Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH ASPEK HUKUM DALAM BISNIS

“ASAS HUKUM PERJANJIAN”

Dosen Pengampu:
Masadah, MHI

Penyusun:
1. Ima Yuriani (08010421017)
2. Inda Mawaddah (08010421018)
3. Mars Zanda Wulan P. (08010421019)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2023
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................3
1.1 Latar Belakang .........................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................................4
1.3 Tujuan ......................................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................5
2.1 Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) ....................................................5
2.2 Asas Konsensualisme (concensualism) ....................................................................7
2.3 Asas Kebiasaan ........................................................................................................9
2.4 Asas Kepercayaan ..................................................................................................10
2.5 Asas kekuatan hukum mengikat perjanjian/kontrak ...............................................11
2.6 Asas Sistem Terbuka ..............................................................................................12
2.7 Asas Persamaan Hukum .........................................................................................13
2.8 Asas Ganti Kerugian .............................................................................................14
2.9 Asas Peralihan Resiko ............................................................................................16
2.10 Asas Kepatutan.......................................................................................................18
2.11 Asas Kewajaran (Fairness) .....................................................................................18
2.12 Asas Ketepatan Waktu ...........................................................................................20
2.13 Asas Kerahasiaan ...................................................................................................21
2.14 Asas Keadaan Darurat ............................................................................................22
2.15 Asas Pilihan Hukum ...............................................................................................24
2.16 Asas Penyelesaian Perjanjian .................................................................................25
BAB III PENUTUP ..............................................................................................................27
3.1 Kesimpulan ............................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................................28

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT, yang Maha Esa atas limpahan rahmat-Nya
sehingga saya penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah sesuai dengan rencana
yang dibuat. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad
SAW yang telah membawa umatnya dari kegelapan menuju jalan yang terang
benderang yaitu berupa agama Islam.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Aspek
Hukum dalam Bisnis, berjudul “ASAS HUKUM PERJANJIAN”
Dengan terselesaikannya penulisan makalah ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Allah SWT karena hanya dengan seizin-Nya makalah ini dapat terselesaikan
dengan lancar.
2. Ibu Masadah, MHI. selaku dosen pembimbing mata kuliah Aspek Hukum dalam
Bisnis.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan tugas
makalah ini. Oleh karena itu kritik dan saran dari pembaca sangat saya harapkan demi
kesempurnaan penulisan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
penulis dan pembaca. Aamiin

Surabaya, 10 April 2023

Penulis

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejumlah prinsip atau asas hukum merupakan dasar bagi hukum perjanjian.
Prinsip-prinsip atau asas-asas utama dianggap sebagai sokoguru hukum perjanjian,
memberikan sebuah gambaran mengenai latar belakang cara berpikir yang menjadi
dasar hukum perjanjian. Satu dan lain karena sifat fundamental hal-hal tersebut, maka
prinsip-prinsip utama itu dikatakan pula sebagai prinsip-prinsip dasar. Asas hukum
merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Ini berarti
bahwa peraturan-peraturan hukum pada akhirnya dapat dikembalikan kepada asas-asas
tersebut. Asas berfungsi sebagai pedoman atau arahan orientasi berdasarkan mana
hukum dapat dijalankan.

Menurut Satjipto Rahardjo, asas hukum dapat diartikan sebagai suatu hal yang
dianggap oleh masyarakat hukum yang bersangkutan sebagai basic truth atau
kebenaran asasi, sebab melalui asas-asas hukum itulah pertimbangan etis dan sosial
masyarakat masuk ke dalam hukum. Dengan demikian, asas hukum menjadi semacam
sumber untuk menghidupi tata hukumnya dengan nilai-nilai etis, moral, dan sosial
masyarakatnya.

Asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan
hukum. Ini berarti bahwa peraturan-peraturan hukum pada akhirnya dapat
dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Asas hukum berfungsi sebagai pedoman atau
arahan orientasi berdasarkan mana hukum dapat dijalankan. Asas-asas hukum tersebut
tidak saja akan berguna sebagai pedoman ketika menghadapi kasus-kasus sulit, tetapi
juga dalam hal menerapkan aturan.1

1
Niru Anita Sinaga, “PERANAN ASAS-ASAS HUKUM PERJANJIAN DALAM MEWUJUDKAN
TUJUAN PERJANJIAN”, Binamulia Hukum, Vol. 7 No. 2 (Desember, 2018), hlm 115

3
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa saja asas-asas hukum dalam perjanjian?
2. Bagaimana contoh penerapan asas-asas hukum dalam perjanjian?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui mengenai asas-asas hukum dalam perjanjian.
2. Untuk mengetahui contoh penerapan asas-asas hukum dalam perjanjian.

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract)

Asas kebebasan berkontrak artinya orang boleh atau bebas membuat perjanjian
apa saja bentuknya, isinya, macamnya dengan siapa dia membuat perjanjian dan bebas
mengadakan perjanjian baik itu sudah diatur dalam undang-undang maupun belum
diatur dalam undang-undang. Karena hukum perjanjian ini mengikuti asas kebebasan
mengadakan suatu perjanjian, sehingga disebut orang menganut sistem terbuka sebagai
lawan sistem tertutup yang dianut Buku II KUH Perdata. Bahwa dengan kebebasan
membuat perjanjian tersebut bararti orang dapat menciptakan hak-hak perseorangan
yang tidak diatur dalam Buku III KUH Perdata akan tetapi diatur sendiri dalam
perjanjian, sebab perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata).2

Dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.” Berdasarkan asas kebebasan berkontrak, maka orang pada asasnya
dapat membuat perjanjian dengan isi yang bagaimanapun juga, asal tidak bertentangan
dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Ruang lingkup asas
kebebasan berkontrak, menurut hukum perjanjian Indonesia adalah: kebebasan untuk
membuat atau tidak membuat perjanjian, kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa
ia ingin membuat perjanjian, kebebasan untuk menentukan atau memilih kausa dari
perjanjian yang akan dibuatnya, kebebasan untuk menentukan objek perjanjian,
kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian, dan kebebasan untuk menerima

2
Nanang Hemansyah, “ANALISIS YURIDIS EKSISTENSI ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK
DALAM PERJANJIAN DEWASA INI (STANDAR KONTRAK) DI MASYARAKAT”, Jurnal WASAKA
HUKUM, Vol. 8 No. 1 (25 Februari 2020), hlm 159-160

5
atau menyimpang ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (aanvullend,
optional).

Berlakunya asas kebebasan berkontrak ini tidaklah mutlak, KUH Perdata


memberikan pembatasan atau ketentuan terhadapnya, inti pembatasan tersebut dapat
dilihat antara lain:

a. Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata, bahwa perjanjian tidak sah apabila dibuat
tanpa adanya sepakat dari pihak yang membuatnya;
b. Pasal 1320 ayat (2) KUH Perdata, kebebasan yang dibatasi oleh kecakapan untuk
membuat suatu perjanjian;
c. Pasal 1320 ayat (4) jo Pasal 1337 KUH Perdata, menyangkut causa yang dilarang
oleh undang-undang atau bertentangan dengan kesusilaan baik atau bertentangan
dengan ketertiban umum;
d. Pasal 1332 KUH Perdata batasan kebebasan para pihak untuk membuat
perjanjian tentang objek yang diperjanjikan;
e. Pasal 1335 KUH Perdata, tidak adanya kekuatan hukum untuk suatu perjanjian
tanpa sebab, atau sebab yang palsu atau terlarang; dan
f. Pasal 1337 KUH Perdata, larangan terhadap perjanjian apabila bertentangan
dengan undang-undang, kesusilaan baik atau ketertiban umum.3

Sehingga oleh Prof. R. Subekti dikatakan bahwa asas kebebasan berkontrak


adalah suatu asas yang menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat
kontrak (perjanjian) yang berisi dan macam apapun asal tidak bertentangan dengan
undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Sebagaimana diketahui salah satu
sumber yang sangat penting dalam pembentukan BW adalah Code Civil Perancis karya
Napoleon Bonaparte. Asas kebebasan berkontrak yang terdapat dalam Code Civil itu
merupakan pewujudan prinsip kebebasan dan persamaan yang sangat diagungkan pada

3
Niru Anita Sinaga, “PERANAN ASAS-ASAS HUKUM PERJANJIAN DALAM MEWUJUDKAN
TUJUAN PERJANJIAN”, Binamulia Hukum, Vol. 7 No. 2 (Desember, 2018), hlm 115-116.

6
masa itu. Dan Revolusi Perancis dengan semboyan Liberty, Elagilite dan Fraternite
dimanifestasikan secara konkrit dalam kodifikasi yang mereka ciptakan, terutama
dalam hukum perjanjian yang didalamnya diatur kebebasan berkontrak. Paham
Liberalisme yang sangat mengagungkan kebebasan individu disatu pihak dan
mengurangi sebanyak mungkin campur tangan Negara dalam segi-segi hubungan
keperdataan antar warganya mewarnai dengan jelas pembentukan aturan hukum
perjanjian dalam Code Civil tersebut. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa asasa
kebebasan berkontrak adalah suatu pemikiran yang diambil oper dari paham
liberalisme, yaitu suatu paham yang sangat menonjolkan kebebasan individu. 4

Contoh penerapan asas kebebasan berkontrak yaitu perjanjian mudharabah


(pembiayaan), dimana telah terjadi tawar menawar mengenai jumlah prosentase bagi
hasil dari pendapatan keuntungan usaha yang akan diberikan kepada pihak Bank.
Perjanjian Mudharabah antara Bank Syariah (Kreditur) menyediakan modal sedangkan
Nasabah (Debitur) menjadi pengelola dana, keuntungan dan kerugian dibagi menurut
kesepakatan yang dituangkan dalam akad perjanjian mudharabah.

2.2 Asas Konsensualisme (concensualism)

Asas konsensual adalah perjanjian itu ada sejak tercapai kata sepakat antara pihak
yang mengadakan perjanjian. Dalam sistem hukum perjanjian Indonesia berlaku asas
yang dinamakan konsensualitas. Perkataan ini berasal dari perkataan “consensus” yang
berarti sepakat. Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1)
KUHPerdata Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian
adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas
yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal,

4
Nanang Hemansyah, “ANALISIS YURIDIS EKSISTENSI ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK
DALAM PERJANJIAN DEWASA INI (STANDAR KONTRAK) DI MASYARAKAT”, Jurnal WASAKA
HUKUM, Vol. 8 No. 1 (25 Februari 2020), hlm 159-160

7
melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah
persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.

Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1338 KUH Perdata. Dalam Pasal 1338
KUH Perdata ditemukan dalam istilah “semua”. Kata -kata semua menunjukkan bahwa
setiap orang diberi ke semua menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan
untuk menyatakan keinginannya (will), yang dirasakannya baik untuk menciptakan
perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan
perjanjian. Adapun menurut A. Qirom Syamsudin, Asas konsesualisme mengandung
arti bahwa dalam suatu perjanjian cukup ada kata sepakat dari mereka yang membuat
perjanjian itu, tanpa dikuti dengan perbuatan hukum lain kecuali perjanjian yang
bersifat formal. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, perjanjian itu sudah
mengikat sejak tercapainya kata sepakat mengenai pokok perjanjian. Dalam Pasal 1320
ayat (1) KUH Perdata ditentukan bahwa perjanjian atau kontrak tidaklah sah apabila
dibuat tanpa adanya konsensus atau sepakat dari para pihak yang membuatnya. Dengan
demikian dalam perjanjian antara ini plasma harus didasari kesepakatan untuk
mengadakan kerjasama usaha.5

Walaupun terjadi kesepakatan, tetapi perlu tetap diperhatikan unsur “kehendak”


dalam melakukan kesepakatan tersebut. Apabila kehendak melakukan
perjanjian/kontrak atas dasar kedua belah pihak, maka perjanjian dianggap sah.
Namun, apabila perjanjian/kontrak yang dilakukan dengan adanya paksaan
(conradictio interminis), maka perjanjian/kontrak tersebut dapat dibatalkan dengan
memohon kepada pengadilan. Dalam KUHPerdata terdapat hal-hal yang dapat
dikategori dengan “cacat kehendak” yang membuat perjanjian/kontrak dapat
dibatalkan, yaitu :

a. Kesesatan (dwaling);

5
Junaidi Abdullah, “Analisis Asas Konsensualisme di Lembaga Keuangan Syariah”, Iqtishadia, Vol. 8,
No. 2 (September 2015), hlm. 291-292

8
b. Penipuan atau (bedrog); serta
c. Paksaan atau (dwang).

Contoh asas konsensualisme ini misalnya pada perjanjian jual beli, tukar
menukar dan sewa menyewa.

2.3 Asas Kebiasaan

Asas Kebiasaan, yaitu dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian
tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang
menurut kebiasaan lazim diikuti.6

Tidak semua perikatan harus dinyatakan secara tegas, apabila menurut kebiasaan
selamanya dianggap di perjanjikan sebagaimana termaktub dalam Pasal 1347
KUHPerdata. Meskipun tidak dinyatakan secara tegas, para pihak pada dasarnya
mengakui syarat-syarat adanya hak dan kewajiban, karena memberi akibat komersial
terhadap maksud para pihak. Adapun hal yang harus diperhatikan adalah mengenai
kewajiban yang tidak dinyatakan secara tegas dari suatu perikatan yang timbul dari
keadaan yang tidak ada ketentuan yang tegas mengenai persoalan tersebut. Pasal 1339
KUHPerdata menjelaskan bahwa adanya kesepakatan tidak hanya mengikat yang
dinyatakan secara tegas oleh para pihak, akan tetapi juga meliputi segala sesuatu yang
menurut perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang.
Kebiasaan yang di maksud adalah kebiasaan pada umumnya (gewoonte) yaitu
kebiasaan setempat atau kebiasaan yang lazim yang berkembang dalam masyarakat
tertentu.7

Contohnya adalah transaksi jual beli dengan pemberian uang panjar adalah dapat
dilakukan berdasarkan kebiasaan yang biasa di lakukan dalam masyarakat atau golong

6
M. Muhtarom, “ASAS-ASAS HUKUM PERJANJIAN: SUATU LANDASAN DALAM PEMBUATAN
KONTRAK”, SUHUF, Vol.26, No. 1 (Mei 2014), hlm 54
7
Holijah, “Asas Kebiasaan Pemberian Uang Panjar dalam Transaksi Jual Beli Era Pasar Bebas”,
MIMBAR HUKUM Volume 31, Nomor 1 (Februari 2019), hlm 33

9
tertentu. Keberadaan uang panjar ini, yang mana maksud dari uang panjar adalah
berupa uang pembayaran sejumlah uang yang berfungsi sebagai tanda jadi pemesanan
dengan maksud konsumen benar-benar akan membeli produk barang yang di jual
pelaku usaha.8

2.4 Asas Kepercayaan


Asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan
mengadakan suatu bentuk perjanjian yang akan memenuhi setiap prestasinya yang
diadakan diantara mereka dibelakang hari. Asas kepercayaan sangat penting dalam
kegiatan jual-beli karena kepercayaan dapat menimbulkan sesuatu keyakinan. Oleh
karena itu para pihak terlebih dahulu harus menumbuhkan kepercayaan di antara
mereka, bahwa satu sama lain akan memenuhi janji yang di sepakati atau melaksanakan
prestasinya dikemudian hari. “Dengan kepercayaan kedua belah pihak mengikatkan
dirinya kepada kontrak yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai Undang-Undang
sebagaimana di tentukan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata”.9

Kepercayaan yang mendasar atau layak di munculkan oleh fakta, kejadian atau
prilaku dari salah satu orang atau lebih, ini berarti kepecayaan itu sendiri tertuju pada
keadaan yang ada yang instensitasnya perlu di perhatikan. Kesulitannya adalah
menentukan situasi dan kondisi objektif dari perbuatan yang menjustifikasi
(memberikan alasan pembenaran) bagi perbuatan tersebut. Jadi ada kesadaran bahwa
kepecayaan bersifat subjektif, sehingga perlu ditetapkan kriterium fisikologis, yang
digunakan tanpa secara eksplisit merujuk pada elemen “subjektif” tersebut diatas.
Dengan demikian, dapat terjadi suatu kontrak menjadi sah meskipun ada fakta
“objektif” bahwa sebenarnya satu pihak tidak tersedia untuk terikat atau dasar adanya

8
Ibid, hlm 33
9
M. Faisal Rahendra Lubis, “PENERAPAN HUKUM TERHADAP ASAS KEPERCAYAAN DI DALAM
TRANSAKSI JUAL-BELI ON-LINE”, Jurnal Ilmiah METADATA, Volume 1 Nomor 3 (September
2019), hlm 193

10
kepercayaan pihak lainya yang dapat dibenarkan atau berdasar (gerechteveeardige
vertrouwen).10

Contohnya adalah transaksi/ perjanjian jual beli antara penjual dan pembeli
melalui media elektronik atau on-line. Suatu transaksi on-line antara dua belah pihak
atau lebih akan terjadi apabila masing-masing saling percaya. Kepercayaan tidak dapat
begitu saja diakui oleh pihak lain atau mitra bisnis, melainkan harus dibangun mulai
dari awal dan dapat dibuktikan. Ketika seseorang ingin melakukan transaksi secara on-
line, maka harus ada dipikirannya bahwa uang yang dikirimkannya tidak hilang begitu
saja tetapi mendapatkan balasan produk yang diinginkan sesuai dengan apa yang
ditampilkan dan dijelaskan secara terperinci dari penjual melalui on-line. Ketika
seseorang berbelanja on-line, hal utama yang menjadi pertimbangan seorang pembeli
adalah apakah mereka percaya kepada website yang menyediakan on-line shoping dan
penjual on-line pada website tersebut. Kepercayaan pembeli terhadap suatu penjual on-
line terletak pada populer atau tidaknya website tersebut. Selanjutnya, kepercayaan
pembeli terhadap website toko on-line juga terkait dengan kehandalan penjual yang
menjual produknya di toko on-line terkait barang yang dikirim setelah melakukan
transaksi atau pembayaran dan barang tersebut akan sama keadaannya dengan yang di
upload.11

2.5 Asas kekuatan hukum mengikat perjanjian/kontrak

Asas kekuatan mengikat perjanjian/kontrak mengharuskan para pihak memenuhi


apa yang telah merupakan ikatan mereka satu sama lain dalam kontrak yang mereka
buat. Asas hukum ini disebut juga asas pacta sunt servanda, yang secara konkrit dapat
dicermati dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang memuat ketentuan imperatif,

10
Hermansyah, “PERWUJUDAN ASAS KEPERCAYAAN DALAM PENGATURAN KEGIATAN
USAHA BANK”, Pontianak (2015), hlm 5
11
M. Faisal Rahendra Lubis, “PENERAPAN HUKUM TERHADAP ASAS KEPERCAYAAN DI
DALAM TRANSAKSI JUAL-BELI ON-LINE”, Jurnal Ilmiah METADATA, Volume 1 Nomor 3
(September 2019), hlm 192-193

11
“semua kontrak yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya.”

Adapun pacta sunt servanda diakui sebagai aturan yang yang terkandung
didalamnya, dimaksudkan untuk dilaksanakan dan pada akhirnya dapat dipaksakan
penataannya. Asas ini menimbulkan kepastian hukum bagi para pihak yang telah
memperjanjikan sesuatu memperoleh kepastian bahwa perjanjian itu dijamin
pelaksanaannya.Hal ini sesuai dengan kekuatan Pasal 1338 KUH Perdata, yang intinya
menyebutkan bahwa perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain diperbolehkan oleh
undang-undang.12

Asas ini dapat berlaku apabila kedudukan para pihak tidak seimbang.Tetapi jika
kedudukan para pihak seimbang maka undang-undang memberi perlindungan bahwa
perjanjian itu dapat dibatalkan, baik atas tuntutan para pihak yang dirugikan, kecuali
dapat dibuktikan pihak yang dirugikan menyadari sepenuhnya akibat-akibat yang
timbul.

Contohnya adalah dalam sebuah perjanjian kontrak rumah, disebutkan jika pihak
penyewa menimbulkan kerusakan akibat tindakannya sendiri, makai ia bertanggung
jawab memperbaiki rumah tersebut.

2.6 Asas Sistem Terbuka


Sistem pengaturan hukum perjanjian adalah sistem terbuka (open system) yaitu
bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian, baik yang sudah diatur
maupun yang belum diatur di dalam undang-undang. Disimpulkan dari ketentuan yang
tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi “Semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”. Dengan kata lain, memberi kebebasan kepada para pihak untuk:

M. Muhtarom, “ASAS-ASAS HUKUM PERJANJIAN: SUATU LANDASAN DALAM PEMBUATAN


12

KONTRAK”, SUHUF, Vol.26, No. 1 (Mei 2014), hlm 52

12
Membuat atau tidak membuat perjanjian; Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya dan; Menentukan
bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan. 13

Sistem terbuka adalah setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber
pada perjanjian.Akibat hukum terhadap penerapan sistem terbuka dapat dilihat pada
Pasal 1320 KUH Perdata, sepanjang perjanjian yang dibuat tidak bertentangan dengan
undang-undang, norma kesusilaan, dan ketertiban umum. Lebih singkatnya sistem
terbuka ialah bahwa “Dalam membuat perjanjian para pihak diperkenankan untuk
menentukan isi dari perjanjian sebagai undang-undang bagi mereka sendiri.

Akan tetapi disisi lain penerapan sistem terbuka tentunya harus diberi batasan
apabila tidak hal ini akan berdampak pada substansi daripada perjanjian itu sendiri,
setiap orang akan bebas mengadakan perjanjian meskipun itu bertentangan dengan
undang-undang maupun nilai-nilai dalam masyarakat.

Contoh yang menerapkan asas sistem terbuka yaitu terdapat pada hukum perdata.
Diantaranya yaitu hukum antar-perorangan. Contohnya yaitu perjanjian kost-kostan,
perjanjian kredit, perjanjian warisan dsb.

2.7 Asas Persamaan Hukum


Dalam Lokakarya Hukum Perikatan yang diselenggarakan oleh Badan
Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Departemen Kehakiman RI pada tanggal 17–19
Desember 1985 telah berhasil dirumuskannya delapan asas hukum perikatan nasional.
Salah satu asasnya yakni Asas persamaan hukum. Asas Persamaan Hukum, yaitu
bahwa subjek hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak dan

13
Niru Anita Sinaga, “PERANAN ASAS-ASAS HUKUM PERJANJIAN DALAM MEWUJUDKAN
TUJUAN PERJANJIAN”, Binamulia Hukum, Vol. 7 No. 2 (Desember, 2018), hlm 111-112.

13
kewajiban yang sama dalam hukum. Mereka tidak boleh dibeda-bedakan antara satu
sama lainnya, walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama, dan ras. 14

Contoh: Ketika ada kasus dimana rakyat biasa dan pejabat yang terbukti
menngunakan narkoba akan menjalani proses hukum dan mendapatkan hukuman yang
sama tanpa memperhatikan status mereka.

2.8 Asas Ganti Kerugian


Dalam penerapan ketentuan yang berada dalam lingkungan hukum privat,
terdapat perbedaan esensial antara tuntutan ganti rugi yang didasarkan pada
wanprestasi dan tuntutan ganti rugi yang didasarkan pada perbuatan melanggar hukum.
Tuntutan ganti rugi yang didasarkan pada wanprestasi terlebih dahulu penggugat dan
tergugatnya terikat oleh suatu perjanjian. Dengan demikian pihak ketiga (bukan
sebagai pihak dalam perjanjian) yang dirugikan tidak dapat menuntut ganti rugi dengan
alasan wanprestasi. Ganti rugi adalah pembebanan kepada salah satu pihak yang tidak
memenuhi isi perjanjian.

Ganti rugi sering diperinci dalam tiga unsur : biaya, rugi dan bunga. Yang
dimaksudkan dengan biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-
nyata sudah dikeluarkan oleh satu pihak. Yang dimaksudkan dengan istilah rugi, adalah
kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh
kelalaian debitur. Sedangkan yang dimaksudkan dengan bunga adalah kerugian berupa
kehilangan keuntungan, yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur. 15

Ketentuan tentang ganti rugi diatur dalam Pasal 1243-1252 KUH Perdata. Yang
dimaksud ganti rugi ialah sanksi yang dapat dibebankan kepada debitur yang tidak

14
M. Muhtarom, “ASAS-ASAS HUKUM PERJANJIAN: SUATU LANDASAN DALAM PEMBUATAN
KONTRAK”, SUHUF, Vol. 26 No. 1 (Mei, 2014), hlm 54.
15
Dhira Utari Umar, “PENERAPAN ASAS KONSENSUALISME DALAM PERJANJIAN JUAL BELI
MENURUT PERSPEKTIF HUKUM PERDATA”, Lex Privatum, Vol. VIII, No. 1 (Jan-Mar, 2020), hlm
44-45

14
memenuhi prestasi dalam suatu perikatan untuk memberikan penggantian biaya, rugi
dan bunga.

Biaya ialah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata telah


dikeluarkan oleh kreditur. Rugi ialah segala kerugian karena musnahnya atau rusaknya
barang-barang milik kreditur akibat kelalaian debitur. Bunga ialah segala keuntungan
yang diharapkan atau sudah diperhitungkan.

Tuntutan ganti rugi dibatasi oleh syarat-syarat sebagai berikut:

a. Kerugian yang benar-benar diderita


b. Kerugian harus bisa dibuktikan
c. Kerugian harus dapat diduga/ diperhitungkan debitur pada waktu timbulnya
perikatan
d. Kerugian harus merupakan kerugian akibat langsung, kalau ia menurut
pengalaman manusia dapat patut diharapkan muncul karena wanprestasi.16
Terdapat dua cara penentuan titik awal penghitungan ganti kerugian, yaitu
sebagai berikut:

a. Jika dalam perjanjian itu tidak ditentukan jangka waktu, pembayaran ganti
kerugian mulai dihitung sejak pihak tersebut telah dinyatakan lalai, tetapi tetap
melalaikannya.
b. Jika dalam perjanjian tersebut telah ditentukan jangka waktu tertentu,
pembayaran ganti kerugian mulai dihitung sejak terlampauinya jangka waktu
yang telah ditentukan tersebut.17
Contoh :

• Semisal ketika kita menggadaikan sebuah barang pada pegadaian, kemudian


pihak pegadaian merusak atau bahkan menghilangkan barang kita tersebut

16
Suryati, “Hukum Perikatan”, (Yogyakarta: Suluh Media, 2017), hlm 166-167.
17
Ratna Artha Windari, “Hukum Perjanjian”, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014), hlm 38.

15
padahal sebelumnya telah ada perjanjian bahwa barang kita seharusnya dijaga
dengan baik sampai kita melunasi uang pinjaman. Maka pihak pegadaian akan
memberikan ganti rugi atas kejadian tersebut karena telah melanggar isi
perjanjian.
• Ketika kita melakukan kerja sama musyarakah misalnya dengan pihak bank,
dan telah adanya kesepakatan di awal bahwa nantinya keuntungan harus dibagi
rata. Namun nyatanya pihak bank ini melakukan kecurangan uang dari
keuntungan tersebut yakni memanipulasi laba sehingga tidak dibagi dengan adil
dalam jangka waktu yang lama. Maka kita bisa menuntut dan meminta ganti
rugi atas hal tersebut.

2.9 Asas Peralihan Resiko


Sebagai sanksi ketiga atas kelalaian seorang debitur disebutkan dalam pasal 1237
KUHPer. Yang dimaksudkan dengan “resiko” adalah kewajiban untuk memikul
kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa
barang yang menjadi objek perjanjian.

Melalui rumusan Pasal 1460 KUH Perdata, risiko mengenai kebendaan yang
dijual baru beralih dari penjual kepada pembeli, segera setelah kebendaan yang dijual
tersebut ditentukan. Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 1461 KUH Perdata, jika
kebendaan tersebut dijual menurut berat, jumlah atau ukuran, maka risiko beralih dari
penjual kepada pembeli segera setelah kebendaan tersebut ditimbang, dihitung atau
diukur. Kemudian menurut ketentuan Pasal 1462 KUH Perdata, dalam hal kebendaan
tersebut dijual menurut tumpukan, maka risiko beralih dari penjual kepada pembeli
segera setelah tumpukan tersebut ditentukan.

Teori hukum dikenal suatu ajaran yang disebut dengan resicoleer (ajaran tentang
risiko). Resicoleer adalah suatu ajaran dimana seseorang berhak berkewajiban untuk
memikul kerugian jikalau ada sesuatu kejadian diluar kesalahan salah satu pihak yang
menimpa benda yang menjadi objek perjanjian. Ajaran ini timbul apabila terdapat

16
keadaan memaksa (overmacht). Ajaran ini dapat diterapkan pada perjanjian sepihak
dan perjanjian timbal balik. Perjanjian adalah suatu perjanjian di mana salah satu pihak
aktif melakukan prestasi, sedangkan pihak lainnya pasif. Perjanjian timbal balik adalah
suatu perjanjian di mana kedua belah pihak diwajibkan untuk melakukan prestasi
sesuai dengan kesepakatan yang dibuat antara keduanya.

Sedangkan dalam perjanjian tukar-menukar, risiko tentang musnahnya barang


diluar kesalahan pemilik, maka persetujuan dianggap gugur, dan pihak yang telah
memenuhi persetujuan dapat pengembalian barang yang ia telah berikan dalam tukar-
menukar. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam perjanjian jual beli, risiko
atas musnahnya barang menjadi tanggungjawab pembeli, sedangkan dalam perjanjian
tukar-menukar, maka perjanjian menjadi gugur.18

Contoh dalam perjanjian jual beli :

• Pasal 1460 KUH Perdata : Ketika kita membeli barang elektronik semisal
televisi, maka risiko dalam jual beli tersebut telah beralih kepada kita yakni
sebagai pembeli sejak kita dan si penjual televisi tersebut mencapai kata
sepakat.
• Pasal 1461 KUH Perdata : Ketika kita membeli barang yang berupa bilangan,
timbangan atau ukuran. Semisal kita membeli beras, maka risiko atas beras
yang
diperjualbelikan tetap berada dipihak penjual beras tersebut sampai barang itu
ditimbang,
diukur dan dihitung.
• Pasal 1462 KUH Perdata Ketika kita membeli barang yg dijual menurut
tumpukan atau onggokan, semisal kita membeli setumpuk baju, maka meskipun

18
Dhira Utari Umar, “PENERAPAN ASAS KONSENSUALISME DALAM PERJANJIAN JUAL BELI
MENURUT PERSPEKTIF HUKUM PERDATA”, Lex Privatum, Vol. VIII, No. 1 (Jan-Mar, 2020), hlm
46.

17
barang-barang
itu belum ditimbang, diukur dan dihitung.

2.10 Asas Kepatutan


Asas Kepatutan, yaitu asas yang tertuang dalam Pasal 1339 KUH Perdata. Pasal
1339 KUH Perdata menyatakan: “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-
hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang
menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-
undang”. Asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian yang diharuskan
oleh kepatutan berdasarkan sifat perjanjiannya. Asas ini merupakan salah satu bagian
dari asas hukum perjanjian dalam lokakarya hukum perikatan.19

Contoh : Asas kepatutan dalam perjanjian kawin yang mana dalam


perkembangannya mengenai perjanjian kawin mulai merubah konsep dimana tidak
hanya mengatur mengenai harta benda dalam perkawinan, namun membahas diluar
harta benda dalam perkawinan. Apabila yang dibahas bukan harta benda dalam
perkawinan maka perlu dilihat apakah isi dari perjanjian kawin tersebut telah
menerapkan asas kepatutan di dalamnya. Penerapan asas kepatutan dalam perjanjian
kawin merupakan penjabaran dari kepantasan secara moral, yang mana isi dalam
perjanjian tersebut harus melihat dari kewajaran publik baik dalam isi ataupun
pelaksanaanya.20

2.11 Asas Kewajaran (Fairness)


Apabila dicermati lahirnya asas Kebebasan Berkontrak, tidak dapat dilepaskan
dari paham individualisme yang mengutamakan adanya persamaan hak di antara
individuindividu. Hal ini pun tampak dalam pengaturan hak-hak individu,sebagaimana
yang dijabarkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) bahwa

19
M. Muhtarom, “ASAS-ASAS HUKUM PERJANJIAN: SUATU LANDASAN DALAM PEMBUATAN
KONTRAK”, SUHUF, Vol. 26 No. 1 (Mei, 2014), hlm 54.
20
Rumi Suwardiyati, “PENERAPAN ASAS KEPATUTAN DALAM PERJANJIAN KAWIN”, Widya
Yuridika: Jurnal Hukum, Volume 3 Nomor 2, (Desember 2020), hlm 272-273.

18
seorang bayi dalam kandungan pun, bila kepentinganhya menghendaki dianggap sudah
lahir (lihat Pasal 2 KUHPerdta). Jadi di sini terlihat, bahwa kedudukan individu dalam
lalu llntas pergaulan hukum dianggap sah (sederajat) satu sama lain.
Oleh karena itu, para pihak saling mengikat diri sebagaimana yang dijabarkan
dalam Pasal 1233 KUHPerdat, tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan
maupun karena undang-undang. Selanjutnya dalam Pasal 1313 KUHPerdt disebutkan,
suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satuorang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satuorang Iain ataulebih. Sedangkan syarat-syarat yang
harus dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdt,
yakni: (1) sepakatbagi mereka yang mengikat dirinya; (2) kecakapan untuk membuat
perikatan; (3) adanya suatu hal tertentu; (4) adanya suatu sebabyang halal.
Hal ini berarti dengan disepakatlnya syarat-syarat perjanjian, yang pada
umumnya sudah dicantumkan dalam ketentuan polis asuransi, mengikat baik bagi
penanggung maupun tertanggung. Oleh karena itu, adalahwajardan pantas, bila produk
yang akan ditawarkan oleh perusahaan asuransi (penanggung) beserta dengan syarat-
syarat dalam kontraknya, perlu diketahui oleh pemerintah sebagai pejabat yang
memiliki otoritas untuk mengawasi apakah suatu kontrak bertentangan dengan UU atau
ketertiban umum. Dengan adanya pengawasan ini, diharapkan klausul-klausul yang
dicantumkan tidak merugikan salahsatu pihak. Untuk itu prinsip kewajaran dalam
membuat kontrak perlu ditaati. 21
Contoh lain klausul eksonerasi misalnya klausul yang mencantumkan seperti ini:
"Ke- salahan dalam pengisian formulir ini adalah tanggung jawab nasabah". Adalah
wajar, bila kesalahan dibebankan kepada pihak yang membuat kesalahan. Akan tetapi,
tidak ditemui risiko apa yang harus ditanggung oleh bank dalam hal kesalahan ada di
pihak bank.

21
Sentosa Sembiring, “Pencantuman Asas Kewajaran dalam Kontrak Standar (Perjanjian Baku)
sebagai Salah Satu Upaya Melindungi Konsumen”, JURNAL HUKUM, Vol 6 No. 12 (1999), hlm 109-
120

19
2.12 Asas Ketepatan Waktu
Asas ketepatan waktu yang menjadi salah satu asas penyelenggaraan pelayanan
publik artinya pelayanan publik harus tepat waktu. Pelayanan publik harus dalam
rentang waktu yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, baik terkait
penerbitan maupun prosesnya, dan lain sebagainya.
Kepastian waktu terhadap pemberian pelayanan publik pada gilirannya juga
mengarah kepada prediktabilitas yang bermanfaat baik bagi masyarakat maupun
pemerintah. Pada konteks yang lebih luas, prediktabilitas ini dirumuskan sebagai salah
satu unsur penyelenggaraan tata kelola yang baik (good governance element). Asian
Development Bank (ADB) merumuskan bahwa terdapat 4 (empat) unsur good
governance yaitu akuntabilitas, partisipasi, prediktabilitas, dan transparansi.
Prediktabilitas dalam konteks ini mengacu pula pada adanya konsistensi dalam
menerapkan aturan-aturan yang berlaku, sehingga dapat pula dipahami bahwa
prediktabilitas berkelindan dengan kepastian hukum.
Memahami bahwa ketepatan waktu dalam pelayanan publik merupakan asas
akan menghantarkan pada pemahaman lainnya terkait kedudukan asas hukum. Asas
hukum memiliki karakteristik sebagai pikiran dasar atau norma dasar, menjadi latar
belakang dari peraturan hukum konkrit, mengandung penilaian kesusilaan atau dimensi
etis, dan dapat ditemukan pada peraturan perundang-undangan dan putusan hakim.
Penormaan asas hukum ke dalam norma hukum positif, sebagaimana penormaan asas
ketepatan waktu dalam Undang-Undang Pelayanan Publik, bukan mereduksi sifat
superioritas dari asas hukum, namun justru semakin memperkuat daya ikat asas
tersebut, selayaknya penormaan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik ke dalam
norma hukum positif.
Ketepatan tempat penyampaian, misalnya ketepatan tempat penyampaian
barang-barang logistik, sesuai yang dibutuhkan. Jangan sampai barang yang
dikirimkan bisa salah tujuan atau bahkan tertukar dengan tempat atau unit kerja
lainnya.

20
2.13 Asas Kerahasiaan
Asas kerahasiaan ini menuntut dirahasiakannya segenap data dan keterangan
tentang peserta didik (klien) yang menjadi sasaran layanan. Dalam hal ini guru
pembimbing berkewajiban penuh memelihara dan menjaga semua data dan keterangan
itu sehingga kerahasiaannya benar-benar terjamin.22
Salah satu dasar hukum asas kerahasiaan adalah perjanjian eksplisit di antara
pihak yang bersengketa. Mereka dapat membuat perjanjian yang melekat pada
perjanjian arbitrase mereka, ataupun perjanjian secara tersendiri yang mengatur tentang
asas kerahasiaan dalam arbitrase yang mereka selenggarakan. Patut diperhatikan,
umumnya ketika para pihak memilih arbitrase mereka diselenggarakan berdasarkan
peraturan institusi arbitrase tertentu, telah terdapat suatu pengaturan asas kerahasiaan
secara umum di dalamnya. Akan tetapi dalam hal ini, perjanjian eksplisit di antara
pihak yang dimaksud disini adalah pengaturan asas kerahasiaan secara lebih spesifik.
Para pihak dapat menyetujui pelarangan penyebaran dokumen ataupun informasi
tertentu secara khusus yang digunakan sebagai barang bukti dalam proses persidangan
arbitrase. Mereka juga dapat merahasiakan keberadaan proses persidangan arbitrase itu
sendiri, identitas mereka, bahkan fakta-fakta yang terdapat dalam sengketa mereka.
Perjanjian ini juga dapat dirubah sewaktu-waktu ataupun dihapuskan jika memang para
pihak menyetujuinya. Selain itu, para pihak juga dapat menyetujui untuk
menghancurkan dokumen-dokumen yang telah selesai digunakan dalam proses
persidangan arbitrase mereka, ataupun ketika terjadi gangguan selama proses
persidangan arbitrase berlangsung. Kewajiban dalam menjaga asas kerahasiaan yang
telah mereka sepakati dapat diatur mengenai siapa saja yang terikat kewajiban tersebut,
ruang lingkup dari asas kerahasiaan itu sendiri, dan durasinya, sesuai dengan
persetujuan para pihak.

22
Muhammad Al Farichi, “ASAS-ASAS BIMBINGAN KONSELING”, Universitas Negeri Padang
(2021)

21
Dalam beberapa kasus tertentu, seperti Esso v. Plowman dan Panhandle Eastern,
dinyatakan bahwa asas kerahasiaan hanya muncul bila para pihak yang bersengketa
menyetujui keberadaan asas tersebut secara spesifik dalam kontrak mereka. Hal ini
menjadikan perjanjian eksplisit para pihak adalah satu-satunya sumber hukum asas
kerahasiaan dalam arbitrase. Apabila para pihak tidak memiliki perjanjian tersebut,
maka secara otomatis tidak ada asas kerahasiaan dalam arbitrase mereka.23
Contoh: Di mana data atau keterangan yang tidak boleh dan tidak layak diketahui
oleh orang lain harus dirahasiakan oleh konselor. Dalam hal ini, konselor wajib secara
penuh untuk memelihara dan menjaga semua data dan keterangan sehingga
kerahasiaan benar- benar terjamin.

2.14 Asas Keadaan Darurat


Maksud dan tujuan HTN Darurat dan kedudukannya dalam rangka kepentingan
seluruh warga negara suatu negara yang memberlakukan darurat itu membicarakan
sifat-sifat dan hakekat kekuasaan umum bersama itu adalah kepentingan perorangan
juga, namun dalam sistem dan pembagiannya sangat bermanfaat apabila jelas
ditempatkan dalam bagian hukum publik untuk memudahkan pengertian dan
pemahamannya. Menurut Herman Sihombing dilihat dari corak, bentuk, dan
sumbernya, maka HTN Darurat itu dapat digolongkan atau ditempatkan ke dalam :

a. HTN Darurat Objektif (Objective Staatsnoodrecht)


b. HTN Darurat Subjektif (Subjective Staatsnoodrecht)
c. HTN Darurat Tertulis (Geschreven Staatnoodrecht)
d. HTN Darutat Tidak Tertulis (Ongeshreven Staatsnoodrecht)

Dari sudut formal isinya, yakni dari tingkatan bahaya darurat dalam HTN Darurat
itu, dapat dikemukan :

23
Dimas Bimo Harimahesa “ASAS KERAHASIAN DALAM PROSES PERSIDANGAN ARBRITASE
KOMERSIAL INTERNASIONAL DAN INDONESIA”, FH UI, 2012

22
a. Dalam tingkatan Darurat Sipil ;
b. Dalam tingkatan Darurat Militer ;
c. Dalam tingkatan Darurat Perang ;

Isi dan syarat-syarat masing tingkatan itu akan dibahas tersendiri, dan sistem
dikemukakan diatas, dianut oleh dan di dalam UU Nomor 23 Tahun 1959. Sekarang
berlaku dan merupakan hukum tata negara darurat positif di Indonesia. Dalam
penetapan berlakunya keadaan darurat itu harus dilakukan oleh Presiden sebagai kepala
negara (the sovereign head of state). Penetapannya dapat dilakukan dalam bentuk
Peraturan Presiden, apabila isinya hanya bersifat “Beschikking” yang mengadung
norma konkret dan individual. Jika normanya mengandung penetapan (beschikking)
yang bersifat konkret dan individual serta sekaligus norma pengaturan yang bersifat
umum dan abstrak, maka bentuk hukum yang dipilih dapat berbentuk Pengaturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu).
Di masa berlakunya keadaan darurat, harus dipastikan pula bahwa semua institusi
negara yang diperlukan dan masih dapat berfungsi dengan baik sebagaimana di dalam
keadaan normal, harus tetap difungsikan sebagaimana mestinya dan tidak perlu diganti
dengan lembaga yang khusus di adakan untuk menopang kekuasaan pelaksana
keadaaan darurat. Misalnya, lembaga perwakilan rakyat dan pengadilan, jika selama
masa berlakunya keadaan darurat memang masih terus dapat berfungsi , fungsinya
harus terus berjalan sebagaimana biasanya. Jangan sampai karena atas nama adanya
keadaan darurat, pelaksana kekuasaan keadaan darurat secara semena-mena
membubarkan perwakilan rakyat atau pengadilan.
Pembentukan Perppu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme, hanya didasarkan pada unsur ancaman yang membahayakan
(dangerous threat) saja. Hal ini dapat diketahui dari penjelasan umumnya yang
menegaskan bahwa penggunaan Perppu ini untuk mengatur pemberantasan tindak
pidana terorisme yang didasarkan pada pertimbangan bahwa terjadinya terorisme
diberbagai tempat telah menimbulkan kerugian baik materiil maupun immateriil serta

23
menimbulkan ketidakamanan bagi masyarakat, sehingga mendesak untuk dikeluarkan
Perppu guna dapat segera diciptakan suasana yang kondusif bagi pemeliharaan
ketertiban dan keamanan tanpa meninggalkan prinsip-prinsip negara hukum.

2.15 Asas Pilihan Hukum


Pilihan hukum adalah hukum yang dipilih oleh para pihak dalam kontrak sebagai
alat untuk mengintepretasikan isi dari perjanjian meliputi obyek, pengaturan hak dan
kewajiban atau untuk menyelesaikan jika terjadi sengketa. Secara umum terdapat jenis
pilihan hukum antara lain :

a. Pilihan hukum (choice of law), dalam hal ini para pihak menentukan sendiri dalam
kontrak tentang hukum mana yang berlaku terhadap intepretasi kontrak tersebut.
b. Pilihan Forum (choice of yurisdiction) yakni para pihak menentukan sendiri dalam
kontrak tentang pengadilan atau forum mana yang berlaku jika terjadi sengketa di
antara para pihak dalam kontrak tersebut.
c. Pilihan domisili (choice of domicile), dalam hal ini masing-masing pihak
melakukan penunjukan dimanakah domisili hukum dari para pihak tersebut.
Pilihan hukum sebagai salah satu asas dalam dalam Hukum Perdata Internasional
(HPI) dibatasi dengan ketentuan-ketentuan antara lain :
1) Tidak melanggar ketertiban umum
2) Hanya boleh di bidang hukum kontrak
3) Tidak boleh mengenai hukum kontrak kerja
4) Tidak boleh boleh mengenai ketentuan perdata dengan sifat publik.
5) Pilihan hukum harus dilakukan secara bonafide (dengan itikad baik) dan tidak
boleh sengaja dipilih dengan maksud melakukan penyelundupan hukum

Didalam praktek dalam kontrak bisnis internasional, pilihan hukum yang sering
dilakukan untuk penyelesaian sengketanya adalah pilihan forum dan pilihan hukum
yang akan digunakan untuk menyelesaiakan sengketa yang timbul.

24
Pilihan hukum yang dipilih dapat menggunakan salah satu dari ketentuan hukum
material dari negara tertentu, sedangkan pilihan forumnya dapat memilih lembaga
tertentu misalnya Pengadilan , arbitrase atau lembaga penyelesai sengketa lainnya. 24
Contoh: A = badan hukum Indonesia (tertanggung) dan B = badan hukum
Indonesia (penanggung) mengadakan perjanjian asuransi di Indonesia dan obyeknya
juga di Indonesia. Tapi, dalam perjanjian tidak dimuat pilihan hukum, forum dan
domisili. Namun, polis standar yang digunakan adalah polis dari Inggris. Kemudian
terjadi dispute claim. Si A mau gugat tapi bingung mau di mana di Inggris atau
Indonesia.

2.16 Asas Penyelesaian Perjanjian


Para pihak melakukan suatu perjanjian lazimnya dilandasi suatu tujuan atau
maksud tertentu yang dilandaskan pada kehendak yang telah diungkapkan, yaitu dalam
bentuk janji-janji di antara para pihak yang terkait. Di dalam dunia ekonomi, perjanjian
merupakan instrumen yang terpenting untuk mewujudkan perubahanperubahan
ekonomi dalam pembagian barang dan jasa. Perjanjian memiliki tujuan untuk
menciptakan keadaan yang lebih baik bagi kedua belah pihak.
Dalam pandangan Patrick S. Atiyah, perjanjian memiliki tiga tujuan dasar,
sebagaimana digambarkan dibawah ini:

1) Memaksakan suatu janji dan melindungi harapan wajar yang muncul darinya;
2) Mencegah pengayaan (upaya memperkaya diri) yang dilakukan secara tidak adil
atau tidak benar; dan
3) To prevent certain kinds of harm.

Di samping ketiga tujuan yang disebutkan di atas, Herlien Budiono


menambahkan tujuan keempat dari perjanjian yaitu mencapai keseimbangan. Antara
kepentingan sendiri dan kepentingan terkait dari pihak lawan, yang diturunkan dari

24
Aminah, “Pilihan Hukum dalam Kontrak Perdata Internasional”, Diponegoro Privat Law Review,
Vol.4 No.2 (November 2019)

25
asas laras (harmoni) di dalam hukum adat. Penutupan suatu perjanjian yang berjalan
sepenuhnya sebagaimana dikehendaki para pihak memberikan arti bahwa tujuan akhir
perjanjian akan tercapai dan secara umum telah tercipta “kepuasan,” sehingga jiwa atau
semangat keseimbangan sebagai suatu asas yang mengharmonisasikan pranata-pranata
hukum dan asas-asas pokok hukum perjanjian yang ditemukan di dalam KUH Perdata
pada satu pihak dengan cara berpikir bangsa Indonesia di pihak lain telah difungsikan.
Dengan adanya perjanjian diharapkan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya
dapat menjadikkan bisnis sesuai dengan kesepakatan-kesepakatan yang telah disetujui,
melakukannya dengan keseimbangan, dan sebagai dasar untuk menyelesaikan apabila
timbul masalah di kemudian hari. Berkaitan dengan isi atau maksud dan tujuan
perjanjian para pihak memperluas dengan meningkatkan pengharapan untuk mencapai
prestasi yang dipercayakan di kemudian hari.25
Contoh: melakukan perjanjian pembiayaan tanah sengketa, antara kreditur dan
debitur. Debitur pada perjanjian ini adalah pihak yang membutuhkan biaya uang atau
dana sedangkan kreditur pada perjanjian ini adalah pihak yang memberikan biaya
tersebut, maka posisinya pihak kedua sebagai kreditur dan pihak pertama sebagai
debitur. Kata sepakat tersebut berkaitan dengan kesepakatan, keuntungan, dan jangka
waktu didalam perjanjian.

25
Ghea Kiranti Shalihah, “TINJAUAN TERHADAP PERANAN ASAS HUKUM PERJANJIAN DALAM
MEWUJUDKAN HAKEKAT PERJANJIAN”, Lex Privatum, Vol. 10 No.2 (2022)

26
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Asas hukum dapat diartikan sebagai suatu hal yang dianggap oleh masyarakat
hukum yang bersangkutan sebagai basic truth atau kebenaran asasi, sebab melalui asas-
asas hukum itulah pertimbangan etis dan sosial masyarakat masuk ke dalam hukum.
Sejumlah prinsip atau asas hukum merupakan dasar bagi hukum perjanjian
diantaranya:

1. Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract)


2. Asas konsensualisme (concensualism)
3. Asas kebiasaan
4. Asas kepercayaan
5. Asas kekuatan hukum mengikat perjanjian/kontrak
6. Asas sistem terbuka
7. Asas persamaan hukum
8. Asas ganti kerugian
9. Asas peralihan resiko
10. Asas kepatutan
11. Asas kewajaran (fairness)
12. Asas ketepatan waktu
13. Asas kerahasiaan
14. Asas keadaan darurat
15. Asas pilihan hukum
16. Asas penyelesaian perjanjian

27
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, J. (2015). Analisis Asas Konsensualisme di Lembaga Keuangan Syariah.
Iqtishadia, 8(2).

Al Farichi, M. (2021). ASAS-ASAS BIMBINGAN KONSELING. Universitas Negeri


Padang. https://www.kajianpustaka.com/

Aminah. (2019). Pilihan Hukum dalam Kontrak Perdata Internasional. Diponegoro


Privat Law Review, 4(2).

Bella Harsono, V. (2020). ASAS KEPERCAYAAN DALAM TRANSAKSI JUAL


BELI MELALUI APLIKASI TOKO ONLINE.

Faisal, M., & Lubis, R. (2019). PENERAPAN HUKUM TERHADAP ASAS


KEPERCAYAAN DI DALAM TRANSAKSI JUAL-BELI ON-LINE. Jurnal
Ilmiah METADATA, 1(3).

Harimahesa, D. B. (2012). ASAS KERAHASIAN DALAM PROSES


PERSIDANGAN ARBRITASE KOMERSIAL INTERNASIONAL DAN
INDONESIA. FH UI.

HERMANSYAH. (2015). PERWUJUDAN ASAS KEPERCAYAAN DALAM


PENGATURAN KEGIATAN USAHA BANK.

Hermansyah, N. (2020). ANALISIS YURIDIS EKSISTENSI ASAS KEBEBASAN


BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN DEWASA INI (STANDAR
KONTRAK) DI MASYARAKAT. Jurnal WASAKA HUKUM, 8(1).

Holijah. (2019). ASAS KEBIASAAN PEMBERIAN UANG PANJAR DALAM


TRANSAKSI JUAL BELI ERA PASAR BEBAS. MIMBAR HUKUM, 31(1), 31–
44.

Muhtarom, M. (2014). ASAS-ASAS HUKUM PERJANJIAN; SUATU LANDASAN


DALAM PEMBUATAN KONTRAK. SUHUF, 26(1), 48–56.

Sembiring, S. (1999). Pencantuman Asas Kewajaran dalam Kontrak Standar


(Perjanjian Baku) sebagai Salah Satu Upaya Melindungi Konsumen. JURNAL
HUKUM, 6(12), 109–120.

28
Shalihah, G. K. (2022). TINJAUAN TERHADAP PERANAN ASAS HUKUM
PERJANJIAN DALAM MEWUJUDKAN HAKEKAT PERJANJIAN. Lex
Privatum, 10(2).

Sinaga, N. A. (2018). PERANAN ASAS-ASAS HUKUM PERJANJIAN DALAM


MEWUJUDKAN TUJUAN PERJANJIAN. Binamulia Hukum, 7(2).

Suwardiyati, R. (2020). PENERAPAN ASAS KEPATUTAN DALAM PERJANJIAN


KAWIN. WIDYA YURIDIKA: JURNAL HUKUM, 3(2), 271–282.
http://publishing-widyagama.ac.id/ejournal-v2/index.php/yuridika/

Umar, D. U. (2020). PENERAPAN ASAS KONSENSUALISME DALAM


PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT PERSPEKTIF HUKUM PERDATA.
Lex Prifatum, VIII(1), 38–48.

29

Anda mungkin juga menyukai