Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

“HUKUM KELUARGA ISLAM DI NEGARA IRAN”


Makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Keluarga di Negara Islam
Dosen Pengampu: Nor Illiyyina, M.H

Disusun Oleh:
Kelompok 12

Ramiatul Noviana 2021508021


Anisa Safitri 2021508041
Eva Wati 2021508045
Dea Amelia Karina 2021508047

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN AJI MUHAMMAD IDRIS
SAMARINDA
2022
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu fenomena yang muncul di dunia Islam pada abad 20 adalah upaya
pembaruan hukum keluarga yang dilakukan oleh negara-negara yang berpenduduk
mayoritas muslim. Dilakukan untuk respon terhadap dinamika yang terjadi di
tengah masyarakat. Ada tiga hal yang menjadi tujuan dilakukannya pembaruan
hukum keluarga di dunia Islam, yaitu sebagai upaya unifikasi hukum, mengangkat
status perempuan, dan merespon perkembangan dan tuntutan zaman karena
konsep fiqh tradisional dianggap kurang mampu memberikan solusi terhadap
permasalahan yang ada.1
Sejarah hukum keluarga di Iran mengalami tarik ulur yang panjang dan
dinamis. Dimulai masa pemerintahan kedinastian hingga masa reformasi. Diawali
oleh determinasi mazhab sunni hingga integrasi dengan beberapa regulasi Prancis
pada akhirnya dikembalikan pada fiqih klasik Syi’ah Ja’fariyah. Puncak revolusi
hukum keluarga Iran adalah terobosan yang dilakukan oleh Khomeini yang secara
tegas menyatakan keinginan untuk kembali menggunakan fiqih Syi’ah sebagai
satu-satunya sumber hukum dengan tidak mengabaikan beberapa adat kebiasaan
yang berlaku dalam masyarakat, asalkan tidak bertentangan dengan syari’at.2
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan Hukum Keluarga di Iran?
2. Bagaimana perbandingan Hukum Keluarga di Iran dan Indonesia?
3. Apa reformasi Hukum Keluarga Iran pra revolusi?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui perkembangan Hukum Keluarga di Iran
2. Untuk mengetahui perbandingan Hukum Keluarga di Iran dan Indonesia
3. Untuk mengetahui reformasi Hukum Keluarga Iran pra revolusi

1 Atho, Mudzhar dan Khairuddin Nasution (ed.), Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern,
Studi Perbandingan UU Modern dari Kitab-kitab Fikih, (Jakarta : Ciputat Press, 2003), h. 10-11
2 Aulia Rahmat, “Perlindungan Hak-Hak Perempuan dalam Hukum Keluarga di Republik
Islam Iran” Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang, December 2013, h. 25

1
BAB II PEMBAHASAN
A. Republik Islam Iran
Orang-orang sering menyebut negerinya “Iran” (negeri Arya atau masyarakat
termasyhur), sementara orang luar –dalam waktu yang sama—menyebutnya Persia
yang menunjuk pada Pars –sekarang Fars—wilayah bagian selatan Iran. Nama
Persia bertahan sampai sampai tahun 1935,3 ketika Pemerintah Tehran secara
resmi meminta masyarakat dunia menggunakan nama Iran4.
Republik Islam Iran berada di regional Asia Barat –atau yang dikenal juga
dengan istilah Timur Tengah-- dengan luas wilayah sekitar 1.648.000 km2 yang
menempati urutan ke-18 dalam daftar Negara terluas di dunia.5 Negara ini
berbatasan dengan Afganistan (sepanjang 936 km), Armenia (sepanjang 35 km),
Azerbaijan –termasuk Naxcivan daerah kantong Azerbaijan-- (sepanjang 611 km),
Irak (sepanjang 1.458 km), Pakistan (sepanjang 909 km), Turki (sepanjang 499
km) dan Turkmenistan (992 km). Garis pantai Iran adalah 2.440 km dan
mencakup 740 km di Laut Kaspia.6 Iran terletak pada koordinat 25˚-40˚ LU dan
44˚-64˚ BT, menjadikan negara ini mempunyai 4 iklim dengan perbedaan suhu
yang sangat ekstrim (berkisar pada 46˚C pada musim panas dan -20˚C pada
musim dingin).
Populasi penduduk Iran mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hal ini
terlihat dari hasil sensus pada setiap tahunnya. Sebelum tahun 1987, jumlah
penduduknya adalah sekitar 43.000.000 jiwa.7 Sensus tahun 1996 menunjukkan
bahwa jumlah penduduk Iran adalah 64.000.000 jiwa dengan persebaran Muslim
(didominasi oleh kelompok faham Syi’ah Isna Ash’ariyah dan selebihnya adalah

3 CIA,“Islamic Republic of Iran”, The World Factbook, yang diterbitkan dalam


https://www.cia.gov/library/publications/the-worldfactbook/index.html
4 Akhavi, “Iran”, The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, ed. John L.
Esposito (Oxford: Oxford University Press, 1995), jilid-II, 224.
5 Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Country: History, Text and Comparative Analysis
(New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987), 214.
6 UN Residence Coordinator Office, Past-Reports of Islamic Republic of Iran (Tehran: Juni
2008), 2. Lihat juga dalam Homaidi Hamid, “Hukum Keluarga Iran”, Hukum Keluarga di Dunia
Islam Modern, ed. M. Atho’ Muzdhar, dkk. (Ciputat: Ciputat Press, 2003), 53
7 Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Country: History, Text and Comparative Analysis
(New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987), 214.

2
Sunni) sekitar 95,5%, dan sisanyaadalah penganut Kristen,
Zoroaster dan

Yahudi.8 Berdasarkan hasil sensus tahun 2007, tercatat bahwa jumlah penduduk
Iran sekitar 70.400.000 jiwa dengan tingkat pertumbuhan 0,86% setiap
tahunnya.9Prediksi jumlah penduduk Iran pada Juli 2011 adalah 77.891.220 jiwa
dengan angka pertumbuhan 1,248%, komposisinya adalah Muslim 98% (Shiah
89%, Sunni 9%), sisanya adalah Zoroaster, Yahudi, Kristiani dan Baha'i sebanyak
2%.10Mazhab Ja’fari merupakan mazhab dominan di Iran, sementara itu mazhab
Hanafi merupakan minoritas seperti halnya Zoroaster, Baha’i, Kristen dan Yahudi.
Agama resmi yang diakui oleh pemerintah Iran adalah Islam Sunni, Zoroaster,
Yahudi dan beberapa kelompok Kristen.11
Tingginya peningkatan angka populasi masyarakat muslim di negara ini bisa
menjadi salah satu alasan yang mendukung efektivitas pelaksanaan syari’at Islam
–terlepas dari berbagai perbedaan pendapat- secara utuh dan responsif. Iran
memiliki salah satu peradaban tertua di dunia, kirakira dimulai sejak tahun 2700
SM, ketika Elamite menguasai daerah-daerah yang meliputi provinsi Khuzistan
sekarang pada barat daya Iran dan wilayah-wilayah perbatasan utara serta timur.
Orang-orang Indo-Eropa yang bermigrasi kearah timur belum mendominasi
dataran tinggi Iran hingga zaman besi, sekitar Tahun 1300 SM.12 Peradaban di
dataran tinggi Iran dimulai 600 tahun SM. Pada masa itu terdapat 2 kerajaan yakni
Parsa di sebelah Selatan dan Medes di Timur Laut Iran.
Pada tahun 550 SM, Cyrus “the Great” berhasil merebut dua kerajaan Persia
tersebut, namun tidak berhasil memperpanjang kekuasaannya. Pada 521 SM Raja

8 Reeva S. Simon, et. all (eds), Encyclopedia of The Modern Middle East (New York: Simon
& Schuster Macmillan, 1996), jilid-II, 866-868.
9 Kedutaan Besar RI Tehran – Iran, Selayang Pandang Republik Islam Iran (Tehran: Agustus
2008), 2.
10 CIA, “Islamic Republic of Iran”, The World Factbook, yang diterbitkan dalam
https://www.cia.gov/library/publications/the-worldfactbook/index.html
11 Abdullahi A. an-Na’im, Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource
Book (London: Zed Book Ltd., 2003), 108.
12 Akhavi, “Iran”, The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, ed. John L.
Esposito (Oxford: Oxford University Press, 1995), jilid-II, 225.

3
Darius mendirikan Dinasti Achaemenid hingga Darius III. Pada 323 SM,
Alexander “the Great” menaklukkan Dinasti Achaemenid. Pada masa Dinasti
Parthian (Raja Mirthridates II) menjalin hubungan dengan Cina dan Roma yang
dikenal dengan perdagangan sutranya (silk road). Pada 220 SM, Dinasti Sassanid
mengakhiri kejayaan Dinasti Parthian. Setelah peperangan selama 4 abad, seiring
dengan memudarnya Kerajaan Romawi, Kerajaan Persia hancur dan diinvasi oleh
Kerajaan Mesir dan Arab lainnya dan berhasil menyebarkan agama Islam. Dari
abad ke-7 hingga abad ke-16 Masehi, berbagai Dinasti keturunan Arab,13 Turki
dan Mongol saling berkuasa yakni Dinasti Abbasid, Dinasti Saffarian, Dinasti
Samanid. Pada abad ke-16 khususnya pada masa Kerajaan Savafid, tercapai masa
kejayaan dalam bidang kerajinan dan pembuatan karpet. Pada abad ke-17 Dinasti
Afshar berkuasa, namun kemudian digantikan oleh Karim Khan Zand yang
mendirikan Dinasti Zand (1750-1779) di Selatan. Di sebelah Utara, Suku Qajar
berhasil mematahkan Dinasti Zand dan mendirikan Dinasti Qajar (1785-1925)
hingga abad ke-19 dengan rajanya yang terakhir bernama Ahmad Shah. Sejak saat
ini, Tehran menjadi ibukota Iran.14 Pada masa ini, para ulama mempunyai
kekuatan yang cukup signifikan.
Dinasti Qajar yang tidak dapat menandingi kekuatan dinasti Savawid, tidak
dapat menahan tekanan militer, ekonomi dan politik asing sehingga mereka tidak
mampu mengatakan tindakan-tindakan zalim yang dilakukan pemerintah. Dinasti
ini kemudian digantikan oleh Dinasti Pahlawi yang didirikan oleh Reza Shah.
Kebijakan dinasti Pahlawi lebih memberikan perhatian kepada usaha-usaha
modernisasi, westernisasi, sekularisasi, integral dan nasionalisme Iran. Mereka
melakukan modernisasi seperti yang dilakukan oleh Mustafa Kemal Ataturk di
Turki.15 Pada tahun 1941, anaknya bernama Mohammad Reza Shah naik tahta
hingga terjadi Revolusi Islam yang dipimpin oleh Ayatollah Imam Khomeini pada
1979. Berbagai peristiwa menonjol sejak itu adalah pendudukan Kedubes Amerika

13 Homaidi Hamid, “Hukum Keluarga Iran”, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, ed.
M. Atho’ Muzdhar, dkk. (Ciputat: Ciputat Press, 2003), 54.
14 Don Peretz, The Middle East Today (New York: Preegar, 1986), 504.
15
Ibid, hal. 506.

4
Serikat, tahun 1979-1981, invasi Irak terhadap Iran pada 1980 yang menimbulkan
perang selama 8 tahun (1980-1988) dan sanksi ekonomi Amerika sejak 1996.
B. PERKEMBANGAN HUKUM KELUARGA DI IRAN
Sejak tahun 1928 hingga 1935 hukum keluarga iran telah dikodifikasi sebagai
bagian dari hukum perdata. Ini semua bermula ketika pada tahun 1927, menteri
keadilan Iran membentuk komisi yang bertugas menyiapkan draft hukum
keluarga. Ketentuan-ketentuan selain hukum keluarga dan hukum waris diambil
dari ketentuan Napoleon selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
syari’ah. Sedangkan untuk hukum keluarga dan hukum waris lebih mencerminkan
sebagai unifikasi dan kodifikasi hukum syari’ah. Draft yang disusun oleh komisi
tersebut disebut sebagai Qanun Madani.15
Hukum perdata Iran mencakup berbagai aspek hukum.yang berkenaan dengan
hukum waris diatur dalam pasal 861–949, sementara seluruh buku VII mengatur
masalah hukum keluarga. Semua materi hukum waris dan keluarga didasarkan
pada hukum keluarga syi’ah Isnan ‘Asyariyah (ja’fari). Materi hukum waris
sebagaimana diatur dalam hukum perdata berlaku hingga saat ini, tanpa ada
perubahan, sementara hukum yang mengatur perkawinan dan perceraian tidak
tehindar dari reformasi hukum.
Hukum keluarga yang diatur dalam bab VII hukum perdata tahun 1935
mengalami reformasi beberapa kali pada tahun-tahun berikutnya. Hukum yang
mengatur perkawinan dan perceraian, secara terpisah, telah diundang-undangkan
pada tahun 1931. UU tersebut memasukkan prinsip yang diatur oleh aliran-aliran
hukum selain aliran isna asyri. Sebagian materinya didasarkan pada pertimbangan
sosial budaya dan administrative.
Pada tahun 1937 dan 1938 juga ditetapkan UU yang mengatur masalah
perkawinan dan perceraian lebih lanjut. Reformasi yang lebih penting lagi
dilakukan lembaga legislative iran pada tahun 1967. Pada tanggal 24 juni 1967
diundang-undangkan hukum perlindungan keluarga (Qanun himayat

15 Tahir Mahmood, Fanmily Law Reform in The Muslim World..h. 154.

5
Khansiwada). UU ini bertujuan mengatur institusi perceraian dan poligami agar
tehindar dari tindakan sewenang-wenang.16
Pada tahun 1975, hukum perlindungan keluarga yang baru ditetapkan. UU ini
dimaksudkan untuk menggantikan hukum perlindungan keluarga tahun 1967.UU
tahun 1975 ini, selain memasukkan ketentuan mengenai perceraian dalam UU
sebelumnya, juga memasukkan perubahan-perubahanyang penting yang berkenaan
dengan perceraian. UU ini juga membatasi pemberian ijin poligami oleh
pengadilan hanya pada kondisi-kondisi yang spesifik.17
Hukum keluarga Iran kembali pada hukum keluarga tradisional sejak
berhasilnya revolusi islam yang dipimpin oleh Imam Khumaini, rezim baru
mendeklarasikan bahwa hukum Islam menjadi satu-satunya sumber hukum di
Negara Iran. Konstitusi Republik Islam Iran 1979, antara lain menyatakan bahwa
keluarga merupakan unit fundamental dalam masyarakat Islam, oleh karena itu,
semua hukum, peraturan dan ketentuan administrative, harus dapat memmfasilitasi
keutuhan keluarga. Konstitusi ini juga menekankan bahwa hubungan keluarga
harus didasarkan pada hukum Islam.
Pada tahun 1982, Mahkamah Agung Iran mengeluarkan keputusan –
Bakhsnamah- khususnya, ditujukan kepada seluruh pengadilan Iran, agar tidak
menggunakan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh lembaga non
legislative Islam era pra-revolusi. System hukum Islam seluruhnya akan
diberlakukan di Iran. Hukum pidana tahun 1912 dan hukum perdata 1928-1935
dicabut, selanjutnya diterapkan hukum Islam.Hukum keluarga 1931-1938 dan
hukum perlindungan keluarga 1975, dipandang telah melewati batas hukum Islam
mapan, maka UU ini juga dicabut. Selanjutnya hukum keluarga Islam
dikembalikan pada mdzhab mayoritas, ja’fari Isna Asyarid an madzhab minoritas
(sunni).
a. Reformasi Hukum Keluarga Iran Pra Revolusi
1. Pencatatan Perkawinan

16 Ibid., h. 155
17 Tahir Mahmood, Personal Law In Islamic Countries (New Delhi: Academy of Law and
Religion, 1987) h. 216

6
Sebagaimana telah diatur dalam undang-undang hukum perkawinan
tahun 1931 pasal I bahwa setiap perkawinan sebelum dilaksanakan harus
dicatatkan pada lembaga yang berwenang, pelanggaran terhadap ketentuan ini
akan dihukum penjara selama satu hingga 6 Bulan. Aturan tentang
permasalahan ini hanya bersifat administrative saja karena pelanggarnya
hanya dikenakan hukuman fisik saja sedangkan perkawinannya tetap sah.
Peraturan ini tidak dijumpai dalam pemikiran hukum klasik baik dalam
Sy’iah maupun Sunni.
2. Perkawinan di bawah Umur
Usia minimum yang diatur dalam hukum Perdata Iran pasal 1031 adalah
18 untuk pria dan 15 untuk wanita. Bagi seseorang yang mengawinkan di
bawah usia tersebut maka akan dipenjara antara 6 bulan hingga 2 tahun. Jika
seorang anak perempuan dikawinkan di bawah umur 13 tahun maka yang
mengawinkan dikenakan penjara 2 hingga 3 tahun, selain juga masih harus
membayar denda 2-20 Riyal, ini diatur dalam hukum kelarga Iran tahun 1931-
1937 pasal 3. Hal ini dianggap sebagai pembaharuan karena sangat berbeda
dengan pendapat madzhab yang diyakini oleh mayoritas masyarakat Iran
yaitu mazdhab Ja’fari yang memberikan batasan usia 15 untuk pria dan 9
tahun untuk wanita.18
3. Perjanjian Kawin
Dalam hukum perkawinan Iran pasal 4 dijelaskan pasangan yang berniat
untuk melangsungkan perkawinan boleh membuat perjanjian dalam akad
perkawinan, sepanjang tidak bertentangan dengan tujuan perkawinan.
Perjanjian tersebut dilaksanakan di bawah perlindungan pengadilan.
4. Poligami
Suami yang akan menikah lagi harus memberitahukan kepada calon istri
tentang statusnya, pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan sanksi
hukum perlindungan keluarga tahun 1967. Selain itu juga harus mendapat ijin
dari istri, jika ketentuan ini dilanggar, istri dapat mengajukan permohonan

18 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Madzhab, Alih Bahasa Masykur, cet IV
(Jakarta: Lentera, 1999), h,316-318

7
cerai ke pengadilan. Suami juga harus mendapat ijin dari pengadilan yang
sebelumnya akan memeriksa apakah suami dapat menafkahi lebih dari
seorang istri dan apakah dia mampu berbuat adil. Pelanggaran ketentuan ini
akan dikenakan hukuman kurungan selama 6 bulan hingga 2 tahun. Sekali
lagi persoalan ini juga merupakan reformasi regulatory atau administrative
belaka karena hanya mendapatkan sanksi fisik tanpa mebatalkan status
perkawinannya. Aturan-aturan seperti ini tidak didapatkan dalam madzhab
ja’fari maupun madzhab hukum yang lain.
5. Nafkah Keluarga
Dalam hukum perlindungan keluarga tahun 1967 pasal 10 disebutkan
bahwa suami berkewajiban memberikan nafkah pada istrinya. Nafkah ini
meliputi sandang, pangan, tempat tinggal dan barang-barang kebutuhan
rumah tangga yang layak. Jika suami tidak melaksanakannya maka istri
berhak mengadukan pada pengadilan, dan pengadilan akan member
peringatan kepada suaminya, ketika tetap tiada perubahan istri boleh
menuntut perceraian pada pengadilan. Aturan ini sejalan dengan madzhab
Ja’fari.19
6. Perceraian
Masalah perceraian telah terjadi reformasi administrative dan substantive
dengan lahirnya hukum perlindungan keluarga tahun 1967 yang menghapus
wewenang suami mengiklarkan talak secara sepihak. Menurut pasal 8 UU
tersebut setiap perceraian, apapun bentuknya harus didahului dengan
permohonan kepada pengadilan agar mengeluarkan sertifikat “tidak dapat
rukun kembali”. Sedangkan pengadilan dapat mengeluarkan sertifikat tersebut
dengan ketentuan sebagai berikut:
a) Salah satu pasangan gila permanen atau berulang-ulang.
b) Suami menderita impotensi, atau dikebiri atau
alat vitalnya diamputasi.
c) Suami atau istri dipenjara 5 tahun.

19 Ibid., 492-493

8
d) Suami atau istri memiliki kebiasaan yang membahayakan pihak lain
yang diduga akan terus berlangsung dalam kehidupan rumah tangga.
e) Seorang pria tanpa persetujuan istri, kawin dengan wanita lain.
f) Salah satu pihak menghianati pihak lain.
g) Kesepakatan suami dan istri untuk bercerai.
h) Adanya perjanjian dalam akad perkawinan yang memberikan
kewenangan pada pihak istri untuk menceraikan diri dalam kondisi
tertentu.
i) Suami atau istri dihukum, berdasarkan keputusan hukum yang tetap
karena melakukan perbuatan yang dapat dipandang mencoreng
kehormatan keluarga.
7. Penyelesaian Perselisihan Melalui Juru Damai (arbitrator)
Dalam pasal 6 hukum perlindungan keluarga disebutkan bahwa
pengadilan dapat menyerahkan penyelesaian perselisihan keluarga pada
arbitrator jika diminta oleh pasangan suami istri yang bermasalah. Khusus
kasus yang berkenaan dengan validitas perjanjian perkawinan dan perceraian
yang berbelit-belit, ditangani sendiri oleh pengadilan.
8. Pembaharuan Hukum Tentang Waris dan Wasiat
Dalam undang-undang waris lama (The Civil Code, 1959: 67-68),
seorang janda dengan anak mendapatkan seperdelapan warisan suami minus
tanah. Jika pasangan itu tidak memiliki anak, maka janda itu mendapatkan
separuh dari tirkah. Sisanya dibagi-bagikan ke ahli waris lain dari pihak
almarhum suami. Jika tidak ada ahli waris lain, separuh harta suami
diserahkan pada negara. Tetapi, jika sang istri meninggal, suami mendapatkan
seluruh harta istri bila pasangan itu tidak punya anak. Jika punya anak, suami
mendapatkan seperempat. Sedangkan dalam undang-undang baru, hak waris
duda dan janda sama, tidak lagi mengenal perbedaan gender (Pakzad, 1994:
77-79). Di undang-undang baru (The Civil Code, 2000: 67-68), seorang istri
akan mendapatkan seluruh warisan suaminya, tidak hanya separuh dari harta
peninggalan saja. Jadi, dalam undang-undang baru, perempuan berhak
mendapatkan tanah suaminya yang sebelumnya dilarang dalam undang-

9
undang lama (Schirazi, 1997: 10-11). Ini merupakan langkah maju untuk
menyetarakan antara hak laki-laki dan perempuan.
9. Ketentuan Wasiat Wajibah
Dalam Undang-Undang No. 188 Tahun 1959 Tentang Personal Status
Iran yang membahas wasiat wajibah terdapat pada pasal 74 yang mengatur
bahwa, pertama, jika ada anak meninggal, baik laki-laki maupun perempuan,
sebelum meninggalnya bapak dan ibunya, maka ia dianalogikan kepada
hukum ketika orang tuanya meninggal dan hak waris akan pindah kepada
anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan sesuai hukum syariat yang
berlaku dengan diibaratkan pada kewajiban wasiat yang tidak boleh melebihi
sepertiga dari harta warisan; kedua, mendahulukan kewajiban wasiat
sebagaimana dijabarkan pada pada ayat (1) pada pasal 74, daripada wasiat-
wasiat yang lain dan tidak melebihi sepertiga (1/3) dari harta warisan (pasal
70 Undang-Undang No. 188 Tahun 1959). Aturan tentang batasan wasiat juga
diatur dalam pasal 70, bahwa tidak boleh pewasiat mewasiatkan lebih dari
sepertiga (1/3) tanpa mendapatkan izin dari Negara (pasal 74 Undang-Undang
No. 188 Tahun 1959). Pewasiat sejatinya menunjuk suatu badan hukum
(notaris) untuk mecatatkan wasiat tersebut, untuk dieksekusi setelah si
pewasiat meninggal (pasal 75 Undang-Undang No. 188 Tahun 1959). Untuk
itu, si pewasiat wajib untuk mencatatkan seberapa banyak hartanya yang mau
diwasiatkan, dalam bentuk apa dan kepada siapa ia akan mewasiatkan,
sehingga unsur-unsur tersebut dapat dicatat secara sempurna dan sah di suatu
badan hukum (notaris dalam konteks Indonesia). Ketentuan Mengenai Harta
Bersama (Suami-Istri) Pengaturan mengenai harta bersama tercantum pada
pasal 940-948 sebagai berikut:
a) Pasal 940 - menikah secara temporal, menikah secara permanen,
dan tidak terkendali dari mewarisi, mengambil warisan satu dari
yang lain.
b) Pasal 941 - Bagian warisan dari suami dan istri mengikuti ketentuan
pasal 913, 927 dan 938.

10
c) Pasal 942 - Jika ada lebih dari satu istri, bagian keempat atau
kedelapan, yang termasuk istri, akan dibagi rata di antara mereka.
d) Pasal 943 - Jika suami telah menceraikan istrinya sedemikian rupa
bahwa perceraian adalah dibatalkan, salah satu dari mereka yang
meninggal dunia sebelum berakhirnya periode “iddah” akan
mewarisi dari yang lain; tetapi jika kematian salah satu dari mereka
terjadi setelah berakhirnya periode “iddah”, atau jika perceraian itu
tidak dapat dibatalkan, mereka tidak akan mewarisi dari satu sama
lain.
e) Pasal 944 - Jika suami menceraikan istrinya ketika ia sakit, dan mati
itu penyakit yang sama dalam waktu satu tahun dari perceraian, istri
mengambil warisan dari dia, bahkan jika perceraian yang tidak
dapat dibatalkan; asalkan istri belum mengambil suami lain.
f) Pasal 945 - Jika seorang pria menikahi seorang wanita ketika ia
sakit, dan meninggal karena penyakit yang sebelumnya
penyempurnaan pernikahan, istri tidak mengambil warisan darinya;
tetapi jika ia mati setelah penyempurnaan, atau setelah sembuh dari
penyakit itu, istri mengambil warisan dari dia.
g) Pasal 946 - Suami mengambil warisan dari seluruh efek istri; tapi
istri hanya membutuhkan waktu dari efek berikut a - dari harta
bergerak, apa pun jenis. b - dari bangunan dan pohon.
h) Pasal 947 - Istri mengambil warisan dari harga bangunan dan
pohon, dan tidak dari hal-hal itu sendiri; dan metode penilaian
adalah ini, bahwa bangunan dan pohon dinilai pada anggapan
mereka menjadi layak untuk tetap di tanah, namun tanpa
mempertimbangkan tenaga kerja.
i) Pasal 948 - Jika, dalam keadaan Pasal sebelumnya, ahli waris
menolak untuk membayar harga bangunan dan pohon-pohon, wanita
mungkin menyadari dirinya tepat di hal tersebut dari hal itu sendiri.
j) Pasal 949 - Jika ada ada ahli waris lain selain suami atau istri,
suami mengambil seluruh harta mendiang istrinya; tapi istri hanya

11
membutuhkan porsi, dan sisa harta suami dianggap sebagai harta
seorang pria tanpa ahli waris apapun, dan akan ditangani sesuai
dengan Pasal 866.
Warisan harta bersama diatur secara terperinci di dalam undang-undang
hukum keluarga Iran, bahwa pasangan berhak mendapat bagian dari harta
yang dimiliki oleh suami atau istri. Jadi janda atau duda cerai hidup, masing-
masing berhak seperdua (setengah atau 50 persen) dari harta bersama
sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Tanpa terdapat
perbedaan antara bagian yang diterima istri atau suami.20
C. PERBANDINGAN HUKUM KELUARGA DI IRAN DAN
INDONESIA 1. Iran
Iran adalah sebuah negara Republik Islam yang jumlah penduduknya
mencapai 43.000.000 dengan 98 % beragama Islam. Di antara warga muslim
Iran, sekitar 8 % Sunni, sedang sisanya 92 % adalah pengikut Syi’ah dua
belas imam (dari paham ushuliyah, dan terdapat sedikit paham akhbariyah di
Khuzistan). Penganut Kristen Armanean dan Kristen Chaldean diperkirakan
sekitar 1 %, dan terdapat juga sejumlah kecil penganut Yahudi. Selain itu,
terdapat 30.000 penganut Zoroastria, 50.000 Bahais, beberapa kelompok kecil
penganut Ali Ilahis, Babis, Syaikhis, dan Ismailiyyah. Warga Iran mayoritas
adalah etnis Persia (63 %), namun 26 % warganya berbahasa dengan bahasa
Turki (yakni Azeis, Baluchis, Qadyqai, Turkoman) dan lainnya. Terdapat
sekitar 2 juta suku Kurdi yang tinggal di Iran, ada juga minoritas keturunan
Arab yang tinggal di Khuzistan (yang oleh orang Irak mereka disebut
“Arabistan”).21
Sejak lama Iran telah dikenal sebagai pusat Islam Syia’h. Mereka
bermazhab fikih Ja’fari atau Itsna Asyariah yang menerapkan hukumnya di
Pengadilan Agama.Undang-undang (Civil Code) Iran yang lengkap telah

20 Muhammad Fauzinudin, “KONTRIBUSI IRAN TERHADAP SEJARAH PEMBAHARUAN


HUKUM KELUARGA ISLAM: Potret Sistem Kewarisan Islam dan Wasiat Wajibah di Iran”,
ULUL ALBAB Jurnal Studi Islam, 26 Januari 2018, h.211-215
21 Cyrill Glasse, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996), Cet. ke-1, h. 170.
23
Tahir Mahmood, Family Law Reform..., h. 214

12
diberlakukan sejak 1928-1935, sebagai refleksi kombinasi hukum Islam dan
hukum sipil Prancis.23
Iran dengan Family Protection Act of 1967, yang diperbaharui tahun 1975
membuat cara sendiri untuk menjamin hak-hak wanita dalam praktek
poligami (membatasi kemungkinan poligami), yakni sebagai tambahan
terhadap ketetapan bahwa suami yang akan berpoligami harus mendapat izin
dari pengadilan, yang ditentukan oleh terpenuhi atau tidaknya syarat: (1)
kemampuan ekonomi dan (2) berbuat adil di antara para istrinya. Di samping
itu harus ada izin/persetujuan dari istrinya atau karena ada sesuatu yang
menjadi alasan. Pada pasal 16 disebutkan: “Seorang suami tidak berhak
menikah lagi dengan wanita lain (poligami) kecuali ada izin/persetujuan dari
istri pertama, atau karena alasan-alasan: (1) istri pertama tidak mampu
berkumpul (bergaul) dengan suami, (2) ada penyakit yang tidak dapat
disembuhkan, (3) istri dipenjara minimal lima tahun, (4) kecanduan
minumminuman keras, judi, dan semacamnya, (5) meninggalkan keluarga, (6)
hilang.22
2. Indonesia
Negara Republik Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam
bermazhab Syafi’i, dalam sejarahnya telah berlaku tiga sistem hukum, yaitu
sistem hukum Islam, sistem hukum adat, dan sistem hukum Barat, baik yang
berasal dari Eropa kontinental yang disebut civil law maupun yang berasal
dari Eropa kepulauan yang dikenal dengan common law atau hukum anglo
saxon. Indonesia memiliki sistem hukum keluarga yang unik, karena
campuran antara hukum Islam dan hukum adat. Di bawah pemerintahan
Hindia Belanda dan jepang, hukum keluarga yang diberlakukan di Indonesia
adalah hukum adat yang dimodifikasi dengan hukum Islam. Hal ini telah
diatur sejak tahun 1882 dengan peraturan tentang peradilan agama.23

22 Khoiruddin Nasution, Status Wanita…, h. 113.


23 Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, (New Delhi: Academy of Law and
religion, 1987), h. 205

13
Pada tahun 1929, diberlakukan Ordonansi perkawinan Muslim yang
hanya berlaku untuk Jawa dan Madura. Tahun 1946, Indonesia membentuk
peraturan tentang pencatatan perkawinan dan perceraian. Sejak tahun 1950-an
Indonesia telah berusaha untuk membentuk draft hukum perkawinan yang
komprehensif dan dapat diberlakukan bagi seluruh warga negara. Namun
usaha ini tertunda karena banyaknya hambatan baik dari non muslim maupun
kalangan Islam tradisional. Namun akhirnya berkat perjuangan yang tak
mengenal lelah, UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dapat disahkan dan
diberlakukan dengan PP No. 9 tahun 1975 sebagai pelaksanaannya.24
Lahirnya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 merupakan
kelanjutan dari penjabaran UU No.1 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok
Kekuasaan Kehakiman, khususnya untuk melengkapi hukum materil
Peradilan Agama. Oleh karena itu pula, Undang-Undang Perkawinan ini
dapatlah dikatakan sebagai langkah awal dari usaha legislasi hukum Islam di
Indonesia untuk kemudian dilanjutkan dengan Undang-Undang Peradilan
Agama No. 7 tahun 1989 dan Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam.
Berdasarkan UU No 1 tahun 1974, maka prinsip perkawinan di Indonesia
adalah monogami. Namun masih dimungkinkan seorang pria melangsungkan
poligami maksimal empat dengan persetujuan pengadilan (pasal 3 ayat 2) Izin
beristri lebih dari seorang, termasuk PNS, hanya dapat diberikan apabila
memenuhi sekurang-kurangnya salah satu syarat alternatif, dan ketiga syarat
kumulatif. Adapun syarat-syarat alternatif ialah:
a)Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
b)Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c)Istri tidak dapat melahirkan keturunan.25Sedang syarat kumulatif adalah:
a) ada persetujuan tertulis dari istri-istri;
b) adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri
dan anak anak mereka;
24 Tahir Mahmood, Personal Law…, h. 207-208.
25 UU No. 1/1974 pasal 4 ayat 2; PP No. 9/1975 pasal 41huruf a; PP No. 10/1983 pasal 10
ayat 2, dan KHI pasal 57

14
c) ada jaminan tertulis bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan
anak-anaknya. Persetujuan istripun harus dipertegas di pengadilan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sejarah hukum keluarga di Iran mengalami tarik ulur yang panjang dan
dinamis. Dimulai sejak masa pemerintahan kedinastian hingga masa reformasi.
Pada awalnya dideterminasi oleh mazhab sunni, kemudian mengalami integrasi
dengan beberapa regulasi Prancis yang pada akhirnya dikembalikan pada fiqih
klasik Syi’ah Ja’fariyah yang memang merupakan mazhab mayoritas warga
negara. Puncak revolusi hukum keluarga di Iran adalah terobosan yang dilakukan
oleh Khomeini yang secara tegas menyatakan keinginan untuk kembali
menggunakan fiqih Syi’ah sebagai satu-satunya sumber hukum dengan tidak
mengabaikan beberapa adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat, asalkan
tidak bertentangan dengan syari’at Islam.
Setelah terjadinya Revolusi di Iran pada tahun 1979, the Family Protection
Act yang membatasi kesewenang-wenangan laki-laki dalam hal perceraian beserta
lembaga pengadilannya telah dihapus, karena pada dasarnya hal ini kontradiksi
dengan syari’at. Pengakuan atas hak dan martabat perempuan di Iran sudah ada
sejak Konstitusi/UUD RII pertama kali dibahas dan dirumuskan oleh para ulama
yang tergabung dalam Majelis-eKhubregan. Secara keseluruhan, beberapa
terobosan baru dalam hukum keluarga Iran merupakan salah satu upaya dalam
menjaga harkat dan martabat kaum perempuan.
Terhitung sejak tahun 1928 hingga 1935 hukum keluarga di negara Iran telah
dikodifikasi sebagai bagian dari hukum perdata. Ini semua bermula ketika pada
tahun 1927, menteri keadilan Iran membentuk komisi yang bertugas menyiapkan
draf hukum keluarga. Ketentuan-ketentuan selain hukum keluarga dan hukum
waris diambil dari ketentuan-ketentuan Napoleon selama tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip syariah. Sedangkan untuk hukum keluarga dan hukum
waris lebih mencerminkan sebagai unifikasi dan kodifikasi hukum syariah. Semua
materi hukum waris dan keluarga didasarkan pada hukum keluarga Syi‘ah Itsna

15
‘Asyariyah (Ja‘fari).
DAFTAR PUSTAKA
Andiko, T. (2019). HUKUM KELUARGA DI DUNIA ISLAM (Analisis terhadap
regulasi poligami dan keberanjakannya dari fiqih). NUANSA, XII(2).
Fauzinudin, M. (2018). KONTRIBUSI IRAN TERHADAP SEJARAH
PEMBAHARUAN HUKUM KELUARGA ISLAM: Potret Sistem Kewarisan
Islam dan Wasiat Wajibah di Iran. ULUL ALBAB Jurnal Studi Islam, 18(2),
205. https://doi.org/10.18860/ua.v18i2.4492
Rahmat, A. (2013). PERLINDUNGAN HAK-HAK PEREMPUAN DALAM
HUKUM KELUARGA DI REPUBLIK ISLAM IRAN. 26.
Unknown. (2013, Sabtu, Desember). Hukum Islam: PERKEMBANGAN
HUKUM KELUARGA DI IRAN. Hukum Islam.
http://makalahhukumislamlengap.blogspot.com/2013/12/perkembangan-huku
m-keluarga-di-iran.html

16

Anda mungkin juga menyukai