Anda di halaman 1dari 15

PEMBANTUAN DALAM HUKUM PIDANA

MATA KULIAH : HUKUM PIDANA LANJUTAN


DOSEN PENGAMPU : ANDI WAHYUDDIN NUR,S.H.,M.H.

OLEH :
KELOMPOK III
1. ABDUL RAHMAN
2. HERIANTI
3. ANDI NURHALISAH
4. NUR AZLINA
5. RISMAWATI

SEMESTER III.A
INSTITUT LAMADDUKELLENG
SENGKANG-WAJO
2022
KATA PENGANTAR

Pertama-tama kami mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan yang


Maha Esa yang telah memberkati kami sehingga makalah ini dapat diselesaikan.
Kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai sumber yang telah
kami pakai sebagai data dan fakta pada makalah ini.
Kami mengakui bahwa kami adalah manusia yang mempunyai
keterbatasan dalam berbagai hal. Oleh karena itu tidak ada hal yang dapat
diselesaikan dengan sangat sempurna. Begitu pula dengan makalah ini yang telah
kami selesaikan. Tidak semua hal dapat kami deskripsikan dengan sempurna
dalam makalah ini. Kami melakukannya semaksimal mungkin dengan
kemampuan yang kami miliki.
Maka dari itu, kami bersedia menerima kritik dan saran dari pembaca
yang budiman. Kami akan menerima semua kritik dan saran tersebut sebagai batu
loncatan yang dapat memperbaiki makalah kami ini.
Dengan menyelesaikan makalah ini kami mengharapkan banyak manfaat
yang dapat dipetik dan diambil.
Sengkang, 13 Oktober 2022

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................... i
DAFTAR ISI......................................................................................................... ii

BAB I
PENDAHULUAN................................................................................................. 1
A. Latar Belakang............................................................................................... 1
B. Pokok Permasalahan....................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan............................................................................................ 2

BAB II
PEMBAHASAN.................................................................................................... 3
A. Istilah dan Pengertian Pembantuan................................................................ 3
B. Dasar Hukum Pembantuan............................................................................. 3
C. Jenis-Jenis Pembantuan.................................................................................. 3
D. Syarat-Syarat Pembantuan............................................................................. 5
E. Sanksi Pidana................................................................................................. 9
F. Perbedaan antara Pembantuan dan Penganjuran............................................ 9

BAB III
PENUTUP............................................................................................................. 10
A. Kesimpulan..................................................................................................... 10
B. Saran............................................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 12

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Hal ini
didasarkan pada ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 hasil perubahan ke-3
yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Dalam
UUD 1945 ditegaskan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum
(rechtstaat), tidak atas kekuatan belaka (machtstaat). Ini berarti Indonesia
adalah negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD
1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin semua
warga negaranya sama kedudukannya dimata hukum.
Hukum menetapkan apa yang harus dilakukan dan atau yang boleh
dilakukan serta yang dilarang. Sasaran hukum bukan saja orang yang nyata-
nyata berbuat melawan hukum, melainkan juga pembuat hukum yang
mungkin akan terjadi, dan kepada alat perlengkapan negara untuk bertindak
menurut hukum. Sistem bekerjanya hukum yang demikian itu merupakan
salah satu bentuk penegakan hukum.
Indonesia merupakan negara hukum oleh karena itu dibuatlah
peraturan yang mengatur tentang penerapan hukum pidana di Indonesia
yang dituangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dalam KUHP dijelaskan mengenai apa saja jenis tindak pidana, siapa
pelaku pidana dan hukuman terhadap suatu tindak pidana. Tindak pidana
adalah perbuatan yang oleh Undang-Undang dinyatakan dilarang yang
disertai dengan ancama pidana pada barang siapa yang melanggar larangan
tersebut.
KUHP juga menjelaskan mengenai membantu (medeplichtigheid)
dalam suatu tindak pidana. Mengenai membantu (medeplichtigheid) diatur
didalam tiga pasal, yaitu Pasal 56, 57 dan 60 KUHP. Pasal 56 merumuskan
tentang unsur subjektif dan unsur objektif, Pasal 57 memuat tentang batas

1
luasnya pertanggungjawaban bagi pembantu, sedangkan Pasal 60 mengenai
penegasan pertanggungjawaban pembantuan itu hanyalah pada pembantuan
dalam hal pelanggaran. Pembantuan (medeplightigheid) terjadi ketika dalam
suatu tindak pidana terlibat 2 orang atau lebih yang masingmasing sebagai
pembuat (de hoof dader) dan pembantu (de medaeplichtige).
Setelah mempelajari materi dalam Pembantuan (medeplightigheid),
Capaian Pembelajaran yang diperoleh adalah Mahasiswa menguasai
pengetahuan mengenai Dasar Hukum, Bentuk/macam/jenis pembantuan
(medeplightigheid), Syarat-syarat Pembantuan (medeplightigheid), Sanksi
Pidana, dan Perbedaan antara beberapa bentuk Penyertaan. Pembantuan
(medeplightigheid) perlu dipelajari lebih mendalam untuk bisa memahami
materi dalam tutorial pada pertemuan berikutnya, sehingga kasus-kasus
dalam tutorial dapat dianalisis dengan baik.

B. POKOK PERMASALAHAN
Adapun yang menjadi fokus pembahasan dalam penulisan ini
dituangkan kedalam beberapa pertanyaan, antara lain:
1. Bagaimana penerapan hukum atas tindak pidana pembantuan?
2. Apa akibat hukum bagi tindak pidana pembantuan?

C. TUJUAN PENULISAN
1. Penulisan ini dibuat dalam rangka memperoleh pengetahuan yang lebih
mendalam mengenai pembantuan.
2. Mengetahui dan memahami bagaimana penerapan dan akibat hukum
dalam kasus pembantuan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. ISTILAH DAN PENGERTIAN PEMBANTUAN


Lamintang mengatakan bahwa, arti harfiah dari membantu
(medeplichtige) adalah medeschuldig turut bersalah. Dalam rumusan Pasal
56 KUHP, membantu/medeplichtige ini disebut “pembantu”. Dalam
pembantuan ini terdapat : pelaku/pembuat ( hoofd dader ) dan pembantu /
medeplichtige. Menurut Simons medeplightigheid merupakan suatu
onzelfstandige deelneming atau suatu keturutsertaan yang tidak berdiri
sendiri. Ini berarti bahwa apakah seorang medeplightige itu dapat dihukum
62 atau tidak, hal mana bergantung pada kenyataan, yakni apakah pelakunya
telah melakukan tindak pidana atau tidak (Lamintang, 2013 : 646).

B. DASAR HUKUM PEMBANTUAN (MEDEPLIGHTIGHEID)


Diatur di dalam 3 (tiga) pasal yakni Pasal 56, 57, dan 60 KUHP.
Pasal 56 KUHP merumuskan mengenai unsur objektif dan subjektif
pembantuan serta bentuk/macam/jenis pembantuan. Pasal 57 KUHP
merumuskan mengenai batas luasnya pertanggungjawaban bagi pembuat
pembantu, dan Pasal 60 KUHP mengatur mengenai penegasan
pertanggungjawaban pembantuan, yaitu hanyalah pada pembantuan dalam
hal kejahatan saja tidak termasuk pelanggaran.

C. JENIS PEMBANTUAN (MEDEPLIGHTIGHEID)


Pasal 56 KUHP menentukan bahwa dipidana sebagai pembantu
suatu kejahatan :
1. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan
dilakukan.
2. Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan
untuk melakukan kejahatan.

3
Pasal 56 KUHP ini membedakan 2 (dua) macam pembantuan, yaitu :
1. Membantu “ melakukan kejahatan “ dan
2. Membantu “ untuk melakukan kejahatan “
Yang pertama adalah membantu pada waktu kejahatan dilakukan,
tanpa disebutkan sarana atau daya upaya tertentu, sedangkan yang kedua
adalah pembantuan yang diberikan mendahului kejahatan dilakukan, yaitu
dengan upaya yang berwujud kesempatan, sarana, dan atau keterangan.
Dengan kata lain, bentuk yang kedua ini merupakan pembantuan
kejahatan yang dilakukan pada saat sebelum dilakukannya kejahatan dan
telah diatur secara limitatif di dalam Pasal 56 KUHP yakni, dengan cara :
1. Memberi kesempatan
2. Memberi sarana
3. Memberi keterangan untuk melakukan kejahatan
Simons menyatakan bahwa pembantuan ini merupakan penyertaan
yang tidak berdiri sendiri, artinya seorang yang membantu ini dapat
dipidana atau tidak tergantung kepada kenyataan, apakah pelakunya sendiri
telah melakukan tindak pidana atau tidak. Bentuk pembantuan yang
pertama, yaitu sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan,
dapat berwujud bantuan material, moral ataupun intelektual.
Bentuk pembantuan yang kedua, adalah kesengajaan memberikan bantuan
untuk mempermudah orang lain melakukan kejahatan (Lamintang, 2013 :
646-647). Hal ini juga berbentuk material, seperti memberikan alat kepada
pelaku, ataupun dalam bentuk intelektual, seperti memberikan kesempatan
orang lain utnuk melakukan pencurian terhadap barang-barang yang berada
dalam pengawasannya, lebih lanjut dapat dipahami dari penjelasan berikut :
1. Memberi kesempatan : memberikan peluang yang sebaik-baiknya
dalam hal orang lain untuk melakukan kejahatan.
2. Memberi sarana : memberikan alat atau benda yang dapat digunakan
untuk mempermudah melakukan kejahatan.
3. Memberi keterangan untuk melakukan kejahatan : menyampaikan
ucapan-ucapan dalam susunan kalimat yang dimengerti orang lain,

4
berupa nasihat atau petunjuk dalam hal orang lain melaksanakan
kejahatan.
Ketiga cara ini (memberi kesempatan, sarana, dan keterangan) ini
tidak berfungsi membentuk kehendak orang yang dibantu untuk melakukan
kejahatan, karena kehendak untuk melakukan kejahatan pada pembuat
pelaksanaannya telah lebih dahulu terbentuk sebelum pembuat pembantu
menggunakan atau menyampaikan 3 (tiga) upaya tersebut.
Bagaimana membedakan antara “membantu” atau “turut serta” ?
Hal ini tentu penting untuk diketahui. Cara untuk mengetahui perbedaan
antara seseorang itu “membantu“ atau “turut serta“ dalam kejahatan
bukanlah soal mudah. Yang perlu dipegang diperhatikan sebagai pedoman
untuk diketahui adalah seseorang yang bekerja sama dengan pelaku itu
adalah “pembantu“ atau “peserta“ yang diperlukan, karena pidananya
berbeda, yaitu :“pembantu dipidana berbeda dengan pelaku“ ( Pasal 57
KUHP ) dan “peserta“ dipidana sama dengan pelaku “ ( Pasal 55 KUHP ).

D. SYARAT-SYARAT PEMBANTUAN (MEDEPLIGHTIGHEID)


Pasal 56 KUHP merumuskan unsur subyektif yaitu “sengaja” atau
“kesengajaan” (opzettelijk), sedangkan unsur objektif adalah
“memberikan bantuan”. Kedua unsur ini terkadung 2 (dua) syarat, yakni
syarat subyektif yang terkandung dalam unsur “sengaja” atau “kesengajaan”
(opzettelijk) dan syarat objektif yang terkandung dalam unsur memberi
bantuan.
a. Syarat Objektif
Kesengajaan pembuat pembantu dalam mewujudkan perbuatan
bantuannya ditujukan pada hal untuk mempermudah atau
memperlancar pelaksanaan kejahatan bagi orang lain (pembuat
pelaksana). Kesengajaan pembuat pembantu tidak ditujukan pada
pelaksanaan atau penyelesaian kejahatan, namun ditujukan hanya untuk
mempermudah pelaksanaan kejahatan. Berbeda dengan pembuat
penganjur yang kesengajaannya (sikap batinnya) sama dengan pembuat

5
pelaksana. Timbulnya kehendak pembuat pelaksana untuk
melaksanakan kejahatan selalu lebih dahulu dibandingkan dengan
pembuat pembantu untuk melakukan perbuatan. Inisiatif mewujudkan
kejahatan juga berasal dari pembuat pelaksana, bukan pada pembuat
pembantu. Kesengajaan dalam hal ini berarti, ketika terbentuknya
kehendak pembuat pembantu untuk melakukan perbuatan bantuannya,
maka pada saat itu terbentuk keinsyafan atau kesadaran bahwa apa yang
hendak ia lakukan atau apa yang hendak diperbuatnya itu adalah untuk
kepentingan orang yang dibantunya (pembuat pelaksana) (Masruchin
Ruba’i : 2014, 200-201). Sikap batin pembuat pembantu tidak sama
dengan sikap batin dari pembuat pelaksanaannya.
Kesengajaan Dalam Pembantuan
Pada Pasal 56 KUHP menentukan bahwa pemberian bantuan
harus dilakukan dengan sengaja. Sampai seberapa jauh atau kemanakah
arah kesengajaan ini ditujukan, hal ini terdapat berbagai pendapat.
Simons berpendapat bahwa kesengajaan seorang pembantu harus
ditujukan kepada semua unsur delik, bahkan juga harus ditujukan
kepada unsur yang oleh undang-undang tidak disyaratkan bahwa
kesengajaan pelakunya harus ditujukan kepada unsur-unsur tersebut.
Selanjutnya Simons mengatakan bahwa, agar seorang pembantu
( medeplichtige ) dapat dipidana, harus dipenuhi unsur yang bersifat
objektif dan subjektif. Unsur objektif artinya : “perbuatan yang
dilakukan oleh pembantu, harus benar-benar dapat mempermudah atau
mendukung pelaksanaan perbuatan, artinya, seandainya bantuan berupa
alat-alat dan sebagainya yang diserahkan kepada pelaku tidak
dipergunakan, maka si pembantu pun juga tidak dapat dipidana“.
Sedangkan unsur subjektif, artinya : “bila perbuatan yang dilakukan
harus benar-benar disengaja atau si pembantu memang mengetahui
bahwa perbuatannya itu dapat mempermudah atau mendukung
pelaksanaan kejahatan oleh orang lain itu adalah memang dikehendaki“.

6
Sesuai dengan pendapatnya itu, selanjutnya Simons mengatakan
: “pembantuan untuk melakukan suatu kejahatan yang bersifat
culpa/kelalaian sangat jarang terjadi, bahkan tidak mungkin terjadi
seperti halnya suatu penganjuran untuk melakukan kejahatan yang
bersifat culpa/kelalaian“. Pompe berbeda pendapat dengan mengatakan
bahwa : “didalam ayat (2) kekurang hati-hatian itu memang tidak
disebutkan, akan tetapi ini tidak berarti bahwa menggerakkan orang lain
untuk melakukan delik-delik yang dapat dilakukan dengan tidak
sengaja, lalu menjadi tidak harus dipidana“.
Mengenai kesengajaan seorang pembantu, Pompe mengatakan :
“kesengajaan seorang pembantu pertama-tama harus ditujukan
kepada perbuatan membantu atau kepada perbuatan memberikan
kesempatan sarana atau keterangan. Kecuali itu, si pembantu harus
mempunyai kesengajaan atau ketidak sengajaan yang ditujukan
kepada unsur delik“. Apakah mungkin terjadi suatu penyertaan yang
ditujukan kepada penyertaan? Misalnya “pembantuan terhadap
penganjuran atau penganjuran untuk memberikan pembantuan. Van
Hattum mengatakan bahwa kebanyakkan penulis Belanda menganggap
tidak mungkin adanya penyertaan terhadap delik penyertaan, tetapi van
Hattum mengecualikan satu hal, yaitu bentuk penyertaan terhadap turut
serta (medeplegen) mungkin terjadi. Hazewinkel – Suringa tidak
menaruh keberatan prinsipiil kemungkinan adanya penyertaan terhadap
penyertaan, kecuali terhadap beberapa bentuk, misalnya “menyuruh
lakukan untuk penganjuran (doen plegen van uitlokking)“.
HR dikatakan oleh Hazewinkel-Suringa untuk pertama kali
mengakui penyertaan terhadap penyertaan dalam Arrestnya yang
terkenal sebagai “Exemen Arrest“ (1950). Kasusnya sebagai berikut :
“M Harus menghadapi ujian dan dia telah menerima pelajaran dari A
(terdakwa). M tetap merasa takut menempuh ujian dan bertanya kepada
A, apakah tidak mungkin orang lain atas nama M yang menempuh.
Dijawab oleh A adalah mungkin. Kesulitan M untuk mendapatkan

7
orang yang mau dan pandai dipecahkan dengan jalan A memberikan
daftar nama orang-orang yang mungkin dapat disuruh untuk menempuh
ujian tersebut. M memilih B yang dengan janji-jani mau mendaftarkan
atas nama M, tetapi kasus ini ketahuan dan terdakwa dituntut dan
dipidana karena pembantuan untukmelakukan penganjuran untuk
melakukan percobaan penipuan“.
Dalam tingkat kasasi A mengajukan bahwa pembantuan
terhadap penganjuran itu tidak dapat dipidana. Pendirian ini dibenarkan
oleh Langemeyer, yang menyimpulkan agar terdakwa A dilepas dari
segala tuntutan hukum (ontslag vanalle rechtsvervolging), HR tidak
membenarkan hal itu, diputuskannya : “membantu orang untuk
menggerakkan orang lain melakukan suatu kejahatan adalah mungkin,
dengan adanya perkataan“ plegen“ melakukan didalam Pasal 55 KUHP
itu, undang-undang tidak menutup kemungkinan tentang adanya suatu
medelichtigheid didalam suatu uitlokking“.
Rolling memuji putusan HR tersebut, Prof. Moeljatno juga
menyetujui pendirian bahwa pada umumnya penyertaan terhadap delik
penyertaan tidaklah mungkin, tetapi sebagai pengecualian mungkin saja
beberapa bentuk penyertaan terhadap delik penyertaan seperti putusan
HR tersebut. Perbuatan terdakwa A kasus tersebut diatas masih jelas
dan mudah difikirkan, satu sama lain bertalian dengan asas legalitas
hukum pidana. Tetapi yang lebih penting oleh Prof. Moeljatno
dianjurkan agar dalam KUHP diadakan ketentuan tentang batas-batas
penyertaan, seperti KUHP Denmark dan Jepang bersifat singkat dan
jelas
b. Syarat Objektif
Wujud perbuatan yang dilakukan pembuat pembantu hanya
mempermudah atau memperlancar pelaksanaan kejahatan. Wujud
perbuatan apa yang dilakukan oleh pembuat pembantu dari sudut
objektif berperan mempermudah atau memperlancar penyelesaian

8
kejahatan dan tidak menyelesaikan kejahatan. Penyelesaian kejahatan
tergantung pada perbuatan pembuat pelaksanaannya.

E. SANKSI PIDANA
Ancaman pidana terhadap “Pembantuan/Medeplichtigheid“
Ancaman pidana terhadap pembantuan disebutkan dalam Pasal 57 KUHP,
yaitu :
1. Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan,
dikurangi sepertiga.
2. Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
3. Pidana tambahan bagi pembantuan adalah sama dengan kejahatannya
sendiri.
4. Dalam menentukan pidana bagi pembantu, yang diperhitungkan hanya
perbuatan yang sengaja dipermudah atau diperlancar olehnya beserta
akibat-akibatnya (Moeljatno, 2008 : 26)
Pasal 60 KUHP menyatakan bahwa pembantuan terhadap tidak
dipidana, jadi hanya pembantuan terhadap kejahatan saja yang dapat
dipidana. Kemungkinan adanya keadaan pribadi seseorang yang dapat
menghapuskan, mengurangkan atau pengenaan pidana, hanya
diperhitungkan bagi masing-masing, yaitu terhadap pelaku saja. Artinya
pengurangan tersebut yang berkenaan dengan pelaku tidak dengan
sendirinya juga berlaku bagi pembantu, jika hal itu mengenai keadaan
dirinya.

F. PERBEDAAN ANTARA PEMBANTUAN DAN PENGANJURAN


1. Perbedaan antara Penganjuran dan Pembantuan
“Dalam suatu penganjuran, orang yang digerakkan semula tidak
mempunyai niat / opzet untuk melakukan tindak pidana. Niat / opzet itu
muncul setelah ada suatu penganjuran. Sedangkan dalam pembantuan,

9
pelaku itu sejak semula telah mempunyai niat untuk melakukan delik
dan kemudian didukung oleh adanya pembantuan“.
2. Perbedaan antara Turut Serta dan Pembantuan
a. Dalam turut serta, perbuatan seseorang peserta/medepleger
ditekankan pada perbuatan turut melakukan. Sedangkan dalam
pembantuan, perbautan seseorang pembantu/medeplichtige
ditekankan pada perbuatan membantu melakukan atau membantu
untuk melakukan suatu kejahatan.
b. Dalam turut serta, seorang peserta/medepleger harus melakukan
suatu perbuatan pelaksanaan/uitvoeringshandeling. Sedangkan
dalam pembantuan, seorang pembantu cukup bila telah melakukan
perbuatan persiapan/voobereidingshandeling atau suatu perbuatan
dukungan/ voobereidngshandeling.
c. Turut serta dalam pelanggaran dapat dipidana. Sedangkan dalam
pembantuan, membantu melakukan pelanggaran tidak dapat
dipidana.
d. Dalam turut serta, ancaman pidana terhadap peserta/medepleger
sama dengan ancaman terhadap pelaku utama, sesuai dengan
rumusan delik. Sedangkan dalam pembantuan, ancaman pidana
terhadap pembantu adalah ancaman pidana pokok bagi pelaku
dikurangi sepertiganya.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Pembantuan (medeplightigheid) diatur di dalam 3 (tiga) pasal yakni
Pasal 56, 57, dan 60 KUHP. Pasal 56 KUHP menentukan bahwa dipidana
sebagai pembantu suatu kejahatan :
1. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan
dilakukan.

10
2. Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan
untuk melakukan kejahatan.
Pasal 56 KUHP ini membedakan 2 (dua) macam pembantuan,
yaitu :
1. Membantu “melakukan kejahatan“.
2. Membantu “untuk melakukan kejahatan“.
Syarat-syarat Pembantuan (medeplightigheid) dapat ditemukan
dalam Pasal 56 KUHP yang merumuskan unsur subyektif yaitu “sengaja”
atau “kesengajaan” (opzettelijk) dan unsur objektif adalah “memberikan
bantuan”.
Ancaman pidana terhadap pembantuan disebutkan dalam Pasal 57
KUHP, yaitu :
1. Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan,
dikurangi sepertiga.
2. Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
3. Pidana tambahan bagi pembantuan adalah sama dengan kejahatannya
sendiri.
4. Dalam menentukan pidana bagi pembantu, yang diperhitungkan hanya
perbuatan yang sengaja dipermudah atau diperlancar olehnya beserta
akibat-akibatnya (Moeljatno, 2008 : 26) Pasal 60 KUHP menyatakan
bahwa pembantuan terhadap tidak dipidana, jadi hanya pembantuan
terhadap kejahatan saja yang dapat dipidana.

B. SARAN
Penulis menyadiri bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna.

Maka penulis mohon kritik dan saran guna perbaikan untuk masa yang

akan datang.

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Lamintang, P.A.F., 2013 : Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar


Baru, Bandung.
2. Moeljatno, 1983 : Delik-Delik Percobaan dan Delik-Delik Penyertaan, Bina
Aksara, Jakarta.,
3. 2008 : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Terjemahan, Cet. 27, Bumi
Aksara, Jakarta.
4. Ruba’i, Masruchin, 2014 : Buku Ajar Hukum Pidana, Bayumedia
Publishing, Malang.

12

Anda mungkin juga menyukai