Anda di halaman 1dari 13

HUKUM PERDATA ISLAM DI IRAN

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah:

“STUDI KAWASAN HUKUM PERDATA ISLAM”

Dosen Pengampu: Lia Noviana M.HI.

Kelompok 9/HKI F

Disusun oleh :

Khoirul Ahmad 101180162


Lisa Wido Wiranti 101180167
Rovy Hardian Noor Laily 101180100

HUKUM KELUARGA ISLAM/F

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO

2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Sejarah Iran

Sejarah iran sebelum terbentuknya republik islam iran dimulai dari dinasti
safawiah yang kemudian diruntuhkan dan diambil alih oleh dinasti Qajar yang
memimpin dengan bantuan barat dan banyak menggunakan paham sekuler.
Kepemimpinan ini banyak ditentang oleh masyarakat sendiri terutama para
cendekiawan dan juga ulama. Pada masa ini juga mendirikan pasukan militer dengan
nama brigade cosscack dan juga universitas Teknik yang melahirkan cendekiawan-
cendekiawan muslim iran. Walau begitu karena sistem pemerintahan yang di tentang
oleh masyarakat dan ulama karena mengadopsi pemerintahan barat dan bekerja sama
dengan barat akhirnya dinasti ini runtuh oleh panglimanya sendiri yaitu Reza Syah
Pahlevi.

Reza pada saat itu menggulungkan dinasti Qajar dibantu oleh para ulama dan
sangat mendukungnya. Tetapi karena kepemimpinanya yang yang otokrasi
menjadikan ulama mundur dari pendukungnya yang akhirnya ketika putranya
memimpin yang kurang kuat sepertinya halnya pendahulunya maka terjadi revolusi
yang di prakarsai oleh para ulama yang di sebut dengan Mullah dan menjadikan iran
menjadi republik dan menggunakan sistem pemerintahan Waliyatul faqih
kepemimpinan tertinggi dipegang oleh ulama.1

B. Letak Geografis
Iran adalah sebuah Negara Timur Tengah yang terletak d Asia Barat Daya.
Meski di dalam negeri Negara ini telah dikenal sebagai Iran sejak zaman kuno, hingga
pada tahu 1935 Iran masih dipanggil Persia di dunia Barat. Pada taun 1959,
Mohammad Reza Shah Pahlevi mengumumkan bahwa kedua istilah tersbut boleh
digunakan.
Iran berbatasan dengan Azerbaijan (500 km) dan Armenia (35 km) di barat
laut dan Laut Kaspia di utara, Turkmenistan (1000 km) di timur laut, Pakistan
(909km) dan Afganistan (936 km) di timur, Turki (500 km) dan Irak (1.458 km) di
barat, dan perairan Teluk Persia dan Teluk Oman di selatan.

1
Wisnu Fachrudin Sumarmo, Sejarah Politik Republik Islam Iran Tahun 1905-1979, Vol 3 No.2, 2020,
hal 3.
Penduduk Iran berkisar 64 juta jiwa (996) dan merupakan negeri terbanyak
penduduknya di Asia Tengah, dengan luas wilayah 1.648.000 km2. Penduduk Iran
mayoritas beragama Islam (95,5%) dan sisanya penganut Kristen, Zoroaster dan
Yahudi. Sementara umat Islam yang berada di Iran penganut faham Syiah isna
Asy’ari, sementara penganut faham Sunni menjadi warga minoritas.2
C. Madzab
Agama resmi Iran adalah Islam bermadzab Syiah Itsna ‘Asyari (Syiah 12
imam) atau madzab ja’far. Adapun madzab-madzab yang diakui Negara adalah
Hanafi, Syafi’I, Maliki, Hanbali dan Syi’ah Zaidiyah, dan menghormati penuh
pengikutnya untuk menjalankan dengan bebas peribadatan sesuai dengan fikih yang
dianut (UUD Republik Islam Iran, Pasal 12).
Iran menjadikan paham Islam Syiah sebagai madzab keagamaan yang diakui
secara formal oleh Negara dan madzab ini secara resmi menjadi identitas nasional dan
sumber legitimasi politik sejak abad XVI, era Dinasti Savafi, dimana ajaran Syiah
Imamiyah merupakan madzab utama dalam Syiah dan memiliki kecenderungan
apolitis dan terlalu koorperatif dengan penguasa Negara.
Zoroaster, Yahudi, dan Kristen di kalnagan rakyat Iran hanya dikenal sebagai
agama minoritas, dan mereka bebas dalam kerangka hukum untuk menjalankan
ibadah dan ritual menurut agama mereka serta menjalankan ahwal syakhsiyyah dan
pendidika agamanya masing-masing (UUD Republik Islam Iran, Pasal 13).
Pemerintah Republik Islam Iran dan pemeluk agama Islam berkeajiban untuk
memperlakkan non0muslin dengan akhlak yang baik, hukum islami, dan adil serta
menjaga hak-hak asasi mereka. Pasal ini berlaku kepada siapapun yang tidak bersikap
anti-islam dan tidak mennetang Republik Islam Iran dengan konspirasi dan aksi
(UUD Republik Islam Iran, Pasal 14).

2
Reeva S. Simon, Encyclopedia Of The Modern Middle east, (New York: Simon & Schuster Macmillan,
1996), 866.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Batasan Umur Menikah.


Pasal 1041 Undang-Undang Hukum Perdata Iran melarang perkawinan
seseorang yang belum dewasa dan belum mencapai usia perkawinan. Namun, aturan
ini sangat terkait dengan usia kedewasaan atau kelayakan seseorang untuk
melangsungkan perkawinan. Pada masa Pahlevi, usia perkawinan laki-laki dan
perempuan ditetapkan 18 tahun, pasca-Revolusi Iran terjadi, usia perkawinan
langsung direndahkan mengikuti doktrin hukum Islam, bagi perempuan 9 tahun dan
laki-laki 15 tahun. Dalam catatan Pasal 1210 Undang-Undang Hukum Perdata Iran
yang ditambahkan saat revisi tahun 1982 diesbutkan bahwa usia dewasa bagi laki-laki
adalah 15 tahun lebih satu bulan dan bagi perempuan 9 tahun lebih satu bulan.
Disamping itu, walaupun ada ketentuan keharusan mencapai usia dewsa, UU
Hukum Perdata Iran masih memungkinkannya perkawinan anak-anak asalkan dengan
persetujuan dan pertimbangan dari walinya. Ketentuan ini merupakan ketentuan
tambahan yang dicantum dalam UU Hukum Perdata saat terjadi revisi tahun 1982.3
B. Mahar
Mahar pernikahan di Iran biasanya diberikan dalam bentuk koin emas. Satu
koin bernilai sekitar enam juta rupiah. Menurut riset beberapa tahun belakangan ini,
rata-rata mahar yang diminta perempuan Iran antara 300 sampai 450 koin. Dalam
kultur masyarakat Iran, mahar pernikahan memiliki arti penting dalam sebuah ikatan
pernikahan.
Menariknya, meskipun mahar di Iran sangat tinggi, tetapi tidak dibayarkan
tunai pada waktu akad pernikahan. Ia menjadi semacam penjamin dan harus dibayar
lunas ketika terjadi perceraian. Para suami dapat dituntut ke pengadilan dan divonis
hukuman penjara jika tidak melunasi mahar pada saat terjadi perceraian. Persoalan ini
memang kerap menyisakan sengketa antar keluarga pasca perceraian.
Pada tahun 2012 ditetapkan Undang-Undang perlindungan keluarga yang
menengahi sengketa ini dengan menetapkan jumlah maksimal secara hukum yang
harus dibayarkan pihak laki-laki, yang tidak lebih besar dari 110 kin emas atau sekitar

3
Ibid.
660 juta rupiah. Misalnya, mahar pernikahan yang diminta seorang perempuan
sebesar 300 koin, yang berhak dituntut secara hukum tidak lebih dari 110 koin.
Dengan menetapkan mahar pernikahan yang tinggi, pihak keluarga perempuan
berharap anaknya mendapat perlindungan dan persoalan kekerasan dan praktik
poligami. Para suami akan berpikir ulag untuk melakukan poligami, selain mereka
harus menyepakati mahar pernikahan dengan perempuan lain yang jumlahnya besar,
mereka juga menghadapi gugatan perceraian yang berarti haru melunasi mahar
kepada istri pertama.
Namun, tingginya mahar pernikahan juga menyisakan berbagai masalah
sosial. Siantaranya, keengganan pasangan muda mudi untuk segera menikah, belum
lagi melebarnya persengketaan di kalangan keluarga pasca perceraian. Para pengambil
kebijakan di Iran sendiri, masih terus mengkaji ulang aturan mahar tinggi yang sudah
membudaya ini. Meskipun dalam prakteknya, ada juga istri yang menghibahkan
maharnya atau mengikhlaskan maharnya ketika mendapati suami memang benar-
benar tanggung jawab.
C. Pencatatan perkawinan atau Pendaftaran Perkawinan
Perkawinan yang terjadi di Iran banyak dilakukan dihadapan penghulu atau
tokoh agama, namun mereka tetap berkewajiban untuk melaporkan perkawinannya
tersebut kepada kantor pencatatan dibawah naungan Menteri Hukum. Setelah itu,
pasangan ini akan didaftrakan di pendaftaran umum dan dimasukkan nomor registrasi
perkawinan di dalam kartu (sijil) pasangan suami istri.
Tidak ada pungutan biaya dalam pendaftaran perkawinan dan perceraian. Bagi
yang tidak mencatatkan perkawinan, perceraian atau rujuk, mereka diancam dengan
pidana penjara selama 1 bulan sampai 6 bulan.
Namun demikian, pada 1984 Pemimpin Agung Iran mengumumkan bahwa
sanksi yang diberikan tersebut bertentangan dengan syariat Islam, sehingga secara
moral dan normative, dewan ini telah menghancurkan legitimasi hukum pencatatan
perkawinan yang ada di Iran.4
D. Perjanjian Kawin
Pasangan yang hendak melakukan perkawinan boleh membuat perjanjian
dalam akad perkawinan, selama tidak bertentangan dengan tujuan perkawinan.
Perjanjian tersebut dapat dibuat dibawah perlindungan Pengadilan.

4
Ahmad Tholabi Kharlie, Kodifikasi Hukum Kelura Islam Kontenporer, (Jakarta: Kencana, 2020), 74
Sebagian besar literature fikih klasik tidak memberikan pembahsan inten
terhadap perjanjian perkawinan. Pembahasan fikih fikih cenderung pada persyaratan
dalam perkawinan. Perjanjian merupakan bagian yang terpisah dari akad perkawinan
itu sendiri. Hal ini berarti bahwa apabila perjanjian perkawinan dilalaikan oleh salah
satu pihak, tidak berarti akad perkawinan batal. Menurut madzab Ja’fari, syarat yang
dianggap gugur diluar akad nikah dapat menggugurkan akad nikah. Sedangkan syarat
yang dianggap gugur dalam akad nikah tidak dapat menggugurkan akad nikah atau
mahar itu sendiri, kecuali jika disyaratkan dalam bentuk khiyar, atau tidak berlakunya
semua dampak semua akad yang bertentangan dengan wataknya sendiri.
Pada dasarnya, kedua belah pihak wajib menepati janji perkawinan kendatipun
materinya tidak dituliskan dalam materi-materi akad. Oleh karena itu, kealpaan salah
satu pihak untuk menunaikannya, baik secara menyeluruh ataupun parsial,
mengakibatkan adanya tuntutan perceraian. Nanun, pihak yang dirugikan mempunyai
hak untuk mengajukan pembatalan perkawinannya.5
E. Poligami.
Berangkat dari norma-norma hukum Islam, Iran memperbolehkan poligami
bagi laki-laki dengan menikahi perempuan sampai empat. Hukum keluarga di Iran
hanya menetapkan bahwa seorang istri dapat meminta perceraian ke pengadilan jika
suaminya berpoligami tanpa persetujuan istri. Namun demikian, sebagaimana catatan
dari banyak ahl dan peneliti, parktik poligami di Iran memang tidak sebanyak di
negara-negara Muslim yang lain, walaupun pada kenyataannya secara legal mereka
diizinkan.
Terkait dengan kondisi dan aturan tersebut,kelompok-kelompok Islam
konservatif ternyata tetap merasa terhalangi oleh adanya keharusan untuk meminta
izin istri untuk berpoligami. Perkmbangan akhir-akhir ini, pemerintah mengusulkan
suatu draft UU yang diantara isinya adalah bahwa laki-laki tidak perlu meminta izin
dari istrinya jika hendak berpoligami dan cukup dengan kriteria bahwa dia mampu
secara ekonomi untuk menghidupi istri keduanya.
Sementara itu, secara regulasi UU Perlindungan Kelurga tahun 1967 mengatur
beberapa hal signifikan, termasuk dalam poligami, yaitu bahwa perkawinan kedua
atau setelahnya harus dilakukan dengan kondisi tertentu dan dengan izin pengadilan,
baik dari pihak istri (dalam situasi istri meminta dicerakan) atau dari pihak suami
(untuk perkawinan kedua berikutnya).
5
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), 146
F. Nafkah Keluarga
Dalam Hukum Perlindungn keluarga tahun 1967 Pasal 10 disebutkan bahwa
suami berkewajiban memberikan nafkan pada istrinya. Nafkah ini meliputi sandang,
pangan, tempat tinggal dan barang-barang kebutuhan rumah tangga yang layak. Jika
suami tidak melaksanakannya maka istri berhak mengadukan pada pengadilan, dan
pengadilan akan memberi peringatan kepada suaminya, ketika tetap tiada perubahan
istri boleh menuntut perceraian pada pengadilan. Aturan ini sejalan dengan madzab
Ja’fari.
G. Nikah Mut’ah
Iran merupakan satu-satunya Negara Muslim yang secara legal mengakui
adanya perkawinan mut’ah di dalam system hukumnya. Dalam Pasal 1075 UU
Hukum Perdata Iran disebutkan, bahwa perkawinan disebut sementara (temporary)
ketika perkawinan tersebut ditetapkan untuk batasan waktu tertentu. Batasan waktu
untuk waktu perkawinan ini harus disebutkan secara jelas dan eksplisit.6
H. Waris.
Hukum perdata Iran mencakup berbagai aspek hukum. hukum keperdataan
yang berkenaan dengan hukum waris diatur dalam pasal 861-949 dan masalah wasiat
diatur dalam pasl 843, sementara seluruh buku VII mengatur masalah hukum
keluarga. Semua materi hukum waris dan keluarga didasarkan pada hukum keluarga
Syiah Itsna ‘Asyariyah (Ja’far).
Dalam perundang-undangan lama, seorang janda dengan anak mendapatkan
seperdelapan warisan suami minus tanah. Jika pasangan itu tidak memiliki anak,
maka janda itu mendapatkan separuh dari tirkah. Sisanya dibagi-bagikan ke ahli waris
lain dari pihak almarhum suami. Jika tidak ada ahli waris lain, separuh harta suami
diserahkan pada Negara. Tetapi, jika sang istri meninggal, suami mendapatkan
seluruh harta istri bila pasangan itu tidak punya anak. Jika punya anak, suami
mendapatkan seperempat.
Sedangkan dalam Undang-Undang baru, seorang istri akan mendapatkan
seluruh warisan suaminya, tidak hanya separuh dari harta peinggalan saja. Jadi, salam
Undang-Undang baru, perempuan berhak mendapatkan tanah suaminya yang sebelum
dilarang dalam Undang-Undang lama. Ini merupakan langkah maju untuk
menyetarakan antara hak laki-laki dan perempuan.7
I. Terputusnya Hubungan Perkawinan.
6
Ibid, 75.
Setelah Revolusi Iran 1979, pemerintah Iran langsung mencabut UU
Perlindungan Keluarga 1967. Dengan ini pula, Pemerintah Iran memberlakukan
ketetapan bahwa laki-laki dapat menceraikan istrinya kapan pun ia mengehndaki,
kebolehan poligami, dan beberapa ketentuan lain yang merugikan kepentingan
perempuan. Penetapan hak eksklusif perceraian bagi laki-laki ini berangkat dari
anggapan bahwa laki-laki yang berkewajiban untuk memberikan nafkah kepada istri
dn keluarganya, termasuk mahar sehingga, sehingga laki-laki yang akan kehilangan
banyak uang. Dengan ini, laki-laki memiliki kekuasaan untuk menceraikan istrinya
dan tidak sebaliknya. Selain itu, alasan yang megemuka adalah bahwa jika perempuan
boleh menceraikan laki-laki, maka mereka akan sngat cepat menjadi kaya, karena
dapat saja mereka menikahi laki-laki kaya lalu menceraikannya.
Perkembangan hukum keluarga Islam di Iran pascarevolusi seakan kembali
kepada masyarakat primitive dengan aturan-aturan konservatif. Selain mencabut UU
Perlindungan Keluarga, pemerintah Iran langsung pula merevisi UU Perdata yang
telah diterapkan agar sesuai dengan prinsip-prinsip Hukum Islam. Salah satu aspek
yang dapat dilihat adalah tentang perceraian atau putusnya hubungan perkawinan.
Pasal 1120 UU Hukum Perdata Iran menentukan tiga bentuk yang dapat
memutuskan hubungan perkawinan, yaitu dengan pembatalah, perceraian atau dengan
surat pernyataan yang menyebutkan habisnya masa perkawinan sementara.
Permohonan pembatalan perkawinan dapat dilakukan ketika terjadi kegilaan
pada salah satu pasangan suami istri, baik permanen atau sementara. Pembatalan
dapat dilakukan oleh istri ketika pada suami terdapat keadaan, yaitu pengebirian,
impotensi, atau terpotongnya organ seks sehingga ia tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai suami. Cacat dari pihak istri yang dapat mengajukan
pembatasan, yaitu adanya tonjolan pada Rahim vagina (qaram), memiliki penyakit
kusta (juzam dan baras), bersatunya saluran vagina dengan dubur, menjadi pncang,
atau menjadi buta salah satu matanya. Dengan alasan-asalan ini, pasangan suami istri
dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan.8
Dalam hal ini perceraian, ketentuan UU Hukum Perdata Iran sangat mengikuti
doktrin huku Islam klasik, yang sebetulnya mulai ditinggalkandi Negara-negara
Muslim yang lain. Dalam Pasal 1133 UU Hukum Perdata Iran disebutkan “suami

7
Muhammad Fauzinudin, Kontribusi Iran Terhadap Sejarah Pembaharuan Hukum Keluarga Islam:
Potret Sistem Kewarisan Islam dan Wasiat di Iran, Vol Wajibah 18 No. 2, 2017, hal 217.
8
Ibid, 76.
dapat menceraikan istrinya kapanpun ia mau melakukannya.” Perceraian ini baru
dinyatakan dengan pernyataan yang jelasdan minimal dihadiri oleh du aorang laki-laki
yang mendengar secara factual apa yang telah dikatakan.
J. Persetujuan.
Di dalam Pasal 1043 UU Hukum Perdata Iran, disebutkan bahwa setiap
perempuan yang masih berada dibawah tanggungan dan hendak menikah harus
mendapatkan persetujuan dari ayah atau kakeknya, meskipun dia telah mencapai
umur dewasa. Jika mereka menolak tanpa adanya alasan yang jelas dan kuat, maka
perempuan tersebut dapat meminta ke Pengadilan Perdata Khusus, dengan
menyertakan data-data lengkap tentang lak-laki yang hendak menikah denganya,
termasuk pula syarat-syarat perkawinan, maskawin yang disepakati, serta fakta-fakta
yang menyatakan penolakan ayah atau kakek atas perkawinannya.
K. Penyelesaian Perselisihan Melalui Juru Damai (arbitrator)
Dalam Pasal 6 hukum perlindungan keluarga disebutkan bahwa pengadilan
dapat menyerahkan penyelesaian perselisihan keluarga pada arbitrator jika diminta
oleh pasangan suami istri yang bermasalah. Khusus kasus yang berkenaan dengan
validitas perjanjian perkawinan dan perceraian yang berbelit-belit. Ditangani sendiri
oleh pengadilan.

BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

No Hukum Peraturan

1. Batasan Umur Dalam catatan Pasal 1210 Undang-Undang


Menikah. Hukum Perdata Iran yang ditambahkan saat
revisi tahun 1982 diesbutkan bahwa usia dewasa
bagi laki-laki adalah 15 tahun lebih satu bulan
dan bagi perempuan 9 tahun lebih satu bulan.
2. Mahar. Mahar pernikahan di Iran biasanya diberikan
dalam bentuk koin emas. Satu koin bernilai
sekitar enam juta rupiah. Menurut riset beberapa
tahun belakangan ini, rata-rata mahar yang
diminta perempuan Iran antara 300 sampai 450
koin.
3. Pencatatan perkawinan Perkawinan yang terjadi di Iran banyak
atau Pendaftaran dilakukan dihadapan penghulu atau tokoh agama,
Perkawinan. namun mereka tetap berkewajiban untuk
melaporkan perkawinannya tersebut kepada
kantor pencatatan dibawah naungan Menteri
Hukum. Setelah itu, pasangan ini akan
didaftrakan di pendaftaran umum dan
dimasukkan nomor registrasi perkawinan di
dalam kartu (sijil) pasangan suami istri.
4. Perjanjian Kawin. Pasangan yang hendak melakukan perkawinan
boleh membuat perjanjian dalam akad
perkawinan, selama tidak bertentangan dengan
tujuan perkawinan. Perjanjian tersebut dapat
dibuat dibawah perlindungan Pengadilan.
5. Nafkah. Dalam Hukum Perlindungn keluarga tahun 1967
Pasal 10 disebutkan bahwa suami berkewajiban
memberikan nafkan pada istrinya. Nafkah ini
meliputi sandang, pangan, tempat tinggal dan
barang-barang kebutuhan rumah tangga yang
layak. Jika suami tidak melaksanakannya maka
istri berhak mengadukan pada pengadilan, dan
pengadilan akan memberi peringatan kepada
suaminya, ketika tetap tiada perubahan istri boleh
menuntut perceraian pada pengadilan.
6. Poligami Berangkat dari norma-norma hukum Islam, Iran
memperbolehkan poligami bagi laki-laki dengan
menikahi perempuan sampai empat. Hukum
keluarga di Iran hanya menetapkan bahwa
seorang istri dapat meminta perceraian ke
pengadilan jika suaminya berpoligami tanpa
persetujuan istri.
7. Nikah Mut’ah Iran merupakan satu-satunya Negara Muslim
yang secara legal mengakui adanya perkawinan
mut’ah di dalam system hukumnya.
8. Waris. Dalam Undang-Undang baru, seorang istri akan
mendapatkan seluruh warisan suaminya, tidak
hanya separuh dari harta peinggalan saja.
9. Terputusnya Hubungan Pemerintah Iran memberlakukan ketetapan
Perkawinan. bahwa laki-laki dapat menceraikan istrinya kapan
pun ia mengehndaki, kebolehan poligami, dan
beberapa ketentuan lain yang merugikan
kepentingan perempuan.
10 Persetujuan. Setiap perempuan yang masih berada dibawah
tanggungan dan hendak menikah harus
mendapatkan persetujuan dari ayah atau
kakeknya, meskipun dia telah mencapai umur
dewasa.
11. Penyelesaian Pengadilan dapat menyerahkan penyelesaian
Perselisihan Melalui perselisihan keluarga pada arbitrator jika diminta
Juru Damai oleh pasangan suami istri yang bermasalah.
(arbitrator). Khusus kasus yang berkenaan dengan validitas
perjanjian perkawinan dan perceraian yang
berbelit-belit. Ditangani sendiri oleh pengadilan.
B. Analisis

terbentuknya republik islam iran dimulai dari dinasti safawiah yang kemudian
diruntuhkan dan diambil alih oleh dinasti Qajar yang memimpin dengan bantuan barat
dan banyak menggunakan paham sekuler. Kepemimpinan ini banyak ditentang oleh
masyarakat sendiri terutama para cendekiawan dan juga ulama sehingga para ulama
melakukan pemberontakan dan bekerja sama dengan panglimanya sendiri yaitu Reza
Syah Pahlevi untuk meruntuhkan dinasti Qajar.

Setelah itu kepemimpinn diambil alih oleh Reza Tetapi karena


kepemimpinanya yang yang otokrasi menjadikan ulama mundur dari pendukungnya
yang akhirnya ketika putranya memimpin yang kurang kuat sepertinya halnya
pendahulunya maka terjadi revolusi yang di prakarsai oleh para ulama yang di sebut
dengan Mullah dan menjadikan iran menjadi republik dan menggunakan sistem
pemerintahan Waliyatul faqih kepemimpinan tertinggi dipegang oleh ulama.

Iran berbatasan dengan Azerbaijan (500 km) dan Armenia (35 km) di barat
laut dan Laut Kaspia di utara, Turkmenistan (1000 km) di timur laut, Pakistan
(909km) dan Afganistan (936 km) di timur, Turki (500 km) dan Irak (1.458 km) di
barat, dan perairan Teluk Persia dan Teluk Oman di selatan.
Iran menjadikan paham Islam Syiah sebagai madzab keagamaan yang diakui
secara formal oleh Negara dan madzab ini secara resmi menjadi identitas nasional dan
sumber legitimasi politik sejak abad XVI, era Dinasti Savafi, dimana ajaran Syiah
Imamiyah merupakan madzab utama dalam Syiah dan memiliki kecenderungan
apolitis dan terlalu koorperatif dengan penguasa Negara.

DAFTAR PUSTAKA

Wisnu Fachrudin Sumarmo, Sejarah Politik Republik Islam Iran Tahun 1905-1979.

Reeva S. Simon, Encyclopedia Of The Modern Middle east, (New York: Simon & Schuster
Macmillan, 1996)

Ahmad Tholabi Kharlie, Kodifikasi Hukum Kelura Islam Kontenporer, (Jakarta: Kencana,
2020)
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007)

Muhammad Fauzinudin, Kontribusi Iran Terhadap Sejarah Pembaharuan Hukum Keluarga


Islam: Potret Sistem Kewarisan Islam dan Wasiat di Iran.

Anda mungkin juga menyukai