Anda di halaman 1dari 11

TUGAS

ADMINISTRASI PERTANAHAN
PENERTIBAN TANAH ABSENTEE MASA DEPAN

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK XXVIII
KELAS B

1. ROSTIKO PUTRO PAMBUDI NIT 16253003


2. SARA EXAUDIA NIT 16253004

PROGRAM DIPLOMA IV PERTANAHAN


SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL
YOGYAKARTA
2016
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional


bertugas mewujudkan pelayanan publik dan reformasi birokrasi di masa
depan, diperlukan peningkatan pelayanan dan pelaksanaan program-program
pemerintah di bidang pertanahan. Tanah merupakan salah satu faktor penting
dalam kehidupan manusia yang telah dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha
Esa. Tanah sangat erat hubungannya dengan manusia, karena tanah
mempunyai nilai ekonomis bagi segala aspek kehidupan manusia dalam
rangka menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Penyediaan, peruntukan, penguasaan, penggunaan dan


pemeliharaannya perlu diatur agar terjamin kepastian hukum dalam
penguasaan dan pemanfaatannya serta sekaligus terselenggara perlindungan
hukum bagi rakyat banyak, terutama golongan petani, dengan tetap
mempertahankan kelestarian kemampuannya dalam mendukung kegiatan
pembangunan yang berkelanjutan, “Pemilik tanah pertanian yang bertempat
tinggal di luar kecamatan tempat letak tanahnya, dalam jangka waktu 6 bulan
wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di kecamatan tempat
letak tanah itu atau pindah ke kecamatan letak tanah tersebut”. Salah satu
masalah di bidang pertanahan yang sering mencuat ke permukaan adalah
pemilikan tanah Absentee/guntai (Pasal 10), hal ini baik secara langsung
maupun tidak langsung banyak terjadi di kalangan masyarakat. Sehingga
pemerintah dan instansi terkait, perlu melakukan penertiban tanah absentee di
masa depan.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka masalah yang dibahas dalam
makalah ini adalah :
1. Apakah pengertian dari tanah absentee?
2. Apakah tujuan pelarangan pemilikan tanah absentee di Indonesia?
3. Bagaimana solusi untuk penertiban tanah pertanian secara Absentee di
masa depan?
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian dari Tanah Absentee


Tanah absentee atau guntai adalah tanah pertanian yang terletak di
luar wilayah kedudukan/domisili si pemilik tanah, alias tanah yang letaknya
berjauhan dengan pemiliknya. Dalam pembahasan pasal 10 UUPA telah
dijelaskan bahwa yang mempunyai tanah pertanian wajib mengerjakan atau
mengusahakannya sendiri secara aktif, sehingga dibentuklah ketentuan
untuk menghapuskan penguasaan tanah pertanian.
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tidak mengizinkan pemilikan
tanah secara absentee, dengn alasan kepentingan sosial dan perlindungan
tanah. Dikhawatirkan jika tanah absentee yang tidak diolah akan menjadi
tanah telantar atau tidak produktif sebab pemiliknya jauh.
Tanah absentee dapat dimiliki oleh penduduk yang berdomisili di
kecamatan yang masih berbatasan dengan kecamatan dimana tanah berada.
Selain itu, tanah absentee juga dapat dimiliki oleh pegawai negeri atau TNI,
dengan alasan keduanya adalah abdi negara yang dapat berpindah tugas dari
satu wilayah ke wilayah lain.
Untuk itu, pemilik tanah absentee dapat menjual tanah tersebut kepada
masyarakat sekitar. Bisa juga menukar tanah tersebut, tanah disewa, atau
memberikan dengan sukarela dalam bentuk hibah kepada penduduk sekitar.
Akan tetapi jika tetap ingin memilikinya, dia dapat meminta salah satu
anggota keluarganya untuk pindah ke lokasi tanah tersebut.

2. Tujuan Pelarangan Pemilikan Tanah Absentee di Indonesia


Tujuan melarang pemilikan tanah pertanian secara absentee/guntai,
menurut Boedi Harsono, adalah agar hasil yang diperoleh dari pengusahaan
tanah itu sebagian besar dapat dinikmati oleh masyarakat pedesaan tempat
letak tanah yang bersangkutan, karena pemilik tanah akan bertempat tinggal
di daerah penghasil.
Tanah penggarapan menjadi tidak efisien, termasuk mengawasinya
dan pengangkutan hasil-hasilnya. Hal ini dapat menimbulkan pengisapan
dari orang-orang kota terhadap desa, baik dengan sistem sewa ataupun bagi
hasil.
Karena kepentingan sosial dan perlindungan tanah, adanya
kekhawatiran dari pemerintah kalau tanah absente dibiarkan akan menjadi
tanah yang terlantar dan kurang produktif sebab tempat tinggal pemiliknya
jauh. Untuk itu pemerintah akan segera mengambil langkah penyelamatan
yaitu dengan cara melarang pemilikan tanah secara absentee.

3. Solusi Untuk Penertiban Tanah Pertanian Secara Absentee di Masa


Depan

Pasal 3d PP No. 224/1961 jo. PP No. 41/1964 menentukan :


“Dilarang untuk melakukan semua bentuk memindahkan hak baru atas
tanah pertanian yang mengakibatkan pemilik tanah yang bersangkutan
memiliki bidang tanah di luar Kecamatan di mana ia bertempat tinggal”.
Dengan demikian, terdapat beberapa esensi yang merupakan
ketentuan dari absentee, antara lain :
1. Tanah-tanah pertanian wajib dikerjakan atau diusahakan sendiri secara
aktif.
2. Pemilik tanah pertanian wajib bertempat tinggal di Kecamatan tempat
letak tanahnya.
3. Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar Kecamatan
tempat letak tanahnya, wajib mengalihkan hak atas tanahnya atau
pindah ke Kecamatan letak tanah tersebut.
4. Dilarang memindahkan atau mengalihkan hak atas tanah pertanian
kepada orang atau badan hukum yang bertempat tinggal atau
berkedudukan di luar Kecamatan tempat letak tanahnya.
5. Larangan pemilikan tanah secara absentee hanya mengenai tanah
pertanian.
Pada inti pokok dari undang-undang tersebut adalah pemilikan tanah
pertanian oleh orang yang bertempat tinggal diluar kecamatan tempat letak
tanahnya. Namun larangan tersebut tidak berlaku terhadap pemilik yang
bertempat tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan kecamatan tempat
letak tanah yang bersangkutan, asal jarak antara tempat tinggal pemilik itu
dan tanahnya menurut pertimbangan pada waktu itu masih memungkinkan
untuk mengerjakan tanahnya secara efisien.
Pemilikan tanah absente ini dilarang oleh pemerintah kecuali pegawai
negeri dan ABRI. Sedangkan pegawai negeri dan ABRI masih
dimungkinkan sebab golongan ini adalah abdi negara yang tugasnya dapat
berpindah-pindah tempat.maka mereka boleh mempunyai tanah absentee
dengan luas yang dikurangi yaitu 2/5 dari luas maksimum yang ditolerir
oleh UU 56/60 dan kemudian dengan surat edaran dari menteri agraria yang
ketika itu dijabat oleh Mr. Sadjarwo diperluas lagi kemungkinan seorang
pegawai negri yang disebut kan dalam pasal 33 PP 224 tahin 1961 termasuk
diperbolehkannya menerima hobah tanah pertanian untuk persediaan hari
tuanya, denga tetap maksimum yang diperbolehkannya 2/5 dari luas yang
diperbolehkannya. Maksud dengan pegawai negari adalah baik pegawai
negeri, anggota ABRI, pengawai perusahaan negara dan jika hibah itu
diberikan kepada seseorang waris yang merupakan istri atau anak pegawai
negara, asal saja mereka masih menjadi tanggunagan dari pegawai negeri
tersebut. Bagi pemilik tanah absente dapat menyelamatkan haknya antara
lain dengan jalan :
1. Tanah tersebut dijual kepada masyarakat disekitar lokasi
2. Ditukarkan kepada penduduk setempat
3. Salah satu anggota keluarganya pindah tempat tinggal
4. Diberikan secara sukarela kepada penduduk setempat ( biasanya
berupa wakaf atau hibah ).

Yang wajib dilakukan oleh seorang pemilik tanah pertanian yang


meningalkan kecamatan tempat letak tanahnya sehingga ia menjadi pemilik
absente adalah melaporkannya kepada pejabat setempat. Jika hal itu tidak
dilaporkannya kepada pejabat setempat, maka didalam waktu 2 tahun
terhitung sejak ia meninggalkan tempat kediamannya itu ia wajib untuk
memindahkan hak atas tanahnya kepada orang lain yang bertempat tinggal
dikecamatan itu. Jika hal itu dilaporkannya kepada pejabat setempat yang
berwenang maka kewajiban itu harus dilaksanaknnya dalam waktu 1
tahunterhitung sejak berahirnya jangka waktu 2 tahun ia meninggalkan
tempat tingalnya. Dikecualikan dari kewajiban tersebut pemilik yang
berpindah dari kecamatan yang berbatasan dengan tempat tingalnya semula
dan pemilik yang menjalankan tugas negara atau menaikan tugas agama.

Jika seseorang mendapatkan warisan tanahpertanian yang letaknya


dikecamatan lain kecuali jika ia pegawai negeri maka didalam waktu satu
tahun sejak meninggalnya pewaris tanah itu wajib dipindahkannya kepada
oarng yang bertempat tinggal dikecamatan tersebutr atau ia sendiri pindah
ke kecamatan itu. Sesuai dengan asas umum diatas, maka biarpun tidak ada
penegasannya kiranya jika penerima waris bertempatr tinggal dikecamatan
yang berbatasan, ia tidak terkena kewajiban itu. Jangka waktu 1 tahun itu
dapat diperpanjang oleh menteri agraria jika misalnya pembagian
warisannya belum selesai.

Sanksi yang akan dikenakan jika kewajiban diatas tidak dilaksanakan


atau terjadi pelanggaran terhadap sesuai yang diterangkan diatas maka tanah
yang bersangkurtan akan diambil oleh pemerintah untuk kemudian
didistribisikan dalam rangka landreform. Dan kepada bekas pemilinya
diberikan ganti kerugian sesui peraturan yang berlaku bagi para bekas
pemilik tanah kelebihan.

Larangan pemilian tanah secara absente itu hanya mengenai tanah


pertanian.larangan pemilikan tanah absente ini berlaku juga terhadap bekas
pemilik tanha berlebihan, jika sisa tanh yang menurut ketentuan undang-
undang no 56 Prp tahun1960 bileh tetap dimilikinya, letaknya ditempat lain
diluar kecamatan tempat tinggalnya.

Solusi yang bisa gunakan untuk mengurangi pemilikan tanah pertanian


secara Absente antara lain:
1. Kantor pertanahan seharusnya melakukan sosialisasi kepada
masyarakat karena kebanyakan masyarakat masih kurang tahu
mengenai pelararangan pemilikan tanah pertanian secara Absente,
apalagi di masyarakat sering melakukan jual-beli tanah tanpa
memikirkan tempat tinggal dan dan letak tanah yang akan dibelinya.
Dengan adanya sosialisasi yang dilakukan oleh kantor pertanahan
sekiranya bisa mengurangi kepemilikan tanah secara Absentee di
masyarakat.
2. Penertiban administrasi.
Dengan melakukan pengawasan yang ketat terhadap pemindahan hak
atas tanah pertanian melalui kerja sama antara instansi yang terkait
yaitu Kepala Desa, Kecamatan dan PPAT/Notaris.
3. Penertiban hukum.
Melalui penyuluhan hukum yang terarah dan diselenggarakan terus
menerus secara luas terhadap masyarakat juga pejabat/aparat yang
berkaitan dengan masalah pertanahan.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Pemilikan tanah secara guntai (absentee) adalah pemilikan tanah
pertanian yang pemiliknya bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak
tanah pertanian tersebut. Pengaturan mengenai larangan pemilikan tanah
secara guntai (absentee) dapat menimbulkan permasalahan-permasalahan.
Permalahan utama mengenai pengecualian-pengecualinnya seperti pada
pengecualian orang atau badan hukum dapat memiliki tanah pertanian secara
guntai (absentee) bila letak tanah tersebut dan tempat tinggal pemilik tanah
tersebut berbatasan kecamatannya. Akan tetapi untuk saat ini jarak antara
kecamatan satu dengan kecamatan lainnya tidak terlalu jauh malah terasa
dekat, karena dengan adanya perkembangan di bidang transportasi yang
semakin maju, sehingga memungkinkan oarng-orang yang tempat tinggalnya
tidak berbatasan langsung dengan letak tanah pertanian untuk memiliki tanah
pertanian secara guntai (absentee) karena mereka masih dapat mengerjakan
tanah tersebut secara aktif. Mengerjakan aktif di sini juga bukan berarti
bahwa pemilik tanah tersebut harus mengerjakan atau menggarap sendiri
tetapi dapat dengan melakukan perjanjian bagi hasil atau sewa menyewa
ataupun mengupah orang lain untuk mengerjakan tanah pertanian tersebut.
Untuk pengecualian yang lain seperti halnya hanya orang-orang tertentu yang
dapat memiliki tanah secara guntai (absentee), ini juga dapat menyebabkan
timbulnya kecemburuan social di dalam masyarakat karena hanya Pegawai
Negeri dan angkatan bersenjata dan mereka yang dipersamakan serta janda
Pegawai Negeri dan janda pensiunan Pegawai Negeri sajalah yang
diperbolehkan untuk mempunyai tanah secara guntai (absentee).

B. SARAN
Saran yang bisa disampaikan dalam makalah ini adalah ;
 Ketentuan-ketentuan larangan pemilikan tanah absentee/guntai yang ada
pada saat ini masih perlu ditinjau kembali untuk disesuaikan dengan
perkembangan dan kebutuhan masyarakat saat ini. Dalam hal ini perlu
dipertimbangkan kembali mengenai jarak antara domisili pemilik tanah
dan letak tanah mengingat kemajuan di bidang teknologi transportasi,
jarak antar kecamatan sudah tidak menjadikan suatu hambatan terhadap
efektifitas dan produktivitas secara optimal tanah pertanian untuk dapat
diolah.
 Hendaknya ketentuan sanksi terhadap pelanggaran larangan pemilikan
tanah absentee/guntai diperbaharui dan disesuaikan dengan
perkembangan kemajuan pembangunan sekarang ini, dan pelaksanaannya
agar lebih dipertegas. Oleh karena dari segi materiil, keseluruhan
peraturan yang mengatur tentang larangan pemilikan tanah
absentee/guntai adalah produk sekitar tahun 1960-an, sehingga
pemikiran-pemikiran pada saat itu ternyata dalam kenyataannya sudah
tidak sesuai lagi dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat saat ini
REFERENSI

1. Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan


Undang- Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta,
Djambatan, 2005
2. http://limamenitbukapuasa.blogspot.co.id/2015/06/makalah-faktor-
faktor-penyebab.html
3. https://taukcuearekjatigedhe.wordpress.com/2014/01/15/tanah-absentee/

Anda mungkin juga menyukai