Anda di halaman 1dari 30

HUKUM POLIGAMI

(Studi Komparasi Undang-undang tentang Poligami antara Indonesia dan Tunisia)

Mata Kuliah: Syariah dan Qanun di Dunia Islam


Dosen: Prof. DR. H. Rachmat Syafe'i' Lc. MA

Disusun oleh:
Abdurrasyid Ridha
NIM: 076.1224

Konsentrasi Studi Hukum Islam dan Pranata Sosial


Program Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri
Sunan Gunung Jati Bandung
2009
HUKUM POLIGAMI
(Studi Komparasi Undang-undang tentang Poligami antara Indonesia dan Tunisia)
Oleh: Abdurrasyid Ridha

A. `Pendahuluan
Islam merupakan agama yang tidak hanya mengatur hubungan
vertikal dengan Tuhan semata. Islam menyediakan pula berbagai aturan yang
penting untuk menjawab berbagai problem kemasyarakatan dan problem
kekeluargaan. Karenanya, Islam memberikan berbagai alternatif objektif dari
rangkaian masalah yang ada. Dalam ranah keluarga misalnya, berbagai
persoalan penting menghinggapi manusia seperti dalam problem perkawinan,
relasi dalam rumah tangga, dan kewarisan.
Hukum Islam adalah hukum Tuhan (ilahiah) yang abadi.1 Karakter
inilah yang membedakannya dengan hukum kebanyakan secara umum.
Pemahaman terhadap karakteristik hukum Islam ini dianut oleh para orientalis
seperti Snouck Hurgronje dan Joseph Schacht dan para yuris muslim yang
tetap mempertahankan pendapat mereka bahwa hukum Islam dalam konsep,
sifat perkembangan, dan metodologinya adalah hukum yang abadi. 2 Hal ini
lalu diperkuat oleh terjadinya pembentukan empat mazhab Sunni di abad ke-9
dan ke-10 ketika syariah berhasil dibakukan sebagai hukum Ilahi yang tak
dapat diubah, bersifat menyeluruh, dan tidak mungkin membutuhkan
tambahan dan perubahan.
Karakter ilahiah hukum Islam inilah yang menentukan bentuk
penalaran hukum (ijtihad) dalam menghadapi persoalan baru yang disebabkan
oleh perubahan sosial. Keberanian para fuqaha’ membentuk mazhab sendiri

1
J. N. D. Anderson, Islamic Law in the Modern World, (New York: New York University Press,
1959), hal. 3
2
Muhammad Khalid Mas’ud, Islamic Legal Philosophy: A Study of Abu Ishaq al Shatibi’s Life
and Thought (New Delhi: Jameel al Rahman Offset Press, 1977), hal. 2

1
berkurang. Mereka cukup membatasi diri pada mazhab tertentu yang mereka
anut. Kondisi ini diperparah oleh pandangan bahwa pintu ijtihad (penalaran
hukum) telah tertutup, yang pertama kali terdengar pada abad ke-13 dan
berlangsung hingga abad ke-19.3
Di zaman modern, pemahaman terhadap hukum Islam relatif berbeda
dengan pemahaman yang terdapat dalam kitab-kitab fikih klasik dan juga
dengan pandangan tentang keabadian hukum Islam di atas. Reformasi hukum
Islam dilakukan di negara-negara Islam yang terdapat di Timur Dekat dan
Timur Tengah. Perubahan besar terjadi yang belum terjadi sebelumnya pada
satu abad terakhir. Perubahan tersebut terjadi baik dalam sistem peradilan
maupun dalam sistem yang diterapkan. Perubahan hukum keluarga pertama
kali dilakukan oleh Turki4 ketika menerbitkan “Ottoman Law of Family
Rights” (Qanun Qarar al Huquq al ‘Ailah al Uthmaniyyah) pada tahun 1917,
kemudian disusul oleh Lebanon pada tahun 1919, Yordania tahun 1951, dan
Syiria pada tahun 1953.5
Pembaharuan hukum Islam tersebut tampak unik dalam tiga kategori
negara-negara muslim. Pertama, beberapa negara yang sama sekali tidak
melakukan reformasi hukum Islam dan tetap mengaplikasikan hukum yang
ada dalam kitab-kitab fikih sesuai dengan mazhab yang mereka anut. Negara
yang termasuk dalam kategori ini adalah Arab Saudi. Kedua, beberapa negara
yang meninggalkan hukum Islam dan menggantikannya dengan hukum
sekuler yang biasa diterapkan di Eropa. Turki adalah salah satu negara dalam
kategori ini. Ketiga, beberapa negara yang mereformasi hukum Islam dengan
mengombinasikannya dengan hukum sekuler. Negara yang termasuk dalam
kategori ini adalah Mesir, Tunisia, Iraq, Syiria, Indonesia dan lainnya.6
3
Wael B. Hallaq, “Was the Gate of Ijtihad Closed”, dalam International Journal of Middle East
Studies, No 16 (1984), hal. 3
4
Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim World (Bombay: Tripathi, 1972), hal. 17.
5
Ibid., hal. 73 dan 93.
6
J. N. D. Anderson, Islamic Law., op.c it., hal. 83

2
Perubahan-perubahan yang terjadi dalam undang-undang keluarga di
negara Muslim, menurut Tahir Mahmood ada tiga belas aspek, yaitu batasan
umur minimal boleh kawin; pembatasan peran wali dalam perkawinan;
keharusan pencatatan perkawinan; kemampuan ekonomi dalam perkawinan;
pembatasan kebolehan poligami, nafkah keluarga, pembatasan hak cerai
suami, hak-hak dan kewajiban para pihak karena perceraian, masa kehamilan
dan implikasinya, hak wali orang tua, hak waris keluarga dekat, wasiat
wajibah dan pengelolaan wakaf.7
Tunisia adalah negara yang termasuk dalam kategori ketiga, yang
akan dikaji dalam tulisan ini, khususnya Tunisia menarik perhatian dunia
Islam dalam pelarangan poligami dan tidak mensyaratkan eksistensi wali
dalam akad perkawinan. Aturan pelarangan poligami terdapat dalam pasal 18
The Code of Personal Status yang diundangkan pada tahun 19588 yang
mengatur tentang hukum perkawinan dan waris. Personal Status Tunisia tidak
hanya melarang poligami tetapi juga mewajibkan pelanggar membayar denda
dan mereka dipenjara. Ketetapan ini dianggap oleh beberapa negara muslim
tidak sesuai dengan hukum Islam. Hal itu karena selama ini poligami
dilakukan secara luas di kalangan orang-orang Muslim didasarkan pada ayat al
Qur’an yang secara tegas membolehkan Muslim melakukan poligami. Begitu
juga dengan problem independensi perempuan dalam menikah, sangat jelas,
Tunisia tidak mensyaratkan wali dalam akad perkawinan. Artinya
independensi perempuan dijunjung tinggi bahkan boleh melakukan
perkawinan atas dirinya sendiri, walaupun wali dapat mengajukan pembatalan
putusnya perkawinan bila ada problem seperti tidak sekufu dan sebagainya.
Di sisi lain, Indonesia membolehkan poligami sebagaimana yang
termaktub dalam Al-Qur’an dan beberapa kitab fikih dengan perantara

7
Tahir Mahmood, Personal Law in The Muslim Countries, (New Delhi: Tripathi, 1987), 11-hal. 12
8
Ibid., hal. 152

3
pengadilan. Indonesia membolehkan poligami dengan ketentuan sangat ketat
yaitu harus adanya persetujuan istri dan izin pengadilan agama. Di samping
itu, Indonesia masih tetap mensyaratkan wali dalam formal akad perkawinan
bagi perempuan sebagai bentuk persetujuan dan tanggung jawab terhadap
anak perempuannya. Karena itu, sangat urgen untuk mengkaji
keanekaragaman ketentuan poligami sekaligus menemukan argumentasi
variasi perbedaan pemberlakuan hukum keluarga di negara-negara muslim
modern. Untuk itulah dengan pendekatan sosiologi dan filsafat hukum, tulisan
sederhana ini berusaha menjawab asumsi di atas, mengingat hal ini masih
menjadi perdebatan pro dan kontra di masyarakat sekaligus menjadi
pertimbangan dalam menempatkan posisi hukum keluarga Indonesia tentang
beberapa persoalan krusial tersebut ke depan.

B. Sejarah Pemberlakuan Hukum Pernikahan di Indonesia dan Tunisia


1. Indonesia
Di Indonesia, Islam dinyatakan sebagai salah satu dari lima
agama resmi. Belakangan di era pemerintahan Abdurrahman Wahid,
Konghucu juga diakui sebagai salah satu agama resmi. Meski Islam
merupakan agama mayoritas dan memiliki undang-undang secara khusus
tentang perkawinan, agama lain tetap berhak mengurusi masalahnya
sendiri. Pernikahan dan perceraian warga negara non-Islam tercatat di
lembaga Catatan Sipil.
Jadi dalam situasi ini, Islam adalah agama negara, sedangkan
hukum Islam mengatur tingkah laku orang-orang yang memeluk agama
Islam. Namun secara konstitusional, kelompok agama lain juga diberi
kebebasan untuk melaksanakan agama mereka menurut aturan agama
mereka. Termasuk pula, tata cara pernikahan yang berlaku bagi agama

4
selain Islam. Hukum dan tata cara pernikahan non-muslim tetap
diperbolehkan berlaku untuk kalangan mereka sendiri.
Mayoritas muslim di Indonesia adalah pengikut mazhab Syafi’i,
hal ini lebih jelas lagi dalam praktek kehidupan beragama khususnya
berhubungan dengan hukum Islam seperti dalam hukum keluarga dan
warisan masih tetap mengikuti aliran mazhab tersebut. Walau demikian
dalam realitasnya, penentuan praktek hukum Islam ini terdapat beberapa
kelompok yang relatif memiliki perbedaan-perbedaan tertentu, seperti
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
Selama penjajahan Belanda, sistem regulasi terjadi perubahan di
mana bentuk dan peraturan lokal yang berhubungan dengan praktek
hukum Islam seperti pengadilan syari’ah tentang perkawinan, perceraian
dan pewarisan dipengaruhi oleh model Belanda. Keadaan seperti ini
berlanjut sampai Indonesia meraih kemerdekaannya. Setelah dapat
melepaskan diri dari Belanda dan pemerintahan Indonesia berbentuk
negara kesatuan 1945, telah ada usaha-usaha untuk merespons aspirasi
masyarakat dengan membuat Undang-Undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974.
Dalam proses penyusunan undang-undang perkawinan, baik di
Indonesia maupun di Tunisia, banyak sekali intervensi dari kelompok
sekuler yang hendak menghambat tercapainya undang-undang yang betul-
betul sesuai syariat Islam. Di Indonesia, UU Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974, banyak mendapat tentangan dari pihak-pihak nasionalis sekuler.
Apalagi saat itu, pemerintahan masih dikuasai oleh Partai Golkar yang saat
itu masih sangat apriori dengan aspirasi umat Islam. Presiden Soeharto
tidak menunjukkan keberpihakan yang kuat terhadap aspirasi umat Islam.
Apalagi saat itu, Soeharto dikelilingi oleh tokoh-tokoh sekuler yang sangat

5
anti Islam, seperti Ali Moertopo, Daoed Joesoef, Radius Prawiro, dan lain-
lain.
Di samping mendapat tantangan dari pihak penguasa yang
sekuler, UU tersebut juga mendapat tantangan dari pihak-pihak Islam
sendiri yang menganggap bahwa undang-undang itu mempersempit
syariah. Dengan kata lain, UU itu menetapkan hal-hal yang tidak diatur
oleh Alquran dan Sunah. Termasuk di dalamnya, persoalan poligami yang
harus mendapat izin dari pengadilan. Para ulama tradisional melontarkan
kritikan-kritikan terhadap UU tersebut. Meski demikian, semua tantangan
itu akhirnya bisa diatasi dan UU itu pun ditetapkan.
Setelah terbitnya undang-undang perkawinan tersebut, muncul
ide untuk membentuk Kompilasi Hukum Islam. Kompilasi tersebut
diperlukan guna melengkapi Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974 di atas. Ide kompilasi tersebut sudah muncul ke permukaan sejak
tahun 1976 ketika Mahkamah Agung membina teknis yustisial peradilan
agama. Meski demikian, dengan proses yang panjang dan berliku,
kompilasi itu baru terbentuk tahun 1991. Kompilasi itu dilegalisasi dalam
bentuk formal dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1999 dan
Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991.9
Kompilasi Hukum Islam menuai berbagai kritik, terutama oleh
kalangan aktivitas perempuan. Kritik yang disampaikan di antaranya
bahwa terdapat inkonsistensi tentang prinsip perkawinan dan adanya bias
gender. Di satu sisi prinsip perkawinan adalah monogami, namun di sisi
lain, poligami tetap diperbolehkan meskipun dengan berbagai persyaratan
tertentu. Karena itulah, pada tahun 2004 dimotori oleh Siti Musdah Mulia,
dibentuklah tim yang bertugas menyusun tandingan Kompilasi Hukum

9
Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam (Dari Kawasan Jazirah Arab sampai Indonesia),
(Bandung: Pustaka Setia, 2007), hal. 386-387.

6
Islam yang sudah ada. Tim tersebut menamakan dirikan Tim
Pengarusutamaan Gender yang secara tidak resmi berada di bawah
naungan Departemen Agama.
Setelah bekerja keras, tim ini pun berhasil menyusun Draf
Tandingan Kompilasi Hukum Islam. Pada awal Oktober 2004, itu pun
didiskusikan secara publik. Namun karena banyak isi kompilasi yang
dinilai bertentangan dengan syariat dan kental dengan pemikiran sekuler
Barat, akhirnya draf tersebut dilarang untuk disebarluaskan ke publik oleh
Menteri Agama saat itu, Sai’d Agil Munawwar. Setelah menteri agama
dijabat Maftuh Bayuni, sang menteri kembali menegaskan untuk
membekukan draf tersebut.10 Di antara isi draf yang banyak ditentang oleh
para ulama adalah bahwa poligami dilarang; perempuan boleh menikah
tanpa wali; dan pernikahan lintas agama diperbolehkan.11

2. Tunisia
Hampir sejak diperkenalkannya Islam di Tunisia, mayoritas
masyarakat Tunisia, yang beragama Islam sebagaimana kebanyakan
masyarakat lain di kawasan Magribi, adalah kaum Sunni yang bermazhab
Maliki. Namun banyak dinasti yang memerintah di Tunisia, baik asing
maupun asli Tunis memiliki keyakinan berbeda. Pada periode tahun 905-
908 M, Dinasti Fathimiyyah yang bermazhab Syiah berhasil
menumbangkan Dinasti Aghlabiyyah dan menguasai Tunisia. Tetapi
setelah itu, kaum Syi’ah bahkan menjadi kelompok minoritas dan sampai
sekarang dianggap telah hilang.12

10
http://www.tempointeractive.com/hg/nasional/2004/10/26/brk,20041026-49,id.html.
11
Chamzawi, “Sebuah Catatan tentang Kontroversi Revisi Kompilasi Hukum Islam”, dalam
http://chamzawi.wordpress.com.
12
John L. Esposito (Ed), Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, (Jakarta: Mizan, 2000),vol. hal.
56

7
Setelah kedatangan bangsa Turki yang memerintah di Tunisia,
dengan membawa mazhab Hanafi, maka sedikit demi sedikit mazhab
tersebut memberikan pengaruh di negeri tersebut. Pengaruh tersebut
terjadi baik melalui kekuasaan pemerintahan langsung maupun melalui
sebuah sistem kedaerahan. Dengan demikian, mazhab Maliki --yang
merupakan mazhab mayoritas rakyat Tunisia—akhirnya tumbuh
berdampingan dengan mazhab Hanafi.
Ketika menjajah Tunisia, Perancis menyerahkan soal-saol hukum
keluarga, misalnya perkawinan, perceraian, kewarisan dan kepemilikan
tanah pada yurisdiksi syariat yang dikepalai oleh hakim-hakim Hanafi atau
Maliki. Meski demikian, dalam pelaksanaannya, tetap digunakan prinsip-
prinsip peraturan hukum Prancis, seperti prinsip hukum perdata, pidana,
niaga, dan acara di pengadilan.
Situasi seperti ini berlangsung dengan mulus karena secara
politis, upaya pengembangan dalam berbagai bidang termasuk hukum
keluarga sangat tergantung pada peran ulama seperti Khiyar al-Din yang
berusaha memahami atas konsep dan perihal baru yang datang dari
Perancis. Di Tunisia sangat kecil, bahkan sama sekali tidak ada,
ketegangan antara ulama dan beberapa kalangan termasuk pejabat
Perancis. Keduanya bekerja sama dalam mengembangkan berbagai hal
seperti administrasi wakaf, publik dan manajemen zakat dan pajak.13
Setelah merdeka 1956, upaya bertahap untuk membentuk hukum
keluarga secara komprehensif terus dilakukan. Pengembangan dan
kodifikasi hukum keluarga di Tunisia terus dilakukan. Materinya adalah
pemikiran hukum dari gabungan antara mazhab Hanafi dan Maliki. Usaha
itupun berhasil dengan berlakunya Undang-undang hukum keluarga
Majallah al-Ahwal al-Syahsiyyah tahun 1956.
13
Ibid., 229-230

8
Pemberlakuan hukum keluarga di Tunisia tidak mengalami
hambatan politis berarti. Padahal di negara-negara muslim lain sempat
muncul ketegangan ketika hukum keluarga yang diberlakukan dianggap
menyimpang dari syariat. Seperti ketegangan yang terjadi di Pakistan,
ketika pemerintah membentuk Komisi Urusan Hukum Keluarga pada
tahun 1956. Komisi ini merekomendasikan pembaruan hukum keluarga
yang mencakup masalah perkawinan, perceraian, nafkah, warisan, waqf,
dan beberapa masalah lainnya. Saat itu muncul perlawanan keras dari
kalangan tokoh agama. Tekanan tersebut membuat rancangan yang
direkomendasikan komisi ini mengendap selama lima tahun. Baru pada
tahun 1961, rancangan itu diberlakukan secara resmi.
Berbeda dengan Pakistan, Tunisia melakukan reformasi dan
kodifikasi hukum keluarga karena dipengaruhi kemerdekaan. Ketentuan
hukum baru mengenai hukum keluarga dikembangkan dan disesuaikan
dengan perkembangan situasi dan kondisi sosial di Tunisia. Sekelompok
ahli hukum mengajukan catatan perbandingan antara dua sistem hukum,
Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki, yang dipublikasikan menjadi Lâihat
Majallât al Ahkâm al Syar’iyyah (Draft Undang-Undang Hukum Islam).
Akhirnya, pemerintah membentuk sebuah komite di bawah pengawasan
Syekh Islam, Muhammad Ja’it, untuk merancang Undang-Undang secara
resmi.14
Bersumber dari Laihat dan Undang-Undang Hukum Keluarga
Mesir, Jordania, Syiria, dan Turki Utsmani, panitia tersebut mengajukan
Rancangan Undang-Undang Hukum Keluarga kepada pemerintah.
Rancangan tersebut akhirnya diundangkan di bawah judul Majallah al
Ahwal al Syahsiyyah (Code of Personal Status) 1956.15 Undang-Undang

14
Tahir Mahmood, Personal Law., op. cit., hal. 151
15
Tahir Mahmood, Family Law., op. cit., hal 99.

9
ini ternyata mengalami modifikasi dan perubahan beberapa kali yaitu
melalui UU No. 70/1958 pasal 18 mengenai poligami, UU No. 41/1962
pasal 32 masalah cerai, UU No. 1/1964 pasal 5 tentang syarat nikah. Dan
mengalami amandemen terakhir pada tahun 1981 melalui UU No.
1/1981.16
Rezim Habib Bourguiba, presiden pertama Tunisia yang juga
pejuang kemerdekaan negara tersebut, adalah seorang yang sangat sekuler.
Dialah orang yang memiliki tokoh penting atas lahirnya UU Perkawinan
yang melarang mutlak poligami. Arah undang-undang yang anti poligami
tersebut memang sangat dipengaruhi oleh alam pemikiran Prancis yang
selama bertahun-tahun menjajah Tunisia. Di sisi lain, Bourguiba juga
pernah kuliah hukum di Sorbonne Prancis sehingga sangat wajar jika ia
memiliki pemikiran kebarat-baratan. Bahkan, istrinya yang pertama adalah
seorang perempuan Prancis beragama Kristen bernama Mathilde
Lorraine.17
Sebagai orang yang mengenyam pendidikan di Barat, Habib juga
sangat mengidolakan Kemal Ataturk, presiden pertama Turki yang dikenal
sangat sekuler. Dengan semangat sekularisme a la Ataturk, Habib pun
menjadikan Tunisia sebagai negara yang sangat antipati dengan hal-hal
yang menyambut simbol-simbol keagamaan. Sebagaimana Turki pula,
Habib pun tak melarang poligami. Dalam sejarah kepemimpinannya
hingga ia kemudian digulingkan dalam sebuah proses impeachment oleh
Jenderal Zine El Abidine Ben Ali, Bourguiba sering kali menetapkan
kebijakan-kebijakan yang sangat anti Islam. Ia melarang penggunaan
16
Pasal 5, diamandemen melalui UU No.1/1964
17
Ia dinikahi oleh Bourguiba tahun 1927. Sebelum menikah, ia telah melahirkan seorang anak
bernama Habib Bourguiba Jr di tahun 1925. Usai Tunisia merdeka dari Perancis tahun 1956, ia
menjadi warga Tunisia dan pada tahun 1958 ia kemudian masuk Islam dan berganti nama menjadi
Moufida Bourguiba. Moufida lantas bercerai dengan Bourguiba pada tahun 1961 dan sang
presiden kemudian menikah lagi dengan Wassila binti Ammar. Lihat, http://en.wikipedia.org/wiki/
Bourguiba dan http://en.wikipedia.org/wiki/Mathilde_Lorrain.

10
jilbab karena dianggap sebagai simbol pengekangan terhadap perempuan.
Di samping itu, ia juga membonsai Universitas Zaituna sebagai sebuah
universitas Islam sehingga hanya menjadi sebuah fakultas.18
Para aktivitas pembela perempuan Tunisia, seperti Tahar Haddad
juga mempunyai peran penting dalam menentukan arah undang-undang
perkawinan Tunisia yang anti poligami. Adalah Haddad yang sempat
mengajukan rancangan undang-undang keluarga yang anti poligami.
Meski kemudian rancangan itu ditolak oleh para ulama, namun kelak
rancangan itu sangat penting bagi Habib Bourguiba saat ia memegang
tampuk kekuasaan sebagai presiden. Dari rancangan Haddad itulah,
undang-undang keluarga Tunisia disusun kembali hingga akhirnya
disahkan pada tahun 1956.19

C. Ragam Karakteristik Poligami


1. Indonesia
Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pada pasal 3
ayat (1), dengan tegas menyebutkan bahwa prinsip perkawinan adalah
monogami. Adapun jika seorang hendak melakukan poligami, syarat yang
harus dipenuhi, adalah adanya persetujuan lebih dahulu dari istri
sebelumnya secara tertulis dan izin dari pihak pengadilan. Hanya saja
dalam prakteknya, ada sedikit perbedaan, yang secara garis besar dapat
dikelompokkan menjadi dua. Pertama, yang merupakan kelompok
mayoritas, poligami tanpa izin lebih dahulu dari pengadilan sehingga tidak
didaftarkan di register nikah di Kantor Urusan Agama (KUA). Kedua,
poligami dengan izin lebih dahulu dari istri dan pengadilan sehingga boleh
didaftarkan secara resmi oleh negara.
18
Dede Permana Nugraha, “Pasang Surut Pelarangan Jilbab di Tunisia” dalam www.mail-
archive.com/smu2jombang@yahoogroups.co.uk/msg02098.html
19
http://en.wikipedia.org/wiki/Code_of_Personal_Status_(Tunisia).

11
Dasar pertimbangan pengadilan untuk memberi izin atau tidak,
dilihat dari pihak istri dan suami. Adapun alasan dari pihak istri adalah: a.
istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; b. istri
mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. istri
tidak dapat melahirkan keturunan. 20 Sedangkan dari pihak suami, sebelum
ia melakukan pernikahan poligami, ia harus mengajukan permohonan ke
pengadilan agama setempat.21 Permohonan itu baru dikabulkan oleh
pengadilan dan diberikan izin berpoligami jika sang suami memenuhi
persyaratan: a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri; b. adanya
kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup
isteri-isteri dan anak-anak mereka; c. adanya jaminan bahwa suami akan
berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.22

2. Tunisia
Dengan UU Keluarga (Code of Personal Status/Majallah al-
Ahwal al Syakhsiyyah No 66 Tahun 1956), yang ditetapkan tahun 1957
oleh Presiden Habib Bourguiba, Tunisia melarang poligami secara mutlak,
dan menghukum orang yang melanggar aturan poligami. Bahkan pada
tahun 1964, pelaku poligami bukan saja dapat dikenakan hukuman, tetapi
dinyatakan perkawinannya tidak sah. Adapun alasan yang digunakan
Tunisia melarang poligami adalah ada dua. Pertama institusi budak dan
poligami hanya boleh pada masa perkembangan tetapi dilarang setelah
menjadi masyarakat berbudaya. Kedua surat Nisa (4): 3, yang menetapkan
bahwa syarat mutlak seorang suami boleh berpoligami kalau dapat berbuat
adil terhadap istri-istrinya. Sementara fakta sejarah membuktikan hanya
Nabi yang dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya.
20
UU Perkawinan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 4 Ayat 2.
21
Ibid., Pasal 4 Ayat 1.
22
Ibid., Pasal 5 Ayat 1.

12
David Pearl menilai, Tunisia tetap melandaskan penetapan
larangan Poligami pada Qur’an karena Tunisia ingin modern tetapi tetap
berada pada koridor agama. Dengan demikian, Tunisia adalah negara
Muslim ketiga setelah Turki dan Lebanon yang melarang poligami secara
tegas. Dalam Majallah al-Ahwal al Syakhsiyyah, Pasal 18, dinyatakan:23
“Poligami (ta’addud az-zawjat) adalah dilarang. Setiap orang yang
telah masuk dalam satu ikatan perkawinan, lalu menikah lagi
sebelum yang ikatan pernikahan terdahulu bubar secara hukum,
maka ia dikenakan hukuman penjara selama satu tahun dan denda
240.000 franc atau salah satu dari kedua hukuman tersebut,
meskipun pernikahan kedua itu belum disahkan sesuai undang-
undang....”

Dalam hal poligami, para ahli hukum modern Tunisia yang


dipengaruhi oleh pola kehidupan Barat telah menyatakan bahwa petunjuk
al Qur’an dalam surat al Nisa ayat 3 tidak dihubungkan secara ketat
sebagai peringatan moral melainkan sebagai suatu persyaratan hukum
yang mendahului poligami—menurut mereka—tidak ada perkawinan
kedua yang dapat diperkenankan sampai terdapat bukti bahwa isteri-isteri
tua akan diperlakukan dengan adil.24
Para ahli hukum Tunisia juga berpendapat bahwa kondisi sosial
dan perekonomian yang modern ini, perlakuan adil tidak mungkin
dipraktekkan, maka mereka mempertahankan bahwa persyaratan pokok
poligami tidak mungkin dapat dipenuhi. Dengan kata lain mereka bahkan
telah melangkah lebih jauh serta melarang sama sekali poligami, yang
bertentangan dengan penjelasan al Qur’an yang eksplisit.

23
Majallah al-Ahwal asy-Syakhshiyyah, Pasal 18, dalam http://ar.jurispedia.org.
24
Abdur Rahman I Doi, Shari'ah: the Islamic Law, (Karachi: Tha Ha Publisher, 1988), 52.

13
D. Prinsip-prinsip Syariah dan Qanun dalam Undang-undang tentang
Poligami
Meskipun undang-undang perkawinan tentang poligami, baik di
Indonesia maupun Tunisia, menunjukkan banyak perkembangan dan
pembaharuan, namun sebenarnya kedua undang-undang itu tidaklah sama
sekali menghilangkan prinsip-prinsip syariah dan qanun. Pada kasus di
Indonesia, undang-undang perkawinan tetap membolehkan poligami dengan
syarat-syarat tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa pembolehan tersebut
disesuaikan dengan teks-teks ayat Alquran yang secara lahiriah memang
membolehkannya. Ketika sesuatu hal itu dibolehkan, maka ia berarti bukanlah
sesuatu yang an sich buruk. Jika secara substansial poligami merupakan
sesuatu yang buruk maka tentu saja Tuhan tidak akan membolehkannya dan
Rasulullah SAW tidak akan pernah melakukannya.
Salah satu prinsip syariah adalah keadilan. Karena itulah, ketika
seseorang lelaki hendak menikah lagi, padahal ia masih terikat dengan
pernikahan dengan seorang perempuan, maka laki-laki itu harus berlaku adil
terhadap kedua istrinya dan anak-anak dari kedua istrinya tersebut. Di sisi lain,
dengan masih membuka celah terjadinya poligami, undang-undang
perkawinan Indonesia merupakan jalan tengah antara membolehkan poligami
tanpa persyaratan ketat seperti Arab Saudi dan melarang poligami secara
mutlak seperti Tunisia.
Sedangkan dalam kasus Tunisia, bisa dilihat bahwa larangan
poligami merupakan bentuk saddu dzari’ah sebagaimana yang diatur dalam
ushul fiqih. Dalam karyanya al-Muwafat, asy-Syatibi menyatakan bahwa sadd
adz-dzari’ah adalah menolak sesuatu yang boleh (jaiz) agar tidak

14
mengantarkan kepada sesuatu yang dilarang (mamnu’).25 Pada kasus poligami
ini, para ulama dan tokoh Tunisia tampaknya berpandangan bahwa poligami
hanya akan menimbulkan kemudaratan sehingga harus dilarang secara mutlak.
Harus diakui, poligami memang banyak menimbulkan efek negatif seperti
rusaknya hubungan keluarga, pengabaian hak-hak perempuan dan anak.
Dengan perspektif yang berbeda, undang-undang Tunisia juga
menggunakan prinsip keadilan untuk menolak poligami. Bagi para penyusun
undang-undang Tunisia, seperti Tahar Haddad, poligami merupakan bentuk
ketidakadilan terhadap perempuan. Hal itu karena posisi wanita seolah
menjadi subordinat di hadapan laki-laki. Tak ada kesetaraan dalam konsep
poligami. Perempuan yang dipoligami merupakan orang yang dianggap
sebagai korban ketidakadilan lelaki.

E. Argumentasi Pemberlakuan Hukum Poligami


Tunisia dengan UU Keluarga (Code of Personal status/Majallat al
Ahwal al Syakhsiyyah No 66 Tahun 1956), melarang poligami karena ada dua
argumentasi. Pertama institusi budak dan poligami hanya boleh pada masa
perkembangan tetapi dilarang setelah menjadi masyarakat berbudaya. Kedua
surat Nisa (4): 3, yang menetapkan bahwa syarat mutlak seorang suami boleh
berpoligami kalau dapat berbuat adil terhadap istri-istrinya. Sementara fakta
sejarah membuktikan hanya Nabi yang dapat berlaku adil terhadap istri-
istrinya. Tunisia tetap melandaskan penetapan larangan poligami pada Qur’an
karena Tunisia ingin modern tetapi tetap berada pada koridor agama. Dengan
demikian, Tunisia adalah negara muslim ketiga setelah Turki dan Lebanon
yang melarang poligami secara mutlak.

25
Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnathi al-Maliki (asy-Syathibi), al-Muwafaqat fi Ushul al-
Fiqh, (Beirut: Dara l-Ma’rifah, tt.), hal. juz 3, hal. 257-258.

15
Undang-undang poligami di Indonesia dan Tunisia merupakan
personifikasi di antara enam model penafsiran yang berkembang, yakni
pertama menekankan ketentuan berlaku adil sebagaimana ditetapkan dalam al
Qur’an, kedua memberi hak kepada isteri untuk menyertakan pernyataan anti
poligami dalam surat perjanjian perkawinan. Ketiga harus memperoleh izin
lembaga peradilan. Keempat hak menjelaskan dan mengontrol dari lembaga
perkawinan kepada pihak yang akan berpoligami. Kelima benar-benar
melarang poligami. Dan keenam memberi sanksi pidana bagi yang melanggar
aturan poligami.26
Dari beberapa argumentasi di atas, UU kedua negara sekali lagi
masih mendasarkan secara normatif terhadap teks-teks al Qur'an walaupun
dengan penafsiran sosiologis yang relevan dengan konteks sekarang. Di
samping itu, UU Tunisia juga mendasarkan pada siyasah syar'iyyah berupa
adanya sangsi denda dan pidana kurungan bagi mereka yang melanggar atau
persyaratan administratif izin poligami dengan persetujuan isteri sebelumnya.

F. Persamaan Undang-undang Perkawinan tentang Poligami antara


Indonesia dan Tunisia
1. Dalam Undang-undang Perkawinan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
1974 dan Majallah al-Ahwal asy-Syakhshiyyah (Code of Personal Status)
Tunisia, sama-sama terdapat spirit untuk mempersempit kesempatan untuk
berpoligami dan mengutamakan pernikahan monogami.
2. Kedua undang-undang tersebut juga sama-sama merupakan bentuk upaya
untuk menciptakan kepastian hukum tentang poligami. Kepastian hukum
tersebut merupakan sesuatu yang niscaya mengingatnya banyaknya
kontroversi tentang hukum poligami, baik di Indonesia maupun Tunisia.

26
Tahir Mahmood, Family Law Reform, op. cit., 257-258

16
3. Kedua undang-undang tersebut juga sama-sama mengandung
pembaharuan dalam pemahaman terhadap hukum Islam seiring kondisi
sosial yang berkembang di tengah masyarakat. Dikatakan pembaharuan,
karena kedua undang-undang tersebut tidak lagi memahami hukum
poligami sebagai sesuatu yang dibiarkan begitu saja dengan bebas kepada
masyarakat untuk melakukannya. Namun, undang-undang itu merupakan
bentuk campur tangan negara terhadap pernikahan yang tidak lagi masalah
privat sehingga harus ada sistem hukum tertentu yang mengaturnya
sedemikian rupa.
4. Kedua undang-undang tersebut juga sama-sama dipengaruhi oleh model
pernikahan masyarakat modern (Barat) yang monogami sentris. Kedua
negara, Indonesia dan Tunisia, sama-sama pernah menjadi jajahan negara
Barat. Indonesia hampir tiga abad menjadi jajahan Belanda. Pemikiran
hukum model Belanda sangat mempengaruhi pembentukan hukum
Indonesia. Karena itulah, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia
adalah bersumber dari Kitab Hukum Perdata Belanda yang sering
disingkat dengan akronim BW (Burgerlijk Wetboek). Sementara Tunisia
merupakan negara jajahan Prancis yang juga merupakan negara Barat
seperti Belanda. Prancis meninggalkan jejak pemahaman dan pola pikir
yang kuat di masyarakat Tunisia. Karena itulah, bahasa Prancis menjadi
salah satu bahasa resmi negara.

G. Perbedaan Undang-undang Perkawinan tentang Poligami antara


Indonesia dan Tunisia
1. Indonesia

17
a. Masih membolehkan poligami dengan persyaratan-persyaratan tertentu
yang relatif ketat, seperti izin dari istri dan kesanggupan untuk berbuat
adil.
b. Tidak memberikan sanksi yang tegas terhadap orang yang melanggar
ketentuan tentang poligami.
c. Tidak menjelaskan dengan tegas bahwa poligami bisa dibatalkan.
Hanya menyebutkan secara umum bahwa “perkawinan  dapat
dibatalkan   apabila   para   pihak   tidak   memenuhi   syarat­syarat   untuk
melangsungkan perkawinan”.27 Dalam hal ini, jika terjadi pernikahan
poligami tanpa izin dari istri sebelumnya, maka bisa dibatalkan oleh
pengadilan jika ada pihak (istri sebelumnya) mengajukan permohonan
pembatalan pernikahan ke pengadilan.28

2. Tunisia
a. Sama sekali melarang poligami. Tak ada persyaratan-persyaratan
tertentu yang bisa membuat seseorang boleh melakukan poligami
sebagaimana dalam Undang-undang Perkawinan di Indonesia.
b. Memberikan sanksi yang tegas kepada orang yang terbukti melakukan
pernikahan poligami, yaitu denda 240.000 franc dan kurungan 1 tahun
penjara atau salah satu dari kedua bentuk sanksi hukum tersebut.
c. Membatalkan pernikahan poligami, baik pernikahan tersebut sudah
tercatat secara resmi maupun tidak.

H. Perkembangan dan Pembaharuan Hukum Islam: Kasus Undang-undang


tentang Poligami di Indonesia dan Tunisia

27
Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 22
28
Ibid., Pasal 24.

18
Seiring dengan perkembangan hukum perkawinan, aturan poligami
ternyata beragam dalam perundangan keluarga di beberapa negara muslim,
termasuk Indonesia dan Tunisia. Banyaknya ragam aturan tersebut
menunjukkan bahwa telah terjadi perkembangan dan pembaharuan dalam
hukum Islam. Hal ini menunjukkan pula bahwa hukum Islam tidaklah stagnan
atau berjalan di tempat.
Pada kasus undang-undang perkawinan di Indonesia, terdapat
beberapa ketentuan yang merupakan perkembangan serta pembaharuan
terhadap hukum Islam. Khususnya tentang poligami, misalnya dalam undang-
undang perkawinan Indonesia terdapat syarat bahwa sang suami yang
berpoligami harus mendapat izin terlebih dahulu dari istri sebelumnya. Di
samping itu, ada pula ketentuan bahwa seseorang yang hendak berpoligami
harus mengajukan permohonan izin poligami kepada pengadilan. Ketentuan
atau persyaratan tersebut dapat diartikan sebagai penafsiran modern terhadap
Alquran guna membatasi poligami karena efek negatif yang ditimbulkannya,
terutama bagi kaum perempuan.
Pembatasan poligami dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974 yang berlaku di Indonesia juga pernah mengalami protes dari
masyarakat. Protes itu kemudian disalurkan melalui jalur hukum dengan cara
mengajukan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
Permohonan itu diajukan oleh M. Insa karena UU Perkawinan dengan asas
monogaminya telah membatasi hak kebebasannya untuk beribadah sesuai
agamanya. Hak beribadah yang dimaksud adalah hak membentuk keluarga
dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah secara berpoligami.
Akibat ketentuan pada pasal-pasal di UU Perkawinan, pemohon merasa
dihalang-halangi petugas pencatat perkawinan yang tidak bersedia
mencatatkan perkawinan keduanya.

19
Pada pasal-pasal tersebut, disebutkan harus ada izin istri pertama,
sementara menurutnya agama tidak mewajibkan adanya izin istri pertama.
Selain itu, suami dibolehkan berpoligami jika istri cacat atau tidak bisa
menjalankan kewajibannya. M. Insa juga mempersoalkan ketentuan yang
tidak membolehkan suami berpoligami jika istri dapat memberinya anak.
Menurutnya, jika ketentuan tersebut terus berlaku, maka yang terjadi adalah
pernikahan siri. Sementara dalam pernikahan siri hak-hak istri kedua dan
anak-anak dari istri kedua tidak dijamin. Dengan demikian, menurutnya, hal
bertentangan dengan konsep HAM. Ia juga menambahkan bahwa setiap orang,
menurut UUD 1945, berhak berkeluarga sementara dengan UU Perkawinan
yang ada sekarang, calon istri kedua jadi tidak bisa berkeluarga.29
Namun permohonan uji materi (judicial review) itu kemudian ditolak
oleh majelis hakim Mahkamah Konstitusi. Penolakan itu didasarkan
pertimbangan asas perkawinan yang berlaku di Indonesia adalah asas
monogami. Poligami hanya diperbolehkan dengan alasaan, syarat, dan
prosedur tertentu yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Kemudian,
meskipun sebagian besar ulama berpendapat poligami itu mubah, namun
kebolehan itu harus dipenuhi syarat-syarat tertentu, yakni berlaku adil.
Pengertian adil, yakni terkait dengan kemampuan dalam memberikan nafkah
atau biaya hidup bagi isteri dan calon isteri, serta anak-anak yang telah ada
dan akan lahir dalam perkawinan poligami. Jadi, poligami merupakan bentuk
kekecualian yang dapat ditempuh dalam keadaan tertentu.30
Selanjutnya, majelis hakim juga beralasan bahwa ketentuan
mengatur tentang poligami untuk WNI yang hukum agamanya
memperkenankan poligami adalah wajar, karena sahnya suatu perkawinan
menurut UU Perkawinan apabila dilakukan sesuai dengan agama dan

29
http://www.menkokesra.go.id/content/view/3930/
30
http://www.menkokesra.go.id/content/view/5401/39/

20
kepercayaannya, sehingga tidak ada unsur perlakuan diskriminasi. Kemudian,
UU Perkawinan juga dinilai tidak membatasi hak untuk membentuk keluarga,
dan kebebasan menjalankan ibadah seseorang, karena dalam UU Perkawinan,
dinyatakan seseorang diperbolehkan poligami, dengan ketentuan alasan, syarat
dan prosedur yang tertera dalam UU Perkawinan.31
bahwa pembatasan poligami tidaklah melanggar hak asasi. Dalam
konteks ini, hak asasinya adalah bahwa seseorang berhak untuk menikah dan
membangun keluarga. Namun jika orang sudah menikah, berarti haknya sudah
terpenuhi. Persoalannya menjadi lain jika ia hendak berpoligami. Negara
berhak bahkan berkewajiban untuk mengatur persoalan di masyarakat agar
tidak menimbulkan kekacauan sosial. Dalam hal ini, poligami yang dilakukan
dengan sembarangan akan menimbulkan dampak negatif di tengah
masyarakat. Dengan demikian, pengaturan dan pembatasan oleh negara
melalui undang-undang adalah suatu keniscayaan dan tidak bertentangan
dengan hukum Islam.
Sedangkan perundangan Tunisia mendasarkan pelarangan poligami
pada agama, yakni alasan yang dikemukakan oleh para modernis bahwa
Alquran menuntut adanya kesanggupan untuk berbuat adil sebagai syarat
dibolehkan berpoligami. Menurut UU tersebut bahwa berbuat adil tidak
mungkin dilakukan oleh siapapun. Karena itulah, poligami pun dilarang
(mamnu’) dalam undang-undang Tunisia.
Adapun metode atau argumentasi yang dipakai oleh perundangan
kedua negara yaitu ada yang memakai metode secara normatif terhadap teks-
teks Alquran walaupun dengan penafsiran sosiologis yang relevan dengan
konteks sekarang. Demikian pula, ada yang mendasarkan pada siyasah
syar'iyyah berupa adanya sangsi denda dan pidana bagi mereka yang
melanggar atau persyaratan administratif izin poligami dengan persetujuan
31
Ibid.

21
isteri sebelumnya dan anutan mazhab masyarakat yang terus diikuti sebagai
kasus wali nikah.
Argumentasi lain berupa pemikiran mazhab dengan metode
penemuan hukum Islam melalui maslahah dan sadd zari’ah. Ada juga yang
secara kumulatif merangkai dalil normatif dan metodologis (sadd dzariah dan
maslahah mursalah) dengan menggabungkan di antara keduanya tanpa
menafikan teks yang ada dan pola pikirnya. Perihal terakhir ini sangat berkait
erat dengan setting local area, respons atas modernitas dan serapan
perundangan kedua negara tentang wacana baru dalam hukum Islam.

I. Analisa Kritis
Pembaharuan hukum perkawinan di Indonesia maupun Tunisia
merupakan keniscayaan di saat berkembangnya realitas yang terjadi di
masyarakat. Adanya persyaratan tertentu seperti izin dari istri dan izin
pengadilan pada kasus poligami merupakan salah satu pembaharuan hukum
Islam. Padahal sebagaimana diketahui, Alquran dan hadits tidak
mempersyaratkan hal-hal tersebut secara tegas dan eksplisit.
Adanya pembaharuan tersebut juga merupakan bentuk akomodasi
hukum Islam terhadap perkembangan administrasi kenegaraan. Hal-hal
penting yang menyangkut hak dan kewajiban warga negara, seperti
pernikahan sudah selayaknya diatur sedemikian rupa, agar tercatat secara
resmi sebagai bukti tertulis, sehingga memiliki kepastian hukum. Di samping
itu, institusi pengadilan sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk
melegalkan keputusan seseorang untuk berpoligami merupakan salah satu
upaya agar poligami tidak lakukan secara serampangan tanpa memperhatikan
ekses-ekses negatifnya.

22
Pembaharuan hukum tentang poligami, dalam kasus di Indonesia,
merupakan salah satu bentuk fleksibilitas hukum Islam dalam berdialektika
dengan problematika sosial di tengah masyarakat. Selama pembaharuan itu
tidak melanggar hal-hal yang prinsipiil secara syara’, maka pembaharuan itu
tidaklah dianggap sebagai sesuatu yang melanggar hukum Tuhan. Hal-hal
yang diperbaharui lebih banyak bersifat teknis dan administratif agar tidak
terjadi kekacauan di tengah masyarakat.
Sayang sekali, hukum pernikahan yang mengatur tentang poligami di
Indonesia masih belum betul-betul diterapkan dengan baik di seluruh wilayah
hukum Indonesia. Di beberapa daerah, seperti Indramayu dan Cirebon, masih
banyak terjadi pernikahan poligami yang tidak sesuai dengan perundang-
undangan. Poligami tetap dilangsungkan meski tak ada izin dari pengadilan.
Di sisi lain, pelakunya pun tak diberi sanksi apapun oleh aparat hukum.
Namun ketika kasus Syekh Puji yang berpoligami dan menikahi
seorang anak perempuan yang masih di bawah umur, barulah persoalan
poligami mulai diberi sanksi hukum. Namun dalam proses hukum kasus
Syekh Puji, delik yang diterapkan bukanlah kasus poligaminya an-sich, tapi
lebih pada pernikahan di bawah umur. Dengan demikian, undang-undang yang
diterapkan tak hanya UU No 1 Tahun 1974 tentang pernikahan tapi juga UU
tentang Perlindungan Anak.
Kasus Syekh Puji tersebut merupakan salah satu entry point untuk
mendorong agar segera diatur dalam undang-undang tentang sanksi terhadap
pelaku poligami yang tidak sesuai aturan yang ada. Saat ini memang sudah
ada Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama (RUU
HMPA) yang merupakan revisi terhadap UU Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974. Dalam rancangan undang-undang tersebut, sudah tertuang dengan jelas
sanksi terhadap poligami yang tidak sesuai dengan aturan, yaitu berupa denda

23
Rp 6.000.000,- (enam juta rupiah). Jika denda tersebut tak bisa dilunasi, bisa
diganti dengan hukuman kurungan badan 3 (tiga) bulan.
Bagi sebagian aktivis perempuan, sanksi tersebut terlalu murah,
sehingga para pelaku poligami yang nakal bisa membayarnya dengan mudah.
Apalagi sanksi yang dirancang hanya berupa kurungan tiga (tiga) bulan.
Namun meski terlalu lemah, ketentuan sanksi tersebut merupakan sebuah
kemajuan dalam undang-undang perkawinan. Paling tidak, sanksi tersebut
menjadi salah satu hal yang bisa menghalangi orang-orang yang tidak mampu
secara ekonomi untuk melakukan poligami. Selama ini, tanpa adanya sanksi,
poligami bisa dilakukan semua kalangan, termasuk orang-orang yang secara
lahiriah tidak akan mampu menafkahi keluarganya, karena penghasilannya
minim.
Selanjutnya, terkait dengan persyaratan administratif poligami, baik
di masa Nabi Muhammad SAW maupun di era kekhalifahan selanjutnya,
memang belum tercipta tata kelola administrasi kenegaraan yang rapi
sebagaimana di negara-negara modern. Hal itu merupakan wajar karena Islam
muncul di abad ke-14 silam di saat pengetahuan dan teknologi tidak secanggih
sekarang. Karena itu pula, wajar jika izin poligami, sebagaimana yang berlaku
di Indonesia, tidak merupakan persyaratan yang ditetapkan oleh Nabi
Muhammad SAW melalui hadis-hadisnya.
Dalam kasus Tunisia, pelarangan sama sekali terhadap poligami
sangat kental sekali dengan pengaruh pemikiran Barat yang memang anti
poligami. Poligami dianggap sebuah kebudayaan terbelakang yang tidak
sesuai dengan masyarakat modern. Poligami ditetapkan dalam hukum Islam
hanya sebagai hukum transisi di saat masyarakat yang belum begitu maju.
Ketika peradaban masyarakat semakin maju, maka poligami pun harus
dihapuskan sebagaimana perbudakan. Jadi hukum poligami dan perbudakan

24
yang diatur dalam syariat Islam hanyalah untuk sementara waktu. Dan saat
inilah, kedua hal itu harus dihapuskan.
Pelarangan sama sekali terhadap poligami sebagaimana yang
dilakukan oleh Tunisia merupakan upaya pembaharuan terhadap hukum Islam
yang terlalu dipaksakan. Hal itu karena poligami jelas-jelas dibolehkan dalam
Alquran dan Nabi Muhammad pun melakukannya. Pelarangan terhadap
poligami secara tidak langsung merupakan pernyataan bahwa manusia lebih
pintar daripada Tuhan yang menciptakan aturan poligami tersebut. Poligami
bukanlah sesuatu hukum transisi sebagaimana halnya khamar. Hal itu karena
jika poligami merupakan hukum transisi, tentu Tuhan pun menurunkan
ketentuan hukumnya secara bertahap sebagaimana halnya khamar. Namun
pada faktanya, Tuhan dan Nabi Muhammad SAW tidak mengungkapkan
ketentuan hukumnya secara bertahap.
Islam hanya memperbaharui ketentuan poligami dengan membatasi
jumlah istri hingga maksimal 4 orang. Hal ini merupakan pembaharuan karena
sebelumnya di dalam praktek masyarakat Arab saat itu, jumlah istri yang
dipoligami tidak ada batasnya. Jika pada akhirnya, poligami harus dilarang
sama sekali, tentu Tuhan pun menentukan pelarangannya di saat Nabi
Muhammad SAW masih hidup dan proses pewahyuan Alquran masih berjalan.
Menganggap bahwa poligami hanya cocok untuk masyarakat yang
belum maju peradabannya, adalah sebuah anggapan yang mengada-ada.
Poligami atau monogami bukanlah sesuatu yang menjadi tolok ukur kemajuan
peradaban sebuah masyarakat. Yang menjadi salah satu ukur kemajuan
peradaban sebuah masyarakat adalah seberapa tinggi sebuah masyarakat
menghargai harkat dan martabat perempuan. Dalam poligami, harkat dan
martabat perempuan tidaklah lantas berarti dilecehkan. Hal itu karena

25
poligami yang ideal dalam Islam justru bertujuan untuk mengangkat martabat
perempuan.
Dalam sejarah poligami Nabi Muhammad yang menjadi contoh
terbaik bagi seluruh umat Islam, para perempuan yang diangkat Nabi
Muhammad sebagai istri justru terhormat dan terangkat martabatnya karena
menjadi istri seorang Nabi. Menjadi seorang istri dari seorang lelaki yang
terhormat tentu lebih baik daripada menjadi seorang janda seorang diri tanpa
ada perlindungan keamanan dan ekonomi dari seorang kepala rumah tangga.
Semua istri Nabi Muhammad, kecuali Siti Aisyah, adalah para janda yang
rata-rata berusia di atas 40 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa poligami yang
ideal bukanlah karena tuntutan seksual sehingga bisa dituding melecehkan
perempuan.
Keadilan dalam berpoligami bukalah sesuatu yang mustahil
dilakukan oleh orang selain Nabi Muhammad SAW. Para sahabat terkemuka,
seperti Ali bin Abi Thalib juga melakukan poligami, meskipun dilakukan
setelah Fatimah bin Muhammad meninggal dunia. Jika memang keadilan
dalam berpoligami hanya mampu dilakukan oleh Nabi Muhammad, sehingga
dengan demikian, poligami tidak boleh dilakukan oleh selain Nabi
Muhammad, maka tentu saja para sahabat pun tidak akan melakukannya.

J. Penutup
Negeri-negeri berpenduduk mayoritas muslim memang kebanyakan
merupakan bekas jajahan negara-negara Barat, seperti Indonesia, Mesir,
Tunisia, Maroko, Malaysia, dan lain-lain. Penjajahan oleh negara-negara Barat
itu tak ayal menimbulkan pengaruh yang cukup signifikan dalam alam
pemikiran masyarakat setempat yang dijajah. Pemikiran Barat yang
monogami sentris akhirnya juga sangat mempengaruhi dalam penyusuan

26
undang-undang perkawinan di berbagai negara, termasuk Indonesia dan
Tunisia. Di sisi lain, penetrasi pemikiran Barat yang mengusung tema-tema,
seperti kesetaraan gender, HAM, demokrasi, liberalisme, pluralisme, dan lain-
lain, juga sangat mempengaruhi pemikiran para tokoh yang terlibat dalam
penyusunan undang-undang perkawinan. Hal inilah pula yang terjadi di
Tunisia dan Turki.
Adalah sesuatu yang niscaya bagi setiap muslim untuk meyakini
bahwa Allah tidak akan menurunkan hukum-hukum-Nya untuk menimbulkan
ketidakadilan dan penindasan bagi manusia, termasuk golongan wanita. Jika
masih ada anggapan bahwa poligami adalah sebuah bentuk hukum yang
menggambarkan ketidakadilan bagi perempuan, maka secara tidak langsung
hal itu menuduh bahwa Tuhan telah berlaku tidak adil kepada makhluk-Nya.
Wallahu a’lam.

27
DAFTAR PUSTAKA

Abdur Rahman I. Doi, Shari'ah: the Islamic Law, (Karachi: Tha Ha Publisher,
1988).

Chamzawi, “Sebuah Catatan tentang Kontroversi Revisi Kompilasi Hukum


Islam”, dalam http://chamzawi.wordpress.com.

Dede Permana Nugraha, “Pasang Surut Pelarangan Jilbab di Tunisia” dalam


www.mail-archive.com/smu2jombang@yahoogroups.co.uk.

Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam (Dari Kawasan Jazirah Arab sampai
Indonesia), (Bandung: Pustaka Setia, 2007).

Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnathi al-Maliki (asy-Syathibi), al-Muwafaqat


fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dara l-Ma’rifah, tt.).

J. N. D. Anderson, Islamic Law in the Modern World, (New York: New York
University Press, 1959)
John L. Esposito (Ed), Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, III, (Jakarta:
Mizan, 2000)

Kompilasi Hukum Islam (KHI) Indonesia.

Majallah al-Ahwal asy-Syakhshiyyah, Pasal 18, dalam http://ar.jurispedia.org.

Muhammad Khalid Mas’ud, Islamic Legal Philosophy: A Study of Abu Ishaq al


Shatibi’s Life and Thought (New Delhi: Jameel al Rahman Offset Press,
1977)
Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim World (Bombay: Tripathi,
1972)
__________, Personal Law in The Muslim Countries, (New Delhi: Tripathi,
1987)

UU Perkawinan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974.

Wael B. Hallaq, “Was the Gate of Ijtihad Closed”, dalam International Journal of
Middle East Studies, No 16 (1984)

http://www.tempointeractive.com

http://www.wikipedia.org/.

http://www.menkokesra.go.id/

28
29

Anda mungkin juga menyukai