Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

TANAH ABSENTEE
Disusun guna untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Kap Sel Hukum Agraria

DOSEN PENGAMPU
Radmida Dawam, SH, M.H

DISUSUN OLEH

Ignatius Adji Siswantoro


Npm : 19.01.0090-IH

SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM PERTIBA


2020/2021
BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Dalam melakukan perbuatan hukum tertentu terhadap hak atas tanah, biasanya calon penerima hak diwajibkan
membuat pernyataan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 99 PMNA/KBPN No. 3 Tahun 1997. Surat
Pernyataan itu antara lain memuat masalah kepemilikan tanah absentee dan landreform. Namun ternyata tidak
sedikit yang kurang paham mengenai absentee dan landreform. Bahkan terkadang terkadang ditemukan ada akta
Perjanjian Ikatan Jual Beli yang objeknya adalah tanah sawah, dan Pembelinya berstatus absentee.

Dalam UUPA telah menjelaskan bahwa untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan
penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan . maka seorang tanah mempunyai tanah yang luas
cenderung untuk menjadi tuan tanah atau landlord dan landlord itu cenderung untuk tidak bertempat tinggal di
daerah pertaniannya atau dimana tanahnya itu terdapat.

Dalam pertanian mengingat rationnya maka syarat akan tempat tinggal itu kiranya masih dapat diperlukan
sesuai dengan ketentuan tentang absentee yaitu tidak ada keberatan jika petani penggarap bertempat tinggal
dikecamatan yang berbatasan dengan tempat letak tanahnya asal jarak tempat tinggal pengarap dan tanah yang
bersangkutan masih memungkinkan mengerjakan tanah itu secara efisien.

Dalam melakukan perbuatan hukum tertentu terhadap hak atas tanah, biasanya calon penerima hak diwajibkan
membuat pernyataan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 99 PMNA/KBPN No. 3 Tahun 1997. Surat
Pernyataan itu antara lain memuat masalah kepemilikan tanah absentee dan landreform. Namun ternyata tidak
sedikit yang kurang paham mengenai absentee dan landreform. Bahkan terkadang terkadang ditemukan ada akta
Perjanjian Ikatan Jual Beli yang objeknya adalah tanah sawah, dan Pembelinya berstatus absentee.

B.     Rumusan Masalah

1. Apa pengertian tanah Absentee ?

2. Apa tujuan larangan tanah Absentee ?

3. Apa tujuan larangan pembatasan kepemilikan tanah secara maksimum dan minimum tanah ?

C.    Tujuan

1.Untuk menjelaskan pengertian tanah Absentee.

2.Untuk menerangkan larangan tanah Absentee.

3. Untuk mengurai larangan pembatasan kepemilikan tanah secara maksimum dan minimum tanah.

 
BAB II

PEMBAHASAN

1.      Pengertian tanah absentee

Dalam pembahasan pasal 10 UUPAtelah dijelaskan bahwa yang mempunyai tanah pertanian wajib mengerjakan
atau mengusahakannya sendiri secara aktif, sehingga dibentuklah ketentuan untuk menghapuskan penguasaan
tanah pertanian yang disebut dengan tanah absentee.

Tanah absentee yaitu pemilikan tanah yang letaknya diluar daerah tempat tinggal yang mempunyai tanah
tersebut[1]. Dengan kata lain tanah absentee adalah tanah yang letaknya berjauhan dengan pemiliknya.

Ketentuan-ketentuan tersebut diatur dalam pasal 3 peraturan pemerintah No.224 tahun 1960 dan pasal 1
peraturan pemerintah No.41 taqhun 1964 ( sebagai tambahan pasal 3a-3e ) sedangkan dasar hukumnya adalah
pasal 10 ayat 2 UUPA. Adapun larangan pemilikan tanah secara absentee berpangkal pada dasar hukum yang
terdapat dalam Pasal 10 ayat (1) UUPA, yaitu sebagai berikut :

“Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada azasnya diwajibkan
mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan”.

Untuk melaksanakan amanat UUPA, maka Pasal 3 ayat (1) PP No. 224/1961 jo. PP No. 41/1964 menentukan
sebagai berikut :

“Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar Kecamatan tempat letak tanahnya, dalam jangka waktu
6 bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di Kecamatan tempat letak tanah itu atau pindah
ke Kecamatan letak tanah tersebut”.[2]

Selanjutnya Pasal 3d PP No. 224/1961 jo. PP No. 41/1964 menentukan :

“Dilarang untuk melakukan semua bentuk memindahkan hak baru atas tanah pertanian yang mengakibatkan
pemilik tanah yang bersangkutan memiliki bidang tanah di luar Kecamatan di mana ia bertempat tinggal”.

Dengan demikian, terdapat beberapa esensi yang merupakan ketentuan dari absentee, antara lain :

Tanah-tanah pertanian wajib dikerjakan atau diusahakan sendiri secara aktif.

Pemilik tanah pertanian wajib bertempat tinggal di Kecamatan tempat letak tanahnya.

Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar Kecamatan tempat letak tanahnya, wajib mengalihkan
hak atas tanahnya atau pindah ke Kecamatan letak tanah tersebut.

Dilarang memindahkan atau mengalihkan hak atas tanah pertanian kepada orang atau badan hukum yang
bertempat tinggal atau berkedudukan di luar Kecamatan tempat letak tanahnya.

5.    Larangan pemilikan tanah secara absentee hanya mengenai tanah pertanian.

Pada inti pokok dari undang-undang tersebut adalah pemilikan tanah pertanian oleh orang yang bertempat
tinggal diluar kecamatan tempat letak tanahnya[3]. Namun larangan tersebut tidak berlaku terhadap pemilik
yang bertempat tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan kecamatan tempat letak tanah yang bersangkutan,
asal jarak antara tempat tinggal pemilik itu dan tanahnya menurut pertimbangan pada waktu itu masih
memungkinkan untuk mengerjakan tanahnya secara efisien.
Contoh kasus:

Prioritas utama sebagai yang disebut di dalam Undang-Undang adalah petani penggarap yang mengerjakan
tanah yang bersangkutan masih mempunyai ikatan keluarga dengan bekas pemilik. Tetapi panitia Landreform
Daerah Klaten memprioritaskan sebagai yang disebut oleh undang-undang. Alasan yang mendasari kebijakan
Panitia Landreform Kabupaten Klaten dalam melaksanakan redistribusintanah kelebihan karena berstatus tanah
absente, adalah bahwa pemegang hak atas garapan atau tanah sanggan di masa lampau  mempunyai beban berat.
Petani pemegang hak atas tanah pada masa penjajahan selain mempunayai hak untuk memetik hasil dari tanah
yang digarapnya, juga mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap perusahaan perkebunan atau terhadap desa.
Kewajiban dari pemegang hak atas tanah garapan terhadap perkebunan antara lain ialah bekerja beberapa hari di
dalam satu minggu tanpa dibayar.[4]

Didaerah klaten tidak terdapat tanah nkelebihan dari  batas maksimum. Tanah yang didistribusikan didalam
pelaksanaan landreform didaerah klaten adalah tanah absentee.

2.      Tujuan larangan tanah absentee

Tujuan dari larangan pemilikan tanah secara absentee adalah:

1. agar hasil yang diperoleh dari pengusahaan tanah itu sebagian besar dapat dinikmati oleh masyarakat
pedesaan tempat letak tanah yang bersangkutan, karena pemilik tanah akan bertempat tinggal di daerah
penghasil[5].
2. karena kepentingan sosial danperlindungan tanah, karena ada kekhawatiran dari pemerintah kalau tanah
absente dibiarkan akan menjadi tanah yang terlantar dan kurang produktif sebab tempat tinggal pemiliknya
jauh. Untuk itu pemerintah akan segera mengambil langkah penyelamatan yaitu dengan cara melarang
pemilikan tanah secara absente ini.
3. Tanah penggarapan menjadi tidak efisien, termasuk mengawasinya dan pengangkutan hasil-hasilnya. Hal
ini keadaan dapat menimbulkan pengisapan dari orang-orang kota terhadap desa, baik dengan sistem sewa
ataupun bagi hasil. Dengan demikian keringat dan tenaga para petani juaga dinikmati oleh pemiliknya yang
tidak berada didaerah tersebut

Pemilikan tanah absente ini dilarang oleh pemerintah kecuali pegawai negeri dan ABRI .Sedangkan pegawai
negeri dan ABRI masih dimungkinkan sebab golongan ini adalah abdi negara yang tugasnya dapat berpindah-
pindah tempat.maka mereka boleh mempunyai tanah absentee dengan luas yang dikurangi yaitu 2/5 dari luas
maksimum yang ditolerir oleh UU 56/60 dan kemudian dengan surat edaran dari menteri agraria yang ketika itu
dijabat oleh Mr. Sadjarwo  diperluas lagi kemungkinan seorang pegawai negri yang disebut kan dalam pasal 33
PP 224 tahin 1961 termasuk diperbolehkannya menerima hobah tanah pertanian untuk persediaan hari tuanya,
denga tetap maksimum yang diperbolehkannya 2/5 dari luas yang diperbolehkannya. Maksud dengan pegawai
negari adalah baik pegawai negeri, anggota ABRI, pengawai perusahaan negara dan jika hibah itu diberikan
kepada seseorang waris yang merupakan istri atau anak pegawai negara, asal saja mereka masih menjadi
tanggunagan dari pegawai negeri tersebut.[6]

Jika seseorang penduduk kecamatan tersebut pindah ke kecamatan lain selam dua tahun berturut-turut, maka
daia harus mengalihkan hak atas tanah pertaniaan kepada oranga lain di kecamatan tersebut. Adapun penduduk
kecamatan  itu diartikan jiak dia mempunyai kartu penduduk di kecamatan tersebut dan inilah yang merupakan
penyelundupan formal dari suatu peraturan. Yang tepat  lagi arti dari penduduk kecamatan seharusnya bertempat
tinggal secara fisik di kecamatan tersebut dan mengerjakan sendiri tanah pertanian tersebut.
 Bagi pemilik tanah absente dapat menyelamatkan haknya antara lain dengan jalan :

1. Tanah tersebut dijual kepada masyarakat disekitar lokasi


2. Ditukarkan kepada penduduk setempat
3. Salah satu anggota keluarganya pindah tempat tinggal
4. Diberikan secara sukarela kepada penduduk setempat  ( biasanya berupa wakaf atau hibah ).

Yang wajib dilakukan oleh seorang pemilik tanah pertanian yang meningalkan kecamatan tempat letak tanahnya
sehingga ia menjadi pemilik absente adalah melaporkannya kepada pejabat setempat. Jika hal itu tidak
dilaporkannya kepada pejabat setempat, maka didalam waktu 2 tahun terhitung sejak ia meninggalkan tempat
kediamannya itu ia wajib untuk memindahkan hak atas tanahnya kepada orang lain yang bertempat tinggal
dikecamatan itu. Jika hal itu dilaporkannya kepada pejabat setempat yang berwenang maka kewajiban ituharus
dilaksanaknnya dalam waktu 1 tahunterhitung sejak berahirnya jangka waktu 2 tahun ia meninggalkan tempat
tingalnya. Dikecualikan dari kewajiban tersebut pemilik yang berpindah dari kecamatan yang berbatasan dengan
tempat tingalnya semula dan pemilik yangbmenjalankan tugas negara atau mennaikan tugas agama.

Jika seseorang mendapatkan warisan tanahpertanian yang letaknya dikecamatan lain kecuali jika ia pegawai
negeri maka didalam waktu satu tahun sejak meninggalnya pewaris tanah itu wajib dipindahkannya kepada
oarng yang bertempat tinggal dikecamatan tersebut atau ia sendiri pindah ke kecamatan itu. Sesuai dengan asas
umum diatas, maka biarpun tidak ada penegasannya kiranya jika penerima waris bertempatr tinggal
dikecamatan yang berbatasan, ia tidak terkena kewajiban itu. Jangka waktu 1 tahun itu dapat diperpanjang oleh
menteri agraria jika misalnya pembagian warisannya belum selesai.

Sesuai dengan yang dikemukakan diatas bahwa semua bentuk pemindahan hak milik atas tanah pertanian yaitu
jual beli, hibah, dan tukar menukar yang mengakibatkan pemilikan baru secara absente dilarang. Larangan itu
juga mengenai golongan pegawai negeri keculai dalam hibah dan waris. Misalnya seorang pegawai negeri yang
bertempat tinggal di daerah cijantung jakarta tidak boleh membeli tanah sawah didaerah cipayung bogor.

Sanksi yang akan dikenakan jika kewajiban diatas tidak dilaksanakan atau terjadi pelanggaran terhadap sesuai
yang diterangkan diatas maka tanah yang bersangkurtan akan diambil oleh pemerintah untuk kemudian
didistribisikan dalam rangka landreform. Dan kepada bekas pemilinya diberikan ganti kerugian sesui peraturan
yang berlaku bagi para bekas pemilik tanah kelebihan.

Larangan pemilian tanah secara absente itu hanya mengenai tanah pertanian.larangan pemilikan tanah absente
ini berlaku juga terhadap bekas pemilik tanha berlebihan, jika sisa tanh yang menurut ketentuan undang-undang
no 56 Prp tahun1960 bileh tetap dimilikinya, letaknya ditempat lain diluar kecamatan tempat tinggalnya.[7]

 
 

SURAT KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN DAN AGRARIA


No. Sk. 35/Ka/1962
tentang
PELAKSANAAN PENGUASAAN TANAH PERTANIAN
ABSENTEE
MENTERI PERTANIAN DAN AGRARIA,
 
MENIMBANG :
            Bahwa kesempatan bagi pemilik tanah pertanian absenteeuntuk mengalihkan hak ats tanahnya atau
pindah kecamatan letak tanah telah berakhir pada tanggal 31 Desember 1962 sebagaimana dimaksud dalam
pasal 3 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 224 tahun 1961, maka karena itu perlu diatur pelaksanaan penguasaan
lebih lanjut.

MENGINGAT :

1. Undang-Undang pokok Agraria (Undang-Undang No.5 tahun 1960 LN tahun 1960 No. 104) ;
2. Peraturan Pemerintah No.224 tahun 1961 dan Surat Keputusan Menteri Agraria tanggal 8 Januari 1962
No. Sk. VI/6/Ka ;
3. Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 131 tahun 1961.

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN

Pertama

            Menyatakan tanah-tanah pertanian yang pemiliknya bertempat tinggal di luar daerah Kecamatan letak
tanah, sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.

Kedua

            Menyerahkan wewenang untuk melaksanakan penguasaan tanah-tanah tersebut dalam ketentuan pertama
kepada Panitia Landreform Daerah Tingkat II dengan dibantu Panitia Landreform Kecamatan dan Panitia dan
Panitia Landreform Desa, dengan mengingat peraturan-peraturan yang berlaku, serta mewajibkan untuk :

1. Menetapkan besarnya ganti rugi


2. Mengurus pemberian surat izin mengerjkan tanah kepada para penggarapnya
3. Menyelenggarakan redistribusinya.

Ketiga

              Ketentuan Pertama dan Kedua tersebut diatas, tidak berlaku atas tanah-tanah pertanian absentee yang
selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 1962 :

1. Oleh pemiliknya tellah dialihkan kepada orang yang bertempat tinggal di Kecamatan letak tanah, di
muka pejabat pembuat akta tanah
2. Pemiliknya telah pindah ke Kecamatan letak tanah dan kepindahannya itu telah telah terdaftar di desa
dan diketahui oleh Camat yang bersangkutan
3. Oleh pemilik tanah telah diajukan permohonan izin untuk dihibahkan, dan surat permohonannya telah
sampai di Departemen Pertanian dan Agraria.

Keempat

            Pemilik tanah pertanian absentee yang telah mengajukan permohonan hibah kepada Menteri Pertanian
dan Agraria sedang permohonannya ternyata kemudian ditolak, diberi kesempatan untuk mengalihkan tanahnya
kepada petani di tempat letak tanah atau pindah ke Kecamatan letak tanah, selambat-lambatnya dalam tempo 6
bulan sejak tanggal pemolakannya. 

Kelima

            Para pensiunan dan janda pensiunan Pegawai Negeri diberi kesempatan untuk memenuhi pasal 3 ayat 1
dari Peraturan Pemerintah No. 224 tahun 1961 daam waktu satu tahun terhitung sejak tanggal 1 Januari 1963.

Keenam

            Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1963. Agar supaya setiap orang dapat
mengetahuinya, maka Keputusan ini akan dimuat dalam Tambahan Lemabarn Negara Republik Indonesia.[8]

3. Tujuan Larangan Pembatasan Kepemilikan Tanah Secara Maksimum dan Minimum


Tanah

Luas Maksimum Tanah Pertanian

Luas maksimum tanah pertanian ditetapkan berdasarkan kepadatan penduduk dan jenis tanah, dengan catatan
harus memperhatikan keadaan sosial dan ekonomi daerah yang bersangkutan. Hal ini tegas disebutkan dalam
Keputusan Menteri Agraria No. Sk/978/Ka/1960, tanggal 31 Desember 1960.

Batas maksimal tanah pertanian yang dapat dimiliki tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut ini :

 
Jumlah Jenis Tanah
  penduduk

  Tiap Penggolongan
kilometer Tanah
  persegi daerah Sawah Kering

> 50 Tidak Padat 15 20

51 – 250 Kurang Padat 10 12

251 – 400 Cukup Padat 7,5 9

< 401 Sangat Padat 5 6

1. Batas Minimal Tanah


Pertanian.
Menurut Pasal 8 UU No 56 Prp Tahun 1960, luas minimal tanah pertanian yang harus dimiliki oleh
petani sekeluarga adalah 2 hektar, dan inilah tujuan yang secara berangsur-angsur harus
diusahakan untuk dicapai.[9]

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Tanah absentee yaitu pemilikan tanah yang letaknya diluar daerah tempat tinggal yang mempunyai tanah
tersebut. Dengan kata lain tanah absentee adalah tanah yang letaknya berjauhan dengan pemiliknya.

Untuk melaksanakan amanat UUPA, maka Pasal 3 ayat (1) PP No. 224/1961 jo. PP No. 41/1964 menentukan
sebagai berikut :

“Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar Kecamatan tempat letak tanahnya, dalam jangka waktu
6 bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di Kecamatan tempat letak tanah itu atau pindah
ke Kecamatan letak tanah tersebut”.

      Pada inti pokok dari undang-undang tersebut adalah pemilikan tanah pertanian oleh orang yang bertempat
tinggal diluar kecamatan tempat letak tanahnya. Namun larangan tersebut tidak berlaku terhadap pemilik yang
bertempat tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan kecamatan tempat letak tanah yang bersangkutan, asal
jarak antara tempat tinggal pemilik itu dan tanahnya menurut pertimbangan pada waktu itu masih
memungkinkan untuk mengerjakan tanahnya secara efisien

B.     Saran

Demikianlah makalah ini kami buat, semoga dengan adanya makalah ini bisa meluaskan wawasan pembaca
mengenai Tanah Absentee. Namun makalah kami masih jauh dari kesempurnaan oleh karenanya, kami
mengharapkan kritik dan saran pembaca yang mungkin dalam penjelasan dan pembahasan di atas masih
memiliki banyak kekurangan guna dijadikan acuan dalam penulisan atau pembahasan selanjutnya. Demikian
akhir kata semoga makalah ini bermanfaat bagi semua khususnya pembaca dan penulis. Amin.

Anda mungkin juga menyukai