DI SUSUN OLEH:
ANDI REZKI AMALIA TRIANI PUTRI ASWAR
B011181539
HUKUM PENITENSIER – B
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat
dan salam juga disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Serta
sahabat dan keluarganya, seayun langkah dan seiring bahu dalam menegakkan
agama Allah. Dengan kebaikan beliau telah membawa kita dari alam kebodohan ke
alam yang berilmu pengetahuan.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya. Oleh karena itu
penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran-saran yang dapat membangun
demi kesempurnaan makalah ini.
i
DAFTAR ISI
PENUTUP ................................................................................................................ 10
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Afriansyah, “Pengaturan Pidana Penjara di Masa Mendatang dilihat dari Aspek Perbaikan Pelaku”,
Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, Edisi 1 Vol. 1 2013, hal. 1.
2
Mompang L. Panggabean, Pokok-Pokok Hukum Penitensier di Indonesia, Nuansa Cipta Warna,
2005, hal. 1.
3
Ibid.
1
penjatuhan pidana tidak dapat dilihat hanya sekadar persoalan pembuatan dan
penerapan aturan hukum, te-tapi juga bagaimanakah efektivitas suatu aturan
dikemudian hari, baik bagi si pelaku yang dikenai sanksi pidana (dan tindakan)
maupun terha-dap masyarakat luas, terlebih dalam era sekarang, di mana hak
asasi manusia begitu sering diperbincangkan. 4
Muladi dan Barda Nawawi menyatakan bahwa kebijakan menetapkan
suatu jenis sanksi pidana bukan merupakan awal dari suatu perencanaan yang
strategis. Langkah utama dari suatu politik kriminil justru adalah menetapkan
tujuan yang ingin dicapai. Tujuan pemidanaan yang ditetapkan dapat menjadi
acuan untuk menentukan cara, sarana, atau tindakan yang akan digunakan.
Kebijakan menetapkan pidana apa yang paling baik untuk mencapai tujuan,
setidaknya mendekati tujuan, tidak terlepas dari masalah pemilihan berbagai
alternatif. Pemilihan berbagai alternatif untuk memperoleh pidana mana yang
dinilai paling tepat, paling baik, atau paling efektif, merupakan persoalan yang
tidak mudah. Dari perspektif politik kriminil, tidak tertanggulanginya kejahatan,
justru dapat disebabkan karena tidak tepatnya jenis sanksi pidana yang
ditetapkan.5
Dalam perkembangan pembahasan di tingkat Panitia Kerja (Panja) Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah, rumusan mengenai jenis-jenis
pidana mengalami perubahan. Hasil Rapat Panja ini merumuskan Pasal 65A
yaitu bahwa Pidana terdiri atas: a. pidana pokok; b. pidana tambahan; c.
pidana yang bersifat khusus untuk tindak pidana tertentu yang ditentukan
dalam UU ini. Selanjutnya Pasal 69A memuat rumusan bahwa pidana yang
bersifat khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65A huruf c adalah
pidana mati yang selalu diancamkan secara alternatif. Sedangkan penjelasan
Pasal 69A dinyatakan bahwa pidana yang dapat diancam dengan pidana yang
bersifat khusus adalah pidana yang sangat serius atau yang luar biasa, antara
lain tindak pidana narkotika, tindak pidana terorisme, tindak pidana korupsi,
dan tindak pidana terhadap kemanusiaan.6
2
Selanjutnya sehubungan dengan uraian pada latar belakang masalah di
atas, maka disini penulis membuat suatu rumusan masalah sebagai berikut:
1) Apa saja sanksi pidana dan jenis-jenis pidana dalam hukum penitensier?
2) Bagaimana pidana pokok dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP)?
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan yang ingin dicapai adalah
sebagai berikut.
1) Untuk mengetahui definisi sanksi pidana dalam hukum penitensier
2) Untuk mengetahui pidana pokok dalam hukum penitensier dan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
3
BAB II
PEMBAHASAN
Pada dasarnya hukum pidana di Indonesia memiliki dua jenis sanksi, yaitu
sanksi pidana dan sanksi tindakan, meskipun dalam KUHP tidak dijelaskan
secara terperinci dan langsung. Sanksi pidana dan sanksi tindakan memiliki
7
Anis Widyawati, Ade Adhari, Hukum penitensier di Indonesia: konsep dan perkembangannya
(Depok: PT Raja Grafindo Persada, 2020), hal 29.
8
Fernando I. Kansil, “Sanksi Pidana dalam Sistem Pemidanaan Menurut KUHP dan di Luar KUHP”,
Lex Crimen Vol. III No.3 (Mei-juli, 2014), hal 18.
4
perbedaan, pertama sanksi pidana pada dasarnya bersifat reaktif terhadap
suatu perbuatan, sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap
pelaku perbuatan tersebut. Jika fokus sanksi pidana tertuju pada perbuatan
salah seorang lewat pengenaan penderitaan (agar yang bersangkutan menjadi
jera), fokus sanksi tindakan terarah pada upaya pemberian pertolongan agar
pelaku berubah (hukum) yang secara khusus diberikan untuk hal itu. 9
Istilah jenis sanksi secara tidak langsung diperinci dan dijelaskan dalam
RKUHP 2019 yang diatur dalam Bab III tentang Pemidanaan, Pidana, dan
Tindakan. Kebijakan kriminalisasi dan perumusan ancaman sanksi pidana
dalam RKUHP tidak lagi mengacu kepada ketentuan umum Buku I KUHP
sehingga perkembangannya lepas kendali dari ketentuan umum hukum pidana
dan membentuk sistem hukum pidana dan pemidanaan tersendiri. Dalam
RKUHP 2019 telah diatur berbagai jenis pidana dan tindakan.
a. Pidana Pokok:
(1) pidana penjara;
(2) pidana tutupan;
(3) pidana pengawasan;
(4) pidana denda; dan
(5) pidana kerja sosial.
b. Pidana Tambahan:
(1) pencabutan hak tertentu;
(2) perampasan barang tertentu dan/atau tagihan;
(3) pengumuman putusan hakim;
(4) pembayaran ganti rugi
(5) pencabutan izin tertentu; dan
(6) pemenuhan kewajiban adat setempat.
c. Pidana yang bersifat khusus untuk tindak pidana tertentu yang ditentukan
dalam undang-undang, yaitu pidana mati.10
9
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana: Kajian Kebijakan Kriminalisasi
dan Dekriminalisasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal. 88
10
Anis Widyawati, Ade Adhari, Op. cit, hal. 31-32.
5
2.2 Pidana Pokok dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
2.2.1 Pidana mati
Pidana ini adalah pidana terberat menurut hukum positif kita. Bagi
kebanyakan negara, masalah pidana mati hanya mempunyai arti dari
sudut kultur historis. Dikatakan demikian karena, kebanyakan negara-
negara tidak mencantumkan pidana mati ini lagi di dalam Kitab
Undangundangnya. Sungguhpun demikian, hal ini masih menjadi
masalah dalam lapangan ilmu hukum pidana, karena adanya teriakan-
teriakan di tengah-tengah masyarakat untuk meminta kembali
diadakannya pidana seperti itu, dan mendesak agar dimasukan
kembali dalam Kitab Undang-undang. Tetapi pada umumnya lebih
banyak orang yang kontra terhadap adanya pidana mati ini daripada
yang pro. Di antara keberatan-keberatan atas pidana mati ini adalah
bahwa pidana ini tidak dapat ditarik kembali, jika kemudian terjadi
kekeliruan. Namun pidana mati masih merupakan suatu ketentuan.
hukum yang berlaku sebagai salah satu warisan colonial. 11
Menurut S.R. Sianturi, dalam KUHP yang berlaku di Indonesia
ternyata ada pasal yang mengancamkan pidana mati, yaitu:
(1) Pasal 104: makar membunuh presiden;
(2) Pasal 111 ayat (2): pengkhianatan dalam arti luas;
(3) Pasal 124 ayat (3) jo. 129: pengkhianatan dalam arti sempit
(negara sahabat);
(4) Pasal 140 ayat (3): makar berencana terhadap kepala negara
sahabat;
(5) Pasal 185 jo. 340: duel yang dilakukan dengan rencana;
(6) Pasal 340: pembunuhan berencana;
(7) Pasal 365 ayat (4): perampokan berat;
(8) Pasal 368 ayat (2): pemerasan berat;
(9) Pasal 444: pembajakan yang berakibat matinya obyek;
(10) Pasal 479 k ayat (2): pembajakan udara yang berakibat matinya
obyek dan hancurnya pesawat udara;
(11) Pasal 479 o ayat (2): mengunjuk kepada 3 pasal yaitu Pasal 479
l, 479 m dan 479 n, yakni perbuatan kekerasan terhadap
11
J.E. Sahetappy, Pidana Mati Dalam Negara Pancasila (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 10.
6
orang/pesawat atau menempatkan bom di pesawat udara dan
mengakibatkan matinya obyek atau rusaknya pesa-wat udara
dalam dinas12
12
Fernando I. Kansil, loc.Cit, hal. 74-77
13
Dede Kania, “Pidana Penjara dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia”, Yustisia, Vol. 4 No. 1
(Januari – April, 2015), hal 57.
7
(2) Hukuman tersebut dapat dijatuhkan untuk paling lama satu tahun
empat bulan jika ada pemberatan pidana yang disebabkan
karena gabungan kejahatan atau pengulangan, atau ketentuan
pada pasal 52 dan 52 a.14
14
Fernando I. Kansil, Loc. Cit, hal 28-29.
15
Mompang L. Panggabean, Op. Cit, hal. 140.
16
Fernando I. Kansil, Loc. Cit, hal 28-29
17
Syaiful Bakhri, “Penggunaan Pidana Denda dalam Perundang-Undangan”, Jurnal Hukum, No. 21
Vol.9. (September 2002), hal. 52.
8
(1) Kejahatan ringan: dalam hal ini biasanya diancamkan
pidana penjara dengan alternatif pidana denda yang agak
seimbang. Pasal 172, 174, 176, 300, 302, 364, 373, 379,
384, 407, 482.
(2) Kejahatan sedang: dalam hal ini biasanya diancamkan
pidana penjara dengan alternatif pidana denda yang lebih
tinggi. Pasal 117, 118, 137, 159.
(3) Kejahatan tertentu: dalam hal ini biasanya diancamkan
pidana penjara dengan alternatif pidana denda yang lebih
rendah. Pidana denda ini ditujukan kepada pelaku yang
biasanya “baik-baik.” Pasal 362, 372.
(4) Kejahatan Culpa: dalam hal ini biasanya diancamkan pidana
penjara atau pidana kurungan atau pidana denda. Pasal
114, 360 ayat (2). 5) Pelanggaran tertentu: Pasal 490, 492,
493.
(5) Pelanggaran tertentu: Pasal 490, 492, 493.18
18
Mompang L. Panggabean, Op. Cit, hal. 148.
19
P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier di Indonesia, (Bandung: Armico, 1984), hal. 147.
20
Mompang L. Panggabean, Op. Cit, hal. 138.
9
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan dari pembahasan diatas, penulis dapat menyimpulkan adalah
sebagai berikut:
Sanksi pidana merupakan penjatuhan hukuman yang diberikan kepada
seseorang yang dinyatakan bersalah dalam melakukan tindakan pidana. Jenis-
jenis pidana ini sangat bervariasi, seperti pidana mati, pidana seumur hidup,
pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana denda yang merupakan pidana
pokok. Adapun jenis-jenis sanksi pidana dalam pasal 10 KUHP pertama,
pidana pokok: pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana tutupan.
kedua, pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu, perampasan
barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.
3.2 Saran
Penulis sadar bahwa isi dari makalah ini belum sempurna seperti apa yang
diharapkan, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari dosen
atas ketidaksempurnaan penulisan makalah ini agar kedepannya bisa lebih
baik.
10
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Lamintang, P.A.F. 1984. Hukum Penitensier di Indonesia. Bandung: Armico,
Panggabean, Mompang L. 2005. Pokok-Pokok Hukum Penitensier di
Indonesia.
Nuansa Cipta Warna.
Prasetyo Teguh dan Abdul Halim Barkatullah. 2005. Politik Hukum Pidana:
Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Sahetappy, J.E. 2007. Pidana Mati Dalam Negara Pancasila. Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Widyawati, Anis dan Ade Adhari. 2020. Hukum penitensier di Indonesia:
konsep dan perkembangannya. Depok: PT Raja Grafindo Persada.
B. Jurnal
Afriansyah, 2013. “Pengaturan Pidana Penjara di Masa Mendatang dilihat dari
Aspek Perbaikan Pelaku”. Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion Edisi 1 Vol. 1.
Bakhri, Syaiful. 2002. “Penggunaan Pidana Denda dalam Perundang-
Undangan”. Jurnal Hukum No. 21 Vol. 9.
Kania, Dede. 2015. “Pidana Penjara dalam Pembaharuan Hukum Pidana
Indonesia”. Yustisia Vol. 4 No. 1. Bandung.
Kansil, Fernando I. 2014 “Sanksi Pidana dalam Sistem Pemidanaan Menurut
KUHP dan di Luar KUHP”. Lex Crimen Vol. III No.3.
Widayati, Lidya Suryani. 2016. “Pidana Mati dalam RUU KUHP: Perlukah diatur
Sebagai Pidana yang Bersifat Khusus?”. Jurnal Hukum Vol. 7 No. 2.
Jakarta.
11