Makalah
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Asas-Asas Hukum Pidana
Dosen pengampu Ridwan Eko Prasetyo, S.H.I, M.H.
disusun :
Muhamad Suryadi NIM 1213060072
Merang Mustakim NIM 1213060063
Iik Ikmawati NIM 1213060051
Lela Nur Andriana NIM 1213060056
I
KATA PENGANTAR
Puja dan puji penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya berkat
rahmat dan karunia-Nya, dan maha suci Engkau yang telah memberi kemudahan
dalam menyusun makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah, “Asas-asas
Hukum Pidana” sehingga makalah ini dapat kami selesaikan dengan baik.
Makalah ini kami susun guna menyelesaikan tugas kelompok dari mata kuliah
“Asas-asas Hukum Pidana”guna mengetahui mengenai Penafsiran Dan Analogi
Hukum Pidana.
Akhir kata, Semoga makalah ini membawa manfaat bagi pembaca
maupun penulis bagi pengembangan ilmu. Kami menyadari penyusunan makalah
ini banyak sekali kekurangan baik dalam isi ataupun cara penulisan. Oleh karena
itu, kami meminta maaf atas kesalahan dan kekurangan pada makalah ini, serta
kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Mudah-mudahan
makalah ini memberikan manfaat bagi kami dan umumnya yang membaca
makalah ini.
Penulis
II
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................II
DAFTAR ISI........................................................................................................III
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1
A. Latar Belakang.......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................................2
C. Tujuan....................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................1
A. Penafsiran Hukum Pidana......................................................................................1
B. Analogi Hukum Pidana......................................................................................5
C. (Locus Delicti) atau Batas Berlakunya Hukum Pidana Menurut Terjadinya Hukum
Pidana.............................................................................................................................8
C. (Tempus Delicti) atau Batas-Batas Berlakunya Perundang-Undangan Menurut
Terjadinya Waktu Tejadinya Hukum.............................................................................2
Pidana.............................................................................................................................2
BAB III PENUTUP.......................................................................................................2
A. Kesimpulan............................................................................................................2
B. Saran......................................................................................................................2
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Banyak perbedaan pendapat para ahli hukum dalam mendefinisikan
suatu hukum pidana, namun yang menjadi intinya yaitu, hukum pidana
merupakan sebuah cara yang menentukan bagaimana membedakan yang
boleh atau dilarang, dalam hal apa yang kemudian dijatuhi hukuman apa
yang setimpal, dan dengan bagaimana cara pengenaan pidana bagi para
pelanggarnya. Semua itu tidak lepas dari asas legalitas yang mana menjadi
pedoman tiap-tiap pidana itu harus ditentukan oleh undang-undang.
Dalam perundang-undangan Indonesia, tidak ditemuakan definisi
hukum pidana. Pengertian tindak pidana hanya merupakan kreasi teoritis
para ahli hukum. Berdasarkan konkordansi, hukum pidana Indosesia
mengadopsi hukum pidana Belanda yang menjadi rujukan. Maka istilah
“tindak pidana” berasal dari kata “strafbaar feit” Makna atau nilai dari asas
negara hukum tersebut adalah bahwa hukum merupakan sumber tertinggi
(supremasi) dalam mengatur dan menentukan mekanisme hubungan hukum
antara negara dan masyarakat, maupun antara anggota atau kelompok
masyarakat yang satu dengan yang lainnya dalam mewujudkan tujuannya.
Dalam praktik penyelenggaraan negara atau pemerintahan sering
terjadi hal-hal yang tidak normal dalam menata kehidupan kenegaraan, di
mana sistem hukum yang biasa digunakan tidak mampu mengakomodasi
kepentingan negara atau masyarakat sehingga memerlukan pengaturan
tersendiri untuk menggerakan fungsi-fungsi negara agar dapat berjalan
secara efektif guna menjamin penghormatan kepada negara dan pemenuhan
hak-hak dasar warga negara. Dengan demikian maka penggunaan perangkat
hukum biasa sejak semula haruslah mengantisipasi berbagai kemungkinan
keadaan yang bersifat tidak normal agar negara dapat menjamin
kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara.
1
B. Rumusan Masalah
2
BAB II
PEMBAHASAN
1
Penafsiran merupakan metode untuk memahami makna yang terkandung
dalam teks-teks hukum untuk dipakai dalam menyelesaikan kasus-kasus atau
mengambil keputusan atas hal-hal yang dihadapi secara konkrit. Di samping
hal itu, dalam bidang hukum tata negara, penafsiran dalam hal ini judicial
interpretation (penafsiran oleh hakim), juga dapat berfungsi sebagai metode
perubahan konstitusi dalam arti menambah, mengurangi atau memperbaiki
makna yang terdapat dalam suatu teks Undang-Undang Dasar.
Seperti yang dikemukakan oleh K.C. Wheare, Undang-Undang dasar
dapat diubah yakni dengan:
a. Formal Amandement,
0 . Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, disusun dan direvisi oleh Moh. Saleh Djindang,
cet. XI, PT. (Jakarta: Ichtiar Baru,1983), hlm. 208.
2
Cara penafsiran historis ini, menurut Utrecht, dilakukan dengan:
Penafsiran sistematis juga dapat terjadi jika naskah hukum yang satu
dan naskah hukum yang lain berhubungan, yang mana keduanya
mengatur hal yang sama, dihubungkan dan dibandingkan satu sama lain.
Misalnya yang ditafsirkan itu adalah pasal dari suatu undang-undang,
maka ketentuan-ketentuan yang sama, apalagi satu asas dalam peraturan
lainnya, harus dijadikan acuan.0 Jadi istilahnya mengqiyaskan hukum
dengan yang lain yang sekilas sama.
4. Penafsiran Sosiologis
3
kepastian hukum dalam masyarakat. 0
Hakim Perlu membaca secara
aspek sosial keadaannya, apakah landasan ia berbuat pelangaran itu
karena kurang mampu apa gimana.
Penafsiran secara otentik ini sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh
pembuat Undang-Undang. (Legislator).0 Misalnya, arti kata yang
dijelaskan dalam pasal atau dalam penjelasannya. Jika ingin mengetahui
apa yang dimaksud dalam suatu pasal, maka langkah pertama adalah
lihat penjelasan pasal itu. Oleh sebab itu, penjelasan undang-undang
selalu diterbitkan tersendiri, yaitu dalam Tambahan Lembaran Negara,
sedangkan naskah undang-undang diterbitkan dalam Lembaran Negara.
Sementara Itu menurut Visser’t Hoft teorinya hampir sama dengan Utrech
namun ia menambahkan beberapa model teori penafsiran yang memuat
dasar-dasar hukum menurut teori beliau,
6. Penafsiran Teleologis
7. Penafsiran Antisipatif
4
saja berpendirian bahwa penafsiran terhadap norma hukum yang baru.
8. Penafsiran Evolutif-Dinamis
5
3. Para hakim dalam prakteknya sering menggunakan analogi dalam
prakteknya, hakim sering sekali menggunakan analogi, akan tetapi tidak
diungkapkan secara jelas.
0 . P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar untuk mempelajari Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia,
Sinar Baru, Bandung, hlm. 71.
6
Maksud dari penafsiran analogi adalah memperluas jangkauan dari ketentuan
undang-undang. Analogi ini sangat kuat hubungannya dengan penjelasan dari
Pasal 1 KUHP yang dapat disimpulkan bahwa asas yang terdapat didalamnya
dilarang menggunakan analogi.
7
belakang dengan asas legalitas yang seharusnya hanya ada aturan sebagai
dasar. 0
Situasi hukum perundang-undangan yang mengatur tentang Hukum
Pidana bersifat elitis, apabila penerapan hukum perundang-undangan
dilaksanakan menggunakan konsep hukum yang dipahami dalam tradisi
berpikir aliran positif yang memandang hukum hanya sebatas pada lingkup
peraturan perundang-undangan serta pemaknaan perundang-undangan secara
formal-tekstual, dengan mengabaikan nilai sosial dalam masyarakat, yang
terjadi adalah hukum yang mengabdi pada kepentingan elit bukannya
masyarakat luas, yang menyebabkan tujuan hukum yang mewujudkan
keadilan akan semakin jauh dari yang diharapkan. 0
0. Bambang Pornomo, S.H, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia,1981, hal. 23.
0 . Mahmud Kusuma, Menyelami Semangat Hukum Progresif Terapi Paradikmatik Bagi
Lemahnya Hukum di Indonesia, AntonyLib, Yogyakarta, 2009, hlm. vi.
0 . Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publishing,
Yogyakarta, 2009, hlm. 2.
8
ketentuan tertentu. Lain misalnya dengan KUHP yang ada di negara Jerman,
yang mana dalam pasal 3 ditentukan bahwa tempat perbuatan pidana adalah
tempat dimana terdakwa berbuat atau dalam hal kelakuan negatif, dimana
seharusnya terjadi, namun demikian locus delicti tetap perlu diketahui.0
Tempat tindak pidana perlu diketahui untuk menetapkan apakah terhadap
sesuatu peristiwa pidana berlaku Undang-Undang pidana negara Indonesia
ataukah Undang-Undang pidana negara lain. Lalu seperti tempat tindak
pidana penting dalam hal yang berhubungan dengan kompetensi relatif.
Dalam pasal 84 ayat (1) KUHAP yang berisikan mengenai prinsip dasar
tentang kompetensi relatif, yakni pengadilan negeri berwenang mengadili
segala perkara tindak pidana yang dilakukan didalam daerah hukumnya. 0
Ketentuan ini pun dimuat didalam pasal 118 dah 252 H.I.R sepanjang
mengenai pengadilan negeri, serta pasal 4 UU Darurat 1951 No. 1 sepanjang
mengenai pengadilan tinggi.
Mengenai soal tempat tindak pidana pada mulanya dianutlah teori
jasmani dan diperluas dengan teori alat, lalu adanya anggapan yang mana
teori alat ini sesuai dengan teori yang digunakan tentang tempat terjadinya
delik-delik yang bersifat materiil, yakni teori akibat. Didalam
perkembangannya hakim tidak hanya menggunakan satu teori saja, namun
beberapa teori.0
Dalam tempat tindak pidana terdapat 3 teori, yakni:
1. Teori perbuatan jasmani atau perbuatan materiil, menurut teori ini tempat
tindak pidana adalah tempat dimana perbuatan jasmani yang menjadi
unsur tindak pidana pada kenyataan diwujudkannya. Yang mana menurut
teori ini yang dinilai sebagai tempat terjadinya suatu tindak pidana
didasarkan pada perbuatan secara fisik atau tempat dimana perkara
tersebut dilakukan.
0. Prof. Moeljatno, S.H., Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hlm. 86
0 . Dr. Fitri Wahyuni, S.H., M.H., Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia (Tanggerang
Selatan: PT Nusantara Persada Utama, 2017), hlm.65.
0. Mr. R. Tresna, Azas-Azas Hukum Pidana (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1994), hlm. 115-117.
9
sedang mengerjakan tugasnya diluar rumah dan berniat kembali ke rumah.
Lalu dalam perjalanan tiba-tiba ia ditikam oleh orang yang tak dikenal dan
kondisinya sekarat.
Berdasarkan teori ini, maka dalam perkara tersebut letak locus delicti
terletak di Lombok.
1. Teori alat, menurut teori ini tempat tindak pidana merupakan tempat
dimana alat digunakan dan bekerja efektif dalam hal terwujudnya tindak
pidana. (buku php) Yang mana menurut teori ini yang dinilai sebagai
tempat tindak pidana adalah tempat dimana alat yang digunakan
menimbulkan akibat tindak pidana. Semisal A yang berada di Malang
mengirimkan paket yang berisikan BOM pada B yang berada di Bandung.
Lalu ketia B membuka paket tersebut dan terjadi ledakan yang
menyebabkan B meninggak dunia. Berdasarkan teori ini, maka locus
delicti terletak di Bandung.
2. Teori akibat, menurut teori ini tempat tindak pidana adalah tempat dimana
akibat dari perbuatan itu timbul. Yang mana menurut teori ini tempat
terjadinya suatu peristiwa pidana adalah dimana perbuatannya mempunyai
akibat yang segera dan nyata.0
0 . Drs. Adami Chazawi, S.H., Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1 (Jakarta: Rajawali
Pers, 2011), hlm. 140.
0 .SatochidKartanegara, 2000, Hukum Pidana, Balai Lektur Mahasiswa,
Yogyakarta, hlm.158.
10
1. Menentukan berlakunya hukum pidana sebagaimana yang diatur dalam
pasal 1 ayat (1) KUHP, yakni “tidak ada perbuatan yang dapat dihukum
selain atas kekuatan peraturan pidana dalam undang-undang yang
diadakan pada waktu sebelumnya.” Jadi Apakah perbuatan itu adalah
perbuatan yang berkaitan pada waktu itu sudah dilarang dan dipidana.
Jika undang-undang dirubah sesudah perbuatan itu terjadi, maka
dipakailah aturan yang paling ringan bagi terdakwa.
2. Menentukan saat berlakunya verjarings termijn (daluwarsa) sehingga
perlu diketahui saat yang dianggap sebagai waktu permulaan terjadinya
kejahatan.
3. Menentukan hal yang berkaitan dengan Pasal 45 KUHP. Menurut pasal
ini hakim dapat menjalankan dua jenis hukuman terhadap tersangka yang
belum genap berumur 16 tahun, yakni:
11
konsekuensi dari asas legalitas. Berdasarkan rumusan Pasal 1 ayat (1)
KUHP tersebut secara tegas ditunjuk perbuatan mana yang dapat berakibat
pidana. Dalam hal ini bukan perbuatannya yang dipidana, tetapi orang yang
melakukan perbuatan itu, yaitu:
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara yuridis maupun filosofis, hakim Indonesia mempunyai kewajiban atau
hak untuk melakukan penafsiran hukum atau penemuan hukum agar putusan yang
diambilnya dapat sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Ketentuan ini
berlaku bagi semua hakim dalam semua lingkungan peradilan dan dalam ruang
lingkup hakim tingkat pertama, tingkat banding maupun tingkat kasasi atau Hakim
Agung. Penafsiran hukum oleh hakim dalam proses peradilan haruslah dilakukan
atas prinsip-prinsip dan asas-asas tertentu. yang menjadi dasar sekaligus rambu-
rambu bagi hakim dalam menerapkan kebebasannya dalam menemukan dan
menciptakan hukum. Dalam upaya penafsiran hukum, maka seorang hakim
mengetahui prinsip-prinsip peradilan yang ada dalam peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan dunia peradilan, dalam hal ini Undang-Undang Dasar NRI
Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman .
B. Saran
Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari masih jauh dari
kesempurnaan, masih banyak terdapat kesalahan-kesalahan, baik dalam
bahasanya, materi dan penyusunannya. Oleh karena itu penulis sangat
mengharapkan kritik, saran dan masukan yang dapat membangun penulisan
makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
https://heylawedu.id/blog/hukum-pidana-berlakunya-undang-undang-
pidana-menurut-waktu.