Anda di halaman 1dari 14

JURNAL HUKUM ACARA PIDANA

DISUSUN OLEH:

NAMA: DIKKY GUNAWAN

NPM: 191010140

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Mata Kuliah Hukum Pidana yang berjudul “ Strafbaar
Feit atau Tindak Pidana “ tepat pada waktunya.
Makalah yang ditulis penulis ini berbicara mengenai Tindakan Pidana(Strafbaar Feit). Penulis
menuliskannya dengan mengambil dari beberapa sumber baik dari buku maupun dari internet dan
membuat gagasan dari beberapa sumber yang ada tersebut.
Penulis berterima kasih kepada beberapa pihak yang telah membantu penulis dalam
penyelesaian makalah ini. Hingga tersusun makalah yang sampai dihadapan pembaca pada saat ini.
Penulis juga menyadari bahwa makalah yang penulis tulis ini masih banyak kekurangan.
Karena itu sangat diharapkan bagi pembaca untuk menyampaikan saran atau kritik yang membangun
demi tercapainya makalah yang lebih baik.

Pekanbaru, April 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................... i
KATA PENGANTAR............................................................................................ ii
DAFTAR ISI......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................ 1
A Latar Belakang......................................................................................... 1
B Rumusan Masalah................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................. 3
BAB III PEMBAHASAN........................................................................................ 5
A Cara Merumuskan Perbuatan Pidana..................................................... 5
B Jenis-jenis Tindak Pidana....................................................................... 8
C Subjek Tindak Pidana............................................................................. 10
BAB IV PENUTUP............................................................................................... 12
A Kesimpulan.............................................................................................. 12
B Saran........................................................................................................ 13
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum adalah sebuah aturan mendasar dalam kehidupan masyarakat yang dengan hukum itulah
terciptanya kedamaian ketentraman dalam kehidupan bermasyarakat. Terciptanya keharmonisan
dalam tatanan masyarakat sosial juga tidak terlepas dengan adanya hukum yang mengatur. Dalam
hukum dikenal dengan istilah perbuatan pidana. Perbuatan pidana merupakan suatu istilah yang
mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum pidana, Perbuatan pidana (tindak
pidana/delik) dapat terjadi kapan saja dan dimana saja. Berbagai bentuk tindak kejahatan terus
berkembang  baik modus maupun skalanya, seiring berkembangnya suatu masyarakat dan daerah
seiring juga perkembangan sektor perekonomian demikian pula semakin padatnya populasi
penduduk maka perbenturan berbagai kepentingan dan urusan diantara komunitas tidak dapat
dihindari. Berbagai motif tindak pidana dilatarbelakangi berbagai kepentingan baik individu maupun
kelompok.
Tindak pidana (delik), Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diberi batasan sebagai berikut ;
“Perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-
undang; tindak pidana”. .Dalam teori yang diajarkan dalam ilmu hukum pidana latar belakang orang
melakukan tindak pidana/delik dapat dipengaruhi dari dalam diri pelaku yang disebut
indeterminisme maupun dari luar diri pelaku yang disebut determinisme. Dalam makalah ini akan
membahas mengenai cara merumuskan perbuatan pidana, jenis-jenis dalam tindak pindana serta
subjek tindak pidana itu sendiri.
B.  Rumusan Masalah

1. Bagaimana cara merumuskan perbuatan pidana?


2. Sebutkan jenis-jenis tindak pidana ?
3. Siapa saja subjek tindak pidana ?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Defenisi Tindak Pidana ( Strafbaar Feit )


1
Istilah “Tindak Pidana” adalah dimaksudkan dengan terjemahan dalam bahasa Indonesia
untuk istilah bahasa Belanda “Strafbaar Feit” atau “Delict”.
Untuk terjemahan itu, dalam bahasa Indonesia, disamping istilah “tindak pidana”, juga
telah dipakai dan beredar beberapa istilah lain baik dalam buku-buku ataupun dalam peraturan
tertulis.
Pemerintah dalam beberapa peraturan perundang-undangan selalu memakai istilah “tindak
pidana”, seperti juga ternyata dalam undang-undang No. 3 tahun 1971 tentang pemberatasan
tindak pidana korupsi.
Perumusan atau defenisi tindak pidana telah banyak diciptakan oleh para serjana hokum
pidana. Tentu diantaranya yang banyak itu, satu dengan yang lainnya terdapat perbedaan,
disamping adanya perbedaan.
Suatu perumusan (defenisi) yang terlahir dan menurut hemat penulis adalah merupakan
yang terbaik untuk dijadikan pegangan, adalah apa yang dikemukakan oleh Prof. Muljatno S.H.
(beliau memakai istilah “perbuatan pidana”), yang merumuskan :
“ perbuatan yang oleh aturan hokum pidana dilarang dan diancam dengan pidana barang
siapa yang melanggar larangan tersebut “
Selanjutnya beliau mengatakan : menurut wujudnya atau sifatnya, perbuatan-perbuatan
pidana ini adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hokum. Perbuatan-perbuatan ini juga
merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya
tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil.
Simons sebagaimana dikutip oleh Moeljatno menerangkan bahwa strafbaar feit adalah
kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang
berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.
sedangkan Van Hamel merumuskan strafbaar feit adalah kelakuan orang (menslijke gedraging)
1
K Wantjik Saleh, SH. Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Ghalia Indonesia, Tahun 1961, Cetakan ke-4 Halaman 9-
10
yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (straf waardig)
dan dilakuklan dengan kesalahan. (Moeljatno, 2000, Azas-Azas Hukum Pidana, cetakan ke enam,
PT Rineka Cipta, Jakarta)

BAB III
PEMBAHASAN 

A.     Cara Merumuskan Perbuatan Pidana

Didalam KUHP, juga didalam Perundang-undangan pidana yang lain. Tindak pidana
dirumuskan didalam pasal-pasal. Perlu diperhatikan bahwa di bidang hukum pidana kepastian
hukum atau lex certa merupakan hal yang esensial, dan ini telah ditandai oleh asas legalitas pada
pasal 1 ayat 1 KUHP. Untuk benar-benar yang apa yang diamaksudkan didalam pasal-pasl itu masih
diperlukan penafsiran.2[1]
Dalam hukum pidana Indonesia, sebagaimana di Negara-negara civil law lainnya, tindak
pidana umumnya di rumuskan dalam kodifikasi. Namun demikian, tidak terdapat ketentuan dalam
KUHP maupun peraturan perundang-undangan lainnya, yang merinci lebih lanjut mengenai cara
bagaimana merumuskan suatu tindak pidana. 3[2]
Dalam buku II dan III KUHP Indonesia terdapat berbagai cara atau teknik perumusan
perbuatan pidana (delik), yang menguraikan perbuatan melawan hukum yang dilarang atau yang
diperintahkan untuk dilakukan, dan kepada barangsiapa yang melanggarnya atau tidak menaatinya
diancam dengan pidana maksimum. Selain unsur-unsur perbuatan yang dilarang dan yang
diperintahkan untuk dilakukan dicantumkan juga sikap batin yang harus dipunyai oleh pembentuk delik
agar ia dapat dipidana.
Dalam KUHP terdapat 3 dasar pembedaan cara dalam merumuskan tindak pidana :
1.      Dari Sudut Cara Pencantuman Unsur-Unsur Dan Kualifikasi Tindak Pidana
Dari sudut ini, maka dapat dilihat bahwa setidak-tidaknya ada 3 cara perumusan, ialah:
a.       Mencantumkan Unsur Pokok, Kualifikasi dan Ancaram Pidana

2[1]
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), hal. 55-56.

3[2]
Chairul Huda, Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana

Tanpa Kesalahan, (Jakarta: PT. Kencana, 2006), hal. 31.


Cara pertama ini adalah merupakan cara yang paling sempurna. Cara ini diguanakan terutama
dalam hal merumuskan tindak pidana dalam bentuk pokok/standard, dengan mencantumkan unsur-
unsur objektif maupun unsur subyektif, misalnya pasal: 338 (pembunuhan), 362 (pencurian), 368
(pemerasan), 372 (penggelapan), 378 (penipuan), 406 (perusakan).
Dalam hal tindak pidana yang tidak masuk dalam kelompok bentuk standard diatas, juga ada
tindak pidana lainnya yang dirumuskan secara sempurna demikian dengan kualifikasi tertentu,
misalnya 108 (pemberontakan).
b.      Mencantumkan Semua Unsur Pokok Tanpa Kualitatif Dan Mencantumkan Ancaman Pidana
Cara inilah yang paling banyak digunakan dalam merumuskan tindak pidana dalam KUHP.
Tindak pidana yang menyebutkan unsur-unsur pokok tanpa menyebut kualitatif, dalam praktek kadang-
kadang terhadap suatu rumusan diberi kualifikasi tertentu, misalnya terhadap tindak pidana pada pasal
242 di beri kualifikasi sumpah palsu, stellionat (305), penghasutan (160), laporan palsu (220),
membuang anak (305), pembunuhan anak (341), penggelapan oleh pegawai negri (415). 4[4]
c.       Mencantumkan Kaulifikasi dan Ancaman Pidana
Tindak pidana yang dirumuskan dengan cara ini adalah yang paling sedikit. Hanya dijumpai
pada pasal tertentu saja. Model perumusan ini dapat dianggap sebagai perkecualian. Tindak pidana
yang dirumuskan dengan cara yang sangat singkat ini dilatarbelakangi oleh semua ratio tertentu,
misalnya pada kejahatan penganiayaan (351). Pasal 351 (1) dirumuskan dengan sangat singkat yakni,
penganiayaan (mishandeling)
2.      Dari Sudut Titik Beratnya Larangan
Dari sudut titik beratnya larangan maka dapat diberikan pula antara merumuskan dengan cara
formil (pada tindak pidana formil) dan dengan cara materiil (pada tindak pidana materiil).
a.       Dengan Cara Formil
perbuatan pidana yang dirumuskan secara formil disebut dengan tindak pidana formil (formeel
delict). Disebut dengan cara formil karena dalam rumusan dicantumkan secara tegas perihal larangan
melakukan perbuatan tertentu. Jadi yang menjadi pokok larangan dalam rumusan itu adalah
melakukan perbuatan yang melawan hukum tertentu. Apabila dengan selesainya tindak pidana, maka
jika perbuatan yang menjadi larangan itu selesai dilakukan, maka tindak pidana itu selesai pula, tanpa
bergantung pada akibat yang timbul dari perbuatan yang melawan hukum tersebut. 5[5]

4[4]
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana bagian I, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002)h.

112-114

5[5]
K Wantjik Saleh, SH. Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Ghalia Indonesia, Tahun 1961, Cetakan ke-4
Halaman 15
b.      Dengan Cara Materiil
Tindak pidana yang dirumuskan dengan cara materiil disebut dengan tindakan pidana materiil
(materieel delict). Perumusan perbuatan pidana dengan cara materiil maksudnya ialah perbuatan
pidana yang perumusannya menitikberatkan pada akibat yang ditimbulkan dari perbuatan pidana
tersebut, sedangkan wujud dari perbuatan pidananya tidak menjadi persoalan. Dan diancam dengan
pidana oleh undang-undang.
3.      Dari Sudut Pembedaan Tindak Pidana Antara Bentuk Pokok, Bentuk Yang Lebih Berat Dan Yang
Lebih Ringan

a.       Perumusan Dalam Bentuk Pokok


Jika dilihat dari sudut sistem pengelompokan atau pembedaan perbuatan pidana antara bentuk
standar (bentuk pokok) dengan bentuk yang diperberat dan bentuk yang lebih ringan, juga cara
merumuskannya dapat dibedakan antara merumuskan perbuatan pidana dalam bentuk pokok dan
dalam bentuk yeng diperberat dan atau yeng lebih ringan.
Dalam hal bentuk pokok pembentukan UU selalu merumuskan secara sempurna, yaitu dengan
mencantumkan semua unsur-unsurnya secara lengkap. Dengan demikian rumusan bentuk pokok ini
adalah merupakan pengertian yuridis dari tindak pidana itu.
b.      Perumusan Dalam Bentuk Yang Diperingan dan yang Diperberat
Rumusan dalm bentuk yang lebih berat dan atau lebih ringan dari perbuatan pidana yang
bersangkutan, unsur-unsur bentuk pokoknya tidak diulang kembali atau dirumuskan kembali,
melainkan menyebut saja pasal bentuk pokok (misalnya: 364, 373, 379) atau kualifikasi bentuk pokok
(misalnya: 339, 363, 365). Kemudian menyebutkan unsur-unsur yang menyebabkan diperingan atau
diperberatnya perbuatan pidana itu.

B.      Jenis-Jenis Tindak Pidana

Tindak pidana dapat dibeda-bedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu:


1.      Menurut sistem KUHP
Di dalam KUHP yang berlaku di Indonesia sebelum tahun 1918 dikenal kategorisasi tiga jenis
peristiwa pidana yaitu,
a.       Kejahatan (crims)
b.      Perbuatan buruk (delict)
c.       Pelanggaran (contravenrions)
Menurut KUHP yang berlaku sekarang, peristiwa pidana itu ada dalam dua jenis saja yaitu “ misdrijf”
( kejahatan) dan “overtreding” (pelanggaran). KUHP tidak memberikan ketentuan syarat-syarat untuk
membedakan kejahatan dan pelanggaran. KUHP hanya menentukan semua yang terdapat dalam buku
II adalah kejahatan, sedangkan semua yang terdapat dalam buku III adalah pelangaran. 6[9]
2.      Menurut cara merumuskannya: Tindak pidana dibedakan anatara tindak pidana formil ( formeel
delicten) dan tindak pidana materiil (materieel delicten)
3.      Berdasarkan bentuk kesalahannya: Dibedakan antara tindak pidana sengaja ( doleus delicten) dan
tindak pidana tidak sengaja (culpose delicten)7[10]

4.      Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya: Maka dapat dibedakan antara tindak pidana terjadi
seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama atau berlangsung lama/berlangsung terus. 8[11]
5.      Berdasarkan sumbernya: Dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan tindak pidana khusus
Tindak pidana umum adalah tindak pidana yang dapat dilakukan oleh setiap orang sedangkan
yang dimaksud dengan tindak pidana khusus adalah tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh
orang-orang tertentu
7.      Dilihat dari sudut subjek hukumnya: Dapat dibedakan antara tindak pidana communia ( delicta
communia) yang dapat dilakukan siapa saja dan tindak (pidana propia) dapat dilakukan hanya oleh
orang yang memiliki kualitas pribadi tertentu. 9[12]
Jika dilihat dari sudut subjek hukumnya, tindak pidana itu dapat dibedakan antara tindak
pidana yang dapat dilakukan oleh semua orang ( delictacommunia ) dan tindak pidana yang hanya
dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu (d elicta propria).
9.      Berdasarkan berat dan ringannya pidana yang diancamkan: Maka dapat dibedakan antara tindak
pidana bentuk pokok (eenvoudige delicten) tindak pidana yang diperberat ( gequalificeerde delicten)
dan tindak pidana yang diperingan (gepriviligieerde delicten)

C.      Subjek Tindak Pidana

6[9]
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana (Jakarta: PT. Pradnya

Paramita, 2007)h. 41

7[10]
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana bagian I, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002)h.

123

8[11]
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana bagian I. h. 126

9[12]
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana bagian I, h. 127
Terkait dengan subjek tindak pidana perlu dijelaskan, pertanggungjawaban pidana bersifat
pribadi. Artinya, barangsiapa melakukan tindak pidana, maka ia harus bertanggung jawab, sepanjang
pada diri orang tersebut tidak ditemukan dasar penghapus pidana. 10[15] Selanjutnya, dalam pidana
dikenal juga adanya konsep penyertaan ( deelneming). Konsep penyertaan ini berarti ada dua orang
atau lebih mengambil bagian untuk mewujudkan atau melakukan tindak pidana. Menjadi persoalan,
siapa dan bagaimana konsep pertanggung jawaban pidana, dalam hukum pidana kualifikasi pelaku
(subjek) tindak pidana diatur dalam Pasal 55-56 KUHP.
Dalam KUHP terdapat lima bentuk yang merupakan subjek tindak pidana, yaitu sebagai berikut.
1.      Mereka yang melakukan (dader). Satu orang atau lebih yang melakukan tindak pidana.
2.      Menyuruh melakukan (doen plegen). Dalam bentuk menyuruh-melakukan, penyuruh tidak melakukan
sendiri secara langsung suatu tindak pidana, melainkan (menyuruh) orang lain.
3.      Mereka yang turut serta (medeplegen). Adalah seseorang yang mempunyai niat sama dengan niat
orang lain, sehingga mereka sama-sama mempunyai kepentingan dan turut melakukan tindak pidana
yang diinginkan.
4.      Penggerakan (uitlokking). Penggerakan atau dikenal juga sebagai Uitlokking unsur perbuatan
melakukan orang lain melakukan perbuatan dengan cara memberikan/ menjanjikan sesuatu, dengan
ancaman kekerasan, penyesatan menyalahgunakan martababat dan kekuasaan beserta pemberian
kesempatan.
5.      Pembantuan (medeplichtigheid). Pada pembantuan pihak yang melakukan membantu mengetahui
akan jenis kejahatan yang akan ia bantu.11[16]
Sebagaimana diuraikan terdahulu, bahwa unsur pertama tindak pidana itu adalah perbuatan
orang, pada dasarnya yang dapat melakukan tindak pidana itu manusia (naturlijke personen).

10[15]
Adami Chazawi,Pelajaran Hukum Pidana Bagian II (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2007) h. 16

11[16]
R. Soesilo, KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA(KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi

Pasal( Bogor : Politea, 1991) h. 73-75


BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Istilah “Tindak Pidana” adalah dimaksudkan dengan terjemahan dalam bahasa Indonesia
untuk istilah bahasa Belanda “Strafbaar Feit” atau “Delict”.
Untuk terjemahan itu, dalam bahasa Indonesia, disamping istilah “tindak pidana”, juga telah
dipakai dan beredar beberapa istilah lain baik dalam buku-buku ataupun dalam peraturan tertulis.
Pemerintah dalam beberapa peraturan perundang-undangan selalu memakai istilah “tindak
pidana”, seperti juga ternyata dalam undang-undang No. 3 tahun 1971 tentang pemberatasan
tindak pidana korupsi.
Perumusan atau defenisi tindak pidana telah banyak diciptakan oleh para serjana hokum
pidana. Tentu diantaranya yang banyak itu, satu dengan yang lainnya terdapat perbedaan,
disamping adanya perbedaan.
Suatu perumusan (defenisi) yang terlahir dan menurut hemat penulis adalah merupakan yang
terbaik untuk dijadikan pegangan, adalah apa yang dikemukakan oleh Prof. Muljatno S.H. (beliau
memakai istilah “perbuatan pidana”), yang merumuskan :
“ perbuatan yang oleh aturan hokum pidana dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa
yang melanggar larangan tersebut “
Dalam KUHP terdapat 3 dasar pembedaan cara dalam merumuskan tindak pidana :
1.      Dari Sudut Cara Pencantuman Unsur-Unsur Dan Kualifikasi Tindak Pidana
2.      Dari Sudut Titik Beratnya Larangan
3.      Dari Sudut Pembedaan Tindak Pidana Antara Bentuk Pokok, Bentuk Yang Lebih Berat Dan Yang
Lebih Ringan
Tindak pidana dapat dibeda-bedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu:
1.      Menurut sistem KUHP
2.      Menurut cara merumuskannya: Tindak pidana dibedakan anatara tindak pidana formil ( formeel
delicten) dan tindak pidana materiil (materieel delicten)
3.      Berdasarkan bentuk kesalahannya: Dibedakan antara tindak pidana sengaja ( doleus delicten) dan
tindak pidana tidak sengaja (culpose delicten)12[10]

12[10]
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana bagian I, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002)h.

123
4.      Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya: Maka dapat dibedakan antara tindak pidana terjadi
seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama atau berlangsung lama/berlangsung terus. 13[11]

5.      Berdasarkan sumbernya: Dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan tindak pidana khusus
Tindak pidana umum adalah tindak pidana yang dapat dilakukan oleh setiap orang sedangkan
yang dimaksud dengan tindak pidana khusus adalah tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh
orang-orang tertentu

B. Saran
 Untuk mengetahui adanya tindak pidana, maka pada umumnya dirumuskan dalam peraturan
perundang-undangan pidana tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dan disertai dengan
sanksi. Dalam rumusan tersebut ditentukan beberapa unsur atau syarat yang menjadi ciri atau sifat
khas dari larangan tadi sehingga dengan jelas dapat dibedakan dari perbuatan lain yang tidak
dilarang. Perbuatan pidana menunjuk kepada sifat perbuatannya saja, yaitu dapat dilarang dengan
ancaman pidana kalau dilanggar

DAFTAR PUSTAKA

Saleh Wantjik, Tindak Pidana Korupsi, Ghalia Indonesia, Jakarta 1977.

13[11]
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana bagian I. h. 126
Chazawi Adami, Tindak Pidana ( Kesopanan), PT Raja Grafindo Persada,Jakarta. 2005
Dirdjosisworo Soedjono, Ruang Lingkup Kriminologi, Remadja Karya CV, Bandung, 1984.
Djoko Prakoso, Kejahataan-kejahatan yang Merugikan dan Membahayakan Negara, PT Bina Aksara,
Jakarta, 1987.

Anda mungkin juga menyukai