Anda di halaman 1dari 6

PERKAWINAN

1. Asas Monogami
Asas monogami merupakan kewajiban bagi seorang pria yang diharuskan hanya
miliki satu istri, begitu sebaliknya seorang istri hanya boleh mempunyai seorang suami. Hal
tersebut diatur dalam BW maupun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan.
Pasal 27 BW

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun

Pada waktu yang sama, seorang lelaki hanya

1974 Tentang Perkawinan


(1) Pada azasnya dalam suatu perkawinan

boleh terikat perkawinan dengan satu orang

seorang pria hanya boleh mempunyai

perempuan saja dan seorang perempuan

seorang isteri. Seorang wanita hanya

hanya dengan satu orang lelaki saja.

boleh mempunyai seorang suami.


(2) Pengadilan dapat memberi izin kepada
seorang suami untuk beristeri lebih dari
seorang apabila dikehendaki oleh pihak

yang bersangkutan
Melalui pasal tersebut telah terlihat jelas bahwa pengaturan mengenai asas monogami yang
diatur pada BW maupun pada UU Perkawinan mempunyai arti yang berbeda. BW mengatur
mengenai asas monogami yang bersifat absolut, artinya tidak dapat diganggu gugat. Berbeda
dengan UU Perkawinan yang mengisyaratkan asas monogami yang bersifat tidak mutlak,
artinya dapat disalahi namun diatur lebih lanjut dalam UU Perkawinan. Kedua hal mengatur
asas monogami diatas mengakibatkan kontradiktif atau pertentangan norma.
2. Mengenai Pasangan Perzinahan
Zina merupakan perbuatan intim atas dasar suka sama suka yang dilakukan oleh
pasangan bukan suami istri. Hal tersebut merupakan perbuatan pidana delik aduan, jika
salah satu atau kedua pasangan zina dari tersebut telah kawin dalam hal ini baik pihak lakilaki maupun wanita.
Pasal 32 KUHPerdata
Seseorang

yang

dengan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974


Tentang Perkawinan.
keputusan Tidak atau Belum Diatur

pengadilan telah dinyatakan melakukan zina,


sekali-kali

tidak

diperkenankan

dengan pasangan zinanya itu

kawin

Penjelasan dari Pasal 32 BW secara jelas melarang perkawinan antara pelaku zina yang
telah mendapat putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat. Hal tersebut
berdasar dari perkawinan BW yang menganut asas monogami mutlak sehingga tidak
dimungkinkan bagi seorang pria untuk melakukan poligami atau wanita yang melakukan
poliandri. Mengenai hal tersebut UU Perkawinan tidak atau belum mengatur mengenai
larangan tersebut sehingga, dimungkinkan bagi seorang yang telah melakukan zina untuk
mengawini pasangan zinanya. Artinya terdapat kekosongan hukum yang terdapat dalam UU
Perkawinan.

PERWALIAN

1. Definisi Perwalian
Perwalian menurut Pasal 330 KUHPerdata dijelaskan sebagai berikut,
yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh
satu tahun dan tidak kawin sebelumnya. Bila perkawinan dibubarkan sebelum umur
mereka genap dua puluh satu tahun maka mereka tidak kembali berstatus belum dewasa.
Definisi perwalian juga dijelaskan dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, yakni :
(1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua,
berada di bawah kekuasaan wali.
(2) Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta
bendanya.
Terdapat perbedaan definisi mengenai perwalian yng diatur dalam KUHPerdata dan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, sangatlah jelas bahwa batas usia dalam
definisi perwalian berbeda. Pasal 330 KUHPerdata batas usia dewasa adalah dua puluh satu
tahun sedangkan batas usia yang tertera dalam Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah delapan belas tahun. Hal tersebut menyebabkan
adanya konflik norma yang mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum mengenai
perwalian.
2. Jenis Perwalian
Mengenai pengangkatan wali terdapat perbedaan mengenai jenis perwalian yang
dijelaskan sebagai berikut:
KUHPerdata

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974


Tentang Perkawinan.

Pasal 345

Pasal 51

Bila salah satu dari orang tua meninggal (1) Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua
dunia, maka perwalian anak belum dewasa

yang menjalankan kekuasaan orang tua,

dipangku demi hukum oleh orang tua yang

sebelum ia meninggal, dengan surat

masih

wasiat atau dengan lisan di hadapan dua

hidup,

sejauh

orang

tua

tidak

dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang


tua.
Pasal 355
Masing-masing orang tua yang menjalankan
kekuasaan orang tua atau perwalian atas

orang saksi
(2) Wali sedapat-dapatnya diambil dari
keluarga anak tersebut atau orang lain
yang sudah dewasa, berpikiran adil, jujur
dan berkelakuan baik.

seorang atau beberapa orang anaknya, berhak


mengangkat seorang wali bagi anak-anaknya
itu, jika sesudah ia meninggal dunia, demi
hukum atau karena penetapan Hakim yang
dimaksud

dalam

alinea

terakhir

353,

perwalian tidak dilakukan pihak lain dari


orang tua
Pasal 359
Bila anak belum dewasa yang tidak beradi di
bawah

kekuasaan

perwaliannya

orang

sebelumnya

tua

yang

tidak

diatur

dengan cara yang sah, Pengadilan Negeri


harus mengangkat seorang wali, setelah
mendengan atau memanggil dengan sah para
keluarga sedarah dan semenda.

Penjelasan diatas dapat terlihat mengenai jenis perwalian yang terdapat dalam
KUHPerdata maupun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
KUHPerdata membagi jenis perwalian menjadi tiga yakni sebagai berikut:
a. Perwalian dari suami atau istri yang hidup lebih lama, terdapat dalam Pasal 345-354
b. Perwalian yang ditunjuk oleh bapak atau ibu dengan wasiat atau akta tersendiri,
terdapat dalam Pasal 355 ayat (1)
c. Perwalian yang diangkat oleh Hakim, terdapat Pasal 359
Menurut Pasal 51 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, perwalian
hanya ada karena penunjukan oleh salah satu orang tua yang menjalankan kekuasaan sebagai
orang tua sebelum dia meninggal dengan adanya surat wasiat atau dengan lisan dengan
dihadapkan oleh dua orang saksi.
Penjelasan tersebut menimbulkan polemik dikarenakan terdapat permasalahan terkait
dengan perwalian tersebut. Timbulnya permasalahan,apakah seorang hakim berwenang
menentukan wali bagi seorang anak yang belum dewasa dan bagaimana wewenang seorang
hakim dalam mengangkat wali untuk seorang anak yang belum dewasa. Pertanyataan tersebut
ada dikarenakan terdapat norma yang berbenturan, atau konflik aturan yang mengatur hal
yang sama.

PENCATATAN PERISTIWA HUKUM


1. Pencatatan Mengenai Pengajuan Gugatan Perceraian
Mengenai pengajuan gugatan perceraian terdapat pengaturan yang berbeda dalam
hal ini diatur dalam KUHPerdata dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, seperti dijelaskan dibawah ini
KUHPerdata

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan
Pasal 207
Gugatan

Pasal 39
perceraian

perkawinan

harus Perceraian hanya dapat dilakukan di depan

diajukan kepada Pengadilan Negeri yang sidang pengadilan setelah pengadilan yang
didaerah hukumnya si suami mempunyai bersangkutan berusaha dan tidak berhenti
tempat

tinggal

pokok,

pada

waktu mendamaikan kedua belah pihak

memajukan permohonan termaksud dalam Pasal 40


Pasal 831 Reglemen Acara Perdata atau (1) Gugatan perceraian diajukan kepada
tempat tinggal yang sebenernya bila tidak
mempunyai tempat tinggal pokok.

pengadilan
Pasal 63
(1) Yang dimaksud dengan Pengadilan dalam
undang-undang ini ialah
a. Pengadilan agama bagi mereka yang
beragama Islam
b. Pengadilan umum bagi lainnya

Mengenai Pengajuan gugatan tersebut memang sama-sama didaftarkan kepada


pengadilan, namun dalam hal ini yang menjadi masalah adalah ketika pengajuan gugatan
perceraian harus didaftarkan di pengadilan negeri atau pengadilan agama khususnya bagi
seorang yang beragama Islam.

Anda mungkin juga menyukai