Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH FIQIH SIYASAH

“Pergantian Bentuk Ketatanegaraan Islam (Dustur)


dari Musyawarah ke Mamlakah”

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................ i
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................1
A. Latar Belakang ..........................................................................................1
B. Rumusan Masalah ......................................................................................1
C. Tujuan ........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................3
A. Masa Musyawarah ....................................................................................3
B. Masa Mamlakah .........................................................................................5
BAB III PENUTUP ..............................................................................................17
A. Kesimpulan .............................................................................................17
B. Saran ........................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................18

i
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Allah SWT mengangkat Rasulullah SAW sebagai pemimpin bagi orang-orang terdahulu
dan orang-orang di kemudian hari.1 Rasulullah berdakwah, menyampaikan risalah,
membangun masyarakat baru atas dasar uluhiyah Allah dan pengenyahan terhadap uluhiyah
selain-Nya.2 Berkat kelebihan dakwah Islam hingga terciptalah kesatuan bangsa Arab,
kesatuan manusia, keadilan sosial, kebahagiaan manusia di segala aspek kehidupan dunia dan
juga permasalahan kehidupan akhirat.3 Rasulullah telah membentuk negara Islam di Madinah
dan Rasulullah menjadi kepala pemerintahannya yang mempunyai otoritas untuk
menyelesaikan segala masalah yang timbul berdasarkan konsitusi.4
Sepeninggal Rasulullah, pemerintahan dilanjutkan al-Khulafa’ al-Rasyidin dengan
diangkatnya seorang khalifah sebagai pemimpin. Abu Bakar yang ditunjuk menjadi khalifah
pengganti Nabi berdasarkan musyawarah yang diadakan di Tsaqifah bani Sa’idah antara orang
Anshar dengan orang Muhajirin mendapat bai’at dari mayoritas umat Islam, tetapi tidak dari
Ali bin Abi Thalib kecuali enam bulan kemudian. Pemerintahan al-Khulafa’ al-Rasyidin berakhir
dengan wafatnya khalifah keempat yaitu Ali bin Abi Thalib. Setelah al-Khulafa’ al-Rasyidin,
wilayah kekuasaan Islam telah meluas ke luar jazirah Arab.5
Hukum dan pemerintahan pada masa ini tidak dapat dibedakan secara tegas
sebagaimana dalam konsep pemerintahan modern. Secara formal, perundang-undangan atau
legislasi dilakukan oleh khalifah. Tapi kenyataannya dalam praktek, hal ini dilakukan juga oleh
umat Islam sendiri, terutama kalangan sahabat yang lebih dahulu masuk Islam. Kewenangan
legislatif belum lagi terkonsentrasi dalam sebuah lembaga atau dewan perwakilan, tetapi
berada di tangan khalifah sendiri dan dibantu oleh sahabat lainnya. Pengambilan keputusan
pun dilakukan secara musyawarah di antara mereka.6

1
Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, Sirah Nabawiyah, Terj. Kathur Suhardi (Jakarta:Pustaka Al-Kautsar,
2008), hal. 558.
2
Ibid. hal. 561
3
Ibid. hal. 560
4
Syamruddin Nasution, Sejarah Peradaban Islam (Pekanbaru:Yayasan Pusaka Riau, 2013), hal. 45
5
Ibid. hal. 61
6
Budiarti, “Studi Siyasah Syar’iyah Terhadap Konsep Legislatif Dalam Ketatanegaraan Islam”, Zawiyah Jurnal
Pemikiran Islam. Vol. 3 No. 2, Desember 2017, hal.46.

1
Pasca kepemimpinan al-Khulafa al-Rasyidin, kepemimpinan berpindah ke tangan
Dinasti Umaiyah dan Dinasti Abbasiyah. Betapapun pada kedua Dinasti ini kehilangan
kepemimpinan Islam, karena telah berubah menjadi kerajaan (monarki).7
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, menjadi sumber rujukan
dalam menemukan suatu permasalahan yang kiranya perlu dikaji demi memperoleh suatu
pemahaman baru dan pengetahuan baru. Bagaimana pergantian bentuk ketatanegaraan
(dustur) dari musyawarah menjadi mamlakah (kekuasaan/kerajaan).
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas, penulis mengambil rumusan masalah adalah :
1. Bagaimana pergantian bentuk ketatanegaraan (dustur) dari musyawarah menjadi
mamlakah (kekuasaan/kerajaan)?
C. Tujuan
Dari Rumusan masalah diatas, penulis merumuskan tujuan adalah menjelaskan
mengenai pergantian bentuk ketatanegaraan (dustur) dari musyawarah menjadi mamlakah
(kekuasaan/kerajaan)

7
Ibid. hal. 52

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Masa Musyawarah
1. Masa Rasulullah SAW
Allah SWT mengangkat Rasulullah SAW sebagai pemimpin bagi orang-orang terdahulu
dan orang-orang di kemudian hari.8 Rasulullah berdakwah, menyampaikan risalah,
membangun masyarakat baru atas dasar uluhiyah Allah dan pengenyahan terhadap
uluhiyah selain-Nya.9 Perjalanan kenabian dan kerasulan Muhammad yang membawa
risalah dan kebahagiaan seluruh umat manusia ternyata tidak selamanya mulus, terutama
di awal kenabiannya di Makkah. Orang Makkah begitu benci kepada Beliau dan
pengikutnya, mereka beranggapan bahwa Muhammad itu berbahaya, karena telah
menghancurkan pranata kebanaran yang telah mereka bangun dan tradisikan.
Ajaran yang diberikan Nabi Muhammad Saw. Ketika berada di Makkah adalah ajaran
tentang tauhid. Ajaran Muhammad memberikan kebebasan kepada umat manusia, dan
menjadikan manusia sederajat antara yang satu dengan lainnya. Memahami beberapa
uraian mengenai perjalanan Nabi Muhammad di Makkah, maka fungsinya hanya terbatas
kepada kepemimpinan keagamaan, belum menyentuh ke aspek yang lebih luas, kondisi
ini terjadi karena secara politik ummat Islam di Mekkah masih kalah oleh kekuatan dan
kekuasaan serta pengaruh kaum Quraish. Muhammad belum mengibarkan bendera Islam
secara politik dan pemerintahan, Beliau hanya sebatas sebagai kepala agama.10
Nabi dan sahabatnya mengadakan hijrah ke Yasrib (Madinah) setelah sebelumnya
mengadakan perjanjian dengan penduduk Madinah. Nabi mulai menata di bidang politik
dimulai dengan memupuk rasa persaudaraan antara sesama umat Islam dengan umat
lainnya, Beliau berhasil mendirikan suatu persekutuan dari berbagai unsur dan etnis serta
agama yang berbeda.
Nabi Muhammad mendirikan negara atas dasar persamaan, kebebasan dan
persaudaraan. Mereka bersatu atas persemakmuran Islam, dan karena kejadian ini umat
manusia dewasa ini menyebutnya dengan panji Madinah. Di awal tahun hijriyah, Nabi
Muhammad mendirikan sebuah masjid sebagai tempat melaksanakan ritual dan kegiatan
sosial. Di masjid ini Nabi memulai karir lengkapnya sebagai kepala agama dan kepala
pemerintahan. Di masjid ini pula Nabi mengajarkan praktek sosial yang tidak

8
Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, Op.Cit., hal. 558.
9
Ibid. hal. 561
10
AH. Zakki Fuad, Sejarah Peradaban Islam (Surabaya:UIN Surabaya, 2016), hal. 14

3
bertentangan dengan ajaran Tuhan yang mana hak, dia memimpin umat Islam dan umat
lainnya.11
Ada dua prinsip yang mendasar dari kepemimpinan Nabi Muhammad:
a. Prinsip Persaudaraan
Nabi menganjurkan kepada sahabat dan pengikutnya untuk menjalankan kesatuan
dan persatuan. Ikatan keimanan lebih mengikat daripada pertalian darah.
b. Prinsip Musyawarah
Nabi Muhammad Saw. selalu mengadakan musyawarah dengan para sahabatnya, ia
selalu berkomunikasi dengan umatnya, bahkan kerap kali mendapatkan dirinya
meminta pendapat kepada sahabat.
Kedua prinsip berkembang menjadi prinsip kemanusiaan, persamaan, keadilan sosial,
keadilan ekonomi, dan prinsip solidaritas dan kebersamaan. Sedangkan untuk
merumuskan dasar-dasar kenegaraan yang kuat dibuatlah undang-undang
kenegaraan pertama yang dikenal dengan Piagam Madinah.
2. Al-Khulafa Al-Rasyidin
Arti kata Khilafah adalah “Niyabah ‘an al-gairi” artinya pengganti. ArRaghib al-Asfahani
mengartikan khilafah sebagai pengganti orang lain disebabkan gaibnya orang yang
digantikan.
Sepeninggal Rasulullah, muncul beda pendapat di antara orang Anshar dan orang
Muhajirin tentang siapa sebenarnya yang berhak menjadi khalifah pengganti Nabi, karena
Nabi tidak meninggalkan wasiat tentang penunjukan seseorang menjadi khalifah
sepeninggalnya. Abu Bakar yang ditunjuk menjadi khalifah pengganti Nabi berdasarkan
musyawarah yang diadakan di Tsaqifah bani Sa’idah antara orang Anshar dengan orang
Muhajirin mendapat bai’at dari mayoritas umat Islam, tetapi tidak dari Ali bin Abi Thalib
kecuali enam bulan kemudian. Penunjukan Abu Bakar sebagai khalifah dapat
menyelamatkan umat Islam dari krisis yang sangat genting karena munculnya orang
murtad, Nabi palsu dan yang enggan membayar zakat, Abu Bakar bertindak tepat
memerangi mereka sampai kembali kepada kebenaran. Itu sebabnya Abu Bakar dikenal
sebagai khalifah penyelamat Negara Islam12
Pemerintahan Islam dipimpin oleh empat orang sahabat terdekat Rasulullah SAW selama
30 tahun. Kepemimpinan tersebut adalah periode Khalifah Empat atau Al-Khulafa Al-
Rasyidun, terdiri dari empat khalifah, yaitu:

11
Ibid, hal 15-16
12
Syamruddin Nasution, Op.Cit., hal. 61-62

4
1. Abu Bakar al-Shiddiq 11-13 H/632-634 M
2. Umar bin Khattab 13-23 H/634-644 M
3. Utsman bin Affan 23-35 H/644-656 M
4. Ali bin Abi Thalib 35-40 H/656-661 M13
Tiga Pergolakan yang mengakhiri kekhilafahan khalifah Ali bin Abi Thalib adalah : perang
jamal, perang siffin dan peristiwa tahkim. Berakhirnya kekhalifahan Ali bin Abi Thalib
sekaligus mengkahiri periode Al-Khulafa Al-Rasyidin, kemudian berpindah tangan ke
Muawiyah bin Abi Sofyan, yaitu bermulanya kekuasaan Bani Umayah dalam Sejarah
Peradaban Islam. Dengan wafatnya Ali bin Abi Thalib merupakan kerugian besar bagi umat
Islam, republik dan zaman ideal Islam berakhir. Muawiyah kemudian mengubah khilafah
menjadi kerajaan, dan penetapan pemerintahan oleh dinasti-dinasti dalam Islam.
Madinah, kaum Anshar dan Bangsa Arab dari Semenanjung Arabia kehilangan pengaruh
mereka dalam kekhalifahan. Dimulailah supremasi orang Arab Damaskus dan Syria dalam
sebuah imperium-keberadaannya bertolak belakang dengan sistem Islam yang
demokratis sebagaimana dicontohkan Al-Khulafa Al-Rasyidin sebelumnya.14
B. Masa Mamlakah

Kontroversi penggantian khalifah Ali kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan mengundang
beberapa peristiwa pahit yang disebut dengan lembaran hitam sejarah Islam. Mu’awiyah
melalui tahkim telah terangkat menjadi khalifah yang tidak resmi, sedangkan Ali turun dari
kedudukan khalifah secara tidak resmi pula, sehingga terjadi dua kekuasaan khalifah, Ali di
Irak dan Mu’awiyah di Damaskus. Terbunuhnya Ali digunakan menjadi titik berakhirnya
kekhalifahan Bani Hasyim tersebut,namun kedudukan khalifah dijabat oleh anaknya
Hasan.kedudukan Hasan sebagai khalifah mempunyai kerapuhan disebabkan Hasan tidak
punya kemampuan setara dengan Ali bin Abi Thalib. Kelemahan Hasan ini dimanfaatkan oleh
Muwiyah untuk mengamankan posisinya sebagai khalifah dengan tawaran-tawaran dan
diplomasi. Akhirnya Hasan bersedia mengundurkan diri dari jabatan kekhalifaan bila
Mu’awiyah mau menerima syarat-syarat yang dijanjikan. Bagi Mu’awiyah syarat-syarat
seberat apapun tidak perlu dipertimbangkannya, ia bersedia menjanjikan apa saja asalkan
Hasan bersedia mengundurkan diri dari kekhalifahan yang dituangkan dalam perjanjian.
Perjanjian ini membawa dampak positif dalam sejarah Islam dengan kembalinya umat Islam

13
Rusydi Sulaiman, Pengantar Metodologi Studi Sejarah Peradaban Islam(Jakarta:Rajawali Pers, 2014), hal 205
14
Ibid, hal 248-250

5
dalam satu kepemimpinan. Tahun itu dikenal dalam sejarah sebagai tahun persatuan(‘Am al-
jama’ah). Dengan turunnya Hasan dari kursi kekhalifahan maka Mu’awiyah naik ke tampuk
kekuasaan, kekuasaan yang didambakanya, yang diperoleh melalui kekerasan, diplomasi, tipu
daya dan tampa melalui suksesi suara terbanyak. Dengan demikian secara resmi berdirilah
Bani Umayyah dengan khalifah yang pertama Mu’awiyah bin Abu Sufyan.

1) Masa Dinasti Umayah (661-750 M)

Dalam panggung sejarah Dinasti Bani Umayyah ini bertahan selama 90 tahun dengan 14
khalifah, semuanya diangkat berdasarkan keturunan Bani Umayyah. Pada masa pemerintahan
Dinasti Bani Umayyah ini terkenal dengan perubahan sistem pemerintahan dari Baiat ke
sistem kerajaan. Dan Mu’awiyah juga menganut kebijakan yang kuat. Perluasan kekuasaan
muslim yang besar terjadi di bawah kepemimpinannya. Dia adalah organisator ulung bagi
kemenangan-kemenangan Islam.15

Menurut M.A. Shaban semua khalifah Dinasti Umayyah tidak ada yang diangkat melalui
Majelis Syuro, melainkan menggunakan sistem waris sebahgaimana layaknya sebuah
kerajaan. Oleh karena itu, menurut Abu A’la Maududi mereka tak pantas mendapat sebutan
khalifah sebagaimana Khulafa Rasyidin. Mereka melakukan perubahan suksesi dan sistem
musyawarah yang melibatkan umat secara terbuka, terutama dalam hal-hal kebijakan secara
umum, seperti yang biasa dilakukan khulafaurrasyidun dulu. Bahkan kontrol masyarakat
terhadap mereka pun sangat terbatas, bahkan tidak bisa sama sekali.16

Dinasti Umayah merupakan Dinasti Arab sentris. Semua sultan-sultan yang berkuasa
sepanjang sejarahnya berkebangsaan Arab, dan Bahasa Arab sebagai bahasa resmi negara.
Wilayah Syria yang berpusat di Damaskus, sebagai pusat politik kerajaan saat itu, termasuk
juga wilayah Kuffah yang menjadi wilayah pengungsian kaum Syi’ah pada masa Khalifah Ali
bin Abi Thalib. Muawiyah tidak hanya mengonsolidasi kekuatan negara, melainkan juga
perluasan wilayah kekuasaan. 17

Kemajuan dinasti Umayah terjadi pada masa pemerintahan Muawiyah bin Abi Sofyan sampai
pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik 661M/41 H – 743 M/125 H), sedangkan masa
pemerintahan khalifah-khalifah setelah Hisyam mengarah kepada kehancuran. Menurut
Mahyudin H. Yahya, Dinasti Umayah mengalami kemajuan dan kemampuan peradaban Islam

15
AH. Zakki Fuad, Op.Cit., hal. 78-79
16
Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam : Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, Politik,
dan Budaya Umat Islam (Jakarta:Rajawali Pers, 2009), hal 35
17
Rusydi Sulaiman, Op.Cit., hal 253

6
selama dasawarsa pertama kekuasaannya, sedangkan dasawarsa berikutnya,dinasti ini
mengalami kemunduran bahkan keruntuhan. Sementara menurut Ahmad Amin kemapanan
peradaban Islampada masa Dinasti Umayah hanya terjadi pada Muawiyah bin Abi Sofyan,
Abdul Malik bin Marwan dan Umar bin Abdul Aziz. Namun demikian, menurut Ahmad Amin,
secara umum peradaban Islam pada masa dinasti ini berkuasa telah sampai kepada
puncaknya, dibandingkan pada masa-masa sebelumnya.18

Menurut Ali Husni Al-Kharbutily, Muawiyah—sebagai pendiri pertama Dinasti Umayah—


adalah orang yang cerdik dan sangat ahli di bidang siyasah. Oleh karena itu, pada awal
berdirinya dinasti ini membagi wilayah kekuasaannya kepada lima front kekuatan politik yang
terhadap masing-masing wilayah, menurut Mahyudin diterapkan tata aturan politik yang
berbeda, yaitu:

1. Front Jazirah Arabia yang meliputi Hijaz, Yaman, Makkah dan Madinah;
2. Front Mesir yang mencakup seluruh wilayah Mesir;
3. Front Irak yang mencakup wilayah-wilayah Teluk Persia, Aman, Bahrain, Sijistan, Kirman,
Khurasan sampai ke Punjab India;
4. Front Asia Kecil yang mencakup wilayah Armenia dan Azerbaijan, dan
5. Front Afrika yang mencakup wilayah Barbar, Andalusia dan negara-negara di sekitar Laut
Tengah.19

Pada masa Bani Umayyah berkuasa, harus diakui banyak sekali keberhasilan yang di capai, jika
dapat diklasifikan, maka yang paling utama dapat dilihat dari 2 aspek, yaitu: (1) Wilayah
kekuasaan dan Perpolitikan dan (2) Perkembangan Keilmuan, berikut diantaranya:20

1) Ekspansi (perluasan wilayah/daerah kekuasaan) secara besar-besaran. Daerah-daerah itu


meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil,
Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Purkmenia, Uzbek, dan Kirgis
di Asia Tengah.
2) Muawiyah banyak berjasa dalam pembangunan di berbagai bidang.
3) Mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang
lengkap dengan peralatannya di sepanjang jalan.

18
Ajid Thohir, Op.Cit., hal 37
19
Ajid Thohir, Op.Cit., hal 38-39
20
Taufik Rachman, “Bani Umayyah Dilihat dari Tiga Fase (Fase Terbentuk, Kejayaan dan Kemunduran)”, Juspi
Jurnal Sejarah Peradaban Islam. Vol. 2 No. 1, 2018, hal 93-96

7
4) Dia juga berusaha menertibkan angkatan bersenjata dan mencetak mata uang. Pada
masanya, jabatan khusus seorang hakim (qadhi) mulai berkembang menjadi profesi
tersendiri, Qadhi adalah seorang spesialis dibidangnya.
5) Abd al-Malik mengubah mata uang Bizantium dan Persia yang dipakai di daerah-daerah
yang dikuasai Islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri pada tahun 659 M dengan
memakai kata-kata dan tulisan Arab.
6) Khalifah Abd al-Malik juga berhasil melakukan pembenahan-pembenahan administrasi
pemerintahan dan memberlakukan Bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi
pemerintahan Islam. Keberhasilan Khalifah Abd al-Malik diikuti oleh puteranya al-Walid
ibn Abd alMalik (705-715 M) seorang yang berkemauan keras danberkemampuan
melaksanakan pembangunan. Dia membangun panti-panti untuk orang cacat. Semua
personel yang terlibat dalam kegiatan yang humanis ini digaji oleh negara secara tetap.
7) Dia juga membangun jalan jalan raya yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah
lainnya, pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan dan mesjid-mesjid yang megah.
8) Pada aspek politik, Bani Umayyah menyusun tata pemerintahan yang sama sekali baru
untuk memenuhi tuntutan perkembangan wilayah dan administrasi negara yang lebih
teratur. Selain mengangkat Penasihat sebagai pendamping, Khalifah Bani Umayyah di
bantu beberapa sekretaris yaitu: Katib ar-Rasail, sekretaris yang bertugas
menyelenggarakan administrasi dan surat menyurat dengan para pembesar setempat;
Katib al-Kharaj, sekretaris yang bertugas menyelenggarakan penerimaan dan pengeluaran
negara; Katib al-Jundi, sekretaris yang bertugas menyelenggarakan segala hal yang
berkaitan dengan ketentaraan; Katib asy-Syurtah, sekretaris yang bertugas sebagai
pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum; Katib al-Qudat, sekretaris yang
menyelenggarakan tertib hukum melalui badan-badan peradilan dan hukum setempat.
9) Perkembangan Keilmuan. Pada masa pemerintahan dinasti umayyah, kota Makkah dan
Madinah menjadi tempat berkembangnya music, lagu dan puisi. Sementara di Irak
(Bashrah dan Kufah) berkembang menjadi pusat aktivitas intelektual di dunia Islam.
Sedangkan di Marbad, kota satelit di Damaskus, berkumpul para pujangga, filsuf, ulama,
dan cendikiawan lainnya.

Beberapa ilmu yang berkembang pesat seperti :

a. Pengembangan Bahasa Arab.


b. Ilmu Qiraat
c. Ilmu Tafsir
d. Ilmu Hadits

8
e. Ilmu Fikih
f. Ilmu Nahwu
g. Ilmu Geografi dan Tarikh
h. Usaha Penterjemahan
10) Seni dan Budaya. Pada masa bani Umayah ini berkembang seni Arsitektur terutama
setelah ditaklukkananya spanyol oleh Thariq bin Ziyat. Ekspresi seni ini diwujudkan pada
bangunan-bangunan masjid yang didirikan mada masa ini. Arsitektur bangunannya
memadukan antara budaya Islam dengan budaya sekitar. Bukti perkembangan arsitektur
pada masa ini nampak seperti pada Kuba batu Masjidil al-Aqsha yang dikenal dengan
Dome or The Rock (Qubah Ash-Shakhra) di Yerusalem, bangunan Masjidil Haram dan
Masjid Nabawi yang disempurnakan bangunannya pada masa Umar bin Abdul Aziz,
menara-menara yang didirikan oleh al-Walid di Suria dan Hijaz, bangunan gereja yang
diperbaiki dan diubah fungsinya oleh al-Walid menjadi masjid, serta istana-istana kecil dan
rumah-rumah peristirahatan pada khalifah dan anak-anaknya. Seni rupa berupa lukisan
yang terlihat pada ukiran dinding bangunan juga berkembang. Para pelukis disebut
dengan mushawwirun. Sedangkan dalam lagu dan nyanyian sebenarnya telah
berkembang pada masa pra islam dengan adanya lagu kemenangan, perang, keagamaan
dan cinta serta terdapat beberapa alat musik berupa tabur segi empat (duff), seruling
(qashabah), suling rumput (zamr). Musisi terkenal pada masa ini salah satunya adalah Said
ibn Misjah, Ibn Surayjsab Ibn Muhriz.

Pada fase akhir kekuasaan Umayah terjadi konflik yang menentang legitimasi dan keadilan
pemerintah sehingga menyebabkan melemahnya solidaritas di kalangan Bangsa Arab.
Kerusuhan dan pemberontakan antar suku ditambah dengan gabungan berbagai kekuatan,
seperti kaum Khawarij dan Kaum Syi’ah yang telah memberi banyak pengaruh bagi
kemunduran Dinasti Umayah. Mereka akhirnya mendapat kesulitan karena konflik yang
ditimbulkan dan masalah asimilasi sosial danpenyatuan ekonomi antara non-Arab dan
kerajaan-kerajaan Islam. Terjadinya kemundurandinasti ini selain faktor eksternal, juga
disebabkan oleh masalah internalpemerintahan, sikap arogan sebagian khalifah, hidup
semena-mena dan kurang bermoral sehingga lupa diri. Tugas kekhalifahan akhirnya
terbengkalai. Adapun sebab-sebab kehancuran adalah:

1) Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru dalam tradisi
Arab yang lebih mengutamakan aspek senioritas, sehingga hal tersebut menimbulkan
persaingan dikalangan istana.

9
2) Melemahnya kekuatan negara karenaharus menghadapi banyak konflik antar kelompok
umat Islam
3) Bertambah meruncingnya pertentangan kaum mawali yang merasa imperior
4) Lemahnya perhatian penguasa kepada ilmu agama
5) Munculnya kekuatan baru yang dipimpin oleh keturunan al-Abbas bin Abd al-Muthalib
yang didukung penuh kaum Syi’ah, Bani Hasyim dan kelompok Mawali21

2) Masa Dinasti Abbasiyah

Pemerintah bani Abbas adalah keturunan al-Abbas, paman Rasulullah Saw. Pendirinya adalah
Abdullah Ibn Muhammad Ibn Ali Ibn al-Abbas, Sebagian besar ahli sejarah dalam buku-buku
sejarah menulisnya dengan nama Abul Abbas, pendirian khilafah Bani Abbas dianggap sebagai
suatu kemenangan bagi kalangan Bani Hasyim yang menghendaki agar kekhalifahan setelah
Rasulullah saw wafat diserahkan kepada keluarga Rasulullah dan sanak saudaranya. Umat
Islam menganggap bahwa yang dimaksud dengan keluarga Rasulullah adalah keturunan Ali,
sehingga mereka mau membantu perjuangan Bani Abbas menggulingkan pemerintahan Bani
Umayyah. Kenyataanya tidak demikian, setelah Bani Abbas berkuasa, lantas mengumumkan
mereka lebih utama dari bani Hasyim untuk mewarisi Rasulullah karena moyang mereka
adalah paman Rasulullah. Dari sinilah munculnya gerakan pemberontakan terhadap
pemerintahan Bani Abbas.

Luas daerah kekuasaan Khilafah Bani Abbas tidak sama dengan luas kekuasaan Khilafah Bani
Umayyah. Kekuasaan khilafa Bani Abbas tidak diakui di Spanyol, seluruh Afrika kecuali Mesir,
tetapi hanya sebentar.22

Ketika dinasti Umawiyah runtuh, pemerintahan yang didirikan oleh kelompok Quraisy yang
lain dari keturunan Abbas, paman Nabi juga berbentuk monarki. Golongan khawarij, satu
kelompok yang berpendirian bahwa jabatan khalifah itu terbuka bagi tiap muslim yang
mampu dan tidak harus suku Quraisy, justru terkucilkan dari dunia Islam. Baik pendukung Ali
maupun pengikut Muawiyah, keduanya sependirian bahwa kepemimpinan dunia Islam
merupakan monopoli suku Quraisy. Bahkan bagi kelompok yang pertama lebih dipersempit
lagi, jabatan khalifah atau imam itu harus dari keturunan Nabi atau ahl al-Bait.

Sistem dan bentuk pemerintahan, struktur organisasi pemerintahan dan administrasi


pemerintahan dinasti ini pada hakikatnya tidak jauh berbeda dari Dinasti Umaiyah. Namun

21
Rusydi Sulaiman, Op.Cit.,, hal 255-256
22
AH. Zakki Fuad, Op. Cit, hal. 113

10
ada hal-hal baru yang diciptakan oleh Bani Abbas. Sistem dan bentuk pemerintahan monarki
yang dipelopori oleh Muawiyah bin Abi Sufyan diteruskan oleh Dinasti Abbasiyah, sangat
dipengaruhi oleh kebudayaan Persia. Karena kota Baqhdad, pusat pemerintahan Dinasti
Abbasiyah berada di lingkungan pengaruh Persia. Struktur organisasi Dinasti Abbasiyah terdiri
dari al-khilafat, al-wizarat, al-kitabat dan al-hijabat. Lembaga khalifah dijabat oleh seorang
khalifah sebagaimana telah disebutkan dan suksesi khalifah berjalan secara turun-temurun
dilingkungan keluarga Dinasti Abbasiyah23

Bani Abbas mengembangkan sistem pemerintahan dengan mengacu pada empat aspek, yaitu:

1. Aspek Khilafah

Bani Abbas memepersatukan kekuasaan agam dan politik. Khalifah memerintah berdasarkan
mandate dari Tuhan dan bukan pilihan rakyat. Oleh karena itu kekuasaannya adalah suci dan
mutlak harus dipatuhi oleh umat. Menurut prinsip ini kekuasaan khalifah bersifat absolut dan
tidak boleh digantikan samapi meninggal.

2. Aspek Wizarah

Wizarah adalah salah satu aspek dalam kenegaraan yang membantu tugas kepala negara,
sedangkan wazir adalah orang yang membantu dalam pelaksanaan tugas kenegaraan.

3. Aspek Hijabah

Hijab adalah penghalang, dan hajib (petugas) hijab berarti pengawal khalifah yang bertugas
menghalangi dan membatasi agar tidak semua orang bebas bertemu khalifah.

4. Aspek Kitabah

Membentuk jabatan katib untuk mengkordinir masing-masing departemen dalam membantu


pemerintahan wazir. Katib bertugas mengawasi administrasi departemen dan
menjalankannya sesuai petunjuk khalifah dan wazir.24

Selain empat aspek tersebut diatas, untuk urusan daerah (propinsi), Khalifah Bani Abbas
mengangkat kepala daerah (Amir) sebagai pembantu mereka. Ketika Khalifah masih kuat,

23
Budiarti, Op. Cit, hal.46.

24
Debu Yandi, ‘Bani Umayyah, Bani Abassiyah, Dan Turki Usmani”, academia. Hal 3-4

11
sistem pemerintahan ini bersifat sentralistik. Namun setelah kekuasaan pusat lemah, masing-
masing Amir berkuasa penuh mengatur pemerintahannya sendiri. Hingga pada akhirnya
banyak daerah yang melepaskan diri dari kekuasaan pusat. Pada masa al-Saffah daerah
kekuasaan bani Abbas terbagi menjadi dua belas propinsi.

Seperti halnya masa Bani Umayyah, kekuasaan yudikatif dibagi kepada bidang hisbah, al-
Qadha’ dan al-Mazhalim. Tugas dan kewenangan mereka juga tidak berbeda dengan masa
yang sebelumnya namun selain tiga bidang tersebut, Bani Abbas juga membentuk lembaga
peradilan militer.

Dalam perekonomian, sumber pendapatan terbesar Negara berasal dari pajak Negara. Selain
pajak, sumber devisa Negara lainnya adalah pada pertanian, perdagangan dan industri.

Setelah mengalami kemajuan tersebut, lambat laun pemerintah bani Abbas pun mengalami
kemunduran dan kelemahan, hingga akhirnya pada 1258 M, Daulat ini hancur diserang oleh
tentara Mongol dibawah pimpinan Hulaghu Khan.

Pemerintahan Daulah Abbasiyah mengalami dua masa, yaitu masa integrasi dan masa
disintegrasi, secara garis besarnya terbagi kepada empat periode.
Pertama, dikenal dengan periode integrasi ditandai dengan besarnya pengaruh Persia (750-
847 M) sejak Khalifah pertama Abu Abbas al-Safah (750-754 M) sampai berakhirnya
pemerintahan al-Watsiq (842- 847 M), yang dikenal sebagai masa kejayaan Daulah Abbasiyah.
Kedua, sampai keempat adalah periode disintegrasi yang ditandai dengan besarnya tekanan
Turki (847-932 M) sejak khalifah al-Mutawakkil (847-861 M) sampai akhir pemerintahan al-
Mustaqi (940-944 M) pada periode kedua, yang dikenal sebagai masa kemunduran Daulah
Abbasiyah.
Ketiga, Bani Buawaihi (944-1075 M) sejak khalifah alMustaqfi (944-946 M) sampai khalifah al-
Kasim (1031-1075 M) yang ditandai dengan adanya tekanan Bani Buwaihi tehadap
pemerintahan Daulah Abbasiyah pada masa kemundurannya.
Keempat, Turki Bani Saljuk (1075-1258 M) sejak dari khalifah Al-Muktadi (1075-1084 M)
sampai khalifah terakhir khalifah al-Muktasim (1242-1258 M) yang ditandai dengan kuatnya
kekuasaan Turki Saljuk dalam pemerintahan dan berakhir dengan serangan Mongol.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Daulah Abbasiyah yang berkuasa selama lima ratus
delapan tahun dan diperintah oleh 37 khalifah telah mengalami pergeseran peran kekuasaan
dari satu bangsa ke bangsa lainnya. 25

25
Syamruddin Nasution, Op.Cit, hal. 181-182

12
Praktek pemerintahan Dinasti Abbasiyah ini, dikemukakan ciri-ciri khususnya yang
membedakannya dari praktek pemerintahan khulafa al-Rasyidin dan Imperium Umaiyah.
Imperium ini menampilkan ciri-cirinya, di antaranya; unsur pengikat bangsa adalah agama,
jabatan khalifah adalah suatu jawaban yang tidak bisa dipisahkan dari negara, kepala
pemerintahan eksekutif dijabat oleh seorang wazir, menekankan kebijaksanaa
pemerinthanannya pada konsolidasi dan peningkatan laju pertumbuhan ekonomi, tidak
mempersoalkan muslim Arab dan non-Arab, dan corak pemerintahannya banyak banyak
dipengaruhi oleh kebudayaan Persia.
Ciri lain adalah kekuasaan khalifah yang bersifat absolut sangat menonjol. Imperium ini juga
memanfaatkan kemajuan ekonomi untuk mengembangkan penelitian-penelitian ilmiah di
berbagai bidang sehingga mencapai prestasi-prestasi gemilang yang mengagumkan dunia.
Penerangan dan pembinaan hukum digalakkan dan pembinaan akhlak masyarakat sangat
diperhatikan. Berdasarkan hal tersebut, maka praktek legislatif dalam dunia Islam yang dapat
dipersamakan adalah tugas-tugas majelis syura (dewan rakyat) di antaranya adalah membuat
undang-undang dan memilih kepala negara. Tugas yang disebutkan pertama yakni membuat
undang-undang atau apa yang dinamakan dalam istilah modern sebagai lembaga legislatif
dengan syarat tidak bertentangan dengan prinsip dasar ajaran Islam.26
3) Masa Dinasti Turki Utsmani
Penaklukan Turki Usmani ( 1517 )
Turki Usmani sebagai kerajaaan Islam yang besar pada masa kejayaannya senantiasa terus
melakukan perluasan wilayah sampai pada akhirnya penguasa Usmani mengetahui bahwa
perekonomian daulat Mamalik di Mesir dan Syiria di penghujung abad ke 15 M mengalami
kemunduran karena Portugis berhasil menemukan jalan laut Tanjung Harapan.27 Dengan
demikian terjadilah hubungan dagang langsung antara Eropa dengan India tanpa harus
melintasi pelabuhan Mesir dan Arab. Tekanan ekonomi yang melanda pemerintah Mamalik
merupakan salah satu faktor yang mendorong Usmani berambisi ingin menaklukkan Mesir
dan Syiria. Alasan lainnya dari upaya penaklukan ini adalah karena Mamalik ( Mesir ) tidak
bersikap netral, bahkan menghalangi pasukan logistik tentara Usmani ketika melewati wilayah
Mamalik.
Pemerintahan Mamalik yang sedang dilanda krisis ekonomi ini menghadapi kontak senjata
dengan Usmani di Marj Dabiq sebelah utara Halb pada tahun 1516 M dengan kemenagan pada

26
Budiarti, Op. Cit, hal.55
27
Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam : Imperium Turki Usmani, Jakarta : Kalam Mulia, 1988, hlm.
19.

13
pihak Usmani bahkan sultan Mamalik akhirnya terbunuh. Dengan demikian Syiria telah
ditaklukkan dan setelah itu Salim ( sebagai sultan ) melanjutkan ekspansinya ke Mesir
berhadapan dengan Sultan Mamalik yang baru yaitu Thourman Bey. Sekali lagi, peperangan
inipun akhirnya dimenangkan oleh pihak Usmani. Bahkan Hijazpun mengakui kedaulatan
Usmani atasnya. Keberhasilan tersebut adalah dikarenakan dalam gerakannya Usmani selalu
mengatasnamakan diri sebagai gerakan Islam.28 Bahkan sultan Salim disambut sebagai pihak
yang telah memerdekakan kota tersebut dari perbuatan – perbuatan mamalik yang telah
melanggar batas.
Setelah Syiria jatuh ke tangan Usmani selanjutnya Usmani memasuki Mesir dari arah utara
dan Kairo yang dulunya sebagai ibu kota kerajaan lalu menjadi propinsi dari imperium Usmani
setelah Mesir berhasil ditaklukkan. Hal demikian berlangsung sampai abad ke 20 M. Namun
di beberapa wilayah pinggiran kekuatan politik bangsa Arab masih bertahan tetapi hanya
dalam batas – batas wilayah yang sempit, bahkan banyak di antaranya hanya dalam bentuk
keamiran saja.29
Perubahan Politik, Sosial, Budaya dan Lembaga Keagamaan
Keberhasilan Usmani dalam menaklukkan Mesir (1517 ), tidak serta merta merubah tatanan
sosial yang ada di sana. Justru Usmani tetap melestarikan beberapa sistem kemasyarakatan
yang ada dengan berbagai macam modifikasinya. Dalam urusan politik Mesir
mempertahankan corak politik yang mandiri. Usmani menyusun barisan pertahanan di Mesir
dengan sejumlah pasukan Jennissari, desentralisasi, mengangkat gubernur dari militer,
inspektur dan pejabat-pejabat keuangan untuk mengamankan pengumpulan pajak dan
penyetoran pendapatan ke Istambul. Karena mereka sudah merasa cukup puas dengan
menguasai wilayah dan bangsa Arab secara politik dan militer. Inilah yang dapat memperkuat
propaganda – propaganda keislaman yang selama ini mereka dengung-dengungkan. 30
Namun kebijakan-kebijakan politik Usmani di wilayah Arab tersebut membuat negeri-negeri
Arab tersebut menjadi terasing dari pergaulan dunia. Pemerintah Usmani yang terlalu
disibukkan oleh peperangan di dataran Eropa Timur, telah membuat pembangunan
peradaban tidak mengalami kemajuan, kalau bukan malah menjadi mundur.31
Namun di bawah sistem tingkat pemerintahan Usmani yang paling tinggi, struktur
kelembagaan yang lama masih dipertahankan sepenuhnya. Peranan utama pemerintahan

28
Ibid
29
Badri Yatim, Sejarah Sosial Keagamaan Tanah Suci : Hijaz ( Mekah dan Madinah ) 1800-1925, hal 2
30
M. Syamsudini, Peradaban Islam Kawasan Arab Masa Turki Utsmani, Jurnal “TURATS” Vol. 5 No. 1 : 2013. Hal
478
31
Badri Yatim, Ibid, hal 3

14
Usmani adalah menentramkan negeri ini, melindungi pertanian, irigasi dan perdagangan dan
menguasai kaum Badui. Sehingga mengamankan arus perputaran pendapatan pajak. Di
bawah Usmani pula, sistem irigasi Mesir diperbaiki, kegiatan pertanian menuingkat dengan
pesat dan kegiatan perdagangan dikembangkan melalui pembukaan kembali jalur
perdagangan antara India dan Mesir.32
Dalam bidang keagamaan, agama yang berkembang di sana tetap mempertahankan sebuah
kekuatan sosial dan politik yang terorganisir secara baik. Meskipun rezim Usmani mengangkat
seorang hakim kepala dan seorang tokoh pemimpin bagi perhimpunan keturunan Nabi dari
Istambul, namun ulama’-ulama’ yang lainnya berasal dari wilayah lokal ( Mesir ) sendiri.
Pakar – pakar agama diorganisir ke dalam beberapa madzhab hukum, beberapa nasab suci
dan beberapa tarekat. Tokoh – tokoh tersebut bertanggung jawab atas kedisiplinan para
pengikutnya.33 Dalam urusan ibadah haji, menyangkut posisi penguasa Usmani sebagai
khadim al-haramain para sultan Usmani mengambil langkah-langkah khusus untuk menjamin
keamanan bagi perjalanan ibadah haji. Seluruh rute haji di wilayah kekuasaannya ditempatkan
di bawah kontrolnya. Kafilah haji yang diorganisasi di bawah pengawasan sultan – sultan
Usmani. Setelah itu langsung dapat menuju Makkah tanpa adanya aral sedikitpun. Bahkan
sultan Sulaiman (1520- 1566) melepaskan armada yang tangguh di bawah komando gubernur
Mesir, Khadim Sulaiman Pasya, guna membebaskan semua pelabuhan yang dikuasai oleh
Portugis dan dengan demikian perjalanan haji ke Jedah menjadi aman.34
Pendudukan Napoleon : Implikasi politik dan Keagamaan
Kawasan Arab, khususnya Mesir memulai jaman modern ketika terjadi persinggungan antara
Barat (Prancis) dan Mesir dengan ekspedisi Napoleon Bonaparte pada tahun 1798.
Pada mulanya kehadiran Usmani atas wilayah Arab tak dianggap sebagai bentuk penjajahan,
karena bagi mereka bergabung dengan Usmani merupakan persatuan Islam sesuai dengan
propaganda penguasa Usmani. Tetapi ketika mereka sadar akan kebohongan tersebut
akhirnya mereka melakukan usaha untuk memerdekakan bangsa Arab.35
Begitu pudarnya kekuasaan Usmani atas Mesir waktu itu dapat digambarkan dari perjalanan
perang di Mesir bahwa Napoleon mendarat di Alexandria tanggal 2 Juni 1798 dan keesokan
harinya ia dapat menguasai daerah tersebut bahkan tidak sampai tiga minggu Napoleon telah

32
Ira M. Lapidus. Sejarah Sosial Ummat Islam, terjemahan Ghufran A. Mas’adi dari A History of Islamic
Societies, Jakarta : Rajawali Press, 1999, hlm 553
33
Ibid, hlm. 554
34
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama’ Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Bandung :
Mizan, 1994, hlm 69-70.
35
Ahmad Syalabi, Op, Cit,.hlm.77.

15
berhasil menguasai Mesir.36 Begitulah, Mesir yang sebelumnya berada dalam kekuasaan
Usmani dan baru saja melepaskan diri lantas dijajah oleh Prancis dengan pendudukan
Napoleon tersebut.
Walaupun pendudukan Napoleon atas Mesir hanya berlangsung dalam waktu pendek tetapi
mempunyai arti yang mendalam. Ini merupakan permulaan dari periode intervensi Eropa yag
langsung terhadap dunia Arab, dengan konsekwensi-konsekwensi besar di bidang ekonomi
dan sosial. Dengan kemenanganya yang dicapai dengan sangat mudah Perancis mencoba
mencoba menghancurkan illusi suprioritas dunia Islam yang tak tergoyahkan oleh kafir Barat,
dengan demikin Perancis telah meletakkan problema yang mendasar terhadap kemungkinan
penyesuaian dirinya menghadapi hubungan baru. Oleh karena itu maka kekacauan psicologis
yang ditimbullkan belum dapat dipecahkan.
Periode anarchy yang mengikuti penarikan kembali tentara Perancis berakhir dengan
munculnya tokoh Muhammad ‘Ali, seorang Albania dari kerajaan Ottoman, berhasil
mengangkat dirinya sebagai penguasa yang pada hakekatnya berdiri sendiri di Mesir dan
untuk waktu pendek juga menguasai Arabia dan Syiria sampai kekuatan – kekuatan Barat
berhasil membatasi geraknya kembali membatasi geraknya kembali terbatas di Mesir saja.
Usaha Muhammad Ali mencapai kemerdekaan dan mengadakan ekspansi digagaljan oleh
kekuasaan Barbar. Dia hanya berhasil mendirikan lembaga gubernuran Ottoman yang turun
temurun bagi daerah otonom Mesir dan mulai dengan program reformasi besar-besaran.

36
Harun Nasution. Pembaharuan Dalam Islam : Sejarah pemikiran dan Gerakan, Jakarta : Bulan Bintang, 1992,
hlm. 29

16
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Pergantian Bentuk Ketatanegaraan Islam (Dustur) dari Musyawarah ke Mamlakah yakni
masa musyawarah dimulai dari periode pemerintahan Nabi Muhammad SAW hingga masa
khulafaurrasyidun.Kemudian berganti masa Mamlakah (kerajaan) dimulai dari masa bani
Umayyah.

B. SARAN
Dari makalah ini penulis berharap kepada pembaca, dapat memberikan kritik dan saran
dalam pembahasan makalah ini. Agar makalah ini menjadi lebih baik dan dapat digunakan sebagai
bahan penambahan wawasan dan pengetahuan yang lebih bermanfaat untuk orang lain.

17
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

AH. Zakki Fuad, Sejarah Peradaban Islam (Surabaya:UIN Surabaya, 2016).

Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam : Imperium Turki Usmani, Jakarta : Kalam Mulia, 1988.

Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam : Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial,
Politik, dan Budaya Umat Islam (Jakarta:Rajawali Pers, 2009).

Azyumardi Azra, Jaringan Ulama’ Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII,
Bandung : Mizan, 1994.

Badri Yatim, Sejarah Sosial Keagamaan Tanah Suci : Hijaz ( Mekah dan Madinah ) 1800-1925.

Budiarti, “Studi Siyasah Syar’iyah Terhadap Konsep Legislatif Dalam Ketatanegaraan Islam”, Zawiyah
Jurnal Pemikiran Islam. Vol. 3 No. 2, Desember 2017.

Debu Yandi, ‘Bani Umayyah, Bani Abassiyah, Dan Turki Usmani”, academia.

Harun Nasution. Pembaharuan Dalam Islam : Sejarah pemikiran dan Gerakan, Jakarta : Bulan
Bintang, 1992.

Ira M. Lapidus. Sejarah Sosial Ummat Islam, terjemahan Ghufran A. Mas’adi dari A History of Islamic
Societies, Jakarta : Rajawali Press, 1999.

M. Syamsudini, Peradaban Islam Kawasan Arab Masa Turki Utsmani, Jurnal “TURATS” Vol. 5 No. 1 :
2013.

Rusydi Sulaiman, Pengantar Metodologi Studi Sejarah Peradaban Islam(Jakarta:Rajawali Pers, 2014).

Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, Sirah Nabawiyah, Terj. Kathur Suhardi (Jakarta:Pustaka Al-
Kautsar, 2008).

Syamruddin Nasution, Sejarah Peradaban Islam (Pekanbaru:Yayasan Pusaka Riau, 2013).

Taufik Rachman, “Bani Umayyah Dilihat dari Tiga Fase (Fase Terbentuk, Kejayaan dan Kemunduran)”,
Juspi Jurnal Sejarah Peradaban Islam. Vol. 2 No. 1, 2018.

18

Anda mungkin juga menyukai