Anda di halaman 1dari 8

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa,  karena berkat kemurahan-
Nya lah makalah ini dapat kami selesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini membahas
tentang “KRIMINALISASI”

Makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam  pemahaman tentang KRIMINALISASI

Kami menyadari bahwa makalah ini masih memiliki kekurangan. Untuk itu, kami
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar kami dapat menulis makalah yang lebih
baik lagi. Semoga makalah ini dapat  bermanfaat bagi pembaca. Terima kasih.

                                                                                    Sanana, 22 September 2022

                                                       Penyusun

Kelompok 2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..............................................................................................

DAFTAR ISI............................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................

A. Latar belakang.......................................................................................

B. Rumusan masalah..................................................................................

C. Tujuan......................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................

A. Pengertian Kriminalisasi.....................................................................

B. Kriminalisasi Yang Pernah Terjadi Di Indonesia........................

C. Contoh kriminalisasi ...........................................................................

BAB III PENUTUP.................................................................................................

A. Kesimpulaan..........................................................................................

B. Saran......................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kriminalisasi merupakan objek studi hukum pidana materiil yang membahas penentuan
suatu perbuatan sebagai tindak pidana yang diancam dengan sanksi pidana tertentu.
Perbuatan tercela yang sebelumnya tidak dikualifikasikan sebagai perbuatan terlarang
dijustifikasi sebagai tindak pidana yang diancam dengan sanksi pidana. Menurut Soerjono
Soekanto, kriminalisasi merupakan tindakan atau penetapan penguasa mengenai perbuatan-
perbuatan tertentu yang oleh masyarakat atau golongan-golongan masyarakat dianggap
sebagai perbuatan yang dapat dipidana menjadi perbuatan pidana atau membuat suatu
perbuatan menjadi perbuatan kriminal dan karena itu dapat dipidana oleh pemerintah
dengan cara kerja atas namanya.

kriminalisasi dapat pula dilihat dari perspektif nilai. Dalam hal ini yang dimaksudkan
dengan kriminalisasi adalah perubahan nilai yang menyebabkan sejumlah perbuatan yang
sebelumnya merupakan perbuatan yang tidak tercela dan tidak dituntut pidana, berubah
menjadi perbuatan yang dipandang tercela dan perlu dipidana6 . Pengertian kriminalisasi
tersebut menjelaskan bahwa ruang lingkup kriminalisasi terbatas pada penetapan suatu
perbuatan sebagai tindak pidana yang diancam dengan sanksi pidana. Namun menurut Paul
Cornill, pengertian kriminalisasi tidak terbatas pada penetapan suatu perbuatan sebagai
tindak pidana dan dapat dipidana, tetapi juga termasuk penambahan (peningkatan) sanksi
pidana terhadap tindak pidana yang sudah ada.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu kriminalisasi ?
2. Bagaimana Kriminalisasi Yang Pernah Terjadi Di Indonesia
3. Apa contoh kriminalisasi ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang kriminalisasi
2. Untuk memenuhi tugas sosiologi
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian kriminalisasi

Istilah ’kriminalisasi’ yang populer dimasyarakat memiliki makna yang berbeda dengan
istilah ’kriminalisasi’ yang ada dalam ilmu kriminologi maupun ilmu hukum pidana tersebut.
Jika dalam kriminologi dan ilmu hukum pidana terminologi ’kriminologi’ merupakan istilah
biasa, maka ’kriminalisasi’ dalam pengertian populer memiliki makna yang negatif. Dalam
perkembangan penegakan hukum pidana, kriminalisasi perlu dlihat secara mendalam guna
mengetahui dan memahami esensi dari kriminalisasi itu sendiri.

Mengenai hal ini, menurut Soerjono Soekanto kriminalisasi merupakan tindakan atau
penetapan penguasa mengenai perbuatan-perbuatan tertentu yang oleh masyarakat diangap
sebagai perbuatan yang dapat dipidana menjadi perbuatan pidana atau membuat suatu
perbuatan menjadi perbuatan kriminal dan karena itu dapat dipidana oleh pemerintah
dengan cara kerja atas namanya.Kriminalisasi dapat juga diartikan sebagai proses
penetapan suatu perbuatan seseorang sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Proses ini
diakhiri dengan terbentuknya undang-undang dimana perbuatan itu diancam dengan suatu
sanksi yang berupa pidana.

B. Kriminalisasi Yang Pernah Terjadi Di Indonesia

Terdapat data praktik kriminalisasi di Indonesia pada tahun 1998-2014, dari 563 undang-
undang yang disahkan dalam periode ini, 154 di antaranya memiliki ketentuan pidana yang
mengatur 1.601 tindak pidana di dalamnya. Dari 1.601 tindak pidana yang ditemukan dalam
perundang-undangan Indonesia dari 1998-2014, 885 di antaranya merupakan tindak pidana
yang telah ada sebelumnya sedangkan 716 sisanya merupakan tindak pidana baru yang
ditemukan di 112 undang-undang.Jika dilihat dari jenis tindak pidana yang baru diciptakan
tersebut, digunakan untuk menciptakan tindak pidana pelanggaran. Jenis tindak pidana
pelanggaran ini ditemukan sebanyak 442 dibandingkan dengan 274 tindak pidana kejahatan
yang juga ditemukan pada periode yang sama. Dari 716 tindak pidana baru tersebut, hanya
54 perbuatan yang dikriminalisasi.

Sebagian besar dari praktik kriminalisasi di Indonesia digunakan untuk menciptakan tindak
pidana pelanggaran, dapat dikatakan bahwa tujuan untuk menggunakan mekanisme hukum
pidana sebagai strategi kontrol sosial Indonesia, paling tidak di level legislasi, adalah untuk
memastikan masyarakat Indonesia patuh terhadap aturan yang telah diundangkan dan bukan
untuk menyelesaikan masalah kriminalitas. Merujuk pendapat Ana Aliverti yang
menyebutkan bahwa pada akhirnya begitu meledaknya jumlah tindak pidana pelanggaran di
perundang-undangan tersebut hanya digunakan sebagai ‘tuas atau alat cadangan’ untuk
memastikan tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum yang berlaku.

C. Contoh Kriminalisasi

Kriminalisasi Korban Kekerasan

Kasus pelecehan seksual yang menimpa Baiq Nuril hingga kini masih menjadi perbincangan di
tengah masyarakat. Baiq Nuril merupakan seorang mantan tenaga honorer di SMA Negeri 7
di Mataram yang menjadi korban pelecehan seksual oleh M yang merupakan kepala sekolah
tempat dirinya bekerja.

Dalam perjalanannya, Baiq dinyatakan bersalah dalam putusan kasasi Nomor


574K/Pid.Sus/2018 yang dibacakan pada 26 September 2018 atas tindak pidana
"mendistribusikan atau mentransmisikan konten kesusilaan" sebagaimana tertera dalam
Pasal 27 Ayat 1 Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan
divonis pidana penjara selama enam bulan dan denda sebesar 500 juta.

Peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia


(MaPPI FHUI), Bestha Inatsan Ashila menilai, putusan kasasi tersebut mengundang gejolak
di masyarakat. "Pasalnya, Baiq Nuril dinyatakan bersalah dalam putusan kasasi setelah
sebelumnya pada 2017 dirinya dinyatakan tidak bersalah dalam putusan PN Pengadilan
Negeri Mataram No 265/Pid.Sus/2017/ PN. Mtr," kata Bestha, di Jakarta, Jumat (16/11).

Pascaputusan itu, MaPPI FHUI menilai, sedikitnya terdapat dua permasalahan utama dalam
kasus itu. Pertama, hakim tidak memahami unsur-unsur Pasal 27 Ayat 1 UU ITE dan tidak
mengimplementasikan Perma Nomor 3 Tahun 2017. "Pada dasarnya, apa yang dialami oleh
Baiq Nuril adalah merupakan sebuah bentuk kriminalisasi. Sejak awal ia tidak merekam
percakapan tersebut dengan niat untuk mencemarkan nama baik M, melainkan sebagai bukti
bahwa dirinya telah dilecehkan oleh M dan untuk berjaga-jaga jika terjadi hal-hal buruk di
kemudian hari," kata dia.

Sayangnya, majelis hakim tingkat kasasi justru memandang hal tersebut sebagai suatu
tindakan pencemaran nama baik yang dilakukan dengan cara menyebarluaskan suatu konten
asusila melalui elektronik yang sengaja dilakukan oleh Baiq Nuril. Padahal, putusan PN
Mataram sebelumnya telah menyatakan bahwa Baiq Nuril tidak bersalah atas tuduhan pasal
tersebut.

Hal ini mengindikasikan bahwa hakim kurang cermat dalam membuktikan unsur dalam Pasal
27 Ayat 1 UU ITE. "Hakim tidak mencermati secara jelas unsur-unsur tindak pidana dalam
pasal tersebut, di mana dalam pasal tersebut yang seharusnya dinyatakan bersalah adalah
orang yang menyebarluaskan," katanya.

Dikatakan, putusan MA dalam kasus tersebut juga tidak sesuai dengan Perma Nomor 3
Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
Dalam mengadili perempuan yang berhadapan fengan hukum, hakim diharapkan dapat
mengidentifikasi dan mempertimbangkan fakta persidangan terkait adanya ketidaksetaraan
status sosial di masyarakat yang mengakibatkan adanya ketimpangan gender antara
perempuan dan laki-laki.

Selanjutnya, hakim juga diharapkan dapat mengidentifikasi dan mempertimbangkan adanya


relasi kuasa antara para pihak yang berperkara yang mengakibatkan perempuan tidak
berdaya. Selain itu, hakim juga diharapkan dapat mengidentifikasi dan mempertimbangkan
riwayat kekerasan yang dilakukan pelaku serta mempertimbangkan dampak kerugian yang
dialami korban dari ketidakberdayaannya.
"Tanpa adanya inisiatif untuk mengidentifikasi hal-hal kunci dalam kasus kekerasan yang
dialami oleh perempuan, maka putusan yang lahir akan selalu merugikan perempuan," ujar
Bestha. Dalam kasus Baiq Nuril, seharusnya hakim mampu mengindentifikasikan
ketidaksetaraan status sosial atau adanya relasi kuasa antara M dan Baiq Nuril.

Posisi Baiq Nuril sebagai guru honorer sedangkan M merupakan kepala sekolah yang secara
struktural merupakan atasan Baiq. Kondisi itu membuat yang bersangkutan menjadi tidak
berdaya melawan karena posisi strukturalnya yang lebih rendah.

MaPPI FHUI mencatat, pelecehan seksual secara verbal yang dialami Baiq Nuril bukan yang
pertama. Peristiwa serupa sudah ke sekian kali semenjak 2012. Adanya riwayat atau sejarah
pelecehan yang dialami korban ini seharusnya menjadi hal yang juga ditelaah lebih dalam
dan dipertimbangkan oleh Hakim, tidak hanya terbatas pada kejadian yang dilaporkan.

"Dampak psikis korban yang mengalami pelecehan verbal berulang kali maupun tuduhan
lingkungan bahwa ia memiliki hubungan gelap dengan M juga seharusnya digali hakim,"
ujarnya. Menurutnya, pelanggaran terhadap norma-norma Perma 3/2017 artinya juga
melanggar apa yang telah ditetapkan dalam kode etik hakim. Putusan Mahkamah Agung
dalam kasus Baiq Nuril memperlihatkan bahwa aparat penegak hukum di negeri ini masih
belum berperspektif gender dan HAM.

Saat ini, diingatkan, kriminalisasi terhadap perempuan korban kekerasan harus dihentikan
karena akan melanggengkan praktik kekerasan dan membuat perempuan yang menjadi
korban semakin enggan melaporkan kasusnya. Alih-alih mendapatkan keadilan, perempuan
korban kekerasan dalam proses peradilan selama ini justru menjadi korban untuk kedua
kalinya.

Oleh karena itu, MaPPI FHUI mendesak agar MA menjadikan PERMA No. 3 Tahun 2017
tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan hukum sebagai rujukan
dalam memeriksa dan mengadili perkara perempuan yg menjadi pelaku, korban, maupun
saksi.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Paparan panjang secara konseptual dan kasus-kasus diatas menunjukan bahwa


Kriminalisasi merupakan salah satu fenomena riil bidang hukum di Indonesia. Disatu sisi,
konsep kriminalisasi bukan merupakan kondisi atau kasus yang masuk kategori kejahatan.
Bahkan dari sisi penegak hukum, kasus-kasus tersebut diyakini sebagai kasus yang memang
layak diproses dalam kaidah dan hukum acara yang berlaku. Disisi lainnya, kriminalisasi
adalah istilah atau penyebutan atas berbagai pemaksaan penggunaan hukum, dalam hal ini
hukum Pidana, untuk membungkam kerja dan peran politis, hukum dan sosial dari seseorang
atau lebih, dan dianggap peran tersebut membahayakan pihak-pihak tertentu. Pihak-pihak
tertentu ini memiliki kemampuan atau kekuatan untuk mengarahkan aparatur penegak
hukum, untuk menggunakan hukum diluar tujuan yang sesungguhnya. Pihak tertentu tersebut
bisa juga berasal dari dalam institusi penegak hukum itu sendiri.

Namun demikian, dengan gambaran lewat bab-bab sebelumnya jelas terbukti bahwa ada
praktek jahat dalam penggunaan hukum. Dengan situasi ini maka perlu dilakukan sejumlah
langkah, terlepas dari perdebatan istilah yang ada dan sering digunakan sejumlah pihak
untuk menghindar dari tuduhan dan persepsi buruk dimata masyarakat. Rekomendasi
dibawah ini tidak akan masuk pada upaya mencari nama yang tepat. Paper ini justru berhasil
membuktikan bahwa tindakan hukum yang disebut kriminalisasi justru merupakan upaya dan
itikad buruk penegak hukum atau bisa disebut juga sebagai kejahatan hukum. Oleh
karenanya sejumlah rekomendasi perlu disampaikan dibagian penutup ini, untuk memastikan
agar hukum, para penegaknya dan aturan serta sistemnya bisa berjalan sesuai dengan
kaidahnya dan berkontribusi pada penciptaan tatanan dan keadilan serta menjamin
integritas personal setiap orang

B. Saran

Tentunya terhadap penulis sudah menyadari jika dalam penyusunan makalah di atas masih
banyak ada kesalahan serta jauh dari kata sempurna.

Adapun nantinya penulis akan segera melakukan perbaikan susunan makalah itu dengan
menggunakan pedoman dari beberapa sumber dan kritik yang bisa membangun dari para
pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

https://kontras.org/wp-content/uploads/
2020/02/20160722_Kriminalisasi_Modus_dan_Kasus_Kasusnya_098j3598j3u5n.pdf

https://bakai.uma.ac.id/2022/06/17/pengertian-kriminalisasi-dalam-hukum-dan-contoh-di-
indonesia/

https://www.beritasatu.com/news/522826/kasus-baiq-nuril-contoh-kriminalisasi-korban-
kekerasan

Anda mungkin juga menyukai