Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PUTUSAN HAKIM
Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tindak Pidana Korupsi

Dosen Pengampu:
RADINI, S.H.,M.H.

Disusun Oleh:
Egi Prasetio (120205
Muhammad Alfarizi (12020516607)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS SULTAN SYARIF KASIM RIAU
(2023)
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah yang berjudul “Putusan Hakim” dapat tersusun sampai dengan selesai.Atas
dukungan moral dan materil yang diberikan dalam penyusunan makalah ini,baik dari
segi materi,referensi dan lain sebagainya, maka penulis mengucapkan terimakasih
kepada Bapak Radini, S.H.,M.H. selaku dosen pengampu mata kuliah Hukum
Perbankan Syariah.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan
dan pengalaman bagi pembaca.Dan juga penulis menyadari bahwa makalah ini jauh
dari kata sempurna dan masih terdapat beberapa kekurangan, oleh karena itu penulis
sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca untuk
menyempurnakan makalah ini.

Pekanbaru, 7 Maret 2023,

Penulis.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... i


DAFTAR ISI ...................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang .................................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................................... 2
1.3. Tujuan Penulisan ................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................. 3
2.1. Defenisi Putusan Hakim ...................................................................................... 3
2.2. Pidana Menurut Pasal 10 KUHP .........................................................................
2.3. Teori Pemidanaan ...............................................................................................
2.4. Konsep Pemidanaan ............................................................................................
2.5. Bentuk Putusan Hakim dalam KUHAP ..............................................................
BAB III PENUTUP ...........................................................................................................
3.1.Kesimpulan .........................................................................................................
3.2.Saran ....................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU
Korupsi) dalam konsiderans menimbang bahwa tindak pidana korupsi yang selama
ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah
merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas.
Putusan hakim menjadi kunci dari keberhasilan pemberantasan tindak pidana korupsi
di Indonesia.
Pasal 1 angka 11 KUHAP menentukan, putusan Hakim atau putusan
pengadilan adalah pernyataan hakim yang dinyatakan dalam sidang terbuka, yang
dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal
serta menurut acara yang diatur dalam undang-undang. Fenomena putusan hakim
dengan menjatuhkan pidana yang berat terutama putusan hakim Mahkamah Agung
(MA) diharapkan dapat menimbulkan efek jera bagi para koruptor.
Sebagai contoh, putusan hakim MA terhadap terdakwa R.S. anggota direksi
Asuransi Kredit Indonesia (ASKRINDO) yang divonis penjara 15 (lima belas) tahun
dan denda Rp 1.000.000,- (satu milyar rupiah). Hukuman ini lebih berat 10 tahun dari
putusan Pengadilan Tipikor yang dijatuhkan sebelumnya. Putusan hakim dengan
menjatuhkan pidana yang berat terhadap tersangka tindak pidana korupsi perlu diberi
apresiasi dalam upaya memerangi korupsi.

1.2.Rumusan Masalah.
Baiklah,agar penyusunan makalah ini berjalan dengan semestinya,maka
penulis merincikan masalah-masalah berikut:
A. Apa defenisi dari putusan hakim ?
B. Bagaimana pidana menurut pasal 10 KUHP ?
C. Apa saja teori pemidanaan ?
D. Bagaimana konsep pemidanaan ?
E. Bagaimana bentuk putusan hakim dalam KUHAP ?

1
1.3.Tujuan Penulisan.
Untuk mengetahui tujuan dari pembuatan makalah ini,penulis merincikan
beberapa tujuan dari pembuatan makalah ini:
A. Mengetahui defenisi dari putusan hakim;
B. Mengetahui pidana menurut pasal 10 KUHP;
C. Mengetahui teori pemidanaan;
D. Mengetahui konsep pemidanaan;
E. Mengetahui bentuk putusan hakim dalam KUHAP.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Defenisi Putusan Hakim.


Putusan hakim merupakan kumlminasi dari proses kerja intelektual hakim
setelah memeriksa suatu perkara. Putusan hakim tidak dapat dipahami hanya dari
perspektif yuridis semata, melainkan harus dipahami dalam perspektif yang lebih
komprehensif. Menurut Sudikno Mertokusumo, putusan hakim adalah suatu
pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu,
diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu
perkara atau masalah antar pihak. Bukan hanya yang diucapkan saja yang disebut
putusan, melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan
kemudian diucapkan oleh Hakim di persidangan. Sebuah konsep putusan (tertulis)
tidak mempunyai kekuatan sebagai putusan sebelum diucapkan di persidangan oleh
hakim.1
Putusan akhir dalam suatu sengketa yang diputuskan oleh hakim yang
memeriksa dalam persidangan umumnya mengandung sangsi berupa hukuman
terhadap pihak yang dikalahkan dalam suatu persidangan di pengadilan. Sanksi
hukuman ini baik dalam Hukum Acara Perdata maupun Hukum Acara Pidana
pelaksanaannya dapat dipaksakan kepada para pelanggar hak tanpa pandang bulu,
hanya saja bedanya dalam Hukum Acara Perdata hukumannya berupa pemenuhan
prestasi dan atau pemberian ganti rugi kepada pihak yang telah dirugikan atau yang
dimenangkan dalam persidangan pengadilan dalam suatu sengketasedangkan dalam
Hukum Acara Pidana umumnya hukumannya penjara dan atau denda.2

2.2. Pidana Menurut Pasal 10 KUHP.


Jenis-jenis pidana tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP). Dalam Pasal 10 KUHP disebutkan, pidana terdiri atas: pidana pokok:
meliputi pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana
tutupan. pidana tambahan: meliputi pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-
barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.

1
M. Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata, cet. III, Sinar Grafika Offset, Jakarta, 2003, hlm 48.
2
Moh. Taufik Makarao, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Cetakan I, Rineka Cipta, Jakarta, 2004,
hlm 124.

3
Pidana pokok
Pidana mati
Pidana mati masih diterapkan di Indonesia hingga saat ini. Penerapan
hukuman ini terus menuai pro dan kontra dari berbagai pihak. Masyarakat yang
kontra dengan hukuman mati menganggap bahwa pidana tersebut tidak manusiawi,
merampas hak asasi manusia yang dijamin UUD 1945, dan bertentangan dengan
prinsip kemanusiaan yang ada dalam Pancasila. Sementara itu, masyarakat yang
setuju menilai hukuman mati sesuai dengan tujuan hukum pidana, yaitu mencegah
terjadinya kejahatan dan melindungi kepentingan perorangan. Pidana mati dianggap
dapat menimbulkan efek jera bagi masyarakat.
Pidana penjara
Jika seorang terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang
didakwakan kepadanya, maka pengadilan akan menjatuhkan hukuman pidana.
Misalnya, seorang terdakwa yang divonis oleh pengadilan dua bulan penjara.
Hukuman jenis ini termasuk jenis hukuman penjara. Pidana penjara membatasi
kemerdekaan atau kebebasan terpidana dengan menempatkannya di dalam lembaga
pemasyarakatan (Lapas).
Pidana kurungan
Sama seperti hukuman penjara, hukuman kurungan juga menghilangkan
kemerdekaan bergerak terpidana. Namun, hukuman kurungan lebih ringan dibanding
hukuman penjara. Salah satunya terkait pekerjaan yang wajib dilakukan. Selain itu,
pelaksanaan pidana kurungan juga tidak lama. Pidana kurungan dilaksanakan paling
sedikit satu hari dan paling lama satu tahun. Pidana denda
Pidana denda diancamkan pada banyak jenis pelanggaran, baik secara
alternatif maupun berdiri sendiri. Pidana denda yang tidak dibayar harus diganti
dengan pidana kurungan. Lamanya pidana kurungan pengganti paling sedikit satu
hari dan paling lama enam bulan.
Pidana tutupan
Pidana tutupan ditujukan untuk politisi yang melakukan kejahatan yang
disebabkan oleh ideologi yang dianutnya. Namun, dalam praktik peradilan saat ini,
pidana tersebut tidak pernah diterapkan. Mengacu pada UU Nomor 20 Tahun 1946
tentang Hukuman Tutupan, hukuman ini dimaksudkan untuk menggantikan hukuman
penjara.

4
Pidana tambahan
Pencabutan hak-hak tertentu
Hakim boleh menjatuhkan pidana pencabutan hak-hak tertentu jika diberi
wewenang oleh undang-undang yang diancamkan pada tindak pidana yang dilakukan.
Menurut KUHP, hak-hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut, yakni:
 hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu,
 hak memasuki TNI,
 hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-
aturan umum, hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapan
pengadilan,
 hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas
orang yang bukan anak sendiri,
 hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan
atas anak sendiri, hak menjalankan mata pencarian tertentu.
Perampasan barang-barang tertentu
Dalam KUHP, ada dua jenis barang milik terpidana yang dapat dirampas
melalui putusan hakim, yakni: barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh
dari kejahatan, dan barang yang sengaja digunakan untuk melakukan kejahatan.
Sesuai prinsip pidana tambahan, hukuman perampasan barang-barang tertentu tidak
merupakan keharusan untuk dijatuhkan.
Pengumuman putusan hakim
Pidana pengumuman putusan hakim berbeda dengan putusan hakim yang
diucapkan dalam persidangan terbuka. Pidana pengumuman putusan hakim
merupakan bentuk publikasi tambahan dari suatu putusan pemidanaan terhadap
seseorang di pengadilan. Dalam pengumuman putusan hakim ini, hakim bebas untuk
memilih cara yang digunakan. Tujuan dari pidana ini adalah sebagai langkah
preventif untuk memberitahu masyarakat agar berhati-hati dan waspada sehingga
terhindar dari kejahatan tersebut.
Pasal 10
Waktu Tindak Pidana dalam ketentuan ini misalnya:
a. saat perbuatan fisik dilakukan;
b. saat bekerjanya alat atau bahan untuk menyempurnakan Tindak Pidana; atau
c. saat timbulnya akibat Tindak Pidana.
Ketentuan ini tidak membedakan antara Tindak Pidana formil dan Tindak
Pidana materiil.

5
2.3. Teori Pemidanaan.
Teori adalah pendapat yang dikemukakan sebagai keterangan mengenai suatu
peristiwa. Imre Lakatos memberi arti teori sebagai hasil pemikiran yang tidak akan
musnah dan hilang begitu saja, ketika teori lain muncul. Kemunculan teori disusul
teori lainnya pada dasarnya merupakan keanekaragaman dalam sebuah penelitian.
Terkait dengan teori hukum lan Mel cod, ia memberi definisi legal theory atau teori
hukum sebagai sesuatu yang mengarah kepada analisis teoretis secara sistematis
terhadap sifat-sifat dasar hukum, aturan-aturan hukum atau institusi hukum secara
umum John Finch memberi pengertian teori hukum sebagai studi yang meliputi
karakteristik mendasar dari hukum dan kebiasaan dalam suatu sistem hukum.3
Teori pemidanaan secara garis besar dibagi menjadi tiga, pertama, teori
abolut; kedua, teori relatif; dan ketiga, teori gabungan, namun dalam
perkembangannya selain tiga teori itu ada juga teori - teori kontemporer.4 Menurut
teori absolut, pembalasan adalah legitimasi pemidanaan, Negara berhak menjatuhkan
pidana, karena penjahat telah melakukan penyerangan dan perkosaan pada hak dan
kepentingan hukum yang dilindungi Penjatuhan pidana pada dasarnya penderitaan
pada penjahat dibenarkan karena penjahat telah membuat penderitaan bagi orang lain.
Setiap kejahatan tidak boleh tidak diikuti oleh pidana bagi pembuatnya, tidak
dilihat akibat-akibat apa yang dapat timbul dari penjatuhan pidana itu, tidak
memperhatikan masa depan, baik terhadap diri penjahat maupun masyarakat
Selanjutnya, teori absolut atau teori pembalasan yang menjadi dasar pijakan aliran
klasik terdiri atas, pembalasan subjektif dan pembalasan objektif Pembalasan
subjektif adalah pembalasan kesalahan pelaku, pembalasan terhadap pelaku yang
tercela, sedangkan pembalasan objektif adalah pembalasan terhadap perbuatan apa
yang telah dilakukan oleh pelaku Penganut He teori absolut ini antara lain adalah
Immanuel Kant. Hegel, Herbert dan Julius Stahl.
Berdasarkan pendapat Kant, pidana adalah etik, praktisnya adalah suatu
ketidakadilan, sehingga kejahatan harus dipidana Tindakan pembalasan di dalam
penjatuhan pidana mempunyai dua arah sebagai berikut.
1. Ditujukan pada penjahatnya (sudut subjektif dari pembalasan);

3
Edward Omar Sjarif Hiariej, Disertasi, 4 sas Legalitas Dalam Pelanggaran HAM Yang Berat
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2009, hlm. 115.
4
Eddy O.S. Hiariej, Op.Ci., hlm. 31.

6
2. Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam di kalangan
masyarakat (sudut objektif dari pembalasan).
Teori pemidanaan selanjutnya disebut sebagai teori relatif, teori relatif atau
teori tujuan juga disebut sebagai teori utilitarian yang lahir sebagai reaksi terhadap
teori absolut. Disebut sebagai teori tujuan atau relasi, karena dalam hal ini antara
ketidakadilan dan pidana bukanlah hubungan secara apriori.", Hubungan antara
keduanya tersebut dikaitkan dengan tujuan yang hendak dicapai pidana, yaitu
perlindungan kebendaan hukum dan penangkal ketidakadilan." Secara garis besar
tujuan pidana menurut teori relatif bukanlah semata pembalasan, tetapi untuk
mewujudkan ketertiban di dalam masyarakat. Koeswadji mengemukakan bahwa
tujuan pokok dari pemidanaan adalah sebagai berikut."5
1. Untuk mempertahankan ketertiban masyarakat (dehandhaving van de
maatschappelijke orde);
2. Untuk memperbaiki kerugian yang diderita oleh masyarakat sebagai akibat
dari terjadinya kejahatan (het herstel van het doer de misdaad onstane
maatschappelijke nadeel);
3. Untuk memperbaiki si penjahat (verbetering vande dader);
4. Untuk membinasakan si penjahat (onschadelijk maken van de misdadiger);
dan
5. Untuk mencegah kejahatan (tervoorkonning van de misdaad).
Mengenai teori relatif Muladi dan Barda Nawai Arief menjelaskan sebagai
berikut. 6 Pidana bukan sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan
kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-
tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu, teori ini pun sering juga disebut
teori tujuan (utilitarian theory). Jadi, dasar pembenaran adanya pidana menurut teori
ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan "quia pecatum est"
(karena orang membuat kejahatan) melainkan "nepeccetur" (supaya orang jangan
melakukan kejahatan).
Filsuf Inggris Jeremy Bentham ialah tokoh yang pendapatnya dapat dijadikan
landasan dari teori ini. Menurut Jeremy Bentham, manusia merupakan orang yang
rasional yang akan memilih secara sadar kesenangan dan menghindari kesusahan.
Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, teori relatif ini dibagi dua yaitu prevensi
umum (generale preventie), prevensi khusus (speciale preventie). E Utrecht

5
Koeswadji, 1995, Perkembangan Macam-macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum
Pidana Cetakan I, Citra Aditya Bakti, Bandung hlm. 12.
6
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, him.16

7
berpendapat mengenai prevensi umum dan prevensi khsusus tersebut, sebagai berikut
"Prevensi umum bertujuan untuk menghindarkan, supaya orang pada umumnya tidak
melanggar. Prevensi khusus bertujuan menghindarkan supaya pembuat (dader) tidak
melanggar " Menurut teori pencegahan umum, pidana yang dijatuhkan kepada
penjahat ditujukan agar orang-orang (umum) menjadi takut untuk berbuat kejahatan.
Penjahat yang dijatuhkan pidana itu dijadikan contoh oleh masyarakat supaya
masyarakat tidak meniru dan melakukan perbuatan yang serupa dengan penjahat itu.
Teori pemidanaan selanjutnya adalah teori gabungan. Menurut teori
gabungan, tujuan pidana itu selain membalas kesalahan penjahat juga dimaksudkan
untuk melindungi masyarakat dengan mewujudkan ketertiban. Teori ini
menggunakan kedua teori tersebut di atas (teori absolut dan teori relatif) sebagai
dasar pemidanaan dengan pertimbang- an bahwa kedua teori tersebut memiliki
kelemahan-kelemahan sebagai berikut.
1. Kelemahan teori absolut adalah menimbulkan ketidakadilan karena dalam
penjatuhan hukuman perlu mempertimbangkan bukti-bukti yang ada dan
pembalasan yang dimaksud tidak harus negara yang melaksanakan;
2. Kelemahan teori relatif yaitu dapat menimbulkan ketidakadilan, karena pelaku
tindak pidana ringan dapat dijatuhi hukum berat, kepuasan masyarakat
diabaikan, bila tujuannya untuk memperbaiki masyarakat dan mencegah
kejahatan dengan menakut-nakuti sulit dilaksanakan.
Yang mana teori gabungan dibedakan menjadi dua golongan, yaitu sebagai
berikut.7
1. Teori gabungan yang menguatamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu
tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapat
dipertahankannya tata tertib masyarakat,
2. Teori gabungan mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi
penderitaan akibat dijatuhkannya pidana tidak boleh lebih berat daripada
perbuatan yang dilakukan terpidana.

2.4. Konsep Pemidanaan.


Konsep mengenai pemidanaan pada umumnya dibagi menjadi dua kelompok
konsep yaitu konsep retributif dan konsep utilitarian8.

7
Eddy O.S. Hiariej, 2016, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana Edisi Revisi, Cahaya Atma Pustaka
Yogyakarta, hlm. 43.
8
Muladi dan Barda Nawawi Arif, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, hlm. 10.

8
A. Konsep Retributif
Tokoh yang mengembangkan konsep pemidanaan retributif adalah Immanuel
Kant. Dalam tulisannya yang berjudul The Metaphysics of Morals pada tahun 1797,
berpendapat bahwa, “pidana yang diterima seseorang sudah merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari kejahatan yang dilakukannya.” Lebih lanjut Kant mengatakan
bahwa pemidanaan bukanlah konsekuensi dari suatu kontrak sosial dan ia juga
menolak pandangan yang mengatakan bahwa tujuan pidana adalah untuk kebaikan
pelaku dan masyarakat. Kant hanya menerima satu alasan di mana pemidanaan itu
dijatuhkan karena si pelaku telah melakukan kesalahan, ia mengatakan9: “Judicial
punishment can never be used merely as a means to promote some other good for the
criminal himself or for civil society, but instead it must in all cases be imposed on
him only on the ground that he has commited a crime”.
Konsep pemidanaan retributif yang berangkat dari pemikiran Immanuel Kant
ini kerap kali dikaitkan dengan aturan-aturan pidana yang berisi peraturan yang
berdarah dan tidak manusiawi, misalnya hukuman mati untuk pembunuh dan
hukuman potong tangan untuk pencuri. Konsep retributif juga dipadankan dengan
teori non konsekuensialis, yang beranggapan bahwa sanksi pidana adalah suatu
respon yang patut diberikan kepada pelaku tindak pidana (appropriate response).
Seseorang yang telah melakukan tindak pidana pada masa lalu selayaknya diberikan
sanksi yang sepadan dengan tindakannya. Karena konsep retributif melihat apa
perbuatan yang sudah dilakukan oleh pelaku tindak pidana pada masa lalu, konsep ini
disebut sebagai konsep yang backward looking.
Kesimpulan dari konsep retributif yang berangkat dari gagasan Immanuel
Kant ini adalah justifikasi dari sebuah penjatuhan pidana atau pemidanaan karena
semata-mata yang bersangkutan telah melakukan kesalahan. Konsep ini tidak
memandang apakah pemidanaan itu harus memberikan manfaat atau kebahagian bagi
masyarakat.
B. Konsep Utilitarian
Tokoh yang mengembangkan konsep pemidanaan utilitarian adalah Jeremy
Bentham. Ia terkenal dengan pandangannya terkait moralitas yang dikenal sebagai
paham utilitarian. Kata utilitarian secara etimologis berangkat dari kata utility
(utilitas/kemanfaatan), yaitu sebagai sesuatu dalam berbagai bentuk yang
menghasilkan keuntungan, kenikmatan, kebaikan, kebahagian dan mencegah
ketersiksaan, kejahatan dan ketidakbahagiaan.

9
Immanuel Kant, The Metaphysics of Morals, [Die Metaphysik der Sitten]. Diterjemahkan oleh John
Ladd (Cambridge: Hackett Publishing Company, 1999), hlm. 332.

9
Konsep yang dibawa oleh Bentham ini menjadi dasar dari teori Andi Hamzah,
Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, konsekuensialis, yang beranggapan
bahwa pemidanaan merupakan efek dari suatu perilaku yang mengakibatkan suatu
kerugian baik kepada masyarakat secara langsung ataupun negara. Pemidanaan dalam
konsep utilitarian ini dijatuhkan dengan tujuan penceghan atas suatu tindak pidana di
masa datang (forward looking), sesuai dengan etimologi utility yang sebelumnya
telah dijelaskan, bahwa tindak pidana itu membawa ketidakbahagian, kesedihan dan
layaknya harus dihindari. Secara spesifik, Bentham mengemukakan bahwa tujuan
dari pemidanaan adalah sebagai berikut:10
1) Mencegah semua pelanggaran
2) Mencegah pelanggaran yang paling jahat
3) Menekan kejahatan
4) Menekan kerugian atau biaya sekecil-kecilnya.
Dalam teori ini, dikenal istilah rehabilitasi atau reformasi.11Teori rehabilitasi
ini dilatarbelakangi oleh kriminologi klasik yang menyebutkan bahwa penyebab
kejahatan dikarenakan adanya penyakit kejiwaan atau penyimpangan sosial baik
dalam pandangan psikologi. Dipihak lain kejahatan dalam pandangan rehabilitasi
dipandang sebagai penyakit sosial yang disintegratif dalam masyarakat. Oleh karena
itu, penjahat membutuhkan terapi, konseling, latihan-latihan spiritual dan
sebagainya.12
Pemidanaan dianggap sebagai proses terapi atas penyakit yang ada,
rehabilitasi memandang bahwa seorang pelaku tindak pidana merupakan orang yang
perlu ditolong. Selain teori rehabilitasi, teori yang berada di bawah pencegahan
khusus adalah teori inkapasitasi (incapacitation). Teori ini membatasi pleaku tindak
pidana dari masyrakat selama waktu tertentu dengan tujuan perlindungan terhadap
masyrakat. Akan tetapi, teori ini membawa kelemahan karena teori ini hanya
ditunjukkan kepada tindak pidana yang bersifat membahayakan masyrakat
sedemikian besar seperti genosida, terorisme atau tindak pidana kesusilaan seperti
pemerkosaan dan pelecehan seksual.

10
Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation, hlm. 93.
11
Muladi dan Barda Nawawi Arif, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, hlm. 16.
12
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas – Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, hlm. 61-
62.

10
2.5.Bentuk Putusan Hakim dalam KUHAP.
Putusan hakim merupakan akhir dari proses persidangan perkara pidana di
sidang pengadilan. Pengadilan sebagai lembaga yudikatif dalam struktur
ketatanegaraan Indonesia memiliki fungsi dan peran strategis dalam memeriksa,
"memutus dan menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara anggota masyarakat
maupun antara masyarakat dengan lembaga, baik lembaga pemerintah maupun non
pemerintah. Pemeriksaan suatu sengketa di muka pengadilan diakhiri dengan suatu
putusan atau vonis. Putusan atau vonis pengadilan ini akan menentukan atau
menetapkan hubungan riil di antara pihak-pihak yang berperkara.13
Fungsi pengadilan, selanjutnya disebut peradilan, diselenggarakan di atas
koridor independensi peradilan yang merdeka dari segala bentuk intervensi pihak
manapun. Hal ini diamanatkan secara tegas dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan, segala
campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman
dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 14
Penjelasan Pasal 3 ayat (2) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Putusan pengadilan menurut Pasal 1 angka 11 KUHAP
adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang terbuka, yang dapat berupa
pemidanaan atau bebas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut acara
yang diatur dalam undang-undang.
Secara substansial putusan hakim dalam perkara pidana amarnya hanya
mempunyai tiga sifat, yaitu:15
1. Pemidanaan/verordeling apabila hakim/pengadilan berpendapat bahwa
terdakwa secara sah dan meyakinkan menurut hukum terbukti bersalah
melakukan tindakan pidana yang didakwakan (Pasal 193 ayat (1) KUHAP).
2. Putusan bebas (vrijsraak/acquittai) jika hakim berpendapat bahwa dari hasil
pemeriksaan di sidang terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan
menurut hukum atas perbuatan yang didakwakan (Pasal 191 ayat (1)
KUHAP).
3. Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum/onslag van alle
rechtsvervolging jika hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan

13
Kadir Husin dan Budi Rizki Husein, Sistem Peradilan Pi dana di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,
2016, hlm. 115.
14
Penjelasan Pasal 3 ayat (2) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
15
Lilik Mulyadi, Seraut Wajah Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana Indonesia, PT Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2014, hlm. 194.

11
kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak
pidana (Pasal 191 ayat (2) KUHAP).
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa putusan hakim dalam perkara pidana
adalah :
1. Pemidanaan (verordeling);
2. Bebas (vrijspraak);
3. Pelepasan dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging) .
Putusan pemidanaan dijatuhkan oleh hakim apabila hakim berpendapat bahwa
terdakwa secara sah dan meyakinkan menurut hukum terbukti bersalah melakukan
tindak pidana yang didakwakan. Putusan bebas dijatuhkan jika hakim berpendapat
bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang terdakwa tidak terbukti secara sah
meyakinkan menurut hukum atas perbuatan yang didakwakan. Putusan pelepasan dari
segala tuntutan hukum dijatuhkan jika hakim berpendapat bahwa perbuatan yang
didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu bukan merupakan tindak
pidana.
Pasal 183 KUHAP menyebutkan sebagai berikut: Hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang - kurangnya
dua alat bukti yang sah ia memperoieh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-
benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dari ketentuan yang
diatur dalam Pasal 183 KUHAP tersebut, menjelaskan kepada kita dan terutama
kepada hakim bahwa adanya dua alat bukti yang sah itu adalah belum cukup bagi
hakim untuk menjatuhkan pidana bagi seseorang.
Akan tetapi, dari alat-alat bukti yang sah itu hakim juga perlu memperoieh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar telah terjadi dan bahwa terdakwa
telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut. Sebaliknya, keyakinan dari hakim
saja tidak cukup apabila keyakinan tersebut tidak ditimbulkan oleh sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah.

12
BAB III
PENUTUP

3.1.Kesimpulan
Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat
negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan
untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau masalah antar pihak. Jenis-
jenis pidana tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam
Pasal 10 KUHP disebutkan, pidana terdiri atas: pidana pokok: meliputi pidana mati,
pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan. pidana
tambahan: meliputi pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu,
dan pengumuman putusan hakim.
Teori pemidanaan secara garis besar dibagi menjadi tiga, pertama, teori
abolut; kedua, teori relative; dan ketiga, teori gabungan, namun dalam
perkembangannya selain tiga teori itu ada juga teori - teori kontemporer. Konsep
mengenai pemidanaan pada umumnya dibagi menjadi dua kelompok konsep yaitu
konsep retributif dan konsep utilitarian. Dan Putusan hakim merupakan akhir dari
proses persidangan perkara pidana di sidang pengadilan. Pengadilan sebagai lembaga
yudikatif dalam struktur ketatanegaraan Indonesia memiliki fungsi dan peran strategis
dalam memeriksa, "memutus dan menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara
anggota masyarakat maupun antara masyarakat dengan lembaga, baik lembaga
pemerintah maupun non pemerintah. Pemeriksaan suatu sengketa di muka pengadilan
diakhiri dengan suatu putusan atau vonis. Putusan atau vonis pengadilan ini akan
menentukan atau menetapkan hubungan riil di antara pihak-pihak yang berperkara.

3.2 Saran
Pembelajaran materi Tindak Pidana Korupsi merupakan hal yang penting
harus dipelajari. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
“sempurna”. Oleh karena itu penulis berharap kritikan dan masukan yang
membangun guna menyempurnakan makalah ini, Terimakasih semoga bermanfaat.

Terimakasih,
Wassalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh.

13
DAFTAR PUSTAKA
Ari, Fajar Sudewo. 2022. Penologi dan Teori Pemidanaan. Tegal: PT Djava Sinar
Perkasa.
Husin, Kadir . Budi Rizki Husein. 2016. Sistem Peradilan Pi dana di Indonesia.
Jakarta : Sinar Grafika.
Mulyadi Lilik. 2014. Seraut Wajah Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana Indonesia,
Bandung : PT Citra Aditya Bakti.
Natsir, M Asnawi. 2014. Hermeneutika Putusan Hakim : Pendekatan Multidisipliner
Dalam Memahami Putusan Peradilan Perdata. Yogyakarta: UII Press
Yogyakarta.
Nur, M Rasaid, 2003. Hukum Acara Perdata, cet. III. Jakarta: Sinar Grafika Offset.
O.S Eddy Hiariej. 2016, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana Edisi Revisi, Yogyakarta:
Cahaya Atma Pustaka.
Wisnu, Paulus Yudoprakoso. 2016. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dan
Pemidanaan Korporasi. Depok : PT Kanisius.

14

Anda mungkin juga menyukai