Anda di halaman 1dari 20

ANALISIS DAN PERBANDINGAN CONTOH KASUS-KASUS HUKUM KELUARGA

DI DUNIA MUSLIM

Siti Amalia, Anisah, Imam Munir

Jurusan Hukum Keluarga


Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam
IAIN Syekh Nurjati Cirebon
Email: amaliasiti25@gmail.com, anissahsharma@gmail.com, imammunirriyadi@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library reseach), yaitu penelitian yang dilakukan
dengan jalan menelaah bahan-bahan pustaka baik berupa buku, jurnal, maupun sumber lainnya.
Teknik dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan, sedang pengumpulan datanya adalah
menggunakan data primer dan sekunder. Pendekatan penelitian digunakan adalah pendekatan
normatif serta filosofis, yaitu pendekatan dengan melihat persoalan yang dikaji dengan
berlandaskan pada teks-teks Al-Qur’an, Al-Hadis serta pendapat ulama yang berkaitan dengan
poligami. Pendekatan filosofis dengan memahami masalah tersebut dengan hikmah-hikmah dan
tujuan yang terkandung dalam suatu penetapan hukum.

Hasil dari penelitian ini adalah pengetahuan perbandingan hukum keluarga Islam ini sangat
penting di Indonesia, karena seringkali kita memperdebatkan sesuatu hal yang orang lain di
Negara lain telah menyelesaikan masalah itu puluhan tahun sebelumnya. Meskipun
kriminalisasi poligami belum menjadi potret umum dari hukum/undang-undang yang berlaku di
negara-negara Muslim, namun keberadaannya semakin dipertimbangkan dan tetap menjadi
salah satu topik hangat masyarakat Muslim Dunia saat ini. Adalah menarik jika kriminalisasi
poligami di Indonesia juga dapat ditelaah lebih dekat, dan melihat bagaimana sebagian negara
Muslim lain memberlakukannya, kemudian dikomparasikan satu sama lain dalam konteks
doktrin Hukum Islam konvensional, antar negara, dan posisinya sebagai salah satu citra
dinamisasi dalam hukum Islam, khususnya hukum keluarga Negara Muslim modern. Seperti
halnya di Negara Tunisia yang penduduknya hampir 97% memeluk Agama Islam tetapi dalam
hal poligami negara tunisia ini mutlak melarang dan menerapkan sanksi hukum terhadap pelaku
poligami dengan kurungan penjara selama 1 tahun dan denda 240.000 Malim. Pemerintah
Indonesia meregulasi prosedur poligami dengan persyaratan alternatif dan kumulatif yang
harus dipenuhi oleh para pihak yang ingin berpoligami. Sampai saat ini undang-undang
perkawinan belum mengatur sanksi pidana bagi suami yang berpoligami tanpa seizin
pengadilan agama, adapun rencana pemberlakuan sanksi hukumnya termuat dalam rancangan
undang-undang hukum materiil Pengadilan Agama (RUU HMPA) tahun 2008), ng hingga saat
ini masih belum diputuskan.

Kata Kunci : pologami, pembatalan nikah, analisis.

PENDAHULUAN

Dimulai dari awal abad 20-an, mayoritas negara-negara muslim yang tersebar diseluruh
penjuru dunia telah dan terus melakukan pembaruan dalam hukum Islam. Tidak terkecuali
pembaruan dilakukan dalam bidang hukum keluarga Islam.

Pembaruan dalam bidang ini tentu memberi pengaruh yang sangat signifikan sehingga
kehidupan berkeluarga setiap warga negara menjadi relatif lebih baik. Pembaruan hukum Islam
di negara-negara Muslim terjadi setelah adanya persentuhan antara Islam dan barat ketika masa
kolonialisme. Sehingga pasca-kolonialisme pembaruan ini pun terjadi dibeberapa negara muslim
yang baru merdeka. Penggerak pertama pembaruan dalam hukum Islam adalah negara Turki
yang ditandai dengan lahirnya Ottoman Law of Family Right, kemudian diikuti oleh negara-
negara Muslim lainnya. Secara umum, substansi dalam undang-undang hukum keluarga di dunia
Islam modern telah beranjak dari wacana pemikiran fikih klasik dan telah mencoba memecahkan
masalah-masalah baru khususnya ketimpangan hak antara laki-laki dan perempuan dalam
keluarga sehingga hak perempuan dalam perkawinan (Marital right) diakui.

Dari sekian banyak bidang pembaruan dalam hukum Islam, status hukum poligami
menjadi salah satu yang menarik untuk diamati. Pada dasarnya isu poligami bukanlah hal baru
dalam kehidupan manusia di dunia Islam. Jauh sebelum kedatangan Islam, bangsa Arab telah
mempraktikkan poligami atau poligini, demikian pula masyarakat lain disebagian besar kawasan
dunia selama masa itu. Kitab suci agama-agama samawi dan buku-buku sejarah menyebutkan
bahwa dikalangan pemimpin-pemimpin maupun orang-orang awam disetiap bangsa, bahkan di
antara para Nabi pun poligami bukanlah hal yang asing lagi atau tidak disukai.
Dilihat secara universal, ketentuan yang terkandung dalam peraturan perundang-
undangan hukum keluarga di negara-negara muslim modern jika dikaitkan dengan aturan tentang
poligami, maka dapat diklasifikasikan menjadi tiga (3) kategori: pertama: negara-negara yang
melarang praktik poligami secara mutlak, seperti Turki dan Tunisia. Kedua: negara-negara yang
membolehkan praktik poligami dengan persyaratan yang relatif ketat, seperti Pakistan, Mesir,
Maroko, Indonesia, Malaysia, Iran, Irak, Syiria, Yaman Selatan, Yordania, Lebanon, dan India.
Ketiga: negara-negara yang membolehkan praktik poligami dengan peraturan yang lebih.

METODE PENELITIAN

Jenis penulisan yang digunakan oleh peneliti adalah penelitian kepustakaan. Penelitian
kepustakaan merupakan penelitian yang dilakukan dengan teknik atau cara yaitu pengumpulan
data-data dan informasi lainnya yang berkaitan dengan topik penelitian. Karena penelitian ini
bersifat kajian Pustaka, maka objek yang dapat dijadikan sumber menjadi dua macam, yaitu
primer dan sekunder. Data primer adalah buku, jurnal, dan karya ilmiah yang berkaiatan dengan
dengan kajian penelitian “mermasalahan yang dirumuskan dalam penelitian”. Sedangkan sumber
sekunder adalah buku-buku yang dianggap relavan dengan kajian penelitian.

PEMBAHASAN

POLIGAMI

Alasan-alasan poligami di dunia Islam


1. Indonesia

Negara Republik Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam bermazhab


Syafi’i, dalam sejarahnya telah berlaku tiga sistem hukum, yaitu sistem hukum Islam, sistem
hukum adat, dan sistem hukum Barat, baik yang berasal dari Eropa kontinental yang disebut
civil law maupun yang berasal dari Eropa kepulauan yang dikenal dengan common law atau
hukum anglo saxon.

Indonesia memiliki sistem hukum keluarga yang unik, karena campuran antara hukum
Islam dan hukum adat. Di bawah pemerintahan Hindia Belanda dan jepang, hukum keluarga
yang diberlakukan di Indonesia adalah hukum adat yang dimodifikasi dengan hukum Islam.
Hal ini telah diatur sejak tahun 1882 dengan peraturan tentang peradilan agama.
Pada tahun 1929, diberlakukan Ordonansi perkawinan Muslim yang hanya berlaku untuk
Jawa dan Madura. Tahun 1946, Indonesia membentuk peraturan tentang pencatatan
perkawinan dan perceraian. Sejak tahun 1950-an Indonesia telah berusaha untuk membentuk
draft hukum perkawinan yang komprehensif dan dapat diberlakukan bagi seluruh warga
negara. Namun usaha ini tertunda karena banyaknya hambatan baik dari non muslim
maupun kalangan Islam tradisional. Namun akhirnya berkat perjuangan yang tak mengenal
lelah, UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dapat disahkan dan diberlakukan dengan PP
No. 9 tahun 1975 sebagai pelaksanaannya.

Lahirnya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 merupakan kelanjutan dari


penjabaran UU No.1 tahun 1970 tentang PokokPokok Kekuasaan Kehakiman, khususnya
untuk melengkapi hukum materil Peradilan Agama. Oleh karena itu pula, Undang-Undang
Perkawinan ini dapatlah dikatakan sebagai langkah awal dari usaha legislasi hukum Islam di
Indonesia untuk kemudian dilanjutkan dengan Undang-Undang Peradilan Agama No. 7
tahun 1989 dan Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

Berdasarkan UU No 1 tahun 1974, maka prinsip perkawinan di Indonesia adalah


monogami. Namun masih dimungkinkan seorang pria melangsungkan poligami maksimal
empat dengan persetujuan pengadilan (pasal 3 ayat 2).

Izin beristri lebih dari seorang, termasuk PNS, hanya dapat diberikan apabila memenuhi
sekurang-kurangnya salah satu syarat alternatif, dan ketiga syarat kumulatif.

Adapun syarat-syarat alternatif ialah:

a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;


b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; atau
c. istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Sedang syarat kumulatif adalah:

a. ada persetujuan tertulis dari istri-istri;


b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri dan anakanak
mereka;
c. ada jaminan tertulis bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-
anaknya. Persetujuan istripun harus dipertegas di pengadilan.
2. Malaysia

Mayoritas penduduk negara Malaysia (55%) adalah muslim bermazhab Syafi’i. Negara
ini terletak di Asia Tenggara dengan memakai bahasa Melayu dan Inggris sebagai bahasa
resmi negara. Pada masa pemerintahan Inggris di akhir abad ke-19, semenanjung Malaka
terdiri atas kerajaankerajaan kecil dan budaya Islam diberlakukan di seluruh negeri tersebut,
seperti hukum perkawinan, hukum perceraian, dan hukum waris.

Sebelum datangnya penjajah, hukum yang berlaku di Malaysia adalah hukum Islam
bercampur hukum adat. Setelah Malaysia memperoleh kemerdekaannya, konstitusi federal
Malaysia tahun 1957 begitu juga konstitusi federal tahun 1963 mendeklarasikan agama
Islam sebagai agama resmi negara. Hukum Islam dan administrasinya diberlakukan secara
resmi di seluruh wilayah negara Malaysia meliputi Perak, Selangor, Negeri Sembilan,
Pahang, Klantan, Trengganu, Kedah, dan Johor. Pada dua negara bagian yaitu Sabah dan
Serawak, penduduk muslim merupakan minoritas. Sabah yang memiliki jumlah penduduk
muslim lebih sedikit dari Serawak, memakai administrasi hukum Islam pada tahun 1971.
Sedang Serawak masih menerapkan Undang-Undang Mahkamah Melayu tahun 1915.
Hukum negara-negara bagian di Malaysia memuat ketetapan hukum keluarga melalui
pengadilan-pengadilan kathis.

Perundang-undangan Malaysia telah mengalami dua kali pembaharuan. Pertama tahun


1976-1980 yang berisi tentang perkawinan dan perceraian. Lalu pembaharuan yang kedua
dilaksanakan tahun 1983-1985 yang diberi nama Islamic Family Law Act. Hukum baru ini
dilaksanakan tahun 1983 di Kelantan, Negeri Sembilan, dan Malaka. Kemudian tahun 1984
dilaksanakan di Kedah, Selangor, dan wilayah Persekutuan, serta tahun 1985 dilaksanakan
di Penang.

Berdasarkan UU Perkawinan Malaysia tentang boleh atau tidaknya seorang laki-laki


melakukan poligami, ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan, yakni syarat-syarat,
alasanalasan boleh tidaknya poligami dan prosedurnya. Namun yang membedakannya
dengan perundangundangan Indonesia ialah Malaysia tidak ada menegaskan tentang prinsip
perkawinan, apakah monogami atau poligami. Dari tiga hal penting di atas, penulis akan
membatasi masalah pada alasan-alasan yang digunakan oleh pihak suami terhadap keadaan
pihak istri bagi kebolehan atau tidaknya poligami.

Dasar pertimbangan pengadilan untuk memberi izin atau tidak, dilihat dari pihak istri dan
suami. Adapun alasan-alasan dari pihak istri adalah: (1) kemandulan, (2) karena keuzuran
jasmani, (3) karena tidak layak dari segi jasmani untuk bersetubuh, (4) sengaja tidak mau
memulihkan hak-hak persetubuhan, atau (5) istri gila.

Sedang pertimbangan dari pihak suami adalah: (1) mampu secara ekonomi untuk
menanggung istri-istri dan anak keturunan, (2) berusaha untuk adil di antara para istri, (3)
perkawinan itu tidak menyebabkan bahaya terhadap agama, nyawa, badan, akal pikiran atau
harta benda istri yang telah lebih dahulu dinikahi, (4) perkawinan itu tidak akan
menyebabkan turunnya martabat istri-istri atau orang-orang yang terkait dengan perkawinan,
langsung atau tidak.

3. Iran

Iran adalah sebuah negara Republik Islam yang jumlah penduduknya mencapai
43.000.000 dengan 98 % beragama Islam. Di antara warga muslim Iran, sekitar 8 % Sunni,
sedang sisanya 92 % adalah pengikut Syi’ah dua belas imam (dari paham ushuliyah, dan
terdapat sedikit paham akhbariyah di Khuzistan). Penganut Kristen Armanean dan Kristen
Chaldean diperkirakan sekitar 1 %, dan terdapat juga sejumlah kecil penganut Yahudi.
Selain itu, terdapat 30.000 penganut Zoroastria, 50.000 Bahais, beberapa kelompok kecil
penganut Ali Ilahis, Babis, Syaikhis, dan Ismailiyyah. Warga Iran mayoritas adalah etnis
Persia (63 %), namun 26 % warganya berbahasa dengan bahasa Turki (yakni Azeis,
Baluchis, Qadyqai, Turkoman) dan lainnya. Terdapat sekitar 2 juta suku Kurdi yang tinggal
di Iran, ada juga minoritas keturunan Arab yang tinggal di Khuzistan (yang oleh orang Irak
mereka disebut “Arabistan”).

Sejak lama Iran telah dikenal sebagai pusat Islam Syia’h. Mereka bermazhab fikih Ja’fari
atau Itsna Asyariah yang menerapkan hukumnya di Pengadilan Agama.Undang-undang
(Civil Code) Iran yang lengkap telah diberlakukan sejak 1928- 1935, sebagai refleksi
kombinasi hukum Islam dan hukum sipil Prancis.
Iran dengan Family Protection Act of 1967, yang diperbaharui tahun 1975 membuat cara
sendiri untuk menjamin hak-hak wanita dalam praktek poligami (membatasi kemungkinan
poligami), yakni sebagai tambahan terhadap ketetapan bahwa suami yang akan berpoligami
harus mendapat izin dari pengadilan, yang ditentukan oleh terpenuhi atau tidaknya syarat:
(1) kemampuan ekonomi dan (2) berbuat adil di antara para istrinya. Di samping itu harus
ada izin/persetujuan dari istrinya atau karena ada sesuatu yang menjadi alasan. Pada pasal 16
disebutkan: “Seorang suami tidak berhak menikah lagi dengan wanita lain (poligami)
kecuali ada izin/persetujuan dari istri pertama, atau karena alasan-alasan: (1)istri pertama
tidak mampu berkumpul (bergaul) dengan suami, (2) ada penyakit yang tidak dapat
disembuhkan, (3) istri dipenjara minimal lima tahun, (4) kecanduan minumminuman keras,
judi, dan semacamnya, (5) meninggalkan keluarga, (6) hilang.

4. Somalia

Republik Demokrasi Somalia terletak di Afrika sebelah Timur, pesisir sebelah utaranya
menghadap ke Teluk Aden dan pesisir sebelah timurnya menghadap ke samudera Hindia.
Dengan ibukota Mogadishu, Somalia berbatasan darat dengan Kenya, Ethiopia, dan Djibouti
di sebelah Barat. Menurut Esposito, kaum muslim Somalia meliputi hampir 99% dari
penduduknya yang diperkirakan berjumlah delapan hingga sepuluh juta jiwa. Mereka
kebanyakan pengikut mazhab Syafi’i dalam berhukum. Walaupun begitu, adat Somalia
masih tetap dipegang kuat terutama dalam hal kewarisan.

Sejarah modern Somalia bertitik tolak dari kolonialisasi Inggris dan Italia sejak
pertengahan tahun 1880-an. Melalui penjajahan inilah Somalia mengadaptasi berbagai
hukum Barat (Inggris) seperti hukum waris tahun 1865, Majority Act 1875 dan hukum acara
perdata 1908. Setelah merdeka pada bulan Juli 1960, Somalia mulai membentuk hukum dan
undang-undang negaranya sendiri. Tetapi selama dekade pertama hal ini berjalan terlalu
lambat dan dikuasai oleh status quo. Perubahan penting berlangsung setelah kudeta (cup de
etat) militer Jenderal Mohammad Siyad Barre tahun 1969 yang memperkenalkan sosialisme
sebagai ideologi resmi.

Di bawah rezim militer sosialis inilah dilakukan berbagai pembaharuan hukum yang
banyak bertentangan dengan ketentuan Islam sehingga banyak menimbulkan perlawanan.
Pada 11 Januari 1975 diberlakukanlah UU keluarga Somalia dengan tujuan untuk
menghilangkan hukum adat yang dianggap menganggu kebijakan negara. Meskipun UU
Keluarga Somalia ini menyatakan didasarkan pada mazhab Syafi’i serta prinsip-prinsip
umum dan keadilan sosial, tetapi proses pembentukannya harus diakui membawa begitu
banyak korban umat Islam. Presiden Barre misalnya, telah mengeksekusi 10 pimpinan
agama karena memprotes secara damai UU tersebut kan bahwa poligami hanya dapat
dilakukan dengan izin pengadilan, karena ada alasan hukum, yakni: (1) istrinya mandul
dengan bukti surat dokter, (2) istri dipenjara lebih dari dua tahun, (3) istri meninggalkan
rumah tanpa izin lebih satu tahun, atau (4) ada kebutuhan social.

5. Tunisia

Di antara negara-negara yang berada di wilayah Maghrib—daerah paling Barat dari dunia
Arab yaitu Maroko dan Aljazair, maka Tunisia merupakan negara yang paling kecil.
Pemerintahan Tunisia berbentuk Republik, dipimpin oleh seorang Presiden yang beribukota
di Tunis. Islam menjadi agama resmi negara. Masyarakatnya mayoritas beragama Islam
penganut mazhab Maliki dan sebagian Hanafi, karena itu dalam persoalan perdata, kedua
mazhab tersebut sama-sama dipergunakan. Namun banyak di antara berbagai dinasti yang
yang pernah berkuasa di Tunisia baik asing maupun asli Tunisia memiliki keyakinan yang
berbeda-beda, seperti dinasti Syi’ah Fathimiyah sekitar abad X. Setelah dinasti ini tumbang,
praktis kaum Syi’ah menjadi minoritas. Demikian juga halnya dengan mazhab Hanafi yang
membentuk minoritas kecil di Tunisia, namun memberi pengaruh penting di negeri ini
sampai protektorat Prancis datang pada tahun 1883.

Pasca kemerdekaannya pada 20 Maret 1956, Tunisia segera menyusun berbagai


pembaharuan dan kodifikasi hukum Islam berdasarkan mazhab Maliki dan Hanafi. Upaya
pembaharuan ini didasarkan pada penafsiran liberal terhadap Syari’ah, terutama yang
berkaitan dengan hukum keluarga. Lahirlah Majallat al-Ahwal al-Syakhsiyyah yang
kontroversial. Menurut Esposito, di bawah kepemimpinan Presiden Habib Bourguiba inilah
Tunisia menjadi negara Arab pertama yang melarang poligami. Majallah itu sendiri
mencakup materi hukum perkawinan, perceraian, dan pemeliharaan anak yang berbeda
dengan ketetapan hukum Islam klasik. Pada perkembangan selanjutnya, Majallah atau
Undang-Undang Status Personal tahun 1956 ini telah mengalami beberapa kali perubahan,
penambahan dan modifikasi lebih jauh melalui amandemen Undang-Undang sampai dengan
tahun 1981. Selanjutnya pemerintah Tunisia pada saat itu membentuk suatu komite di bawah
pengawasan Syeikh al-Islam yaitu Muhammad Ju’ayad untuk memberlakukan undang-
undang secara resmi. Syeikh Universitas Zaituna juga ikut berpartisipasi dalam komite
tersebut. Dengan menggunakan sumber-sumber yang diperoleh, dari hasil-hasil komite
Lai’hat, hukum keluarga ala Egypt, Yordania, Syiria, dan Turki Usmani. Komite tersebut
mengajukan draft undang-undang hukum keluarga kepada pemerintah,dan akhirnya
diberlakukanlah undang-undang tersebut pada tahun 1956.

Undang-Undang tersebut memuat 167 pasal yang ditulis dalam 10 jilid yang dianggap
cukup komprehensif, meskipun belum memuat undang-undang kewarisan. Undang-undang
ini telah mengalami tujuh kali amandemen selama periode 1958-1966. Terakhir kali undang-
undang ini diamandemen pada tahun 1981 (UU No. 7/1981), yang memperkenalkan
beberapa modifikasi penting dari undang-undang sebelumnya.

Adapun alasan pembentukan dan pemberlakuan UU baru Tunisia tersebut adalah: (i)
untuk menghindari pertentangan antara pemikir mazhab Hanafi dan Maliki; (ii) untuk
penyatuan pengadilan menjadi pengadilan nasional, sehingga tidak ada lagi perbedaan antara
pengadilan agama dan pengadilan negeri; (iii) untuk membentuk UU modern, sebagai
referensi para hakim; (iv) untuk menyatukan pandangan masyarakat secara keseluruhan
yang diakibatkan adanya perbedaan dari mazhab klasik; (v) untuk memperkenalkan undang-
undang baru yang sesuai dengan tuntutan modernitas Undang-undang Tunisia yang terdiri
dari 170 pasal tersebut berlaku untuk semua warga Tunisia, khususnya setelah dicapai
kesepakatan dengan Prancis pada tanggal 1 Juli 1957. Dari berbagai pembaharuan yang
terdapat dalam UU baru ini, ada dua hal yang (awalnya) mendapat respon negatif dari
sejumlah kalangan, yakni larangan poligami dan keharusan perceraian di pengadilan.48
Mengenai praktek poligami, Tunisia melarangnya secara mutlak berdasarkan pada teks
Undang-Undang pasal 18 yang dengan tegas meyatakan:

a. Poligami dilarang, siapa saja yang telah menikah sebelum perkawinan pertamanya
benar-benar berakhir, lalu menikah lagi, akan dikenakan hukuman penjara selama satu
tahun atau denda sebesar 240.000 malim atau dengan kedua-duanya.
b. Siapa yang telah menikah, melanggar aturan yang terdapat pada UU No. 3 Tahun 1957
yang berhubungan dengan aturan sipil dan kontrak pernikahan kedua, sementara ia
masih terikat perkawinan dengan istri pertama, maka akan dikenakan hukuman yang
sama
c. Siapa yang dengan sengaja menikahkan seseorang yang dikenai hukuman, menurut
ketentuan yang tak resmi, ia bisa juga dikenakan hukuman yang sama.

ANALISI PERBANDINGAN

Dari deskripsi tentang pengaturan alasan poligami yang dilakukan di negara Indonesia,
Malaysia, Iran, Somalia, dan Tunisia, tampaknya ada perkembangan yang menarik untuk
mendapat pembahasan dan kajian lebih lanjut.

Secara vertikal, keberanjakan hukum dalam perundang-undangan di lima negara tersebut


terlihat dengan jelas melalui pengaturan alasanalasan poligami dan pelarangan poligami secara
mutlak Alasan-alasan poligami karena keadaan istri sebenarnya tidak dijumpai secara eksplisit
baik pada nash maupun pada pendapat ulama mazhab sebelumnya. Kebanyakan ulama mazhab
hanya membahas tentang keadilan dan kemampuan yang disyaratkan bagi suami yang akan
melakukan poligami, dan lima mazhab sepakat atas hukum asal poligami yang mubah. Mereka
tidak menyinggung sebegitu jauh alasan poligami karena keadaan istri atau melarangnya secara
mutlak. Kalaupun ada, alasan-alasan itu bukanlah untuk poligami, tapi digunakan untuk fasakh
dalam pernikahan. Sedangkan keempat negara di atas—selain Tunisia yang menolak poligami
secara mutlak— menetapkan alasan-alasan rinci karena keadaan istri yang menyebabkan suami
dapat berpoligami. Alasan poligami yang didasarkan pada konteks nash menurut ulama klasik
selama ini dipahami adalah untuk pertolongan, yaitu menolong janda dan anak yatim. Sedang
dalam Undang-Undang hukum keluarga keempat negara di atas, alasan pertolongan tersebut
sangat implisit yang hanya dapat dipahami dan ditentukan oleh ketelitian hakim. Adapun Tunisia
menetapkan larangan poligami yang sama sekali lepas dari kendali teks dan konteks nash serta
mazhab Hanafi dan Maliki yang dianutnya.

Dengan demikian, negara Indonesia, Malaysia, Iran dan Somalia tampaknya dalam
melakukan pembaharuan hukum keluarganya, khususnya masalah poligami cenderung memakai
metode intra-doctrinal dan extra-doctrinal reform sekaligus, yakni dengan menggabungkan
pendapat dari berbagai mazhab yang ada tentang kebolehan poligami, dan memberikan
penafsiran terhadap alasan-alasan poligami yang bisa jadi diinspirasikan oleh alasan-alasan
fasakh dalam pernikahan dengan mengambil ruh dan spirit dari substansi makna penetapan
alasan-alasan fasakh dan tujuan perkawinan secara umum. Sedangkan Tunisia lebih cenderung
memakai metode extra-doctrinal reform semata yang akhirnya menghasilkan kesimpulan
larangan mutlak terhadap poligami.

Secara horizontal, di Indonesia yang umumnya bermazhab Syafi’i walau KHI-nya lintas
mazhab, membuat alasan poligami karena keadaaan istri dengan syarat alternatif yaitu istri tidak
dapat berhubungan seksual, penyakit yang tak dapat disembuhkan, dan mandul.

Begitu juga Malaysia yang bermazhab Syafi’i ternyata menetapkan alasan yang lebih
rinci lagi mengenai alasan poligami karena keadaan istri yang mandul, sudah uzur, tidak layak
berhubungan seksual, dan gila.

Iran yang bermazhab Syi’ah dan terkenal dengan nikah mut’ahnya sebagai preventif bagi
perzinaan, ternyata dalam masalah poligami juga menetapkan alasan-alasan yang cukup banyak
yang terkesan memudahkan terjadinya poligami. Alasan-alasan karena istri tidak mampu
berhubungan seksual, berpenyakit yang tak dapat disembuhkan, dipenjara, kecanduan miras, judi
dan semacamnya, meninggalkan keluarga tanpa izin, dan hilang dapat dijadikan alasan bagi
suami untuk berpoligami.

Sedangkan Somalia yang mayoritas penduduknya bermazhab Syafi’i plus hukum adat
dalam masalah kewarisan, dalam masalah poligami turut serta menetapkan alasan-alasan
poligami karena keadaan istri. Undang-undang Somalia menetapkan alasan hukum karena
keadaan istri yang mandul, dipenjara lebih dari dua tahun, meninggalkan rumah tanpa izin lebih
dari satu tahun, dan ada kebutuhan sosial.

Adapun Tunisia yang walaupun mayoritas penduduknya bermazhab Hanafi dan Maliki,
namun karena pengaruh kultur dan institusi hukum Eropa, khususnya Perancis, serta pemahaman
al-Nisa: 129 yang diartikan sebagai ketidakmampuan manusia berlaku adil terkecuali Nabi, maka
dalam masalah poligami, hukum keluarganya melarang secara mutlak dan tidak memberi
sedikitpun peluang pengecualian, bahkan bagi pelanggarnya diancam dengan sanksi hukuman
penjara atau denda 240.000 malim atau bisa juga kedua-duanya. Dan tidak hanya pelaku
poligami yang diancam, namun orang yang terlibat memudahkan terjadinya praktek poligami
tersebut juga diancam dengan hukuman yang sama dengan pelakunya.
Secara diagonal, Tunisia ternyata telah beranjak paling depan dan sangat radikal dengan
menutup pintu poligami serapat-rapatnya melalui pelarangan secara mutlak disertai sanksi
hukum bagi pelanggarnya. Iran tampaknya juga telah bertindak liberal dengan memasukkan
cukup banyak alasan yang tidak ada diatur dalam nash dan tidak pula disebutkan dalam berbagai
mazhab fikih—sekalipun dalam alasan fasakh pernikahan misalnya alasan kecanduan
minumminuman keras dan hilangnya istri bagi kebolehan poligami. Lalu disusul Malaysia yang
sedikit agak liberal di bawah Iran dengan alasan gila yang menimpa istri, kemudian Somalia
yang agak moderat dengan alasan ada kebutuhan sosial yang sangat interpretable, dan Indonesia
adalah yang paling moderat dengan alasan istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
istri yang memerlukan ijtihad yang sangat teliti dari hakim untuk membuktikannya dengan
peluang 50 : 50, walaupun prinsip perkawinannya berdasarkan UU No.1/1974 adalah
monogami.1

PEMBATALAS PERKAWINAN

1. Mesir

Mesir adalah sebuah negara yang terletak di pantai timur laut Afrika. Bagian timur dari
negara ini berbatasan dengan laut Merah, bagian barat berbatasan dengan Libya, bagian
utara berbatasan dengan laut Tengah dan bagian selatan berbatasan dengan Sudan. Luas
daerah Mesir mencapai 997.739 Km dengan jumlah penduduk 54.609.000 jiwa. Menurut
sensus tahun 1986, 90 % dari jumlah penduduk memeluk agama islam yang beraliran Sunni.
Islam masuk ke negara ini bermula pada masa pemerintahan Umar Ibnu al Khattab ra
melalui utusan Umar Ibnu al ‘Ash yang kemudian langsung diangkat menjadi gubernur di
sana. (Ensiklopedi Islam, 1999)

Sejak zaman kuno sekitar 400 tahun sebelum masehi, Mesir sudah dikenal sebagai negara
yang mempunyai peradaban dan budaya yang tinggi sehingga dengan potensi geografis dan
budayanya itu,ketika ia msuk ke dalam wilayah Islam, Mesir memiliki peranan yang sangat
penting dalam sejarah perkembangan Islam, baik pada zaman pramodern maupun zaman
modern. Salah satu jasa terpenting yang disumbangkan mesir adalah hasil-hasil kegiatan
dalam bidang pengetahuan, pendidikan dan kebudayaan.

1
Toha Andiko. 2019. PEMBARUAN HUKUM KELUARGA DI DUNIA ISLAM (Analisis Terhadap
Regulasi Poligami dan Keberanjakannya dari Fikih), Nuansa, 12(1), 229-304.
Perkembangan ilmu pengetahuan di Mesir semakin maju pesat ketika memperoleh
dukungan dari penguasa yang menurut sejarah sangat cenderung terhadap ilmu pengetahuan.
Al Hakim, misalnya, seorang khalifah dinasti Fatimiyah, ia telah mendirikan Daar al-
Hikmah yakni pusat pengajaran ilmu kedokteran dan astronomi yang kemudian melahirkan
ilmuan-ilmuan handal. Seperti Ibnu Yunus, seorang astronom dan Ibnu Hisyam, seorang
tokoh fisika dan optik (Ensiklopedi Islam, 1999) Pembaharuan hukum nasional Mesir telah
dimulai pada tahun 1874 ketika Turki Usmani memberikan kebebasan pada Mesir untuk
membuat undang-undang sendiri. Fokus pembaharuan dilakukan di bidang administrasi
peradilan. Ketika Mesir di bawah protektorat Inggris, pembaharuan di bidang hukum banyak
dipengaruhi oleh sistem hukum Eropa, seperti undang-undang perdata, pidana, perdagangan
dan juga kelautan.

Sejarah pembaharuan hukum keluarga di Mesir dimulai sejak sekitar tahun 1920 yang
merupakan tahapan paling akhir dari seluruh rangkaian pembaharuan hukum nasional Mesir.
Meskipun sebelum itu pernah dipersiapkan Rancangan Undang-Undang Status Personal oleh
hakim Qudri Pasya, yang didasarkan pada madzhab Hanafi dan Undang-undang Pewakafan,
namun keduanya tidak pernah diundangkan sehingga tidak memiliki kekuatan yang
mengikat. Pada tahun 1920, seri pertama undang-undang di lingkungan Hukum Keluarga
dan Undang-undang Status Personal dan Nafkah diundangkan dalam Undang-undang no.25
1920. Undang-undang ini berisi persoalan pokok yang berkaitan dengan hukum keluarga
yang mencakup pasal tentang nafkah, baik dalam masa pernikahan maupun masa iddah,
kelalaian dalam memenuhi nafkah, hak untuk menggugat cerai karena suami cacat atau sakit
keras yang tidak bisa disembuhkan dan beberapa ketentuan umum lainnya. (Mahmood,
1987)

Kemudian pada tahun 1929, UU. No. 25 tahun 1920 disempurnakan oleh UU No. 25
tahun 1929 yang terdiri dari 23 pasal dengan Sembilan pokok persoalan. Undang-undang
Status Personal ini mencabut beberapa pasal dalam undang-undang sebelumnya dan
mengenalkan beberapa pasal baru yang antara lain tentang gugatan perceraian dengan alasan
suami bersikap kejam, suami dipenjara, orang yang hilang dan beberapa ketentuan umum
lainnya. (Mahmood, 1987). Kedua seri Undangundang Status Personal ini didasarkan pada
pilihan berbagai aturan yang telah ada dalam fiqih tradisional dan telah dua kali mengalami
amandemen dan penambahan yakni tahun1979 dan tahun 1985 (Mahmood, 1987)

Dari pasal-pasal kedua, Undang-undang Hukum Keluarga Mesir yakni Undang-undang


no. 25 tahun 1920 dan 1929 dikemukakan beberapa alasan yang memungkinkan terjadi
pemutusan hubungan perkawinan yakni karena: (a) Suami tidak memberikan nafkah. (b)
Menghilang satu tahun penuh. (c) Dihukum penjara tiga tahun dengan keputusan yang
mempunyai hukum tetap. (d) Perselisihan antara suami dan istri. (e) Ketidakmampuan
seksual suami (Mahmood, 1987).

2. Maroko
Maroko atau al Mamlakah al Maghribiyah adalah sebuah kerajaan yang terletak di bagian
barat laut Afrika, bagian utaranya berbatasan dengan Mediterania, bagian timur dengan
Alegeria, bagian tenggara dan selatan berbatasan sahara Perancis dan spanyol dan bagian
barat berbatasan dengan Samudera Atlantik. (Wardatun, 2003). Penduduk asli negara ini
adalah Berber, yakni masyarakat kulit putih dari Afrika utara yang konon masih mempunyai
garis keturunan dengan Rasulullah saw dan merupakan penganut agama Islam bermadzhab
Maliki. Penaklukan Maroko oleh bangsa arab baru terjadi pada abad 7-8 Masehi dan segera
setelah perisitwa itu, terjadi proses arabisasi di kawasan ini termasuk dalam hal bahasa
sehingga bahasa Arab menjadi bahasa administrasi dan kebudayaan serta bahasa pengantar
pendidikan hingga kini (Atun Wardatun, 2003: 96).
Berdasarkan data sensus pertengahan tahun 1991, jumlah penduduk Maroko mencapai
26.345.000 jiwa dan 98 % beragama Islam sunni dengan mazhab Maliki sebagai mazhab
dominan politik Perancis dan Spanyol (Munson, 1995). Selama periode ini, sistem hukum
Perancis dan Spanyol banyak mempengaruhi hukum lokal, namun dalam wilayah hukum
personal, syari’ah Islam tetap menunjukkan supremasinya. Sebagai negara yang mayoritas
penduduknya bermazhab Maliki, Maroko menetapkan prinsip-prinsip hukum mazhhab
tersebut dalam pengadilan syari’ah. Di samping hukum syari’ah di beberapa wilayah
Maroko juga diterapkan hukum adat (ta’amul) dan diatur oleh pengadilan daerah yang dalam
beberapa aspek ternyata saling bertentangan dengan syari’ah Islam (Mahmood, 1987)
Para ahli hukum Maroko merasa tidak senang dengan pengaruh keduanya yakni hukum
Perancis dan adat lokal. Mereka menginginkan syari’ah Islam digunakan sebagai satu-
satunya dalam hukum personal. Kodifikasi hukum syari’ah dalam garis modern merupakan
jawaban dari keinginan tersebut dan mereka memulai pekerjaannya dengan tujuan ini.
Kesadaran akan pentingnya pembaharuan hukum menemukan momentumnya setelah
Maroko merdeka dari penjajahan Perancis tahun 1956. Pembaharuan hukum di Maroko
antara lain tercermin dalam rancangan (draft) Undangundang Hukum Keluarga,
Mudawannah al ahwal al syakhshiyyah pada tahun 1957-1858 (Mahmood, 1972)
Melalui Komisi Tinggi yang dibentuk pemerintah maroko pada 19 agustus 1857, para
ahli hukum Maroko melakukan finalisasi draft Hukum Keluarga Sumber-sumber yang
dijadikan rujukan rancangan adalah: (a) Prinsip-prinsip berbagai mazhab fiqih, khususnya
mazhab Maliki. (b) Doktrin Maliki tentang Mashlahah Mursalah. (c) Legalisasi yang
diterapkan di negeri-negeri muslim (Mahmood, 1987).
Undang-undang besar ini mempunyai lebih dari 300 pasal yang dibagi ke dalam enam
“buku” yang terdiri dari: perkawinan, pemutusan perkawinan, anak dan pengasuhan,
kecakapan hukum dan perwakilan, kewarisan dengan wasiat dan kewarisan dengan tidak
berwasiat. Dalam undang-undang tersebut, dicantumkan beberapa pasal yang menerangkan
beberapa alasan pemutusan hubungan perkawinan, antara lain: (a) Suami gagal menyediakan
biaya hidup (perlindungan). (b) Suami menderita penyakit kronis yang tidak dapat sembuh
atau memungkinkan sembuh dalam waktu lebih dari setahun dan membahayakan kehidupan
bersama. (c) Suami berlaku kasar kepada istri yang secara alami perlakuan tersebut
membuat istri tidak mungkin melanjutkan hubungan pernikahan. (d) Suami meninggalkan
istrinya sedikitpun selama 1 tahun tanpa peduli pada istri. (e) Suami gagal memperbaiki
hubungan setelah waktu empat bulan ketika suami bersumpah untuk tidak mencampuri
istrinya (‘ila). (f) Suami mafqud (hilang). Seorang istri yang menagajukan pemutusan
hubungan perkawinan dengan alasan suami mafqud (hilang), ia harus menunggu selama
masa empat tahun untuk memastikan bahwa suaminya benar-benar telah “hilang”. Setelah
lewat masa tunggu tersebut, istri memulai iddahnya sejak suaminya dinyatakan hilang oleh
pengadilan. Selama masa tunggu ini, pengadilan senantiasa melakukan pencarian sebelum
benar-benar dinyatakan “hilang” (Mahmood, 1972)
3. Aljazair

Aljazair adalah sebuah negara Islam yang terletak di Afrika utara. Negara ini berbentuk
republik, memiliki dua bahasa resmi, yaitu bahasa Arab dan Perancis. Berdasarkan sensus
tahun 1991, jumlah penduduk Aljazair yaitu 25.880.000 jiwa penduduk. Dengan luas
wilayah 2.381.741 km (Ensiklopedi Islam, 1996). Perkembangan hukum keluarga di
Aljazair diawali dengan diumumkannya sebuah hukum ringkas pada tahun 1959 yang
mengatur tentang aspek-aspek tertentu dari perkawinan dan perceraian di kalangan umat
Islam (Mahmood, 1987). Setelah dilakukan perjuangan yang gigih maka pada tahun1962,
Aljazair mendapatkan kemerdekaan. Kemudian pemerintahan yang baru segera dibentuk dan
ditetapkan agama islam menjadi agama negara dan syari’ah Islam menjadi hukum yang
dijunjung tinggi. Selanjutnya, pemerintah menetapkan UU Perkawinan pada tahun 1959
dengan menghapus beberapa pasal yang berkenaan dengan usia pada saat menikah dan
disahkan UU yang baru pada tahun 1963. Pada tahun 1976, terbentuklah susunan hukum
keluarga yang komprehensif dengan syari’ah Islam sebagai pedomannya. Pada tahun 1984,
hukum keluarga ini kemudia disahkan. (Mahmood, 1987).

Menurut Undang-undang, hukum keluarga ditetapkan bahwa pemutusan ikatan


pernikahan dapat terjadi dengan beberapa sebab, di antaranya: (a) Suami tidak membayar
nafkah kecuali ketika pelaksanaan perkawinan, istri sudah mengetahui ketidakmampuan
suami. (b) Kelemahan-kelemahan suami yang menghalangi terealisasinya obyek-obyek
perkawinan. (c) Penolakan suami terhadap istrinya untuk tinggal bersama dalam waktu lebih
dari empat bulan. (d) Keyakinan suami yang dapat dihukum dengan hilangnya hak-hak
perdata selama kurang lebih dari satu tahun, misalnya sifat yang memalukan keluarga dan
mustahil mengembalikan kepemimpinnya terhadap kehidupan masyarakat dan hubungan
suami- istri. (e) Ketidakhadiran suami selama lebih dari satu tahun tanpa memberi nafkah.
(4) Tindakan amoral yang patut dicela (Mahmood, 1987)

4. Yordania
Yordania merupakan kerajaan Arab yang terletak di bagian barat Asia, barat laut
semenanjung Arabia dan pantai timur Laut Tengah. Di sebelah utara berbatasan dengan
Suria, sebelah timur dengan Irak dan arab Saudi, sebelah barat dengan Israel dan Palestina.
Sekitar 95 % penduduknya beragamaIslam dengan menganut mazhab Hanafi, sisanya
penganut Kristen. Sekitar 30 % penduduk berada di pedesaan. Kehidupan di kota telah
banyak dipengaruhi modernisasi dan gaya hidup barat. Kaum wanita memiliki kebebasan,
baik dalam berpakaian maupun dalam pengambilan peran dalam masalah pendidikan dan
sosial. (Ensiklopedi Islam, 1999)
Perkembangan hukum di Yordan ditandai dengan diberlakukannya Hukum Keluarga
(Qanun al Huquq al ‘Ailah) tahun 1951 yang menggantikan hukum Turki tentang hak-hak
keluarga tahun 1917. Meski menampung beberapa ketetapan baru,namun subjek
pembahasan undang-undang ini tidak jauh beranjak dari UU Hukum Turki tahun1917,
seperti tampak pada masalah hak wali dalam perkawinan, hak wanita pada masa ‘iddah.
(Masa menunggu wanita yang ditinggal mati/dicerai suaminya) (Mahmood, 1987)
Pada tahun 1976, Yordan berhasil memisahkan Hukum keluarga yang baru, UU no.
61/1976 sebagai pengganti hukum yang sama tahun 1951 dengan nama Undang-undang
Hukum Status Perorangan (Qanun al Ahwal al Syakhshiyyah) yang mempunyai cakupan
lebih luas. Setahun kemudian, UU no. 6101976 diamandemen dengan Undang-undang
Status Perorangan no.25 tahun 1977 yang menambahkan kekuatan talak.(Mahmood, 1987)
Di antara pasal penting dalam Hukum Status Perorangan Yordan adalah penentuan alasan
yang memungkinkan terjadinya perceraian dengan melalui gugat cerai oleh si istri. Hukum
Status Perorangan Yordan memberikan kewenangan istri untuk meminta cerai apabila: (1)
Suami menderita impotensi dan sakit yang dapat membahayakan si istri apabila mereka
hidup bersama. Namun, jika penyakit yang diderita suami selain impotensi, sudah diketahui
istri sebelum perkawinan atau pernah mengetahuinya, maka istri tidak punya hak meminta
pemutusan perkawinan. Dalam hal adanya penyakit seperti kelamin atau lepra, harus ada
pendapat ahli kedokteran. Apabila dimungkinkan untuk disembuhkan, maka ditunda selama
setahun untuk memberi kesempatan penyembuhan. (2) Suami meninggalkan istri dalam
jangka waktu satu tahun atau lebih tanpa alasan yang jelas meskipun suami meninggalkan
nafkah untuknya. (3) Suami divonis selama tiga tahun meski ia mempunyai harta yang
cukup untuk menafkahi istrinya selama ia menjalani hukuman maka perkawinan ini bisa
dibubarkan setelah vonis dijatuhkan. (Mahmood, 1987).

ANALISIS PERBANDINGAN

Dari uraian di atas secara umum keempat negara tersebut diatas telah melakukan
pembaharuan hukum terhadap aturan tentang alasan-alasan pembatalan perkawinan yang selama
ini telah berlaku di dalam hukum keluarga yang dianut oleh negara masing-masing. Meskipun
pembaharuan yang terjadi tidak terlalu significant beranjak dari ketentuan hukum Islam klasik.
Sehingga dapat dikatakan bahwa Undang-Undang yang berlaku dalam negara-negara tersebut
yang mengatur tentang alasan-alasan pembatalan perkawinan tidak banyak perubahannya dengan
hukum Islam klasik. Hal ini menurut penulis disebabkan oleh pengaruh hukum Islam yang begitu
sangat kuat dalam kehidupan kaum muslimin di negara-negara tersebut. Kondisi seperti sangat
wajar karena selama masa yang panjang hukum Islam telah dipelajari dan dipraktekkan dalam
kehidupan umat Islam disana bahkan sebelum berdirinya negara. Apalagi ada keyakinan bahwa
menerapkan hukum Islam dalam kehidupan seorang muslim adalah suatu kewajiban, disamping
keyakinan bahwa hukum Islam menjadi solusi bagi berbagai permasalahan yang dihadapi
manusia.

Secara komparatif horizontal umumnya keempat negara yang disebutkan di atas dalam
Undang-undangnya, mempunyai kesamaan materi, terutama yang paling menonjol adalah alasan
pembatalan perkawinan dengan adanya cacat atau penyakit pada salah satu pasangan. Adapun
mengenai ketidakmampuan suami memberi nafkah hanya Yordan yang tidak menyebutkannya
dalam Undang-undang Hukum Keluarga. Dari keempat negara disebutkan diatas dalam Undang-
Undang hanya Maroko yang menyebut perlakukan kasar suami dapat membatalkan perkawinan
sedang aljazair Secara komparatif vertikal, keempat negara yang disebutkan di atas, dalam
Undang-Undang Hukum Keluarganya tidak begitu jauh keberanjakannya dari pemikiran hukum
Islam klasik. Di antara ketentuan-ketentuan baru yang terdapat dalam Undang-Undang tentang
alasan-alasan pembatalan perkawinan pada keempat negara di atas yang berbeda dengan
ketentuan dalam hukum Islam klasik yaitu: pembatalan perkawinan karena suami di penjara,
suami melakukan kekerasan fisik pada istrinya dan melakukan tindakan amoral. Sedang
ketentuan yang terdapat dalam hukum Islam klasik dan tidak disebut dalam Undang-Undang
keempat negara di atas adalah ketentuan tentang alasan pembatalan perkawinan karena salah satu
pasangan murtad (keluar dari agama Islam). Secara komparatif diagonal dari negara yang
disebutkan di atas, dilihat dari keberanjakannya yang terlihat lebih maju dalam pembaharuannya
adalah Maroko disusul Mesir, Yordan dan Aljazair.2

KESIMPULAN

2
Sukron Ma’un. 2014. PEMBATALAN PERKAWINAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN UU
HUKUM KELUARGA DI NEGARA MUSLIM: Studi Perbandingan antara Negara Mesir, Aljazair, Yordan dan
Maroko, Humaniora, 5(2), 659-663.
Dari pembahasan tentang poligami di atas, dapatlah diketahui bahwa lima negara yang
menjadi fokus kajian dalam tulisan ini telah melakukan pembaharuan hukum keluarga yang
cukup signifikan. Indonesia, Malaysia, Iran, dan Somalia tampaknya sepakat bagi kebolehan
poligami, sedang Tunisia melarangnya secara mutlak. Terkait dengan masalah alasan poligami
karena keadaan istri, maka empat negara selain Tunisia juga cenderung setuju dengan alasan istri
tidak dapat berhubungan seksual. Mengenai alasan istri mendapat penyakit yang tidak dapat
disembuhkan, hanya Somalia yang tidak menetapkan alasan tersebut. Begitu juga alasan karena
istri mandul, hanya Iran yang tidak mencantumkannya sebagai alasan kebolehan poligami.
Kemudian mengenai alasan karena istri terlibat tindak kriminal yang menyebabkannya dipenjara
beberapa tahun, Iran dan Somalia mencantumkannya sebagai alasan hukum. Sedangkan alasan
karena istri gila, hanya Malaysia yang mencantumkannya sebagai alasan poligami.

Dari penalaran beberapa alasan poligami yang ditetapkan oleh masing-masing negara
tersebut, kiranya dapat menimbulkan dua interpretasi yang bisa jadi bertolak belakang atau bisa
juga saling melengkapi. Pertama, tampaknya bias gender masih mewarnai corak fikih yang
dianut dan dipahami oleh para ulama yang terlibat dalam pembuatan hukum keluarga Islam. Ini
terlihat misalnya pada penyebutan alasan cacat yang sepihak pada wanita secara gamblang dan
tak seimbang dengan penyebutan cacat pada pria.

Kedua, bisa juga dipahami bahwa penetapan alasan-alasan poligami karena keadaan istri
tersebut untuk tetap menjaga keutuhan rumah tangga dan sekaligus menutup aib istri, menolong
istri agar tetap terjamin kebutuhan hidupnya, serta menjaga tetap terjalinnya hubungan keluarga
suami dan istri. Sebab kalau seandainya istri yang cacat atau tidak mampu lagi berhubungan
seksual dicerai oleh suaminya, tentu akan menimbulkan banyak kecurigaan yang dapat membuka
aib si istri dan bisa juga mempermalukan keluarganya. Begitu juga kalau si istri tidak punya
penghasilan sedang ia mandul atau gila, tentu kalau suami menceraikannya maka si istri akan
tersia-sia dan terancam kebutuhan hidupnya. Selain itu, stigma dan image negatif terhadap status
janda cerai yang berkembang dalam anggapan masyarakat pada umumnya juga dapat membuat
para wanita tersebut lebih tertekan dan tersiksa secara psikis.

Adapun metode yang umum digunakan untuk pembaharuan hukum keluarga di berbagai
negara Muslim, lebih khusus untuk masalah alasan-alasan poligami karena keadaan istri di atas,
tampaknya lebih dominan menggunakan metode extradoctrinal reform dan sedikit dengan intra-
docrinal reform, itupun masing-masing dengan modifikasi dan tekanan yang berbeda-beda.

Dari uraian tentang pembatalan nikah di atas dapat disimpulkan bahwa pembaharuan
hukum keluarga yang dilakukan oleh keempat negara di atas mempunyai pertautan yang sangat
erat dengan hukum keluarga dalam hukum Islam klasik yang dianut masyarakatnya. Walau
demikian kondisi sosial masyarakat tetap memberikan pengaruh yang besar dalam proses
reformasi hukum keluarga. Negara-negara di atas telah melakukan pembaharuan hukum
keluarganya dengan muatan bersifat regulatory dan substantive sehingga terjadi keberanjakan
vertical dari ketentuan hukum keluarga tradisional. Meskipun keberanjakannya tidak begitu jauh
dari ketentuan hukum Islam klasik. Hal ini disebabkan oleh pengaruh hukum Islam yang begitu
sangat kuat dalam kehidupan kaum muslimin di negara-negara tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Ma’un, Sukron. 2014. PEMBATALAN PERKAWINAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN UU


HUKUM KELUARGA DI NEGARA MUSLIM: Studi Perbandingan antara Negara Mesir, Aljazair,
Yordan dan Maroko, Humaniora, 5(2).

Andiko, Toha. 2019. PEMBARUAN HUKUM KELUARGA DI DUNIA ISLAM (Analisis Terhadap
Regulasi Poligami dan Keberanjakannya dari Fikih), Nuansa, 12(1).

Anda mungkin juga menyukai