Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

PIDANA DAN TINDAKAN

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Pidana

Dosen Pengampu :

Dr. Zainul Akhyar, M.H.

Disusun Oleh:

SITI HAPSAH

NIM : 2010112320012

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

2021

i
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur saya panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, nikmat, serta karunia-Nya sehingga Saya dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Pidana dan Tindakan” tepat pada waktunya. Makalah ini ditulis untuk
memenuhi tugas mata kuliah Hukum Pidana yang di ampu oleh Bapak Dr. Zainul Akhyar,
M.H. di Universitas Lambung Mangkurat.

Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Zainul
Akhyar, M.H. selaku dosen mata kuliah Hukum Pidana atas tugas yang telah diberikan
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan terkait dengan bidang yang ditekuni.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kekeliruan dalam penulisan
makalah ini, baik pada teknis penulisan maupun materi yang disajikan. Untuk itu, Saya
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak.

Margasari, 19 Oktober 2021

Siti Hapsah

ii
DAFTAR ISI

JUDUL HALAMAN ................................................................................................................. i

KATA PENGANTAR .............................................................................................................. ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ................................................................................................ 1


B. Rumusan Masalah ......................................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan ........................................................................................................... 1
D. Manfaat Penulisan ......................................................................................................... 2

BAB II KAJIAN TEORI

A. Relevansi ....................................................................................................................... 3
B. Fokus Masalah .............................................................................................................. 3

BAB III PEMBAHASAN

A. Pengertian Sanksi atau Pidana dan Tindakan ................................................................ 4


B. Tujuan Pidana atau Pemidanaan .................................................................................... 7
C. Macam-Macam Pidana dalam KUHP dan RUU KUHP .............................................. 12
D. Pidana dan Tindakan dalam RUU KUHP .................................................................... 14

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................................................. 19
B. Saran ........................................................................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 21

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Makalah ini memuat pembahasan tentang sanksi atau pidana dan tindakan yang
meliputi pengertian, tujuan dan macam-macam sanksi atau pidana yang terdapat baik
di dalam KUHP maupun RUU KUHP. Pembahasan ini juga memperlihatkan
bagaimana sanksi atau pidana sebagai masalah pokok ketiga di dalam hukum pidana,
merupakan resultant atau hasil dari keterpenuhan dua syarat pemidanaan, yakni adanya
tindak pidana berikut semua unsurnya, dan adanya kesalahan berikut unsur-unsurnya.
Dalam pembahasan diperlihatkan bahwa sanksi atau pidana sebenarnya bukan
merupakan tujuan akhir dari penegakan hukum pidana,
melainkan sebagai sarana atau instrumen yang dipergunakan untuk mencapai tujuan
hukum pidana.

B. Rumusan Masalah
1) Apa Pengertian Sanksi atau Pidana dan Tindakan ?
2) Apa Saja Tujuan Pidana atau Pemidanaan ?
3) Apa Saja Macam-Macam Pidana dalam KUHP dan RUU KUHP ?
4) Bagaimana Pidana dan Tindakan dalam RUU KUHP ?

C. Tujuan Penulisan
1) Ingin Mengetahui Pengertian Sanksi atau Pidana dan Tindakan
2) Mengetahui Tujuan Pidana atau Pemidanaan
3) Mengetahui Macam-Macam Pidana dalam KUHP dan RUU KUHP
4) Mengetahui Pidana dan Tindakan dalam RUU KUHP

1
D. Manfaat Penulisan

Berdasarkan tujuan di atas, manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini


adalah sebagai berikut :

a) Secara teoretis

Makalah ini diharapkan mampu memberikan sumbangsih dan


kontribusinya terhadap kajian Pidana dan Tindakan dan disiplin ilmu yang
lainnya. Makalah ini diharapkan dapat dijadikan sebuah karya ilmiah yang
kelak dapat dijadikan sebagai salah satu bahan referensi penelitian serupa.

b) Secara praktis
Manfaat praktis dari hasil penelitian ini di harapkan dapat memberikan
informasi dan pengetahuan mengenai penjelasan kepada mahasiswa tentang
Pengertian Sanksi atau Pidana dan Tindakan, Tujuan Pidana atau Pemidanaan,
Macam-Macam Pidana dalam KUHP dan RUU KUHP, serta Pidana dan
Tindakan dalam RUU KUHP.

2
BAB II
KAJIAN TEORI

A. Relevansi
Secara umum tujuan hukum pidana adalah menciptakan ketertiban, keadilan
dan kedamaian dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara, dengan jalan
mencegah dan melindungi kepentingan-kepentingan hukum baik kepentingan orang-
perorangan atau individu, kepentingan masyarakat atau kolektivitas serta kepentingan
negara atau pemerintah, dari perbuatan-perbuatan yang dapat merugikannya.

Dengan menyimak uraian dan pembahasan di dalam Makalah ini secara


saksama, para pembaca khususnya mahasiswa dapat memahami pengertian dan fungsi
atau arti pentingnya pidana atau tindakan dalam kerangka penegakan hukum, serta
dapat menentukan sikap dan tindakan yang tepat dalam menghadapi berbagai masalah
penegakan hukum dan keadilan. Di bagian akhir Makalah ini juga disertakan tinjauan
tentang pidana ini dari perspektif jinayah.

B. Fokus Masalah
Fokus penelitian ini dimaksudkan untuk membatasi studi kualitatif sekaligus
membatasi penelitian guna memilih mana data yang relevan dan mana yang tidak
relevan. Berdasarkan latar belakang di atas, maka fokus permasalahan dalam penelitian
ini akan di fokuskan pada “Pengertian Sanksi atau Pidana dan Tindakan, Tujuan Pidana
atau Pemidanaan, Macam-Macam Pidana dalam KUHP dan RUU KUHP, serta Pidana
dan Tindakan dalam RUU KUHP”.

3.
BAB III

PEMBAHASAN

A. Pengertian Sanksi atau Pidana dan Tindakan

Kata sanksi pada dasarnya mempunyai pengertian yang netral. Sanksi


merupakan konsekuensi logis dari suatu perbuatan baik itu merupakan perbuatan baik
maupun perbuatan buruk. Dengan demikian sanksi secara umum bisa bersifat positif
dan bisa pula bersifat negatif.

Sanksi dalam pengertian positif, misalnya ketika seorang atlet dalam


perlombaan olah raga tampil sebagai pemenang, maka dia akan menerima medali dan
hadiah. Contoh lain, seorang pelajar berprestasi dalam hal tertentu, maka dia akan dipuji
oleh teman-temannya. Sementara itu sanksi dalam pengertian negatif, misalnya seorang
artis amatiran yang menyanyi dengan suara fals, maka penonton akan menyoraki
supaya turun panggung. Suatu tim olah raga yang sebelumnya sesumbar akan menjadi
juara ternyata gagal memenuhi janjinya, akan dicemooh oleh para supporter.

Dalam bidang hukum kata sanksi cenderung memiliki makna yang berkonotasi
negatif. Sebenarnya dalam hal-hal tertentu, sanksi hukum pun bisa bermakna positif,
sebagai contoh sanksi terhadap orang yang melaporkan adanya kejahatan yang bisa
berupa penghargaan dan hadiah sejumlah uang tertentu.

Dalam bidang hukum pidana, penyebutan sanksi pidana sering dianggap


sebagai penegasan dan pengkhususan yang berlebihan. Oleh karena itu lebih tepat
disebut pidana saja. Bertitik tolak dari pengertian negatif dari kata sanksi, maka pidana
berarti akibat berupa penderitaan yang sengaja diberikan oleh negara kepada seseorang
yang terbukti melakukan tindak pidana dan mempunyai kesalahan.

4.
Pengertian pidana sebagai sanksi berupa penderitaan yang sengaja dikenakan
negara kepada seorang yang terbukti melakukan tindak pidana dan mempunyai
kesalahan, berkaitan dengan asas legalitas yang terkandung di dalam Pasal 1 ayat (1)
KUHP (Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP). Asas legalitas ini sering juga disebut sebagai
asas nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenale. Asas ini pada mulanya
diperkenalkan oleh Anselm von Fuerbach. Menurut asas legalitas ini tiada suatu
perbuatan yang dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuan perundang-undangan
pidana yang telah ada sebelumnya.

Jadi untuk mengenakan poena atau pidana diperlukan undang-undang pidana


terlebih dahulu. Pembentuk undang-undanglah yang menyatakan peraturan-peraturan
tentang pemidanaannya, tidak hanya tentang crimen atau delictum-nya, tetapi juga
tentang perbuatan mana yang dapat dikenakan pidana.

Berikut ini diberikan pengertian pidana menurut beberapa ahli.

• Menurut Ted Honderich, pidana adalah suatu pengenaan pidana yang dijatuhkan
oleh penguasa, berupa kerugian atau penderitaan, kepada pelaku tindak pidana.
Dalam pandangan Rupert Cross, pidana merupakan pengenaan penderitaan oleh
negara kepada seseorang yang telah dipidana karena suatu kejahatan.

• Menurut Sudarto, pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang
yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.

• Pengertian pidana juga diberikan olen van Hamel. Van Hamel memberikan arti
pidana (straft) menurut hukum positif yakni, suatu penderitaan yang bersifat
khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang

5.
untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggungjawab dari
ketertiban hukum hukum umum bagi seorang pelanggar hukum, yakni semata-mata
karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus
ditegakkan oleh negara.
• Simons memberikan pengertian tentang pidana (straft), yakni suatu penderitaan
yang oleh undang-undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap
suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang
yang bersalah.

• Menurut Roeslan Saleh, pidana merupakan reaksi atas delik dan ini berwujud suatu
nestapa yang sengaja ditimpakan oleh negara kepada pembuat delik.

• Muladi mengartikan pidana sebagai suatu pengenaan penderitaan, yang dilakukan


dengan sengaja oleh orang atau lembaga yang mempunyai kekuasaan atau
wewenang, terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut
undang-undang.

• H.L.A. Hart berpendapat bahwa ciri-ciri atau karakteristik pidana adalah:


a) mengandung penderitaan atau konsekuensi-konsekuensi lain yang tidak
menyenangkan;
b) dikenakan pada seseorang yang benar-benar atau disangka benar melakukan
tindak pidana;
c) dikenakan berhubung suatu tindak pidana yang melanggar ketentuan hukum;
d) dilakukan dengan sengaja oleh orang selain pelaku tindak pidana;
e) dijatuhkan dan dilaksanakan oleh penguasa sesuai dengan ketentuan suatu
sistem hukum yang dilanggar oleh tindak pidana tersebut.

6.
Sejalan dengan ciri-ciri atau karakteristik pidana yang dikemukakan Hart di
atas, selanjutnya Alf Ross menyatakan bahwa pidana merupakan reaksi sosial yang
mempunyai ciri-ciri:

a) terjadi berhubung dengan adanya pelanggaran terhadap suatu aturan hukum;


b) dijatuhkan dan dilaksanakan oleh orang-orang yang berkuasa sehubungan
dengan tertib hukum yang dilanggar;
c) mengandung penderitaan atau paling tidak konsekuensi-konsekuensi lain yang
tidak menyenangkan dan;
d) menyatakan pencelaan terhadap si pelanggar.

Bertitik tolak dari beberapa pengertian dan karakteristik pidana (punishment


atau straft) tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pidana-menurut Muladi– selalu
mengandung unsur-unsur:

a) pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau


akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;
b) diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan
(oleh yang berwenang);
c) dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut
undang-undang.

B. Tujuan Pidana atau Pemidanaan

Dalam bekerjanya hukum pidana, pemberian pidana atau pemidanaan dalam arti
konkret, yakni pada terjadinya perkara pidana, bukanlah tujuan akhir. Pidana
sebenarnya merupakan sarana belaka untuk mewujudkan tujuan hukum pidana.

7.
Tentang tujuan hukum pidana dapat disimak dari pandangan Sudarto tentang
fungsi hukum pidana. Fungsi umum hukum pidana adalah mengatur hidup
kemasyarakatan atau menyelenggarakan tata dalam masyarakat. Sementara itu, fungsi
khusus hukum pidana adalah melindungi kepentingan hukum dari perbuatan yang
hendak merugikannya dengan menggunakan sanksi yang berupa pidana yang sifatnya
lebih tajam dibandingkan dengan sanksi yang terdapat dalam bidang hukum lainnya.

Dalam rumusan redaksional yang lain, dikemukakan oleh Muladi bahwa fungsi
hukum pidana pada dasarnya adalah melindungi sekaligus menjaga keseimbangan
antara kepentingan negara dan masyarakat, kepentingan si pelaku tindak pidana dan
kepentingan si korban.

Sementara itu, menurut S.R. Sianturi, tujuan hukum pidana pada umumnya
adalah untuk melindungi kepentingan orang perorangan (individu) atau hak-hak asasi
manusia dan melindungi kepentingan-kepentingan masyarakat dan negara dengan
perimbangan yang serasi dari perbuatan-perbuatan yang merugikan di satu pihak dan
dari tindakan penguasa yang sewenang-wenang di lain pihak.180

Dari pandangan tiga ahli hukum pidana di atas, terlihat bahwa pidana atau
pemberian pidana pada dasarnya merupakan cara atau sarana yang ditempuh untuk
mewujudkan tujuan hukum pidana. Sejalan dengan tujuan hukum pidana itu,
penggunaan pidana sebagai sarana mendorong lahirnya berbagai pemikiran teoretis
tentang tujuan pidana atau pemberian pidana itu.

Di dalam ilmu hukum pidana, dikenal tiga macam teori tentang tujuan
pemidanaan.

1) teori pembalasan (retributif/absolut).


Menurut teori ini tujuan penjatuhan pidana itu adalah pembalasan atau
pengimbalan kepada seseorang yang telah melakukan perbuatan yang merugikan
atau tindak pidana.

8.
2) teori relatif atau tujuan.
Menurut teori ini, penjatuhan pidana bertujuan untuk menjerakan dan
mencegah pengulangan tindak pidana baik oleh orang itu sendiri maupun oleh
orang-orang lain (prevensi khusus dan prevensi umum).

3) teori gabungan.
Menurut teori ini, tujuan pemidanaan itu mencakup baik pembalasan
maupun penjeraan dan pencegahan sekaligus juga untuk memperbaiki mentalitas si
pelaku tindak pidana itu.

Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, dalam


penjelasan umumnya memuat pernyataan bahwa tujuan pemidanaan adalah upaya
untuk menyadarkan narapidana dan anak pidana untuk menyesali perbuatannya, dan
mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat kepada hukum,
menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagamaan, sehingga tercapai
kehidupan masyarakat yang aman, tertib dan damai. Tujuan pemidanaan dalam
Undang-Undang Pemasyarakatan ini condong pada tujuan pemidanaan menurut teori
gabungan tersebut di atas.

RUU KUHP Nasional 2016 berupaya mengadopsi tujuan pemidanaan yang


gabungan tersebut, sebagaimana disebutkan pada Pasal 55. Menurut Pasal 55 ayat (1)
pemidanaan bertujuan untuk:

a) mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi


pengayoman masyarakat;
b) memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi
orang yang baik dan berguna;

9.
c) menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan
d) membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Kemudian, pada Pasal 55 ayat (2) disebutkan bahwa pemidanaan tidak


dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia. Dalam
melakukan penjatuhan pidana, pembentuk RUU KUHP mewajibkan hakim untuk
mempertimbangkan berbagai hal, yang merupakan pedoman pemidanaan. Pasal 56 ayat
(1), memuat hal-hal yang wajib dipertimbangkan hakim dalam melakukan pemidanaan:

a) kesalahan pembuat tindak pidana;


b) motif dan tujuan melakukan tindak pidana;
c) sikap batin pembuat tindak pidana;
d) tindak pidana dilakukan apakah direncanakan atau tidak direncanakan;
e) cara melakukan tindak pidana
f) sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana;
g) riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat tindak pidana;
h) pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana;
i) pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban; dan atau
j) pemaafan dari korban dan/atau keluarganya; dan atau;
k) pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.

10.
Dalam rangkaian pedoman pemidanaan ini, Pasal 56 ayat (2) menetapkan
bahwa “Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat atau keadaan pada waktu
dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan
untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan
mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.”

Pasal 56 ayat (2) tersebut memuat gagasan baru berupa lembaga permaafan atau
lembaga kewenangan hakim memberi maaf (Belanda: rechterlijk pardon; Inggeris:
judicial pardon). Lembaga permaafan ini merupakan suatu kewenangan yang diberikan
kepada hakim dalam menjatuhkan putusan atas perkara pidana yang diperiksanya,
yakni kewenangan untuk tidak menjatuhkan pidana ataupun tindakan kepada pelaku
yang telah terbukti melakukan tindak pidana dan bersalah.

Berdasarkan asas-asas hukum pidana pada umumnya, seseorang yang telah


terbukti secara bersalah melakukan tindak pidana, maka kepada orang tersebut telah
dapat dijatuhi pidana. Akan tetapi RUU KUHP berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan tertentu, memberikan kewenangan kepada hakim untuk memberi maaf
atau pengampunan kepada si pembuat tanpa menjatuhkan pidana atau tindakan
apapun.181 Ketentuan tentang lembaga permaafan ini dituangkan di dalam Pasal 56
ayat (2) sebagai bagian dari pedoman pemidanaan.

Dari ketentuan tersebut, terlihat beberapa faktor yang secara alternatif harus
terpenuhi untuk dipertimbangkan sehingga hakim dapat mempergunakan
kewenangannya untuk memaafkan.

a) tindak pidana yang dilakukan secara umum memang dipandang sebagai tindak
pidana yang ringan.
b) keadaan pribadi si pembuat ketika perbuatan itu dilakukan.
c) keadaan pada waktu dilakukannya perbuatan.
d) keadaan yang terjadi kemudian setelah dilakukannya perbuatan.

11
Selanjutnya terlihat bahwa ketentuan tersebut bersifat memberikan kewenangan
dalam rumusan kata-kata dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan
pidana atau mengenakan tindakan. Perumusan demikian itu berarti bahwa meskipun
syarat-syarat yang menimbulkan kewenangan dimaksud telah terpenuhi, namun hakim
yang memiliki kewenangan tidaklah wajib menjalankan, dalam arti dapat menggunakan
wewenang itu dan dapat pula tidak.

C. Macam-Macam Pidana dalam KUHP dan RUU KUHP

Pemidanaan dalam arti konkret diikuti dengan penjatuhan sanksi atau pidana.
Sanksi atau pidana ini dapat dibedakan menjadi

1. pidana dalam arti yang sesungguhnya


Pidana dalam arti yang sesungguhnya meliputi pidana pokok dan pidana tambahan.
Pidana dalam arti yang sesungguhnya merupakan akibat logis yang berupa
pengenaan penderitaan secara sengaja kepada pelaku tindak pidana.
2. pidana dalam arti bukan yang sesungguhnya.
Pidana dalam arti bukan yang sesungguhnya, lebih merupakan tindakan
pertolongan kepada pelaku tindak pidana untuk dapat keluar dari kondisi yang
membelenggunya yang telah mendorongnya melakukan tindak pidana.

Perbedaan utama antara pidana pokok dengan pidana tambahan adalah pada
kemandiriannya, yakni pidana pokok dapat dijatuhkan bersama dengan pidana
tambahan ataupun tidak bersama pidana tambahan, sedangkan pidana tambahan selalu
dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok. Jadi pidana tambahan tidak mungkin
dijatuhkan tanpa pidana pokok.

12.
KUHP eks WvS memuat macam-macam sanksi pidana di dalam Pasal 10.
Berdasarkan Pasal 10 KUHP sanksi pidana dibedakan menjadi pidana pokok dan
pidana tambahan.

Pidana pokok terdiri dari:

a) pidana mati,
b) pidana penjara,
c) pidana tutupan,
d) pidana kurungan,
e) pidana denda.

Pidana tambahan terdiri dari:

a) pencabutan beberapa hak tertentu,


b) perampasan barang tertentu, dan
c) pengumuman putusan hakim.

Pidana mati, di masa lalu dijalankan oleh algojo pada tempat gantungan dengan
menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana, kemudian
menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri. Cara pelaksanaan (eksekusi) demikian itu
telah ditinggalkan. Di masa sekarang, pidana mati dilaksanakan oleh regu tembak.

Pidana penjara merupakan suatu pidana berupa perampasan kemerdekaan, baik


seumur hidup atau selama waktu tertentu. Sementara itu, pidana kurungan dilaksanakan
paling sedikit satu hari dan paling lama satu tahun. Pidana denda berupa kewajiban
melakukan pembayaran dengan sejumlah uang tertentu atau kalau tidak dibayar maka
diganti dengan kurungan.

13.
Pidana tutupan merupakan pidana yang disediakan bagi para politisi yang
melakukan kejahatan yang disebabkan oleh ideologi yang dianutnya. Dalam praktik
peradilan dewasa ini, ketentuan tentang pidana tutupan ini tidak pernah diterapkan.

Dalam penjatuhan pidana tambahan, diputuskan oleh hakim secara bersamaan


dengan penjatuhan pidana pokok. Penjatuhan pidana tambahan ini bersifat fakultatif,
artinya dapat dijatuhkan tetapi tidak harus selalu dijatuhkan. Perihal perlu atau tidaknya
penjatuhan pidana tambahan, sepenuhnya bergantung pada pertimbangan hakim.

D. Pidana dan Tindakan dalam RUU KUHP

Di dalam RUU KUHP 2016, pidana pokok yang tertuang dalam Pasal 66 ayat
(1) meliputi:

a) pidana penjara;
b) pidana tutupan;
c) pidana pengawasan;
d) pidana denda; dan
e) pidana kerja sosial.

Menurut Pasal 66 ayat (2), urutan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
itu menentukan berat ringannya pidana. Dalam pada itu, menurut Pasal 69A, pidana
mati merupakan pidana yang bersifat khusus dan selalu diancam secara alternatif,
dalam arti tidak selalu harus menggunakan pidana mati).

14.
Pidana tambahan yang biasanya dijatuhkan bersama-sama dengan pidana
pokok, menurut Pasal 68 ayat (1) meliputi:

a) pencabutan hak tertentu;


b) perampasan barang tertentu dan atau tagihan;
c) pengumuman putusan hakim;
d) pembayaran ganti kerugian; dan
e) pencabutan surat izin mengemudi; dan
f) pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang
hidup dalam masyarakat.

Sementara itu, sanksi atau pidana yang bukan dalam arti sesungguhnya
melainkan lebih bersifat administratif disebut dengan tindakan (matregel). Menurut
Pasal 103 ayat (1) tindakan yang dapat dikenakan bersama-sama dengan pidana pokok
berupa:

a) perbaikan akibat tindak pidana;


b) latihan kerja;
c) rehabilitasi;
d) perawatan di lembaga; dan/atau
e) konseling.

Pasal 103 ayat (2) memuat ketentuan bahwa pembuat yang memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dapat dikenakan tindakan berupa:

a) perawatan di rumah sakit jiwa;


b) penyerahan kepada pemerintah; atau
c) penyerahan kepada seseorang.

15.
Pasal 41 berkaitan dengan kemampuan bertanggung jawab, yang dirumuskan
dalam ketentuan, setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana menderita
disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual, tidak dapat dipertanggungjawabkan
dan dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenakan tindakan.

Selanjutnya Pasal 103 ayat (3) memuat ketentuan, tindakan yang dapat
dikenakan pada pembuat yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 42 dikenakan tindakan berupa:

a) rehabilitasi;
b) perawatan di lembaga;
c) konseling;
d) perawatan di rumah sakit jiwa; atau
e) penyerahan kepada pemerintah.

Dari uraian di atas tampak beragamnya bentuk tindakan (matregel) yang dapat
dikenakan kepada seseorang yang memenuhi syarat tertentu itu. Syarat tertentu yang
dimaksudkan oleh Pasal 41 dan Pasal 42 RUU KUHP. Dengan memperhatikan isi
kedua pasal RUU KUHP di atas, dapat disimpulkan bahwa tindakan merupakan suatu
bentuk perlakuan administratif, jadi bukan sanksi dalam arti yang sesungguhnya, yang
dikenakan kepada seseorang yang tidak mampu bertanggung jawab dan atau kurang
mampu bertanggung jawab. Tujuan pengenaan tindakan kepada orang yang tidak
mampu bertanggung jawab atau orang kurang mampu bertanggung jawab, adalah
tujuan membantu orang tersebut guna memperbaiki kondisi yang dialaminya sehingga
beranjak atau berubah menjadi seorang yang mampu bertanggung jawab.

Dilihat dari sudut pandang keislaman, jenis-jenis pidana yang diancamkan


kepada pelaku tindak pidana, baik pidana pokok maupun pidana tambahan, serta
tindakan telah mencerminkan penghargaan yang tinggi kepada nilai-nilai kemanusiaan
baik dari sisi pelaku tindak pidana maupun dari sisi korban tindak pidana dan
masyarakat.

16.
Pidana kerja sosial sebagai jenis pidana pokok, pembayaran ganti kerugian serta
pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam
yang dapat dikenakan bersama-sama dengan pidana pokok berupa:

a) perbaikan akibat tindak pidana;


b) latihan kerja;
c) rehabilitasi;
d) perawatan di lembaga; dan/atau
e) konseling.

Masyarakat, mencerminkan bahwa penyelesaian suatu perkara tidak semata-


mata diukur menurut kepentingan pelaku tindak pidana, tetapi juga kepentingan pihak
korban serta keseimbangan relasi di dalam masyarakat. Gambaran ini memperlihatkan
keselarasan dengan nilai-nilai keislaman yang menekankan pada kemaslahatan
masyarakat secara keseluruhan.

Selanjutnya juga patut diperhatikan pedoman pemidanaan yang terdapat di


dalam RUU KUHP 2016 ini, khususnya butir j. pemaafan dari korban dan atau
keluarga. Keberadaan lembaga permaafan yang diakomodasi di dalam RUU KUHP ini
selain merujuk pada fakta-fakta empiris keberadaan lembaga permaafan di dalam
hukum adat masyarakat di Indonesia, juga keberadaan lembaga permaafan di dalam
hukum Islam yang meliputi jinayah.

Dorongan untuk diterapkannya permaafan di dalam penyelesaian perkara


pidana di dalam hukum Islam, dapat dilihat di dalam Al Quran.

``Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta
berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh. (QS Al A’raaf/7: 199)``

17.
Ayat Surat Al A’raaf/7: 199 yang dinukilkan di atas menegaskan keberadaan
lembaga permaafan di dalam hukum Islam khususnya di dalam jinayah. Keberadaan
lembaga permaafan ini memungkinkan suatu tindak pidana (jarimah) yang sangat berat
sekalipun, berkaitan dengan penghilangan nyawa, tidak selalu harus diakhir dengan
pidana qishash, hukuman balasan yang setimpal. Kerelaan pihak korban atau
keluarganya memaafkan pelaku tindak pidana, memungkinkan pengalihan pidana
qishash menjadi pidana denda.

18.
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Uraian dan pembahasan dalam di atasi telah memperlihatkan bahwa pidana


atau tindakan pada hakikatnya merupakan sarana atau instrumen dari hukum pidana
untuk mencapai dan mewujudkan tujuannya. Secara hierarkis dan struktural, tujuan
hukum pidana yang ingin diwujudkan melalui penegakan hukum pidana yang didukung
dengan pengenaan pidana dan atau tindakan itu, pada dasarnya bukan tujuan akhir
melainkan tujuan antara (intermedier) untuk mewujudkan tujuan hukum pada
umumnya, yakni sebagai sarana untuk mewujudkan fungsi dan tujuan negara, dalam
hal ini adalah sebagaimana tertuang di dalam alinea ke IV Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945.

Jenis-jenis pidana pokok dan pidana tambahan yang terdapat di dalam RUU
KUHP 2016 telah mencerminkan keselarasan dengan nilai-nilai keislaman yang
menekankan pada pengutamaan kemaslahatan masyarakat. Keselarasan ini terletak
pada perimbangan perhatian pada kepentingan pelaku tindak pidana, korban tindak
pidana, serta masyarakat. Demikian halnya dengan jenis tindakan kepada pelaku tindak
pidana, mencerminkan perhatian yang berimbang kepentingan dimaksud.

19.
B. Saran
Adapun saran yang dapat diberikan peneliti berdasarkan hasil penelitian ini
adalah sebagai berikut :

1) Para aparat penegak hukum hendaknya mengacu dan berpedoman pada peraturan
undang-undang, sehingga tetap membela kepentingan umum atau masyarakat
bukan golongan atau pribadi.

2) Pemerintah dan aparat keamanan diharapkan agar dapat meningkatkan upaya


pencegahan untuk mencegah atau mengurangi terjadinya perdagangan orang human
trafficking diantaranya seperti meningkatkan kualitas pendidikan masyarakat,
menyediakan lapangan pekerjaan yang luas, meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan sosialisasi undang-undang serta kesadaran hukum kepada
masyarakat.

20.
DAFTAR PUSTAKA

Sumber Ebook

Aruan Sakidjo & Bampang Poernomo 1988, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum

Hukum Pidana Kodifikasi, Jakarta: Ghalia Indonesia, hal. 69.

Andi Hamzah, 1993, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Jakarta: Pradnya

Paramita, hal. 2.

Sudarto, 1986, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, hal. 42. 168 Muladi, 1992,
Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung: Alumni, hal. 21.

Ibid, hal. 22.

Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto d/a Fakultas Hukum

Universitas Diponegoro, hal. 9.

P.A.F. Lamintang, 1984, Hukum Penitensier Indonesia, Bandung: Armico, hal. 34.

Ibid, hal. 35

Roeslan Saleh, 1983, Stelsel Pidana Indonesia, Jakarta: Aksara Baru, hal. 5. Muladi, 1995,

Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit Universitas


Diponegoro, hal. 106.

Barda Nawawi Arief, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung

Citra Aditya Bakti, hal. 97.

21.

Anda mungkin juga menyukai