Anda di halaman 1dari 19

PENAFSIRAN DAN ANALOGI DALAM HUKUM PIDANA

Makalah
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Asas-Asas Hukum Pidana
Dosen pengampu Ridwan Eko Prasetyo, S.H.I, M.H.

disusun :
Muhamad Suryadi NIM 1213060072
Merang Mustakim NIM 1213060063
Iik Ikmawati NIM 1213060051
Lela Nur Andriana NIM 1213060056

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2022

I
KATA PENGANTAR

Puja dan puji penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya berkat
rahmat dan karunia-Nya, dan maha suci Engkau yang telah memberi kemudahan
dalam menyusun makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah, “Asas-asas
Hukum Pidana” sehingga makalah ini dapat kami selesaikan dengan baik.
Makalah ini kami susun guna menyelesaikan tugas kelompok dari mata kuliah
“Asas-asas Hukum Pidana”guna mengetahui mengenai Penafsiran Dan Analogi
Hukum Pidana.
Akhir kata, Semoga makalah ini membawa manfaat bagi pembaca
maupun penulis bagi pengembangan ilmu. Kami menyadari penyusunan makalah
ini banyak sekali kekurangan baik dalam isi ataupun cara penulisan. Oleh karena
itu, kami meminta maaf atas kesalahan dan kekurangan pada makalah ini, serta
kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Mudah-mudahan
makalah ini memberikan manfaat bagi kami dan umumnya yang membaca
makalah ini.

Bandung, 10 Oktober 2022

Penulis

II
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................II
DAFTAR ISI........................................................................................................III
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1
A. Latar Belakang.......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................................2
C. Tujuan....................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................1
A. Penafsiran Hukum Pidana......................................................................................1
B. Analogi Hukum Pidana......................................................................................5
C. (Locus Delicti) atau Batas Berlakunya Hukum Pidana Menurut Terjadinya Hukum
Pidana.............................................................................................................................8
C. (Tempus Delicti) atau Batas-Batas Berlakunya Perundang-Undangan Menurut
Terjadinya Waktu Tejadinya Hukum.............................................................................2
Pidana.............................................................................................................................2
BAB III PENUTUP.......................................................................................................2
A. Kesimpulan............................................................................................................2
B. Saran......................................................................................................................2
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Banyak perbedaan pendapat para ahli hukum dalam mendefinisikan
suatu hukum pidana, namun yang menjadi intinya yaitu, hukum pidana
merupakan sebuah cara yang menentukan bagaimana membedakan yang
boleh atau dilarang, dalam hal apa yang kemudian dijatuhi hukuman apa
yang setimpal, dan dengan bagaimana cara pengenaan pidana bagi para
pelanggarnya. Semua itu tidak lepas dari asas legalitas yang mana menjadi
pedoman tiap-tiap pidana itu harus ditentukan oleh undang-undang.
Dalam perundang-undangan Indonesia, tidak ditemuakan definisi
hukum pidana. Pengertian tindak pidana hanya merupakan kreasi teoritis
para ahli hukum. Berdasarkan konkordansi, hukum pidana Indosesia
mengadopsi hukum pidana Belanda yang menjadi rujukan. Maka istilah
“tindak pidana” berasal dari kata “strafbaar feit” Makna atau nilai dari asas
negara hukum tersebut adalah bahwa hukum merupakan sumber tertinggi
(supremasi) dalam mengatur dan menentukan mekanisme hubungan hukum
antara negara dan masyarakat, maupun antara anggota atau kelompok
masyarakat yang satu dengan yang lainnya dalam mewujudkan tujuannya.
Dalam praktik penyelenggaraan negara atau pemerintahan sering
terjadi hal-hal yang tidak normal dalam menata kehidupan kenegaraan, di
mana sistem hukum yang biasa digunakan tidak mampu mengakomodasi
kepentingan negara atau masyarakat sehingga memerlukan pengaturan
tersendiri untuk menggerakan fungsi-fungsi negara agar dapat berjalan
secara efektif guna menjamin penghormatan kepada negara dan pemenuhan
hak-hak dasar warga negara. Dengan demikian maka penggunaan perangkat
hukum biasa sejak semula haruslah mengantisipasi berbagai kemungkinan
keadaan yang bersifat tidak normal agar negara dapat menjamin
kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara.

1
B. Rumusan Masalah

1. Jelaskan Bagaimana Penafsiran Hukum Pidana?

2. Bagaimana Analogi dalam Hukum Pidana?

3. Jelaskan Apa yang Dimaksud dengan (locus Delicti) atau Batas


Berlakunya Hukum Pidana Menurut Terjadinya Hukum Pidana?

4. Jelaskan Apa yang Dimaksud dengan (Tempus Delicti) atau Batas


Berlakunya Perundang-undangan Menurut Waktu Terjadinya
Perbuatan Pidana?
C. Tujuan

1. Untuk mendeskripsikan cara penafsiran hukum pidana

2. Untuk mendeskripsikan mekanisme analogi dalam hukum pidana.

3. Untuk mendeskripsikan locus delicti & tempus delicti secara


sistematis.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Penafsiran Hukum Pidana


Pembahasan tentang penafsiran dalam penerapan hukum pidana ini, akan
menunjukan bahwa penafsiran merupakan sesuatu yang tidak bisa
dihindarkan dalam upaya penegakan hukum pada umumnya dan penerapan
hukum pidana khususnya secara berkeadilan. Penafsiran merupakan sesuatu
yang penting, yang berhubungan dengan sifat dinamis dari masyarakat
dengan problematikanya yang kompleks, sementara setiap kali ketentuan
hukum dirumuskan dan ditetapkan dalam wujud undang-undang, seketika itu
pula berhadapan dengan kemungkinan tertinggal dari gerak dinamis
masyarakat tempat berlakunya ketentuan hukum itu. Penerapan ketentuan
hukum tanpa melihat kaitannya dengan dinamika masyarakat akan mudah
terjerumus pada penegakan hukum yang jauh dari semangat keadilan.
Penafsiran merupakan suatu istilah umum yang berarti upaya untuk
menemukan suatu makna atau pengertian suatu istilah, kata-kata atau
terminologi, atau tanda-tanda tertentu, seperti atau sedekat mungkin dengan
yang dimaksudkan oleh sumber pertama sehingga dapat menjadi pangkal
tolak suatu sikap atau tindakan selanjutnya. 1 1

Dalam penegakan hukum khususnya, penafsiran atau interpretasi adalah


upaya untuk mengartikan istilah yang terdapat dalam rumusan tindak pidana
di dalam undang-undang menurut cara tertentu sehingga dapat disimpulkan
apakah suatu fakta dapat tercakup ke dalam suatu rumusan tindak pidana di
dalam undang-undang itu. Di sini hakim menghadapi kekosongan atau
ketidak-lengkapan undang-undang yang harus diisi atau dilengkapi, sebab
hakim tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara.

Penafsiran merupakan kegiatan yang sangat penting dalam hukum.


1 . Hukum Pidana Dasar-Dasar Hukum Pidana Berdasarkan KUHP dan RUU KUHP, Disusun
oleh Sudaryono Natangsa Surbakti. (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2017), hlm
122

1
Penafsiran merupakan metode untuk memahami makna yang terkandung
dalam teks-teks hukum untuk dipakai dalam menyelesaikan kasus-kasus atau
mengambil keputusan atas hal-hal yang dihadapi secara konkrit. Di samping
hal itu, dalam bidang hukum tata negara, penafsiran dalam hal ini judicial
interpretation (penafsiran oleh hakim), juga dapat berfungsi sebagai metode
perubahan konstitusi dalam arti menambah, mengurangi atau memperbaiki
makna yang terdapat dalam suatu teks Undang-Undang Dasar.
Seperti yang dikemukakan oleh K.C. Wheare, Undang-Undang dasar
dapat diubah yakni dengan:

a. Formal Amandement,

b. Judicial Interpretation, dan

c. Constitutional Usage And Conventions

Dalam penafsiran hukum pidana ini pentingnya hal tersebut maka


dalam setiap buku hukum lazim di temukan dan diuraikan para penulis. Oleh
karena itu para sarjana hukum memberikan metode pemikiran dalam
melakuakn penafsiran hukum.

Disini dapat di kemukakan pendapat Utrecht mengenai penafsiran


undang-undang:

1. Penafsiran menurut arti kata atau istilah (taalkundige interpretasi)

Hakim wajib mencari arti kata dalam undang-undang dengan cara


membuka kamus bahasa atau meminta keterangan ahli bahasa. Kalaupun
belum cukup, hakim harus mempelajari kata tersebut dalam susunan
kata-kata kalimat yang berhubungan dengan peraturan. Cara penafsiran
ini menurut Utrech, ditempuh pertama dalam menafsirkan.0

2. Penafsiran Historis (historis interpretatie)

0 . Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, disusun dan direvisi oleh Moh. Saleh Djindang,
cet. XI, PT. (Jakarta: Ichtiar Baru,1983), hlm. 208.

2
Cara penafsiran historis ini, menurut Utrecht, dilakukan dengan:

a. Menafsirkan menurut sejarah hukum (rechtshistorische


interpretatie), dan;

b. Menafsirkan menurut sejarah penetapan suatu ketentuan


(wetshistorische interpretatie).0

Penafsiran secara historis menurut Utrech, merupakan penafsiran


yang cukup luas karena dilakukan dengan cara mencermati naskah-
naskah dari sistem hukum yang pernah diberlakukan. Menurut Scolthen,
makna penafsiran historis berdasarkan praktik. Hukum itu bersifat
dinamis dan perkembangannya mengikuti perkembangan masyarakat.
Oleh karena itu, makna yang dapat diberikan kepada suatu naskah
hukum positif sekarang berbeda namun penafsiran pada hakikatnya
hanya merupakan pedoman saja.0

3. Penafsiran Sistematis (systematische interpretative).

Penafsiran sistematis juga dapat terjadi jika naskah hukum yang satu
dan naskah hukum yang lain berhubungan, yang mana keduanya
mengatur hal yang sama, dihubungkan dan dibandingkan satu sama lain.
Misalnya yang ditafsirkan itu adalah pasal dari suatu undang-undang,
maka ketentuan-ketentuan yang sama, apalagi satu asas dalam peraturan
lainnya, harus dijadikan acuan.0 Jadi istilahnya mengqiyaskan hukum
dengan yang lain yang sekilas sama.

4. Penafsiran Sosiologis

Menurut Utrech, setiap penafsiran Undang-Undang harus ada


penafsiran secara sosiologis, yang mana hakim dapat membaca keadaan
masyarakat. Utrech mengatakan bahwa hukum merupakan gejala sosial
yang setiap peraturannya memiliki landasan sosial dan memiliki

0. Pendapat Utrecht ini sangat mirip dengan pendapat Visser’t Hoft


0. Ibid., hlm. 210-211
0. Ibid., hlm. 212-213.

3
kepastian hukum dalam masyarakat. 0
Hakim Perlu membaca secara
aspek sosial keadaannya, apakah landasan ia berbuat pelangaran itu
karena kurang mampu apa gimana.

5. Penafsiran otentik atau resmi (authentieke atau officiele


interpretatie)

Penafsiran secara otentik ini sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh
pembuat Undang-Undang. (Legislator).0 Misalnya, arti kata yang
dijelaskan dalam pasal atau dalam penjelasannya. Jika ingin mengetahui
apa yang dimaksud dalam suatu pasal, maka langkah pertama adalah
lihat penjelasan pasal itu. Oleh sebab itu, penjelasan undang-undang
selalu diterbitkan tersendiri, yaitu dalam Tambahan Lembaran Negara,
sedangkan naskah undang-undang diterbitkan dalam Lembaran Negara.

Sementara Itu menurut Visser’t Hoft teorinya hampir sama dengan Utrech
namun ia menambahkan beberapa model teori penafsiran yang memuat
dasar-dasar hukum menurut teori beliau,

6. Penafsiran Teleologis

Maksudnya yaitu menafsirkan dengan cara mengacu kepada


formulasi norma hukum yang berupa nilai moral suatu tindakan yang
memiliki tujuan. Fokus perhatian dalam menafsirkan adalah fakta bahwa
pada norma hukum mengandung tujuan atau asas yang menjadi dasar
sekaligus mempengaruhi interpretasi. Misalnya perbuatannya baik
namun memiliki tujuan yang buruk ataupun sebaliknya

7. Penafsiran Antisipatif

Menurut Visser’t Hoft. Metode penafsiran ini dilakukan dengan cara


merujuk RUU yang sudah disiapkan untuk dibahas atau sedang dibahas
dalam parlemen. Dengan cara ini sebenarnya hakim melihat ke masa
yang akan datang (forward looking). Dengan perkataan lain, hakim dapat

0. Ibid., hlm. 216.


0. Ibid., hlm. 217

4
saja berpendirian bahwa penafsiran terhadap norma hukum yang baru.

8. Penafsiran Evolutif-Dinamis

Penafsiran ini dilakukan karena ada perubahan pandangan


masyarakat dan situasi kemasyarakatan. Makna yang diberikan kepada
suatu norma bersifat mendobrak perkembangan setelah diberlakukannya
hukum tertentu. Salah satu ciri penting penafsiran ini ialah pengabaian
maksud pembentuk undang-undang. Makna obyektif atau aktual maupun
subyektif dari suatu norma sama sekali tidak berperan lagi.

B. Analogi Hukum Pidana


Penerapan sebuah aturan hukum dengan memakai logika adalah
mengambil pusat dari sebuah peraturan guna digunakan kepada perbuatan
sesungguhnya yang belum ada aturannya, sedangkan dalam KUHP Pasal 1
ayat (1) telah dijelaskan harus adanya aturan yang melandasi suatu tindak
pidana. Larangan menggunakan analogi sudah dijelaskan dalam KUHP yang
saat ini berlaku dikarenakan asas analogi tersebut sudah menyeleweng dari
asas legalitas yang tertuang dalam pasal 1 KUHP. Larangan analogi masih
diberlakukan di beberapa negara diantaranya negara Indonesia dan negara
Belanda. Namun, adanya larangan analogi ini membuat adanya beberapa
pendapat yang pro dan kontra. Adanya beberapa alasan dalam menggunakan
analogi diantaranya :
1. Seiring berkembangnya zaman, permasalahan yang baru selalu saja
timbul, Alasan ini membuat beberapa menggunakan analogi yang
berfungsi untuk menafsirkan permasalah yang ada tersebut dan
dikarenakan mereka mengetahui bahwa undang-undang tidak mungkin
di ganti setiap zamannya.
2. Adanya sebuah kekawatiran yang tidak beralasan. Maka dari itu, kita
mempunyai hukum tertulis dengan syarat analoginya tidak berlebihan.

5
3. Para hakim dalam prakteknya sering menggunakan analogi dalam
prakteknya, hakim sering sekali menggunakan analogi, akan tetapi tidak
diungkapkan secara jelas.

Contohnya pada kasus tahun 1921 terkait pencurian tenaga listrik


diartikan kedalam benda yang terdapat dalam pasal 362 KUHP. Pada tahun
1880 hanya W.V.S yang di kenal benda berwujud, sedangkan makna nya
sekaradala artian sekarang juga meliputi benda tak berwujud. Menurut
pendapat beberapa ahli, adanya larangan analogi mengacu pada Pasal 1 ayat
(1) yaitu tentang asas legalitas. Moeljatno berpendapat bahwa tafsiran masih
berpacu pada aturan, semua katanya masih di turut, hanya ada kata yang
tidsk bermakna, sedangkan analogi tidak berpacu pada aturan yang ada,
melainkan pada pusat. Karenanya, hal ini bertentangan pada asas legalitas
yang seharusnya hanya ada satu dasar sebagai aturan. 0
Van Apeldoorn mengatakan bahwa fungsi penafsiran dalam hukum
pidana merupakan hakikat dari suatu kegiatan tersebut sebagai usaha untuk
mencari keinginan pembuat undang-undang yang pernyataannya masih
samar. Fungsi dari penafsiran adalah mengartikan suatu kaidah atau asas
hukum kemuadian menyatukan fakta hukum dengan kaidah hukum dan
menjamin penerapan hukum bisa di lakukan secara benar, tepat dan adil.
Selain itu, fungsi penafsiran juga untuk mempertemukan kaidah hukum
dengan perubahan-perubahan sosial supaya kaidah hukum tetap akurat dan
mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan perubahan sosial. 0
Penafsiran analogi merupakan pengartian suatu peraturan hukum dengan
cara memberi kesamaan pada kata-kata yang ada dalam peraturan tersebut
sesuai dengan azas hukumnya sehingga sebuah peristiwa yang sebenarnya
tidak sinkron kedalamnya di anggap cocok dengan peraturan tersebut.

0 . P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar untuk mempelajari Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia,
Sinar Baru, Bandung, hlm. 71.

0. http://tiaramon.wordpress.com diakses tanggal 1 Oktober 2022, pukul 19.25 WIB.

6
Maksud dari penafsiran analogi adalah memperluas jangkauan dari ketentuan
undang-undang. Analogi ini sangat kuat hubungannya dengan penjelasan dari
Pasal 1 KUHP yang dapat disimpulkan bahwa asas yang terdapat didalamnya
dilarang menggunakan analogi.

Penafsiran analogi menyebabkan banyak perdebatan ahli hukum dengan


menantang serta menerima definisi penafsiran analogi. Secara ringkasnya
penafsiran analogi merupakan suatu perlakuan yang pada saat
dilaksankannya bukanlah tindak pidana, ketentuan hukum pidana di terapkan
dan berlaku untuk tindak pidana dan tindak pidana lain dan mempunyai sifat
ataupun bentuk yang sama dari perbuatan tersebut, sehingga perbuatan
keduanya dipandang analog satu dengan lainnya. Andi Hamzah berpendapat
bahwa ada dua jenis analogi, yaitu :
1. Gesetz Analogi merupakan analogi terhadap perbuatan yang sama sekali
tidak ada di dalam hukum pidana.
2. Recht analogi merupakan analogi terhadap perbuatan yang mempunyai
kesamaan dengan perbuatan yang dilarang dalam ketentuan hukum
pidana.
Alasan pihak yang menyetujui adanya penafsiran analogi karena
perkembangan masyarakat yang sangat cepat sehingga hukum pidan aitu
sendiri harus berkembang juga sesuai dengan masyarakat tersebut. Sementara
pihak yang menentang adanya penafsiran analogi ini mereka beralasan
penerapan analogi dirasa sangat berbahaya karena dapat menimbulkan
ketidak pastian hukum di dalam masyarakat. Dalam penafsiran analogi,
peraturan yang menjadi urusan itu tidak bisa di masukan ke dalam aturan
yang sudah ada, namun perbuatan itu menurut hakim sendiri termasuk ke
dalam perbuatan yang mirip perbuatan itu. Jadi, jika di gunakannya analogi
yang di buat untuk menjadikan perbuatan pidana kepada suatu perbuatan
tertentu, bukan lagi aturan yang ada. Oleh karenanya, hal ini bertolak

7
belakang dengan asas legalitas yang seharusnya hanya ada aturan sebagai
dasar. 0
Situasi hukum perundang-undangan yang mengatur tentang Hukum
Pidana bersifat elitis, apabila penerapan hukum perundang-undangan
dilaksanakan menggunakan konsep hukum yang dipahami dalam tradisi
berpikir aliran positif yang memandang hukum hanya sebatas pada lingkup
peraturan perundang-undangan serta pemaknaan perundang-undangan secara
formal-tekstual, dengan mengabaikan nilai sosial dalam masyarakat, yang
terjadi adalah hukum yang mengabdi pada kepentingan elit bukannya
masyarakat luas, yang menyebabkan tujuan hukum yang mewujudkan
keadilan akan semakin jauh dari yang diharapkan. 0

Untuk itu, perlu diadakannya konsep hukum lain dalam penerapan


hukum yang memungkinkan tujuan hukum dapat mewujudkan keadilan dan
kesejahteraan rakyat Indonesia. Konsep aliran hukum progresif, diartikan
sebagai hukum untuk masyarakat dan bukan untuk kepentingan individu, hal
ini merupakan cara alternatif yang dapat digunakn dalam penerapan hukum
agar memungkinkan terwujudnya tujuan hukum.
Pemahaman tentang konsep hukum progresif tidaklah terbebas dari
pemikiran hukum yang melatarbelakangi munculnya hukum progresif.
Pemahaman hukum itu sendiri menurut hukum progresif ditegaskan bahwa
hukum merupakan institusi dengan tujuan mendorong manusia pada
kehidupan sejahtera, adil dan Bahagia. 0
C. (Locus Delicti) atau Batas Berlakunya Hukum Pidana Menurut
Terjadinya Hukum Pidana.
Tempat terjadinya tindak pidana ataupun locus deliciti memiliki peran
penting dalam bagi berbagai permasalahan yang ada dalam hukum pidana.
Mengenai locus delicti dalam KUHP senditi tida terdapat ketentuan-

0. Bambang Pornomo, S.H, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia,1981, hal. 23.
0 . Mahmud Kusuma, Menyelami Semangat Hukum Progresif Terapi Paradikmatik Bagi
Lemahnya Hukum di Indonesia, AntonyLib, Yogyakarta, 2009, hlm. vi.
0 . Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publishing,
Yogyakarta, 2009, hlm. 2.

8
ketentuan tertentu. Lain misalnya dengan KUHP yang ada di negara Jerman,
yang mana dalam pasal 3 ditentukan bahwa tempat perbuatan pidana adalah
tempat dimana terdakwa berbuat atau dalam hal kelakuan negatif, dimana
seharusnya terjadi, namun demikian locus delicti tetap perlu diketahui.0
Tempat tindak pidana perlu diketahui untuk menetapkan apakah terhadap
sesuatu peristiwa pidana berlaku Undang-Undang pidana negara Indonesia
ataukah Undang-Undang pidana negara lain. Lalu seperti tempat tindak
pidana penting dalam hal yang berhubungan dengan kompetensi relatif.
Dalam pasal 84 ayat (1) KUHAP yang berisikan mengenai prinsip dasar
tentang kompetensi relatif, yakni pengadilan negeri berwenang mengadili
segala perkara tindak pidana yang dilakukan didalam daerah hukumnya. 0
Ketentuan ini pun dimuat didalam pasal 118 dah 252 H.I.R sepanjang
mengenai pengadilan negeri, serta pasal 4 UU Darurat 1951 No. 1 sepanjang
mengenai pengadilan tinggi.
Mengenai soal tempat tindak pidana pada mulanya dianutlah teori
jasmani dan diperluas dengan teori alat, lalu adanya anggapan yang mana
teori alat ini sesuai dengan teori yang digunakan tentang tempat terjadinya
delik-delik yang bersifat materiil, yakni teori akibat. Didalam
perkembangannya hakim tidak hanya menggunakan satu teori saja, namun
beberapa teori.0
Dalam tempat tindak pidana terdapat 3 teori, yakni:
1. Teori perbuatan jasmani atau perbuatan materiil, menurut teori ini tempat
tindak pidana adalah tempat dimana perbuatan jasmani yang menjadi
unsur tindak pidana pada kenyataan diwujudkannya. Yang mana menurut
teori ini yang dinilai sebagai tempat terjadinya suatu tindak pidana
didasarkan pada perbuatan secara fisik atau tempat dimana perkara
tersebut dilakukan.

Semisal F seorang mahasiswa Universitas Lombok, yang pada hari itu

0. Prof. Moeljatno, S.H., Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hlm. 86
0 . Dr. Fitri Wahyuni, S.H., M.H., Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia (Tanggerang
Selatan: PT Nusantara Persada Utama, 2017), hlm.65.
0. Mr. R. Tresna, Azas-Azas Hukum Pidana (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1994), hlm. 115-117.

9
sedang mengerjakan tugasnya diluar rumah dan berniat kembali ke rumah.
Lalu dalam perjalanan tiba-tiba ia ditikam oleh orang yang tak dikenal dan
kondisinya sekarat.
Berdasarkan teori ini, maka dalam perkara tersebut letak locus delicti
terletak di Lombok.
1. Teori alat, menurut teori ini tempat tindak pidana merupakan tempat
dimana alat digunakan dan bekerja efektif dalam hal terwujudnya tindak
pidana. (buku php) Yang mana menurut teori ini yang dinilai sebagai
tempat tindak pidana adalah tempat dimana alat yang digunakan
menimbulkan akibat tindak pidana. Semisal A yang berada di Malang
mengirimkan paket yang berisikan BOM pada B yang berada di Bandung.
Lalu ketia B membuka paket tersebut dan terjadi ledakan yang
menyebabkan B meninggak dunia. Berdasarkan teori ini, maka locus
delicti terletak di Bandung.
2. Teori akibat, menurut teori ini tempat tindak pidana adalah tempat dimana
akibat dari perbuatan itu timbul. Yang mana menurut teori ini tempat
terjadinya suatu peristiwa pidana adalah dimana perbuatannya mempunyai
akibat yang segera dan nyata.0

D. (Tempus Delicti) atau Batas-Batas Berlakunya Perundang-


Undangan Menurut Terjadinya Waktu Tejadinya Hukum
Pidana.
Tempus delicti, yaitu berdasarkan waktu, untuk menentukan apakah
suatu undang-undang dapat diterapkan terhadap suatu tindak pidana.
Mengenai penentuan soal waktu (tempus delicti) dalam undang-undang
hukum pidana tidak dijelaskan secara rinci serta tidak ada ketentuan khusus
yang mengaturnya, padahal keberadaan tempus delicti perlu, yakni
untuk: 0

0 . Drs. Adami Chazawi, S.H., Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1 (Jakarta: Rajawali
Pers, 2011), hlm. 140.
0 .SatochidKartanegara, 2000, Hukum Pidana, Balai Lektur Mahasiswa,
Yogyakarta, hlm.158.

10
1. Menentukan berlakunya hukum pidana sebagaimana yang diatur dalam
pasal 1 ayat (1) KUHP, yakni “tidak ada perbuatan yang dapat dihukum
selain atas kekuatan peraturan pidana dalam undang-undang yang
diadakan pada waktu sebelumnya.” Jadi Apakah perbuatan itu adalah
perbuatan yang berkaitan pada waktu itu sudah dilarang dan dipidana.
Jika undang-undang dirubah sesudah perbuatan itu terjadi, maka
dipakailah aturan yang paling ringan bagi terdakwa.
2. Menentukan saat berlakunya verjarings termijn (daluwarsa) sehingga
perlu diketahui saat yang dianggap sebagai waktu permulaan terjadinya
kejahatan.
3. Menentukan hal yang berkaitan dengan Pasal 45 KUHP. Menurut pasal
ini hakim dapat menjalankan dua jenis hukuman terhadap tersangka yang
belum genap berumur 16 tahun, yakni:

a. Mengembalikan kepada orang tuanya,

b. Menyerahkan kepada pemerintah dengan tidak menjatuhkan


hukuman.

Jadi Tempus Delicti adalah waktu terjadinya suatu delik atau tindak


pidana. Tempus delicti penting untuk menentukan waktu atau kapan
terjadinya suatu tindak pidana dan juga untuk menentukan apakah suatu
undang-undang pidana dapat diberlakukan untuk mengadili tindak pidana
yang terjadi tersebut. Suatu undang-undang yang pemberlakuannya setelah
terjadi suatu delik atau tindak pidana tidak dapat digunakan sebagai dasar
untuk memeriksa dan memutuskan suatu tindak pidana. 
Dari asas legalitas ini jelaslah bahwa terhadap perbuatan yang diancam
dengan pidana, yang diberlakukan adalah hukum atau undang-undang yang
sudah ada pada saat itu, tidak boleh dipakai undang-undang yang akan
dibuat sesudah perbuatan itu terjadi. Disini berlaku asas tempus delicti yang
artinya adalah undang-undang yang berlaku adalah pada saat delik/kejahatan
itu terjadi. Asas inilah yang dipakai di Indonesia sebagaimana ketentuan
Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut. Jadi asas tempus delicti adalah merupakan

11
konsekuensi dari asas legalitas. Berdasarkan rumusan Pasal 1 ayat (1)
KUHP tersebut secara tegas ditunjuk perbuatan mana yang dapat berakibat
pidana. Dalam hal ini bukan perbuatannya yang dipidana, tetapi orang yang
melakukan perbuatan itu, yaitu:

1. Perbuatan itu harus ditentukan oleh perundang-undangan pidana sebagai


perbuatan yang pelakunya dapat dijatuhi pidana.

2. Perundang-undangan pidana itu harus sudah ada sebelum perbuatan itu


dilakukan.

12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara yuridis maupun filosofis, hakim Indonesia mempunyai kewajiban atau
hak untuk melakukan penafsiran hukum atau penemuan hukum agar putusan yang
diambilnya dapat sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Ketentuan ini
berlaku bagi semua hakim dalam semua lingkungan peradilan dan dalam ruang
lingkup hakim tingkat pertama, tingkat banding maupun tingkat kasasi atau Hakim
Agung. Penafsiran hukum oleh hakim dalam proses peradilan haruslah dilakukan
atas prinsip-prinsip dan asas-asas tertentu. yang menjadi dasar sekaligus rambu-
rambu bagi hakim dalam menerapkan kebebasannya dalam menemukan dan
menciptakan hukum. Dalam upaya penafsiran hukum, maka seorang hakim
mengetahui prinsip-prinsip peradilan yang ada dalam peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan dunia peradilan, dalam hal ini Undang-Undang Dasar NRI
Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman .
B. Saran
Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari masih jauh dari
kesempurnaan, masih banyak terdapat kesalahan-kesalahan, baik dalam
bahasanya, materi dan penyusunannya. Oleh karena itu penulis sangat
mengharapkan kritik, saran dan masukan yang dapat membangun penulisan
makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

 Khalid, A. (2014). PENAFSIRAN HUKUM OLEH HAKIM DALAM


SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. VI Nomor, 11.
 Sudaryono, D. O., & Surbakti, N. (2017). HUKUM PIDANA Dasar-Dasar
Hukum Pidana Berdasarkan KUHP dan RUU KUHP.
 Hermeneutika Hukum: Sejarah, Teori & Praktek. (2019)(n.p.): Nusamedia.

 Prof. Moeljatno. (2018). Asas-asas Hukum Pidana: Vol. 20,5 cm (cetakan


ke 9). PT RINEKA CIPTA.
 Prof. Moeljatno, S.H., Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta: Rineka Cipta,
2008).
 Gede Atmadja, D. (2018). ASAS-ASAS HUKUM DALAM SISTEM
HUKUM. 12(2), 145–155. https://doi.org/10.22225/kw.12.2.721.145-155
 Drs. Adami Chazawi, S.H., Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1 (Jakarta:
Rajawali Pers, 2011).
 Mahmud Kusuma, Menyelami Semangat Hukum Progresif Terapi
Paradikmatik Bagi Lemahnya Hukum di Indonesia, AntonyLib,
Yogyakarta, 2009.
 Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia,
Genta Publishing, Yogyakarta, 2009.
 Dr. Fitri Wahyuni, S.H., M.H., Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia
(Tanggerang Selatan: PT Nusantara Persada Utama, 2017).
 Mr. R. Tresna, Azas-Azas Hukum Pidana (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1994).
 Satochid Kartanegara, 2000, Hukum Pidana, Balai Lektur Mahasiswa,
Yogyakarta.
 Hardiatun, N., & Danang Widoyoko, W. (n.d.). Dekrit LOCUS DELICTI
DAN TEMPUS DELICTI PENIPUAN ONLINE DALAM KONSEP
HUKUM PIDANA. https://journal.pasca-ubharasby.id/index.php/dekrit
 https://www.baliadvocate.com/artikel/ruang-lingkup-berlakunya-hukum-
pidana/

 https://heylawedu.id/blog/hukum-pidana-berlakunya-undang-undang-
pidana-menurut-waktu.

Anda mungkin juga menyukai