Dosen Pengampu :
Disusun Oleh:
SITI HAPSAH
NIM : 2010112320012
2021
i
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur saya panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, nikmat, serta karunia-Nya sehingga Saya dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Pidana dan Tindakan” tepat pada waktunya. Makalah ini ditulis untuk
memenuhi tugas mata kuliah Hukum Pidana yang di ampu oleh Bapak Dr. Zainul Akhyar,
M.H. di Universitas Lambung Mangkurat.
Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Zainul
Akhyar, M.H. selaku dosen mata kuliah Hukum Pidana atas tugas yang telah diberikan
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan terkait dengan bidang yang ditekuni.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.
Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kekeliruan dalam penulisan
makalah ini, baik pada teknis penulisan maupun materi yang disajikan. Untuk itu, Saya
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak.
Siti Hapsah
ii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Relevansi ....................................................................................................................... 3
B. Fokus Masalah .............................................................................................................. 3
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................................. 19
B. Saran ........................................................................................................................... 20
iii
BAB I
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
1) Apa Pengertian Sanksi atau Pidana dan Tindakan ?
2) Apa Saja Tujuan Pidana atau Pemidanaan ?
3) Apa Saja Macam-Macam Pidana dalam KUHP dan RUU KUHP ?
4) Bagaimana Pidana dan Tindakan dalam RUU KUHP ?
C. Tujuan Penulisan
1) Ingin Mengetahui Pengertian Sanksi atau Pidana dan Tindakan
2) Mengetahui Tujuan Pidana atau Pemidanaan
3) Mengetahui Macam-Macam Pidana dalam KUHP dan RUU KUHP
4) Mengetahui Pidana dan Tindakan dalam RUU KUHP
1
D. Manfaat Penulisan
a) Secara teoretis
b) Secara praktis
Manfaat praktis dari hasil penelitian ini di harapkan dapat memberikan
informasi dan pengetahuan mengenai penjelasan kepada mahasiswa tentang
Pengertian Sanksi atau Pidana dan Tindakan, Tujuan Pidana atau Pemidanaan,
Macam-Macam Pidana dalam KUHP dan RUU KUHP, serta Pidana dan
Tindakan dalam RUU KUHP.
2
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Relevansi
Secara umum tujuan hukum pidana adalah menciptakan ketertiban, keadilan
dan kedamaian dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara, dengan jalan
mencegah dan melindungi kepentingan-kepentingan hukum baik kepentingan orang-
perorangan atau individu, kepentingan masyarakat atau kolektivitas serta kepentingan
negara atau pemerintah, dari perbuatan-perbuatan yang dapat merugikannya.
B. Fokus Masalah
Fokus penelitian ini dimaksudkan untuk membatasi studi kualitatif sekaligus
membatasi penelitian guna memilih mana data yang relevan dan mana yang tidak
relevan. Berdasarkan latar belakang di atas, maka fokus permasalahan dalam penelitian
ini akan di fokuskan pada “Pengertian Sanksi atau Pidana dan Tindakan, Tujuan Pidana
atau Pemidanaan, Macam-Macam Pidana dalam KUHP dan RUU KUHP, serta Pidana
dan Tindakan dalam RUU KUHP”.
3.
BAB III
PEMBAHASAN
Dalam bidang hukum kata sanksi cenderung memiliki makna yang berkonotasi
negatif. Sebenarnya dalam hal-hal tertentu, sanksi hukum pun bisa bermakna positif,
sebagai contoh sanksi terhadap orang yang melaporkan adanya kejahatan yang bisa
berupa penghargaan dan hadiah sejumlah uang tertentu.
4.
Pengertian pidana sebagai sanksi berupa penderitaan yang sengaja dikenakan
negara kepada seorang yang terbukti melakukan tindak pidana dan mempunyai
kesalahan, berkaitan dengan asas legalitas yang terkandung di dalam Pasal 1 ayat (1)
KUHP (Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP). Asas legalitas ini sering juga disebut sebagai
asas nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenale. Asas ini pada mulanya
diperkenalkan oleh Anselm von Fuerbach. Menurut asas legalitas ini tiada suatu
perbuatan yang dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuan perundang-undangan
pidana yang telah ada sebelumnya.
• Menurut Ted Honderich, pidana adalah suatu pengenaan pidana yang dijatuhkan
oleh penguasa, berupa kerugian atau penderitaan, kepada pelaku tindak pidana.
Dalam pandangan Rupert Cross, pidana merupakan pengenaan penderitaan oleh
negara kepada seseorang yang telah dipidana karena suatu kejahatan.
• Menurut Sudarto, pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang
yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
• Pengertian pidana juga diberikan olen van Hamel. Van Hamel memberikan arti
pidana (straft) menurut hukum positif yakni, suatu penderitaan yang bersifat
khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang
5.
untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggungjawab dari
ketertiban hukum hukum umum bagi seorang pelanggar hukum, yakni semata-mata
karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus
ditegakkan oleh negara.
• Simons memberikan pengertian tentang pidana (straft), yakni suatu penderitaan
yang oleh undang-undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap
suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang
yang bersalah.
• Menurut Roeslan Saleh, pidana merupakan reaksi atas delik dan ini berwujud suatu
nestapa yang sengaja ditimpakan oleh negara kepada pembuat delik.
6.
Sejalan dengan ciri-ciri atau karakteristik pidana yang dikemukakan Hart di
atas, selanjutnya Alf Ross menyatakan bahwa pidana merupakan reaksi sosial yang
mempunyai ciri-ciri:
Dalam bekerjanya hukum pidana, pemberian pidana atau pemidanaan dalam arti
konkret, yakni pada terjadinya perkara pidana, bukanlah tujuan akhir. Pidana
sebenarnya merupakan sarana belaka untuk mewujudkan tujuan hukum pidana.
7.
Tentang tujuan hukum pidana dapat disimak dari pandangan Sudarto tentang
fungsi hukum pidana. Fungsi umum hukum pidana adalah mengatur hidup
kemasyarakatan atau menyelenggarakan tata dalam masyarakat. Sementara itu, fungsi
khusus hukum pidana adalah melindungi kepentingan hukum dari perbuatan yang
hendak merugikannya dengan menggunakan sanksi yang berupa pidana yang sifatnya
lebih tajam dibandingkan dengan sanksi yang terdapat dalam bidang hukum lainnya.
Dalam rumusan redaksional yang lain, dikemukakan oleh Muladi bahwa fungsi
hukum pidana pada dasarnya adalah melindungi sekaligus menjaga keseimbangan
antara kepentingan negara dan masyarakat, kepentingan si pelaku tindak pidana dan
kepentingan si korban.
Sementara itu, menurut S.R. Sianturi, tujuan hukum pidana pada umumnya
adalah untuk melindungi kepentingan orang perorangan (individu) atau hak-hak asasi
manusia dan melindungi kepentingan-kepentingan masyarakat dan negara dengan
perimbangan yang serasi dari perbuatan-perbuatan yang merugikan di satu pihak dan
dari tindakan penguasa yang sewenang-wenang di lain pihak.180
Dari pandangan tiga ahli hukum pidana di atas, terlihat bahwa pidana atau
pemberian pidana pada dasarnya merupakan cara atau sarana yang ditempuh untuk
mewujudkan tujuan hukum pidana. Sejalan dengan tujuan hukum pidana itu,
penggunaan pidana sebagai sarana mendorong lahirnya berbagai pemikiran teoretis
tentang tujuan pidana atau pemberian pidana itu.
Di dalam ilmu hukum pidana, dikenal tiga macam teori tentang tujuan
pemidanaan.
8.
2) teori relatif atau tujuan.
Menurut teori ini, penjatuhan pidana bertujuan untuk menjerakan dan
mencegah pengulangan tindak pidana baik oleh orang itu sendiri maupun oleh
orang-orang lain (prevensi khusus dan prevensi umum).
3) teori gabungan.
Menurut teori ini, tujuan pemidanaan itu mencakup baik pembalasan
maupun penjeraan dan pencegahan sekaligus juga untuk memperbaiki mentalitas si
pelaku tindak pidana itu.
9.
c) menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan
d) membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
10.
Dalam rangkaian pedoman pemidanaan ini, Pasal 56 ayat (2) menetapkan
bahwa “Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat atau keadaan pada waktu
dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan
untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan
mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.”
Pasal 56 ayat (2) tersebut memuat gagasan baru berupa lembaga permaafan atau
lembaga kewenangan hakim memberi maaf (Belanda: rechterlijk pardon; Inggeris:
judicial pardon). Lembaga permaafan ini merupakan suatu kewenangan yang diberikan
kepada hakim dalam menjatuhkan putusan atas perkara pidana yang diperiksanya,
yakni kewenangan untuk tidak menjatuhkan pidana ataupun tindakan kepada pelaku
yang telah terbukti melakukan tindak pidana dan bersalah.
Dari ketentuan tersebut, terlihat beberapa faktor yang secara alternatif harus
terpenuhi untuk dipertimbangkan sehingga hakim dapat mempergunakan
kewenangannya untuk memaafkan.
a) tindak pidana yang dilakukan secara umum memang dipandang sebagai tindak
pidana yang ringan.
b) keadaan pribadi si pembuat ketika perbuatan itu dilakukan.
c) keadaan pada waktu dilakukannya perbuatan.
d) keadaan yang terjadi kemudian setelah dilakukannya perbuatan.
11
Selanjutnya terlihat bahwa ketentuan tersebut bersifat memberikan kewenangan
dalam rumusan kata-kata dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan
pidana atau mengenakan tindakan. Perumusan demikian itu berarti bahwa meskipun
syarat-syarat yang menimbulkan kewenangan dimaksud telah terpenuhi, namun hakim
yang memiliki kewenangan tidaklah wajib menjalankan, dalam arti dapat menggunakan
wewenang itu dan dapat pula tidak.
Pemidanaan dalam arti konkret diikuti dengan penjatuhan sanksi atau pidana.
Sanksi atau pidana ini dapat dibedakan menjadi
Perbedaan utama antara pidana pokok dengan pidana tambahan adalah pada
kemandiriannya, yakni pidana pokok dapat dijatuhkan bersama dengan pidana
tambahan ataupun tidak bersama pidana tambahan, sedangkan pidana tambahan selalu
dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok. Jadi pidana tambahan tidak mungkin
dijatuhkan tanpa pidana pokok.
12.
KUHP eks WvS memuat macam-macam sanksi pidana di dalam Pasal 10.
Berdasarkan Pasal 10 KUHP sanksi pidana dibedakan menjadi pidana pokok dan
pidana tambahan.
a) pidana mati,
b) pidana penjara,
c) pidana tutupan,
d) pidana kurungan,
e) pidana denda.
Pidana mati, di masa lalu dijalankan oleh algojo pada tempat gantungan dengan
menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana, kemudian
menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri. Cara pelaksanaan (eksekusi) demikian itu
telah ditinggalkan. Di masa sekarang, pidana mati dilaksanakan oleh regu tembak.
13.
Pidana tutupan merupakan pidana yang disediakan bagi para politisi yang
melakukan kejahatan yang disebabkan oleh ideologi yang dianutnya. Dalam praktik
peradilan dewasa ini, ketentuan tentang pidana tutupan ini tidak pernah diterapkan.
Di dalam RUU KUHP 2016, pidana pokok yang tertuang dalam Pasal 66 ayat
(1) meliputi:
a) pidana penjara;
b) pidana tutupan;
c) pidana pengawasan;
d) pidana denda; dan
e) pidana kerja sosial.
Menurut Pasal 66 ayat (2), urutan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
itu menentukan berat ringannya pidana. Dalam pada itu, menurut Pasal 69A, pidana
mati merupakan pidana yang bersifat khusus dan selalu diancam secara alternatif,
dalam arti tidak selalu harus menggunakan pidana mati).
14.
Pidana tambahan yang biasanya dijatuhkan bersama-sama dengan pidana
pokok, menurut Pasal 68 ayat (1) meliputi:
Sementara itu, sanksi atau pidana yang bukan dalam arti sesungguhnya
melainkan lebih bersifat administratif disebut dengan tindakan (matregel). Menurut
Pasal 103 ayat (1) tindakan yang dapat dikenakan bersama-sama dengan pidana pokok
berupa:
Pasal 103 ayat (2) memuat ketentuan bahwa pembuat yang memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dapat dikenakan tindakan berupa:
15.
Pasal 41 berkaitan dengan kemampuan bertanggung jawab, yang dirumuskan
dalam ketentuan, setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana menderita
disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual, tidak dapat dipertanggungjawabkan
dan dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenakan tindakan.
Selanjutnya Pasal 103 ayat (3) memuat ketentuan, tindakan yang dapat
dikenakan pada pembuat yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 42 dikenakan tindakan berupa:
a) rehabilitasi;
b) perawatan di lembaga;
c) konseling;
d) perawatan di rumah sakit jiwa; atau
e) penyerahan kepada pemerintah.
Dari uraian di atas tampak beragamnya bentuk tindakan (matregel) yang dapat
dikenakan kepada seseorang yang memenuhi syarat tertentu itu. Syarat tertentu yang
dimaksudkan oleh Pasal 41 dan Pasal 42 RUU KUHP. Dengan memperhatikan isi
kedua pasal RUU KUHP di atas, dapat disimpulkan bahwa tindakan merupakan suatu
bentuk perlakuan administratif, jadi bukan sanksi dalam arti yang sesungguhnya, yang
dikenakan kepada seseorang yang tidak mampu bertanggung jawab dan atau kurang
mampu bertanggung jawab. Tujuan pengenaan tindakan kepada orang yang tidak
mampu bertanggung jawab atau orang kurang mampu bertanggung jawab, adalah
tujuan membantu orang tersebut guna memperbaiki kondisi yang dialaminya sehingga
beranjak atau berubah menjadi seorang yang mampu bertanggung jawab.
16.
Pidana kerja sosial sebagai jenis pidana pokok, pembayaran ganti kerugian serta
pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam
yang dapat dikenakan bersama-sama dengan pidana pokok berupa:
``Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta
berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh. (QS Al A’raaf/7: 199)``
17.
Ayat Surat Al A’raaf/7: 199 yang dinukilkan di atas menegaskan keberadaan
lembaga permaafan di dalam hukum Islam khususnya di dalam jinayah. Keberadaan
lembaga permaafan ini memungkinkan suatu tindak pidana (jarimah) yang sangat berat
sekalipun, berkaitan dengan penghilangan nyawa, tidak selalu harus diakhir dengan
pidana qishash, hukuman balasan yang setimpal. Kerelaan pihak korban atau
keluarganya memaafkan pelaku tindak pidana, memungkinkan pengalihan pidana
qishash menjadi pidana denda.
18.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jenis-jenis pidana pokok dan pidana tambahan yang terdapat di dalam RUU
KUHP 2016 telah mencerminkan keselarasan dengan nilai-nilai keislaman yang
menekankan pada pengutamaan kemaslahatan masyarakat. Keselarasan ini terletak
pada perimbangan perhatian pada kepentingan pelaku tindak pidana, korban tindak
pidana, serta masyarakat. Demikian halnya dengan jenis tindakan kepada pelaku tindak
pidana, mencerminkan perhatian yang berimbang kepentingan dimaksud.
19.
B. Saran
Adapun saran yang dapat diberikan peneliti berdasarkan hasil penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1) Para aparat penegak hukum hendaknya mengacu dan berpedoman pada peraturan
undang-undang, sehingga tetap membela kepentingan umum atau masyarakat
bukan golongan atau pribadi.
20.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Ebook
Aruan Sakidjo & Bampang Poernomo 1988, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum
Andi Hamzah, 1993, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Jakarta: Pradnya
Paramita, hal. 2.
Sudarto, 1986, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, hal. 42. 168 Muladi, 1992,
Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung: Alumni, hal. 21.
Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto d/a Fakultas Hukum
P.A.F. Lamintang, 1984, Hukum Penitensier Indonesia, Bandung: Armico, hal. 34.
Ibid, hal. 35
Roeslan Saleh, 1983, Stelsel Pidana Indonesia, Jakarta: Aksara Baru, hal. 5. Muladi, 1995,
Barda Nawawi Arief, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung
21.