Pada saat Belanda menginjakkan kakinya di Nusantara, telah ada lembaga tata negara dan lembaga
tata hukum atau dengan kata lain telah tercipta hukum di bumi Nusantara yang lahir dari
masyarakat tradisional sendiri yang kemudian disebut dengan hukum adat sebelum Belanda
menjajah bumi Nusantara. Hazairin menulis bahwa dalam masyarakat tradisional Indonesia tidak
ada pidana penjara.Menurut Supomo pada tiap pelanggaran hukum para penegak hukum mencari
bagaimana bagaimana mengembalikan keseimbangan yang terganggu itu. Mungkin hanya berupa
pembayaran sejumlah uang yang sama dengan pelunasan utang atau ganti kerugian.
Hukum pembuktian pada masyarakat tradisional Indonesia sering digantungkan pada
kekuasaan Tuhan. Di daerah Wajo dahulu dikenal cara pembuktian dengam membuat asap pada
guci abu raja yang dianggap paling adil dan bijaksana (Puang ri Magalatung). Kemana asap itu
mengarah pihak itulah yang dianggap paling benar. Sistem pemidanaannya pun sangat sederhana.
Mulai dari pembayaran ganti kerugian sampai ri ule bawi (kedua kaki dan tangannya diikat lalu
diselipkan sebilah bambu) lalu dipikul keliling kampung untuk dipertunjukkan.
Bentuk-bentuk sanksi hukum adat dihimpun dalam Pandecten Van het Adatrecht bagian x yang
disebut juga dalam buku Supomo yaitu sebagai berikut :
1. Penggantian kerugian “immateriil” dalam pelbagai rupa seperti paksaan menikahi gadis
yang telah dicemarkan.
2. Bayaran “uang adat” kepada orang yang terkena, yang berupa benda yang sakti sebagai
pengganti kerugian rohani.
3. Selamatan untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran gaib.
4. Penutup malu, permintaan maaf.
5. Pelbagai rupa hukum badan, hingga hukuman mati.
6. Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang di luar tata hukum.