Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH HUKUM PENITENSIER

MATERI HUKUM PENITENSIER MENGENAI SANKSI


PIDANA DAN JENIS-JENIS SANKSI PIDANA

DI SUSUN OLEH:
ANDI REZKI AMALIA TRIANI PUTRI ASWAR
B011181539
HUKUM PENITENSIER – B

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2021
KATA PENGANTAR

            Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat
dan salam juga disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Serta
sahabat dan keluarganya, seayun langkah dan seiring bahu dalam menegakkan
agama Allah. Dengan kebaikan beliau telah membawa kita dari alam kebodohan ke
alam yang berilmu pengetahuan.

Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah HUKUM PENITENSIER


pada Program Studi Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin dengan ini penulis
mengangkat judul “RANGKUMAN MATERI HUKUM PENITENSIER MENGENAI
SANKSI PIDANA DAN JENIS-JENIS SANKSI PIDANA”

Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya. Oleh karena itu
penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran-saran yang dapat membangun
demi kesempurnaan makalah ini.

Makassar,8 April 2021


Penulis,

Andi Rezki Amalia Triani Putri Aswar

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. i

DAFTAR ISI ................................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 1

1.1. Latar Belakang Masalah .................................................................................. 1


1.2. Rumusan Masalah ........................................................................................... 3
1.3. Tujuan .............................................................................................................. 3

BAB II PEMBAHASAN .............................................................................................. 4

2.1 Sanksi Pidana dan Jenis-Jenis Sanksi Pidana ............................................... 4


2.2 Pidana Pokok dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ............ 6
2.2.1 Pidana Mati ............................................................................................... 6
2.2.2 Pidana Penjara ......................................................................................... 7
2.2.3 Pidana Kurungan ...................................................................................... 7
2.2.4 Pidana Denda ........................................................................................... 8
2.2.5 Pidana Tutupan ........................................................................................ 9

PENUTUP ................................................................................................................ 10

3.1. Kesimpulan ................................................................................................... 10


3.2. Saran ............................................................................................................. 10

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 11

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Negara Indonesia dikenal sebagai negara hukum, yaitu setiap gerak
langkah pergaulan hidup manusia dalam hubungannya dengan hubungan
bermasyarakat dan bernegara tidak lepas dari norma hukum yang merupakan
tata aturan yang dapat dijadikan pedoman atau usaha mewujudkn ketentraman
dan kedamaian dalam bermasyarakat. Sistem pemasyarakatan merupakan
rangkaian satu kesatuan penegakkan hukum pidana, oleh sebab itu
pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari pengembagan konsep umum
mengenai pemidanaan.1
Berbicara mengenai hukuman dalam hukum pidana, khususnya berkenaan
dengan Hukum Penitensier atau Hukum Penghukuman atau Hukum
Pemidanaan, atau ada yang menyebutkannya Hukum Penitensia. 2
Perkembangan tentang bidang pidana dan pemidanaan semakin mengemuka,
mengingat hakikat pidana sebagai penderitaan yang dikenakan oleh negara
kepada seseorang yang melakukan tindak pidana, yang dalam penerapannya
akan bersinggungan dengan hak asasi manusia. Bukan hanya menyangkut
kriteria pengancaman, penjatuhan suatu jenis atau macam pidana dalam
rangka pembalasan, dan perlindungan serta pengayoman masya-rakat, tetapi
juga bagaimana upaya untuk memperbaiki pelaku yang tersesat, dan
mengembalikan kepercayaan masyarakat serta memberikan pengampunan
terhadap “dosa” yang dilakukan oleh si pelaku. 3
Hukum penitensier tidak dapat dilihat hanya sebatas penerapan sanksi
pidana terhadap tindak pidana sebagai fenomena yuridikal dengan
konsekuensi dikesampingkannya ihwal akibat-akibat hukum (pemidanaan) dari
tindak pidana tersebut. Di sini perannya sangat penting dalam melengkapi
hukum pidana, yang ketika memasuki berbagai kajian penitensier, akan
menampakkan begitu banyaknya dimensi lain ketimbang sekadar dogmatika
hukum pidana yang diperlukan dan dipergunakan. Masalah pengancaman dan

1
Afriansyah, “Pengaturan Pidana Penjara di Masa Mendatang dilihat dari Aspek Perbaikan Pelaku”,
Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, Edisi 1 Vol. 1 2013, hal. 1.
2
Mompang L. Panggabean, Pokok-Pokok Hukum Penitensier di Indonesia, Nuansa Cipta Warna,
2005, hal. 1.
3
Ibid.
1
penjatuhan pidana tidak dapat dilihat hanya sekadar persoalan pembuatan dan
penerapan aturan hukum, te-tapi juga bagaimanakah efektivitas suatu aturan
dikemudian hari, baik bagi si pelaku yang dikenai sanksi pidana (dan tindakan)
maupun terha-dap masyarakat luas, terlebih dalam era sekarang, di mana hak
asasi manusia begitu sering diperbincangkan. 4
Muladi dan Barda Nawawi menyatakan bahwa kebijakan menetapkan
suatu jenis sanksi pidana bukan merupakan awal dari suatu perencanaan yang
strategis. Langkah utama dari suatu politik kriminil justru adalah menetapkan
tujuan yang ingin dicapai. Tujuan pemidanaan yang ditetapkan dapat menjadi
acuan untuk menentukan cara, sarana, atau tindakan yang akan digunakan.
Kebijakan menetapkan pidana apa yang paling baik untuk mencapai tujuan,
setidaknya mendekati tujuan, tidak terlepas dari masalah pemilihan berbagai
alternatif. Pemilihan berbagai alternatif untuk memperoleh pidana mana yang
dinilai paling tepat, paling baik, atau paling efektif, merupakan persoalan yang
tidak mudah. Dari perspektif politik kriminil, tidak tertanggulanginya kejahatan,
justru dapat disebabkan karena tidak tepatnya jenis sanksi pidana yang
ditetapkan.5
Dalam perkembangan pembahasan di tingkat Panitia Kerja (Panja) Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah, rumusan mengenai jenis-jenis
pidana mengalami perubahan. Hasil Rapat Panja ini merumuskan Pasal 65A
yaitu bahwa Pidana terdiri atas: a. pidana pokok; b. pidana tambahan; c.
pidana yang bersifat khusus untuk tindak pidana tertentu yang ditentukan
dalam UU ini. Selanjutnya Pasal 69A memuat rumusan bahwa pidana yang
bersifat khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65A huruf c adalah
pidana mati yang selalu diancamkan secara alternatif. Sedangkan penjelasan
Pasal 69A dinyatakan bahwa pidana yang dapat diancam dengan pidana yang
bersifat khusus adalah pidana yang sangat serius atau yang luar biasa, antara
lain tindak pidana narkotika, tindak pidana terorisme, tindak pidana korupsi,
dan tindak pidana terhadap kemanusiaan.6

1.2 Rumusan Masalah


4
Ibid, Hal 2
5
Lidya Suryani Widayati, “Pidana Mati dalam RUU KUHP: Perlukah diatur Sebagai Pidana yang
Bersifat Khusus?”, Jurnal Hukum, Vol. 7 No. 2 (November 2016), hal 170.
6
Ibid, hal. 169.

2
Selanjutnya sehubungan dengan uraian pada latar belakang masalah di
atas, maka disini penulis membuat suatu rumusan masalah sebagai berikut:
1) Apa saja sanksi pidana dan jenis-jenis pidana dalam hukum penitensier?
2) Bagaimana pidana pokok dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP)?

1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan yang ingin dicapai adalah
sebagai berikut.
1) Untuk mengetahui definisi sanksi pidana dalam hukum penitensier
2) Untuk mengetahui pidana pokok dalam hukum penitensier dan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sanksi Pidana dan Jenis-Jenis Sanksi Pidana


Sanksi pidana merupakan penjatuhan hukuman yang diberikan kepada
seseorang yang dinyatakan bersalah dalam melakukan tindakan pidana. Jenis-
jenis pidana ini sangat bervariasi, seperti pidana mati, pidana seumur hidup,
pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana denda yang merupakan pidana
pokok.7 Pemberian sanksi pidana dengan tindakan dalam suatu putusan
pemidanaan dikenal pula sebagai double track system, dimana sistem ini
berkembang sebagai solusi atas perbedaan di antara pandangan aliran klasik
yang berlandaskan pada keadilan retributive dan pandangan aliran modern
yang berlandaskan pada perlindungan bagi masyarakat (Carl Stoos sebagai
pelopor awal system ini untuk KUHP Swiss.
Selanjutnya, lex generalis mengenai sanksi pidana di Indonesia telah diatur
di dalam KUHP. Pada ketentuan Pasal 10 KUHP telah diatur sanksi pidana
pokok dan sanksi tambahan. Jenis hukuman atau macam ancaman hukuman
dalam Pasal 10 tersebut adalah:
a. Pidana Pokok;8
(1) Pidana mati
(2) Pidana penjara
(3) Pidana kurungan
(4) Pidana denda
(5) Pidana tutupan (terjemahan BPHN).
b. Pidana Tambahan;
(1) Pencabutan hak-hak tertentu
(2) Perampasan barang-barang tertentu
(3) Pengumuman putusan hakim.

Pada dasarnya hukum pidana di Indonesia memiliki dua jenis sanksi, yaitu
sanksi pidana dan sanksi tindakan, meskipun dalam KUHP tidak dijelaskan
secara terperinci dan langsung. Sanksi pidana dan sanksi tindakan memiliki

7
Anis Widyawati, Ade Adhari, Hukum penitensier di Indonesia: konsep dan perkembangannya
(Depok: PT Raja Grafindo Persada, 2020), hal 29.
8
Fernando I. Kansil, “Sanksi Pidana dalam Sistem Pemidanaan Menurut KUHP dan di Luar KUHP”,
Lex Crimen Vol. III No.3 (Mei-juli, 2014), hal 18.

4
perbedaan, pertama sanksi pidana pada dasarnya bersifat reaktif terhadap
suatu perbuatan, sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap
pelaku perbuatan tersebut. Jika fokus sanksi pidana tertuju pada perbuatan
salah seorang lewat pengenaan penderitaan (agar yang bersangkutan menjadi
jera), fokus sanksi tindakan terarah pada upaya pemberian pertolongan agar
pelaku berubah (hukum) yang secara khusus diberikan untuk hal itu. 9

Istilah jenis sanksi secara tidak langsung diperinci dan dijelaskan dalam
RKUHP 2019 yang diatur dalam Bab III tentang Pemidanaan, Pidana, dan
Tindakan. Kebijakan kriminalisasi dan perumusan ancaman sanksi pidana
dalam RKUHP tidak lagi mengacu kepada ketentuan umum Buku I KUHP
sehingga perkembangannya lepas kendali dari ketentuan umum hukum pidana
dan membentuk sistem hukum pidana dan pemidanaan tersendiri. Dalam
RKUHP 2019 telah diatur berbagai jenis pidana dan tindakan.

Jenis pidana terdiri dari sebagai berikut:

a. Pidana Pokok:
(1) pidana penjara;
(2) pidana tutupan;
(3) pidana pengawasan;
(4) pidana denda; dan
(5) pidana kerja sosial.
b. Pidana Tambahan:
(1) pencabutan hak tertentu;
(2) perampasan barang tertentu dan/atau tagihan;
(3) pengumuman putusan hakim;
(4) pembayaran ganti rugi
(5) pencabutan izin tertentu; dan
(6) pemenuhan kewajiban adat setempat.
c. Pidana yang bersifat khusus untuk tindak pidana tertentu yang ditentukan
dalam undang-undang, yaitu pidana mati.10

9
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana: Kajian Kebijakan Kriminalisasi
dan Dekriminalisasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal. 88
10
Anis Widyawati, Ade Adhari, Op. cit, hal. 31-32.

5
2.2 Pidana Pokok dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
2.2.1 Pidana mati
Pidana ini adalah pidana terberat menurut hukum positif kita. Bagi
kebanyakan negara, masalah pidana mati hanya mempunyai arti dari
sudut kultur historis. Dikatakan demikian karena, kebanyakan negara-
negara tidak mencantumkan pidana mati ini lagi di dalam Kitab
Undangundangnya. Sungguhpun demikian, hal ini masih menjadi
masalah dalam lapangan ilmu hukum pidana, karena adanya teriakan-
teriakan di tengah-tengah masyarakat untuk meminta kembali
diadakannya pidana seperti itu, dan mendesak agar dimasukan
kembali dalam Kitab Undang-undang. Tetapi pada umumnya lebih
banyak orang yang kontra terhadap adanya pidana mati ini daripada
yang pro. Di antara keberatan-keberatan atas pidana mati ini adalah
bahwa pidana ini tidak dapat ditarik kembali, jika kemudian terjadi
kekeliruan. Namun pidana mati masih merupakan suatu ketentuan.
hukum yang berlaku sebagai salah satu warisan colonial. 11
Menurut S.R. Sianturi, dalam KUHP yang berlaku di Indonesia
ternyata ada pasal yang mengancamkan pidana mati, yaitu:
(1) Pasal 104: makar membunuh presiden;
(2) Pasal 111 ayat (2): pengkhianatan dalam arti luas;
(3) Pasal 124 ayat (3) jo. 129: pengkhianatan dalam arti sempit
(negara sahabat);
(4) Pasal 140 ayat (3): makar berencana terhadap kepala negara
sahabat;
(5) Pasal 185 jo. 340: duel yang dilakukan dengan rencana;
(6) Pasal 340: pembunuhan berencana;
(7) Pasal 365 ayat (4): perampokan berat;
(8) Pasal 368 ayat (2): pemerasan berat;
(9) Pasal 444: pembajakan yang berakibat matinya obyek;
(10) Pasal 479 k ayat (2): pembajakan udara yang berakibat matinya
obyek dan hancurnya pesawat udara;
(11) Pasal 479 o ayat (2): mengunjuk kepada 3 pasal yaitu Pasal 479
l, 479 m dan 479 n, yakni perbuatan kekerasan terhadap
11
J.E. Sahetappy, Pidana Mati Dalam Negara Pancasila (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 10.

6
orang/pesawat atau menempatkan bom di pesawat udara dan
mengakibatkan matinya obyek atau rusaknya pesa-wat udara
dalam dinas12

2.2.2. Pidana Penjara


Pidana penjara adalah suatu pidana berupa perampasan
kemerdekaan atau kebebesan bergerak dari seorang terpidana dengan
menempatkannya di lembaga pemasyarakatan (Dwidja Priyatno, 2009:
71-72) Pidana penjara ditetapkan secara resmi di Indonesia sejak
berlakunya KUHP pada tanggal 1 Januari 1918, sebelumnya Indonesia
hanya mengenal pidana badan dan pidana denda. Saat itu belum ada
batasan yang tegas untuk membedakan antara pidana badan dan
pidana penjara, karena dalam pelaksanaannya berupa nestapa yang
dengan sengaja ditimpakan kepada seseorang yang yang melakukan
pelanggaran hukum pidana. Secara tunggal, pidana penjara
merupakan pidana yang paling banyak diancamkan, yaitu berjumlah
13
395 kejahatan (+ 67,29%) (Dwidja Priyatno, 2009: 77).

2.2.3. Pidana kurungan


Pidana kurungan adalah bentuk-bentuk dari hukuman perampasan
kemerdekaan bagi si terhukum yaitu pemisahan si terhukum dari
pergaulan hidup masyarakat ramai dalam waktu tertentu di mana
sifatnya sama dengan hukuman penjara yaitu merupakan perampasan
kemerdekaan seseorang. Pidana kurungan lebih ringan dari pidana
penjara. Lebih ringan antara lain, dalam hal melakukan pekerjaan yang
diwajibkan dan kebolehan membawa peralatan yang dibutuhkan
terhukum sehari-hari, misalnya: tempat tidur, selimut, dan lain-lain.
Lamanya pidana kurungan ini ditentukan dalam pasal 18 KUHP yang
berbunyi:
(1) Lamanya pidana kurungan sekurangkurangnya satu hari dan
paling lama satu tahun.

12
Fernando I. Kansil, loc.Cit, hal. 74-77
13
Dede Kania, “Pidana Penjara dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia”, Yustisia, Vol. 4 No. 1
(Januari – April, 2015), hal 57.

7
(2) Hukuman tersebut dapat dijatuhkan untuk paling lama satu tahun
empat bulan jika ada pemberatan pidana yang disebabkan
karena gabungan kejahatan atau pengulangan, atau ketentuan
pada pasal 52 dan 52 a.14

Pidana kurungan merupakan pidana perampasan kemerdekaan


yang sifatnya dipandang lebih ringan daripada pidana penjara. Pidana
ini biasanya diancamkan terhadap tindak pidana berupa pelang-garan
dan kejahatan culpa. Ketentuan tentang pidana kurungan diatur pada
Pasal 18—29 KUHP, juga pada Pasal 32—34 masih dapat ditemukan
ketentuan tentang pidana kurungan yang sekaligus mengatur pidana
penjara.15

2.2.4. Pidana Denda


Pidana denda diancamkan atau dijatuhkan terhadap delik-delik
ringan, berupa pelanggaran atau kejahatan ringan. Oleh karena itu
pula, pidana denda merupakan satu-satunya pidana yang dapat dipikul
oleh orang lain selain terpidana. Walaupun denda dijatuhkan terhadap
terpidana pribadi, tidak ada larangan jika denda itu secara sukarela
dibayar oleh orang atas nama terpidana. 16 Pidana denda, sebagai
pidana nestapa terhadap harta benda bagi pembuat delik, merupakan
solusi untuk menggantikan pidana badan, dalam hal ini telah menjadi
bukti atas keberhasilan di negara-negara lain, bahkan pidana denda
dapat pula mendorong terciptanya ketertiban hukum dan sekaligus
meningkatkan kewibawaan hukum.17
Pengancaman Pidana Denda di KUHP
a. Secara tunggal, yaitu terhadap:
(1) Kejahatan: Pasal 403
(2) Pelanggaran tertentu: Pasal 489, 491, 494, 497, 501, 507,
510, 516, 522, 524, 525, 526.
b. Secara alternatif, yaitu terhadap:

14
Fernando I. Kansil, Loc. Cit, hal 28-29.
15
Mompang L. Panggabean, Op. Cit, hal. 140.
16
Fernando I. Kansil, Loc. Cit, hal 28-29
17
Syaiful Bakhri, “Penggunaan Pidana Denda dalam Perundang-Undangan”, Jurnal Hukum, No. 21
Vol.9. (September 2002), hal. 52.

8
(1) Kejahatan ringan: dalam hal ini biasanya diancamkan
pidana penjara dengan alternatif pidana denda yang agak
seimbang. Pasal 172, 174, 176, 300, 302, 364, 373, 379,
384, 407, 482.
(2) Kejahatan sedang: dalam hal ini biasanya diancamkan
pidana penjara dengan alternatif pidana denda yang lebih
tinggi. Pasal 117, 118, 137, 159.
(3) Kejahatan tertentu: dalam hal ini biasanya diancamkan
pidana penjara dengan alternatif pidana denda yang lebih
rendah. Pidana denda ini ditujukan kepada pelaku yang
biasanya “baik-baik.” Pasal 362, 372.
(4) Kejahatan Culpa: dalam hal ini biasanya diancamkan pidana
penjara atau pidana kurungan atau pidana denda. Pasal
114, 360 ayat (2). 5) Pelanggaran tertentu: Pasal 490, 492,
493.
(5) Pelanggaran tertentu: Pasal 490, 492, 493.18

2.2.5. Pidana Tutupan


Pidana tutupan itu sebenarnya telah dimaksudkan oleh pembentuk
Undang-undang untuk menggantikan pidana penjara yang sebenarnya
dapat dijatuhkan oleh hakim bagi pelaku dari sesuatu kejahatan, atas
dasar bahwa kejahatan tersebut oleh pelakunya telah dilakukan karena
terdorong oleh maksud yang patut dihormati. 19 Menurut Pasal 62
Konsep KUHP 2004, pidana tutupan diletakkan pada urutan kedua
dalam jenis pidana pokok (setelah pidana penjara), diikuti pidana
pengawasan, pidana denda, dan pidana kerja sosial. Ke-dudukan
tersebut ditegaskan dalam ayat (2) pasal tersebut, bahwa urutan
pidana pokok tersebut menentukan berat ringannya pidana. 20

18
Mompang L. Panggabean, Op. Cit, hal. 148.
19
P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier di Indonesia, (Bandung: Armico, 1984), hal. 147.
20
Mompang L. Panggabean, Op. Cit, hal. 138.

9
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan dari pembahasan diatas, penulis dapat menyimpulkan adalah
sebagai berikut:
Sanksi pidana merupakan penjatuhan hukuman yang diberikan kepada
seseorang yang dinyatakan bersalah dalam melakukan tindakan pidana. Jenis-
jenis pidana ini sangat bervariasi, seperti pidana mati, pidana seumur hidup,
pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana denda yang merupakan pidana
pokok. Adapun jenis-jenis sanksi pidana dalam pasal 10 KUHP pertama,
pidana pokok: pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana tutupan.
kedua, pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu, perampasan
barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.

3.2 Saran
Penulis sadar bahwa isi dari makalah ini belum sempurna seperti apa yang
diharapkan, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari dosen
atas ketidaksempurnaan penulisan makalah ini agar kedepannya bisa lebih
baik.

10
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
Lamintang, P.A.F. 1984. Hukum Penitensier di Indonesia. Bandung: Armico,
Panggabean, Mompang L. 2005. Pokok-Pokok Hukum Penitensier di
Indonesia.
Nuansa Cipta Warna.
Prasetyo Teguh dan Abdul Halim Barkatullah. 2005. Politik Hukum Pidana:
Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Sahetappy, J.E. 2007. Pidana Mati Dalam Negara Pancasila. Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Widyawati, Anis dan Ade Adhari. 2020. Hukum penitensier di Indonesia:
konsep dan perkembangannya. Depok: PT Raja Grafindo Persada.

B. Jurnal
Afriansyah, 2013. “Pengaturan Pidana Penjara di Masa Mendatang dilihat dari
Aspek Perbaikan Pelaku”. Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion Edisi 1 Vol. 1.
Bakhri, Syaiful. 2002. “Penggunaan Pidana Denda dalam Perundang-
Undangan”. Jurnal Hukum No. 21 Vol. 9.
Kania, Dede. 2015. “Pidana Penjara dalam Pembaharuan Hukum Pidana
Indonesia”. Yustisia Vol. 4 No. 1. Bandung.
Kansil, Fernando I. 2014 “Sanksi Pidana dalam Sistem Pemidanaan Menurut
KUHP dan di Luar KUHP”. Lex Crimen Vol. III No.3.
Widayati, Lidya Suryani. 2016. “Pidana Mati dalam RUU KUHP: Perlukah diatur
Sebagai Pidana yang Bersifat Khusus?”. Jurnal Hukum Vol. 7 No. 2.
Jakarta.

11

Anda mungkin juga menyukai