Anda di halaman 1dari 6

1.

HUKUM ACARA PIDANA SEBELUM ZAMAN KOLONIAL

Pada saat Belanda menginjakkan kakinya di Nusantara, telah ada lembaga tata negara dan lembaga
tata hukum atau dengan kata lain telah tercipta hukum di bumi Nusantara yang lahir dari
masyarakat tradisional sendiri yang kemudian disebut dengan hukum adat sebelum Belanda
menjajah bumi Nusantara. Hazairin menulis bahwa dalam masyarakat tradisional Indonesia tidak
ada pidana penjara.Menurut Supomo pada tiap pelanggaran hukum para penegak hukum mencari
bagaimana bagaimana mengembalikan keseimbangan yang terganggu itu. Mungkin hanya berupa
pembayaran sejumlah uang yang sama dengan pelunasan utang atau ganti kerugian.
Hukum pembuktian pada masyarakat tradisional Indonesia sering digantungkan pada
kekuasaan Tuhan. Di daerah Wajo dahulu dikenal cara pembuktian dengam membuat asap pada
guci abu raja yang dianggap paling adil dan bijaksana (Puang ri Magalatung). Kemana asap itu
mengarah pihak itulah yang dianggap paling benar. Sistem pemidanaannya pun sangat sederhana.
Mulai dari pembayaran ganti kerugian sampai ri ule bawi (kedua kaki dan tangannya diikat lalu
diselipkan sebilah bambu) lalu dipikul keliling kampung untuk dipertunjukkan.
Bentuk-bentuk sanksi hukum adat dihimpun dalam Pandecten Van het Adatrecht bagian x yang
disebut juga dalam buku Supomo yaitu sebagai berikut :
1. Penggantian kerugian “immateriil” dalam pelbagai rupa seperti paksaan menikahi gadis
yang telah dicemarkan.
2. Bayaran “uang adat” kepada orang yang terkena, yang berupa benda yang sakti sebagai
pengganti kerugian rohani.
3. Selamatan untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran gaib.
4. Penutup malu, permintaan maaf.
5. Pelbagai rupa hukum badan, hingga hukuman mati.
6. Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang di luar tata hukum.

A. Perubahan Perundang-undangan di Negeri Belanda yang Dengan Asas Konkordansi


Diberlakukan Pula di Indonesia.
KUHAP yang dipandang sebagai sebuah karya agung merupakan penerusan dari asas-asas hukum
acara pidana yang ada dalam HIR ataupun Ned strafvordering 1926 yang lebih modern itu.
Mr. H.L. Wichers ini diangkat oleh Raja sebagai Presiden Hooggerechtshof di Hindia Belanda
merangkap komisaris khusus untuk mengatur mulai berlakunya perundang-undangan baru. Tiga
pekerjaan utama yang diselesaiakan selama satu setengah tahun, yaitu yang pertama peraturan
mengenai peradilan, kedua mengenai perbaikan kitab undang-undang yang telah ditetapkan itu,
dan ketiga pertimbangan tentang berlakunya hukum Eropa untuk orang timur.
Isi firman Raja tanggal 16 Mei 1846 Nomor 1 yang diumumkannya di Indonesia dengan sbld 1847
Nomor 23 yang terppenting ialah yang tersebut Pasal 1 dan Pasal 4. Peraturan-peraturan yang
dibuat untuk “Hindia Belanda” yaitu sebagai berikut :
1. Ketentuan umum tentang Perundang-undangan (AB)
2. Peraturan tentang Susunan Pengadilan dan Kebijaksanaan.
3. Pengadilan (RO)
4. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW)
5. Kitab Undang-undang Hukum Dagang (WvK)
6. Ketentuan-ketentuan tentang kejahatan yang dilakukan pada kesempatan jatuh pailit dan
terbukti tida mampu, begitu pula dikala diadakan penangguhan pembayaran utang (Pasal
1)
7. Peraturan acara perdata (Hooggerechtshof dan Raad van justitie).
8. Perturan tata usaha kepolisian, beserta pengadilan sipil dan penuntutan tata usaha
kepolisian, beserta pengadilan sipil dan penuntutan perkara kriminal mengenai golongan
Bumiputera dan orang-orang yang dipersamakan (Pasal 4).

B. Inlands Reglement Kemudian Herziene Inlands Reglements


Setelah beberapa kali melalui perdebatan dan perubahan akhirnya Gubernur Jenderal
menerima rancangan dan diumumkan melalui Stb. No. 16 tanggal 5 April 1848, dan kemudian
disahkan dan dikuatkan dengan Firman Raja tanggal 29 September 1849 No. 93, diumumkan
dalam Stb. 1849 No. 63 yang dikenal dengan Inlandsch Reglement (IR).
IR ini juga beberapa kali mengalami perubahan antara lain pada tahun 1926 dan 1941 melalui
Stb. 1941 No. 44 ditetapkan antara lain, Reglement Bumiputera setelah diadakan perubahan dalam
ordonasi ini akan berlaku di dalam daerah hukum Laundraad yang kemudian disebut Herziene
Inlandsch Reglement (HIR). Perlu dicatat bahwa pada mulanya HIR hanya berlaku bagi bangsa
Eropa dan warga negara Indonesia keturunan asing, serta bangsa Indonesia asli yang tunduk pada
hukum sipil barat yaitu golongan yang merupakan justiciabelen dari Raad van Justitie.
Setelah Indonesia merdeka dikeluarkan Undang-Undang Darurat tahun 1951 No. 1 Lembaran
Negara 1951 No. 9 yang melakukan perubahan total mengenai susunan kehakiman Pengadilan
Negeri dibentuk menggantikan Landraad dan sekaligus Raad van Justitie, dan HIR merupakan
pedoman beracara di pengadilan negeri baik dalam perkara perdata maupun pidana sipil, namun
untuk Pengadilan Negeri di luar Jawa dan Madura berlaku ketentuan Rechtsreglement
Buitengewesten (Reglement untuk daerah seberang)

2. SEJARAH HUKUM ACARA PIDANA PENDUDUKAN JEPANG di INDONESIA


Pada zaman pendudukan Jepang, pada umumnya tidak terjadi perubahan asasi kecuali
hapusnya Raad van justitie sebagai pengadilan untuk golongan Eropa. Dengan undang-undang
(Osamu Serei) Nomor 1 Tahun 1942 yang mulai berlaku pada tanggal 7 Maret 1942, dikeluarkan
aturan peralihan di Jawa dan Madura yang berbunyi “Semua badan-badan pemerintahan dan
kekuasaannya, hokum dan undang-undang dari pemerintah yang dulu, tetap diakui sah buat
sementara waktu asal saja tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer.
Di luar Jawa dan Madura pun pemerintah milliter Jepang mengeluarkan peraturan yang
senada.Dengan demikian, acara pidana pada umumnya tidak berubah, HIR dan Reglement voor
de Buitengewesten serta Landgerechts Reglement berlaku untuk Pengadilan Negeri (Tihoo
Hooin).Pengadilan Tinggi (Kootoo Hooin) dan Pengadilan Agung (Saiko Hooin).Susunan
pengadilan diatur dengan Osamu Serei Nomor 3 Tahun 1942 Tanggal 20 September 1942.
Pada tiap macam pengadilan itu ada kejaksaan, yaitu Saikoo Kensatsu Kyoko pada Pengadilan
Agung, Kootoo Kensatsu Kyaku pada Pengadilan Tinggi, dan Tihoo Kensatsu Kyoku pada
Pengadilan Negeri.

3. SEJARAH HUKUM ACARA PIDANA SETELAH PROKLAMASI KEMERDEKAAN


(1945-1981)
Pasca Kemerdekaan keadaan pada zaman pendudukan Jepang dipertahankan sesudah proklamasi
kemerdekaan. Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 berlaku pada tanggal 18 Agustus 1945
mengatakan :"Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum
diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini."
Untuk memperkuat aturan peralihan tersebut, maka Presiden mengeluarkan suatu peraturan pada
tanggal 10 Oktober 1945 yang disebut Peraturan Nomor 2 yang berbunyi : "Untuk ketertiban
masyarakat berdasar atas Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia pasal
II berhubung dengan pasal IV Kami Presiden menetapkan peraturan sebagai berikut ; Pasal I "Segala
badan-badan negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya Negara Republik Indonesia
pada tanggal 17 Agustus 1945, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar,
masih berlaku asal saja tidak bertentangan dengan Undang-Undang tersebut."Pasal II "Peraturan ini
mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1945. "Barulah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946
diadakan perubahan yang mendasar atas WvSI.
Ditentukan di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tersebut bahwa hukum pidana yang
berlaku sekarang (mulai 1946) iaiah hukum pidana yang berlaku pada tanggal 8 Maret 1942 dengan
pelbagai perubahan dan penambahan yang disesuaikan dengan keadaan Negara Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia dengan nama Wetboek van Srrafrecht mor Nederlandsch Indie diubah
menjadi Wetboek van Strufrechz yang dapat disebut Kitab Undang - Undang Hukum Pidana (KUHP)
dan KUHAP.
Perubahan-perubahan yang diciptakan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 terhadap
Wetboek van Strafrecht 8 Maret Tahun 1942 (saat mulai pendudukan Jepang) ialah :
a. Pasal V yang menentukan bahwa peraturan hukum pidana yang seluruhnya atau sebagian
sekarang tidak dapat dijalankan atau bertentangan dengan kedudukan Indonesia sebagaj
negara merdeka atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap tidak berlaku.
b. Pasal VI mengubah dengan resmi nama Wetbcek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie
menjadi Wetboek van Stmfrecht (saja) yang dapat disebut juga dengan nama Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
c. Pasal VIII membuat perubahan kata-kata dan penghapusan beberapa pasal KUHAP itu
sebanyak 68 ketentuan.
d. Diciptakan delik-delik baru yang dimuat dalam Pasal IX sampai dengan Pasal XVI, tetapi
kemudian dengan Undang Undang Nomor 78 Tahun 1958 Pasal XVI tersebut dicabut.
Tentulah harus diingat bahwa teks asli Wetboek van Shafrecht atau KUHP itu sampai kinipun
masih di dalam bahasa Belanda, kecuali penambahan-penambahan kemudian sesudah tahun 1946 itu
yang teksnya sudah tentu dalam bahasa Indonesia. Jadi, apa yang sering dipegang oleh pelaksana
hukum (hakim,iaksa, polisi dan pengacara) adalah terjemahan di dalam bahasa Indonesia, yang corak
ragamnya tergantung pada selera penerjemah dan saat penerjemahan sama halnya dengan yang
dipakai oleh para dosen dan mahasiswa hukum.
Sebagai sejarah perlu diingat, bahwa Belanda pada tahun 1945 sampai dengan 1949 kembali lagi
ke Indonesia menduduki beberapa wilayah, dan bertambah luas sesudah Aksi Militer I, terutama
meliputi kota-kota besar di Jawa dan Sumatera, seperti Jakarta, Bogor, Bandung, Semarang, Surabaya,
Malang, Palembang, Padang dan Medan dan seluruh Nusatenggara, Sulawesi, Kalimantan, Maluku
dan Irian Barat.
Setelah lahirnya orde baru terbukalah kesempatan untuk membangun segala segi kehidupan.
Puluhan undang – undang diciptakan, terutama merupakan pengganti peraturan warisan kolonial.
Penggunaan istilah “hukum acara pidana” sudah merupakan pemilihan yang tepat dibandingkan
dengan “hukum proses pidana” atau “hukum tuntutan pidana di negara Belanda memakai istilah
strafvordering yang kalau diterjemahkan adalah “tuntutan Pidana” oleh karena itu menurut Prof. Dr.
Jur. Andi Hamzah istilah Inggris Criminal prosedure law lebih tepat daripada istilah Belanda.
Sejak Oemar Seno Adji menjabat Menteri Kehakiman, dibentuk suatu panitia di departemen
Kehakiman yang bertugas menyusun suatu rencana undang – undang Hukum Acara Pidana. Pada
waktu Mochtar Kusumaatmadja menggantikan Oemar Seno Adji menjadi Menteri Kehakiman,
penyempurnaan rencana itu diteruskan. Pada Tahun 1974 rencana terseut dilimpahkan kepada
Sekretariat Negara dan kemudian dibahas olehwmpat instansi, yaitu Mahkamah Agung, Kejaksaan
Agung, Hankam termasuk didalamnya Polri dan Departemen Kehakiman.
Setelah Moedjono menjadi Menteri Kehakiman, kegiatan dalam penyusunan rencana tersebut
diitensifkan. Akhirnya, Rancangan Undang – undang Hukum Acara Pidana itu disampaikan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas dengan amanat Presiden pada tanggal 12 September1979
Nomor R.08/P.U./IX/1979. Yang terakhir menjadi masalah dalam pembicaran Tim Sinkronisasi
dengan wakil pemerintah, ialah pasal peralihan yang kemudian dikenal dengan Pasal 284. Pasal 284
ayat (2) menjajikan bahwa dalam 2 tahun akan diadakan perubahan peninjauan kembali terhadap
hukum acara pidana khusus seperti misalnya yang terdapat dalam Undang – undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Tapi kenyataannya setelah 19 tahun berlakunya KUHAP, tidak ada tanda – tanda adanya usaha
untuk meninjau kembali acara khusus tersebut, bahkan dengan PP Nomor 27 Tahun 1983 telah
ditegaskan oleh Pemerintah bahwa penyidikan delik – delik dalam perundang – undangan pidana
khusus tersebut, dilakukan oleh berikut ini:
a. Penyidik.
b. Jaksa.
c. Pejabat Penyidik yang berwenang yang lain, berdasarkan peraturan perundang – undangan
(Pasal 17 PP Nomor 27 Tahun 1983).
Pada tahun 1965 Indonesia memulai proses Pembuatan KUHAP dan diberi nama Draft belum
sempurna, pada tahun 1967 dibentuklah panitia intern departemen kehakiman untuk membahas
hukum pidana dan HAM pada seminar hukum II di Semarang, namun masih belum menemukan jalan
keluar dari pembuatan KUHAP ini.
Kemudian pada tahun 1974 , Menteri Kehakiman yang sebelumnya adalah Prof. Oemar Seno Aji,
diganti oleh Prof. Mochtar Koesoemoatmaja. Beliau lebih mengintensifkan pembuatan RUUHAP,
menyimpan draft V (karena sebelumnya sudah terjadi perubahan draft sebanyak IV kali), dan
menyerahkanya ke kabinet. Selanjutnya pada tahun 1979 RUUHAP diserahkan ke DPR-RI untuk
mendapatkan persetujuan, namun persetujuan ini mendapat jawaban dari DPR-RI pada tanggal 9
september 1981 dalam sidang gabungan (SIGAB) komisi I dan III DPR RI.
Rancangan Undang – Undang Hukum Acara Pidana disahkan oleh siding paripurna DPR pada tanggal
23 September 1981, kemudian Presiden mensahkan menjadi undang – undang pada tanggal 31
Desember 1981 dengan nama KITAB UNDANG – UNDANG ACARA PIDANA (Undang – undang
Nomor 8 Tahun 1981, LN 1981 Nomor 76, TLN Nomor 32.

4. SEJARAH HUKUM ACARA PIDANA SETELAH PROKLAMASI KEMERDEKAAN


(1981-SEKARANG)
Setelah menunggu sekian lama, setidak-tidaknya sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) pada 2000-2004, 2004-2009 dan 2009-2014, pembaruan terhadap Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mendapatkan
momentumnya. Pada 6 Maret 2013, Pemerintah secara resmi menyerahkan Rancangan KUHAP yang
memuat 286 pasal kepada DPR. Selanjutnya, DPR merespon penyerahan rancangan tersebut dengan
membentuk Panitia Kerja (Panja) yang diketuai oleh Aziz Syamsuddin. Metode pembahasan yang
disepakati adalah dengan menggunakan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Setelah pasal-pasal
dalam RKUHAP tersebut diklasifikasikan dalam permasalahan dan diberi nomor, terdapat 1.169
nomor DIM .
Kini, kurang lebih satu tahun berlalu, menurut catatan pemantauan Pusat Studi Hukum dan
Kebijakan Indonesia (PSHK) yang tergabung dalam Komite untuk Pembaruan Hukum Acara Pidana
(KuHAP), hingga Maret 2014 telah dilaksanakan 5 (lima) kali rapat kerja antara Pemerintah dengan
Panja RKUHAP. Catatan penting dari kelima sidang tersebut adalah, pada rapat kerja 21 November
2013, Pemerintah dan DPR mengambil kesepakatan mengenai beberapa nomor DIM, yaitu :
a. 729 nomor DIM dinyatakan tetap .
b. 69 nomor DIM dinyatakan tetap namun dengan catatan.
c. 97 nomor DIM dinyatakan perubahan terhadap redaksional.
d. 208 nomor DIM dinyatakan pembahasan mengenai substansi.
e. 28 nomor DIM dinyatakan meminta penjelasan.
f. 38 nomor DIM dinyatakan baru.
Selain catatan atas beberapa nomor DIM diatas, perkembangan pembahasan di DPR belum
beranjak dari beberapa topik. Dimana terhadap topik pembahasan tersebut, juga belum ditemukan
kesepakatan. Beberapa hal yang masih dalam tahap pembahasan tersebut adalah:
a. Nomor DIM 9, mengenai dasar mengingat;
b. Nomor DIM 15, mengenai penghapusan nomenklatur penyelidikan; dan
c. Nomor DIM 17, mengenai pengertian penuntut umum dan penuntutan.
Dengan mempertimbangkan kondisi dan pembahasan yang berkembang di DPR, maka sebaiknya
pembahasan terhadap Rancangan KUHAP (RKUHAP) saat ini dihentikan dan dilanjutkan pada DPR
periode mendatang.
Pembahasan terhadap RKUHAP sepatutnya disandarkan pada 2 (dua) prasyarat, yaitu (i)
ketersediaan waktu yang cukup, dan (ii) dirumuskannya metode pembahasan yang efektif juga
partisipatif. Dua prasyarat ini berpotensi tidak akan terpenuhi, apabila pembahasan tetap dipaksakan
oleh DPR periode 2009-2014 .
Praktis, DPR hanya memiliki sekitar 109 hari kerja dalam waktu kurang lebih 9 (sembilan) bulan
untuk menyelesaikan masa tugasnya di periode ini, terhitung mulai 15 Januari 2014 (pembukaan Masa
Sidang III Tahun Persidangan 2013-2014) sampai dengan 1 Oktober 2014 (pelantikan anggota DPR
periode 2014-2019). Kurun waktu itu diselingi oleh dinamika pemilihan umum, baik legislatif (9 April
2014) maupun presiden (9 Juli 2014), yang tentu saja menguras cukup banyak waktu dan perhatian
anggota DPR, khususnya PanjaRKUHAP.
Waktu yang tersedia sangat singkat. Sementara di sisi lain, secara kuantitas, jumlah pasal dan
daftar inventarisasi masalah yang dibahas cukup banyak. Selain itu, secara kualitas, materi yang
dibahas juga cukup kompleks, melibatkan banyak pemangku kepentingan, dan berdampak luas pada
struktur hukum serta hak asasi manusia. Substansi KUHAP sangat penting dan fundamental bagi
jalannya proses peradilan pidana. Apabila dipaksakan dalam kondisi dan waktu yang tidak
mendukung, maka tentu akan berpengaruh pada kualitas substansi yang dihasilkan. KUHAP di
kemudian hari akhirnya akan rentan dipermasalahkan .
Dorongan ke depan adalah agar Pemerintah dan DPR (dalam hal ini Panja RKUHAP)
menghentikan pembahasan hingga periode DPR 2009-2014 berakhir. Selanjutnya, mendorong agar
Pemerintah dan DPR memasukkan perubahan KUHAP sebagai agenda dan prioritas di Program
Legislasi Nasional (Prolegnas), baik 5 (lima) tahunan maupun prioritas 1 (satu) tahunan. Tidak luput,
metode pembahasan yang efektif dan partisipatif juga merupakan keharusan.

Anda mungkin juga menyukai