Anda di halaman 1dari 192

BAB I

Pengertian Hukum Agraria dan Hukum


Pertanahan Nasional
1.1
Pengertian Agraria
Kata Agraria dalam bahasa latin disebut ager
dan agrarius. Kata ager diartikan tanah atau
sebidang tanah, sedangkan kata agrariusdiartikan
sama
dengan
perladangan,
persawahan,
pertanian.1
Terminologi
bahasa
Indonesia,
mengartikan
agraria
adalah
urusan
tanah
pertanian, perkebunan2, sedangkan dalam bahasa
Inggris kata agraria diartikan agrarian yang selalu
diartikan tanah dan dihubungkan dengan usaha
pertanian.
Pengertian
agrarian
ini
sama
sebutannya dengan agrarian laws bahkan sering
kali digunakan untuk menunjuk kepada perangkat
peraturan hukum yang bertujuan mengadakan
pembagian tanah-tanah yang luas dalam rangka
lebih meratakan penguasaan dan pemilikan
tanah.3Dalam Pasal 1 ayat (2) pengertian agraria
1 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia,
Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I Hukum
Tanah, (Jakarta : Djambatan, 1994), hlm. 4
2 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua,
(Jakarta : Balai Pustaka, 1991), hlm. 11
3 St. Paul Minn, Blacks Law Dictionary, 1983, West
Publishing Co, dalam Boedi Harsono, Hukum
Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UndangUndang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya,
1

meliputi bumi, air, dan ruang angkasa serta


kekayaan
yang
terkandung
di
dalamnya.
Sedangkan pengertian bumi meliputi permukaan
bumi
(yang
disebut
tanah),
tubuh
bumi
dibawahnya serta yang berada di bawah air (pasal
1 ayat (4) jo. Pasal 4 ayat (1)). Menurut Andi
Hamzah, agraria adalah masalah tanahdan semua
yang ada di dalam dan di atasnya. 4 Apa yang ada
di dalam tanah misalnya batu, kerikil, tambang,
sedangkan yang ada di atas tanah dapat berupa
tanaman, bangunan.
Pengertian agraria juga sering dikaitkan
dengan corak kehidupan suatu masyarakat atau
bangsa, misalnya Indonesia sebagai negara
agraris, yaitu suatu bangsa yang sebagian besar
masyarakatnya hidup dari bercocok tanam
(bertani) atau kehidupan masyarakatnya bertumpu
pada sektor pertanian. Agraris sebagai kata sifat
dipergunakan untuk membedakan corak kehidupan
masyarakat pedesaan yang bertumpu pada sektor
pertanian dengan corak kehidupan masyarakat
perkotaan yang bertumpu pada sektor nonpertanian (perdagangan, industri, birokrasi). 5
Berkaitan dengan pengertian agraria di atas,
tujuan pokok yang ingin dicapai dengan adanya
UUPA, yaitu :
1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan
hukum agraria nasional yang akan merupakan
hlm. 4
4 Andi Hamzah, Kamus Hukum, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1986), hlm 32
5 Ibid
2

alat
untuk
membawakan
kemakmuran,
kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan
rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka
masyarakat yang adil dan makmur;
2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan
kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum
pertanahan;
3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan
kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah
bagi rakyat keseluruhan.
Dengan mengacu pada tujuan pokok
diadakannya UUPA, jelaslah bahwa
UUPA
merupakan sarana yang akan dipakai untuk
mewujudkan
cita-cita
bangsa
dan
negara
sebagaimana yang diamanatkan oleh pembukaan
UUD 1945, yaitu memajukan kesejahteraan umum
dan mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia. 6
Pengertian agraria menurut Andi Hamzah dan
Subekti dan R. Tjitrosoedibio mirip dengan
pengertian real estate yang dikemukakan oleh
Arthur P Crabtree,7 yang menyatakan bahwa hak
milik (property) dibagi menjadi 2 macam, yaitu :
1. Real Property
2. Personal Property
Real property juga disebut real estate. Real Estate
adalah tanah dan segala sesuatu yang secara
permanen melekat pada tanah (Real estate is land
and everything that is permanently attached to it)
land).

6 Supriadi, Hukum Agraria, (Jakarta : Sinar Grafika,


2007), hlm 2-3
7 Arthur P Crabtree, You and the law, Chapter VI
3

Real estate: Selama sesuatu (benda) itu terletak di


atas tanah (melekat pada
tanah)
Personal property : Apabila sesuatu (benda) itu
terlepas dari tanah8.
Berbeda dengan difinisi yang disampaikan oleh AP.
Parlindungan,
bahwa
beliau
memberikan
pengertian agraria dalam dua lingkup, yaitu dalam
arti sempit dan dalam arti luas. Dalam arti sempit
diartikan hak-hak atas tanah ataupun pertanian
saja, sedangkan pada pasal 1 dan pasal 2 UUPA
telah mengambil sikap dalam pengertian yang
meluas yaitu bumi, air, ruang angkasa, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.9
Pengertian agraria dalam arti sempit hanyalah
meliputi permukaan bumi yang disebut tanah,
sedangkan pengertian agraria dalam arti luas
adalah meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Pengertian tanah yang dimaksudkan di sini bukan
dalam pengertian fisik, melainkan tanah dalam
pengertian yuridis yaitu hak. Pengertian agraria
yang dimuat dalam UUPA adalah pengertian
agraria dalam arti luas.10yaitu permukaan bumi
8 Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas
Tanah, (Jakarta, Prenada Media, 2005), hlm. 3
9 A.P. Parlindungan, Komentar Atas UndangUndang Pokok Agraria, (Bandung: Mandar Maju,
1991), hlm 36
10 Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas
Tanah, hlm. 5
4

atau lapisan bumi yang diatas sekali. Pengertian


tanah diatur dalam pasal 4 UUPA sebagai berikut :
Atas dasar hak menguasai dari negara
sebagai yang dimaksud dalam pasal 2
ditentukan adanya macam-macam hak atas
permukaan bumi, yang disebut tanah yang
dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh
orang-orang baik sendiri maupun bersamasama dengan orang lain serta badan hukum.
Sehingga yang dimaksud dengan tanah
dalam pasal 4 UUPA ialah permukaan bumi, makna
permukaan bumi sebagai bagian dari tanah yang
dapat dihaki oleh setiap orang ataupun badan
hukum. Termasuk pula hak-hak yang timbul di atas
hak atas permukaan bumi (hak atas tanah)
termasuk bangunan dan benda-benda lain yang
berada di atasnya merupakan persoalan hukum.
Persoalan hukum yang dimaksud adalah persoalan
yang berkaitan dengan dianutnya asas-asas yang
berkaitan dengan hubungan antara tanah dengan
tanaman dan bangunan yang ada di atasnya.
Dalam hukum tanah dikenal dengan asas
accessie atau asas perlekatan. Makna asas
perlekatan, yakni bahwa bangunan-bangunan dan
benda-benda/tanaman yang terdapat di atasnya
merupakan satu kesatuan dengan tanah, serta
merupakan bagian dari tanah yang bersangkutan.
Dengan demikian yang termasuk pengertian hak
atas tanah meliputi juga pemilikan bangunan dan
tanaman yang ada di atas tanah yang dihaki,
kecuali kalau ada kesepakatan lain dengan pihak
lain (Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal

500 dan 571).11


Kitab Undang-undang Hukum
Perdata dianut asas perlekatan yaitu asas yang
melekatkan suatu benda pada benda pokoknya.
Asas perlekatan ini terdiri atas perlekatan
horizontal atau mendatar dan perlekatan vertikal.
Asas perlekatan tersebut di atur dalam perumusan
pasal 50012, pasal 50613 dan pasal 50714 KUH
Perdata.15
Berdasarkan asas asesi yang disampaikan R
Soebekti, bahwa benda-benda yang melekat pada
benda pokok, secara yuridis harus dianggap
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari benda
pokoknya.16 Sedangkan Kleyn mengatakan Lebih
tegas lagi asas asesi dapat ditemukan dalam
rumusan pasal 506 dan pasal 507 KUH Perdata,
yaitu dalam perumusan benda tidak bergerak di
mana disebutkan bahwa perlekatan dari suatu
benda tidak bergerak yang tertancap dan terpaku
pada benda tidak bergerakuanya, secara yuridis
harus dianggap sebagai benda tidak bergerak
pula. Perlekatan itu harus sedemikian rupa
11 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia,
Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid Hukum
Tanah, (Jakarta : Djambatan, 1994), hlm 4 dalam
Supriadi, Hukum Agraria, hlm. 3
12 Segala sesuatu yang termasuk dalam suatu
barang karena hukum perlekatan, begitu pula
segala hasilnya, baik hasil alam maupun hasil
kerajinan, selama melekat pada dahan atau
akarnya atau terpaut pada tanah, adalah bagian
dari barang itu.
6

sehingga apabila keduanya dipisahkan satu sama


lain, maka ini akan menimbulkan kerusakan
kepada salah satu atau kedua benda itu. Tetapi
apabila
pemisahan
itu
tidak
menimbulkan
kerusakan pada benda-bendaitu, maka ketentuan
tadi tidak berlaku. Pasal 500 KUH Perdata
menyebutkan bahwa hubungan antara kedua
13 Barang tak bergerak adalah (1) tanah
pekarangan dan apa yang didirikan di atasnya; (2)
penggilingan kecuali yang dibicarakan dalam pasal
510; (3) pohon dan tanaman ladang yang dengan
akarnya menancap dalam tanah, buah pohon yang
belum dipetik, demikian pula barang-barang
tambang seperti batu bara, sampah bara dan
sebagainya, selama barang-barang itu belum
dipisahkan dan digali dari tanah; (4) kayu belukar
dari hutan tebangan dan kayu dari pohon yang
tinggi, selama belum ditebang; (5) pipa dan
saluran yang digunakan untuk mengalirkan air dari
rumah atau pekarangan, dan pada umumnya
segala sesuatu yang tertancap dalam pekarangan
atau terpaku pada bangunan.
14 Yang termasuk barang tak bergerak karena
tujuan adalah (1) pada pabrik: barang hasil pabrik,
penggilingan, penempatan besi, ketel kukusan,
tempat api, jambangan, tong dan perkakasperkakas sebagainya yang termasuk bagian
pabrik, sekalipun barang itu tidak terpaku; (2)
pada perumahan: cermin, lukisan dan perhiasan
lainnya bila diletakkan pada papan atau pasang
7

benda itu harus terpaut sedemikian rupaseperti


dahan dengan akarnya.17
Berkaitan dengan asas asesi perlekatan di atas,
KUH Perdata selain ada asas perlekatan horizontal
yang diatur dalam pasal 589 dan 588 KUH Perdata
juga diatur dalam pasal 500 KUH Perdata. Pasal
588 KUH Perdata ditumuskan bahwa segala apa
yang melekat pada suatu barang atau yang
merupakan sebuah tubuh dengan barang itu
adalah milik orang yang menurut ketentuanketentuan tercantum dalam pasal-pasal berikut
batu yang merupakan bagian dinding, pagar atau
plesteran suatu ruangan sekalipun barang itu tidak
terpaku; (3) dalam pertanahan: lingkang atau
tumbuhan pupuk yang dipergunakan untuk
merabuk tanah, kawan burung merpati, sarang
burung yang biasa dimakan, selama belum
dikumpulkan, ikan yang ada di dalam kolam; (4)
runtuhan bangunan yang dirombak, bila
dipergunakan untuk pembangunan kembali; dan
umumnya semua barang yang oleh pemiliknya
dihubungkan dengan barang tidak bergerak yang
dipakai selamanya. Pemilik dianggap telah
menghubungkan barang-barang itu dilekatkan
padanya dengan penggalian, pekerjaan perkayuan
dan pemasangan batu semen, atau bila barangbarang itu tidak dapat dilepaskan tanpa
membongkar atau merusak barang itu atau bagian
dari barang tak bergerak di mana barang-barang
itu diletakkan.
15 Dalam Supriadi, Hukum Agraria, hlm. 4
8

dianggap sebagai pemiliknya. Sementara dalam


pasal 589 dinyatakan bahwa pulau besar dan
pulau kecil, yang terdapat disungai yang tidak
dapat dilayari atau diseberangi dengan rakit,
begitu pula dengan yang timbul dari endapan
lumpur di sungai seperti itu menjadi miliksi pemilik
tanah tepi sungai tempat tanah timbul itu terjadi.
Bila tidak berada pada salah satu dari kedua belah
sungai, pulau itu menjadi milik semua pemilik
tanah di kedua tepi sungai dengan garis yang
menurut perkiraan ada di tengah-tengah sungai
sebagai batas.
Di dalam KUH Perdata selain dikenal asas
perlekatan yang bersifat horizontal, dikenal pula
asas perlekatan vertikal yang diatur dalam pasal
571 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa hak
milik atas sebidang tanah meliputi hak milik atas
segala sesuatu yang ada di atasnya dan dalam
tanah itu.
Berbeda dengan ketentuan yang terdapat
dalam hukum adat yang dipergunakan sebagai
dasar berlakunya UUPA18yang dikenal dengan asas
pemisahan horizontal (horizontale scheiding),
bahwa kepemilikan antara bidang tanah dengan
benda-benda lain diatasnya bisa berlainan
kepemilikan. Sebagaimana pendapat Ter Haar yang
16 Soebekti, R., Kitab Undang-undang Hukum
Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983), dalam
Djuhaedah Hasan, dalam Supriadi, Hukum Agraria,
hlm. 4
17 Ibid, hlm 5
18 Pasal 5 UUPA
9

menyatakan bahwa tanah adalah terpisah dari


segala sesuatu yang melekat padanya
atau
pemilikan atas tanah terlepas dari benda yang
berada di atas tanah itu sehingga pemilik hak atas
tanah dan pemilik atas bangunan yang berada di
atasnya dapat berbeda. Lebih jauh Ter Haar
menyatakan bahwa di dalam hukum adat,
seseorang dapat menjadi pemilik pohon atau
rumah di atas milik orang lain. Hak untuk
mempunyai dan mendiami rumah di atas milik
orang lain di samping rumah pemilik pekarangan
(hak tersebut dapat dicabut kembali) disebut hak
menumpang pekarangan (recht als bijwoner),
sedangkan hak mempunyai dan mendiami rumah
di atas tanah milik orang lain yang tidak didiami
pemilik tanah disebut hak menumpang rumah
(recht als opwoner). Penumpang rumah atau
pekarangan disebut indung, lindung, penumpang
atau magersari.19 Sejalan dengan pendapat Ter
Haar, Van Dijk juga berpendapat bahwa hak atas
tanah dan segala benda yang berada di atas tanah
adalah dua soal yang berlainan, rumah dan
pekarangan, tanah dan tanaman masing-masing
mungkin menjadi milik orang.20
19 Ter Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat,
(Jakarta: Pradnya Paramita, 1960), hlm 54, lihat
pula Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas,
(Yogyakarta: Liberty, 1981), hlm. 117
20 Van Dijk, Pengantar Hukum Adat Indonesia,
dalam Djunaedah Hasan, Lembaga Jaminan
Kebendaan bagi Tanah dan Benda Lainnya yang
Melekat pada Tanah Dalam Konsep Penerapan
Asas Pemisahan Horizontal, (Bandung: Aditya
10

Sedangkan pengertian tanah dalam kamus


besar Bahasa Indonesia disebutkan pengertian
mengenai tanah adalah lapisan permukaan atau
lapisan bumi yang di atas sekali.Sedangkan dalam
UUPA, dibeberapa pasalnya menyatakan sebagai
berikut :
Pasal 1 UU No. 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menyebutkan
:
(1) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan
tanah air dan seluruh rakyat Indonesia
(2) Seluruh bumi, air, dan ruang angkasa,
termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia
sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah
bumi, air serta ruang angkasa bangsa
Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
(3) Hubungan antara bangsa Indonesia dengan
bumi, air serta ruang angkasa termaksud
dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang
bersifat abadi
(4) Dalam pengertian bumi, selain permukaan
bumi termasuk pula tubuh bumi di bawahnya
serta yang berada di bawah air
(5) Dalam pengertian air termasuk baik perairan
pedalaman maupun laut wilayah Indonesia
(6) Yang dimaksud dengan ruang angkasa ialah
ruang di atas bumi dan air tersebut dalam ayat
(4) dan (5) pasal ini.
Pasal 2 berbunyi :
(1) Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3)
UUD 1945 dan hal-hal yang termasuk dalam
pasal 1, maka bumi, air dan ruang angkasa
termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai
Bakti, 1996), hlm 84
11

oleh negara sebagai organisasi kekuasaan


seluruh rakyat.
(2) Hak menguasai dari negara dimaksud dalam
ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk :
a. Mengatur
dan
menyelenggarakan
peruntukan, penggunaan, persediaan, dan
pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa
tersebut
b. Menentukan dan mengatur hubunganhubungan antara orang-orang dengan
bumi, air, dan ruang angkasa tersebut
c. Menentukan dan mengatur hubunganhubungan
antara
orang-orang
dan
perbuatan-perbuatan
hukum
yang
mengenai air, bumi, dan ruang angkasa
(3) Wewenang
yang
bersumber
pada
hak
menguasai dari negara tersebut pada ayat (2)
pasal ini digunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan,
kesejahteraan
dan
kemerdekaan
dalam
masyarakat dan negara hukum Indonesia yang
merdeka, berdaulat, adil, dan makmur.
(4) Hak menguasai dari negara tersebut di atas
pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada
daerah-daerah swatantra dan masyarakat
Hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional,
menurut
ketentuan-ketentuan
Peraturan
Pemerintah.
Pasal 3:
Dengan mengingat ketentua-ketentuan dalam
pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak
yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat
hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya
masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai
dengan kepentingan nasional dan negara, yang
12

berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak


boleh bertentangan dengan undang-undang dan
peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Pasal 4
(1) Atas dasar hak menguasai negara sebagai
yang dimaksud dalam pasal ini ditentukan
adanya macam-macam hak atas permukaan
bumi, yang disebut tanah, yang dapat
diberikan kepada dan dipunyai oleh orangorang baik sendiri maupun bersama-sama
dengan orang lain serta Badan Hukum.
(2) Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat
(1) pasal ini memberi wewenang untuk
mempergunakan tanah yang bersangkutan,
demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang
angkasa yang ada di atasnya sekedar
diperlukan untuk kepentingan yang langsung
berhubungan dengan penggunaan tanah itu
dalam batas-batas menurut Undang-undang ini
dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih
tinggi.
(3) Selain hak-hak atas tanah sebagai yang
dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan
pula hak-hak atas air dan ruang angkasa.
Sesuai dengan bunyi pasal 2 ayat (1) Undangundang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria, maka pengertian
dan obyek Hukum Agraria meliputi : Bumi, Air,
dan Ruang Angkasa termasuk kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya yang pada saat
ini dikenal sebagai Sumber Daya Alam.
Ruang
lingkup
agraria/sumber
daya
agraria/sumber daya alam dapat dijelaskan
sebagai berikut :
1. Bumi
13

Pengertian bumi menurut pasal 1 ayat (4) UUPA


adalah permukaan bumi, termasuk pula tubuh
bumi di bawahnya serta yang berada di bawah
air. Permukaan bumi menurut pasal 4 ayat (1)
UUPA adalah tanah.
2. Air
Pengertian air menurut pasal 1 ayat (5) UUPA
adalah air yang berada di perairan pedalaman
maupun air yang berada di laut wilayah
Indonesia. Dalam pasal 1 angka 3 Undangundang No. 11 Tahun 1974 tentang Perairan
disebutkan bahwa pengertian air meliputi air
yang terdapat di dalam dan atau berasal dari
sumber-sumber air, baik yang terdapat di atas
maupun di bawah permukaan tanah, tetapi tidak
meliputi air yang terdapat di laut.
3. Ruang Angkasa
Pengertian ruang angkasa menurut pasal 1 ayat
(6) UUPA adalah ruang di atas bumi wilayah
Indonesia dan ruang di atas bumi wilayah
Indonesia. Pengertian ruang angkasa menurut
pasal 48 UUPA, ruang di atas bumi dan air yang
mengandung tenaga dan unsur-unsur yang
dapat
digunakan
untuk
usaha-usaha
memelihara
dan
memperkembangkan
kesuburan bumi, air serta kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dan hal-hal lain yang
bersangkutan dengan itu.
4. Kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
Kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi
disebutbahan, yaitu unsur-unsur kimia, mineralmineral, bijih-bijih dan segala macam batuan,
termasuk batuan-batuan mulia yang merupakan
endapan-endapan alam (UU No. 11 Tahun 1967

14

tentang
Ketentuan-ketentuan
Pertambangan).21

Pokok

1.2

Pengertian Hukum Agraria


Soedikno Mertokusumo berpendapat bahwa
hukum agraria adalah keseluruhan kaidah-kaidah
hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak
tertulis yang mengatur agraria.22 Kaidah hukum
yang tertulis adalah Hukum Agraria dalam bentuk
Undang-Undang dan peraturan-peraturan tertulis
lainnya yang dibuat oleh negara, sedangkan
kaidah hukum yang tidak tertulis adalah hukum
agraria dalam bentuk hukum adat agraria yang
dibuat oleh masyarakat adat setempat dan yang
pertumbuhan serta berlakunya dipertahankan oleh
masyarakat adat yang bersangkutan.23
Undang-undang Pokok Agraria (Undangundang No. 5 Tahun 1960, tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria) yang mulai berlaku di seluruh
wilayah tanah air semenjak diundangkannya yaitu
pada tanggal 24 September 1960. Namun
pelaksanaan secara bertahap, sebab pada masingmasing daerah di Indonesia ini masih banyak
21 Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas
Tanah, hlm. 3
22 Soedikno Mertokusumo, Hukum dan Politik
Agraria, (Jakarta : Karunika Universitas Terbuka,
1988), hlm. 12
23 Bachsan Mustofa, Hukum Agraria dalam
Perspektif, (Bandung: Remadja Karya, 1988), hlm.
11
15

berlaku hukum tanah adat yang kadang-kadang


justru masih sangat dominan. Oleh sebab itu
pelaksanaan UUPA harus masih hati-hati, agar
jangan sampai hukum tanah adat tersebut hilang
sama sekali padahal masih dapat digunakan.
UUPA ini hanya mengatur masalah tanah
secara garis besar saja, sedang yang mendetail
akan diatur oleh peraturan pelaksanaannya.
Sedangkan menurut Soebekti dan R. Tjitrosoedibio,
Hukum
Agraria
(Agrarisch
Recht)
adalah
keseluruhan dari ketentuan-ketentuan hukum, baik
Hukum Perdata, maupun Hukum Tata Negara
(staatsrecht) maupun pula Hukum Tata Usaha
Negara
(Administratifrecht)
yang
mengatur
hubungan-hubungan antara orang termasuk badan
hukum dengan bumi, air dan ruang angkasa dalam
seluruh wilayah negara dan mengatur pula
wewenang-wewenangyang
bersumber
pada
hubungan-hubungan tersebut.24
Boedi Harsono menyatakan Hukum Agraria
bukan hanya merupakan satu perangkat bidang
Hukum. Hukum Agaria merupakan satu kelompok
berbagai bidang hukum, yang masing-masing
mengatur hak-hak penguasaan atas sumbersumber daya alam tertentu yang termasuk
pengertian agraria. Kelompok berbagai bidang
hukum tersebut terdiri atas :
1. Hukum
Tanah,
yang
mengatur
hak-hak
penguasaan atas tanah, dalam arti permukaan
bumi.
24 Soebekti dan R Tjitrosoedibio, Kamus Hukum,
(Jakarta: Pradnya Paramita, 1983), hlm. 55 dalam
Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas
Tanah, hlm. 6
16

2. Hukum air, yang mengatur hak-hak penguasaan


atas air.
3. Hukum pertambangan, yang mengatur hak-hak
penguasaan atas bahan-bahan galian yang
dimaksudkan
oleh
Undang-Undang
Pokok
Agraria.
4. Hukum Perikanan, yang mengatur hak-hak
penguasaan
atas
kekayaan
alam
yang
terkandung di dalam air.
5. Hukum penguasaan atas tenaga dan unsurunsur dalam ruang angkasa, mengatur hak-hak
penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam
ruang angkasa yang dimaksudkan oleh pasal 48
UUPA.25

BAB II
Hubungan Negara dengan Sumber Daya
Agraria
25 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah
Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan
Pelaksanaannya, Jilid Hukum Tanah, hlm. 8 dalam Urip
Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, hlm. 6

17

Tanah
khususnya
bagi
masyarakat
Indonesia mempunyai kedudukan sentral, baik
sebagai sumber daya produksi maupun sebagai
tempat permukiman, oleh karena itu masalah
tanah
selalu
mendapat
perhatian
dan
penanganan yang khusus. Hubungan manusia
dengan tanah tidak dapat dilepaskan begitu
saja, mulai lahir sampai matipun manusia selalu
berhubungan dengan tanah. Tanah merupakan
kebutuhan vital manusia, ada pepatah jawa
yang berbunyi sedumuk bathuk sanyari bumi
yang artinya walaupun hanya sejengkal tanah
dipertahankan sampai mati.26 Begitu pula bagi
masyarakat Madura dan masyarakat diseluruh
Indonesia,
persoalan
tanah
merupakan
persoalan harga diri. Setiap terjadi keputusan
hakim di Pengadian Negeri tentang kasus tanah
bagi pihak yang kalah di Pengadilan akan terus
berjuang sampai upaya hukum terakhir.
Utamanya
di
era
pembangunan
ini,
pembangunan menjangkau segala macam
aktivitas dalam membangun manusia Indonesia
seutuhnya yang membutuhkan tanah sebagai
lahan pembangunan.
Setiap pembangunan dalam rangka untuk
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat,
selalu memerlukan tanah. Demikian pula bagi
seluruh lapisan masyarakat, dalam rangka
untuk
meningkatkan
kualitas
hidupnya
memerlukan pula tanah, gejala hubungan
antara manusia dengan tanah ini dilihat dari
satu sudut ; manusia semakin lama semakin
meningkat mutu dan jumlahnya (kualitas dan
26 Mudjiono, Politik dan Hukum Agraria,
(Yogyakarta: Liberty, 1997), hlm. 20
18

kuantitasnya), sehingga kebutuhan manusia


akan tanah semakin bertambah pula.
Kebutuhan akan tanah sangat tinggi
bahkan menduduki porsi teratas, sebagaimana
yang
disampaikan
oleh
Soedjarwo
Soeromihardjo :
Bahwa
tanah merupakan salah satu
sumber daya alami penghasil barang dan
jasa, merupakan kebutuhan yang hakiki
dan berfungsi sangat esensial bagi
kehidupan dan penghidupan manusia,
bahkan menentukan peradaban sesuatu
bangsa. Peradaban itu akan berlangsung
kebesarannya
selama
bangsa
itu
menggunakan
tanahnya
secara
bijaksana.27
Begitu pula menurut pendapat Iman
Sudiyat, yang menyatakan bahwa:
Sebagai
salah
satu
unsur
esensial
pembentuk negara, tanah memegang
peranan vital dalam kehidupan dan
penghidupan bangsa pendukung negara
yang bersangkutan, lebih-lebih yang corak
agrarisnya mendominasi. Di negara yang
rakyatnya
berhasrat
melaksanakan
demokrasi yang berkeadilan
sosial,
pemanfaatan
tanah
untuk
sebesarbesarnya kemakmuran rakyat merupakan
suatu conditio sine quanon.28
27 Soedjarwo Soeromihardjo, Produktifitas Lahan
Pertanian Rakyat Dalam Wilayah Kecamatan di
Provinsi Sumatera Utara, (Malang : Penelitian
Universitas Brawijaya Malang, 1985), hlm 1.
19

Hubungan antara manusia dengan tanah


sangat erat, sehingga untuk menata hubungan
dimaksud,
pemerintah
menyelenggarakan
pendataan penguasaan tanah yang selalu
mutakhir,
terutama
untuk
keperluan
perpajakan, perencanaan dan pengawasan
serta dibalik itu juga bagi masyarakat
memberikan
jaminan
kepastian
hukum
mengenai hak-hak atas tanah.29Tanah sebagai
suatu kebutuhan yang penting bagi manusia
mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai Social
Asset dan Capital Asset.30Sosial Asset diartikan
bahwa tanah dikalangan masyarakat hukum
adat Indonesia merupakan sarana pengikat
kesatuan sosial untuk hidup dan berkehidupan
di atas tanah, sedangkan sebagai Capital Asset
maksudnya tanah merupakan faktor yang
sangat penting sebagai modal pembangunan.
28 Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan,
Kewenangan Pemerintah dibidang Pertanahan,
(Jakarta : Rajawali Pers, 2008), hal 2 lihat juga
Iman Sudiyat, Hukum Adat, Sketsa Asas,
(Yogyakarta : Liberty, 1978), hlm. 1
29 Direktorat Jendral Agraria direktorat
Pendaftaran Tanah Badan Pertanahan Nasional,
Pendaftaran Tanah Dalam Era Pembangunan,
(Jakarta : t.p, 1986), hlm 21.
30 Hermayulis, Aspek-aspek Hukum Hak Pakai
Atas Tanah Negara Sebagai Objek Jaminan,
Majalah Hukum Bisnis, 1999.
20

Dalam pembangunan banyak terjadi


overlapping antara fungsi tanah sebagai sosial
asset dan tanah sebagai capital asset. Dilema
yang dihadapi dalam kehidupan bernegara di
Indonesia berkaitan dengan fungsi tanah
adalah dalam penetapan mana dari kedua
fungsi tersebut yang akan lebih diutamakan. 31
Penetapannya akan sangat ditentukan oleh
politik hukum pertanahan yang ditetapkan
bersama oleh masyarakat.
Datangnya penjajah di Indonesia, telah
membuat berbagai perubahan di Indonesia baik
dalam soal pemilikan Hak Atas Tanah maupun
persoalan kepastian hukum atau ketentuan
hukumnya, sebagai contoh pelaksanaan politik
pertanahan yang dijalankan dengan cara
menjual tanah kepada orang-orang yang
mempunyai modal besar terutama Tionghoa,
Arab dan Belanda, yang selanjutnya disebut
dengan tanah partikelir. Berdasarkan politik
ini Belanda melahirkan tuan-tuan tanah yang
menindas rakyat dan muncullah semacam
negara-negara kecil dan rakyat di wilayahnya
diperlakukan sebagai budak-budak.32 Setelah
Indonesia merdeka,
akibat hukum yang
ditimbulkan oleh sistem hukum kolonial
tersebut sampai saat ini masih menimbulkan
suatu permasalahan yang masih belum dapat
terselesaikan. Politik pemerintahanpun juga
menciptakan suatu kondisi yang lebih terang.
Pada jaman Orde Baru, masyarakat bungkam
tidak berani untuk menyuarakan apa yang
31Ibid, hlm. 49
32 Ibid, hlm. 18 - 19
21

menurut mereka menjadi haknya, akan tetapi


begitu
kran
reformasi
dibuka
berbagai
persoalan tanah diungkap seperti kasus
penggaraman
di
pulau
Madura,
kasus
Jenggawah di Jember. Persoalan
tersebut
hingga kini juga belum dapat terselesaikan.
Rakyat
melakukan
gerakan-gerakan
penuntutan untuk pengembalian lahan yang
menurut mereka merupakan tanah nenek
moyang mereka hasil membuka hutan, karena
pada masa Hindia Belanda ada asas yang
dikenal
dengan
Domeinverklaring33
yang
dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda,
maka lahan tersebut jatuh pada negara, saat
itu Hindia Belanda,
untuk selanjutnya
pemerintah kolonial dapat menyewakan tanahtanah kepada perusahaan onderneming dengan
skala besar.34
Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960, tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor
33 Domein Verklaring : barang siapa yang tidak
dapat menunjukkan tanah tersebut adalah haknya
(bukti kepemilikan),maka tanah itu jatuh pada
negara. Pada masa itu tertib administrasi
pertanahan di Desa tidak seperti yang ada
sekarang. Saling percaya antar sesama warga
masih dijunjung tinggi.
34 Andrian Sutedi, Implementasi Prinsip
Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah
Untuk Pembangunan,(Jakarta : Sinar Grafika,
2007), hlm. 8
22

104 selanjutnya disingkat UUPA merupakan


suatu cerminan politik hukum agraria nasional,
yang ternyata lebih mengutamakan fungsi
tanah sebagai capital asset pembangunan
daripada sosial asset. Indonesia yang terdiri
dari beraneka ragam suku bangsa ternyata
mempunyai
kehidupan
komunal
atau
kebersamaan yang sangat kuat di dalam
masyarakat hukum adat. Tentunya tanah yang
dikuasai oleh masyarakat adat tersebut tidak
hanya mengandung fungsi sebagai kapital
asset akan tetapi justru yang paling utama
adalah sebagai sosial asset.35
Refleksi dari politik hukum agraria yang
terdapat
dalam
UUPA,
mengakibatkan
masyarakat hukum adat seringkali terabaikan
hak-haknya. Padahal sebelum UUPA lahir, hak
ulayat masyarakat yang mencakup seluruh
tanah di wilayah masyarakat hukum adat
tersebut seperti nagari desa, marga, huta dan
sebagainya, baik yang telah dikuasai dan
didayagunakan maupun dalam bentuk tanah
kosong menjadi hak masyarakat secara penuh.
Lahirnya UUPA,
tanggal 24 September
1960 sebagai tonggak sejarah berlakunya
hukum tanah nasional, yang secara otomatis
menghapus aturan yang bersifat dualisme36,
dan UUPA merupakan unifikasi hukum tanah
nasional. UUPA berasaskan pada hukum adat 37,
yaitu hukum adat yang telah disaring atau
35 Fifi Junita, Hak Ulayat Hukum Adat Setelah
Berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960
Tentang Pokok-Pokok Ketentuan Agraria, Yuridika,
Volume 16 No. 5 September 2001, Fak. Hukum
Unair Surabaya, 2001, hlm. 490
23

disaneer dan sesuai dengan jiwa bangsa


Indonesia. Hukum adat yang menjadi dasar
hukum agraria nasional harus memenuhi
syarat-syarat :
a. tidak boleh bertentangan dengan
tujuan
nasional
dan
negara
berdasarkan atas persatuan bangsa;
b. tidak boleh bertentangan dengan
sosialisme Indonesia;
c. tidak boleh bertentangan dengan
peraturan yang tercantum dalam
Undang-Undang Pokok Agraria; dan
d. tidak boleh bertentangan dengan
peraturan-peraturan perundangan yang
berlaku.38
Dalam konsideran UUPA, yang berbunyi
sebagai berikut bahwa diperlukan adanya
Hukum Agraria Nasional berdasarkan atas
Hukum Adat tentang tanah yang sederhana dan
menjamin kepastian hukum bagi seluruh
rakyat. Jelas sekali bahwa UUPA masih
mengenal prinsip pengakuan terhadap Hak
36 Dualisme hukum yang berlaku sebelum UUPA
lahir, maksudnya pada garis besarnya ada dua
aturan hukum yang berlaku pada saat itu yaitu
selain hukum adat juga diberlakukan hukum barat
yang bersumber pada BW (Burgelijk Wetboek)
37Lihat penjelasan pasal 5 UUPA
38 Soetomo, Politik dan Administrasi Agraria,
(Surabaya: Usaha Nasional, 1986), hlm. 34 - 35
24

Ulayat dan hak-hak serupa dari masyarakat


hukum adat, hal ini dapat kita lihat dalam
ketentuan pasal 3 UUPA, begitu pula dalam
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999,
tentang Penyelesaian Masalah Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat.
Pasal 3 UUPA, berbunyi :
Dengan mengingat ketentuan-ketentuan
dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak
ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari
masyarakat-masyarakat
hukum
adat,
sepanjang kenyataannya masih ada, harus
sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan Negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa serta
tidak boleh bertentangan dengan undangundang dan peraturan-peraturan lain yang
lebih tinggi.
Selanjutnya dalam penjelasan pasal 3
UUPA ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan
hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu ialah
apa yang didalam perpustakaan adat disebut
beschikkingsrecht.
Beschikkingsrecht adalah suatu hak yang
tidak dapat dipecah-pecahkan, memiliki
dasar religius dan tidak ada sangkut
pautnya dengan hukum perdata Belanda,
yang termuat dalam Burgelijk Wetboek.
Hak Bechikken atas tanah itu hanya dapat
dimiliki
oleh
persekutuan
hukum
(gemeenschappen)
dan
tidak
dapat
dimiliki oleh perorangan. Hak ini tidak
dapat dilepaskan untuk selama-lamanya;
jika hak ini dilepaskan untuk sementara,
maka wajib dibayar kerugian-kerugian
25

karena hilangnya penghasilan-peghasilan


sebelumnya maupun pajak-pajak yang
menurut hukum adat setempat harus
diserahkan kepada persekutuan pemilik
tanah itu.39
Pelaksanaan penguasaan tanah ulayat
didasarkan pada ketentuan pasal 2 Peraturan
Menteri Negara Agrarian/Kepala BPN No. 5
Tahun 1999 :
(1)
Pelaksanaan Hak Ulayat sepanjang
pada kenyataan masih ada dilakukan
oleh masyarakat hukum adat yang
bersangkutan
menurut
ketentuan
hukum adat setempat.
(2)
Hak Ulayat masyarakat hukum adat
dianggap masih ada apabila :
a. terdapat sekelompok orang yang
masih
terikat
oleh
tatanan
hukum adatnya sebagai warga
bersama
suatu
persekutuan
hukum tertentu, yang mengakui
dan
menerapkan
ketentuan39 Fifi Junita,Hak Ulayat Hukum Adat Setelah
Berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960
Tentang Pokok-Pokok Ketentuan Agraria, hlm. 491,
yang dikutip dari Maria R. Ruwiastutik, Perubahan
Politik, Sengketa dan Agenda Pembaharuan
Agraria di Indonesia, Reformasi Agraria, (Jakarta:
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, 1997), hlm.61, dikutip dari Van
Vollenhoven, Eeng Adat Wetboekje voor hell
Indonesie, 1925, dikutip dari Dirman, Perundangundangan Agraria di Seluruh Indonesia, 1952.
26

ketentuan persekutuan tersebut


dalam kehidupannya sehari-hari.
b. terdapat tanah ulayat tertentu
yang menjadi lingkungan hidup
para warga persekutuan hukum
tersebut
dan
tempatnya
mengambil keperluan hidupnya
sehari-hari, dan
c. terdapat tatanan hukum adat
mengenai
pengurusan,
penguasaan dan penggunaan
tanah ulayat yang berlaku dan
ditaati
oleh
para
warga
persekutuan hukum tersebut.
Menurut pendapat Maria S.W. Sumardjono,
bahwa hak ulayat menunjukkan hubungan
hukum antara masyarakat hukum (subyek hak)
dan tanah/wilayah tertentu (obyek hak). Hak
Ulayat tersebut berisi wewenang untuk :
(1)
mengatur dan menyelenggarakan
penggunaan
tanah
(untuk
permukiman, bercocok tanam, dan
lain-lain), persediaan (pembuatan
permukiman/persawahan baru dan
lain-lain), dan pemeliharaan tanah;
(2)
mengatur dan menentukan hubungan
hukum antara orang dengan tanah
(memberikan hak tertentu pada
subyek tertentu); dan
(3)
mengatur dan menetapkan hubungan
hukum
antara
orang-orang
dan
perbuatan-perbuatan hukum yang
berkenaan dengan tanah (jual beli,
warisan, dan lain-lain).
Isi
wewenang
hak
ulayat
tersebut
menyatakan bahwa hubungan antara
27

masyarakat
hukum
adat
dan
tanah/wilayahnya
adalah
hubungan
menguasai,
bukan
hubungan
milik
sebagaimana
halnya
dalam
konsep
hubungan antara negara dan tanah
menurut Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945.40
Konsep hak menguasai oleh negara,
negara
memperoleh
kewenangan
untuk
menguasai tanah yang diberikan oleh seluruh
rakyat
(bangsa) dengan tujuan untuk
melindungi dan memelihara kepentingan warga
menyarakat.41 Disampaikan pula oleh Maria
Sriwulani Sumardjono pada pidato pengukuhan
jabatan guru besar, bahwa :
sebagai
perwujudan
hubungan
penguasaan dan bukan pemilikan antara
negara dengan tanah, maka setiap
tindakan harus didasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Bila
hal ini dilanggar, akan menimbulkan kesan
bahwa negara bukan sebagai pengelola
tetapi sebagai pemilik. Sebagai contoh
adalah penjualan aset negara berupa
tanah oleh instansi yang menguasainya
40 Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan
Antara Regulasi dan Implementasi, Cet IV, (Jakarta:
PT. Kompas Media Nusantara, 2006), hlm. 56-57.
41 Maria Sriwulani Sumardjono, Kewenangan
Negara Untuk Mengatur Dalam Konsep
Penguasaan Tanah Oleh Negara, Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada.
28

tanpa memenuhi ketentuan yang ada atau


tindakan pengambilalihan tanah tanpa
memperhatikan
isi
atau
jiwa
dari
ketentuan yang mengaturnya.42
Berlakunya UUPA tentunya menjadi suatu
pertanyaan besar yang perlu diteliti dan
dianalisis tentang eksistensi Hak Ulayat dengan
berpedoman pada beberapa perangkat aturan
hukum. Kriteria penentu untuk melihat masih
ada atau tidaknya hak ulayat harus dilihat
pada tiga hal, yakni :
(1)
adanya masyarakat hukum adat yang
memenuhi ciri-ciri tertentu subyek
hak ulayat.
(2)
adanya tanah/wilayah dengan batasbatas tertentu sebagai Lebensraum
yang merupakan obyek hak ulayat;
dan
(3)
adanya
kewenangan
masyarakat
hukum
adat
untuk
melakukan
tindakan-tindakan
tertentu
sebagaimana diuraikan di atas.43
Atas dasar perintah pasal 33 ayat (3) UUD
1945, yang menyebutkan bahwa Bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kalimat
dikuasai oleh negara mengandung makna dan
tanggung jawab yang besar dari negara atas
kemakmuran
seluruh
rakyat
Indonesia.
42Ibid
43 Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan
Antara Regulasi dan Implementasi, hlm. 57.
29

Selanjutnya amanat pasal 33 ayat (3)


dijabarkan ke dalam pasal 2 UUPA, yang
berbunyi sebagai berikut :
1.
Atas dasar ketentuan dalam pasal
33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945
dan hal-hal yang dimaksud dalam pasal
1, bumi, air dan ruang angkasa
termasuk
kekayaan
alam
yang
terkandung di dalamnya itu pada
tingkatan
tertinggi
dikuasai
oleh
negara, sebagai organisasi kekuasaan
seluruh rakyat.
2.
Hak menguasai negara termaksud
dalam ayat (3) Undang-Undang Dasar
1945 dan hal-hal sebagai dimaksud
dalam pasal 1 memberi wewenang
untuk:
a. mengatur dan menyelenggarakan
peruntukan,
penggunaan,
persediaan bumi, air dan ruang
angkasa tersebut, menentukan dan
mengatur
hubungan-hubungan
hukum antara orang-orang dengan
bumi, air dan ruang angkasa.
b. menentukan
dan
mengatur
hubungan-hubungan hukum antar
orang-orang dengan bumi, air, dan
ruang angkasa tersebut.
c. menentukan
dan
mengatur
hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan hukum
yang mengenai bumi, air dan ruang
angkasa; dan
3.
wewenang yang bersumber pada hak
menguasai negara tersebut pada ayat
(3) pasal ini digunakan untuk mencapai
sebesar-besar
kemakmuran
rakyat
30

dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan,


dan kemerdekaan dalam masyarakat
dan negara hukum Indonesia menurut
ketentuan Peraturan Pemerintah.44
Negara
berkewajiban
dalam
rangka
memberikan pengaturan dan perlindungan hak
atas tanah, baik berkenaan dengan peruntukan,
penggunaan, pemeliharaan serta pengaturan
dan kepastian hukum atas hubungan hukum
antara bidang tanah dengan pemegangnya
(subyek hukum) dan atas perbuatan-perbuatan
hukum yang dilakukan oleh subyek hukum
terhadap hak atas tanah. Hal tersebut
dilakukan dalam rangka menuju terwujudnya
kepastian hukum sehingga meminimalisir
terjadinya sengketa tanah.
2.1 Konsepsi Hak Barat
Hukum
agraria
barat
berjiwa
liberal
individualistik, sehubungan dengan dianutnya asas
konkordansi di dalam penyusunan perundangundangan Hindia dulu, KUH Perdata Indonesia juga
konkordansi dengan Burgerlijk Wetboek Belanda.
Burgerlijk Wetboek Belanda itu disusun berdasarkan
Code
Civil
Perancis,
yang
merupakan
pengkodifikasian hukum perdata Perancis sesudah
Revolusi Perancis tahun 1789.45 Karena ketemtuan44 H. Mohammad Hatta, Hukum Tanah Nasional
Dalam Perspektif Negara Kesatuan, (Yogyakarta:
Media Abadi, 2005), hlm. 2.
45 Eddy Ruchiyat, Politik Pertanahan Nasional
Sampai Orde Reformasi, (Bandung: PT. Alumni,
2006), hlm 7
31

ketentuan pokok dan asas-asas hukum agraria Barat


berjiwa liberal individualistik karena Revolusi
Perancis
itu
suatu
revolusi
borjuis,
yang
berjiwaliberal individualistis. Karena itu mudah
dipahami jika KUH Perdata Indonesiapun melalui
Burgerlijk Wetboek dan Code Civil Perancis pasti
berjiwa liberal individualistis.
Ketentuan-ketentuan
hukum
agraria
berpangkal dan berpusat pada individu serta
pengertian hak eigendom sebagai hak atas benda,
yaitu tanah yang penuh dan mutlak. Menurut pasal
570 KUH Perdata, hak eigendom itu adalah hak yang
memberi wewenang penuh untuk menikmati
kegunaan sesuatu benda (tanah) untuk berbuat
bebas terhadap benda (tanah) itu dengan
kekuasaan penuh, sepanjang tidak bertentangan
dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan
lainnya
yang
ditetapkan
oleh
badan-badan
penguasa yang berwenang dan tidak mengganggu
hak-hak orang lain.46
Sesuai
dengan
jiwa
liberalisme
dan
individualisme yang meliputi seluruh isi KUH
Perdata, pembatasan-pembatasan yang diadakan
dengan undang-undang dan peraturan-peraturan
lainnya terhadap hak eigendom itu semula tidak
seberapa banyaknya. Sedang pembatasan oleh hakhak orang lain juga ditafsirkan sangat sempit dan
ligistis.47 Dengan demikian, hak eigendom yang
merupakan pusat dari hukum agraria Barat itu
benar-benar merupakan hak yang memberi
wewenang
yang
sepenuhnya
kepada
yang
mempunyai benda (eigenaar) umtuk berbuat bebas
dengan benda yang bersangkutan. Mengingat apa
yang disebutkan di atas ia bebas di dalam
mempergunakan atau mengambil manfaat dari
46 Ibid, hlm 8
32

benda
itu
dan
bebas
untuk
tidak
mempergunakannya.48
Kepentingan
pribadilah
yang
menjadi
pedoman, bukan kepentingan masyarakat. Konsepsi
eigendom memang berpangkal pada adanya
kebebasan individu, kebebasan untuk berusaha dan
kebebasan untuk bersaing. Namun kemudian
terjadilah perubahan di dalam alam pikiran
masyarakat Barat. Masyarakat yang berkonsepsi
liberalisme dan individualisme itu mengalami
pengaruh dari konsepsi sosialisme, yang untuk
mencapai masyarakat yang adil dan makmur
menuntut supaya negara memperhatikan dan
mengatur
kehidupan
masyarakat,
sehingga
dianggap perlu untuk membatasi kebebasan
individu. Konsepsi itu berpengaruh juga pada isi hak
eigendom yang pada kenyataannya berakibat
membatasi luasnya kebebasan dan wewenangwewenang yang ada pada seorang eigenar. Hak
eigendom tidak lagi bersifat mutlak, seorang
eigenar tidak lagi mempunyai kebebasan penuh
untuk berbuat dengan benda yang dimilikinya.
Kepentingan masyarakat lebih mendapat perhatian
di dalam melaksanakan hak-hak individu, yang
dikenal dengan vermaatschappelijkt, mengandung
pula unsur-unsur socialiseringspreces.49

47 Notonagoro, Politik Hukum dan Pembangunan


Agraria di Indonesia, (Jakarta: CV. Pancuran Tujuh,
1974), hlm 32 dalam Eddy Ruchiyat, Politik
Pertanahan Nasional Sampai Orde Reformasi, hlm
8
48 Ibid, hlm. 8
33

Perkembangan
yurisprudensipun
menunjukkan perubahan, misalnya Arrest Hoge
Raad Belanda tanggal 31 Januari 1919 yang
memberikan
tafsiran
yang
berlainan
pada
pengertian onrechmatige daad (perbuatan melawan
hukum) daripada arrest yang disebut di atas. Arrest
tanggal 31 Januari 1919 itu kemudian menjadi
standaard-arrest atau yurisprudensi tetap.
Tetapi biarpun demikian pada asasnya
jiwanya masih tetap individualistis, sehingga tidak
sesuai bahkan bertentangan dengan konsepsi
Pancasila yang berjiwa gotong royong dan
kekeluargaan, yang menjiwai hukum nasional. Oleh
karena itu, hukum agraria Barat inipun tidak dapat
terus dipertahankan. 50
2.2

Konsepsi Hak Adat


Dalam hukum tanah adat kita kenal
konsepsi komunalistik religius, yang memberi
makna bahwa tanah adat adalah tanah milik
bersama yang diberikan oleh Tuhan untuk
dapat dinikmati secara bersama-sama.
Ada
beberapa
bentuk
atau
status
penguasaan tanah tradisional, yaitu :
(a)
tanah yasan, yasa atau yoso yaitu
tanah dimana hak seseorang atas
tanah itu berasal dari kenyataan bahwa
dia atau leluhurnyalah yang pertama-

49 Ibid hlm 9
50 Notonagoro, Politik Hukum dan Pembangunan
Agraria di Indonesia, hlm 39 dalam Eddy Ruchiyat,
Politik Pertanahan Nasional Sampai Orde
Reformasi, hlm 9
34

(b)

(c)

(d)

tama membuka atau mengerjakan


tanah tersebut. Hak atas tanah ini
memperoleh status legal dalam UUPA1960 sebagai tanah milik;
tanah Norowito, gogolan, pekulen,
playangan, kesikepan, dan sejenisnya
adalah tanah pertanian milik bersama,
yang daripadanya para warga desa
dapat
memperoleh
bagian
untuk
digarap, baik secara bergilir maupun
secara tetap, dengan syarat-syarat
tertentu. Untuk memperoleh hak garap
itu, umumnya diperlukan syarat bahwa
si calon itu harus sudah kawin,
mempunyai rumah dan pekarangan,
serta bersedia melakukan kerja wajib
bagi desa. Dalam konsep Barat, tanah
ini dapat dikategorikan sebagai tanah
milik komunal. Dalam UUPA-1960, hak
atas tanah ini diubah statusnya
menjadi tanah milik bagi penggarapnya
yang terakhir;
tanah titisara, bondo deso, kas desa
adalah tanah milik desa yang biasanya
disewakan, disakapkan, dengan cara
dilelangkepada
siapa
yang
mau
menggarapnya. Hasilnya dipergunakan
sebagai
anggaran
rutin
ataupun
pemeliharaan
desa
seperti
memperbaiki jembatan, jalan, mesjid
dan sebagainya; dan
tanah bengkok, yaitu tanah milik desa
yang diperuntukkan bagi pejabat desa
terutama
lurah,
yang
hasilnya
dianggap sebagai gaji selama mereka
menduduki jabatan itu. Tanah bengkok
dan tanah titisara ini dalam konsep
35

Barat
dapat
digolongkan
dalam
kategori tanah yang tunduk kepada
pengawasan komunal. Dalam UUPA1960
kedua-duanya
tetap
diakui
adanya.51
Menurut C. van Vollenhoven, tanah
komunal itu bukan milik desa, tetapi dikuasai
desa, sedangkan setiap pemakaian bagian
tanah komunal (gogol) sebagai individu harus
tunduk kepada penguasaan desa. Tanah dari
gogol harus dibedakan dengan tanah milik
desa, yang sebenarnya, hak gogol itu adalah
hak perseorangan (individueel bezit), tetapi
dikuasai oleh hak penguasaan yang lebih luas
(ingeklem bezitsrecht). Hak dari seseorang
anggota komunal desa atau gogol52 atas
sebidang tanah bagian dari tanah komunal
adalah merupakan hak pakai yang dapat
bersifat tetap atau turun-temurun, dan bila

51 Sediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan


Wiradi (Penyunting), Dua Abad Penguasaan Tanah
Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari
Masa ke Masa, (Jakarta: PT. Gramedia, 1984), hlm.
293 - 295
52Ada dua macam gogolan : gogolan yang bersifat
tetap yang mempunyai akibat hukum setelah
berlakunya UUPA dapat dikonversi menjadi Hak
Milik sedangkan gogolan tidak tetap atau gilir yang
setelah berlakunya UUPA dapat dikonversi menjadi
Hak Pakai
36

kepala
adat
desa
mengijinkan
dapat
dilepaskan.53
Selanjutnya hak pakai tersebut akan
berubah menjadi yasan, bila hak pertuanan
tidak nampak lagi, seperti yang telah dialami di
Kedu dan Bagelen. Selama tidak menjadi yasan,
tanah komunal dikuasai oleh desa dan oleh
anggota komunal (gogol).54 Baik tanah desa
maupun gogol merupakan tanah komunal,
bilamana gogol meninggalkan hak pakainya
demi kepentingan desa, maka menjadi tanah
bengkok atau titisara. Dapat disimpulkan, maka
dengan semakin menguatnya hak perorangan,
maka akan menyebabkan semakin lemahnya
hak komunal.
Dalam masyarakat adat terdapat tiga
macam hak komunal, sebagai berikut :
1. hak memakai bagian yang tetap
(communal bezit metvaste aandelen),
yaitu setiap orang yang berhak atas
tanah komunal, mempunyai hak untuk
memakai yang menjadi bagiannya
secara tetap. Bila bagian yang tetap
tersebut bersifat turun-temurun, seperti
di Jawa Tengah serta boleh dilepaskan
(jual atau diberikan) kepada orang dari
desa lain, maka hanya ada perbedaan
menurut teori saja dengan milik yang
bebas (yasan). Bagian yang tetap dari
tanah
komunal
tersebut
disebut
pakulen matok dan norowito matok;
53Ibid, hlm 68.
54Ibid
37

2. hak pemakaian bagian sawah berkala


(periodieke verdeling), baik subyek dan
obyek dari hak komunal tetap, namun
bagiannya yang berganti-ganti; dan
3. hak bagian atas pemakaian berkala
yang
berganti-ganti
(periodieke
verwisseling) adalah pembagian jangka
waktu tiga sampai enam tahun, baik
subyek dan obyeknya dapat bergantiganti. Dalam hal pembagian berkala
pada waktu yang ditentukan diadakan
pembagian
baru
diantara
para
pemakai. Pada umumnya pemakai tidak
berubah, tapi ada kalanya masuk
pemakai baru, sehingga luas masingmasing pembagian tanah tersebut
menjadi berkurang.55
2.3

Pengerian Hak Menguasai Negara


Setelah Indonesia Merdeka, dengan
ditandai diikrarkannya melalui Proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17
Agustus 1945, ada keinginan yang kuat dari
para elit politik untuk melakukan perubahan
terhadap bangunan hukum tanah kolonial yang
berkonsepsi
mengabdi
pada kepentingan
penjajah
Belanda
dan
mengabaikan
kepentingan rakyat Indonesia dengan hukum
tanah nasional. Diharapkan dengan lahirnya
Undang-undang pertanahan nasional nantinya
akan lebih memperhatikan kepentingan rakyat
Indonesia. Usaha untuk mewujudkan keinginan
itu, pertama-tama dilakukan dengan cara
mengganti asas domeinverklaring yang
menjadi dasar pijakan kebijakan Pemerintah
55Ibid, hlm 68 - 69
38

Hindia Belanda dibidang pertanahan, dengan


asas hak menguasai tanah oleh negara
sebagaimana termuat dalam pasal 33 ayat (3)
UUD 1945.56 Asas domeinverklaring atau
pernyataan domein termuat dalam pasal 1
Agrarisch
Besluit
(S.
1870

118)
terjemahannya berbunyi sebagai berikut :
Dengan
tidak
mengurangi
berlakunya
ketentuan dalam ayat dua dan tiga Agrarische
Wet, maka tetap dipertahankan asas, bahwa
semua tanah yang pihak lain tidak dapat
membuktikan
bahwa
tanah
itu
tanah
57
eigendomnya adalah domein negara.
Selanjutnya Pasal 33 ayat (3) Undangundang Dasar 1945 tersebut digunakan
sebagai landasan Konstitusional agraria di
Indonesia, yang berbunyi Bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya
kemakmuran
rakyat.
Ketentuan ini memberikan tanggung jawab
yang besar kepada Negara agar bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
diletakkan dalam penguasaan oleh Negara,
dengan
tujuan
penguasaan
tersebut
dipergunakan
untuk
sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Menurut Muhammad
Bakri, kemakmuran yang akan dicapai adalah
kemakmuran untuk sebanyak mungkin orang
56 Muhammad Bakri, Hak Menguasai Tanah Oleh
Negara (Paradigma Baru Untuk Reformasi Agraria),
(Jakarta: Citra Media, 2007), hlm. 29
57 Ibid, hlm 30
39

tanpa melanggar hak orang lain.58 Masih dalam


bukunya Muhammad Bakri, yang dikutip dari
Disertasi
Achmad
Sodiki
(1994:202),
menyatakan bahwa kemakmuran adalah :
Merupakan terminologi ekonomi, suatu
masyarakat dikatakan makmur apabila
masyarakat yang bersangkutan dapat
memenuhi dan dipenuhi kebutuhannya
baik pisik maupun non pisik secara
terus menerus. Indikasi terdapatnya
kemakmuran apabila terpenuhi basic
needs (sandang, pangan, papan,
harga diri, kenyamanan, ketentraman
hidup,
aktualisasi
diri),
terjamin
lapangan kerja (dalam arti luas),
adanya
pemerintah
negara
yang
bersih, berwibawa dan efektif, serta
dirasakannya hukum sebagai bagian
penting dari kehidupan59.
Kemakmuran rakyat dapat diartikan
pula sebagai kemakmuran untuk sebanyak
mungkin orang tanpa melanggar hak dan
keadilan.
Sedangkan
arti
pentingnya
kesejahteraan dalam hubungannya dengan
pemanfaatan tanah adalah karena tujuan
negara
adalah
untuk
mendukung
dan
melengkapi usaha masyarakat agar dapat
hidup sebaik dan seadil mungkin.60
Menurut Franz Magnis Suseno dalam
Maria
Sriwulani
Sumardjono,
bahwa
kesejahteraan umum adalah prasyarat sosial
yang memungkinkan atau mempermudah
58Ibid, hlm 35
59Ibid
40

manusia
untuk
mengembangkan
semua
nilainya. Seseorang disebut sejahtera apabila
bebas
dari
perlakuan
sewenang-wenang,
merasa aman, dan dapat hidup sesuai dengan
cita-cita
dan
nilainya
serta
dapat
mengembangkan hidupnya sesuai aspirasi dan
kemampuannya.61
Harapan dari ketentuan pasal 33 ayat
(3) UUD 1945, bahwa kekuasaan negara atas
tanah harus dapat memberikan kemakmuran
dalam segala aspek yang menjadi kebutuhan
dasar
bagi
kebutuhan
hidup
seluruh
masyarakat. Selanjutnya amanat pasal 33 ayat
(3) tersebut dijabarkan ke dalam pasal 2 UUPA,
yang berbunyi sebagai berikut:
1. atas dasar ketentuan dalam pasal 33
ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945
dan hal-hal yang dimaksud dalam
pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa
termasuk
kekayaan
alam
yang
terkandung di dalamnya itu pada
tingkatan tertinggi dikuasai oleh
negara, sebagai organisasi kekuasaan
seluruh rakyat.
2. hak menguasai negara termaksud
dalam ayat (3) Undang-Undang Dasar
1945 dan hal-hal sebagai dimaksud
dalam pasal 1 memberi wewenang
untuk:
60 Maria Sriwulani Sumardjono, Kewenangan
Negara Untuk Mengatur Dalam Konsep
Penguasaan Tanah Oleh Negara, hlm. 57
61Ibid
41

a. Mengatur dan menyelenggarakan


peruntukan,
penggunaan,
persediaan bumi, air dan ruang
angkasa tersebut, menentukan
dan
mengatur
hubunganhubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air dan ruang
angkasa.
b. Menentukan
dan
mengatur
hubungan-hubungan hukum antar
orang-orang dengan bumi, air, dan
ruang angkasa tersebut.
c. Menentukan
dan
mengatur
hubungan-hubungan
hukum
antara orang-orang dan perbuatan
hukum yang mengenai bumi, air
dan ruang angkasa.
Sejak diundangkannya UU No. 5 Tahun
1960, tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (yang selanjutnya lebih dikenal dengan
nama singkatan resminya
Undang-Undang
Pokok Agraria, disingkat UUPA) dan telah
diundangkan pada tanggal 24 September 1960
pada Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 104 Tahun 1960 serta penjelasannya
termuat dalam Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 2043,62 maka sejak
tanggal 24 September 1960 tersebut telah
terjadilah
perubahan
secara fundamental
terhadap Hukum Agraria Indonesia, terutama
hukum pertanahan yang berlaku di Indonesia
62 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia
Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Cet ke-8, (Jakarta:
Djambatan, 1999), hlm 1
42

pada waktu itu. Perubahan secara fundamental


tersebut baik terhadap struktur perangkat
hukumnya,
mengenai
konsepsi
yang
mendasarinya maupun isinya, sebagaimana
yang
telah
dinyatakan
dalam
bagian
berpendapat huruf
b yang menyatakan
bahwa hukum agraria nasional harus memberi
kemungkinan akan tercapainya fungsi bumi, air
dan ruang angkasa sebagai yang dimaksud di
atas
dan harus sesuai dengan kepentingan
rakyat
Indonesia
serta
memenuhi
pula
keperluannya menurut permintaan zaman
dalam segala soal agraria.63
Tujuan diundangkannya UUPA seperti
termuat dalam Penjelasan umumnya, adalah
sebagai berikut:
(a)
meletakkan dasardasar
bagi
penyusunan
hukum
agraria
nasional,
yang
akan
merupakan alat untuk membawakan
kemakmuran,
kebahagiaan,
dan
keadilan bagi negara dan rakyat,
terutama rakyat tani, dalam rangka
masyarakat yang adil dan makmur.
(b)
meletakkan dasardasar untuk mengadakan kesatuan
dan kesederhanaan dalam hukum
pertanahan.
BAB III
Sejarah Hukum Pertanahan di Indonesia
63 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia
Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah, hlm 3

43

Sebelum diberlakukannya UUPA, dalam


hal hukum tanah di Indonesia berlaku
bersamaan berbagai perangkat Hukum Agraria.
Di samping bersumber pada hukum adat yang
berkonsepsi
komunalistik
religius,
yang
merupakan hukum yang berlaku bagi mayoritas
penduduk Indonesia, ada juga yang bersumber
pada
hukum
Barat
yang
berkonsepsi
individualistik liberal serta ada pula yang
berasal dari berbagai bekas pemerintahan
Swapraja yang umumnya berkonsepsi feodal.
Dualisme dalam hukum pertanahan tersebut
memerlukan tersedianya perangkat hukum
yang terdiri atas peraturan-peraturan dan asasasas yang memberikan jawaban, hukum apa
atau hukum yang mana yang berlaku dalam
menyelesaikan
kasus-kasus
hukum
antar
golongan dibidang agraria. Dengan demikian,
setelah berlakunya UUPA, hukum yang berlaku
atas bumi, air, dan ruang angkasa adalah
Hukum Agraria Nasional.64
Sesuai dengan situasi dan kondisi
keagrarian di Indonesia dan tujuan akan
mewujudkan masyarakat adil dan makmur
berdasarkan
Pancasila
(pada
waktu
itu
Sosialisme Indonesia), maka lahirlah Agrarian
Reform Indonesia yang meliputi 5 program
(Panca Program), yaitu:
1.
pembaharuan Hukum Agraria,
melalui
unifikasi
hukum
yang

64Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Hak Atas


tanah di Indonesia, (Surabaya: Arkola, 2003), hlm.
3.
44

2.
3.
4.

5.

berkonsepsi nasional dan pemberian


jaminan kepastian hukum;
penghapusan hak-hak asing dan
konsesi-konsesi kolonial atas tanah;
mengakhiri penghisapan feodal
secara berangsur-angsur; dan
perombakan
pemilikan
dan
penguasaan tanah serta hubunganhubungan hukum yang bersangkutan
dengan pengusahaan tanah dalam
mewujudkan
pemerataan
kemakmuran dan keadilan;
perencanaan persediaan dan
peruntukan bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya
serta
penggunaannya
secara
terencana,
sesuai
dengan
daya
65
dukung dan kemampuannya.

3.1
Hukum
Pertanahan
Sebelum
berlakunya UUPA
Pada zaman kolonial ada tanah-tanah
dengan hak
Barat, misalnya tanah
eigendom, tanah erfpacht, tanah opstal dan
lain-lain, tetapi ada pula tanah-tanah yang
dikenal dengan hak-hak Indonesia, misalnya
tanah-tanah ulayat, tanah milik, tanah
usaha, tanah gogolan, tanah bengkok, tanah
agrarisch eigendom, dan lain-lain.66 Tanahtanah Barat atau tanah-tanah Eropa dan
hampir semua terdaftar pada Kantor
Pendaftaran
Tanah
menurut
65 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia
Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, hlm. 3 4.
45

Overschrijvingsordonnantie atau Ordonansi


Balik Nama (S. 1834-27) dimuat di dalam
Engelbrecht tahun 1954 halaman 570 dan
selanjutnya.67 Tanah-tanah Barat tunduk
pada ketentuan-ketentuan hukum agraria
Barat,
misalnya
mengenai
cara
memperolehnya, peralihannya, lenyapnya
(hapusnya), pembebanannya dengan hakhak lain dan wewenang-wewenang serta
kewajiban-kewajiban yang mempunyai hak.
Perbuatan-perbuatan hukum yang
dapat diadakan mengenai tanah-tanah itu
pada
asasnya
terbatas
pada
yang
dimungkinkan oleh hukum agraria Barat.
Misalnya tanah eigendom tidak dapat
digadaikan menurut ketentuan hukum
agraria adat, tetapi hanya dapat dijadikan
jaminan utang dengan dibebani hipotik
(sekarang Hak Tanggungan) suatu lembaga
hukum yang diatur dalam KUH Perdata.
Tanah-tanah hak Barat tidak sebanyak
tanah-tanah Indonesia, tanah-tanah itu
seakan-akan merupakan pulau-pulau di
tengah-tengah
lautan
tanah-tanah
Indonesia.
Tanah-tanah Indonesia yaitu hak-hak
Indonesia
hampir
semuanya
belum
terdaftar, kecuali tanah-tanah agrarisch
eigendom (S. 1873-38), tanah-tanah milik di
dalam kota Yogyakarta (Rijksblad Surakarta
66 Soetojo M, Undang-undang Pokok Agraria dan
Pelaksanaan Landreform, (Jakarta: t.p., 1961), hlm.
59
67 Ibid, hlm. 62
46

tahun 1938 No. 14), tanah-tanah grant di


Sumatera Timur.
Pendaftaran tanah-tanah milik yang
diselenggarakan di daerah-daerah lainnya di
Jawa, Madura, Bali, Lombok dan Sulawesi
Selatan oleh kantor-kantor Landrente atau
Pajak Bumi bukan pendaftaran yang kita
maksudkan, karena tujuannya adalah untuk
keperluan pemungutan pajak bumi (fiscaal
kadaster), sedangkan pendaftaran yang kita
maksudkan itu adalah pendaftaran yang
diadakan untuk memberikan kepastian hak
dan kepastian hukum (rechtkadastertatus
sebagai).
Tidak semua tanah-tanah Indonesia
ini adalah tanah-tanah yang mempunyai
status sebagai hak-hak asli adat, tetapi ada
juga yang berstatus buatan atau ciptaan
pemerintah, misalnya tanah agrarisch
eigendom
yang
didasarkan
kepada
ketentuan ayat 6 pasal 51 IS. Tanah-tanah
Indonesia tunduk pada hukum agraria adat,
sepanjang tidak diadakan ketentuan yang
khusus untuk hak-hak tertentu, misalnya
untuk hak agrarisch eigendom berlaku
ketentuan yang dimuat di dalam S. 1872117.68
Selain tanah-tanah Barat dan tanahtanah Indonesia, Gouw Giok Siong di dalam
bukunya Hukum Agraria Antar Golongan
halaman 8 menunjuk pada yang disebut
68 Subekti R, Pembinaan Hukum Nasional,
(Bandung: Alumni, 1975), hlm 54 dalam Eddy
Ruchiyat, Politik Pertanahan Nasional Sampai Orde
Reformasi, hlm 6
47

tanah-tanah Tionghoa yaitu tanah-tanah


yang dipunyai dengan landerijenbezitrecht.
Landerijenbezitrecht
adalah
hak
yang
dengan sendirinya diperoleh seorang Timur
Asing pemegang hak usaha di atas tanah
partikelir,
yang
sewaktu-waktu
tanah
partikelir itu dibeli kembali oleh pemerintah
(pasal 3 S. 1913-702 setelah diubah dengan
S. 1926-421).69
Tanah-tanah landerijenbezitrecht itu
hampir semuanya berada di tangan orangorang Tionghoa dan sebagian terbesar
terdapat di sekitar Jakarta, Tangerang,
karawang dan Bekasi. Keistimewaan hak ini
adalah bahwa (tidak terbatas pada Timur
Asing Tionghoa saja), jika jatuh di tangan
orang Indonesia (asli), karena hukum
statusnya menjadi Hak Milik.
Oleh karena itu menurut sifatnya
sebenarnya hak tersebut tidaklah lain
daripada hak milik, yaitu hak Indonesia yang
subyeknya terbatas pada orang-orang dari
golongan Timur Asing, terutama Timur Asing
Tionghoa.

3.2
Hukum
tanah
administratif
pemerintahan jajahan Hindia Belanda
A. Riwayat Agrarische Wet (S. 1870-55)
Agrarisce wet ini merupakanpokok
yang terpenting dari hukum agraria dan
semua peraturanyang diselenggarakan oleh
pemerintah dahulu berdasarkan atas wet ini.
69 Ibid, hlm. 7
48

Adapun isinya ialah memberi kesempatan


kepada perusahaan-perusahaan pertanian,
sedangkan hak-hak rakyat atas tanahnya
harus diperhatikan juga.
Dasar-dasar dalam Agrarische Wet
tersebut di atas diatur lebih lanjut dalam
Keputusan Agraria yang tercantum dalam S.
1870-118. Pasal 1 dari Keputusan Agraria
mengandung suatu dasar atau asas yang
lazim disebut asas umum tanah negara atau
pernyataan umum tanah negara (Algemene
Domeinbeginsel
atau
Algemeen
Domeinverklaring) yaitu suatu pernyataan
umum, bahwa semua tanah yang tidak
dapat dibuktikan sebagai hak eigendom,
adalah tanah milik (domein) negara.
Pernyataan umum yang demikian ini
dipandang perlu, sebab untuk dapat
menjalankan
maksud
tersebut
dalam
Agrarische wet di atas itu pemerintah harus
mempunyai kekuasaan atas tanah-tanah,
sehingga dapat memberikan hak-hak tanah
yang kuat seperti erfpacht, opstal dan lain
sebagainya kepada orang lain. Dengan lain
perkataan pemerintah harus mempunyai
dasar hukum yang sah untuk melakukan
segala perbuatan hukum atas tanah.
Untuk menjaga jangan sampai bangsa
Indonesia tidak mempunyai tanah, sudah
pasti akan menimbulkan banyak kesulitan
bagi pemerintah. Karena itu dengan S. 1875179 diadakan larangan penjualan tanah dari
bangsa Indonesia kepada bukan bangsa
Indonesia. Karena peraturan-peraturan ini
penting sekali, dibawah ini akan dibicarakan
lebih lanjut dengan mengutip peraturanperaturan tersebut seluruhnya.
49

Pasal 51 IS (S. 1925-447) menetapkan


:
(1) Gubernur Jenderal tidak boleh menjual
tanah;
(2) Dalam larangan ini tidak termasuk tanahtanah yang kecil untuk memperluas kotakota dan desa-desa dan untuk mendirikan
bangunan-bangunan perindustrian;
(3) Gubernur Jenderal boleh menyewakan
tanah-tanah, menurut aturan-aturan yang
akan ditetapkan dengan ordonansi. Dalam
tanah-tanah ini tidak termasuk tanah-tanah
yang diusahakan (dipergunakan) bangsa
Indonesia atau tanah-tanah yang berupa
padang
rumput
umum
(tanah
pengembalaan umum) atau yang karena
sesuatu sebab termasuk turut kampungkampung atau desa-desa;
(4) Menurut aturan yang akan ditetapkan
dengan ordonansi diberikan tanah-tanah
dengan hak erfpacht, yang lamanya tidak
boleh lebih dari tujuh puluh lima tahun;
(5) Gubernur Jenderal menjaga, jangan sampai
ada sesuatu pemberian tanah melanggar
hak-hak penduduk asli (bangsa Indonesia)
(6) Tanah-tanah
yang
diusahakan
(dipergunakan) bangsa Indonesia untuk
keperluan sendiri atau tanah-tanah yang
berupa tanah pengembalaanumum atau
yang karena salah suatu sebab termasuk
turut kampung-kampung (desa-desa), tidak
dikuasai oleh Gubernur Jenderal, kecuali
untuk keperluan umumberdasarkan pasal
133 IS, dan untuk tanaman-tanaman yang
diadakan oleh pemerintah agung menurut
aturan-aturan yang berhubungan dengan
itu, dengan pemberian kerugian yang layak;
50

(7) Kepada orang Indonesia yang mempunyai


tanah milik dengan sah, atas permintaannya
diberikan hak eigendom atas tanah itu,
dengan memakai pembatasan-pembatasan
yang mengenai kewajiban-kewajiban negara
dan desa dan pembatasan-pembatasan
kekuasaan untuk menjualnya kepada bukan
bangsa Indonesia, pembatasan-pembatasan
mana akan ditetapkan dengan ordonansi
dan akan disebutkan dalam surat eigendom
itu;
(8) Menyewakan tanah atau menyerahkan
tanah untuk dipakai oleh orang Indonesia
kepada bukan orang Indonesia dilaksanakan
menurut aturan-aturan yang ditentukan
dengan ordonansi.
Pasal 51 IS sama dengan pasal 62 RR dahulu
asal mulanya hanya terdiri dari tiga ayat, yaitu
ayat 1 sampai ayat 3 (S.1855-2). Dalam tahun
1870 (S. 1870-55) pasal ini ditambah dengan
ayat 4 sampai dengan ayat 8, yaitu yang
dinamakan Agrarische Wet. Setelah mengalami
beberapa perubahan dan tambahan, nama RR
itu diganti dengan IS dan diundangkan lagi
seluruhnya dalam S. 1925-447.
Dari pasal 51 IS, ternyata bahwa
pemberian atau pengeluaran tanah-tanah tidak
boleh melanggar hak-hak bangsa Indonesia.
Sikap pemerintah terhadap soal ini telah
ditentukan dalam pasal 51 ayat 3 dan 6 IS. Maka

51

sebagai penjelasan telah dikeluarkan Bb. 3020


jo. Bb. 5270.70
Dengan Bb. 3020 (G.B. 4-8 1875-47) telah
diterangkan :
a.
Bahwa
tidak
bertentangan
dengan pasal 51 ayat 6 I.S. penjualan
(pemberian dengan hak eigendom) tatah-tanah
yang kecil dan pengeluaran tanah-tanah dengan
hak opstal (pasal 51 ayat 2 I.S., pasal 8 S.1870118 dan S. 1872-124), meskipun tanah-tanah itu
diusahakan (dipergunakan) bangsa Indonesia,
atau yang berupa lapangan pengembalaan
umum atau yang karena salah sesuatu sebab
termasuk desa-desa (kampung-kampung), asal
saja orang-orang Indonesia yang berhak,
dengan kemauan sendiri (sukarela) mau
melepaskan haknya;
b.
Bahwa
dalam
pengeluaran
tanah-tanah dengan hak erfpacht atau sewa
pemerintah harus mengikat bahwa tanah-tanah
yang kosong saja dapat diberikan untuk
perusahaan-perusahaan pertanian atau tempat
kediaman di luar, dan bahwa apabila di tengahtengah tanah kosong itu ada sebidang tanah
yang ditanami (dipergunakan), tanah ini hanya
dapat termasuk turut diberikan (dikeluarkan),
jika yang berhak bersedia melepaskan haknya.
Bb. 5270 (B.G.S. 14-10-1889-2392) memberi
penjelasan sebagaiberikut: Peraturan dalam sub b
Bb.3020 itu hanya berlaku juka tanah-tanah yang
terkurung itu ternyata ada yang berhak, jadi tidak
70 Roestandi Ardiwilaga, Hukum Agraria Indonesia,
(Bandung: N.V. Masa Baru, 1962), hlm. 169 dalam
Eddy Ruchiyat, Politik Pertanahan Nasional Sampai
Orde Reformasi, hlm. 16
52

berlaku terhadap tanah-tanah yang telah ternyata


ditinggalkan; lain dari itu tanah-tanah yang
terkurung itu tidak boleh ditafsirkan dengan arti
yang sempit.71
Larangan menjual tanah tersebut dalam
ayat 1 pasal 51 I.S. di atas bermaksud mencegah
bertambahnya
tanah-tanah
partikelir,
yang
merupakan suatu negara dalam negara, hal ini
dianggap dari sudut politik membahayakan.
Sebagaimana umum telah mengetahui, sebelum
1854 Belanda dan pemerintah Inggris di Indonesia
sering menjual tanah-tanah untuk mendapat uang.
Orang-orang
yang
mempunyai
tanah-tanah
partikelir menjadi eigenaar dari tanah-tanah itu
dan berhak untuk mengangkat Kepala-kepala Desa
dan mengadakan macam-macam pajak.
B. Agrarisch Besluit (S. 1870-118)
Sebagai
pelaksanaan
Agrarische
Wet
dengan keputusan Raja tanggal 20 Juli 1870-118),
telah ditetapkan peraturan yang dinamakan
Keputusan Agraria (Agrarisch Besluit). Peraturan ini
hanya berlaku di daerah-daerah Gubernemen di
Jawa dan Madura, sedangkan mengenai hal-hal
yang telah ditetapkan dalam peraturan ini akan
diatur
dengan
ordonnansi
sesuai
dengan
Agrarische Wet dan dasar-dasar dari Keputusan
Agraria.72
71 Ibid, hlm 16
72 Soetan Malikoel Adil, Hak-hak Kebendaan,
(Jakarta: PT. Pembangunan, 1962), hlm. 93 dalam
Eddy Ruchiyat, Politik Pertanahan Nasional Sampai
Orde Reformasi, hlm. 21
53

Dari Keputusan Agraria tersebut yang


terpenting ialah pasal 1, yang memuat pernyataan
umum tanah negara (Algemedomein verklaring),
yang menetapkan sebagai berikut :
Selain menurut apa yang telah ditentukan
dalam nomor dua dan tiga dari Wet tersebut
maka tetap dipertahankan pendirian (asas),
bahwa semua tanah yang tidak dapat
dibuktikan, bahwa tanah itu menjadi
eigendom orang lain adalah tanah negara
(domein van de staat).
Menurut S.1875-199a pernyataan umum
tanah negara tersebut berlaku juga di daerahdaerah luar Jawa dan Madura. Berdasarkan atas
pasal 1 Keputusan Agraria ternyata, bahwa semua
tanah dianggap menjadi tanah negara artinya
negara menjadi eigenaar dari tanah ini, kecuali
jikalau orang lain dapat membuktikan, bahwa dia
yang menjadi eigenaar dari tanah tersebut,
dengan lain perkataan orang itu harus dapat
membuktikan bahwa ia mempunyai hak eigendom
atas tanah tersebut menurut BW.73
Mengingat hak rakyat Indonesia atas
tanahnya berdasarkan Hukum Adat, sedangkan
dalam Hukum Adat tidak ada ketentuan hukum
yang sama dengan pasal 570 BW. Karena itu,
sekaligus semua tanah dari rakyat Indonesia
menjadi
tanah
negara.
Menurut
pendirian
pemerintah, yang dianggap tidak termasuk tanah
negara yaitu tanah-tanah yang tersebut di bawah
ini :
a. Tanah-tanah daerah swapraja;
b. Tanah-tanah yang menjadi eigendom orang lain
menurut pasal 570 BW, misalnya pekaranganpekarangan eigendom di kota-kota;
73 Ibid
54

c. Tanah-tanah partikelir (particuliere landerijen);


d. Tanah-tanah
eigendom
agraria
(agrarisch
eigendom),
Dalam hukum tiap-tiap negara ada dasar
hukum yang menerangkan bahwa semua tanah
dalam negara yang tidak ada pemiliknya
(eigenaar) adalah kepunyaan negara. Di Indonesia
hal ini dimuat dalam pasal 520 BW. Yang
menerangkan, bahwa tanah-tanah pekarangan dan
benda tetap lainnya (onroerende zaken) yang tidak
ada yang menguasai dan memiliki (tidak ada
eigenaarnya), begitu juga barang-barang dari
orang yang meninggal dunia dengan tidak ada ahli
warisnya atau yang warisannya dilepaskan adalah
kepunyaan (milik) negara.74
Dasar hukum ini menurut keterangan
pemerintah tersebut dalam pasal 1 Keputusan
Agraria (Agrarisch Besluit, S. 1870-118) dibantah
dengan sekeras-kerasnya oleh C. Van Vollenhoven,
seorang pendekar hukum adat yang terkenal,
dalam bukunya De Indonesior on Zijn grond
(Bangsa Indonesia dan tanahnya). Bersandar atas
beberapa alasan-alasan hukum, maha guru
tersebut
berpendapat
bahwa
pernyataan
pemerintah itu tidak adil terhadap bangsa
Indonesia.
Memang hak milik bangsa Indonesia atas
pekarangan-pekarangan
dan
sawah-sawahnya
(tanah usaha, tanah jasa dan sebagainya) ternyata
lebih kuat dari hak bezit atau gebruik yang
74 A. Teluki, Perbandingan Hak Milik Atas Tanah
dan Recht van eigendom, (Bandung: PT. Eresco,
1966), hlm 30 dalam Eddy Ruchiyat, Politik
Pertanahan Nasional Sampai Orde Reformasi, hlm.
22
55

tercantum dalam BW. Oleh karena itu, pada


umumnya hak milik dipandang sebagai Oosters
oigendomsrecht, meskipun istilah ini di dalam
peraturan-peraturan pemerintah tidak terdapat 75.
Kekuasaan atas tanah-tanah yang termasuk
tanah negara selain dari hak penduduk untuk
membuka tanah, hanya ada pada Gubernemen.
Pernyataan khusus ini jika dibandingkan dengan
pernyataan umum (pasal 1 Keputusan Agraria),
ternyata bahwa pernyataan khusus ini lebih sempit
(terbatas) daripada pernyataan umum. 76
Menurut pernyataan khusus, yang tidak
dapat dikuasai oleh Gubernemen hanya tanahtanah yang berasal dari hak membuka tanah
(ontginningsrecht),
sedangkan
menurut
pernyataan umum termasuk juga tanah penduduk,
tanah-tanah desa seperti lapangan-lapangan
pengembalaan umum dan tanah-tanah yang
karena salah suatu sebab termasuk turut desa
(pasal 51 ayat 3 dan 6 IS).
Sebagaimana telah diterangkan di atas,
bahwa tanah-tanah bangsa Indonesia seperti tanah
komunal, tanah yasan, sawah-sawah, lapanganlapangan pengembalaan umum dan sebagainya
termasuk tanah negara. Namun, negara tidak
menguasai tanah-tanah itu kepada orang lain
dengan hak erfpacht, opstal dan sebagainya. Yang
dapat diberikan oleh negara kepada orang lain
hanyalah tanah-tanah kosong saja (woeste
gronden), terhadap tanah-tanah ini pemerintah

75 Ibid, hlm 23
76 ibid
56

mempunyai wewenang yang luas dan tidak


terikat.77
Berhubung dengan hal tersebut, tanahtanah negara dapat dibagi atas dua bagian, yaitu :
a. Tanah negara yang bebas (vrij Landsdomein),
artinya tanah yang tidak terikat dengan hak-hak
bangsa Indonesia;
b. Tanah negara yang tidak bebas (onvrij
Landsdomein) artinya tanah yang terikat
dengan hak-hak bangsa Indonesia.
Demikian beberapa cuplikan sejarah dan
politik pertanahan zaman kolonial.78
3.3 Hukum Pertanahan Setelah Berlakunya
UUPA
Setelah berlakunya Undang-Undang No. 5
tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria sejak tanggal 24 September 1960, maka
telah terjadi perombakan hukum pertahanan di
Indonesia, yang semula ada dualisme hukum
pertanahan yang berlaku di Indonesia yaitu
disamping hukum adat yang mengatur sebagian
besar tanah-tanah yang ada di Indonesia juga
berlaku hukum Barat yang berlaku di sebagian
kecil tanah-tanah di Indonesia.
Berlakunya UUPA memberikan perubahan
secara menyeluruh terhadap pengaturan hukum
pertanahan di Indonesia, selain perubahan atas
77 Purwopranoto, Penuntut tentang Hukum Tanah,
(Semarang: Astana Buku ABEDE, 1953), hlm. 98
dalam Eddy Ruchiyat, Politik Pertanahan Nasional
Sampai Orde Reformasi, hlm. 24
78 ibid
57

konsepsinya juga telah terjadi univikasi hukum


pertanahan. Tidak lagi berlaku hukum Barat, akan
tetapi UUPA mendasarkan pada hukum adat,
sebagaimana tertuang dalam pasal 5 UUPA, yang
menyatakan, bahwa hukum agraria yang berlaku
atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum
adat, sepanjang tidak bertentangan dengan
kepentingan
nasional
dan
Negara,
yang
berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan
sosialisme Indonesia serta dengan peraturanperaturan yang tercantum dalam Undang-Undang
ini dan dengan peraturan perundangan lainnya,
segala sesuatu dengan mengintahkan untur-unsur
yang bersandar pada hukum agama 79.

3.3.1 Hak Menguasai dari Negara


Dalam pasal 2 ayat 1 ditentukan,
bahwa :
Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3
UUD 1945 dan hal-hal sebagai yang dimaksud
dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa,
termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya itu pada tingkatan yang tertinggi
dikuasai oleh negara sebagai organisasi
kekuasaan seluruh rakyat.
Dalam memori penjelasan ketentuan ini
digolongkan pada ketentuan dasar nasional hukum
agraria yang baru. Hak menguasai dari negara itu
tidak saja didasarkan atas ketentuan pasal 1
dimana negara dianggap sebagai organisasi
kekuasan rakyat, sebagai alat bangsa tetapi
dicarikan juga dasar hukumnya pada ketentuan
79 Pasal 5 UUPA
58

pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Isi pasal tersebut telah


kita ketahui di atas.
Dengan demikian, pasal 2 UUPA memberikan
sekalugus suatu tafsiran resmi interprestasi otentik
mengenai
arti
perkataan
dikuasai
yang
dipergunakan di dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945.
Sebelum UUPA ada sementara orang yang
menafsirkan perkataan dikuasai itu sebagai
dimiliki, tetapi UUPA dengan tegas menyatakan,
bahwa perkataan tersebut bukan berarti dimiliki.
Bahkan pengertian domein negara dihapuskan
oleh UUPA. Asas Domein ... tidak dikenal dalam
hukum agraria nasional.80
Memori penjelasan II/2 menegaskan bahwa
perkataan dikuasai dalam pasal ini bukanlah
berarti dimiliki tetapi pengertian yang memberi
wewenang kepada negara sebagai organisasi
kekuasaan dari bangsa Indonesia, sebelumnya
disebut sebagai Badan Penguasa pada tingkatan
tertinggi untuk:
a.
Mengatur
dan
menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan bumi, air dan ruang angkasa
tersebut, menentukan dan mengatur hubunganhubungan hukum antara orang-orang dengan
bumi, air dan ruang angkasa.
b.
Menentukan
dan
mengatur
hubungan-hubungan hukum antar orang-orang
dengan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut.
80 Memori penjelasan angka II/2 UUPA dalam
Roestandi Ardiwilaga R, Hukum Agraria Indonesia,
(Bandung: NV. Masa Baru, 1962), hlm. 75 Eddy
Ruchiyat, Politik Pertanahan Nasional Sampai Orde
Reformasi, hlm. 10
59

c.

Menentukan
dan
mengatur
hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dan perbuatan hukum yang mengenai bumi, air
dan ruang angkasa.

3.3.2 Instansi Pelaksana dari Hak Menguasai


Bilamana hak menguasai ada pada negara,
maka secara konkreto instansi yang akan
menjalankan
wewenang-wewenang
yang
bersumber pada kekuasaan itu, sebagai yang
dirinci dalam pasal 2 ayat 2 tersebut.
Sebagaimana ditentukan dalam pasal 2 ayat
2, pelaksanaan daripada hak menguasai negara
tersebut dapat dikuasakan atau dilimpahkan
kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat
hukum adat. Dengan demikian, pelaksanaan
wewenang-wewenang yang dimaksudkan itu
dijalankan oleh pemerintah daerah atau penguasa
adat yang bersangkutan.
Berkaitan dengan pelaksanaan pengaturan,
penyelenggaraan,
peruntukan,
penggunaan,
persediaan
dan pemeliharaan bumi dan lainlainnya itu (huruf a) terdapat ketentuannya yang
khusus dalam UUPA, yaitu ketentuan pasal 14
UUPA, yang mewajibkan pemerintah membuat
suatu rencana umum, suatu nasional planning,
yang kemudian akan dirinci dengan planningplanning yang dibuat oleh pemerintah daerah.
Sedangkan dalam pasal 15 terdapat ketentuanketentuan tentang kewajiban memelihara tanah,
termasuk
menambah
kesuburannya
serta
mencegah kerusakannya yang disertai sangsi
pidana.81
Mengenai wewenang yang disebut dalam
huruf b di atas, UUPA mengadakan ketentuan lebih
81 Pasal 52 UUPA
60

lanjut dalam pasal 4, pasal 6 sampai dengan pasal


11 dan ketentuan-ketentuan dalam Bab II tentang
Hak-hak atas tanah, air, ruang angkasa serta
pendaftaran tanah. Ketentuan-ketentuan tentang
hak-hak apa saja yang dapat dipunyai, siapa yang
dapat memilikinya, hak-hak dan kewajibankewajiban yang punya, terjadinya serta hapusnya
hak-hak tersebut dan sebagainya merupakan
wewenang badan legislatif untuk menetapkannya.
Sedangkan wewenang yang diatur dalam
huruf c, dijumpai pula ketentuan-ketentuannya
lebih lanjut dalam pasal-pasal 12, 13 mengenai
usaha dalam lapangan agraria, pasal 26 tentang
peralihan hak milik dan pasal 49 ayat 3 menenai
perwakafan tanah milik.

BAB IV
61

Pembaharuan Hukum Pertanahan


Begitu
pula
dalam
dasar-dasar
kebijaksanaan pembangunan pertanahan yang
telah
meletakkan
dasar
bahwa
dalam
melakukan pengelolaan hak atas tanah harus
dapat
memberikan
manfaat
baik
bagi
kesejahteraan, kebahagiaan dan keadilan baik
bagi pemegang hak atas tanah tersebut,
maupun
bagi
masyarakat
dan
negara,
ketentuan ini selaras dengan apa yang telah
menjadi amanat dari pasal 6 UUPA82, yang
menyatakan bahwa Semua hak atas tanah
mempunyai fungsi sosial, yang berarti bahwa :
Hak atas tanah apapun yang ada pada
seseorang, tidaklah dapat dibenarkan,
bahwa tanahnya itu akan dipergunakan
(atau tidak dipergunakan) semata-mata
untuk kepentingan pribadinya, apalagi
kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi
masyarakat. Penggunaan tanah harus
disesuaikan dengan keadaannnya dan sifat
daripada haknya, hingga bermanfaat baik
bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang
mempunyainya maupun bermanfaat pula
bagi masyarakat dan Negara (penjelasan
umum II angka 4).
Sehingga tanah harus dipergunakan sesuai
dengan fungsi dan peruntukannya sehingga
bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan
kebahagiaan yang memilikinya maupun bagi
masyarakat dan negara.83

82 Dalam UUDS tahun 1950 fungsi sosial


disebutkan dalam pasal 26
62

Dalam
kerangka
berfikir,
yang
disampaikan Maria Sriwulani Sumardjono :
bahwa hak-hak perorangan atas tanah
tidak bersifat mutlak, setapi selalu ada
batasnya, yakni kepentingan orang lain,
masyarakat,
atau
negara.
Dengan
demikian
dituntut
penguasaan
dan
penggunaan tanah secara wajar dan
bertanggung jawab, disamping bahwa
setiap hak atas tanah yang dipunyai
seseorang diletakkan pula kewajiban
tertentu, adanya pertanggung jawaban
individu terhadap masyarakat melalui
terpenuhinya
kepentingan
bersama/kepentingan
umum,
karena
manusia
tidak
dapat
berkembang
sepenuhnya apabila berada di luar
keanggotaan suatu masyarakat.84
Dengan dikeluarkannya Ketetapan MPR No.
IX/MPR/2001, tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumberdaya Alam, khusunya pada
pasal 2 menyebutkan bahwa Pembaruan
agraria
mencakup
suatu
proses
yang
berkesinambungan
berkenaan
dengan
penataan kembali penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya
83 H. Muchsin, Menggagas Pelaksanaan Tata Guna
Tanah Kajian Yuridis, Filosofis, Normatif dan
Sosiologis, (Surabaya: Dunia Ilmu, 1998), hlm 1.
84 Maria Sriwulani Sumardjono, Kewenangan
Negara Untuk Mengatur Dalam Konsep
Penguasaan Tanah Oleh Negara, hlm 57
63

agraria dilaksanakan dalam rangka tercapainya


kepastian dan perlindungan hukum serta
keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Begitu pula dalam Undang-Undang No. 17
Tahun 2007, tentang Rencana Program
Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun
2005 2025 pada Bab IV.1.5 Mewujudkan
Pembangunan
yang
Lebih
Merata
dan
Berkeadilan angka 11, yang menyebutkan :
Menerapkan
sistem
pengelolaan
pertanahan yang efisien, efektif serta
melaksanakan penegakan hukum terhadap
hak atas tanah dengan menerapkan
prinsip-prinsip keadilan, transparansi dan
demokrasi. Selain itu perlu dilakukan
penyempurnaan penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah
melalui
perumusan
berbagai
aturan
pelaksanaan land reform serta penciptaan
insentif/disinsentif perpajakan yang sesuai
dengan luas, lokasi dan penggunaan tanah
agar masyarakat golongan ekonomi lemah
dapat lebih mudah mendapatkan hak atas
tanah. Selain itu menyempurnakan sistem
hukum dan produk hukum pertanahan
melalui inventarisasi dan penyempurnaan
peraturan
perundang-undangan
pertanahan dengan mempertimbangkan
aturan
masyarakat
adat,
serta
peningkatan upaya penyelesaian baik
melalui
kewenangan
administrasi,
peradilan maupun alternative dispute
resolution. Selain itu akan dilakukan
penyempurnaan kelembagaan pertanahan
sesuai dengan semangat otonomi daerah
dan dalam kerangka Negara Kesatuan
64

Republik
Indonesia,
terutama
yang
berkaitan dengan peningkatan kapasitas
sumber daya manusia bidang pertanahan
di daerah.
Dari ketetapan MPR dan UU No. 17 Tahun
2007 tersebut, diharapkan untuk menjamin
adanya kepastian hukum atas bidang tanah
dilakukan berbagai upaya hukum untuk
melindunginya,
maka
harus
dilakukan
pendaftaran Hak Atas Tanahnya sehingga
tercapai kepastian dan perlindungan hukum.
Kebijakan
pertanahan
diwujudkan
dalam
kerangka tertib pertanahan yang disebut
dengan Catur Tertib Pertanahan, yaitu tertib
hukum
pertanahan,
tertib
administrasi
pertanahan, tertib penggunaan tanah dan tertib
pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup.
Kebijakan pertanahan ini sejalan dengan
amanat dari Pelita III sebagai pelaksana dari
Tap MPR No. IV/MPR/1979.
Tertib Hukum Pertanahan dimaksudkan
dalam setiap melakukan perbuatan hukum atas
tanah baik berupa peralihan hak (beralih atau
dialihkan) dan juga pembebanan hak harus
disertai dengan bukti perbuatan hukum
dimaksud yaitu berupa akta yang dibuat
dihadapan
pejabat
yang
mempunyai
kewenangan. Seringnya pembuatan akta ini
diabaikan oleh masyarakat kita, hal ini didasari
oleh rasa saling percaya, akan tetapi hal yang
demikian akan menjadikan permasalahan
hukum
dikemudian
hari.
Pentingnya
terwujudnya kepastian dan jaminan hukum
yang harus dilakukan oleh pemerintah dan
masyarakat selaku pemegang hak atas tanah.
Ada beberapa langkah yang harus diperhatikan
65

sehubungan dengan tertib hukum pertanahan,


yaitu :
1. penyuluhan kepada masyarakat akan
arti
pentingnya
tertib
hukum
pertanahan dalam rangka tercapainya
kepastian hukum termasuk penertiban
terhadap penguasaan dan penggunaan
tanah;
2. memberikan sanksi-sanksi hukum yang
tegas
terhadap
pelanggaranpelanggaran yang terjadi;
3.melengkapi
dan
menyempurnakan
peraturan
perundangan
dibidang
pertanahan;
4.
peningkatan
kemampuan
dan
ketrampilan teknis bagi para pelaksana;
dan
5. peningkatan pengawasan kedalam dan
keluar.
Dengan langkah-langkah tersebut diatas
dapat diharapkan akan terwujud tertib
hukum dan kepastian hukum dibidang
pertanahan, sehingga dengan demikian
persengketaan-persengketaan pertanahan
dapat dihindarkan85.
Dari keempat tertib pertanahan tersebut
diatas, salah satu sasaran yang cukup penting
yaitu
menyangkut
Tertib
Adimistrasi
Pertanahan. Terdapat beberapa indikator untuk
melihat tingkat keberhasilan dari kantor
85 Direktur Pengurusan Hak-Hak Tanah Direktorat
Jenderal Agraria Departemen Dalam Negeri, Tata
Laksana Pengurusan Hak AtasTanah, Jakarta, 1985,
hlm 9 - 10
66

pertanahan
dalam
mewujudkan
tertib
administrasi pertanahan, antara lain :
1.
diketahuinya
siapa
yang
memiliki/menguasai sesuatu bidang
tanah dan jenis penggunaan tanahnya;
2. bagaimana hubungan hukum antara
bidang tanah dengan yang menguasai
bidang tanah;
3. berapa luas suatu bidang tanah yang
dimiliki oleh orang atau badan hukum;
4.
dimana letak tanah tersebut yang
dapat dipetakan berdasarkan suatu
sistem proyeksi peta yang dipilih,
sehingga dapat dihindari tumpang
tindih sertipikat;
5. informasi yang disebutkan pada angka
1, 2, 3 dan 4 tersebut dikelola dalam
sistem informasi pertanahan yang
memadai;
6. penyimpanan dokumen yang tertib,
teratur, dan terjamin keamanannya;
dan
7.
terdapat
prosedur
tetap
yang
sederhana, cepat namun akurasinya
terjamin.86
Kelancaran
setiap
pengurusan
yang
menyangkut pertanahan secara otomatis akan
menunjang
kelancaran
dalam
proses
pembangunan, karena pembangunan itu sendiri
selalu membutuhkan lahan. Oleh karena itu

86 Andrian Sutedi, Politik dan Kebijakan Hukum


Pertanahan Serta Berbagai Permasalahannya,
(Jakarta : BP. Cipta Jaya, 2006), hlm. 4.
67

untuk kelancaran pembangunan perlu diambil


langkah-langkah :
1. tata cara permohonan hak atas tanah
sampai dengan penerbitan sertipikat
harus sederhana, lancar dan murah;
sehingga dengan demikian mendorong
para pemilik tanah untuk mengajukan
permohonan hak atas tanahnya;
2.
diusahakan agar setiap pelayanan
urusan pertanahan berjalan lebih tertib
dan lancar;
3. meningkatkan kesadaran hukum dan
disiplin
dengan
cara
melakukan
pembinaan
aparat
agraria
yang
menangani urusan agraria;
4. untuk ketertiban dan kelancaran tugastugas Agraria diperlukan adanya tertib
organisasi dan tertib pelaksanaan tugas
sesuai dengan peraturan perundangan
yang berlaku; dan
5. harus dicegah adanya pungutanpungutan
tambahan
yang
tidak
87
berdasarkan hukum.
Tertib Penggunaan Tanah dimaksudkan
bahwa setiap penggunaan tanah dilakukan
suatu perencanaan. Harapannya dalam setiap
penggunaan tanah harus dilakukan secara
berencana sehingga akan diperoleh manfaat
tanah secara optimal, seimbang dan lestari
dalam rangka terwujudnya kesejahteraan
rakyat banyak. Pentingnya untuk segera
87 Direktur Pengurusan Hak-Hak Tanah Direktorat
Jenderal Agraria Departemen Dalam Negeri, hlm
10
68

mewujudkan peraturan tentang Tata Guna


Tanah. UUPA pasal 14 dan 15 telah
memungkinkan untuk mengadakan usahausaha kearah terwujudnya tertib penggunaan
tanah, tetapi sebagian besar masyarakat tani
masih belum memahami asas tata guna
tanah.88 Tertib penggunaan tanah harus juga
sejalan dengan semangat dan jiwa dari pasal
33 ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan
bahwa tanah harus dipergunakan bagi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat dan disesuaikan
dengan kemampuan dari tanah itu sendiri.
Garis-garis Besar Haluan Negara menentukan
bahwa perlu diadakan penataan kembali
penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah
dalam rangka pemanfaatan tanah bagi
kesejahteraan rakyat banyak.89
Tertib pemeliharaan tanah dan lingkungan
hidup, dimaksudkan sebagai upaya untuk
mencegah kerusakan tanah dan kehilangan
kesuburan tanah, seperti banjir, tanah longsor,
serta menjaga kelestarian sumber daya alam
yang terkandung di atas dan/atau didalam
tanah.90 Setiap penggunaan suatu lahan
diharapkan melihat dulu kondisi dan potensi
dari lahan dimaksud, karena hal ini akan sangat
88Ibid, hlm 11
89 Departemen Dalam Negeri Direktorat Jenderal
Agraria, Pertanahan Dalam Era Pembangunan
Indonesia, (Jakarta, 1982), hlm. 111
90Ibid, hlm 12.
69

berpengaruh pada hasil yang diharapkan dalam


sebuah perencanaan.
Berkenaan dengan perlindungan hukum
yang harus dilakukan terhadap tanah kas desa,
dimaksudkan
perlindungan
yang
harus
diberikan terhadap tanah kas desa dengan
menggunakan sarana hukum atau perlindungan
yang diberikan oleh hukum.91 Upaya hukum
yang dilakukan dapat berupa tindakan-tindakan
yang diperlukan agar supaya pelanggaran
terhadap hak tidak akan terjadi atau disebut
dengan pencegahan atau preventif. Bilamana
pelanggaran hak telah terjadi, maka upaya
hukum tidak lagi bersifat preventif, tetapi
menjadi bersifat korektif karena tujuannya
melakukan koreksi terhadap akibat-akibat yang
terjadi
karena
adanya
perbuatan
yang
dilakukan oleh pelanggar hak. Upaya hukum
korektif dapat bersifat non yudisial karena
melibatkan lembaga non peradilan sebagai
misal pejabat-pejabat Administrasi Negara.
Upaya hukum yang lain yaitu upaya hukum
korektif yang dilakukan oleh lembaga yudisial
sehingga telah memasuki proses penegakan
hukum (law enforcement). 92
Perlindungan
terhadap
aset
negara
utamanya terhadap tanah kas desa harus
91 Harjono, Perlindungan Hukum (Membangun
sebuah konsep Hukum) dalam Konstitusi Sebagai
Rumah Bangsa, Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta,
2008), hlm 375.
92Ibid, hal. 386.
70

segera dilakukan. Hal ini dimaksudkan supaya


aset bangsa dan negara ini tidak musnah
begitu saja tetapi lebih memberikan nilai
manfaat bagi kesejahteraan masyarakat desa
tersebut. Perkembangan selanjutnya banyak
terjadinya pemekaran dan penggabungan
bahkan perubahan status desa menjadi
Kelurahan, hal ini harus sedini mungkin
dilakukan antisipasi atau tindakan preventif dari
para pemangku kepentingan yang bertanggung
jawab untuk memberikan perlindungan atas
aset bangsa dan negara tersebut yang berupa
tanah kas desa.
Beberapa hal yang menjadi penyebab
belum
memadainya
perlindungan
hak
masyarakat
atas
tanah,
utamanya
hak
masyarakat hukum adat yang kehilangan hak
atas tanahnya yang menjadi ruang hidup atau
Lebensraum, baik karena diambil alih secara
formal oleh pihak lain (dengan atau tanpa ganti
rugi yang memadai) atau karena tidak
diakuinya hak-hak masyarakat adat atas tanah
dan sumber daya alam lainnya, terbatasnya
akses masyarakat terhadap pemilikan dan
penguasaan tanah secara adil. Hal yang
demikian disebabkan oleh :
1.
kurangnya transparansi dalam hal
penguasaan dan pemilikan tanah. Hal
ini disebabkan oleh terbatasnya data
dan
informasi
penguasaan
dan
pemilikan
tanah
serta
kurang
transparannya data dan informasi yang
tersedia terhadap masyarakat. Hal ini
menyebabkan
terkonsentrasinya
penguasaan dan pemilikan tanah dalam
hal luasan (di pedesaan) dan/atau
71

jumlah bidang (di perkotaan), hanya


pada sebagian kecil masyarakat; dan
2.
belum
dijalankannya
program
landreform
secara
intensif
sebagaimana
diamanatkan
UUPA.
Sehingga upaya mewujudkan keadilan
dan pemerataan penguasaan tanah
untuk
kesejahteraan
rakyat
tidak
terlaksana dengan baik. Pada masa
orde baru landreform hanya dipandang
sebagai pelaksanaan teknis semata
yaitu redistribusi tanah pertanian dan
kebijakan
lebih
ditekankan
pada
peningkatan
produksi
pertanian.
Sementara itu,
kini pelaksanaan
landreform
dalam
arti
penataan,
penguasaan, pemilikan penggunaan
dan pemanfaatan tanah (P4T) menjadi
tuntutan banyak pihak sejalan dengan
ditetapkannya Tap MPR No. IX/2001.93
Dilakukannya pendaftaran tanah dengan
tujuan terwujudnya kepastian hak atas tanah.
Dengan kepastian hak setidak-tidaknya akan
dapat dicegah sengketa tanah. Dalam proses
pendaftaran tanah akan diterbitkan Sertipikat
Hak Atas Tanah. Sertipikat merupakan surat
tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan
data yuridis yang termuat di dalamnya,
sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut
sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur
93 Andrian Sutedi, Politik dan Kebijakan Hukum
Pertanahan Serta Berbagai Permasalahannya, hlm.
11
72

dan buku tanah hak yang bersangkutan, 94


dengan diterbitkannya Sertipikat hak atas
tanah, maka keberadaan tanah tersebut ada
suatu kepastian baik berkenaan dengan
kepastian
pemegang
hak
atau
subjek,
kepastian hak atas tanahnya (obyeknya) serta
yang utama pula tanah tersebut sudah
terdaftar di Kantor Pendaftaran tanah sekarang
Kantor Badan Pertanahan Nasional sehingga
setiap orang dapat mengetahui bahwa tanah
tersebut telah ada pemiliknya atau ada yang
menghaki. Kenyataan di lapangan pendaftaran
tanah yang menjadi amanat Pasal 19 ayat (1)
UUPA Jo. PP No. 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah tidak membuahkan hasil
yang menggembirakan. Pendaftaran tanah
diselenggarakan dalam rangka menjamin
kepastian
hukum
dibidang
pertanahan
(rechtskadarter atau legal cadastre).95
Pendaftaran tanah merupakan kewajiban
bagi pemerintah yang harus dilaksanakan
secara terus menerus dan juga kewajiban bagi
setiap pemegang hak atas tanah, baik
pendaftaran yang dilaksanakan untuk pertama
kalinya maupun pendaftaran hak setiap
terjadinya peralihan dan pembebanan hak.
Salah satu faktor penyebabnya adalah tingkat
kesulitan yang dialami oleh masyarakat.
Prosesnya lama dan biayanya mahal. Pelayanan
kantor
pertanahan
dilihat
dari
aspek
94 Pasal 32 PP No. 24 Tahun 1997
95 Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Hak Atas
Tanah di Indonesia, (Surabaya: Arloka, 2003), hlm.
106.
73

administrasi juga belum mampu memberikan


kinerja yang diharapkan yaitu pelayanan yang
sederhana, aman, terjangkau dan transparan.
Kenyataan yang terjadi adalah pelayanan yang
masih lambat, sulit, mahal dan berbelit-belit
serta memungkinkan terjadinya malpraktek.96
Keengganan masyarakat untuk melakukan
pendaftaran tanahnya karena selalu ada faktor
X yang menghantui mereka. Sungguhpun pada
beberapa kantor Pertanahan telah dicantumkan
biaya pendaftaran tanah, demikian pula biayabiaya lainnya apalagi dengan adanya biaya
pajak yang diperhitungkan dengan NJOP 97 untuk
setiap mutasi.98
Masih menurut pendapat Andrian Sutedi,
bahwa pada dasarnya tujuan pendaftaran tanah
adalah untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat. Dalam mencapai tujuan tersebut
sasaran
pemerintah
dalam
mengelola
pertanahan adalah catur tertib pertanahan
yaitu
tertib
hukum
pertanahan,
tertib
administrasi pertanahan, tertib penggunaan

96Andrian Sutedi, Politik dan Kebijakan Hukum


Pertanahan Serta Berbagai Permasalahannya, hlm.
1.
97 NJOP kepanjangan dari Nilai Jual Obyek Pajak
98 A.P. Parlindungan, Komentar Atas UndangUndang Perumahan dan Permukiman & UndangUndang Rumah Susun, Cet II, (Bandung: Mandar
Maju, 2001), hlm. 180.
74

tanah dan tertib pemeliharaan tanah dan


lingkungan hidup99.
Menurut pendapat Sir Charles FortescueBrickdate yang menyatakan bahwa ada 6 hal
yang harus digabungkan dalam pendaftaran
tanah,100 yaitu :
a.
security, bertolak dari kemantapan
sistem
sehingga
seseorang
akan
merasa aman atas hak tersebut baik
karena
membeli
tanah
tersebut
ataupun mengikatkan tanah tersebut
untuk suatu jaminan atas utang
(utang);
b.
simplicity, sederhana sehingga
setiap orang dapat mengerti;
c.
accuracy, bahwa terdapat ketelian
dari
sistem
pendaftaran
tersebut
secara lebih efektif;
d.
expedition, artinya dapat lancar
dan segera sehingga menghindari tidak
jelas yang bisa berakibat berlarut-larut
dalam pendaftaran tanah tersebut;
e.
cheapness,
yaitu
agar
biaya
tersebut dapat semurah mungkin;
f.
suitability to circumstances, yaitu
akan tetap berharga baik sekarang
maupun kelak di kemudian hari
pendaftaran tersebut;
g.
completeness of the record, terdiri
atas :
99Ibid, hlm. 2
100 Supriadi, Hukum Agraria, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2007), hlm. 166.
75

1. perekaman tersebut harus lengkap


lebih-lebih lagi masih ada tanahtanah yang belum terdaftar; dan
2. demikian pula pendaftaran dari
setiap
tanah
tertentu
dengan
berdasarkan keadaan pada waktu
didaftarkan.

BAB V
Jenis-jenis Hak Penguasan Atas Tanah
Dalam UUPA dikenal macam-macam hak
atas tanah, yang telah dijabarkan dalam Pasal
16 ayat (1) dan Pasal 53 UUPA, yang menurut
sifatnya dapat dikelompokkan menjadi 3
bidang, yaitu :
1. hak atas tanah yang bersifat tetap
Macam-macam hak atas tanah ini adalah
Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak
Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai (HP), Hak
Sewa
Untuk
Bangunan
(HSUB),
Hak
76

Membuka Tanah, dan Hak Memungut Hasil


Hutan.
2. hak atas tanah yang akan ditetapkan
dengan Undang-undang.
Macam hak atas tanah ini sampai sekarang
belum ada; dan
3. hak atas tanah yang bersifat sementara.
Macam-macam hak atas tanah ini : adalah
Hak Gadai (Gadai Tanah), Hak Usaha Bagi
Hasil
(Perjanjian
Bagi
Hasil),
Hak
Menumpang,
dan
Hak
Sewa
Tanah
Pertanian.
Boedi Harsono menjabarkan tentang hak
penguasaan atas tanah yang bersifat hak-hak
individual menjadi primer dan sekunder. Termasuk
dalam hak penguasaan primer yaitu : hak milik,
hak guna usaha, hak guna bangunan yang
diberikan oleh Negara, dan Hak Pakai, yang
diberikan oleh Negara (pasal 16), dan yang
termasuk dalam hak penguasaan sekunder yaitu :
hak guna bangunan dan hak pakai yang diberikan
oleh pemilik tanah, hak gadai, hak usaha bagi
hasil, hak menumpang, hak sewa dan lain-lainnya
(pasal 37, 41, dan 53).101
Sistem UUPA dalam menentukan macam hak atas
tanah tidak bersifat tertutup, artinya UUPA masih
membuka
peluang
adanya
perubahan
penambahan hak atas tanah selain yang
ditentukan dalam Pasal 16 ayat (1). Hal ini dapat
diketahui secara implisit dari Pasal 16 ayat (1)
huruf h UUPA yang menyatakan bahwa hak-hak
101 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia,
Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok
Agraria, isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta:
Djambatan, Edisi Revisi 1999, 1999), hlm. 255
77

lain yang
undang.102

akan

ditentukan

dengan

Undang-

5.1 Hak Atas Tanah Yang bersifat tetap


a. Hak Milik
Hak Milik berdasarkan pasal 20 ayat 1 UUPA
adalah hak atas tanah yang turun temurun
terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai
orang atas tanah. Dengan mengingat
ketentuan pada pasal 6 UUPA (semua hak
atas tanah mempunyai fungsi sosial). Jadi
dapat disimpulkan bahwa hak milik
mempunyai unsur-unsur :
1.
Terkuat:
menunjuk
jangka waktunya (jangka waktu yang
tidak ditentukan);
2.
Terpenuh: menunjuk luas
wewenangnya
dalam
menggunakan
tanah tersebut (wewenangnya tidak
dibatasi)
3.
Turun temurun: artinya
dapat
diwariskan
atau
dapat
dipindahkan dari satu generasi ke
generasi berikutnya.
Hak Milik dapat diwariskan, dapat diperjual
belikan, dapat diberikan secara sukarela,
dapat dihibahkan, dapat diwakafkan, dan
dapat dipakai sebagai jaminan hutang.
Pasal 21
(1) Hanya warganegara Indonesia dapat
mempunyai hak milik.
102Sumardji, Eksistensi, Pendaftaran, dan
Pembebanan Hak Pengelolaan, Yuridika, Vol. 15 No. 1,
Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, Januari
2000, hal. 58.

78

(2) Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan


hukum yang dapat mempunyai hak milik dan
syarat-syaratnya.

79

(3)

Orang asing yang sesudah berlakunya


Undang-undang ini memperoleh hak milik
karena
pewarisan
tanpa
wasiat
atau
percampuran harta karena perkawinan,
demikian pula warganegara Indonesia yang
mempunyai hak milik dan setelah berlakunya
undang-undang
ini
kehilangan
kewarganegaraannya wajib melepaskan hak
itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak
diperolehnya hak tersebut atau hilangnya
kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka
waktu tersebut lampau hak milik itu tidak
dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena
hukum dan tanahnya jatuh pada Negara,
dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain
yang membebaninya tetap berlangsung.
(4)
Selama
seseorang
di
samping
kewarganegaraan Indonesianya mempunyai
kewarganegaraan asing maka ia tidak dapat
mempunyai tanah dengan hak milik dan
baginya berlaku ketentuan dalam ayat (3)
pasal ini.
Pasal 22
(1) Terjadinya hak milik menurut hukum adat
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Selain menurut cara sebagai yang dimaksud
dalam ayat (1) pasal ini hak milik terjadi
karena :
a. penetapan Pemerintah, menurut cara dan
syarat-syarat yang ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah;
b. ketentuan Undang-undang.
Pasal 23
80

(1) Hak milik, demikian pula setiap peralihan,


hapusnya dan pembebanannya dengan hakhak
lain
harus
didaftarkan
menurut
ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam
pasal 19.
(2) Pendaftaran termaksud dalam ayat (1)
merupakan alat pembuktian yang kuat
mengenai hapusnya hak milik serta sahnya
peralihan dan pembebanan hak tersebut.
Pasal 24
Penggunaan tanah milik oleh bukan pemiliknya
dibatasi
dan
diatur
dengan
peraturan
perundangan.
Pasal 25
Hak milik dapat dijadikan jaminan utang dengan
dibebani hak tanggungan.
Pasal 26
(1)
Jual-beli,
penukaran,
penghibahan,
pemberian
dengan
wasiat,
pemberian
menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain
yang dimaksudkan untuk memindahkan hak
milik serta pengawasannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
(2) Setiap jual beli, penukaran, penghibahan,
pemberian dengan wasiat dan perbuatanperbuatan lain yang dimaksudkan untuk
langsung atau tidak langsung memindahkan
hak milik kepada orang asing, kepada
seorang
warganegara
yang
disamping
kewarganegaraan Indonesianya mempunyai
kewarganegaraan asing atau kepada suatu
badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh
81

Pemerintah termaksud dalam pasal 21 ayat


(2), adalah batal karena hukum dan tanahnya
jatuh kepada Negara, dengan ketentuan,
bahwa
hak-hak
pihak
lain
yang
membebaninya tetap berlangsung serta
semua pembayaran yang telah diterima oleh
pemilik tidak dapat dituntut kembali.
Pasal 27
Hak milik hapus bila :
a. tanahnya jatuh kepada Negara :
1. karena pencabutan hak berdasarkan pasal
18;
2. karena penyerahan dengan sukarela oleh
pemiliknya ;
3. karena diterlantarkan;
4. karena ketentuan pasal 21 ayat (3) dan
pasal 26 ayat (2).
b. tanahnya musnah.
b. Hak Guna Usaha
Hak Guna Usaha diatur dalam UUPA pasal 28
sampai dengan pasal 34 juga diatur dalam PP
No. 40 Tahun 1996, selanjutnya diuraikan
tentang Hak Guna Usaha dari pasal-pasal
berikut :
Pasal 28
(1)

Hak
guna-usaha
adalah
hak
untuk
mengusahakan tanah yang dikuasai langsung
oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana
tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan
pertanian, perikanan atau peternakan.

(2) Hak guna-usaha diberikan atas tanah yang


luasnya paling sedikit 5 hektar, dengan
ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau
82

lebih harus memakai investasi modal yang


layak dan tehnik perusahaan yang baik, sesuai
dengan perkembangan zaman.
(3) Hak guna-usaha dapat beralih dan dialihkan
kepada pihak lain.
Pasal 29
(1) Hak guna-usaha diberikan untuk waktu paling
lama 25 tahun.
(2) Untuk perusahaan yang memerlukan waktu
yang lebih lama dapat diberikan hak guna
usaha untuk waktu paling lama 35 tahun.
(3) Atas permintaan pemegang hak dan mengingat
keadaan perusahaannya jangka waktu yang
dimaksud dalam ayat (1) dan (2) pasal ini dapat
diperpanjang dengan waktu paling lama 25
tahun.
Pasal 30
(1) Yang dapat mempunyai hak guna-usaha ialah :
a. warganegara Indonesia;
b. badan hukum yang didirikan menurut hukum
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

83

(2) Orang atau badan hukum yang mempunyai hak


guna usaha dan tidak lagi memenuhi syaratsyarat sebagai yang tersebut dalam ayat (1)
pasal ini dalam jangka waktu satu tahun wajib
melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada
pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini
berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh
hak guna usaha, jika ia tidak memenuhi syarat
tersebut.
Jika
hak
guna
usaha
yang
bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan
dalam jangka waktu tersebut maka hak itu
hapus karena hukum, dengan ketentuan bahwa
hak-hak pihak lain akan diindahkan, menurut
ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 31
Hak guna usaha
Pemerintah.

terjadi

karena

penetapan

Pasal 32
(1)

Hak guna usaha, termasuk syarat-syarat


pemberiannya, demikian juga setiap peralihan
dan
penghapusan
hak
tersebut,
harus
didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang
dimaksud dalam pasal 19

(2)

Pendaftaran termaksud dalam ayat (1)


merupakan
alat
pembuktian
yang
kuat
mengenai peralihan serta hapusnya hak guna
usaha, kecuali dalam hal hak itu hapus karena
jangka waktunya berakhir.

Pasal 33
Hak guna usaha dapat dijadikan jaminan utang
dengan dibebani hak tanggungan.
Pasal 34
84

Hak guna usaha hapus karena :


a. jangka waktunya berakhir;
b. dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir
karena sesuatu syarat tidak dipenuhi;
c. dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum
jangka waktunya berakhir;
d. dicabut untuk kepentingan umum;
e. diterlantarkan;
f. tanahnya musnah;
g. ketentuan dalam pasal 30 ayat (2).
c. Hak Guna Bangunan
Hak Guna Bangunan diatur dalam UUPA dari
pasal 35 sampai dengan pasal 40 dan juga
diatur dalam PP No. 40 Tahun 1996 dari pasal
19 sampai dengan pasal 38. Selanjutnya dapat
dijabarkan dalam beberapa pasal sebagai
berikut :
Pasal 35
(1) Hak guna bangunan adalah hak untuk
mendirikan
dan
mempunyai
bangunanbangunan atas tanah yang bukan miliknya
sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30
tahun.

85

(2) Atas permintaan pemegang hak dan dengan


mengingat keperluan serta keadaan bangunanbangunannya, jangka waktu tersebut dalam
ayat (1) dapat diperpanjang dengan waktu
paling lama 20 tahun.
(3) Hak guna bangunan dapat beralih dan dialihkan
kepada pihak lain.
Pasal 36
(1) Yang dapat mempunyai hak guna bangunan
ialah :
a. warganegara Indonesia;
b. badan hukum yang didirikan menurut hukum
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
(2) Orang atau badan hukum yang mempunyai hak
guna bangunan dan tidak lagi memenuhi
syarat-syarat yang tersebut dalam ayat (1)
pasal ini dalam jangka waktu 1 tahun wajib
melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada
pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini
berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh
hak guna bangunan, jika ia tidak memenuhi
syarat-syarat tersebut. Jika hak guna bangunan
yang bersangkutan tidak dilepaskan atau
dialihkan dalam jangka waktu tersebut, maka
hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan
bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan,
menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 37
Hak guna bangunan terjadi :
a. mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara : karena penetapan Pemerintah;
b. mengenai tanah milik : karena perjanjian yang
berbentuk otentik antara pemilik tanah yang
bersangkutan
dengan
pihak
yang
akan
memperoleh hak guna bangunan itu, yang
bermaksud menimbulkan hak tersebut.
86

Pasal 38
(1) Hak guna bangunan, termasuk syarat-syarat
pemberiannya, demikian juga setiap peralihan
dan hapusnya hak tersebut harus didaftarkan
menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud
dalam pasal 19.
(2) Pendaftaran termaksud dalam ayat (1)
merupakan
alat
pembuktian
yang
kuat
mengenai hapusnya hak guna bangunan serta
sahnya peralihan hak tersebut, kecuali dalam
hal hak itu hapus karena jangka waktunya
berakhir.
Pasal 39
Hak guna bangunan dapat dijadikan jaminan utang
dengan dibebani hak tanggungan.
Pasal 40
Hak guna bangunan hapus karena :
a. jangka waktunya berakhir;
b. dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir
karena sesuatu syarat tidak dipenuhi;
c. dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum
jangka waktunya berakhir;
d. dicabut untuk kepentingan umum;
e. diterlantarkan;
f. tanahnya musnah;
g. ketentuan dalam pasal 36 ayat (2).
d. Hak Pakai
Hak Pakai diatur dalam UUPA pasal 41 sampai
pasal 43 dan PP No. 40 Tahun 1996 dari pasal
39 sampai dengan pasal 58. Selanjutnya
diuraikan sebagai berikut :
Pasal 41
(1) Hak pakai adalah hak untuk menggunakan
dan/atau memungut hasil dari tanah yang
dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik
orang lain, yang memberi wewenang dan
87

kewajiban yang ditentukan dalam keputusan


pemberiannya oleh pejabat yang berwenang
memberikannya atau dalam perjanjian dengan
pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewamenyewa atau perjanjian pengolahan tanah,
segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan
jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang
ini.
(2) Hak pakai dapat diberikan :
a. selama jangka waktu yang tertentu atau
selama
tanahnya
dipergunakan
untuk
keperluan yang tertentu;
b. dengan cuma-cuma, dengan pembayaran
atau pemberian jasa berupa apapun.
(3) Pemberian hak pakai tidak boleh disertai
syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur
pemerasan.
Pasal 42
Yang dapat mempunyai hak pakai ialah :
a. warga negara Indonesia;
b. orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
c. badan hukum yang didirikan menurut hukum
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
d. badan hukum asing yang mempunyai
perwakilan di Indonesia.
Pasal 43
(1) Sepanjang mengenai tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara maka hak pakai hanya
dapat dialihkan kepada pihak lain dengan izin
penjabat yang berwenang.
(2) Hak pakai atas tanah milik hanya dapat
dialihkan kepada pihak lain, jika hal itu
88

dimungkinkan
bersangkutan.

dalam

perjanjian

yang

5.2 Hak Atas Tanah Sementara


Hak atas tanah yang bersifat sementara diatur
dalam pasal 16 ayat (1) huruf h yang
selanjutnya dipertegas dalam ketentuan pasal
53 UUPA, yang berbunyi sebagai berikut :
Pasal 16 ayat (1) huruf h. hak-hak lain yang tidak
termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang
akan ditetapkan dengan undang-undang serta
hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang
disebutkan dalam pasal 53.
Pasal 53
(1) Hak-hak yang sifatnya sementara sebagai
yang dimaksud dalam pasal 16 ayat (1)
huruf h, ialah hak gadai, hak usaha bagi
hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah
pertanian diatur untuk membatasi sifatsifatnya yang bertentangan dengan Undangundang ini dan hak-hak tersebut diusahakan
hapusnya di dalam waktu yang singkat.
(2) Ketentuan dalam pasal 52 ayat (2) dan (3)
berlaku terhadap peraturan-peraturan yang
dimaksud dalam ayat (1) pasal ini.
1. Gadai Tanah Pertanian
Gadai tanah pertanian diatur dalam
ketentuan UU No. 56 Prp tahun 1960, dalam
pasal 7 mengatur bahwa :
Gadai tanah pertanian jangka waktunya
dibatasi 7 tahun, bilamana dalam jangka
waktu tersebut lewat, maka si pemegang
gadai wajib mengembalikan obyek gadai
kepada si pemilik tanah tanpa uang
tebusan. Bilamana gadai belum sampai 7
tahun mk berlaku rumus :
89

(7 + ) Jw. Gadai X Uang Gadai


7
Begitu pula bilamana pada saat akad
terjadinya gadai menggunakan ketentuan
harga emas atau beras, maka resiko yang
terjadi akibat kenaikan harga emas atau
beras tersebut harus ditanggung berdua
yaitu pemilik tanah dan pemegang gadai.
2. Hak Usaha Bagi Hasil
Hak
Usaha
bagi
Hasil
adalah
Hak
Pengelolaan Tanah Pertanian antara pemilik
dengan penggarap dengan sistem hasilnya
dilakukan
pembagian
sesuai
dengan
kesepakatan Hak Usaha bagi hasil diatur
dalam UU No. 2 Tahun 1960
Syarat atau Ciri-ciri Hak Usaha Bagi Hasil :
1. Jangka waktunya terbatas
2.
Tidak
dapat
dialihkan
kecuali
seijinpemegang Hak Atas Tanah
3. Tidak hapus dangan beralihnya Hah Atas
Tanah-nya
4. didaftarkan di kepala Desa
Hapusnya Hak Usaha Bagi Hasil :
1. Jangka waktunya berakhir
2.
atas
kesepakatan
kedua
belah
pihakdiakhiri
3. meninggalnya pemegang Hak Atas Tanah
4. pelanggaran atas perjanjian
5. tanahnya musnah
Jangka Waktu Hak Usaha Bagi hasil :
1. Untuk Tanah Sawah selama 3 tahun;
2. Untuk Tanah kering selama 5 tahun.
Ketentuan-ketentuan lain :

90

1. Perjanjian
tidak
terputus
dengan
beralihnya Hak Atas Tanah kepada pihak
lain
2. Penggarap
meninggal
dunia
dapat
dialihkan kepada ahli warisnya
3. Hak Menumpang
Asal mula terjadinya Hak Menumpang yaitu
pemegang Hak Atas Tanah
merasa iba
kepada
seseorang sehingga memberi
kesempatan kepada
orang lain untuk
mendiami
bidang tanahnya.
Ketentuan-ketentuan dalam hak
menumpang:
1. Sewaktu-waktu dapat diakhiri oleh pemilik
tanah;
2. Tidak wajib membayar sewa;
3. Tidak wajib didaftarkan;
4. Tidak dapat dialihkan atau dipindah
tangankan;
5. Pemegang Hak Atas Tanah tidak wajib
memberipesangon kepada
pihak yang
menempati tanah
4. Hak Sewa Tanah Pertanian
Awal mula terjadinya Hak sewa tanah
pertanian adalah unsur tolong menolong,
akan tetapi karena jangka waktu sewa yang
terlalu lama sehingga menyebabkan si
pemilik tanah tidak lagi sebagai petani yang
memiliki ladang tetapi menjadi buruh tani
(hal
ini
yang
bertentangan
dengan
ketentuan pasal 6 UUPA tentang fungsi
sosial).
91

Sewa tanah tanah pertanian dapat dilakukan


dengan perjanjian tertulis atapun tidak
tertulis asalkan memenuhi unsur-unsur : ada
pihak-pihak pemilik tanah dan penyewa, ada
obyek yang disewakan, ada uang sewa, ada
jangka waktu sewa.
Hak Sewa tanah pertanian akan hapus :
1. Jangka waktunya telah berakhir;
2. Dialihkan pada orang lain;
3. Tanahnya musnah;
4. Hak sewa dilepaskan oleh penyewa.
5.3 Hak Atas Tanah Berdasarkan UU
Hak Atas Tanah Berdasarkan UU ini hingga
sekarang belum ada.

BAB VI
Landreform di Indonesia
Landreform meliputi perombakan mengenai
pemilikan dan penguasaan tanah serta hubunganhubungan yang bersangkutan dengan penguasaan
tanah.
Landreform
perlu
adanya
demi
kelangsungan hidup bangsa dalam menuju
masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan
Pancasila. Walaupun konsepsi Landreform itu
sendiri pernah disalah tafsirkan, terutama pada
permulaan tahun 1961 dan lebih-lebih setelah
terjadinya peristiwa G. 30.S. PKI, sering kali
dikemukakan anggapan bahwa Landreform yang
92

diselenggarakan itu ada gagasan PKI. Hal ini


mengandungunsur politik yang bertujuan untuk
mencari pendukung dari partai tersebut.
Landreform
yang
diselenggarakan
di
Indonesia adalah merupakan konsepsi Revolusi
Indonesia yang bertujuan mencapai masyarakat
Sosialis Pancasila. Demi tujuan yang luhur tersebut
maka peraturan-peraturan mengenai masalah
yang perlu ditata kembali, disesuaikan dengan
tuntutan jaman yang semakin lama tanah
merupakan kebutuhan yang sangat pokok.103
6.1
Pengertian dan Program Landreform
Ada dua pengertian Landreform :
1. Pengertian dalam arti luas, meliputi :
a. Pembatasan hak-hak asing atas tanah
(mengakhiri feodalisme)
b. Perencanaan penggunaan bumi, air,
ruang angka dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya.
c. Perombakan
pemilikan/penguasaan
tanah.
2. Pengertian dalam arti sempit
Adalah serangkaian tindakan yang meliputi
perombakan
mengenai
pemilikan
dan
penguasaan tanah, serta hubungan yang
bersangkutan.104
Program Landreform :
1. Larangan untuk memiliki/menguasai tanah
pertanian
yang
melampaui
batas
maksimum (pasal 7 UUPA)
103 Mudjiono, Politik dan Hukum Agraria,
(Yogyakarta: Liberty, 1997), hlm 62
104 Ibid, hlm. 63
93

2. Kewajiban bagi pemilik tanah untuk


melakukan pekerjaan menggarap tanah
pertaniannya sendiri secara aktif (pasal 10
UUPA)
3. Larangan pemilikan tanah secara absentee.
Ketentuan Landreform di atur dalam Uu No. 56
Prp 1960.
6.2
Tujuan
Landreform
dan
Larangan
menguasai tanah yang melampaui batas
1. Untuk mengadakan pembagian yang adil
atas sumber kehidupan rakyat tani yang
berupa tanah, dengan maksud agar ada
pembagi hasil yang adil pula, dengan
merombak struktur pertanahan sama sekali
secara revolusioner, guna merealisirkeadilan
sosial.
2. Untuk melaksanakan prinsip: tanah untuk
tani, agar tidak terjadi lagi tanah sebagai
obyek spekulasi dan alat pemerasan.
3. Untuk mempurkuat dan memperluas hak
milik atas tanah bagi setiap warga negara
Indonesia, baik laki-laki maupun wanita
yang berfungsi sosial. Suatu pengakuan dan
perlindungan terhadap privaat bezit yaitu
hak milik sebagai hak yang terkuat, bersifat
perorangan dan turun temurun tetapi
berfungsi sosial.
4. Untuk mengakhiri sistem tuan tanah dan
penghapusan pemilikan dan penguasaan
tanah secara besar-besaran dengan tak
terbatas, dengan menyelenggarakan batas
maksimum dan batas minimum untuk tiap
keluarga. Sebagai kepala keluarga dapat
seorang laki-laki ataupun wanita. Dengan
demikian mengikis pula sistem liberalisme
dan kapitalisme atas tanah dan memberikan
94

perlindungan terhadap golongan yang


ekonomis lemah.
5. Untuk mempertinggi produksi nasional dan
mendorong
terselenggaranya
pertanian
yang intensif secara gotong royong dalam
bentuk koperasi dan bentuk gotong royong
lainnya, untuk mencapai kesejahteraan yang
merata dan adil, dibarengi dengan sistem
perkreditan yang khusus ditujukan kepada
golongan tani.
6.3
Ketentuan batasan penguasaan atas
tanah
Ketentuan
batasan
maksimum
penguasaan atas tanah diatur dalam ketentuan
pasal 1 UU No. 56 Prp 1960, menyatakan :
(1) Seorang atau orang-orang yang dalam
penghidupannya merupakan satu keluarga
bersama-sama
hanya
diperbolehkan
menguasai tanah pertanian, baik miliknya
sendiri atau kepunyaan orang lain, yang
jumlah luasnya tidak melebihi batas
maksimum sebagai yang ditetapkan dalam
ayat 2 pasal ini.
(2) Dengan memperhatikan jumlah penduduk,
luas daerah dan faktor-faktor lainnya, maka
luas maksimum yang dimaksud dalam ayat
1 pasal ini ditetapkan sebagai berikut :
Di derah-daerah yang

1
2

Tidak Padat
Padat
a. Kurang padat
b. Cukup padat
c. Sangat padat

Sawah
(hektar
)
15
10
7,5
5

ata
u

Tanah kering
(hektar)
20
12
9
6

95

Jika tanah pertanian yang dikuasai itu


merupakan sawah dan tanah kering, maka
untuk menghitung luas maksimum tersebut,
luas sawah dijumlahkan dengan luas tanah
kering dengan menilai tanah kering sama
dengan sawah ditambah 30 % di daerahdaerah yang tidak padat dan 20% di daerahdaerah yang padat dengan ketentuan
bahwa tanah pertanian yang dikuasai
seluruhnya tidak boleh lebih dari 20 hektar.
(3) Atas dasar ketentuan dalam ayat 2 pasal ini,
maka penetapan luas maksimum untuk tiaptiap daerah dilakukan menurut perhitungan
sebagai yang tercantum dalam daftar yang
dilampirkan pada peraturan ini.
(4) Luas maksimum tersebut pada ayat 2 pasal
ini tidak berlaku terhadap tanah pertanian:
a. Yang dikuasai dengan hak guna usaha
atau hak-hak lainnya yang bersifat
sementara dan terbatas yang didapat
dari pemerintah;
b. Yang dikuasai oleh badan-badan hukum.

96

BAB VII
KONVERSI
Ruang lingkup agraria menurut UUPA,
meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Ruang lingkup bumi meliputi permukaan bumi,
dan tubuh bumi di bawahnya serta yang berada
di bawah air. Permukaan bumi sebagai bagian
dari bumi juga disebut tanah. Tanah yang
dimaksudkan disini bukan mengatur tanah
dalam segala aspeknya, melainkan hanya
mengatur salah satu aspek, yaitu tanah dalam
pengertian
yuridis
yang
disebut
hak
penguasaan atas tanah.
Menurut Boedi Harsono, hak penguasaan
atas
tanah
berisi
serangkaian
wewenang, kewajiban dan/atau larangan
bagi pemegang haknya untuk berbuat
sesuatu mengenai tanah yang dihaki.
Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang
untuk diperbuat, yang merupakan isi hak
penguasaan
itulah
yang
menjadi
kriterium atau tolok pembeda di antara
hak-hak penguasaan atas tanah yang
diatur dalam Hukum Tanah.105
Dalam UUPA dimuat hierarkhi hak-hak
penguasaan atas tanah, yaitu:
105Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia
Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, hlm. 24.
97

1. hak Bangsa Indonesia yang disebut


dalam
pasal
1,
sebagai
hak
penguasaan
atas
tanah
yang
tertinggi, beraspek perdata dan
publik;
2. hak menguasai dari Negara yang
disebut dalam pasal 2, semata-mata
beraspek publik;
3. hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat,
yang
disebut
dalam
pasal
3,
beraspek perdata dan publik; dan
4. hak perorangan/individual, semuanya
beraspek perdata, terdiri atas:
a. hak-hak atas tanah, sebagai hakhak individu yang semuanya
secara langsung ataupun tidak
langsung bersumber pada hak
Bangsa, yang disebut dalam pasal
16 dan 53; dan
b. wakaf, yaitu Hak Milik yang sudah
diwakafkan, diatur dalam pasal
49;
c. hak Jaminan Atas Tanah yang
disebut Hak Tanggungan, diatur
dalam pasal 25,33, 39 dan 51.106
Hak penguasaan atas tanah yang
tertinggi adalah Hak Bangsa Indonesia atas
tanah. Hak bangsa Indonesia atas tanah
mempunyai sifat komunalistik, artinya semua
tanah yang ada dalam wilayah Republik
Indonesia merupakan tanah bersama rakyat
Indonesia, yang bersatu sebagai Bangsa
Indonesia (Pasal 1 ayat (1) UUPA). Hak Bangsa
Indonesia atas tanah juga mempunyai sifat
106Ibid
98

religius, artinya seluruh tanah yang ada dalam


wilayah Republik Indonesia merupakan karunia
Tuhan Yang Maha Esa (Pasal 1 ayat (2) UUPA).
Hubungan antara Bangsa Indonesia dengan
tanahnya bersifat abadi, artinya hubungan
antara bangsa Indonesia dengan tanah akan
berlangsung tiada terputus untuk selamalamanya. Sifat abadi artinya selama rakyat
Indonesia masih bersatu sebagai Bangsa
Indonesia dan selama tanah bersama tersebut
masih ada pula, dalam keadaan yang
bagaimanapun tidak ada satu kekuasaan yang
akan dapat memutuskan atau meniadakan
hubungan tersebut (Pasal 1 ayat (3) UUPA).
Begitu pula dalam memori penjelasan
angka II/2 menegaskan, bahwa perkataan
dikuasai dalam pasal ini bukanlah berarti
dimiliki tetapi pengertian yang memberikan
wewenang kepada negara sebagai organisasi
kekuasaan dari bangsa Indonesia, sebelumnya
disebut
sebagai
Badan
Penguasa
pada
tingkatan tertinggi untuk :
a. mengatur dan menyelenggarakan
peruntukan, penggunaan, persediaan,
dan pemeliharaan bumi, air, dan
ruang angkasa tersebut;
b. menentukan
dan
mengatur
hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi, dan lainlainnya itu (dengan perkataan lain,
menentukan dan mengatur hak-hak
yang dapat dipunyai atas bumi dan
lain-lainnya itu); dan
c. menentukan
dan
mengatur
hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang
dan
perbuatanperbuatan hukum yang mengenai
99

bumi, air, dan ruang angkasa. (Segala


sesuatu itu tentunya termasuk juga
kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya). Penegasannya mengenai
arti perkataan dikuasai dinyatakan
dalam pasal 2 ayat (2).107
Kewenangan Negara dalam bidang
pertanahan yang tertera dalam Pasal 2 ayat (2)
UUPA merupakan pelimpahan tugas bangsa
untuk mengatur penguasaan dan memimpin
penggunaan tanah bersama yang merupakan
kekayaan nasional. Tegasnya, hak menguasai
Negara
atas
tanah
adalah
pelimpahan
kewenangan
publik
dari
hak
bangsa.
Konsekuensinya, kewenangan tersebut hanya
bersifat publik semata.108
Lebih lanjut dalam pasal 2 ayat (4) UUPA
dinyatakan
bahwa
pelaksanaan
hak
menguasai dari negara atas tanah dapat
dikuasakan atau dilimpahkan kepada daerahdaerah swatantra (pemerintah daerah) dan
masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar
diperlukan dan tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional
menurut ketentuan
peraturan pemerintah. Selanjutnya dalam
penjelasan ayat tersebut dijelaskan bahwa :
107 Edy Ruchiyat, Politik Pertanahan Nasional
Sampai Orde Reformasi, Cet ketiga, (Bandung: PT.
Alumni, 2006), hlm. 11
108Oloan Sitorus dan Nomadyawati, Hak Atas
tanah dan Kondominium Suatu Tinjauan Hukum,
(Jakarta: Dasamedia utama, 1994), hlm. 7.
100

Bersangkutan dengan asas otonomi dan


medebewind
dalam
penyelenggaraan
pemerintah daerah. Soal agraria menurut
sifatnya dan pada asasnya merupakan
tugas pemerintah pusat (pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar). Dengan demikian
maka
pelimpahan wewenang untuk
melaksanakan
hak
penguasaan
dari
Negara atas tanah itu adalah merupakan
medebewind. Segala sesuatunya akan
diselenggarakan
dengan
kepentingan
nasional. Wewenang dalam bidang agraria
dapat merupakan sumber keuangan bagi
daerah itu.

1.

2.

3.

Penguasaan tanah oleh Negara dapat


dibedakan menjadi :
penguasaan
secara
penuh, yaitu
terhadap tanah-tanah yang tidak
dipunyai dengan suatu hak oleh suatu
subyek hukum. Tanah ini dinamakan
tanah bebas/tanah negara atau
tanah yang dikuasai langsung oleh
negara. Negara dapat memberikan
tanah ini kepada suatu subyek hukum
dengan suatu hak;
penguasaan
secara
terbatas/tidak
penuh yaitu, terhadap tanah-tanah
yang sudah dipunyai dengan suatu hak
oleh suatu subyek hukum. Tanah ini
dinamakan tanah hak atau tanah
yang dikuasai tidak langsung oleh
negara; dan
kekuasaan negara yang bersumber
pada hak menguasai tanah oleh
negara terhadap tanah hak, dibatasi
oleh isi dari hak itu. Artinya, kekuasaan
101

negara
tersebut
dibatasi
oleh
kekuasaan (wewenang) pemegang hak
atas tanah yang diberikan oleh negara
untuk menggunakan haknya.109
UUPA
tidak
hanya
mengenal
hak
menguasai tanah oleh negara saja akan tetapi
juga mengenal hak bangsa atas semua tanah
yang ada di wilayah Indonesia110, sebagaimana
diatur dalam pasal 1 ayat (1, 2, dan 3) yang
berbunyi sebagai berikut:
1. seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan
tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, yang
bersatu sebagai bangsa Indonesia;
2. seluruh bumi, air dan ruang angkasa,
termasuk kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya dalam wilayah Republik
Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha
Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa
bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan
nasional; dan
3. hubungan antara bangsa Indonesia dan
bumi, air serta ruang angkasa termaksud
dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan
yang bersifat abadi
Berdasarkan
konsep
negara
hukum,
tentang issue tujuan hukum telah dikemukakan
bahwa fungsi negara atau pemerintah dalam
arti luas adalah melaksanakan hukum dan
menjamin hak-hak pribadi (Borker, 1956).
Adanya hubungan yang erat antara fungsi
109 Muhammad Bakri, Hak Menguasai Tanah Oleh
Negara (Paradigma Baru Untuk Reformasi Agraria),
hlm. 38 - 39
110 Ibid, hlm. 39
102

negara
(pemerintah)
dengan
hak-hak
kepentingan
individu.
Setiap
individu
mempunyai keinginan untuk menikmati hakhaknya dan pemerintah juga mempunyai
kewajiban untuk mengamankan dan melindungi
hak-hak individu tersebut. Sebaliknya hak-hak
individu tersebut harus dibatasi oleh negara
(pemerintah) guna memberikan keamanan dan
perlindungan terhadap individu yang lainnya. 111
Menurut Aristoteles, fungsi negara tidak
sekedar membuat kehidupan rakyatnya tertib,
tetapi sekaligus membuat kehidupan rakyatnya
menjadi lebih baik.112
Hans Kelsen, mengemukakan bahwa
berkaitan dengan negara hukum yang juga
merupakan
negara
demokratis,
mengargumentasikan
empat
syarat
rechtsstaat,
yaitu
negara
yang
(1)
kehidupannya sejalan dengan konstitusi dan
undang-undang yang proses pembuatannya
dilakukan oleh parlemen. Anggota-anggota
parlemen itu sendiri dipilih langsung oleh
rakyat;
(2)
mengatur
mekanisme
pertanggungjawaban bagi atas setiap kebijakan
dan tindakan kenegaraan yang dilakukan oleh
elite negara; (3) menjamin kemerdekaan
kekuasaan kehakiman; dan (4) melindungi hakhak asasi manusia.113
Begitu pula adanya pengakuan yang
diberikan oleh negara kepada
masyarakat
111 Tjuk Wirawan, Amputasi Hukum Suatu Upaya
Para Dimokrat Pembangunan, Cet. III, (Jember:
Universitas Jember, 2000), hlm. 9
112Ibid.
103

hukum adat, dalam ketentuan pasal 2 ayat (4)


UUPA sangat jelas. Prinsip pengakuan terhadap
hak ulayat dan hak-hak serupa dari masyarakat
Hukum Adat sebagaimana yang dimaksud
dalam pasal 3 UUPA beserta Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional
No.
5
Tahun
1999,
tentang
Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat
Hukum Adat. Hak Ulayat yang diakui menurut
UUPA adalah Hak Ulayat masyarakat Hukum
Adat yang dianggap masih ada dan apabila
terdapat sekelompok orang yang masih merasa
terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai
warga bersama suatu persekutuan hukum
tertentu
yang
diakui
dan
menerapkan
ketentuan-ketentuan
persekutuan
tersebut
dalam kehidupan sehari-hari.114
Disebutkan pula dalam dasar-dasar
kebijaksanaan
pembangunan
bidang
pertanahan yang telah diletakkan dalam UUPA
pada nomor 2, yaitu :
pengakuan
terhadap
hak
ulayat
dilakukan
sepanjang
menurut
kenyataannya masih ada, serta sesuai
dengan
kepentingan
nasional
dan
113 Hans Kelsen, Pure Theory of Law,(1967), hlm
313 lihat juga Denny Indrayana, Negara Antara
Ada dan Tiada Reformasi Hukum Ketatanegaraan,
Kompas, (Jakarta: 2008), hlm. 9.
114 Sri Winarsi, Pengelolaan Tanah Kas Desa Di Era
Otonomi Daerah, Yuridika, Vol. 29 No. 5, Fakultas Hukum
Universitas Airlangga, Surabaya, September 2005, hlm.
411

104

negara,
yang
berdasarkan
atas
persatuan
bangsa,
dan
tidak
bertentangan dengan undang-undang
dan peraturan-peraturan lain yang lebih
tinggi, sebagaimana ditetapkan pada
pasal 3.115
Hukum adat telah meletakkan hak ulayat
pada posisi yang tertinggi dan mengandung
dua aspek yaitu, aspek hukum keperdataan dan
aspek hukum publik116. Mengandung aspek
hukum keperdataan artinya, mengandung hak
milik bersama atas tanah bersama para
anggota
atau
warga
masyarakatnya.
Mengandung aspek hukum publik, mengandung
tugas kewajiban mengelola, mengatur dan
memimpin
penguasaan,
pemeliharaan,
peruntukan dan penggunaan tanah bersama.
Dari kedua hak tersebut, yaitu hak
menguasai tanah oleh negara dan hak ulayat
sama-sama
mempunyai
kekuasaan
pada
tingkatan
tertinggi,
namun
ada
suatu
perbedaan pada wilayah kekuasaannya. Hak
menguasai tanah oleh negara meliputi seluruh
wilayah Republik Indonesia (nasional). Hak
Ulayat dari aspek publik berlaku terbatas hanya
115 Soni Harsono, Pokok-pokok Kebijaksanaan
Bidang Pertanahan dalam Pembangunan
Nasional,Jurnal Analisis CSIS, Jakarta, Tahun XX No.
2, Maret April 1991, hlm 85
116 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia
Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, hlm. 183
105

pada suatu wilayah masyarakat hukum adat


tertentu (bersifat lokal).
Memasuki era Reformasi yang diawali
tahun 1998, perkembangan adopsi pengakuan,
penghormatan dan perlindungan hak-hak adat
dapat kita jumpai pada berbagai peraturan
perundang-undangan, antara lain dalam UUD
1945, Perubahan Kedua (Tahun 2000), sebagai
berikut :
Pasal 18 B Ayat (2): Negara mengakui dan
menghormati
kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undangundang.
Pasal 28 I Ayat (3) : Identitas budaya dan
hak masyarakat tradisional dihormati
selaras dengan perkembangan jaman dan
peradaban.117
Selaras dengan ketentuan pasal 3 UUPA,
Sri Hajati berpendapat bahwasanya :
Hak Ulayat sebagai representasihak atas
tanah dalam kerangka Hukum Tanah Adat
dapat ditegakkan apabila (1) hak ulayat
atau hak yang serupa dengan itu masih
ada (masih merupakan hukum positif)
dalam tata kehidupan masyarakat hukum
adat (2) selaras dengan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia sehingga
penegakannya
harus
sesuai
dengan
117 Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam
Perspektif Hak Ekonomi Sosial Dan Budaya,
Kompas, Jakarta, 2008, hlm. 157
106

kepentingan nasional dan kepentingan


negara (3) Tidak bertentangan dengan
undang-undang dan peraturan lain yang
lebih tinggi. Jika demikian halnya, maka
derajat kedudukan Hukum Tanah Adat
berada di bawah UUPA atau Hukum
Pertanahan Nasional.118
Menurut pendapat Ter Haar Bzn, yang
dikutip oleh Sri Winarsi, menyatakan bahwa :
Di dalam membicarakan Hak Ulayat tidak
terlepas dalam membicarakan tanah kas
desa atau tanah bondo desa. Ter Haar Bzn
lebih lanjut menyatakan bahwa tanah
bondo desa atau tanah kas desa adalah
sebagian dari tanah masyarakat yang
diperuntukkan bagi warga masyarakat di
desa tersebut untuk dikelola bersamasama dan untuk kesejahteraan seluruh
warga. Pemanfaatan tanah kas desa di
bawah koordinasi atau pengawasan kepala
persekutuan.119
Indonesia merupakan negara yang
berdasarkan atas hukum, penegasan Indonesia
sebagai negara hukum dituangkan dalam pasal
118 Sri Hajati, Penyederhanaan Macam Hak Atas
Tanah Dalam Rangka Pembaharuan Hukum
Agraria Nasional, Yuridika, Vol. 21 No. 3, Fakultas
Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, Mei 2006,
hlm. 240
119 Sri Winarsi, Pengelolaan Tanah Kas Desa Di Era
Otonomi Daerah, hlm. 412
107

1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dan


perubahannya yang menyatakan bahwa Negara
Indonesia adalah negara hukum, demikian pula
disebutkan dalam penjelasan Undang-Undang
Dasar 1945 sebelum mengalami perubahan
yang berbunyi, bahwa Indonesia adalah negara
yang berdasarkan atas hukum (Rechtstaat)
tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka
(Machtsstaat). Dalam penjelasan pasal 4 UU No.
37 Tahun 2008,
tentang OmbudsmanRI
menjelaskan bahwa :
yang dimaksud negara hukum adalah
negara yang dalam segala aspek
kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan
bernegara
termasuk
dalam
penyelenggaraan pemerintahan harus
berdasarkan hukum dan asas-asas
umum pemerintahan yang baik yang
bertujuan meningkatkan kehidupan
demokratis yang sejahtera, berkeadilan
dan bertanggung jawab.
Sejalan dengan difinisi negara hukum
yang terdapat dalam Ensiklopedia Indonesia,
bahwa istilah negara hukum (rechtstaat)
yang dilawankan dengan negara kekuasaan
(machtstaat) dirumuskan :
Negara
hukum
(bahasa
Belanda:
rechtstaat): negara bertujuan untuk
menyelenggarakan ketertiban hukum,
yakni tata tertib yang umumnya
berdasarkan hukum yang terdapat
pada rakyat. Negara hukum menjaga
ketertiban hukum supaya jangan

108

terganggu dan agar semuanya berjalan


menurut hukum.120
Ciri-ciri khas dari suatu negara hukum,
yaitu :
a. pengakuan dan perlindungan hakhak
asasi
manusia,
yang
mengandung persamaan dalam
bidang
politik,
hukum,
sosial,
ekonomi dan kebudayaan;
b. peradilan yang bebas dan tidak
memihak serta tidak dipengaruhi
oleh
sesuatu
kekuasaan
atau
kekuatan apapun juga; dan
c. legalitas dalam segala bentuknya.
Ketiga ciri khas dari suatu negara
hukum tersebut sudah tersurat dalam
Undang-Undang Dasar 1945 yang telah
mengalami perubahan.121
Ditegaskan pula dalam bukunya H.
Muchsin, bahwa :
Sebagai suatu negara hukum, maka
konsekwensinya
adalah
supremasi
hukum
harus
ditegakkan
dan
120 Negara Hukum, Ensiklopedia Indonesia (N-Z),
N.V., W. Van Goeve, hal. 983 dalam A. Mukthie
Fadjar, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing,
Cet. Kedua, Malang, 2005, hlm. 5
121 H. Muchsin, Ikhtisar Hukum Indonesia
Setelah Perubahan Keempat UUD 1945 dan
Pemilihan Presiden Secara Langsung, Iblam,
Jakarta, 2005, hlm. 11
109

dijalankan dengan sebenar-benarnya,


dalam arti bahwa segala perilaku, baik
itu anggota masyarakat maupun
aparat pelaksana pemerintahan, harus
tunduk dan tidak boleh menyimpang
dari hukum yang berlaku di negara
Indonesia.122
Cita hukum atau rechtsidee dari Negara
Republik Indonesia, sebagaimana yang telah
diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945,
merupakan suatu kerakyatan (demokratis) yang
didirikan oleh pejuang-pejuang bangsa dengan
semboyan dari rakyat, oleh rakyat untuk
rakyat. Cita-cita ini dirumuskan secara singkat
bahwa Negara Republik Indonesia adalah
negara hukum.123 Ciri-ciri pokok dari cita hukum
NegaraRI, tidak saja mengakhiri penjajahan
tetapi juga harus mencegah terulangnya
penderitaan masyarakat terjajah yang dicirikan
oleh eksploitasi manusia, penindasan dan
penyalahgunaan kekuasaan. Pertama : bahwa
dalam negara hukum kekuasaan itu tidak tanpa
batas, artinya kekuasaan itu tunduk pada
hukum. Secara populer dikatakan bahwa
negara hukum adalah negara berdasarkan
hukum dan kekuasaan harus tunduk pada
hukum. Kedua : bahwa dalam negara hukum
semua
orang
sama
dihadapan
hukum.
Dikatakan secara lain, berarti bahwa hukum
122Ibid.
123 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep
Hukum Dalam Pembangunan Kumpulan karya
tulis, PT. Alumni, Bandung, 2002, hlm. 179
110

memperlakukan semua orang sama tanpa


perbedaan
yang
didasarkan
atas
ras
(keturunan), agama, kedudukan sosial dan
kekayaan.124
Dikutip oleh Nukthoh Arfawie Kurde bahwa
cita negara hukum untuk pertama kalinya
dikemukakan oleh Plato dan dipertegas oleh
Aristoteles. Menurut Plato, penyelenggaraan
pemerintahan yang baik, ialah yang diatur oleh
hukum, serta Aristoteles menyatakan bahwa
suatu negara yang baik ialah negara yang
diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan
hukum. Bagi Aristoteles yang memerintah
dalam negara bukanlah manusia, melainkan
pikiran yang adil, dan kesusilaanlah yang
menentukan baik buruknya suatu hukum.125
Berkaitan
dengan
adanya hubungan
antara negara hukum, negara Republik
Indonesia yang merupakan organisasi tertinggi
bagi seluruh rakyat Indonesia dibentuk dengan
cita-cita untuk kesejahteraan bagi seluruh
rakyat Indonesia. Untuk mewujudkan hal itu
dituangkan dalam bentuk pembangunan jangka
panjang negara RI yang bertujuan untuk
mewujudkan masyarakat adil dan makmur,
sejahtera lahir dan batin, sehat jasmani dan
rohani yang berdasarkan Pancasila.126
Begitu
pula
terhadap
Hak
Ulayat
khususnya tanah kas desa, bahwa harus
diletakkan
pada
posisi
hukum
untuk
124Ibid, hlm 180
125 Nukthoh Arfawie Kurde, Telaah Kritis Teori
Negara Hukum, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005,
hlm. 16
111

mengaturnya. Tidak terjadi diskriminasi dalam


meletakkan posisi tanah kas desa, sematamata untuk mewujudkan kesejahteraan desa
begitu pula terhadap tanah kas desa yang
sudah terjadi perubahan dari desa menjadi
kelurahan ataupun terjadinya penggabungan
(merger) atau pemecahan desa atau kelurahan.
Pada tataran aturan, baik dalam UUD
1945, UUPA maupun peraturan yang lain masih
memberikan pengaturan tentang keberadaan
Hak Ulayat dengan berbagai persyaratan :
sepanjang menurut kenyataannya hak ulayat
masih ada, serta sesuai dengan kepentingan
nasional dan negara, yang berdasarkan atas
persatuan bangsa, dan tidak bertentangan
dengan
undang-undang
dan
peraturanperaturan lain yang lebih tinggi. Kenyataan
dilapangan, dibeberapa daerah memang Hak
Ulayat masih dipertahankan karena unsur-unsur
secara
formal
masih
terpenuhi
namun
dibeberapa daerah seperti Jawa dan Madura,
unsur-unsur keberadaan Hak ulayat sudah tidak
terpenuhi lagi sehingga Tanah Kas Desa
dimasukan menjadi
tanah negara tidak
bebas127,
hal
ini
terbukti
berdasarkan
pendaftaran hak atas tanah Kas Desa yang
126 H. Muchsin, Menggagas Pelaksanaan Tata
Guna Tanah Kajian Yuridis, Filosofis, Normatif dan
Sosiologis, Dunia Ilmu, Surabaya, 1998, hlm. 30.
127 Pemberian sebutan tanah kas desa berasal
dari tanah negara tidak bebas didapatkan dari
proses pendaftaran tanah kas desa yang dilakukan
di beberapa daerah di Jawa dan Madura.
112

disebutkan
dalam
dasar
pendaftarannya
berasal dari tanah negara. Melihat asal usul
dari tanah kas desa, baik yang berasal dari
tanah adat (komunal) maupun berasal dari
pembelian atau pemberian (hibah), maka
seharusnya tidak secara otomatis tanah kas
desa masuk pada tanah negara tidak bebas
tetapi tetap harus ada pengakuan dari negara
atas keberadaan tanah kas desa tersebut,
sehingga dilakukan proses pendaftarannya
melalui Konversi.
Berlakunya UUPA, maka hak-hak atas tanah
yang ada sebelum lahirnya UUPA yaitu sebelum
tanggal 24 September 1960 harus disesuaikan
dengan hak-hak atas tanah yang diatur dalam
pasal 16 ayat (1) UUPA atau harus masuk dalam
sistem dari UUPA. UUPA menganut asas unifikasi
hukum agraria untuk seluruh wilayah tanah air
artinya hanya ada satu sistem hukum yaitu yang
ditetapkan dalam UUPA, bukan lagi ketentuan dari
BW maupun bukan lagi ketentuan Hukum Adat
yang bersifat kedaerahan diseluruh tanah air,
ataupun disamping ketentuan yang lama menurut
BW maupun ketentuan baru berdasarkan UUPA
tetapi suatu ketentuan Hukum Adat yang
tafsirannya telah diberikan oleh pasal 5 UUPA.
Konversi diartikan penyesuaian hak-hak
tanah yang lama kepada sistem dari UUPA dan
bepadanan menurut ketentuan perundangan yang
ada.128 Menurut pendapat AP. Parlindungan,
bahwa
pelaksanaan
konversi
itu
sendiri
merupakan sesuatu yang boleh dikatakan sangat
drastis, oleh karena sekaligus ingin diciptakan
128 A.P. Parlindungan, Konversi Hak-hak Atas
Tanah, Mandar Maju, Bandung, 1990, hal vi
113

berkembangnya
suatu
univikasi
hukum
keagrariaan di tanah air kita, sungguhpun harus
diakui persiapan dan peralatan, perangkat hukum
maupun
tenaga
trampil
belumlah
ada
sebelumnya.
UUPA telah melakukan perombakan yang
mendasar terhadap sistem-sistem agraria, namun
pada bagian kedua dari UUPA adalah merupakan
suatu pengakuan terhadap adanya jenis-jenis hak
atas tanah yang lama, walaupun hak tersebut
perlu disesuaikan dengan hak-hak yang ada dalam
UUPA, sehingga tidak bertentangan dengan jiwa
dan filosofi yang terkandung dalam UUPA.
Ketentuan-ketentuan Konversi diatur dalam Bagian
Kedua UUPA yang memuat sembilan pasal.
Keterkaitan dengan Tanah Kas Desa telah diatur
dalam ketentuan pasal VI, sebagai berikut :
Hak-hak
atas
tanah
yang
memberi
wewenang sebagaimana atau mirip dengan
hak yang dimaksud dalam pasal 41 ayat (1)
seperti yang disebut dengan nama sebagi
dibawah yang ada pada mulai berlakunya
undang-undang ini yaitu : Hak Vruchgebruik,
gebruik,
grant
controleur,
bruikleen,
ganggam bauntuik, anggaduh, bengkok 129,
lungguh, pituas dan hak-hak lain dengan
nama apapun juga, yang akan ditegaskan
lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai
berlakunya undang-undang ini menjadi hak
129 Tanah bengkok yang merupakan bagian dari
tanah Kas Desa, hanya fungsinya yang
membedakan (tanah bengkok diperuntukkan
khusus bagi kesejahteraan kepala desa dan
perangkatnya selama yang bersangkutan
menjabat)
114

pakai tersebut dalam pasal 41 ayat (1) yang


memberi
wewenang
dan
kewajiban
sebagaimana yang dipunyai oleh pemegang
haknya pada mulai berlakunya undangundang ini, sepanjang tidak bertentangan
dengan jiwa dan ketentuan undang-undang
ini.
Ada beberapa kesulitan dari tafsiran yang
sekiranya harus diberikan kepada pasal VI, oleh
karena:
a.
Grant
controleur,
yang
terdapat di Sumatera Timur, jelaslah
dikonversi menjadi Hak Pakai privat
menurut pasal 41 43 UUPA, sedangkan
b.
Ganggam bauntuik, anggaduh,
bengkok,
lungguh,
pituwas
yang
merupakan ambtsvelden atau tanahtanah jabatan seyogyanya juga dikonversi
menjadi hak pakai yang (khusus) artinya
untuk waktu yang tidak terbatas untuk
pelaksanaan tugasnya.130
Asal mula dari Tanah Kas Desa antara lain
dapat berasal dari tanah ulayat. Pengelolaan tanah
ulayat (pada saat itu), dapat dilakukan oleh
masyarakat hukum adat yang dikenal dengan
istilah tanah gogolan, gogolan ini ada yang
sifatnya tetap dan tidak tetap.131 Gogolan tidak
tetap dibagi dalam :
a.
hak menggarap/menguasai tanah bersifat
turun
temurun
tetapi
tanah
yang
digarap/dikuasai
berganti-ganti
(atok
sirah gilir gelap);
130 A.P. Parlindungan, Konversi Hak-hak Atas
Tanah, hlm. 47
115

b.

c.

hak menggarap/menguasai tanah itu


bersifat turun temurun tetapi pada suatu
waktu yang menguasai sebagian daripada
gogol untuk jangka waktu tertentu dan
setelah mana diganti bagi yang lain
selama
waktu
yang
sama
(gogol
musiman/gogol lebagan); dan
tanah yang digarap dikuasai tetap, tetapi
setelah gogolan yang bersangkutan
meninggal dunia, tanah itu diserahkan
kembali kepada kepala desa yang
kemudian
memberikannya
kepada
magang gogol yang diturunkannya dalam
daftar urutan ranglist (gogol gilir mati).132

Ketentuan Konversi dari tanah gogolan lebih


jelas diatur dalam pasal VII Ketentuan-ketentuan
Konversi, sebagai berikut :
(1)
hak
gogolan,
pekulen atau sanggan yang bersifat
tetap yang ada pada mulai berlakunya
Undang-undang ini menjadi hak milik
tersebut pada pasal 20 ayat 1;
(2)
hak
gogolan,
pekulen, sanggan yang bersifat tidak
tetap menjadi hak pakai tersebut pada
131 Gogolan tetap, bilamana pengelolan tanah
tersebut dilakukan secara terus menerus sampai
pada keturunannya atau turun temurun,
sedangkan gogolan tidak tetap atau disebut juga
dengan gogolan gilir, bilamana pengelolaan tanah
tersebut dilakukan secara bergantian
132Ibid, hal. 50
116

Pasal 41 ayat 1, yang memberi


wewenang dan kewajiban sebagai yang
dipunyai oleh pemegang haknya pada
mulai berlakunya Undang-undang ini;
dan
(3)
jika ada keraguraguan apakah sesuatu hak gogolan,
pekulen atau sanggan bersifat tetap
atau
tidak
tetap,
maka
Menteri
Agrarialah yang memutuskan.
Lebih lanjut dalam pelaksanaan konversi
oleh pemerintah telah diterbitkan PMA No. 2 Tahun
1960 tentang Pelaksanaan Beberapa ketentuan
Undang-undang Pokok Agraria dan kemudian
diperbaiki dengan PMA No. 5 Tahun 1960 dan PMA
No. 2 Tahun 1962,133 dan SK Menteri Dalam Negeri
No. 26/DDA/1970 tentang penegasan konversi dan
pendaftaran bekas hak-hak Indonesia atas tanah.
Dari pasal 1 PMA No. 2 Tahun 1960 dinyatakan
bahwa yang termasuk maka pendaftaran hak-hak
yang berdasarkan pasal 58 UUPA pendaftaran hakhak yang berasal dari konversi hak-hak yang
hingga tanggal 24 September 1960 :
a.
didaftar
menurut
overschrijvingsordonanntie (S 1834 27)
tetap
didaftar
menurut
Peraturan
tersebut;
b.
didaftar menurut Peraturan
Menteri
Agraria No. 9 tahun 1959 dan ordonantie
tersebut dalam S 1873 38 selanjutnya
didaftar menurut Peraturan Menteri No. 9
tahun 1959; dan

133 AP. Parlindungan , Konversi Hak-hak Atas


Tanah, hlm. 2
117

c.

didaftar menurut Peraturan-peraturan


yang
khusus
di
daerah
Istimewa
Yogyakarta dan karesidenan Surakarta,
tetap di daftar menurut peraturanperaturan tersebut.

Tata
usaha
pendaftaran
yang
diselenggarakan
menurut
overschrijvingsordonanntie hak-hak yang berasal
dari konversi itu disebut dengan namanya menurut
UUPA dibubuhi keterangan dibelakangnya di antara
tanda-kurung : nama haknya yang dulu, disertai
perkataan bekas.134
Pelaksanaan pendaftaran konversi tersebut
pada mulanya setiap orang yang mempunyai hakhak tanah yang tunduk pada BW harus membawa
akta eigendom, akta opstal, akta erfpacht-nya ke
Kantor Pendaftaran (dan Pengawasan) Tanah untuk
dicap dan ditandatangani oleh kepalanya sebagai
telah melaporkan untuk kelak dikonversi kepada
hak-hak menurut UUPA. Pencatatan konversi oleh
Kepala Kantor Pendaftaran (dan Pengawasan)
Tanah sebagaimana ditentukan dalam pasal 18
PMA No. 2 Tahun 1960 dibubuhi dengan kata-kata
sebagai berikut baik pada bukti haknya dan pada
Grosse aktanya dengan kata-kata :
Berdasarkan
pasalayat
.Ketentuan-ketentuan
Konversi
Undang-undang Pokok Agraria dikonversi
menjadi: hak (isi milik, guna bangunan, guna
usaha atau pakai), dengan jangka waktu

..tgl..
134Ibid, hal 3.
118

Kepala Kantor Pendaftaran


Tanah
(tanda tangan
jabatan)135

dan

cap

Tindakan selanjutnya yang harus dilakukan,


seharusnya asli Hak Tanahnya itu kemudian diganti
dengan suatu sertipikat hak yang sepadan, barulah
setelah diterbitkannya sertifikat yang sepadan
tersebut, maka pelaksanaan konversi itu baru
selesai.
Hal
ini
tidak
dilakukan
sampai
diterbitkannya sertipikat tanah dimaksud dengan
alasan sertipikat hak tanahnya pada saat itu belum
tersedia.
Ada 5 prinsip yang mendasari konversi
sehingga dapat ditelaah bagaimana tujuan dan
penyelesaiannya :
1.
Prinsip Nasionalitas.
2.
Prinsip
pengakuan
hak-hak tanah terdahulu.
3.
Kepentingan Hukum
4.
Penyesuaian kepada
ketentuan konversi
5.
Status Quo hak-hak
tanah terdahulu.136
Prinsip Nasionalisasi, sebagaimana telah
disebutkan dalam ketentuan pasal 9 UUPA bahwa
hanya warga negara Indonesia saja yang boleh
mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan
bumi, air dan ruang angkasa. Badan-badan
hukum Indonesia, juga boleh mempunyai hak-hak
tanah di Indonesia tetapi untuk mempunyai Hak
135Ibid, hal 5.
136Ibid , hal. 6
119

Milik ada pembatasan, yaitu badan-badan hukum


yang telah ditunjuk dalam PP No. 38 Tahun 1963,
badan hukum bank yang ditentukan dalam PP No.
38 tahun 1963 Jo. PMA No. 2 tahun 1960,
perkumpulan koperasi pertanian yang didirikan
berdasarkan Undang-undang No. 79 Tahun 1958,
badan-badan keagamaan.
Orang asing yang memperoleh Hak Milik,
Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan karena
pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta
karena perkawinan atau Warga Negara Indonesia
yang
kehilangan
kewarganegaraannya
atau
mempunyai dua kewarganegaraan, maka dalam
jangka
waktu
satu
tahun
harus
segera
mengalihkan atau melepaskannya kepada pihak
lain yang memenuhi syarat, bilamana hal itu tidak
dilakukan maka hak tersebut akan hapus karena
hukum dan tanahnya jatuh pada negara,
sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 21
ayat (3), pasal 30, dan pasal 36, UUPA.
Dipertegas lagi berdasarkan ketentuan dari
Edaran Departemen Agraria tanggal 28 Nopember
1960 dan tanggal 14 Pebruari 1961 No. Unda
1/7/39 sebagai berikut :
1.
yang menentukan apakah hak seseorang
dikonversi menjadi Hak Milik ataukah
Hak Guna Bangunan ialah keadaan
kewarganegaraannya pada tanggal 24
September 1960. Kalau pada tanggal
tersebut
ia
berkewarganegaraan
Indonesia
tunggal,
maka
hak
eigendomnya dikonversi menjadi Hak
Milik,
sedangkan
kalau
kewarganegaraannya sesudah tanggal
24
September
1960,
maka
Hak
eigendomnya dikonversi menjadi Hak
Guna Bangunan. Tanggal 24 September
120

2.

1960 tersebut bukanlah tanggal yang


diajukan
permohonannya
untuk
melepaskan kewarganegaraan RRC yang
ditujukan kepada Konsulat Jendral atau
Kedutaan RRC, ataupun tanggal yang
diterima oleh Konsulat Jendral/Kedutaan
RRC tersebut, tetapi tanggal yang
dinyatakan
diterima
oleh
Hakim
Pengadilan Negeri yang ditunjuk pada
sebelah kanan bawah surat pernyataan
penolakannya. (juga bukan tanggal surat
penolakan yang diterima oleh Panitera
Pengadilan Negeri setempat). Bagi
mereka tetap ketentuan tanggal 24
September 1960 ini sebagai patokan
bahwa Hak eigendomnya menjadi Hak
Milik menurut ketentuan UUPA atau
menjadi Hak Guna Bangunan; dan
bagi para warga negara Indonesia bukan
keturunan
Cina
soal
pembuktian
kewarganegaraannya, terserah kepada
penilaian
daripada
petugas-petugas
Agraria yang bersangkutan dan segala
bukti
yang
dapat
membenarkan
kewarganegaraannya dapat diberikan. 137

Pengakuan
Hak-hak
yang
terdahulu,
Ketentuan konversi di Indonesia mengambil sikap
yang human atau peri kemanusiaan atas masalah
hak-hak tanah yang ada sebelum berlakunya
UUPA, yaitu hak-hak yang pernah tunduk kepada
BW maupun kepada Hukum Adat.138 Hak-hak atas
137Ibid, hal. 11.
138Ibid, hal 17.
121

tanah tersebut selanjutnya masuk melalui lembaga


konversi ke dalam sistem dari UUPA, sebagaimana
yang tertuang dalam pasal 16 ayat (1) UUPA.
Ada perbedaan dengan negara-negara
penjajah maupun di negara-negara komunis yang
mulai mengambil alih daerah dan tidak mengakui
hak-hak rakyat terdahulu dan hanya menyatakan
bahwa karena raja-rajanya sudah menyerah maka
seluruh tanah adalah milik dari penjajah dan
orang harus mendapatkan Royal Grant untuk
mendapatkan sebidang tanah, untuk negaranegara komunis ketika mereka mulai berkuasa,
dianggap semua tanah adalah milik rakyat dan
sepenuhnya dikuasai oleh negara, sehingga milik
pibadi
dihapuskan.139
Sama
saja
dengan
pernyataan domein dari pemerintah Hindia
Belanda yang memandang bahwa hak-hak adat
adalah Onvrijlandsdomein (tanah-tanah tidak
bebas).140
Diterbitkannya Kepres No. 32 tahun 1979
sebagai aturan yang mengakhiri tanah-tanah ex
BW, yang menyatakan bahwa tanah-tanah
tersebut telah berakhir masa konversinya dan bagi
tanah-tanah yang tidak diselesaikan haknya
menjadi kembali tanah yang dikuasai oleh
Negara. Kepres No. 32 Tahun 1979 telah
menetapkan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

139Ibid
140Ibid
122

1.

2.

3.

4.

HGU, HGB dan HP141 yang


berasal dari konversi hak Barat yang
jangka waktunya akan berakhir selambatlambatnya pada tanggal 24 September
1980, menadi tanah yang dikuasai
langsung oleh negara;
kepada pemilik lama yang
memenuhi syarat dan mengusahakan
atau
menggunakan
sendiri
tanah/bangunan tersebut akan diberikan
hak baru atas tanah tersebut, kecuali
apabila tanah tersebut diperlukan untuk
proyek-proyek
pembangunan
bagi
penyelenggaraan kepentingan umum, dan
dalam hal demikian pemiliknya diberi
ganti rugi yang besarnya ditetapkan oleh
suatu Panitia Penaksir;
tanah HGU asal konversi Hak
Barat yang sudah diduduki oleh rakyat
dan ditinjau dari sudut tata guna tanah
dan keselamatan lingkungan hidup lebih
tepat dipergunakan untuk permukiman
atau kegiatan usaha pertanian, akan
diberikan hak baru kepada rakyat yang
mendudukinya;
tanah-tanah
perkampungan
bekas HGB dan HP asal konversi hak
Barat yang telah menjadi perkampungan
atau diduduki rakyat, akan diberikan
prioritas
kepada
rakyat
yang
mendudukinya,
setelah
dipenuhi
persyaratan-persyaratan
yang

141 HGU = Hak Guna Usaha, HGB = Hak Guna


Bangunan, HP = Hak Pakai
123

menyangkut
kepentingan
bekas
pemegang hak tanah; dan
5.
HGU, HGB, HP asal konversi
Hak Barat yang dimiliki oleh perusahaan
milik Negara, perusahaan daerah serta
badan-badan negara diberi pembaharuan
hak atas tanah tersebut.
Sebagai penjelasan Kepres No. 32 Tahun 1979
diterbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3
Tahun 1979, kepres ini hanya berlaku untuk tanahtanah yang berakhir masa konversinya pada
tanggal 24 September 1980, tetapi tidak lagi atas
tanah-tanah ex BW yang sebelumnya sudah
diperbaharui
haknya
sebelum
tanggal
24
September 1980. Permohonan hak baru oleh yang
memenuhi
persyaratan
dilakukan
menurut
prosedur PMDN No. 6 Tahun 1972. Untuk tanahtanah yang tunduk pada Hukum Adat telah
diadakan ketentun khusus yaitu dengan SK
26/DDA/1970, bahwa konversi dari hak-hak tanah
adat tidak ada batas waktu konversi, karena
pertimbangan khusus, biaya, prosedur dan ketidak
perdulian dari rakyat untuk mensertifikatkan
tanahnya.142
Kepentingan Hukum, bahwa terkecuali tanahtanah yang tunduk pada Hukum Adat yang belum
berakhir ketentuan konversinya, sedangkan untuk
tanah ex Barat sesuai dengan ketentuan Kepres
No. 32 Tahun 1979 telah berakhir ketentuan
konversinya dan tanahnya telah menjadi tanah
yang dikuasai oleh negara kembali 143, namun pada
142Ibid, hlm. 18 - 19
143 Menjadi tanah negara tidak bebas artinya
pemilik semula mendapat hak prioritas untuk
124

kenyataannya hak-hak yang terdahulu tetap diakui


bahwa dalam pemastian untuk dapat dialihkan
kepada orang atau pihak lain harus dengan
pernyataan
persetujuan
yang
bersangkutan
sebagaimana ditegaskan dalam Kepres No. 32
Tahun 1979, sebagai berikut :
Pasal 3 menyebutkan : kepada pemegang hak
yang tanahnya diperlukan untuk proyek
pembangunan akan diberikan ganti rugi yang
besarnya ditetapkan oleh suatu Panitia
Penaksir.
Pasal
5
menyebutkan
:
tanah-tanah
perkampungan bekas Hak Guna Bangunan
dan Hak Pakai asal Konversi Hak Barat yang
telah menjadi perkampungan atau diduduki
rakyat, akan diberikan prioritas kepada rakyat
yang mendudukinya, setelah dipenuhinya
persyaratan-persyaratan yang menyangkut
kepentingan bekas pemegang hak tanah.
Pasal 8 ayat (3) menyebutkan : kepada bekas
pemegang hak guna usaha yang dimaksud
dalam ayat (1) pasal ini dapat diberi ganti
rugi atas tanaman dan bangunan serta
mesin-mesin miliknya yang diperintahkan
untuk dibongkar.
Pasal 13 menyatakan : jika Hak Guna
Bangunan atau Hak Pakai ex Konversi Hak
Barat tidak diberikan
dengan hak baru
kepada pemegang haknya, maka dapat
diberikan sesuatu hak kepada pihak lain yang
saat mulai berlakunya peraturan itu nyatanyata secara sah, sedangkan
terhadap
bangunan yang ada di atasnya maka
pemohon hak harus menyelesaikan dengan
bekas pemegang haknya itu.
melakukan permohonan hak atas tanahnya
125

Penyesuaian kepada ketentuan konversi,


sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa
sesuai dengan ketentuan konversi maupun surat
keputusan Menteri Agraria maupun surat-surat
edaran ada padanan dari hak-hak tanah yang
pernah tunduk pada B.W. dan Hukum Adat dengan
hak-hak yang diatur oleh UUPA. Ada juga hal yang
lebih khusus yang berkaitan dengan tanggal
kewarganegaraan seseorang terutama warga
negara keturunan Tionghoa.
Persoalan yang paling utama berkaitan
dengan subyek hak-hak atas tanah tidak mungkin
lain daripada mempergunakan prinsip nasionalitas,
dan
demikian
pula
badan-badan
hukum
pemerintah, hak apakah yang mungkin diberikan
kepadanya, ataupun kepada perorangan, badanbadan
sosial
dan
keagamaan,
dengan
memperhatikan
tertib
konversi
ini
akan
terhindarlah kesewenang-wenangan dan khaos
dalam konversi.144
Status quo hak-hak tanah terdahulu, sebagai
dampak konversi atas tanah-tanah ex B.W. dimana
juga ketentuan S. 1948 No. 54 tentang
pembaharuan akta-akta tanah, baik eigendom,
erpacht dan opstal tidak dapat lagi dilakukan,
demikian juga tidak mungkin diterbitkan lagi-lagi
hak-hak baru atas tanah-tanah yang akan tunduk
kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Begitu pula untuk hak-hak tanah adat setelah
berlakunya UUPA dan PP No. 10 Tahun 1961, maka
tidak mungkin diterbitkan lagi hak-hak tanah yang
tunduk kepada hukum adat.145
Berlakunya UUPA yaitu tanggal 24 September
1960 adalah sebagai dasar berakhirnya dualisme
144Ibid, hlm 22
126

antara hukum ex BW dan ex hukum adat mengenai


pertanahan di Indonesia dan juga pluralisme dalam
sesama hukum adat dengan adanya 19 lingkungan
adat versi Van Vollenhoven. Berlakunya status quo
atas tanah-tanah dari sistem lama, maka dapatlah
kita laksanakan dengan konsekuen konversi
tersebut.
Setiap ada pembuatan suatu bukti hak baru
atas tanah yang tunduk atau akan ditundukkan
kepada sistem lama adalah batal dan tidak
berkekuatan hukum, sebagaimana dapat dilihat
dalam penjelasan PMA No. 2 Tahun 1962 pada No.
9, menyatakan bahwa untuk mencegah salah
paham bahwa hak yang ditegaskan dan dikonversi
ataupun yang diakui itu adalah menurut keadaan
tanggal 24 September 1960.
Tanah-tanah yang tunduk pada hukum adat
pada umumnya tidak mempunyai bukti-bukti hak
atas tanah hanya diketahui batas-batasnya saja
oleh pemilik tanah
yang berbatasan, dengan
dasar tersebut desa menerbitkan surat keterangan
tentang hak tanah tersebut yang disahkan oleh
camat setempat. Keterangan itu adalah bersifat
deklaratif (hanya menerangkan saja dan tidak
bersifat konstitutif).146
Begitu pula dalam penerbitan girik, letter c,
petuk di Jawa masih saja dilakukan, sedangkan
pemerintah
dalam
Ketentuan
Konversi
menganggap bukti-bukti itu sebagai dasar
permulaan pembuktian atas alas hak. Girik, letter
c, petuk dan sebagainya bukan sebagai bukti hak
atas tanah menurut hukum adat, akan tetapi
145Ibid
146Ibid hal. 23
127

sebagai bukti pembayaran pajak dan bukti


penagihan pajak, yang namanya sudah berubah
menjadi Ireda, kemudian Ipeda dan sekarang Surat
Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan
Bangunan. SPPT PBB ini berlaku untuk semua
tanah yang ada di Indonesia yang dimanfaatkan
dan dikuasai oleh seseorang maupun badan
hukum.
Menurut komentar AP. Parlindungan, bahwa :
Hak-hak tanah ex Barat akan menjadi Hak
Pakai atas Tanah Milik, sedangkan hak-hak
lain menurut Hukum Adat akan menjadi Hak
Pakai. Khusus mengenai tanah-tanah jabatan
seperti tanah bengkok, kalaupun dikonversi
menjadi Hak Pakai tentunya harus Hak Pakai
publikrechtelijk, artinya hanya ada right to
use, tetapi tidak ada right of disposal untuk
menghindari dialihkannya/dijadikan obyek
tanggungan
oleh
orang
yang
tidak
bertanggung jawab, oleh karena tanah itu
adalah tanah jabatan kepala desanya.
Termasuk kategori ini, tanah kas desa dan
tanah-tanah sejenis yang merupakan tanah
bengkok dan tanah kas desa diberikan Hak Pakai
Publikrechtelijk, yaitu hanya ada right to use tetapi
tidak ada right to disposal (tidak boleh dijual atau
dijadikan agunan hutang).147
Obyek konversi, sebagaimana telah diuraikan
di atas bahwa hak atas tanah sebelum berlakunya
UUPA terdiri dari hak-hak atas tanah yang tunduk
pada hukum adat dan hak-hak atas tanah yang
tunduk pada hukum barat. Hak-hak atas tanah
yang tunduk pada hukum adat adalah :
147 AP. Parlindungan, Komentar Atas UndangUndang Pokok Agraria,hlm. 255
128

1.

Hak Agrarisch eigendom


Lembaga agrarisch eigendom ini adalah
usaha dari pemerintah Hindia Belanda
dahulu
untuk
mengkonversi
tanah
hukum adat, baik yang berupa milik
perorangan maupun yang ada hak
perorangannya pada hak ulayat dan jika
disetujui sebagian besar dari anggota
masyarakat pendukung hak ulayatnya,
tanahnya
dikonversikan
menjadi
agrarisch eigendom.
2.
Tanah hak milik, hak yasan, andar beni,
hak atas druwe, hak atas druwe desa,
pesini. Istilah dan lembaga-lembaga hak
atas tanah ini merupakan istilah lokal
yang terdapat di Jawa.
3.
Grant Sultan yang terdapat di daerah
Sumatra Timur terutama di Deli yang
dikeluarkan
oleh
Kesultanan
Deli
termasuk bukti-bukti hak atas tanah
yang diterbitkan oleh para Datuk yang
terdapat di sekitar Kotamadya Medan. Di
samping itu masih ada lagi yang disebut
grant lama yaitu bukti hak tanah yang
juga dikeluarkan oleh Kesultanan Deli.
4.
Landerijen
bezitrecht,
altijddurende
erfpacht, hak-hak usaha atas bekas
tanah partikelir.
Selain tanah-tanah yang disebut di atas
yang tunduk pada hukum adat ada juga
hak-hak atas tanah yang lain yang dikenal
dengan
nama
antara
lain
ganggam
bauntuik, anggaduh, bengkok, lungguh,
pituas dan lain-lain.
Tujuan Konversi, dengan diberlakukannya
UUPA yang menganut asas unifikasi hukum
agraria, maka hanya ada satu sistem hukum untuk
129

seluruh wilayah tanah air, oleh karena itu hak-hak


atas tanah yang ada sebelum UUPA harus
disesuaikan atau dicari padanannya yang terdapat
di dalam UUPA melalui lembaga konversi. Selain
terciptanya univikasi hukum pertanahan di tanah
air dengan mengakui hak-hak atas tanah terdahulu
untuk disesuaikan menurut ketentuan yang
terdapat di dalam UUPA dan untuk menjamin
kepastian hukum, juga bertujuan agar hak-hak
atas tanah itu dapat berfungsi untuk mempercepat
terwujudnya masyarakat adil dan makmur
sebagaimana yang dicita-citakan oleh pasal 33
ayat (3) Undang-undang Dasar 1945.
Dalam Sistem Hukum Tanah Nasional suatu
Hak Atas Tanah lahir karena 4 (empat) hal yaitu :
1.
Ketentuan Konversi UUPA
Terhadap hak-hak lama yang telah ada
sebelum berlakunya UUPA, kemudian
dirubah atau dikonversikarena hukum
sejak tanggal 24 September 1960.
Ketentuan Konversi ini termuat dalam
Bagian Kedua Ketentuan Konversi angka
Romawi I s/d IX UUPA yang pada intinya
memuat hal sebagai berikut :
a. hak Eigendom menjadi Hak Milik jika
pemiliknya pada tanggal 24 September
1960 adalah WNI dan bila tidak maka
dikonversi menjadi HGB dengan jangka
waktu 20 tahun. Sedangkan bila
pemiliknya adalah Pemerintah Asing
dan dipergunakan untuk kepentingan
pemerintahan negara tersebut maka
Hak Eigendom tersebut dikonversi
menjadi Hak Pakai dengan masa waktu
selama
tanah
tersebut
masih
dipergunakan.
Bilamana
penggunaannya diluar kepentingan
130

b.

c.

d.

e.

f.

pemerintah maka dikonversi menjadi


HGB dengan jangka waktu 20 tahun;
hak
milik
adat,
Hak
Agrarisch
Eigendoms, Hak Grand Sultan dan
sejenisnya menjadi Hak Milik jika
pemiliknya pada tanggal 24 September
1960 adalah WNI, dan jika bukan maka
bila tanah pertanian dikonversi menjadi
HGU dan jika tanahnya non pertanian
menjadi HGB dengan jangka waktu 20
tahun;
hak Erfacht untuk perkebunan besar
dikonversi
menjadi
HGU
yang
berlangsung
selama
sisa
jangka
waktunya atau selama-lamanya 20
tahun;
hak Erfacht untuk perumana dan Hak
Opstal menjadi HGB yang berlangsung
selama sisa jangka waktunya atau
selama-lamanya 20 tahun;
hak-hak atas tanah yang memberi
wewenang sebagaimana atau mirip
dengan
Hak
Pakai
(seperti
hak
vruchtgebruik,
grant
controleur,
bruikeleen,
bengkok,
lungguh,
ganggam batuah, dan sebagainya)
sebagaimana yang dimaksud dengan
Pasal 41 ayat (1) UUPA, menjadi Hak
Pakai yang memberi wewenang dan
kewajiban sebagaimana yang dipunyai
oleh pemegang haknya pada tanggal
24 September 1960, sepanjang tidak
bertentangan
dengan
jiwa
dan
ketentuan UUPA; dan
hak gogolan yang bersifat tetap
menjadi Hak Milik, sedangkan yang
bersifat tidak tetap menjadi Hak Pakai.
131

Dengan ketentuan konversi ini maka tidak


ada lagi HPAT berdasarkan hak barat/hak lama,
dan konversi atas hak lama tersebut dilakukan
saat mana pemegang hak mengajukan Hak Atas
Tanah untuk didaftar berdasarkan peraturan
perundang-undangan
mengenai
pendaftaran
tanah. Bilamana saat ini masih terdapat
permohonan hak tanah bekas hak lama, dan belum
ditentukan yaitu 5 (lima) tahun setelah berlakunya
UUPA, maka pemberian hak dilakukan dengan jalan
penegasan hak oleh Kantor Pertanahan bukan
dengan cara konversi langsung (Surat Edaran
Menteri Negara Agraria/KBPN Nomor 500-4039
tanggal 23 Desember 1994).
2.

Hak Atas Tanah lahir menurut


Hukum Adat yang pelaksanaannya diatur dalam
Peraturan Pemerintah (Pasal 22 ayat (1) UUPA).
Lahirnya Hak Atas Tanah menurut Hukum
Adat, dicontohkan dalam bagian Penjelasan Pasal
22 ayat (1) UUPA yaitu pembukaan tanah. Sebagai
peraturan
pelaksanaan
atas
ketentuan
ini
kemudian diterbitkan Peraturan Menteri Dalam
Negeri (Permendagri) No. 6 Tahun 1972 yang
memberikan kewenangan kepada Bupati/Walikota
(sekarang Kepala Kantor Pertanahan) dan para
Kepala Kecamatan untuk memberikan keputusan
mengenai permohonan ijin membuka tanah, akan
tetapi melalui surat
No. 593/570/SJ Mendagri
menginstruksikan kepada para camat untuk tidak
menggunakan kewenangan tersebut. Instruksi ini
ditegaskan kembali dengan PMNA/KBPN No. 3
Tahun 1994 tentang Pelimpahan Kewenangan dan
Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah
Negara.

132

3.

Hak Atas Tanah Primer, lahir karena Pemberian


Hak oleh Negara.
Hak-hak penguasaan yang bersifat primer
seperti Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna
Usaha dan Hak Pakai, lahir karena pemberian hak
oleh negara sebagaimana diatur dalam pasal 22,
31, 37 dan 41 UUPA.
Pemberian
hak
dilakukan
dengan
menerbitkan surat keputusan pemberian hak
diikuti dengan pendaftarannya pada kantor
Pertanahan. Hak atas tanah dinyatakan lahir atau
tercipta saat mana selesai dibukukannya hak yang
bersangkutan dalam buku tanah. Kepada penerima
hak selanjutnya diberikan tanda bukti hak yang
dikenal dengan sebutan sertipikat hak atas tanah.
Untuk Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai
atas tanah Hak Milik terjadi pada saat diberikannya
hak
tersebut
oleh
pemilik
tanah
yang
bersangkutan dengan akta Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT). HGB dan Hak Pakai ini wajib
didaftarkan pada kantor pertanahan dengan
dibukukan pada buku tanah hak bersangkutan
sehingga mempunyai kekuatan mengikat kepada
pihak ketiga. Lahirnya HGB dan Hak Pakai,
saatmana
diberikan
oleh
pemilik
tanah
bersangkutan melalui Akta PPAT, menurut Boedi
Harsono, sesuai dengan asas dalam Hukum Adat
yang mengenai sifat terang, nyata dan tunai.
Dalam hal ini Akta PPAT, berfungsi untuk
membuktikan:
a.
bahwa benar telah dilakukan
pemindahan hak atas tanah (jual beli,
hibah,
penyertaan
modal,
dan
sebagainya) oleh para pihak; dan
b.
bahwa benar telah terjadi
peristiwa pemindahan hak atas tanah.
133

4.

Hak Atas Tanah Sekunder, lahir


karena Pemberian Pemegang Hak yang sudah
ada.
Hak Atas Tanah yang bersifat sekunder
dapat lahir karena diberikan oleh pemegang hak
atas tanah yang sudah ada. Sebagai contoh,
pemegang hak atas tanah memberikan hak bagi
hasil dengan pihak ketiga.148
Hak Atas Tanah yang disebutkan dalam
ketentuan pasal 16 ayat (1) dan pasal 53 UUPA
merupakan Hak Atas Tanah yang telah dikonversi
atau disesuaikan dengan Hak Atas Tanah yang
telah diatur dalam UUPA. Baik Hak Atas Tanah yang
berasal dari hukum barat maupun hak atas tanah
yang berasal dari hukum adat.
Berkaitan dengan tanah kas desa yang
semula berasal dari tanah adat, hal ini diatur
dalam Pasal IV Ketentuan Konversi :
Hak-hak
atas
tanah
yang
memberi
wewenang sebagaimana atau mirip dengan
hak yang dimaksud dalam pasal 41 ayat (1)
seperti yang disebut dengan nama sebagi
dibawah yang ada pada mulai berlakunya
undang-undang ini yaitu : Hak Vruchgebruik,
gebruik,
grant
controleur,
bruikleen,
ganggam bauntuik, anggaduh, bengkok,
lungguh, pituas dan hak-hak lain dengan
nama apapun juga, yang akan ditegaskan
lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai
berlakunya undang-undang ini menjadi hak
pakai tersebut dalam pasal 41 ayat (1) yang
148 Hasan Basri Nata Menggala, dan Sarjita,
Pembatalan dan Kebatalan Hak atas Tanah,
Cetakan Kedua, (Yogyakarta: Tugujogja pustaka
2005), hlm 9-13
134

memberi
wewenang
dan
kewajiban
sebagaimana yang dipunyai oleh pemegang
haknya pada mulai berlakunya undangundang ini, sepanjang tidak bertentangan
dengan jiwa dan ketentuan undang-undang
ini.
Menurut komentar AP. Parlindungan, bahwa :
Hak-hak tanah ex Barat akan menjadi Hak
Pakai atas Tanah Milik, sedangkan hak-hak
lain menurut Hukum Adat akan menjadi Hak
Pakai.
Khusus
mengenai
tanah-tanah
jabatan seperti tanah bengkok, kalaupun
dikonversi menjadi Hak Pakai tentunya harus
Hak Pakai publikrechtelijk, artinya hanya ada
right to use, tetapi tidak ada right of
disposal
untuk
menghindari
dialihkannya/dijadikan obyek tanggungan
oleh orang yang tidak bertanggung jawab,
oleh karena tanah itu adalah tanah jabatan
kepala desanya.
Termasuk kategori ini, tanah kas desa dan
tanah-tanah sejenis yang merupakan tanah
bengkok dan tanah kas desa diberikan Hak Pakai
Publikrechtelijk, yaitu hanya ada right to use tetapi
tidak ada right to disposal (tidak boleh dijual atau
dijadikan agunan hutang).149
Tanah Kas Desa dalam sistem hukum tanah
nasional telah dikonversi menjadi Hak Pakai
Publikrechtelijkbukan Hak Pakai Privaatrechtelijk.
Lebih
lanjut
AP.
Parlindungan
memberikan
149 AP. Parlindungan, Komentar Atas UndangUndang Pokok Agraria, Cet. VIII, (Bandung: CV.
Mandar Maju, 1998), hlm. 255
135

beberapa
uraian
tentang
Hak
Pakai
Publikrechtelijk, yaitu sebagai berikut :
a.
Right
to
use-nya
adalah
untuk
mempergunakan
tanah
untuk
pelaksanaan tugasnya, dan pelaksanaan
tugasnya itu tergantung dari tugas yang
khusus
seperti
untuk
universitasuniversitas negeri sebagai Pelaksanaan
Pendidikan Tinggi.
b.
Jangka waktu hak ini, tidak terbatas
selama masih melaksanakan tugasnya
tersebut, umpamanya tanah tersebut
untuk kompleks militer, selama masih
dipergunakan, selama itu hak pakai itu
tetap ada, namun jika kompleks itu
pindah dan tidak dipergunakan lagi, maka
pada saat itu pula hak itu berakhir, dan
kembali pada pemerintah.
c.
Subyek dari hak ini :
c.1
Publikrechtelijk
adalah
departemen/ditjen,
lembaga
pemerintah
non
departemen,
pemerintah daerah dan lain-lain, lihat
PMDN No. 6 Tahun 1972.
c.2
Publikrechtelijk
internasional
:
perwakilan-perwakilan negara-negara
asing. (lihat pasal 1 ayat 2 Ketentuan
konversi), yang menyebutkan hak ini
yang
akan
berlangsung
selama
tanahnya
dipergunakan
untuk
keperluan tersebut.
c.3
Publikrechtelijk agama/sosial :
lembaga-lembaga keagamaan dan
lembaga sosial, dan dapat kita lihat
pada
pasal
49
UUPA,
yang
menyebutkan : untuk keperluan
peribadatan
dan
keperluan
suci
136

e.
f.

g.
h.

i.

lainnya sebagai dimaksud dalam


pasal 124 dapat diberikan tanah yang
dikuasaai langsung oleh Negara
dengan Hak Pakai.
d. Right of disposal :
1. Hak ini tidak dapat dialihkan kepada
siapapun,
karena
memang
tidak
dimaksudkan berada dalam lalu lintas
perdagangan.
2. Tidak dapat dijadikan agunan pinjaman
hutang/hak tanggungan.
Pendaftaran Hak : Hak ini harus
didaftarkan di Kantor Pendaftaran Tanah.
Wewenang pemberian hak : ada pada
Gubernur Kdh (sekarang Kepala Kanwil
BPN) berdasarkan pasal 5 ayat b PMDN
No. 6/1972.
Berakhirnya haknya dengan berakhirnya
pula right of use-nya.
Peralihan hak : sebagaimana sudah
diterangkan sebelumnya, maka hak ini
tidak dapat dialihkan (melalui PPAT),
namun juka tidak dipergunakan lagi,
dapat
saja
dengan
segala
cara
melepaskan hak ini kembali kepada
negara dan pihak yang memohon dapat
meminta kepada BPN untuk memperoleh
hak ini, namun terserah kepada pemberi
hak untuk memperkenankan ataupun
tidakmeluluskannya, karena BPN tidak
ada keharusan untuk tunduk pada
sesuatu perjanjian yang diperbuat.
Dasar
hukum
dari
Hak
Pakai
Publikrechtelijk ini adalah pasal 49 UUPA,
PMA No. 9/1965 dan PMDN No. 6 Tahun

137

1972 pasal 5 ayat b dan pasal I ayat 2


KK.150
7.1

1.
2.

Permohonan Hak Atas Tanah


Hak menguasai dari negara meliputi semua
tanah yang ada dalam wilayah Republik Indonesia,
baik tanah-tanah yang tidak atau belum maupun
yang sudah dihaki dengan hak-hak perorangan.
Tanah-tanah yang tidak atau belum dihaki dengan
hak-hak perorangan dalam UUPA disebut tanahtanah yang dikuasai langsung oleh Negara, yang
dalam
administrasi
pemerintahan
disingkat
menjadi tanah Negara dalam arti landsdomein
atau
milik
negara
dalam
rangka
domeinverklaring.151
Ditinjau
dari
segi
kewenangan
penguasaannya, ada kecenderungan untuk lebih
memperinci status tanah-tanah yang semula
tercakup dalam pengertian tanah-tanah negara itu,
menjadi:
tanah-tanah
wakaf
yaitu
tanah-tanah Hak Milik yang sudah diwakafkan;
tanah-tanah Hak Pengelolaan,
yaitu tanah-tanah yang dikuasai dengan hak
Pengelolaan, yang merupakan pelimpahan
kewenangan Hak Menguasai dari Negara kepada
pemegang haknya;

150 AP. Parlindungan, Hak Pengelolaan Menurut


Sistem UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria), Cet.
II, (Bandung: CV. Mandar Maju, 1994), hlm. 92 - 94
151 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia
Sejarah Pembentukan , hlm 262
138

3.

4.
5.

6.

tanah-tanah Hak Ulayat, yaitu


tanah-tanah yang dikuasai oleh masyaakatmasyarakat hukum adat teritorial dengan Hak
Ulayat;
tanah-tanah Kaum, yaitu tanah
bersama masyarakat-masyarakat hukum adat
genealogis;
tanah-tanah kawasan hutan,
yang dikuasai oleh Departemen Kehutanan
berdasarkan Undang-Undang Pokok Kehutanan,
Hak penguasaan ini hakikatnya juga merupakan
pelimpahan
sebagian
kewenangan
Hak
Menguasai dari Negara; dan
tanah-tanah
sisanya, yaitu
tanah-tanah yang dikuasai oleh Negara, yang
bukan tanah-tanah hak, bukan tanah wakaf,
bukan tanah Hak Pengelolaan, bukan tanahtanah Hak Ulayat, bukan tanah-tanah Kaum, dan
bukan pula tanah-tanah Kawasan Hutan. Tanahtanah ini tanah-tanah yang benar-benar
langsung dikuasai oleh Negara. 152
Tanah Negara penguasaannya dilakukan
oleh Badan Pertanahan Nasional. Pengertian tanah
negara dibedakan menjadi, tanah negara dalam
arti sempit dan tanah negara dalam arti luas.
Tanah negara dalam arti sempit tersebut harus
dibedakan dengan tanah-tanah yang dikuasai oleh
Departemen-departemen dan Lembaga-lembaga
Pemerintah non Departemen lainnya dengan Hak
Pakai yang merupakan asset atau bagian kekayaan
Negara, yang penguasaannya ada pada Menteri
Keuangan, Penguasaan tanah-tanah negara dalam
arti publik, sebagai yang dimaksud dalam pasal 2
UUPA, ada pada Menteri Negara Agraria/Kepala
BPN.
152Ibid, hlm 263
139

Pelimpahan kewenangan Pemberian Dan


Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah
Negara sebagaimana yang diatur dalam Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional No. 3 Tahun 1999 sebagai pengganti
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1972
tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak
Atas Tanah sebagaimana telah diubah dan
ditambah dengan beberapa peraturan dan
keputusan, telah memberi tambahan kewenangan
pengambilan keputusan mengenai pemberian hak
atas tanah yang lebih besar kepada pejabat di
daerah terutama kepada Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kotamadya.
Hal
ini
dimaksudkan
sebagai langkah persiapan ke arah sistem
pengambilan keputusan yang terdesentralisasi
atau tidak terpusat dengan maksud untuk
memperlancar dan mempercepat pemberian
pelayanan kepada masyarakat.
Istilah Permohonan Hak Atas Tanah Negara,
dimaksudkan bahwa tanah yang akan dilakukan
permohonan merupakan tanah negara, baik tanah
negara bebas maupun tanah negara tidak bebas.
Dalam rangka hak bangsa dan hak menguasai dari
negara, tidak ada tanah yang merupakan res
nullius, yang setiap orang dengan leluasa
menguasai dan menggunakannya153. Menguasai
tanah tanpa ijin yang berhak atau kuasanya yang
sah termasuk pada perbuatan melawan hukum
sebagaimana diatur dalam UU No. 51 Prp Tahun
1960.
Bilamana tanah negara bebas, maka
permohonanya langsung dilakukan oleh pemohon
kepada negara melalui prosedur permohonan hak
atas tanah negara, selanjutnya melalui rapat
153Ibid, hlm. 265
140

koordinasi dengan instansi terkait antara lain,


Kelurahan/Desa, Kecamatan, Dinas pendapatan
daerah, Dinas Permukiman, begitu pula harus
diperhatikan
antara
bidang
tanah
dengan
Perencanaan Tata Ruang Kota yang sudah
ditetapkan, maka barulah Permohonan Hak Atas
Tanah
Negara
tersebut
disetujui
dengan
diterbitkannya Surat Keputusan Pemberian Hak
Atas Tanah.
Untuk permohonan tanah negara tidak
bebas prosedurnya sama dengan permohonan
tanah negara bebas, hanya perbedaannya
diperlukannya surat atau akta pelepasan hak atas
tanah dari pemilik semula atau pemilik tanah
semula yang diberi kesempatan yang pertama
untuk melakukan permohonan hak atas tanah.
Setelah tanah tersebut menjadi tanah negara
barurah dilakukan permohonan atas tanah negara
dimaksud.
Pada kenyataan di lapangan, tanah kas
desa dimasukkan atau digolongkan ke dalam
tanah negara tidak bebas, maka desa diberi hak
prioritas untuk mengajukan permohonan hak atas
tanahnya. Seperti prosedur penerbitan Sertifikat
Tanah Kas Desa yang terjadi dibeberapa daerah, di
Pamekasan,
Sidoarjo,
dan
Kediri.
Dalam
permohonannya disebutkan atas tanah Negara eks
atau bekas tanah Kas Desa.
Surat Keputusan Pemberian Haknyapun
dengan mendasarkan pada peruntukannya, yaitu
untuk Tanah Kas Desa dengan status Hak Pakai.
Hak Pakai dalam jangka waktu tidak terbatas,
sepanjang tanahnya masih tetap diperuntukkan
sesuai dengan peruntukannya.

141

BAB VIII
Peralihan Hak Atas Tanah
Hak Atas tanah dapat beralih dan dialihkan,
kata-kata beralih mengandung makna bahwa
telah terjadi suatu peristiwa hukum yaitu
meninggalnya si pemilik tanah. Dalam hal ini
142

disebut sebagai Pewaris. Secara otomatis


dengan meninggalnya si pemilik tanah, maka hak
atas tanah tersebut akan beralih kepada ahli
warisnya.
Sedangkan
kata-kata
dialihkan
mengandung arti telah terjadi perbuatan hukum.
8.1 Peralihan karena warisan
Peralihan hak atas tanah yang disebabkan
oleh pewarisan, maka secara otomatis akan beralih
kepada ahli warisnya. Sebagai bukti bahwa
pemohon adalah sebagai ahli waris, maka dalam
proses pendaftaran hak atas tanah cukup
menyertakan bukti sebagai ahli waris yang sah,
yang kesemuanya tertuang dalam fatwa waris atau
Surat Keterangan Ahli Waris.Mengapa harus
menyertakan bukti penunjukan sebagai ahli waris
yang sah? Karena ahli waris-lah yang berhak
secara sah menggantikan kedudukan hukum
dari orang yang meninggal dalam kedudukan
hukum mengenai harta kekayaannya. Maka
dengan sendirinya hak penguasaan atas tanah dan
atau bangunan jatuh secara otomatis pada ahli
waris. Namun demikian seperti halnya perbuatan
hukum lain, ahli waris harus mendaftarkan
peralihan haknya tersebut pada kantor Pertanahan
terlebih dahulu guna kepastian hukum atas tanah
yang didapat dari pewarisan tersebut.
Salah satu sebab berakhirnya kepemilikan
seseorang atas tanah adalah karena kematian.
Karena dengan adanya peristiwa hukum ini
mengakibatkan adanya peralihan harta kekayaan
dari orang yang meninggal, baik harta kekayaan
material maupun immaterial kepada ahli waris
orang
yeng
meninggal
tersebut.
Dengan
meninggalnya seseorang ini maka akan ada
pewaris, ahli waris dan harta kekayaan.
Pewaris adalah orang yang meninggal dunia
dan meninggalkan harta kekayaan, sedangkan ahli
143

waris adalah orang yang berhak atas harta


kekayaan dari orang
meninggal. Dan harta
kekayaan yang ditinggalkan bisa immaterial
maupun material, harta kekayaan material antara
lain tanah, rumah ataupun benda lainnya.Hukum
Waris adalah suatu hukum yang mengatur
peninggalan
harta
seseorang
yang
telah
meninggal dunia diberikan kepada yang berhak,
seperti keluarga dan masyarakat yang lebih
berhak.Hukum Waris yang berlaku di Indonesia ada
tiga yakni: Hukum Waris Adat, Hukum Waris Islam
dan Hukum Waris Perdata. Setiap daerah memiliki
hukum yang berbeda-beda sesuai dengan sistem
kekerababatan yang mereka anut.
8.2 Peralihan hak karena perbuatan hukum
(jual
beli,
tukar
menukar,
hibah,
pemisahan hak bersama, pemasukan
dalam perseroan)
Hak atas tanah tertentu dapat dilakukan
peralihan karena terjadinya perbuatan hukum.
Perbuatan hukum tersebut meliputi jual beli, hibah,
tukar
menukar,
pemisahan
hak
bersama,
pemasukan dalam perseroan. Perbuatan hukum
tentang peralihan hak atas tanah wajib dibuktikan
dengan sebuah akta yang dibuat dihadapan PPAT.
Persyaratan yang wajib dilakukan antara
penjual dan pembeli, sesuai dengan ketentuan
pasal 1320 KUHPerdata ada 4 persyaratan yang
wajib dipenuhi dalam pembuatan perjanjian, yaitu :
1.
Kesepakatan antara pihak-pihak
yang terikat dalam perjanjian. Ada seia sekata
atau kemufakatan dalam menentukan obyek,
harga termasuk kalau ada cacat-cacat yang ada
pada obyek.
2.
Kecakapan, pihak-pihak yang
melakukan transaksi adalah pihak-pihak yang
144

memenuhi persyaratan, seperti telah dewasa,


berapa usia kedewasaan untuk melakukan
perbuatan hukum, KUHPerdata menentukan 21
tahun sedangkan UU Perkawinan menentukan
18 tahun, baik selaku pihak yang menyerahkan
ataupun pihak yang menerima. Pertanyaannya
bagaimana kalau mereka masih dibawah umur
(minder jariq), maka harus dilakukan oleh
walinya dengan dibuktikan Surat Penetapan dari
Pengadilan, termasuk bila seseorang mengalami
gangguan kejiwaan, maka harus ada wali
pengampu dari orang yang diwakili dengan
ditetapkan penetapan oleh Pengadilan Negeri.
3.
Obyek tertentu, bahwa obyek
perbuatan hukum tersebut betul-betul nyata
dan menjadi hak dari pihak yang menyerahkan.
Dalam perbuatan hukum tersebut dilarang
terjadi cacat-cacat yang tersembunyi dan tidak
membuat perjanjian atas obyek yang belum
pasti.
4.
Ada hubungan sebab akibat atau
kausalitas.

145

BAB IX
Pembebanan Hak Atas Tanah (Hak
Tanggungan)
9.1

Pengertian Hak Tanggungan


Hak Tanggungan atas tanah beserta bendabenda yang berkaitan dengan tanah, yang
selanjutnya disebut HakTanggungan, adalah hak
jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut
bendabendalain yang merupakan satu kesatuan
dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu,
yang memberikankedudukan yang diutamakan
kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor
lain.154
Dari difinisi di atas,
dalam pasal-pasal
berikutnya memberikan ketentuan bahwa Hak
Tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagibagi, kecuali jika diperjanjikan dalam Akta
PemberianHak
Tanggungan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).Apabila Hak Tanggungan
dibebankan pada beberapa hak atas tanah, dapat
diperjanjikan
dalam
Akta
PemberianHak
Tanggungan yang bersangkutan, bahwa pelunasan
utang yang dijamin dapat dilakukan dengan
caraangsuran yang besarnya sama dengan nilai
masing-masing hak atas tanah yang merupakan
bagian dari obyekHak Tanggungan, yang akan
154 Pasal 1 angka 1
146

dibebaskan dari Hak Tanggungan tersebut,


sehingga kemudian Hak Tanggunganitu hanya
membebani sisa obyek Hak Tanggungan untuk
menjamin sisa utang yang belum dilunasi.
9.2

Dasar Hukum Hak Tanggungan


Dasar Hukum Hak Tanggungan adalah
Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan beserta benda-benda yang berkaitan
dengan tanah yang telah diundangkan pada
tanggal 9 April 1996, sebagaimana diundangkan
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1996 Nomor : 42dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor : 3632.
Selama kurun waktu antara 24 September
1960 (berlakunya UUPA) sampai dengan tanggal 9
April 1996 berdasarkan ketentuan pasal 51 dan 57
UUPA, menyatakan bahwa :
Pasal 51 : Hak tanggungan yang dapat
dibebankan pada hak milik, hak guna usaha dan
hak guna bangunan tersebut dalam pasal 25, 33
dan 39 diatur dengan Undang-undang.
Pasal 57 :Selama Undang-undang mengenai hak
tanggungan tersebut dalam pasal 51 belum
terbentuk, maka yang berlaku ialah ketentuanketentuan mengenai hypotheek tersebut dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia
dan Credietverband tersebut dalam S.1908-542
sebagai yang telah diubah dengan S. 1937-190.
9.3

Obyek Hak Tanggungan


Obyek hak tanggungan meliputi Hak-hak
Atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda
yang ada di atasnya, untuk lebih jelasnya dalam
ketentuan UU No. 4 Tahun 1996 disebutkan
sebagai berikut :
Pasal 4
147

(1) Hak atas tanah yang dapat dibebani Hak


Tanggungan adalah:
a. Hak Milik;
b. Hak Guna Usaha;
c. Hak Guna Bangunan.
(2) Selain hak-hak atas tanah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Hak Pakai atas tanah
Negara yang menurutketentuan yang berlaku
wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat
dipindahtangankan
dapat
juga
di-bebani
HakTanggungan.
(3) Pembebanan Hak Tanggungan pada Hak Pakai
atas tanah Hak Milik akan diatur lebih lanjut
dengan PeraturanPemerintah.
(4) Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada
hak atas tanah berikut bangunan, tanaman,
dan hasil karya yangtelah ada atau akan ada
yang merupakan satu kesatuan dengan tanah
tersebut, dan yang merupakan milikpemegang
hak atas tanah yang pembebanannya dengan
tegas dinyatakan di dalam Akta Pemberian
HakTanggungan yang bersangkutan.
(5) Apabila bangunan, tanaman, dan hasil karya
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak
dimiliki oleh pemeganghak atas tanah,
pembebanan Hak Tanggungan atas bendabenda tersebut hanya dapat dilakukan
denganpenandatanganan serta pada Akta
Pemberian
Hak
Tanggungan
yang
bersangkutan oleh pemiliknya atau yangdiberi
kuasa untuk itu olehnya dengan akta otentik.
Pasal 5
(1) Suatu obyek Hak Tanggungan dapat dibebani
dengan lebih dari satu Hak Tanggungan guna
menjaminpelunasan lebih dari satu utang.
(2) Apabila suatu obyek Hak Tanggungan dibebani
dengan lebih dari satu Hak Tanggungan,
148

peringkat
masingmasingHak
Tanggungan
ditentukan menurut tanggal pendaftarannya
pada Kantor Pertanahan.
(3) Peringkat Hak Tanggungan yang didaftar pada
tanggal yang sama ditentukan menurut
tanggal
pembuatan
AktaPemberian
Hak
Tanggungan yang bersangkutan
Pasal 6
Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak
Tanggungan pertama mempunyai hak untuk
menjual obyek HakTanggungan atas kekuasaan
sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil
pelunasan piutangnya dari hasilpenjualan tersebut.
Pasal 7
Hak Tanggungan tetap mengikuti obyeknya dalam
tangan siapa pun obyek tersebut berada.
9.4

Prosedur Pemberian Hak Tanggungan


Akta Hak Tanggungan yang lengkapnya
disebut
Akta
Pemberian
Hak
Tanggungan
(selanjutnya disingkat APHT) merupakan akta
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah akta
atau perjanjian ikutan (assesoir), yang mana APHT
mengikuti
perjanjian
hutang
piutang
atau
perjanjian pokok.
Selanjutnya prosedur pembuatan APHT
dijabarkan dalam pasal-pasal berikut :
Pasal 8
(1) Pemberi Hak Tanggungan adalah orang
perseorangan atau badan hukum yang
mempunyai
kewenangan
untukmelakukan
perbuatan hukum terhadap obyek Hak
Tanggungan yang bersangkutan.
(2) Kewenangan untuk melakukan perbuatan
hukum terhadap obyek Hak Tanggungan
sebagaimana dimaksud padaayat (1) harus
149

ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat


pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan.
Pasal 9
Pemegang
Hak
Tanggungan
adalah
orang
perseorangan
atau
badan
hukum
yang
berkedudukan sebagai pihak yangberpiutang.
Pasal 10
(1) Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan
janji untuk memberikan Hak Tanggungan
sebagai jaminan pelunasan utang tertentu,
yang dituangkan di dalam dan merupakan
bagian tak terpisahkan dari perjanjianutangpiutang yang bersangkutan atau perjanjian
lainnya yang menimbulkan utang tersebut.
(2) Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan
pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan
oleh PPAT sesuaidengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
(3) Apabila obyek Hak Tanggungan berupa hak
atas tanah yang berasal dari konversi hak lama
yang telahmemenuhi syarat untuk didaftarkan
akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan,
pemberian
Hak
Tanggungandilakukan
bersamaan dengan permohonan pendaftaran
hak atas tanah yang bersangkutan.
Pasal 11
(1) Di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan
wajib dicantumkan:
a. nama dan identitas pemegang dan pemberi
Hak Tanggungan;
b. domisili pihak-pihak sebagaimana dimaksud
pada huruf a, dan apabila di antara mereka
ada yangberdomisili di luar Indonesia,
baginya harus pula dicantumkan suatu
domisili pilihan di Indonesia, dandalam hal
domisili pilihan itu tidak dicantumkan,
kantor PPAT tempat pembuatan Akta
150

Pemberian
HakTanggungan
dianggap
sebagai domisili yang dipilih;
c. penunjukan secara jelas utang atau utangutang yang dijamin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 danPasal 10 ayat (1);
d. nilai tanggungan;
e. uraian yang jelas mengenai obyek Hak
Tanggungan.
(2) Dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat
dicantumkan janji-janji, antara lain:
a. janji yang membatasi kewenangan pemberi
Hak Tanggungan untuk menyewakan obyek
Hak Tanggungandan/atau menentukan atau
mengubah jangka waktu sewa dan/atau
menerima
uang
sewa
di
muka,
kecualidengan persetujuan tertulis lebih
dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;
b. janji yang membatasi kewenangan pemberi
Hak Tanggungan untuk mengubah bentuk
atau tata susunanobyek Hak Tanggungan,
kecuali dengan persetujuan tertulis lebih
dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;
c. janji yang memberikan kewenangan kepada
pemegang
Hak
Tanggungan
untuk
mengelola
obyek
HakTanggungan
berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan
Negeri yang daerah hukumnya meliputi
letak obyek Hak Tanggungan apabila debitor
sungguh-sungguh cidera janji;
d. janji yang memberikan kewenangan kepada
pemegang
Hak
Tanggungan
untuk
menyelamatkan obyek HakTanggungan, jika
hal itu diperlukan untuk pelaksanaan
eksekusi atau untuk mencegah menjadi
hapusnyaatau dibatalkannya hak yang
menjadi obyek Hak Tanggungan karena tidak
151

dipenuhi atau dilanggarnya


ketentuan
undang-undang;
e. janji bahwa pemegang Hak Tanggungan
pertama mempunyai hak untuk menjual atas
kekuasaan sendiriobyek Hak Tanggungan
apabila debitor cidera janji;
f. janji yang diberikan oleh pemegang Hak
Tanggungan pertama bahwa obyek Hak
Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak
Tanggungan;
g. janji bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak
akan melepaskan haknya atas obyek Hak
Tanggungan tanpapersetujuan tertulis lebih
dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;
h. janji bahwa pemegang Hak Tanggungan
akan memperoleh seluruh atau sebagian
dari ganti rugi yangditerima pemberi Hak
Tanggungan untuk pelunasan piutangnya
apabila
obyek
Hak
Tanggungan
dilepaskanhaknya
oleh
pemberi
Hak
Tanggungan atau dicabut haknya untuk
kepentingan umum;
i. janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan
memperoleh seluruh atau sebagian dari
uang asuransi yang diterima pemberi Hak
Tanggungan untuk pelunasan piutangnya,
jika obyek Hak Tanggungan diasuransikan;
j. janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan
mengosongkan obyek Hak Tanggungan pada
waktu eksekusi Hak Tanggungan;
k. janji yang dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4).

Pasal 12
Janji yang memberikan kewenangan kepada
pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki obyek
152

(1)
(2)

(3)

(4)

(5)

(1)

Hak Tanggunganapabila debitor cidera janji, batal


demi hukum.
Pasal 13
Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan
pada KantorPertanahan.
Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja
setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak
Tanggungansebagaimana
dimaksud
dalam
Pasal 10 ayat (2), PPAT wajib mengirimkan Akta
Pemberian Hak Tanggunganyang bersangkutan
dan warkah lain yang diperlukan kepada
Kantor Pertanahan.
Pendaftaran Hak Tanggungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kantor
Pertanahan denganmembuatkan buku-tanah
Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam
buku-tanah hak atas tanah yang menjadiobyek
Hak Tanggungan serta menyalin catatan
tersebut pada sertipikat hak atas tanah yang
bersangkutan.
Tanggal
buku-tanah
Hak
Tanggungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah
tanggal hari ketujuh setelahpenerimaan secara
lengkap surat-surat yang diperlukan bagi
pendaftarannya dan jika hari ketujuh itu jatuh
padahari libur, buku-tanah yang bersangkutan
diberi bertanggal hari kerja berikutnya.
Hak Tanggungan lahir pada hari tanggal bukutanah Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4).
Pasal 14
Sebagai
tanda
bukti
adanya
Hak
Tanggungan,
Kantor
Pertanahan
menerbitkan
sertipikat
Hak
Tanggungansesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
153

(2)

(3)

(4)

Sertipikat
Hak
Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) memuat irah-irah dengan kata-kata "DEMI
KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG
MAHA ESA".
Sertipikat
Hak
Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) mempunyai kekuatan eksekutorial yang
sama dengan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dan
berlaku
sebagai
pengganti
grosseacte
Hypotheek sepanjang mengenai hak atas
tanah.
Kecuali
apabila
diperjanjikan lain, sertipikat hak atas tanah
yang telah dibubuhi catatan pembebanan
HakTanggungan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (3) dikembalikan kepada
pemegang hak atas tanahyang bersangkutan.
(5) Sertipikat Hak Tanggungan diserahkan
kepada pemegang Hak Tanggungan.
9.5
Surat
Kuasa
Membebankan
Hak
Tanggungan
Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
(selanjutnya disingkat SKMHT) dibuat dalam
rangka beberapa hal belum terpenuhi untuk
dibuatkan APHT atau karena sifat atau jenis kredit
yang
dijamin
dengan
Hak
Tanggungan
mencukupkan
dengan
pembuatan
SKMHT.
Selanjutnya ketentuan pembuatan SKMHT diatur
dalam pasal 15 yang menyatakan, sebagai
berikut :
(1) Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
wajib dibuat dengan akta notaris atau akta
PPAT dan memenuhipersyaratan sebagai
berikut:
154

a.

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

tidak memuat kuasa untuk melakukan


perbuatan
hukum
lain
daripada
membebankan Hak Tanggungan;
b. tidak memuat kuasa substitusi;
c. mencantumkan secara jelas obyek Hak
Tanggungan, jumlah utang dan nama serta
identitas kreditornya,nama dan identitas
debitor apabila debitor bukan pemberi Hak
Tanggungan.
Kuasa Untuk Membebankan Hak Tanggungan
tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat
berakhir oleh sebabapapun juga kecuali karena
kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena
telah habis jangka waktunyasebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4).
Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar
wajib
diikutidengan
pembuatan
Akta
Pemberian
Hak
Tanggungan
selambatlambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan.
Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
mengenai hak atas tanah yang belum terdaftar
wajib
diikutidengan
pembuatan
Akta
Pemberian
Hak
Tanggungan
selambatlambatnya 3 (tiga) bulan sesudah diberikan.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dan ayat tidak ber-laku dalam hal Surat
KuasaMembebankan
Hak
Tanggungan
diberikan untuk menjamin kredit tertentu yang
ditetapkan
dalam
peraturan
perundangundangan yang berlaku.
Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
yang tidak diikuti dengan pembuatan Akta
Pemberian Hak Tanggungan dalam waktu yang
ditentukan sebagaimana yang dimaksud pada
ayat (3) atau ayat (4), atau waktuyang
ditentukan menurut ketentuan sebagaimana
155

yang dimaksud pada ayat (5) batal demi


hukum.
9.6

Hapusnya Hak Tanggungan


Hak Tanggungan bersifat perjanjian ikutan,
maksudnya keberadaan hak tanggungan mengikuti
perjanjian kredit atau perjanjian hutang. Bilamana
hak tanggungan menjamin kredit tertentu dan
sudah terjadi pelunasan, maka secara otomatis
hak tanggungannyapun menjadi gugur. Ketentuan
hapusnya hak tanggungan diatur dalam pasal
Pasal 18 UU No. 4 tahun 1996, sebagai berikut :
(1) Hak Tanggungan hapus karena hal-hal sebagai
berikut:
a. hapusnya utang yang dijamin dengan Hak
Tanggungan;
b. dilepaskannya Hak Tanggungan oleh
pemegang Hak Tanggungan;
c. pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan
penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan
Negeri;
d. hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak
Tanggungan.
(2) Hapusnya Hak Tanggungan karena dilepaskan
oleh
pemegangnya
dilakukan
dengan
pemberian
pernyataantertulis
mengenai
dilepaskannya Hak Tanggungan tersebut oleh
pemegang
Hak
Tanggungan
kepada
pemberiHak Tanggungan.
(3)
Hapusnya
Hak
Tanggungan
karena
pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan
penetapan peringkat oleh KetuaPengadilan
Negeri terjadi karena permohonan pembeli hak
atas tanah yang dibebani Hak Tangungan
tersebutagar hak atas tanah yang dibelinya itu
dibersihkan dari beban Hak Tanggungan
sebagaimana diatur dalam Pasal19.
156

(4) Hapusnya Hak Tanggungan karena hapusnya


hak atas tanah yang dibeban Hak Tanggungan
tidak menyebabkanhapusnya utang yang
dijamin.
9.7

Parate Eksekusi Hak Tanggungan


Bila Debitur Wanprestasi/tidak memenuhi isi
perjanjian, maka berdasarkan kuasa yang telah
disampaikan oleh pemilik jaminan dalam APHT,
Kreditur sudah dapat melakukan eksekusi atas
obyek Hak Tanggungan. Prosedur eksekusi dalam
Hak tanggungan berbeda dengan prosedur
eksekusi dalam Hypoteek dan Crediet Verband.
Dalam Hypoteek dan Crediet Verband, Kreditur
harus mengajukan fiat eksekusi lebih dahulu
kepada Pengadilan Negeri setempat baru setelah
itu dapat diajukan kepada Kantor Lelang untuk
melakukan proses lelang.
Dalam Hak Tanggungan kita mengenal
istilah parate eksekusi hak tanggungan, dimana
Kreditur dapat langsung melakukan permohonan
eksekusi ke Kantor Lelang tanpa melalui fiat
eksekusi lebih dahulu dari Pengadilan Negeri
karena
Sertipikat
Hak
Tanggungan
sudah
mempunyai kekuatas eksekutorial.
Ketentuan
lebih lanjut dalam eksekusi dapat dilihat dalam
ketentuan pasal Pasal 20 UUHT, sebagai berikut:
(1) Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan:
a. hak pemegang Hak Tanggungan pertama
untuk menjual obyek Hak Tanggungan
sebagaimana dimaksuddalam Pasal 6, atau
b. titel eksekutorial yang terdapat dalam
sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14ayat (2), obyek Hak
Tanggungan dijual melalui pelelangan umum
menurut
tata
cara
yang
ditentukan
dalamperaturan perundang-undangan untuk
157

(2)

(3)

(4)

(5)

pelunasan
piutang
pemegang
Hak
Tanggungan dengan hakmendahulu dari
pada kreditor-kreditor lainnya.
Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak
Tanggungan, penjualan obyek Hak Tanggungan
dapatdilaksanakan di bawah tangan jika
dengan demikian itu akan dapat diperoleh
harga tertinggi yang menguntungkansemua
pihak.
Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah
lewat waktu 1 (satu)bulan sejak diberitahukan
secara
tertulis
oleh
pemberi
dan/atau
pemegang Hak Tanggungan kepada pihakpihakyang berkepentingan dan diumumkan
sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang
beredar di daerah yangbersangkutan dan/atau
media massa setempat, serta tidak ada pihak
yang menyatakan keberatan.
Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi Hak
Tanggungan dengan cara yang bertentangan
dengan ketentuanpada ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) batal demi hukum.
Sampai saat pengumuman untuk lelang
dikeluarkan, penjualan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapatdihindarkan dengan
pelunasan utang yang dijamin dengan Hak
Tanggungan
itu
beserta
biaya-biaya
eksekusiyang telah dikeluarkan.

158

BAB X
Pendaftaran Tanah
Amanat dari ketentuan pasal 19 ayat (1)
UUPA, yang menyebutkan bahwa Untuk
menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah
diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah
Republik
Indonesia
menurut
ketentuanketentuan yang diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Peraturan
Pemerintah
yang
mengatur tentang pendaftaran tanah adalah
Peraturan Pemerintah (PP) No. 10 Tahun 1961
yang
selanjutnya
mengalami
pergantian
159

dengan PP No. 24 Tahun 1997. Dalam pasal 3


PP No. 24 Tahun 1997 menyebutkan bahwa :
Pendaftaran Tanah bertujuan :
a. untuk memberikan kepastian hukum dan
perlindungan hukum kepada pemegang hak
atas suatu bidang tanah, satuan rumah
susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar
dengan mudah dapat membuktikan dirinya
sebagi pemegang hak yang bersangkutan;
b. untuk menyediakan informasi kepada pihakpihak
yang
berkepentingan
termasuk
pemerintah agar dengan mudah dapat
memperoleh data yang diperlukan dalam
mengadakan perbuatan hukum mengenai
bidang-bidang tanah dan satuan-satuan
rumah susun yang sudah terdaftar; dan
c. untuk terselenggaranya tertib administrasi
pertanahan.155
Pendaftaran Hak Atas Tanah dalam rangka
untuk mewujudkan kepastian hukum bukan saja
menjadi kewajiban pemerintah dan masyarakat
selaku pemilik atau pemegang hak atas tanah
akan tetapi juga dibutuhkannya peran Kepala
Desa dalam rangka memberikan perlindungan
dan kepastian hukum atas tanah bengkok dan
tanah
kas
Desa
yang
berada
dalam
wewenangnya.
Diharapkan
bidang-bidang
tanah itupun akan mempunyai kepastian
hukum, baik kepastian atas pemegang hak atau
kepastian subyek hukumnya dan kepastian
obyeknya.

155 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia


Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah, Cet.
17, (Jakarta: Djambatan, 2006), hlm. 522
160

Berdasarkan ketentuan pasal 3 PP No. 24


Tahun 1997, tentang Pendaftaran Tanah,
menyebutkan
bahwa tujuan diadakannya
pendaftaran tanah adalah :
a. untuk memberikan kepastian hukum dan
perlindungan hukum kepada pemegang
hak atas suatu bidang tanah, satuan
rumah susun dan hak-hak lain yang
terdaftar agar dengan mudah dapat
membuktikan dirinya sebagai pemegang
hak yang bersangkutan;
b. untuk menyediakan informasi kepada
pihak-pihak
yang
berkepentingan
termasuk pemerintah agar dengan
mudah dapat memperoleh data yang
diperlukan
dalam
mengadakan
perbuatan hukum mengenai bidangbidang tanah dan satuan-satuan rumah
susun yang sudah terdaftar; dan
c. untuk
terselenggaranya
tertib
administrasi pertanahan.
Pendaftaran Tanah di Inggris dalam
Rowton Simpson 1976 halaman 16 dan
seterusnya obyektifnya sebagaimana yang
dirumuskan oleh Judicial Committee of the
Privy Cauncil sebagai berikut :
To save person dealing with registeret
land from the trouble and expense of
going behind the register in order to
investigate the history of their
authors
title
and
to
satisfy
themselves of its validity.
Kemudian dinyatakannya lagi sebagai
suatu tindakan pengamanan:
1. the unambiguous definition of
the parcel of land affected. (and
any right over orther land wich is
161

enjoyed in virtue of owning the


parcel)
2. the name and address of the
owner, individual or corporate
3. the particylars of any interest
affecting the parcel, which is
enjoyed by some one orther than
the owner.156
Dalam rangka memberikan kepastian
dan perlindungan hukum kepada pemegang
hak atas tanah akan diterbitkan Sertipikat
Hak Atas Tanah, yang merupakan kumpulan
dari salinan buku tanah dan salinan surat
ukur. Buku Tanah memuat nama dari
pemegang hak atas tanah dan status
kepemilikannya. Sedangkan Surat Ukur
memuat tentang letak tanah, luas tanah dan
batas-batas dari tanah yang bersangkutan.
Adanya kepastian tentang subyek hukum
dan obyek hak.
Asas yang dianut dalam PP No. 24
Tahun 1997, sebagaimana diatur dalam
pasal 2, yaitu :
1. asas sederhana, maksudnya dalam
pendaftaran
tanah
dimaksud
agar
ketentuan-ketentuan pokoknya maupun
prosedurnya
dengan
mudah
dapat
dipahami
oleh
pihak-pihak
yang
berkepentingan
terutama
para
pemegang hak atas tanah. Sedangkan
Asas Aman, yaitu dalam pendaftaran
tanah perlu diselenggarakan secara teliti
dan cermat sehingga hasilnya dapat
156 A.P Parlindungan, Pendaftaran Tanah di
Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1999), hlm. 9
162

memberikan jaminan kepastian hukum


sesuai tujuan pendaftaran tanah itu
sendiri;
2. asas
terjangkau
dimaksudkan
keterjangkauan bagi pihak-pihak yang
memerlukan,
khususnya
dengan
memperhatikan
kebutuhan
dan
kemampuan golongan ekonomi lemah.
Pelayanan yang diberikan dalam rangka
penyelenggaraan
pendaftaran
tanah
harus bisa terjangkau oleh para pihak
yang memerlukan; dan
3. asas mutakhir dimaksudkan kelengkapan
yang memadai dalam pelaksanaannya
dan keseimbangan dalam pemeliharaan
datanya. Dua yang tersedia harus
menunjukkan keadaan yang mutakhir.
Untuk
itu
perlu
diikuti
kewajiban
mendaftar dan pencatatan perubahanperubahan yang terjadi di kemudian hari.
Asas mutakhir menuntut dipeliharanya
data pendaftaran tanah secara terus
menerus
dan
berkesinambungan,
sehingga data yang tersimpan di Kantor
Pertanahan
selalu
sesuai
dengan
keadaan
nyata
di
lapangan,
dan
masyarakat
dapat
memperoleh
keterangan mengenai data yang benar
setiap saat. Untuk itulah diberlakukan
pada asas terbuka atau publisitas.
Pendaftaran tanah dapat dilakukan
dengan, pendaftaran tanah untuk pertama
kalinya
yaitu
pendaftaran
hak
yang
sebelumnya
belum
pernah
dilakukan
pembukuan atau pendataan di Kantor
Pertanahan dan pendaftaran hak karena
terjadinya
peralihan
kepemilikan
atau
163

terjadinya
pembebanan
hak
(agunan
hutang).
Penyelenggaraan
pendaftaran
tanah pada saat ini melalui 2 (dua)
pendekatan, Pertama melalui pendekatan
sistematik. Kedua melalui pendekatan
sporadik, sebagian besar penyelenggaraan
pendaftaran tanah sekarang ini melalui
sporadik yang berdasarkan permohonan
masyarakat, hal ini disebabkan kemampuan
pemerintah
untuk
menyelenggarakan
pendekatan sistematik terbatas.157
Pendaftaran tanah secara sistematik
adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk
pertama kali yang dilakukan secara serentak
yang meliputi semua obyek pendaftaran
tanah yang belum didaftar. Sedangkan
pendaftaran tanah secara sporadik adalah
kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama
kali mengenai satu atau beberapa obyek
pendaftaran tanah dalam wilayah atau
bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara
individual atau masal.158
Obyek pendaftaran tanah yang diatur
dalam pasal 9 PP No. 24 Tahun 1997,
meliputi :
a.
bidang-bidang tanah yang dipunyai
dengan hak milik, hak guna usaha, hak
guna bangunan dan hak pakai;
b. tanah hak pengelolaan;
c. tanah wakaf;
157 Andrian Sutedi, Politik dan Kebijakan Hukum
Pertanahan Serta Berbagai Permasalahannya, hlm.
5
158 Pasal 1 angka 11 dan 12 PP No. 24 Tahun 1997
164

d. hak milik atas satuan rumah susun;


e. hak tanggungan; dan
f. tanah Negara.
Ketentuan
pasal
9
di
atas,
tidak
menyebutkan TanahKas Desa sebagai obyek
pendaftaran karena memang istilah Tanah
Kas Desa dalam ketentuan pasal 16 ayat (1)
tidak dimasukkan karena dengan berlakunya
UUPA, Tanah Kas Desa harus dilakukan
konversi atau disesuaikan dengan hak-hak
atas tanah yang terdapat dalam ketentuan
pasal 16 ayat (1) UUPA. Konversi dari Tanah
Kas Desa menjadi Hak Pakai dengan jangka
waktu
yang
tidak
terbatas,
dengan
ketentuan
tanah
tersebut
masih
dipergunakan
sesuai
dengan
peruntukannya. Hak Pakai inilah yang
kemudian dalam ketentuan pasal 9 PP No.
24 Tahun 1997 termasuk dalam obyek
pendaftaran hak atas tanah.
Tanah Kas Desa yang dikonversi menjadi
Hak Pakai adalah Hak Pakai publikrechtelijk,
artinya hanya ada right to use karena hak
tersebut tidak boleh dialihkan dan tidak
dapat dipakai sebagai jaminan hutang
dengan dibebani hak tanggungan, kecuali
untuk kepentingan umum.
PP No. 24 Tahun 1997 menganut
sistem publikasi negatif menuju ke sistem
publikasi positif dalam jangka waktu lima
tahun,159 maksudnya bilamana atas suatu
bidang tanah tersebut telah diterbitkan
sertipikat dengan iktikat baik, maka setelah
lewat lima tahun sejak penerbitan sertipikat
tersebut tidak boleh diajukan gugatan.
159 Pasal 32 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997
165

Gugatan boleh diajukandalam


waktu lima tahun.

tenggang

10.1
Pendaftaran
Tanah
untuk
Pertama kali dan pendaftaran tanah
dalam rangka pemeliharaan data
Pendaftaran tanah dapat dilakukan dengan,
pendaftaran tanah untuk pertama kalinya yaitu
pendaftaran hak yang sebelumnya belum pernah
dilakukan pembukuan atau pendataan di Kantor
Pertanahan dan pendaftaran hak karena terjadinya
peralihan
kepemilikan
atau
terjadinya
pembebanan
hak
(agunan
hutang).
Penyelenggaraan pendaftaran tanah pada saat ini
melalui 2 (dua) pendekatan, Pertama melalui
pendekatan sistematik. Kedua melalui pendekatan
sporadik,
sebagian
besar
penyelenggaraan
pendaftaran tanah sekarang ini melalui sporadik
yang berdasarkan permohonan masyarakat, hal ini
disebabkan
kemampuan
pemerintah
untuk
menyelenggarakan
pendekatan
sistematik
terbatas.160
Pendaftaran tanah secara sistematik adalah
kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali
yang dilakukan secara serentak yang meliputi
semua obyek pendaftaran tanah yang belum
didaftar. Sedangkan pendaftaran tanah secara
sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk
pertama kali mengenai satu atau beberapa obyek
pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian

160 Andrian Sutedi,Politik dan Kebijakan Hukum


Pertanahan Serta Berbagai Permasalahannya, hlm.
5
166

wilayah suatu desa/kelurahan secara individual


atau masal.161
10.2

(1)

Obyek Pendaftaran Tanah


Obyek
pendaftaran
tanah,
sebagaimana disebutkan dalam ketentuan
pasal 9 PP No. 24 Tahun 1997 meliputi :
obyek pendaftaran tanah meliputi :
a. bidang-bidang
tanah
yang
dipunyai dengan hak milik, hak
guna
usaha,
hak
guna
bangunan dan hak pakai;
b. tanah hak pengelolaan;
c. tanah wakaf;
d. hak milik atas satuan rumah
susun;
e. hak tanggungan; dan
f. tanah Negara.
(2) dalam hal tanah Negara sebagai
obyek
pendaftaran
tanah
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
huruf
f,
pendaftarannya
dilakukan
dengan
cara
membukukan bidang tanah yang
merupakan tanah Negara dalam
daftar tanah.
Pendaftaran terhadap tanah negara dapat
dilakukan dengan mencatat dalam buku
tanah akan tetapi atas obyek tersebut tidak
dikeluarkan Sertifikat hak atas tanah.
Ketentuan dalam ayat (1a) juga
dipertegas dengan terbitnya PP No. 40
Tahun 1996, PP No. 41 Tahun 1996 dan UU
No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
161 Pasal 1 angka 11 dan 12 PP No. 24 Tahun 1997
167

Begitu pula terhadap tanah hak pengelolaan


yang diatur dalam PMDN No. 1 Tahun 1977,
secara resmi disebutkan bahwa hak
pengelolaan
harus
didaftarkan
dan
diterbitkan sertifikat hak atas tanahnya,
hanya saja hak ini tidak dapat dialihkan
kepada pihak lain/badan ataupun dijadikan
jaminan hutang, tetapi dapat diterbitkan
Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak
Pakai dengan suatu perjanjian antara
pemegang HPL dengan perseorangan atau
badan hukum.162 Hak Milik, Hak Guna
Bangunan dan Hak Pakai yang berasal dari
HPL tidak ada bedanya dengan Hak Milik,
Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai yang
berasal dari pemberian hak dari tanah yang
dikuasai oleh Negara, perbedaan secara
khusus seperti harus dilakukan dengan
perjanjian, permohonan hak kepada BPN
melalui
jenjang
menaik
dan
uang
pemasukannya
untuk
pemegang
Hak
Pengelolaan.163
Tanah Kas Desa tidak termasuk pada
obyek pendaftaran tanah sebagaimana
diatur dalam pasal 9 PP No. 24 Tahun 1997.
Pengaturan atas Tanah Kas Desa, yang
masuk bagian dari tanah Hak Ulayat, maka
langkah yang pertama harus dilakukan
dengan melakukan konversi tanah adat
sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal
IV ketentuan Konversi sehingga menjadi Hak
162 A.P. Parlindungan, Pendftaran Tanah di
Indonesia, hlm. 85
163Ibid, hlm 86
168

1.

2.

Pakai. Begitu diterbitkan Grosse akta


konversi, maka harus dilakukan pendaftaran
hak atas tanahnya sebagaimana diatur
dalam PP No. 24 Tahun 1997 sehingga dapat
diterbitkan sertifikat hak atas tanah.
Pada konidisi dilapangan, PP No. 24
Tahun 1997 tetap mengakui dengan jelas
kedudukan hak milik adat baik bersifat
perorangan
atau
kelompok.
Untuk
membuktikan hak milik adat masih diakui,
pada waktu pendaftaran hak atas tanah
secara sistematis sebagai bukti hak atas
tanah adat, yaitu :
surat tanda bukti
hak milik dan Grant Sultan yang
dikeluarkan
berdasarkan
peraturan
swapraja dan hak atas tanah yang
lainnya yang diakui selama tidak
bertentangan dengan UUPA; dan
akta
pemindahan
hak dibuat berdasarkan hukum adat
yang dibubuhi kesaksian oleh Kepala
Desa.
Pasal 24 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997
menyebutkan
tentang
tata
cara
pembuktian
hak-hak
lama
untuk
keperluan pendaftaran yang berasal dari
konversi dengan :
a. bukti-bukti tertulis; dan
b. keterangan
saksi
dan/atau
pernyataan yang bersangkutan yang
kadar kebenarannya oleh Panitia
Ajudikasi, bagi pendaftaran secara
sporadik cukup untuk pendaftaran
hak.
Pada ayat (2) dinyatakan, bahwa
apabila pembuktian di atas tidak ada lagi,
169

maka pembukuan hak dapat dilakukan


berdasarkan kenyataan penguasaan fisik
bidang tanah yang bersangkutan selama 20
tahun atau lebih berturut-turut oleh
pemohon
pendaftaran
tanah
dengan
syarat :
1.
penguasaan tersebut
dilakukan dengan itikad baik dan secara
terbuka oleh yang bersangkutan sebagai
yang berhak atas tanah serta diperkuat
oleh kesaksian orang yang dapat
dipercaya; dan
2.
penguasaan tersebut
baik
sebelum
maupun
selama
pengumuman tidak dipermasalahkan
oleh masyarakat hukum adat atau
desa/kelurahan yang bersangkutan atau
pihak lain.164
10.3
Asas dan Tujuan Pendaftaran
Tanah
Sebagaimana disebutkan
dalam
pasal2 PP No. 24 Tahun 1997, bahwa
Pendaftaran
tanah
dilaksanakan
berdasarkan
azas
sederhana,
aman,
terjangkau, mutakhir dan terbuka.
Azas sederhana dalam pendaftaran
tanah dimaksud agar ketentuan-ketentuan
pokoknya maupun prosedurnya dengan
mudah dapat dipahami oleh pihk-pihak yang
berkepentingan, terutama para pemegang
164 Erna Herlinda, Artikel Pendaftaran Hak-hak
Atas Tanah Adat Menurut Ketentuan Konversi Dan
PP No. 24 Tahun 1997, Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, hlm 12
170

hak atas tanah. Sedangkan azas aman


dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa
pendaftaran tanah perlu diselenggarakan
secara teliti dan cermat sehingga hasilnya
dapat memberikan jaminan kepastian
hukum sesuai tujuan pendaftaran tanah itu
sendiri.165
Azas
terjangkau
dimaksudkan
keterjangkauan bagi pihak-pihak yang
memerlukan,
khususnya
dengan
memperhatikan kebutuhan dan kemampuan
golongan ekonomi lemah. Pelayanan yang
diberikan dalam rangka penyelenggaraan
pendaftaran tanah harus bisa terjangkau
oleh para pihak yang memerlukan.
Azas mutakhir menuntut dipeliharanya
data pendaftaran tanah secara terus
menerus dan berkesinambungan, sehingga
data yang tersimpan di Kantor Pertanahan
selalu sesuai dengan keadaan nyata di
lapangan,
dan
masyarakat
dapat
memperoleh keterangan mengenai data
yang benar setiap saat. Untuk itulah
diberlakukan azas terbuka.166
Menurut para ahli disebutkan tujuan
pendaftaran tanah ialah untuk kepastian
hak
seseorang,
disamping
untuk
pengelakkan suatu sengketa perbatasan
dan
juga
untuk
penetapan
suatu
perpajakan.167
a. Kepastian Hak seseorang
165 A.P. Parlindungan, Pendftaran Tanah di
Indonesia, hlm. 76-77
166Ibid
171

Maksudnya dengan suatu pedaftaran,


maka hak seseorang itu menjadi jelas
misalnya apakah hak milik, hak guna
usaha, hak guna bangunan atau hak-hak
lainnya.
b. Pengelakkan suatu sengketa perbatasan
Apabila sebidang tanah yang dipunyai
oleh seseorang sudah didaftar, maka
dapat dihindari terjadinya sengketa
tentang perbatasannya, karena dengan
didaftarkannya tanah tersebut, maka
telah diketahui berapa luasnya serta
batas-batasnya.
c. Penetapan suatu Perpajakan
Dengan diketahuinya berapa luas bidang
tanah, maka berdasarkan hal tersebut
dapat ditetapkan besar pajak yang harus
dibayar seseorang.
Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 3
dan pasal 4 PP No. 24 Tahun 1997, bahwa
tujuan pendaftaran tanah adalah :
Pasal 3 :
b.
untuk
memberikan
kepastian
hukum dan perlindungan hukum
kepada pemegang hak atas suatu
bidang tanah, satuan rumah susun
dan hak-hak lain yang terdaftar
agar
dengan
mudah
dapat
membuktikan
dirinya
sebagai
pemegang hak yang bersangkutan;
c.
untuk
menyediakan
informasi
kepada
pihak-pihak
yang
berkepentingan
termasuk
167 AP. Parlindungan, Konversi Hak-hak Atas
Tanah, Op Cit, hal. 6
172

d.

Pemerintah agar dengan mudah


dapat memperoleh data yang
diperlukan
dalam
mengadakan
perbuatan
hukum
mengenai
bidang-bidang tanah dan satuansatuan rumah susun yang sudah
terdaftar; dan
untuk
terselenggaranya
tertib
administrasi pertanahan.
Pasal 4 :
(1) untuk memberikan kepastian dan
perlindungan hukum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf b
data fisik dan data yuridis dari
bidang tanah dan satuan rumah
susun yang sudah terdaftar terbuka
untuk umum;
(2) untuk
melaksanakan
fungsi
informasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 huruf b data fisik dan
data yuridis dari bidang tanah dan
satuan rumah susun yang sudah
terdaftar terbuka untuk umum; dan
(3) untuk mencapai tertib administrasi
sebagaimana
dimaksud
dalam
pasal 3 huruf c, setiap bidang tanah
dan satuan rumah susun termasuk
peralihan,
pembebanan
dan
hapusnya hak atas bidang tanah
dan hak milik atas satuan rumah
susun wajib didaftar.

Konsekwensi dari ketentuan pasal 3


tersebut, maka diberikanlah bukti hak tanah
yang tertuang dalam Sertifikat hak atas
tanah,
demi
kepastian
hukum
dan
173

perlindungan hukum pada (ayat 2) jelaslah


disebutkan
bahwa
pendaftaran
tanah
tersebut
bersifat
publikrechtelijk
atau
terbuka artinya setiap orang atau badan
dapat saja meminta informasi lisan atau
tertulis (dinamakan SKPT168) atas segala
informasi yang terdapat pada (ayat 3), baik
berkaitan
dengan
peralihan
hak,
pembebanan hak untuk jaminan hutang,
pemberian hak baru, hapusnya hak
termasuk juga atas hak milik satuan rumah
susun.
Pendaftaran tanah sudah mengarah kepada
wajib karena para PPAT yang membuat aktaakta tanah tersebut dalam tempo tujuh hari
sudah harus mengirimkan seluruh berkas
secara lengkap ke kantor Pertanahan
setempat.169

168 SKPT = Surat Keterangan Pendaftaran Tanah


169 Pasal 103 ayat (1), Pasal 114 ayat (1), Pasal
115 ayat (1), Pasal 116 ayat (1) dan Pasal 117 ayat
(1) PMA/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 tentang
Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah
174

BAB XI
PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT)
Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya
disingkat PPAT) yaitu pejabat umum yang diberi
kewenangan untuk membuat akta-akta otentik
mengenai perbuatan hukum tertentu tentang Hak
Atas Tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah
Susun. Selanjutnya PPAT diatur dalam Peraturan
Pemerintah No. 37 Tahun 1998.
11.1
Fungsi, tugas dan kedudukan
PPAT
PPAT
bertugas
melaksanakan
sebagian
kegiatan pendaftaran tanah dg membuat akta sbg
bukti tlh dilakukannya perbuatan hukum tertentu
mengenai Hak Atas Tanah atau Hak Milik Atas
Satuan Rusun yabg akan dijadikan dasar bagi
pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah
yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.
Sedangkan Akta PPAT adalah akta yang dibuat oleh
PPAT
sebagai
bukti
telah
dilaksanakannya
perbuatan hukum tertentu mengenai Hak Atas
Tanah atau Hak Milik atas satuan Rusun.
Perbuatan hukum (recording of deeds of
conveyance) yang dimaksudkan adalah Jual beli,
tukar
menukar,
hibah,
pemasukan
dalam
perusahaan (inbreng), pembagian hak bersama,
pemberian HGB/HP atas tanah milik, pemberian
Hak Tanggungan (APHT), pemberian surat kuasa
membebankan hak tanggungan (SKMHT).
175

11.2
jenis-jenis PPAT, wilayah kerja
PPAT, Masa jabatan PPAT, PPAT berhenti,
pindah tugas dan meninggal
Ada 3 jenis PPAT, yaitu pertama, PPAT
Sementara adalah PPAT yg ditunjuk karena
jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT
dengan membuat akta PPAT di daerah yang belum
cukup terdapat PPAT yaitu camat atau Kepala.
Kedua, PPAT Khusus adalah pejabat Badan
Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena
jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT
dengan
membuat akta PPAT tertentu, khusus
dalam rangka pelaksanaan program atau tugas
pemerintah tertentu. Ketiga, PPAT yang juga
sebagai Notaris (adalah selain sebagai Notaris dia
juga ditunjuk sebagai PPAT) atau mereka yang
lulus ujian untuk menjadi PPAT.
PPAT diangkat dan
diberhentikan oleh
Menteri dengan
wilayah kerja tertentu, untuk
PPAT,
mempunyai
wilayah
kerja
seluruh
Kecamatan di wilayah Kabupaten sesuai dengan
Surat Keputusan Menteri. PPAT Sementara
mempunyai wilayah kerja di Kecamatan sesuai
dengan
wilayah
kerjanya
sebagai
camat.
Sedangkan PPAT Khusus hanya berwenang
membuat akta mengenai perbuatan hukum yang
disebutkan secara khusus dalam penunjukannya.
PPAT diangkat dan diberhentikan oleh
Kementerian
Dalam
Negeri.
PPAT
berhenti
menjabat sebagai PPAT, dengan ketentuan :
1. meninggal dunia
2. telah berusia 65 tahun
3. diangkat atau mengangkat sumpah jabatan
sebagai notaris dengan tempat kedudukan
176

di Kabupaten/Kota lain dari pada daerah


kerjanya sebagai PPAT dan dapat diangkat
kembali dengan
Surat Keputusan
baru
sesuai dengan tempat kedudukan Notaris
4. PPAT Sementara dan PPAT Khusus berhenti
melaksanakan tugas PPAT apabila tidak lagi
memegang jabatan atau diberhentikan.

1.

2.

11.3
Hak dan Kewajiban PPAT
PPAT
mempunyai
kewajiban
membuat
protokol PPAT yaitu
kumpulan dokumen yang
harus disimpan dan dipelihara oleh PPAT yang
terdiri dari daftar akta, akta asli, warkah
pendukung akta, arsip laporan, agenda dan suratsurat lainnya. Warkah adalah dokumen yang
dijadikan dasar pembuatan akta PPAT.
Jika PPAT pensiun atau pindah tugas termasuk
meninggal, maka Protokol akta tersebut harus
diserahkan kepada PPAT penggantinya.
Sebelum akta dibuat PPAT wajib meminta
kepada pihak-pihak untuk membayar pajak :
Bagi Penjual,
Pajak
Penghasilan (PPh) berdasarkan PP No. 48 Tahun
1994 Jo. PP No. 71/2008 sebesar 5 % dari
harga atau Nilai Jual Obyek pajak (NJOP) tahun
Pajak terakhir.
Bagi Pembeli, Pajak Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan
(BPHTB) sebesar 5 % dari kelebihan Rp
60.000.000.

177

DAFTAR PUSTAKA
A. Literatur
Ardiwilaga, Roestandi,
Hukum Agraria
Indonesia, Bandung: N.V. Masa Baru, 1962
Arfawie Kurde, Nukthoh, Telaah Kritis Teori
Negara Hukum, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005
Bakri, Muhammad, Hak Menguasai Tanah
Oleh Negara (Paradigma Baru Untuk Reformasi
Agraria), Jakarta: Citra Media, 2007
Basri Nata Menggala, Hasan, dan Sarjita,
Pembatalan dan Kebatalan Hak atas Tanah,
Cetakan Kedua, Yogyakarta: Tugujogja pustaka
2005
Fadjar, A. Mukthie, Tipe Negara Hukum,
Bayumedia Publishing, Cet. Kedua, Malang, 2005
Hamzah, Andi, Kamus Hukum, Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1986
Supriadi, Hukum Agraria, Jakarta : Sinar Grafika,
2007
P Crabtree, Arthur,You and the law, Chapter VI
178

Haar, Ter, Asas-asas dan Susunan Hukum


Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, 1960
Harjono, Perlindungan Hukum (Membangun
sebuah konsep Hukum) dalam Konstitusi Sebagai
Rumah
Bangsa,
Sekretariat
Jenderal
dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2008
Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia,
Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I Hukum
Tanah, Jakarta : Djambatan, 1994
Hasan,
Djunaedah,
Lembaga
Jaminan
Kebendaan bagi Tanah dan Benda Lainnya yang
Melekat pada Tanah Dalam Konsep Penerapan
Asas Pemisahan Horizontal, Bandung: Aditya Bakti,
1996
Hermayulis, Aspek-aspek Hukum Hak Pakai
Atas Tanah Negara Sebagai Objek Jaminan,
Majalah Hukum Bisnis, 1999.
Indrayana, Denn, Negara Antara Ada dan
Tiada Reformasi Hukum Ketatanegaraan, Kompas,
Jakarta: 2008
Kusumaatmadja, Mochtar, Konsep-konsep
Hukum Dalam Pembangunan Kumpulan karya
tulis, Bandung : PT. Alumni, 2002
Malikoel Adil, Soetan, Hak-hak Kebendaan,
Jakarta: PT. Pembangunan, 1962
M.P. Tjondronegoro, Sediono dan Gunawan
Wiradi (Penyunting), Dua Abad Penguasaan Tanah
Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari
Masa ke Masa, Jakarta: PT. Gramedia, 1984
Mertokusumo, Soedikno, Hukum dan Politik
Agraria, Jakarta : Karunika Universitas Terbuka,
1988
M, Soetojo, Undang-undang Pokok Agraria
dan Pelaksanaan Landreform, Jakarta: 1961

179

Mohammad Hatta, H., Hukum Tanah


Nasional Dalam Perspektif Negara Kesatuan,
Yogyakarta: Media Abadi, 2005
Mudjiono, Politik dan Hukum Agraria,
Yogyakarta: Liberty, 1997
Muchsin, H., Menggagas Pelaksanaan Tata
Guna Tanah Kajian Yuridis, Filosofis, Normatif dan
Sosiologis, Surabaya: Dunia Ilmu, 1998
Muchsin, H., Ikhtisar Hukum Indonesia
Setelah Perubahan Keempat UUD 1945 dan
Pemilihan Presiden Secara Langsung, Jakarta:
Iblam, 2005
Mustofa,Bachsan,Hukum Agraria dalam
Perspektif, Bandung: Remadja Karya, 1988
Notonagoro, Politik Hukum dan
Pembangunan Agraria di Indonesia, Jakarta: CV.
Pancuran Tujuh, 1974
Parlindungan, A.P., Komentar Atas UndangUndang Pokok Agraria, Bandung: Mandar Maju,
1991
Parlindungan, A. P., Komentar Atas UndangUndang Perumahan dan Permukiman & UndangUndang Rumah Susun, Cet II, Bandung: Mandar
Maju, 2001
Parlindungan, A.P., Konversi Hak-hak Atas
Tanah, Bandung: Mandar Maju, 1990
Parlindungan, AP., Hak Pengelolaan Menurut
Sistem UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria), Cet.
II, Bandung: CV. Mandar Maju, 1994
Parlindungan, A.P, Pendaftaran Tanah di
Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 1999
Purwopranoto, Penuntut tentang Hukum
Tanah, Semarang: Astana Buku ABEDE, 1953
Roestandi Ardiwilaga R, Hukum Agraria
Indonesia, Bandung: NV. Masa Baru, 1962

180

Ruchiyat, Eddy, Politik Pertanahan Nasional


Sampai Orde Reformasi, Bandung: PT. Alumni,
2006
Ruwiastutik, Maria R., Perubahan Politik,
Sengketa dan Agenda Pembaharuan Agraria di
Indonesia, Reformasi Agraria, Jakarta: Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia,
1997
Santoso, Urip, Hukum Agraria dan Hak-hak
Atas Tanah, Jakarta, Prenada Media, 2005
Sitorus, Oloan dan Nomadyawati, Hak Atas
tanah dan Kondominium Suatu Tinjauan Hukum,
Jakarta: Dasamedia utama, 1994
Soebekti, R., Kitab Undang-undang Hukum
Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita, 1983
St. Paul Minn, Blacks Law Dictionary, 1983,
West Publishing Co, dalam Boedi Harsono, Hukum
Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UndangUndang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya
Soebekti dan R Tjitrosoedibio, Kamus Hukum,
Jakarta: Pradnya Paramita, 1983
Soeromihardjo,
Soedjarwo,
Produktifitas
Lahan Pertanian Rakyat Dalam Wilayah Kecamatan
di Provinsi Sumatera Utara, Malang : Penelitian
Universitas Brawijaya Malang, 1985
Soerodjo, Irawan,Kepastian Hukum Hak Atas
tanah di Indonesia, Surabaya: Arkola, 2003
Soetomo, Politik dan Administrasi Agraria,
Surabaya: Usaha Nasional, 1986
Subekti R, Pembinaan Hukum Nasional,
Bandung: Alumni, 1975
Sudiyat, Imam, Hukum Adat Sketsa Asas,
Yogyakarta: Liberty, 1981
Sukanti Hutagalung, Arie dan Markus
Gunawan, Kewenangan Pemerintah dibidang
Pertanahan, (Jakarta : Rajawali Pers, 2008
181

Sumardjono,
Maria
S.W.,
Kebijakan
Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi,
Cet IV, Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2006
Sumardjono, Maria Sriwulani, Kewenangan
Negara
Untuk
Mengatur
Dalam
Konsep
Penguasaan
Tanah
Oleh
Negara,
Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada.
Supriadi, Hukum Agraria, Jakarta: Sinar
Grafika, 2007
Sutedi, Andrian, Politik dan Kebijakan
Hukum
Pertanahan
Serta
Berbagai
Permasalahannya, Jakarta : BP. Cipta Jaya, 2006
Sutedi,
Andrian,
Implementasi
Prinsip
Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah
Untuk Pembangunan,Jakarta : Sinar Grafika, 2007
Teluki, A., Perbandingan Hak Milik Atas Tanah
dan Recht van eigendom, Bandung: PT. Eresco,
1966
Wirawan, Tjuk, Amputasi Hukum Suatu
Upaya Para Dimokrat Pembangunan, Cet. III,
Jember: Universitas Jember, 2000
B.Makalah
Harsono, Soni, Pokok-pokok Kebijaksanaan
Bidang
Pertanahan
dalam
Pembangunan
Nasional,Jurnal Analisis CSIS, Jakarta, Tahun XX No.
2, Maret April 1991
Fifi Junita, Hak Ulayat Hukum Adat Setelah
Berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960
Tentang Pokok-Pokok Ketentuan Agraria, Yuridika,
Volume 16 No. 5 September 2001, Fak. Hukum
Unair Surabaya, 2001
Herlinda, Erna, Artikel Pendaftaran Hak-hak
Atas Tanah Adat Menurut Ketentuan Konversi Dan
PP No. 24 Tahun 1997, Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara
182

Sri
Hajati,
Penyederhanaan
Macam Hak Atas Tanah Dalam Rangka
Pembaharuan Hukum Agraria Nasional,
Yuridika, Vol. 21 No. 3, Fakultas Hukum
Universitas Airlangga, Surabaya, Mei 2006
Sri Winarsi, Pengelolaan Tanah Kas Desa Di
Era Otonomi Daerah, Yuridika, Vol. 29 No. 5,
Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya,
September 2005
Sumardji, Eksistensi, Pendaftaran, dan
Pembebanan Hak Pengelolaan, Yuridika, Vol. 15
No. 1, Fakultas Hukum Universitas Airlangga,
Surabaya, Januari 2000,
Sumardjono, Maria S.W., Tanah Dalam
Perspektif Hak Ekonomi Sosial Dan Budaya,
Kompas, Jakarta, 2008
C.Terbitan Lembaga
Direktur
Pengurusan
Hak-Hak
Tanah
Direktorat Jenderal Agraria Departemen Dalam
Negeri, Tata Laksana Pengurusan Hak AtasTanah,
Jakarta, 1985
Direktorat
Jendral
Agraria
direktorat
Pendaftaran Tanah Badan Pertanahan Nasional,
Pendaftaran Tanah Dalam Era Pembangunan,
Jakarta : t.p, 1986
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua,
Jakarta : Balai Pustaka, 1991

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

183

Umi Supraptiningsih, dilahirkan di Jember pada


akhir Pebruari 1967, Saat ini bekerja sebagai
staf pengajar tetap di STAIN Pamekasan dengan
jabatan fungsional akademik Lektor Kepala
dalam golongan dan pangkat administratif
Pembina TK. I dan IV/a. Komunikasi tertulis
dapat ditujukan kepadanya melalui e-mail:
ummis@telkom.net
dan
umisupraptinigsih@yahoo.com.
Pendidikan kesarjanaannya dirampungkan di
Fakultas Hukum Universitas Jember (1991).
Pendidikan pascasarjananya ditamatkan pada
Program Ilmu Hukum di Universitas Narotama
Surabaya (2002), serta pada Program studi Ilmu
Hukum di Universitas 17 Agustus Surabaya
(2009).
Pelatihan Profesional yang pernah diikuti,
antara lain: Hisab Rukyat Tingkat Dasar, PTA
Surabaya (2005), Konsorsium Pendidikan Islam,
STAIN Pamekasan (2005), Diklat Fungsional
Dosen, Kanwil Depag Jawa Timur (2005),
Pelatihan Capacity Building bagi Lembaga
Masyarakat di Bidang Manajemen Perencanaan
yang Responsif Gender, Pemda Kabupaten
Pamekasan (2008), Urgensi Gender Dalam
Kurikulum Pendidikan Tinggi, PSW STAIN
Pamekasan (2008).
Pengalaman
Jabatan:
Laboran
Jurusan
Syariah STAIN Pamekasan (2004), Kepala
Laboratorium
Jurusan
Syariah
STAIN
Pamekasan (2004 s/d 2009), Sekretaris
JurusanSyariah STAIN Pamekasan (2009 s/d
2012), Ketua Jurusan Syariah STAIN Pamekasan
(2012 s/d 2016).
184

Pengalam Penelitian: Kesetaraaan Gender


dalam
Pandangan
Dosen
STAIN
Pamekasan(2003), Perlindungan Tenaga Kerja
Wanita (Studi Kasus di CV. Alam Tembakau
Pamekasan) (2004), Eksistensi Hak Gadai
Setelah Berlakunya UU No. 5 Tahun 1960
tentang UUPA(2005), Problematika Perceraian
bagi
PNS
yang
beragama
Islam(2006),
Pengemis Anak di Kabupaten Pamekasan
(Karakteristik
Sosisl,
Ekonomi
Dan
Perlindungannya)(2007),
Kajian
Kebijakan
Tentang
Perencanaan
Tata
Ruang
Kota
Pamekasan Berbasis Gerbang Salam(2008),
Penerapan UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak (Studi Kasus Terhadap Anak
Yang Berhadapan dengan Proses Hukum(2009),
Aspek Perlindungan Hukum Bagi Pekerja
Wanita
Pada
Perusahaan
Pemborongan
Bangunan Di Pamekasan(2010), Perlindungan
Hukum Anak TKI di Kab. Pamekasan(2011),
Problematika Implementasi Sertifikasi Tanah
Wakaf Pada Masyarakat Kecamatan Pamekasan
Kabupaten Pamekasan(2011), Pemenuhan Hak
Istri AtasHarta Gono Gini DiPengadilan Agama
Pamekasan(2012),
Penegakan
Hukum
Berkeadilan Gender: Studi atas Kuasa dan
Peran
Hakim
dalam
Memutus
Perkara
Perceraian karena KDRT di Madura, Penelitian
Kompetitif DIKTIS(2012).
Karya Ilmiah yang pernah disusun: Buku
Ajar Pengantar Ilmu Hukum (2006), Tinjauan
Yuridis tentang Poligami(2005), Kedudukan
Surat Ketetapan Pemberhentian Penuntutan
Perkara (SKP3) (Mengkritisi SKP3 Kasus Mantan
Presiden
Suharto)(2006),
Pentingnya
Pencantuman Label Pangan pada Produk
Pangan Untuk Perlindungan Konsumen(2008),
185

Peradilan Satu Atap Sebagai Perwujudan


Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka(2007),
Kebijakan
Tertib
Administrasi
Pertanahan
Desa(2008), Implementasi Hukum Lingkungan
Dalam
Perencanaan
Tata
Ruang
Kota
Pamekasan (2008), Buku Ajar Pengantar
Hukum Indonesia (PHI)(2009), Tradisi Mengemis
Sebagai Pemenuhan Kebutuhan Hidup(2010),
Penerapan UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak (Studi Kasus Terhadap Anak
Yang Berhadapan dengan Proses Hukum)
(2010), Upaya Hukum dalam Perlindungan
Tanah Kas Desa(2010).
Organisasi Profesi yang diamanatkan:
Sekretaris
Pusat
Studi
Wanita
STAIN
Pamekasan (2002 s/d 2012), Ketua Pusat
Konsultasi Dan Advokasi Hukum STAIN
Pamekasan (2004 s/d sekarang), Anggota
Komite
Perlindungan
Anak
Kabupaten
Pamekasan (2007 s/d sekarang), Kordinator
Divis
Hukum
Pusat
Pelayanan
Terpadu
Pemberdayaan Perlindungan Perempuan dan
Anak Kabupaten Pamekasan (2009 s/d
sekarang), Tim Ahli pada Lembaga Konsultasi
Kesejahteraan Keluarga (2012 s/d sekarang)

186

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, kami panjatkan puji syukur
ke hadirat Allah, SWT, yang telah melimpahkan
segala rahmat, taufik dan hidayahnya sehingga
kami dapat menyelesaikan Buku dengan judul
Hukum Agraria ini dengan lancar dan baik.
Dalam kesempatan kali ini tak lupa kami
ucapkan terima kasih kepada :
1.
Ketua
STAIN
Pamekasan
yang
telah
memberikan motivasi dalam penyelesaian
buku ini;
2.
Berbagai pihak yang tidak dapat kami
sebutkan satu persatu yang telah membantu
dalam penyelesaian buku ini.
Atas segala bantuan dan kebaikannya kami
sampaikan terima kasih dan semoga mendapatkan
pahala dari Allah, SWT.
Tentunya
kami
menyadari akan keterbatasan sebagai manusia,
oleh karena itu saran dan kritik yang konstruktif
tetap kami harapkan demi kesempurnaan buku
ini. Namun demikian atas keterbatasan kami dan
kekurangan kami, kami berharap semoga buku ini
187

sangat bermanfaat bagi kita semua terutama bagi


mahasiswa. Amin Ya Robbal Alamin.
2013

Pamekasan, 15 Nopember
Penulis

DAFTAR ISI

Halaman Judul

i
i
i
Kata Pengantar

.
ii
iii
Daftar Isi

iii
vii
BAB I Pengertian Hukum Agraria dan ...............
1
Hukum Pertanahan Nasional ..................
1.1Pengertian Agraria............................ 1
1.2Pengertian Hukum Agraria ..............
11
188

BAB II Hubungan Negara dengan Sumber ........


14
Daya Agraria ...........................................
2.1Konsepsi Hak Barat .........................
25
2.2Konsepsi Hak Adat ...........................
27
2.3Pengerian Hak Menguasai Negara..
30
BAB III
Sejarah
Hukum
Pertanahan
di ................
35
Indonesia..................................................
3.1Hukum Pertanahan Sebelum ..............
36
berlakunya UUPA ................................
3.2Hukum tanah administratif ................
39
pemerintahan jajahan Hindia Belanda
3.3Hukum Pertanahan Setelah ................
45
Berlakunya UUPA ...............................
BAB IV Pembaharuan Hukum Pertanahan ............
50
BAB V
Jenis-jenis
Hak
Penguasan
Atas
Tanah ...
61
5.1Hak Atas Tanah Yang bersifat tetap.
62
5.2Hak Atas Tanah Sementara, ............
73
5.3Hak Atas Tanah Berdasarkan UU.....
76
BAB VI Landreform di Indonesia ..........................
77
6.1Pengertian dan Program .................
77
Landreform ......................................
6.2Larangan menguasai tanah yang ....78
189

melampaui batas .............................


6.3Ketentuan batasan penguasaan .....79
atas tanah .......................................
BAB VII Konversi ...................................................
81
7.1Permohonan Hak Atas Tanah ..........114
BAB VIII Peralihan Hak Atas Tanah .....................
119
8.1Peralihan karena warisan................119
8.2Peralihan hak karena perbuatan ...120
hukum ............................................
BAB IX Pembebanan Hak Atas Tanah (Hak ......122
Tanggungan)...........................................
9.1Pengertian Hak Tanggungan ...........122
9.2Asas-asas Hak Tanggungan..............122
9.3Obyek Hak Tanggungan....................122
9.4Prosedur Pemberian Hak .................124
Tanggungan .....................................
9.5Surat Kuasa Membebankan Hak ....129
Tanggungan ....................................
9.6Hapusnya Hak Tanggungan ........... 130
9.7Parate Eksekusi Hak Tanggungan..131
BAB XPendaftaran Tanah ...............................139
10.1 Pendaftaran Tanah untuk .............139
Pertama kali dan pendaftaran .....
tanah dalam rangka ......................
pemeliharaan data .......................
10.2 Obyek Pendaftaran Tanah ...........140
10.3 Asas dan Tujuan Pendaftaran .....143
Tanah ...........................................
BAB XIPEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH ......147
(PPAT) .................................................
11.1 Fungsi, tugas dan kedudukan...147
PPAT .........................................
11.2 Jenis-jenis PPAT, wilayah ........ 147
kerja PPAT, Masa jabatan .......
PPAT, PPAT berhenti, ..............
190

pindah tugas dan meninggal...


11.3 Hak dan Kewajiban PPAT ........148
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

HUKUM AGRARIA

191

UMI SUPRAPTININGSIH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI


PAMEKASAN

192

Anda mungkin juga menyukai