fiqhi al-Islami, Damaskus: Daar al-Fikr, 1962, hlm
24
15
Ibid, hlm 25
16
perkataan jihad seringkali diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan ‘perang suci’
Namun, jihad berbeda artinya dengan kata bahasa arab ‘qital’ (pertempuran) dan ‘harb’
(peperangan). Kata-kata tersebut hanya menunjukkan peperangan yang dilakukan di luar Islam.
Dalam Islam, praktik peperangan memiliki makna yang berbeda sekali. Definisi yang lebih tepat
mengenai ‘jihad’ adalah ‘berjuang’. Dalam konteks pemikiran dan praktik Islam, definisi ini
selanjutnya dipersempit sehingga menunjukkan perjuangan di jalan Allah. Jamilah Jitmoud,
Prinsip-prinsip Kihad dalam AlQur’an dan Sunnah dalam Mumtaz Ahmad, State Politics, and
Islam, terj. Ena Hadi “Masalah-masalah Teori Politik Islam”Bandung: Mizan, 1996, hlm 171
23
Dalam dimensi hukum bisa dilihat pada Q.S Al Baqarah ayat 190:
٢٠
ﺤﺐﱡ ﺍﹾﻟ ُﻤ ْﻌَﺘﺪِﻳ َﻦ
ِ َﻭﻗﹶﺎِﺗﻠﹸﻮﺍ ﻓِﻲ َﺳﺒِﻴ ِﻞ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﺍﱠﻟﺬِﻳ َﻦ ﻳُﻘﹶﺎِﺗﻠﹸﻮَﻧﻜﹸ ْﻢ َﻭﻟﹶﺎ َﺗ ْﻌَﺘﺪُﻭﺍ ِﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠ َﻪ ﻟﹶﺎ ُﻳ
17
ibid.
18
ibid
19
Depag RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: Toha Putra, 1989, hlm 100
20
Ibid, hlm 46
24
An-Nisa ayat 94
ُﺿ َﺮْﺑُﺘ ْﻢ ﻓِﻲ َﺳﺒِﻴ ِﻞ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﹶﻓَﺘَﺒﱠﻴﻨُﻮﺍ َﻭﻟﹶﺎ َﺗﻘﹸﻮﻟﹸﻮﺍ ِﻟ َﻤ ْﻦ ﹶﺃﹾﻟﻘﹶﻰ ِﺇﹶﻟْﻴﻜﹸﻢ
َ ﻳَﺎﹶﺃﱡﻳﻬَﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳ َﻦ ﺀَﺍ َﻣﻨُﻮﺍ ِﺇﺫﹶﺍ
ﻚ
َ ﺤﻴَﺎ ِﺓ ﺍﻟ ﱡﺪْﻧﻴَﺎ ﹶﻓ ِﻌْﻨ َﺪ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ َﻣﻐَﺎِﻧﻢُ ﹶﻛِﺜ َﲑﹲﺓ ﹶﻛ ﹶﺬِﻟ
َ ﺽ ﺍﹾﻟ
َ ﺖ ُﻣ ْﺆ ِﻣﻨًﺎ َﺗْﺒَﺘﻐُﻮ ﹶﻥ َﻋ َﺮ
َ ﺴ
ْ ﺴﻠﹶﺎ َﻡ ﹶﻟ
ﺍﻟ ﱠ
٢١
ﹸﻛْﻨُﺘ ْﻢ ِﻣ ْﻦ ﹶﻗْﺒﻞﹸ ﹶﻓ َﻤ ﱠﻦ ﺍﻟﱠﻠ ُﻪ َﻋﹶﻠْﻴ ﹸﻜ ْﻢ ﹶﻓَﺘَﺒﱠﻴﻨُﻮﺍ ِﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠ َﻪ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ِﺑﻤَﺎ َﺗ ْﻌ َﻤﻠﹸﻮ ﹶﻥ َﺧِﺒﲑًﺍ
َﻭ َﻣ ْﻦ ﻳُ َﻮﱢﻟ ِﻬ ْﻢ.َﻳَﺎﹶﺃﱡﻳﻬَﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳ َﻦ ﺀَﺍ َﻣﻨُﻮﺍ ِﺇﺫﹶﺍ ﹶﻟﻘِﻴُﺘ ُﻢ ﺍﱠﻟﺬِﻳ َﻦ ﹶﻛ ﹶﻔﺮُﻭﺍ َﺯ ْﺣﻔﹰﺎ ﹶﻓﻠﹶﺎ ُﺗ َﻮﻟﱡﻮ ُﻫ ُﻢ ﺍﹾﻟﹶﺄ ْﺩﺑَﺎﺭ
21
Ibid, hlm 136
22
Ibid, hlm 262
25
Islam dan kaum muslimin. Tidak benar, Islam disebarkan dengan kekerasan
23
Wahbah Zuhaili, op. cit. hlm 62
24
ibid, hlm 47
25
ibid, hlm 47
26
melihat status dar al-harb tersebut. Ada dua status dalam konteks ini.
Pertama, mereka yang disentuh oleh dakwah Islam, namun mereka tidak
dilakukan adalah satu di antara dua pilihan. Pilihan pertama adalah memilih
dibunuh.26
Kedua, mereka yang tidak tersentuh dakwah Islam. Pada situasi ini
kita diharamkan memerangi mereka baik pada siang maupun malam hari,
bertemu dan bertempur, dan tidak mundur serta tidak gentar untuk
26
Imam Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthoniyah wa al-Wilayah ad-Diniyah, terj. Abdul
Hayyie al-Katani “Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam”, Jakarta: Gema
Insani Press, 2000, hlm. 79
27
ibid, hlm 79
27
kekerabatan.28
1. Tradisi Pra-Islam
dipenuhi dengan gurun atau padang pasir. Realitas ini menimbulkan tiga
karakteristik, yaitu sifat fatalistik, ikatan kesukuan yang tinggi, dan sifat
hal biasa.30
jahiliyah, perang dikenal sebagai ‘solusi’ konflik. Hal ini kembali pada
28
ibid, hlm 91-98
29
Said Aqiel Siradj, Ahl Sunnah wa Al-Jama’ah dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: LKPSM,
1997, hlm 45
30
lebih jelas bisa dilihat dalam Ira Lapidus, A History of Islamic Societies, terj. Ghufron A.
Mas’adi “Sejarah Sosial Umat Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000, hlm19-28. Demikian
pula dapat dikaji dalam Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in
a World Civilization, terj. Mulyadi Kartanegara “The Venture of Islam: Iman dan Sejarah dalam
Peradaban Islam”, Jakarta: Paramadina, 2002, hlm 145-206.
31
Imam Yahya, op. cit. hlm 53
28
perang era sekarang. Peperangan pada masa itu harus dipahami sebagai
masyarakat.32
Rasyidiin)
sebagai nabi melainkan juga berperan sebagai kepala negara, hakim, dan
komandan perang. Posisi ini sesuai dengan eksistensi Islam itu sendiri, yang
32
ibid, hlm 53
33
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Rajawali Press, 1993, hlm 11
29
peperangan yang merupakan pintu darurat itu terjadi tidak disebabkan oleh
dilakukan oleh siapa saja, baik beragama Islam atau tidak harus diberantas
dengan segenap daya upaya. Ketiga, amr ma’ruf nahy munkar ini tidak
masyarakat asing obyek nahy munkar tidak harus masuk Islam. Keempat,
karena perang itu menghadapi musuh maka orang Islam tidak dibenarkan
membunuh orang yang bukan musuh, seperti anak-anak, wanita, dan orang
jompo.34
34
M. Zuhri, Potret Keteladanan Kiprah Politik Muhammad Rasulullah, Yogyakarta:
LESFI, 2004, hlm 92-94
30
jazirah Arab.
Pada masa kenabian, kekuatan militer yang dimiliki oleh Islam belum
berarti aksi militer yang dilakukan tanpa persiapan dan strategi sama sekali.
pada era Umar ibn Khatthab (13-24 H/634-644 M).36 Ini ditunjukan dengan
kepolisian).37
Militer murtaziqah adalah militer yang secara resmi diberikan gaji oleh
35
J. Sayuti Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari
Pandangan Al-Qur’an, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996, hlm 173
36
Masykuri Abdillah, Militer dalam Persspektif Islam, dalam Arief Subhan “Indonesia
dalam Transisi Menuju Demokrasi”, Jakarta: LSAF, 1999, hlm 150
37
Tamir Abu as Saud Mohammad, Biography of the Rightly Guided Caliph, Kairo: Daar
Manaril, 2001, hlm 209-217
31
negara.
negara dalam keadaan bahaya. Gaji tentara adalah sah, akrena jasa yang
bahaya. Kelompok ini tidak saja terdiri laki-laki, tetapi juga perempuan dan
asing.
yang kedua ini tidak ada anggaran rutin, budget yang disediakan diambilkan
dari dana baitul maal yang menjadi hak fi sabilillah, yakni orang-orang
perang itu dimasukkan ke baitul maal. Sedangkan tentara Islam diberi gaji
38
hal ini bisa dibandingkan dengan komponen cadangan dalam UU No 3 tahun 2002
tentang pertahanan
32
yang diambilkan dari pajak umat Islam. Pemberlakuan pajak ini juga
itu adalah Abu Dardaa’ di Madinah, Surayah Ibn al-harits al-Kindi di Kufah,
dan Qays bin Abi al-Ash di Mesir.40 Tidak heran jika Philip K. Hitti
dibangun oleh Umar. Dengan kata lain, tidak ada hal-hal baru yang
untuk tidak mengatakan tidak ada. Sehingga terkesan agak dipaksakan. Ini
sangat wajar mengingat kajian pada tradisi militer pada perspektif politik
barat pun baru marak pada abad ke-20. Namun, setidaknya ada kerangka
39
Sidney Nettleton Fisher, The Middle East A History, New York: Alfred A. Knopf, 1969,
hlm 51-52
40
Tamir Abu as Saud Mohammad, op. cit. hlm 216
41
Philip K. Hitti, The Arab: A Short History, Washington: Regnery Publishing, 1996, hlm
74-75
33
Beberapa fakta tentang tradisi militer dan hubungan sipil militer bisa
Rasyidiin. Dari pembacaan sejarah itu bisa disebut beberapa hal. Pertama,
perspektif ini bisa disebut bahwa semua warga negara adalah anggota
militer. Kondisi ini relevan jika melihat pada era awal masa Muhammad.
akan tetapi jika menilik pada masa Umar bin Khatthab terdapat diferensiasi
kebijakan Umar yang menarik harta rampasan perang ke baitu al-maal dan
kemudian militer digaji dari hasil pajak rakyat. Realitas ini menunjukkan
mutathowi’ah.
42
Bandingkan dengan Imam Yahya yang melihat dengan memakai perspektif Amos
Perlmutter bahwa militer era khalifah adalah militer revolusioner. Imam Yahya, Artikulasi Politik
Militer dalam Sejarah Islam, dalam Jurnal Ahkam. Vol XIV/Ed I/April 2003, hlm 90-110
34
ada pembagian peran dari sisi kelembagaan. Artinya semua tidak ditangani