Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH WASIAT MENURUT ISLAM

A. Pengertian Wasiat

Kata wasiat (washiyah) itu diambil dari kata washshaitu asy-syaia, uushiihi, artinya aushaltuhu (aku
menyampaikan sesuatu). Maka muushii (orang yang berwasiat) adalah orang yang menyampaikan
pesan di waktu dia hidup untuk dilaksanakan sesudah dia mati.

Dalam istilah syara’ wasiat itu adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa barang,
piutang ataupun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat sesudah orang yang berwasiat
mati.

Sebagian fuqoha mendefinisikan bahwa wasiat itu adalah pemberian hak milik secara sukarela yang
dilaksanakan setelah pemberinya mati. Dari sini, jelaslah perbedaan antara hibah dan wasiat.
Pemilik yang diperoleh dari hibah itu terjadi pada saat itu juga, sedang pemilikan yang diperoleh
dari wasiat itu terjadi setelah orang yang berwasiat mati. Sedangkan dari segi lain, hibah itu berupa
barang, sementara wasiat bisa berupa barang, piutang, ataupun manfaat[1].

Dalam pengertian istilah, Sayyid sabiq mengatakan:

‫الموصى بعدموت الهبة له الموصى بملك ان عينااودينااومنفعةعلى غيره االنسان ِهبَة‬

“ pemberian seseorang kepada orang lain, berupa benda, utang atau manfaat, agar si penerima
memiliki pemberian itu setelah si pewasiat meninggal”.

Satu pendapat menggatakan bahwa wasiat adalah pemilikan yang di sandarkan pada sesudah
meninggalnya si pewasiat dengan jalan tabarru’ (kebaikan tanpa menuntut imbalan). Pengertian
ini untuk membedakan antara wasiat dan hibah. Jika hibah berlaku sejak si pemberi menyerahkan
pemberiannya dan diterima oleh yang menerimanya, maka wasiat berlaku setelah pemberi
meninggal.

Dasar hukum wasiat dalam islam, para ulama ’ mendasarkan wasiat kepadaAl- Qur’
an, As- Sunnah dan Ijma’ dalam konteks hukum islam di Indonesia kompilasi[2] merupakan
aturan yang di pedomani. Dengan kata lain wasiat adalah pesan seseorang mengenai penggunaan
atau pemanfaatan harta peninggalannya, kelak setelah ia meninggal dunia, baik wasiat itu untuk
anggota kerabatnya ataupun bukan,wasiat tersebut dilaksanakan atas kemauannya sendiri dan tanpa
paksaan.

B. Hukum Pelaksanaan Wasiat


Adapun hukumnya dilihat dari segi harus dilaksanakan atau harus di tinggalkan wasiat itu, maka
para ulama telah berbeda pendapat. Pendapat-pendapat itu kami ringkaskan sebagai berikut :

Pendapat pertama

Pendapat ini memandang bahwa wasiat itu wajib bagi setiap orang yang meninggalkan harta, baik
harta itu banyak ataupun sedikit. Pendapat ini dikatakan oleh Az-Zuhri dan Abu Mijlaz. Inilah pula
pendapat Ibnu Hazm. Dia meriwayatkan wajibnya wasiat itu dari Ibnu ‘Umar, Thalhah, Az-Zubair ,
‘Abdullah bin Abu Aufa, Thalhah bin Mutharrif, Ath-Thawus dan Asy-Sya’bi. Katanya: inilah
pendapat Abu Sulaiman dan semua sahabat-sahabat kami.

Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’aala : al-baqarah ayat 180

Pendapat kedua

Pendapat ini memandang bahwa wasiat kepada kedua orang tua dan karib kerabat yang tidak
mewarisi dari si mayit itu wajib hukumnya. Dan inilah madzhab Masruq, Iyas, Qatadah, Ibnu Jarir
dan Az-Zuhri.

Pendapat ketiga

Yaitu pendapat empat orang imam dan aliran Zaidiyah[3] yang menyatakan bahwa wasiat itu
bukanlah kewajian atas setiap orang yang meninggalakan harta (pendapat pertama), dan bukan pula
kewajiban terhadap kedua orang tua dan karib kerabat yang tidak mewarisi (pendapat kedua), akan
tetapi wasiat itu berbeda-beda hukumnya menurut keadaan.

Maka wasiat itu terkadang wajib, terkadang sunnat, terkadang haram, terkadang makhruh dan
terkadang jaiz (boleh).

1. Wajibnya wasiat

Wasiat itu wajib dalam keadaan bila manusia mempunyai kewajiban syara ’ yang
dikhawatirkan akan disia-siakan bila dia tidak berwasiat, seperti adanya titipan, hutang, kepada
Allah dan hutang kepada manusia. Misalnya dia mempunyai kewajiban zakat yang belum
dilaksanakan, atau dia mempunyai amant yang harus disampaikan, atau dia mempunyai hutang yang
tidak diketahui selain oleh dirinya, atau dia mempunyai titipan yang tidak dipersiapkan.

2. Sunnatnya Wasiat

Wasiat itu disunnatkan bila ia diperuntukkan bagi kebajikan, karib kerabat orang-orang fakir dan
orang-orang shaleh. Seperti pembangunan lembaga pndidikan, kesehatatan social dan sebagainya.

3. Haramnya Wasiat
Hukum wasiat menjadi haram menurut syara’ jika dia mewasiatkan perkara yang diharamkan
melakukannya seperti mewasiatkan arak, atau mewasiatkan sesuatu yang boleh mencemar akhlak
masyarakat. Selain haram wasiat sebegini tidak boleh dilaksanakan.

Antara wasiat yang diharamkan ialah wasiat yang bertujuan menyusahkan waris-wasir dan
menghalang mereka daripada menerima bahagian yang ditetapkan oleh syarak. Allah melarang
wasiat yang bertujuan menyusahkan (memudharatkan) orang lain.

4. Makruhnya Wasiat

Wasiat itu makruh, bila orang yang berwasiat sedikit hartanya, sedang dia mempunyai seorang atau
banyak ahli waris yang membutuhkan hartanya. Demikian pula dimakruhkan wasiat kepada orang-
orang fasik jika diketahui atau diduga dengan keras bahwa mereka akan menggunakan harta itu
dalam kefasikan dan kerusakan. Akan tetapi apabila orang yang berwasiat tahu atau menduga keras
bahwa orang yang diberi wasiat akan menggunakan harta itu untuk ketaatan, maka wasiat yang
demikian ini menjadi sunnat.

5. Jaiznya Wasiat

Wasiat itu diperbolehkan bila ia ditunjukkan kepada orang yang kaya, baik orang yang diwasiati itu
kerabat ataupun orang yang jauh (bukan kerabat). Hukum wasiat menjadi harus sekiranya wasiat
ditujukan untuk sahabat handai tolan atau orang kaya yang mana mereka bukan dari golongan yang
berilmu dan shaleh. Jika wasiat bertujuan baik dan bertujuan untuk menghubungkan silaturahmi
maka wasiat ini dia anggap sunat kerana ia bertujuan mentaati Allah swt[4].

C. Syarat-syarat Wasiat

Wasiat menghedaki orang yang memberi wasiat, orang yang diberi wasiat dan yang diwasiatkan.
Masing-masing dari ketiganya ini mempuyai syarat-syarat sebagai berikut.

1. Orang yang Memberi Wasiat

Disyaratkan agar orang yang memberi wasiat itu adalah orang yang ahli kebajikan, yaitu orang yang
mempunyai kompetensi (kecakapan) yang sah.

Keabsahan kompetensi ini didasarkan pada akal, kedewasaan, kemerdekaan, ikhtiyar, dan tidak
dibatasi karena kedunguan atau kelalaian. Apabila pemberi wasiat itu yang kurang kompetensinya,
yaitu karena dia masih anak-anak, gila, hamba sahaya, dipaksa, atau dibatasi, maka wasiatnya itu
tidak sah.

Dan dikecualikan dari hal tersebut di atas dua perkara :

a. Wasiat anak kecil yang mumayyiz (bisa membedakan antara yang baik dan buruk) yang khusus
mengenai perlengkapannya dan penguburannya selama dalam batas-batas kemashlahatan.
b. Wasiat orang yang dibatasi terhadap orang yang dungu dalam hal kebajikan, seperti
mengajarkan Al-Qur’an, membangun masjid dan mendirikan rumah sakit.

Kemudian bila pemberi wasiat itu mempunyai ahli waris dan ahli waris itu menyetujui wasiatnya,
maka wasiat ini dilaksanakan terhadap semua hartanya.

Demikian pula bila pemberi wasiat tidak mempunyai ahli waris sama sekali.

Adapun bila dia mempunyai ahli waris dan ahli waris ini tidak menyetujui wasiatnya, maka wasiat
itu hanya dilaksanakan terhadap sepertiga hartanya saja. Demikian ini madzhab Hanafi.

Imam Malik menentang pendapat itu. Dia memperbolehkan wasiat orang yang lemah akal dan anak
kecil yang memahami makna mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Imam Malik berkata bahwa orang yang lemah akal, orang yang dungu dan orang yang menderita
penyakit ayan yang terkadang sadar, wasiat mereka diperbolehkan, bila mereka mempunyai akal
yang dapat mengetahui apa yang mereka wasiatkan. Demikian pula anak kecil, bila dia mengetahui
apa yang diwasiatkan dan tidak mengucapkan kata-kata yang mengingkarinya wasiatnya, maka
wasiatnya itu diperbolehkan dan dilaksanakan.

Undang-undang Mesir juga memperbolehkan wasiat orang yang dungu dan lalai, apabila wasiat itu
diizinkan oleh pihak pengadilan khusus.

2. Orang yang Menerima Wasiat

Para ulama’ sepakat bahwa orang- orang atau badan yang menerima wasiat adalah bukan ahli
waris, dan secara hukum dapat di pandang sebagai cakap untuk memiliki sesuatu hak atau benda.

Riwayat dari Abu Umamah berkata bahwaia mendengar Rasulullah SAW, bersabda:

‫)الترمذى رواه( لوارث فالوصية حقه حق ذى لكل قداعطى هللا ان‬

“sesungguhnya Allah telah memberikan kepada orang yang mempunyai hak akan hak- haknya,
maka tidak sah wasiat kepada ahli waris”[5].

Hadist tersebut, oleh sebagian ulama’ di nilai bertentangan dengan ayat yang menjelaskan
bahwa wasiat adalah untuk kedua orang tua dan kerabat. Mayoritas ulama’ berpendapat bahwa
wasiat kepada kerabat yang bukan ahli waris boleh dilaksanakan tetapi makruh.

Fuqaha’ syiah ja’fariyah menyatakan bahwa wasiat kepada ahli waris yang menerima
warisan adalah boleh, kendatipun ahli waris lainnya tidak menyetujuinya. Dasarnya petunjuk umum
(dalalah al-‘am) Qs. Al- baqarah: 180.
Pendapat yang membolehkan wasiat kepada ahli waris dengan syarat apabila ahli waris lain
menyetujui adalah madzhab syafi’iyah, hanafiyah dan malikiyah. Dasarnya:

‫)الدرقطى رواه( يجيزالورثة ان اال لوارث الوصية‬

“Tidak sah wasiat kepada ahli waris, kecuali apabila ahli waris lain membolehkannya”[6].

Sayid Sabiq mengemukakan syarat orang yang menerima wasiat ada tiga, pertama tidak ahli
waris si pewasiat, kedua si penerima wasiat hadir pada waktu wasiat dilaksanakan, dan ketiga, si
penerima tidak melakukan pembunuhan yang di haramkan kepada si pewasiat. Kompilasi kemudian
menegaskan bahwa dalam berwasiat hendaknya orang yang menerima di tunjuk secara tegas.

3. Benda yang di Wasiatkan

Pada dasarnya benda yang menjadi obyek wasiat adalah benda- benda atau manfaat yang dapat
digunakan bagi kepentingan manusia secara positif. Para ulama sepakat dalam masalah tersebut.
Namun mereka berbeda dalam wasiat yang berupa manfaat suatu benda, sementara bendanya itu
sendiri tetap menjadi milik pemiliknya atau keluarganya.

Sayid sabiq menegaskan bahwa wasiat dengan segala benda atau manfaat, seperti buah dari
satu pohon, atau anak dari satu hewan adalah sah. Ini sejalan dengan pendapat jumhur , menurut
mereka, manfaat dapat di kategorikan sebagai benda, karena itu wasiat berupa manfaat saja,
hukumnya boleh. Kompilasi juga menyebutkan pada pasal 198.

Wasiat disini dapat dilaksanakan maksimal sepertiga dari seluruh harta si pewasiat. Tidak
boleh lebih, ini merupakan consensus ulama’ yangmengacu kepada pernyataan Rosululloh, bahwa
sepertiga itu besar atau banyak. Demikian pendapat ulama’ salaf. Qotadah mengatakan, Abu bakar
berwasiat dengan seperlima hartanya, Umar dengan seperempat hartanya. Ibnu rusyd memandang,
wasiat dengan seperlima harta adalah lebih baik.

Yang popular adalah pendapat seperti dituangtkan dalam kompilasi yang menyatakan
maksimal wasiat adalah sepertiga. Dikuatkan lagi oleh sabda Nabi SAW.

‫اعمالكم فى دة زيا لكم اموا ثلث صية الو فى لكم قدجعل هللا ان‬

“ Sesungguhnya Alloh menjadikan wasiat pada kamu sekalian sepertiga harta kalian sebagai
tambahan amal kalian”.
Meskipun kompilasi tidak menegaskan masa perhitungan sepertiga wasiat, dapat ditegaskan bahwa
sepertiga tersebut dihitung dari semua peninggalan pada saat kematian si pewasiat. Penegasan ini
penting, sebab tidak jarang terjadi wasiat dilakukan jauh-jauh hari sebelum meninggal, sehingga
terjadi pengurangan atau penambahan barang-barang yang menjadi miliknya saat pewasiat
meninggal.

4. Ijab Qobul (Sighot)

Ibnu rusyd mengatakan bahwa wasiat dapat dilaksanakan menggunakan redaksi yang jelas
atau shorih dengan kata wasiat, dan bisa juga dilakukan dengan kata-kata samaran. Wasiat bisa
dilakukan dengan tertulis, dan tidak memerlukan jawaban penerimaan secara langsung.

Para ulama berbeeda pendapat tentang apakah penerimaan orang yang menerima wasiat
merupakan syarat syahnya atau tidak ? Imam Malik mengatakan bahwa penerimaan wasiat ( qobul )
merupakan syarat sah. Berbeda dengan Imam Syafi’i, menurutnt Syafi’iqobul yang menerima
wasiat tidak merupakan syarat sah. Abu Hanifah dankedua muridnya, Abu Yusuf dan Hasan Al-
syaibani memandang bahwa qobul dalam wasiat yang harus ada. Alasannya, karena wasiat adalah
tindakan ikhtiariah dan karena pernyataan menerima penting adanya.

D. Rukun yang Berkenaan dengan Wasiat

Rukun wasiat adalah ijab dari orang yang mewasiatkan. Ijab itu dengan segala lafadz yang keluar
darinya (muushi), bila lafadz itu menunjukkan pemilikan yang dilaksanakan sesudah dia mati dan
tanpa adanya imbalan, seperti: aku wasiatkan kepada si Fulan begini setelah aku mati, atau aku
berikan itu atau aku serahkan pemiliknya kepadanya sepeninggalku.

Sebagaimana wasiat terjadi melalui pernyataan, maka wasiat itu terjadi pula melalui isyarat yang
dapat di pahaminya. Bila pemberi wasiat tidak sanggup berbicara, juga sah pula akad wasiat
melalaui tulisan.

Apabila wasiat itu tidak tertentu, seperti untuk masjid, tempat pengungsian, sekolah, atau rumah
sakit, maka ia tidak memerlukan qobul akan tetapi cukup dengan ijab saja, sebab dalam keadaan
demikian wasiat itu menjadi shodaqoh. Apabila wasiat ditunjukan kepada orang tertentu, maka ia
memerlukan qobul dari orarng yang di beri wasiat setelah pemberi wasiat mati, atau qobul dari
walinya apabila orang yang diberi wasiat belum mempunyai kecerdasan. Apabila wasiat diterima,
maka terjadilah wasiat itu. Bila wasiat ditolak setelah pemberi wasiat mati, maka batallah wasiat itu,
dan ia tetap menjadi milik dari ahli waris pemberi wasiat.

Wasiat itu termasuk ke dalam perjanjian yang di perbolehkan,yang di dalamnya pemberi wasiat
boleh mengubah wasiatnya, atau menarik kembali apa yang akan di wasiatkan. Penarikan kembali
(ruju’) itu harus dinyatakan dengan ucapan, misalnya dia mengatakan: “aku tarik kembali
wasiatku”. Dan boleh juga penarikan kembali wasiat itu dengan perbuatan, misalnya tindakan orang
yang mewasiatkan terhadap apa yang di wasiatkan dengan tindakan yang mengeluarkan wasiat dari
miliknya, seperti dia jual wasiat itu.

E. Pembatalan Wasiat

Ada beberapa hal yang bisa menjadikan batalnya wasiat yang mana Kompulasi telah mengatur
masalah ini cukup rinci, yaitu :

1. Wasiat menjadi batal apabila calon penerima waisiat berdasarkan putusan hakim yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap yang dihukum karena:

a) dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada wasiat.

b) Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduhan bahwa pewasiat telah


melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman lima tahun penjara atau hukuman yang
lebih berat.

c) Dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat untuk membuat atau
mencabut atau mengubah wasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat.

d) Dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan wasiat itu.

2. Wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat
itu:

a) tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai ia meninggal dunia sebelum meninggalnya
wasiat.

b) Mengetahui adanya wasiat tersebut tetapi ia menolak untuk menerimanya.

c) Mengetahui adanya wasiat itu tetapi tidak pernah menyatakan menerima atau menolak sampai
ia meninggal sebelum meninggalnya wasiat.

3. Wasiat bisa batal apabila barang yang diwasiatkan musnah.

Dalam rumusan fiqh, sayyid sabiq merumuskan hal-hal yang membatalkan wasiat sebagai berikut:

a) jika pewasiat menderita gila hingga meninggal

b) Jika penerima wasiat itu meninggal sebelum pewasiat meninggal.

c) Jika benda yang diwasiatkan itu rusak sebelum diterima oleh orang atau badan yang
menerima wasiat

Anda mungkin juga menyukai