Anda di halaman 1dari 20

MAKALH

HUKUM PIDANA

DISUSUN OLEH:
NAMA : DENIS BECKAM KWANI
NIM : 23081026
JURUSAN : HUKUM
MATA KULIAH : PENGANTAR HUKUM INDONESIA

UNIVERSITAS KRISTEN PAPUA


2023
i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat serta hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan tepat waktu.
Makalah ini disusun sebagai tugas mata kuliah dengan judul “HUKUM PIDANA”.
Terima kasih kami sampaikan kepada dosen mata kuliah yang telah memberikan kuliah dan
pengarahan demi terselesaikan tugas makalah ini.
Demikianlah tugas ini disusun semoga bermanfaat, dan dapat memenuhi tugas mata
kuliah Fisiologi pasca Panen.

Sorong, 08 Novenber 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................................... i


KATA PENGANTAR .................................................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah ................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................................ 1
1.3. Tujuan .............................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hukum Pidana ................................................................................. 2
2.2 Pembagian Hukum Pidana ................................................................................. 2
2.3 Hukum Pidana Memmiliki tempat tersendiri di antara hukum lainnya ............... 3
2.4 Tujuan dan Fungsi Hukum Pidana ..................................................................... 4
2.5 Ruang Lingkup Hukum Pidana .......................................................................... 5
2.6 Asas – Asas Hukum Pidana ............................................................................... 6
2.7 Tindak Pidana.................................................................................................... 8
2.7.1. Pengertian Tindak Pidana......................................................................... 8
2.7.2. Unsur-Unsur Tindak Pidana ..................................................................... 9
2.7.3. Pertanggung Jawaban Pidana ................................................................... 10
2.8..Jenis Hukuman
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ........................................................................................................ 16
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 17

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.4. Latar Belakang Masalah


Perbuatan masyarakat yang dapat merugikan kepentingan umum di sebut dengan
tindak pidana, yang mana segala perbuatan tersebut memiliki hukum yang mengatur dari
tindakan tersebut.
Di pasal 1 ayat (1) KUHP: “Tiada suatu perbuatan dapat di pidana, kecuali atas
kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan
dilakukan”
Dalam bahasa Latin: ”Nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali”, yang dapat
diartikan harfiah dalam bahasa Indonesia dengan: ”Tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa
ketentuan pidana yang mendahuluinya”. Sering juga dipakai istilah Latin: ”Nullum crimen
sine lege stricta, yang dapat diartikan dengan: ”Tidak ada delik tanpa ketentuan yang tegas”.

1.5. Rumusan Masalah


Agar kajian makalah ini tidak terlalu jauh penulis membagi, makalah ini menjadi sebagai
berikut :
1. Apa itu Hukum Pidana ?
2. Apa tujuan, fungsi dan Maksud Dari Hukum Pidana ?

1.6. Tujuan
Penulis memahami betapa penting nya untuk mengetahui Hukum Pidana untuk kehidupan
sehari-hari. Besar harapan dengan adanya makalah ini dapat memahi sedikit tentang Hukum
Pidana.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hukum Pidana


Hukum pidana itu ialah hukum yang mengatur tentang pelanggaran -pelanggaran dan
kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman
yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan.
Dari definisi tersebut di atas tadi dapatlah kita mengambil kesimpulan, bahwa Hukum Pidana
itu bukanlah suatu hukum yang mengandung norma-norma yang baru, melainkan hanya
mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap norma-norma
hukum yang mengenai kepentingan umum.

2.2. Pembagian Hukum Pidana


Hukum Pidana dapat dibagi sebagai berikut:
1) Hukum Pidana Objektif (lus Punale), yang dapat dibagi ke dalam:
1. Hukum Pidana Materil
2. Hukum Pidana Formil (Hukum Acara Pidana).
2) Hukum Pidana Subjektif (ius Puniendi).
3) Hukum Pidana Umum.
4) Hukum Pidana Khusus, yang dapat dibagi lagi ke dalam:
1. Hukum Pidana Militer.
2. Hukum Pidana Pajak (Fiskal).

Hukum Pidana Objektif (Ius Punale) ialah semua peraturan yang mengandung keharusan
atau larangan, terhadap pelanggaran mana yang diancam dengan hukuman yang bersifat
siksaan.
 Hukum Pidana Objektif dibagi dalam Hukum Pidana Materil dan Hukum Pidana
Formil:
 Hukum Pidana Materiil ialah peraturan-peraturan yang menegaskan:
(1) Perbuatan-perbuatan apa yang dapat dihukum.
(2) Siapa yang dapat dihukum.
(3) Dengan hukuman apa menghukum seseorang.
Hukuman Pidana Materiil mengatur perumusan dari kejahatan dan pelanggaran serta syarat-
syarat bila seseorang dapat dihukum. Jadi Hukuman Pidana Materiil mengatur perumusan
dari kejahatan dan pelanggaran serta syarat-syarat bila seseorang dapat dihukum.
Hukum Pidana Materiil membedakan adanya:
(a) Hukum Pidana Umum.
(b) Hukum Pidana Khusus, misalnya Hukum Pidana Pajak (seorang yang tidak membayar
pajak kendaraan bermotor, hukumannya tidak terdapat dalam Hukum Pidana Umum, akan
tetapi diatur tersendiri dalam Undang-undang (Pidana Pajak).
Hukum Pidana Formil ialah hukum yang mengatur cara-cara menghukum seseorang yang
melanggar peraturan pidana (merupakan pelaksanaan dari Hukum Pidana Materiil).
Dapat juga dikatakan bahwa Hukum Pidana Formil atau Hukum Acara Pidana memuat
peraturan-peraturan tentang bagaimana memelihara atau mempertahankan Hukum Pidana

2
Materiil, dan karena memuat cara-cara untuk menghukum seseorang yang melanggar
peraturan pidana, maka hukum ini dinamakan juga Hukum Acara Pidana.
Hukum Acara Pidana terkumpul/diatur dalam Reglemen Indonesia yang dibarui disingkat
dahulu RIB (Herziene Inlandsche Reglement — HIR) sekarang diatur dalam Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Tahun 1981.

Hukum Pidana Subjektif (Ius Puniendi), ialah hak Negara atau alat-alat untuk menghukum
berdasarkan Hukum Pidana Objektif.
Pada hakikatnya Hukum Pidana Objektif itu membatasi hak Negara untuk menghukum.
Hukum Pidana Subjektif ini baru ada, setelah ada peraturan-peraturan dari Hukum Pidana
Objektif terlebih dahulu.
Dalam hubungan ini tersimpul kekuasaan untuk dipergunakan oleh Negara, yang berarti,
bahwa tiap orang dilarang untuk mengambil tindakan sendiri dalam menyelesaikan tindak
pidana (perbuatan melanggar hukum = delik).
Hukum Pidana Umum ialah Hukum Pidana yang berlaku terhadap setiap penduduk (berlaku
terhadap siapa pun juga di seluruh Indonesia) kecuali anggota ketentaraan.
Hukum Pidana Khusus ialah Hukum Pidana yang berlaku khusus untuk orang-orang yang
tertentu.

2.3. Hukum Pidana Memmiliki tempat tersendiri di antara hukum lainnya


Semua hukum pada dasarnya bertujuan untuk menciptakan suatu keadaan dalam
pergaulan hidup bermasyarakat, baik dalam lingkungan yang kecil maupun dalam lingkungan
yang lebih besar, agar di dalamnya terdapat suatu epastian hukum dan ketertiban hukum.
Dalam hukum pidana menunjukkan suatu perbedaan dari hukum yang lain pada umumnya
yaitu bahwa di dalamnya orang mengenal adanya suatu kesengajaan untuk memberikan suatu
akibat hukum berupa suatu penderitaan yang bersifat khusus dalam bentuk suatu hukuman
kepada mereka yang telah melakukan suatu pelanggaran terhadap keharusan-keharusan atau
larangan-larangan yang telah ditentukan di dalamnya. Adanya suatu penderitaan khusus
dalam bentuk pidana itu sudah pasti tidak dapat dihindarkan di dalam bagian-bagian yang
lain dari hukum pada umumnya, yaitu apabila orang menginginkan agar norma-norma yang
terdapat di dalamnya benar-benar akan ditaati oleh orang. Dengan demikian, hukum pidana
mendapatkan tempat tersendiri diantara hukum-hukum yang lain, yang menurut pendapat
para sarjana, hendaknya hukum pidana tersebut hendaknya dipandang sebagai suatu ultimum
remedium atau sebagai upaya terakhir untuk memperbaiki kelakuan manusia, setelah upaya-
upaya lain yang ditempuh seperti melalui sanksi administratif atau sanksi perdata belum
mencakupi tujuan masyarakat yang dicita-citakan dan penerpannya haruslah disertai dengan
pembatasan-pembatasan yang seketat mungkin. Ultimum remedium haruslah diartikan
sebagai alat bukan sebagai alat untuk memulihkan ketidakadilan atau untuk memulihkan
kerugian akan tetapi sebagai alat untuk memulihkan keadaan yang tidak tentram di dalam
masyarakat, apabila terjadi ketidakadilan tersebut tidak dilakukan sesuatu, maka hal tersebut
dapat menyebabkan orang main hakim sendiri.

3
2.4. Tujuan dan Fungsi Hukum Pidana
Tujuan Hukum Pidana
 Untuk melindungi suatu kepentingan orang atau perseorangan (hak asasi manusia)
untuk melindungi kepentingan suatu masyarakat dan negara dengan suatu
perimbangan yang serasi dari suatu tindakan yang tercela/kejahatan di satu pihak dari
tindak-tindakan perbuatan yang melanggar yang merugiakan dilain pihak.
 Untuk membuat orang yang ingin melakukan kejahatan atau perbuatan yang tidak
baik akan menjadi takut untuk melakukan perbuatan tersebut.
 Untuk mendidik seseorang yang melakukan perbuatan yang melanggar agar tidak
melakukan lagi, dan agar diterima kembali dilingkungan masyarakat.
 Mencegah akan terjadinya gejala-gejala sosial yang tidak sehat atau yang melakukan
perbuatan yang dilanggar, dan hukuman untuk orang yang sudah terlanjur berbuat
tidak baik.
Fungsi Hukum Pidana
1. Secara umum
Fungsi hukum pidana secara umum yaitu fungsi hukum pidana sama saja dengan fungsi
hukum-hukum lain pada umumnya karena untuk mengatur hidup dalam kemasyarakatan atau
menyelenggarakan suatu tata dalam masyarakat.
2. Secara khusus
Fungsi hukum secara khusus nya yaitu untuk melindungi suatu kepentingan hukum terhadap
perbuatan-perbuatan yang melanggar dengan suatu sanksi atau hukuman yang berupa pidana
yang telah ditetapkan Undang-Undang yang telah ditetapkan dan yang sifatnya lebih tajam
dari pada hukum-hukum lain nya atau untuk memberikan aturan-aturan untuk melindungi
yang pihak yang telah dirugikan
3. Sistematika Hukum Pidana
KUHP atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana adalah kitab undang-undang hukum
yang berlaku sebagai dasar hukum di Indonesia. KUHP merupakan bagian hukum politik
yang berlaku di Indonesia, dan terbagi menjadi dua bagian: hukum pidana materiil dan
hukum pidana formil. Semua hal yang berkaitan dengan hukum pidana materiil adalah
tentang tindak pidana, pelaku tindak pidana dan pidana (sanksi). Sedangkan, hukum pidana
formil adalah hukum yang mengatur tentang pelaksanaan hukum pidana materil.
Adapun sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Pidana antara lain :
1.Buku I Tentang Ketentuan Umum (Pasal 1-103).
2.Buku II Tentang Kejahatan (Pasal 104-488).
3.Buku III Tentang Pelanggaran (Pasal 489-569).

Dan juga ada beberapa Undang-undang yang mengatur tindak pidana khusus yang dibuat
setelah kemerdekaan antara lain :

1.UU No. 8 Drt Tahun 1955 Tentang tindak Pidana Imigrasi.


2.UU No. 9 Tahun 1967 Tentang Norkoba.
3.UU No. 16 Tahun Tahun 2003 Tentang Anti Terorisme. dll
Ketentuan-ketentuan Hukum Pidana, selain termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana maupun UU Khusus, juga terdapat dalam berbagai Peraturan Perundang-Undangan

4
lainnya, seperti UU. No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU
No. 9 Tahun 1999 Tentang Perindungan Konsumen, UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak
Cipta dan sebagainya

2.5. Ruang Lingkup Hukum Pidana


Penerapan hukum pidana atau suatu perundang-undangan pidana berkaitan
dengan waktu dan tempat perbuatan dilakukan. Serta berlakunya hukum pidana
menurut waktu menyangkut penerapan hukum pidana dari segi lain. Dalam hal seseorang
melakukan perbuatan (feit)pidana sedangkan perbuatan tersebut belum diatur atau belum
diberlakukan ketentuan yang bersangkutan, maka hal itu tidak dapat dituntut dan sama sekali
tidak dapat dipidana.
Asas Legalitas (nullum delictum nula poena sine praevia lege poenali)Terdapat dalam Pasal
1 ayat (1) KUHP. Tidak dapat dipidana seseorang kecuali atas perbuatan yang dirumuskan
dalam suatu aturan perundang-undangan yang telah ada terlebih dahulu.

Dalam perkembangannya amandemen ke-2 UUD 1945 dalam Pasal 28 ayat (1)
berbunyi dan berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun dan Pasal 28 J ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 yang
berbunyi : “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,
keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. Karenanya asas ini
dapat pula dinyatakan sebagai asas konstitusional.

Dalam catatan sejarah asas ini dirumuskan oleh Anselm von Feuerbach dalam teori
: “vom psychologishen zwang (paksaan psikologis)” dimana adagium : nullum delictum nulla
poena sine praevia lege poenali yang mengandung tiga prinsip dasar :
- Nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa undang-undang)
- Nulla Poena sine crimine (tiada pidana tanpa perbuatan pidana)
- Nullum crimen sine poena legali (tiada perbuatan pidana tanpa undang-undang pidana
yang terlebih dulu ada)
Adagium ini menganjurkan supaya :
o Dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja
tentang macamnya perbuatan yang harusdirumuskan dengan jelas, tetapi juga macamnya
pidana yang diancamkan;
o Dengan cara demikian maka orang yang akan melakukan perbuatanyang dilarang itu
telah mengetahui terlebih dahulu pidana apa yangakan dijatuhkan kepadanya jika nanti
betul-betul melakukan perbuatan;
o Dengan demikian dalam batin orang itu akan mendapat tekanan untuk tidak berbuat.
Andaikata dia ternyata melakukan juga perbuatan yang dilarang, maka dinpandang dia
menyetujui pidana yang akan dijatuhkan kepadanya.

5
Prof. Moeljatno menjelaskan inti pengertian yang dimaksud dalam asas legalitas yaitu :
1) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih
dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. Hal ini dirumuskan dalam
Pasal 1 ayat (1) KUHP.
2) Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi, akan tetapi
diperbolehkan penggunaan penafsiran ekstensif.
3) Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
Schaffmeister dan Heijder merinci asas ini dalam pokok-pokok pikiran sebagai berikut :
a) Tidak dapat dipidana kecuali ada ketentuan pidana berdasar peraturan perundang-
undangan (formil).
b) Tidak diperkenankan Analogi (pengenaan suatu undang-undang terhadap perbuatan
yang tidak diatur oleh undang-undang tersebut).
c) Tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan (Hukum tidak tertulis).
d) Tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas(lex Certa).
e) Tidak boleh Retroaktif (berlaku surut)
f) Tidak boleh ada ketentuan pidana diluar Undang-undang.
g) Penuntutan hanya dilakukan berdasarkan atau dengan cara yang ditentukan undang-
undang.

2.6. Asas – Asas Hukum Pidana


Asas-asas hukum pidana menurut tempat :
1. Asas Teritorial.
2. Asas Personal (nasional aktif).
3. Asas Perlindungan (nasional pasif)
4. Asas Universal.

a. Asas Teritorial
Asas ini diatur juga dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu dalam pasal
2 KUHP yang menyatakan : “Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia
diterapkan bagi setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana di Indonesia”.
Perluasan dari Asas Teritorialitas diatur dalam pasal 3 KUHP yang menyatakan
: “Ketentuan pidana perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar
wilayah Indonesia melakukan tindak pidana didalan kendaraan air atau pesawat udara
Indonesia”.
Tujuan dari pasal ini adalah supaya perbuatan pidana yang terjadi di dalam kapal atau
pesawat terbang yang berada di perairan bebas atau berada di wilayah udara bebas, tidak
termasuk wilayah territorial suatu Negara, sehingga ada yang mengadili apabila terjadi suatu
perbuatan pidana.
b. Asas Personal (Nasionaliteit aktif)
yakni apabila warganegara Indonesia melakukan ke-jahatan meskipun terjadi di luar
Indonesia, pelakunya dapat dikenakan hukum pidana Indonesia, apabila pelaku kejahatan
yang hanya dapat dikenakan hukum pidana Indonesia—-sedangkan perbuatan pidana yang
dilakukan warganegara Indonesia di negara asing yang telah menghapus hukuman mati, maka

6
hukuman mati tidak dapat dikenakan pada pelaku kejahatan itu, hal ini diatur dalam pasal 6
KUHP.
c. Asas Perlindungan (Nasional Pasif)
Tolak pangkal pemikiran dari asas perlindungan adalah bahwa setiap negara yang berdaulat
wajib melindungi kepentingan hukumnya atau kepentingan nasionalnya. Ciri utamanya
adalah Subjeknya berupa setiap orang tidak terbatas pada warga negara saja, selain itu tidak
tergantung pada tempat, ia merupakan tindakan-tindakan yang dirasakan sangat merugikan
kepentingan nasional indonesia yang karenanya harus dilindungi. Kepentingan nasional
tersebut ialah:
1. Keselamatan kepala/wakil Negara RI, keutuhan dan keamanan negara serta pemerintah
yang sah, keamanan penyerahan barang, angkatan perang RI pada waktu perang,
keamanan Martabat kepala negara RI;
2. Keamanan ideologi negara, pancasila dan haluan Negara;
3. Keamanan perekonomian;
4. Keamanan uang Negara, nilai-nilai dari surat-surat yang dikeluarkan RI;
5. Keamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan
Tolak pangkal pemikiran dari asas perlindungan adalah bahwa setiap negara yang berdaulat
wajib melindungi kepentingan hukumnya atau kepentingan nasionalnya. Ciri utamanya
adalah Subjeknya berupa setiap orang tidak terbatas pada warga negara saja, selain itu tidak
tergantung pada tempat, ia merupakan tindakan-tindakan yang dirasakan sangat merugikan
kepentingan nasional indonesia yang karenanya harus dilindungi. Kepentingan nasional
tersebut ialah:
1. Keselamatan kepala/wakil Negara RI, keutuhan dan keamanan negara serta pemerintah
yang sah, keamanan penyerahan barang, angkatan perang RI pada waktu perang,
keamanan Martabat kepala negara RI;
2. Keamanan ideologi negara, pancasila dan haluan Negara;
3. Keamanan perekonomian;
4. Keamanan uang Negara, nilai-nilai dari surat-surat yang dikeluarkan RI;
5. Keamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan;

d. Asas Universal
Asas universal adalah asas yang menyatakan setiap orang yang melakukan perbuatan pidanan
dapat dituntut undang-undang hukum pidana Indonesia di luar wilayah Negara untuk
kepentingan hukum bagi seluruh dunia. Asa ini melihat hukum pidanan berlaku umum,
melampaui batas ruang wilayah dan orang, yang dilindungi disini ialah kepentingan dunia.
Jenis kejahatan yang dicantumkan pidanan menurut asas ini sangat berbahaya tidak hanya
dilihat dari kepentingan Indonesia tetapi juga kepentingan dunia. Secara universal kejahatan
ini perlu dicegah dan diberantas.
Asas-asas Hukum Pidana Menurut Tempat :
e. Asas Legalitas
Secara Hukum Asas legaliatas terdapat di pasal 1 ayat (1) KUHP: “Tiada suatu perbuatan
dapat di pidana, kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah
ada, sebelum perbuatan dilakukan”

7
Dalam bahasa Latin: ”Nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali”, yang dapat
diartikan harfiah dalam bahasa Indonesia dengan: ”Tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa
ketentuan pidana yang mendahuluinya”. Sering juga dipakai istilah Latin: ”Nullum
crimen sine lege stricta, yang dapat diartikan dengan: ”Tidak ada delik tanpa ketentuan yang
tegas”.
Moelyatno menulis bahwa asas legalitas itu mengandung tiga pengertian :
1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih
dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas).
3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.

f. Asas transitoir
Adalah asas yang menentukan berlakunya suatu aturan hukum pidana dalam hal terjadi atau
ada perubahan undang-undang
g. Asas retroaktif
Asas retroaktif ialah suatu asas hukum dapat diberlakukan surut. Artinya hukum yang baru
dibuat dapat diberlakukan untuk perbuatan pidana yang terjadi pada masa lalu sepanjang
hukum tersebut mengatur perbuatan tersebut, misalnya pada pelanggaran HAM berat.

2.7. Tindak Pidana


2.7.1. Pengertian Tindak Pidana
Menurut Prof. Moeljatno S.H., Tindak Pidana (strafbaar feit).adalah perbuatan yang
dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa
pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut. Terdapat 3 (tiga) hal yang
perlu diperhatikan :
 Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam
pidana.
 Larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang
ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang
yang menimbulkan kejadian itu.
 Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara
kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan erat pula. “
Kejadian tidak dapat dilarang jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak
dapat diancam pidana jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya”.
Selanjutnya Moeljatno membedakan dengan tegas dapat dipidananya perbuatan (die
strafbaarheid van het feit) dan dapat dipidananya orang (strafbaarheid van den person).
Sejalan dengan itu memisahkan pengertian perbuatan pidana (criminal act) dan
pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility). Pandangan ini disebut pandangan
dualistis yang sering dihadapkan dengan pandangan monistis yang tidak membedakan
keduanya.

8
2.7.2. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Untuk mengetahui adanya tindak pidana, maka pada umumnya dirumuskan dalam
peraturan perundang-undangan pidana tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dan
disertai dengan sanksi. Dalam rumusan tersebut ditentukan beberapa unsur atau syarat yang
menjadi ciri atau sifat khas dari larangan tadi sehingga dengan jelas dapat dibedakan dari
perbuatan lain yang tidak dilarang. Perbuatan pidana menunjuk kepada sifat perbuatannya
saja, yaitu dapat dilarang dengan ancaman pidana kalau dilanggar.
Menurut Simons, unsur-unsur tindak pidana (strafbaar feit) adalah :
 Perbuatan manusia (positif atau negative, berbuat atau tidak berbuat atau
membiarkan).
 Diancam dengan pidana (statbaar gesteld)
 Melawan hukum (onrechtmatig)
 Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand)
 Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatoaar person).
Simons juga menyebutkan adanya unsur obyektif dan unsur subyektif dari tindak
pidana (strafbaar feit).
Unsur Obyektif :
 Perbuatan orang
 Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu.
 Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti dalam pasal 281
KUHP sifat
 “openbaar” atau “dimuka umum”.
Unsur Subyektif :
 Orang yang mampu bertanggung jawab
 Adanya kesalahan (dollus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan.
Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan
mana perbuatan itu dilakukan.
Sementara menurut Moeljatno unsur-unsur perbuatan pidana :
 Perbuatan (manusia)
 Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil)
 Bersifat melawan hukum (syarat materiil)
Unsur-unsur tindak pidana menurut Moeljatno terdiri dari :
1) Kelakuan dan akibat
2) Hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan, yang dibagi menjadi :
a. Unsur subyektif atau pribadi
Yaitu mengenai diri orang yang melakukan perbuatan, misalnya unsur pegawai negeri yang
diperlukan dalam delik jabatan seperti dalam perkara tindak pidana korupsi. Pasal 418 KUHP
jo. Pasal 1 ayat (1) sub c UU No. 3 Tahun 1971 atau pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU
No. 20 Tahun 2001 tentang pegawai negeri yang menerima hadiah. Kalau yang menerima
hadiah bukan pegawai negeri maka tidak mungkin diterapka pasal tersebut.
b. Unsur obyektif atau non pribadi
Yaitu mengenai keadaan di luar si pembuat, misalnya pasal 160 KUHP tentang penghasutan
di muka umum (supaya melakukan perbuatan pidana atau melakukan kekerasan terhadap

9
penguasa umum). Apabila penghasutan tidak dilakukan di muka umum maka tidak mungkin
diterapkan pasal ini Unsur keadaan ini dapat berupa keadaan yang menentukan, memperingan
atau memperberat pidana yang dijatuhkan.
Pentingnya pemahaman terhadap pengertian unsur-unsur tindak pidana. Sekalipun
permasalahan tentang “pengertian” unsur-unsur tindak pidana bersifat teoritis, tetapi dalam
praktek hal ini sangat penting dan menentukan bagi keberhasilan pembuktian perkara pidana.
Pengertian unsur-unsur tindak pidana dapat diketahui dari doktrin (pendapat ahli) ataupun
dari yurisprudensi yan memberikan penafsiran terhadap rumusan undang-undang yang
semula tidak jelas atau terjadi perubahan makna karena perkembangan jaman, akan diberikan
pengertian dan penjelasan sehingga memudahkan aparat penegak hukum menerapkan
peraturan hukum.

2.7.3. Pertanggung Jawaban Pidana


Pertanggung jawaban pidana menurut hukum pidana positif yakni dapat
dipertanggung jawabkannya dari si pembuat, adanya perbuatan melawan hukum, tidak ada
alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggung jawaban pidana bagi si
pembuat.
Dengan mengutip pendapat Alf Ross, Roeslan Saleh memberikan jawaban bahwa
bertanggung jawab atas sesuatu perbuatan pidana berarti yang bersangkutan secara sah dapat
dikenai pidana karena perbuatan itu.18 Pidana itu dapat dikenakan secara sah berarti untuk
tindakan itu telah ada aturannya dalam suatu sistem hukum tertentu, dan sistem hukum itu
berlaku atas perbuatan itu. Singkatnya, dapat dikatakan bahwa tindakan (hukuman) itu
dibenarkan oleh sistem hukum tersebut. Hal itulah yang mendasari konsepsi liability menurut
Roeslan Saleh. Perlu juga dicatat keterangan-keterangan Alf Ross yang dikutip Roeslan Saleh
lebih jauh menegaskan tentang pertanggungjawaban itu dinyatakan adanya hubungan antara
kenyataan-kenyataan yang menjadi syarat dan akibat-akibat hukum yang disyaratkan.
Hubungan antara keduanya itu tidak bersifat kodrati atau tidak bersifat kausal, melainkan
menurut hukum. Jadi, pertanggungjawaban itu adalah pernyataan dari suatu keputusan
hukum. Konsep Rancangan KUHP Baru Tahun 2004/2005, di dalam Pasal 34 memberikan
definisi pertanggungjawaban pidana sebagai berikut : Pertanggungjawaban pidana ialah
diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif kepada
seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu. Di
dalam penjelasannya dikemukakan:19 Tindak pidana tidak berdiri sendiri, itu baru bermakna
manakala terdapat pertanggungjawaban pidana. Ini berarti setiap orang yang melakukan
tindak pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana. Untuk dapat dipidana harus ada
pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan
(vewijbaarheid) yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana
yang berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat tindak pidana yang memenuhi persyaratan
untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya. Dasar adanya tindak pidana adalah asas
legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat tindak pidana adalah asas kesalahan.
Ini berarti bahwa pembuat tindak pidana-tindak pidana hanya akan dipidana jika ia
mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan
mempunyai kesalahan merupakan hal yang menyangkut masalah pertanggungjawaban

10
pidana. Seseorang mempunyai kesalahan bilamana pada waktu melakukan tindak pidana,
dilihat dari segi kemasyarakatan ia dapat dicela oleh karena perbuatannya.

2.8..Jenis Hukuman
Jenis hukuman pidana tercantum di dalam pasal 10 KUHP. Jenis hukuman pidana ini
dibedakan antara pidana pokok dan pidana tambahan, dimana pidana tambahan hanya
dijatuhkan jika pidana pokok dijatuhkan.

Jenis jenis hukuman pidana tersebut adalah:


Hukuman-hukuman pokok, yaitu :
 Hukuman mati
 Hukuman penjara
 Hukuman kurungan
 Hukuman denda
 Hukuman tutupan
Hukuman-hukuman tambahan, yaitu :
 Pencabutan beberapa hak-hak tertentu
 Perampasan barang-barang tertentu
 Pengumuman keputusan hakim
Penjelasan :
Hukuman-hukuman pokok
a. Hukuman mati
Hukuman mati adalah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan oleh pengadilan
ataupun tanpa pengadilan sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang
akibat perbuatannya. Hukuman ini adalah puncaknya dari segala hukuman.
Dalam abad abad terakhir sering terjadi pro-kontra mengenai hukuman mati ini. Salah
satunya karena sifatnya yang mutlak yang tidak memungkinkan mengadakan perbaikan atau
perubahan. Hakim sebagai manusia tidak luput dari kekeliruan, meskipun di dalam suatu
perkara terlihat pemeriksaan dan bukti-bukti menunjuk kepada kesalahan terdakwa akan
tetapi kebenaran itu hanya pada Tuhan.
Maka tidak mustahil seorang hakim dengan segala kejujurannya melakukan suatu
kekeliruan di dalam pandangan dan pendapatnya. Apabila hukuman itu telah dijalankan
kemudian terdapat kekeliruan, tak ada seorangpun yang dapat mengembalikan keadaan.
Hasil survei PBB antara 1998 hingga 2002 tentang korelasi antara praktek hukuman
mati dan angka kejahatan menyebutkan hukuman mati tidak lebih baik dari pada hukuman
penjara seumur hidup dalam memberikan efek jera pada pidana pembunuhan. Hasil studi
tersebut secara signifikan mempengaruhi keputusan beberapa negara untuk menghapuskan
hukuman mati.
Banyak negara yang telah menghapuskan pidana mati untuk diterapkan di KUHP-nya
seperti: Belanda, Jerman, Italia, Portugal, dan lain-lain. Sedangkan negara seperti Indonesia,
Singapura, Malaysia, Pakistan, dan lain-lain masih mencatumkan pidana mati di KUHP-nya.
Bahkan di Indonesia semakin banyak delik yang diancam dengan pidana mati, diantaranya :
 Pasal 104 KUHP (makar terhadap presiden)
 Pasal 111 ayat (2) KUHP (membujuk negara asing berperang)

11
 Pasal 124 ayat (3) KUHP (menyerahkan kekuasaan, menganjurkan huru-hara)
 Pasal 140 ayat (3)KUHP (makar pada negara sahabat)
 Pasal 340 KUHP (pembunuhan berencana)
 Pasal 365 ayat (4)KUHP (curat curas dengan kematian)
 Pasal 444 KUHP (pembajakan laut,dengan akibat kematian)
 Pasal 479 K ayat (2) dan pasal 479 O ayat (2) KUHP (kekerasan dalam pesawat
dengan akibat kematian)
Mengenai Hak Asasi Manusia (HAM), di Indonesia juga dilindungi dengan peraturan
perundang-undangan. Hal ini di tunjukan dengan adanya undang-undang yang mengatur
mengenai HAM, yaitu undang-undang no. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 9
ayat 1 yang menyatakan “setiap orang berhak atas kehidupan, mempertahankan hidup, dan
meningkatkan taraf kehidupannya”.
Demikan juga dalam amandemen kedua konstitusi UUD 1945, pasal 28 ayat 1,
menyebutkan: "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di
depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak
asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun", tapi peraturan
perundang-undangan dibawahnya tetap mencantumkan ancaman hukuman mati.
Hal ini dikarenakan hukuman mati mendapat dukungan yang luas dari pemerintah dan
masyarakat Indonesia. Pemungutan suara yang dilakukan media di Indonesia pada umumnya
menunjukkan 75% dukungan untuk adanya vonis mati. Kelompok pendukung hukuman mati
beranggapan bahwa bukan hanya pembunuh saja yang punya hak untuk hidup dan tidak
disiksa. Masyarakat luas juga punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Untuk menjaga hak
hidup masyarakat, maka pelanggaran terhadap hak tersebut patut dihukum mati.
Untuk meringankan penderitaan fisik bagi terpidana mati, maka beberapa usaha telah
dilakukan dalam eksekusi seperti: guillotine (Prancis, 1792), kursi listrik (Prancis, 1888),
kamar gas (1924), dan dengan suntikan.
Pelaksanaan hukuman mati diatur dalam PP No 2 tahun 1964, yaitu:
 Ditembak mati (pasal 1)
 Ditempat penjatuhan hukuman pengadilan tingkat pertama (pasal 2)
 Regu tembak(1 perwira,1 bintara, dan 12 tamtama) (pasal 10/1.2)
 Berdiri, duduk, berlutut (pasal 12)
 Sasaran tembak jantung (pasal 14)
b. Hukuman penjara.
A.Z. Abidin Farid dan A. Hamzah (2006:284) menegaskan bahwa pidana penjara
adalah bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan. Pidana kehilangan
kemerdekaan itu bukan hanya dalam bentuk pidana penjara tetapi juga berupa pengasingan.
PAF Lamintang (1988:69) bentuk pidana penjara adalah suatu pidana berupa
pembatasan kebebbasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup
orang tersebut dalam sebuah lembaga pemasyarakatan dengan mewajibkan orang itu untuk
mentaati semua peraturan tatatertib yang berlaku dalam lembaga pemasyarakatan yang
dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan
tersebut.

12
Hukuman penjara adalah untuk sepanjang hidup atau sementara waktu (pasal 12
KUHP). Lamanya hukuman penjara untuk sementara waktu berkisar antara 1 hari sedikit-
dikitnya dan 15 tahun berturut-turut paling lama. Akan tetapi dalam beberapa hal lamanya
hukuman penjara sementara itu dapat ditetapkan sampai 20 tahun berturut-turut. Yaitu dalam
hal kejahatan yang menurut pilihan hakim sendiri boleh dihukum mati, penjara seumur hidup,
dan penjara sementara, hukuman ditambah karena ada gabungan kejahatan atau karena
berulang-ulang membuat kejahatan atau karena aturan pasal 52. Akan tetapi, bagaimanapun
juga hukuman penjara sementara waktu tidak boleh melebihi 20 tahun. Hal ini sesuai dengan
pasal 12 ayat (4) KUHP.
Pidana penjara disebut juga pidana hilang kemerdekaan. Tidak hanya itu, tapi
narapidana juga kehilangan hak-hak tertentu, diantaranya:
 Hak untuk memilih dan dipilih.
 Hak untuk memangku jabatan politik.
 Hak untuk bekerja di perusahaan.
 Hak untuk mendapatkan perizinan tertentu.
 Hak untuk mengadakan asuransi hidup.
 Hak untuk kawin, dan lain-lain.
c. Hukuman kurungan
Hukuman kurungan seperti halnya dengann hukuman penjara, maka dengan hukuman
kurungan pun, terpidana selama menjalani hukumannya, kehilangan kemerdekaannya.
Menurut pasal 18 KUHP, lamanya hukuman kurungan berkisar antara 1 hari sedikit-dikitnya
dan 1 tahun paling lama. Hukuman kurungan ini mempunyai banyak kesamaan dengan
hukuman penjara.
Di dalam beberapa hal, (samenloop, residive, dan pemberatan karena jabatan)
hukuman kurungan itu dapat dikenakan lebih lama, yaitu 1 tahun 4 bulan (pasal 18 ayat (2)
KUHP). Hukuman kurungan dianggap lebih ringan dari hukuman penjara dan hanya
diancamkan bagi peristiwa yang ringan sifatnya seperti di dalam kejahatan yang tidak
disengaja dan di dalam hal pelanggaran.

Persamaan antara hukuman penjara dan hukuman kurungan adalah:


 Hukuman penjara dan hukuman kurungan merupakan hukuman penahanan yang
termasuk dalam hukuman pokok, sehingga dalam penjatuhannya masih dapat disertai
oleh hukuman-hukuman tambahan pula.
 Sama-sama berinti pada penghilangan kebebasan seseorang selama hukumannya.
 Batas minimum hukuman penjara sama dengan batas minimum hukuman kurungan,
yaitu 1 (satu) hari.
Perbedaan antara hukuman penjara dan hukuman kurungan adalah:
Perbedaan yang penting antara pidana penjara dan pidana kurungandisebutkan di dalam
penjelasan pasal 18 KUHP oleh Sugandhi (1981), sebagai berikut :
 Hukuman penjara dapat dijalankan didalam penjara di mana saja, sedangkan hukuman
kurungan dilaksanakan di daerah tempat terhukum bertempat tinggal pada waktu
hukuman dijatuhkan.
 Pekerjaan yang diberikan kepada terpidana kurungan lebih ringan daripada pekerjaan
yang harus dijalankan oleh terpidana penjara.

13
 Terpidana kurungan mempunyai hak Pistole. Hak Pistole adalah suatu hak terpidana
untuk memperbaiki kehidupannya didalam lembaga dengan biaya sendiri.
Ruba`i (1997), menambahkan perbedaan pidana kurungan dan pidana penjara sebagai
berikut :
 Maksimum umum pidana kurungan adalah satu tahun. Jika dibandingkan dengan
maksimum umum pidana penjara yang lamanya sampai lima belas tahun, maka
maksimum umum pidana kurungan jauh lebih ringan. Maksimum umum satu tahun
ini dapat ditambah menjadi satu tahun empat bulan apabila terjadi perbarengan,
pengulangan atau tindak pidana yang dilakukan berkaitan dengan jabatan.
 Menurut pasal 62 ayat (1) Reglemen penjara, terpidana kurungan hanya diwajibkan
bekerja 8 jam sehari, sedangkan terpidana penjara diwajibkan bekerja 9 jam sehari.

d. Hukuman Denda
Beberapa pelanggaran hukuman dianggap kurang cukup dengan ancaman hukuman
denda. Walaupun sifatnya hukuman ini ditujukan pada orang yang bersalah, akan tetapi
berlainan dengan hukuman-hukuman lainnya, yang tidak dapat dijalankan dan diderita orang
yang dikenai hukuman. Maka di dalam hal hukuman denda tidak dapat dihilangkan
kemungkinan, bahwa hukuman itu dibayar oleh pihak ketiga.
Berbeda dengan hukuman-hukuman lain, maka di dalam hukuman denda, hukuman
itu dapat dirubah menjadi kurungan sebagai pengganti. Yang dikenakan hukuman dapat
memilih, membayar denda atau kurungan sebagai gantinya.
Dalam undang-undang tidak ditentukan maksimum umum besarnya denda yang harus
dibayar. Yang ada ialah minimum umum yang semula 25 sen, kemudian diubah dengan
undang-undang no.18 (perpu) tahun 1960 (LN 1960 no. 52) menjadi lima belas (15) kali
lipat.
Lamanya pidana kurungan pengganti denda ditentukan secara kasus demi kasus
dengan putusan hakim, minimum umum 1 hari dan maksimum 6 bulan (pasal 30 ayat (3)
KUHP). Maksimum ini dapat dinaikkan menjadi 8 bulan dalam hal gabungan (concursus)
resedive, dan delik jabatan menurut pasal 52 dan 52 bis (pasal 30 ayat (5) KUHP).
Kurungan itu dapat saja dihentikan segera, setelah si terhukum membayar dendanya.
Jangka waktu untuk membayar denda ditentukan oleh jaksa yang mengeksekusinya, dimulai
dengan waktu 2 bulan dan diperpanjang menjadi 1 tahun.

e. Hukuman tutupan
Dalam KUHP terjemahan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), pada pasal 10
dicantumkan pidana tutupan sebagai pidana pokok bagian terakhir di bawah pidana denda.
Tentulah pencatuman ini didasarkan kepada undang-undang no. 20 tentang pidana tutupan.
Di dalam pasal 2 undang-undang 1946 no. 20 itu ditetapkan bahwa di dalam
mengadili orang yang melakukan kejahatan, yang diancam dengan hukuman penjara, karena
terdorong oleh maksud yang patut dihormati, maka hakim boleh menjatuhkan hukuman
tutupan. Dari pasal 1 undang-undang tersebut, ternyata hukuman tutupan itu dimaksudkan
untuk menggantikan hukuman penjara.

14
Pidana tutupan disediakan bagi politisi yang melakukan kejahatan yang disebabkan
oleh ideologi yang dianutnya. Tetapi dalam praktek peradilan dewasa ini, tidak pernah
ketentuan tersebut diterapkan.

e. Hukuman Hukuman Tambahan


Melihat namanya saja, sudah nyata bahwa pidana tambahan ini hanya bersifat
menambah pidana pokok yang dijatuhkan. Jadi, tidaklah dapat berdiri sendiri, kecuali dalam
hal-hal tertentu, dalam perampasan barang-barang tertentu. Pidana tambahan ini bersifat
fakultatif, artinya dapat dijatuhkan tetapi tidaklah harus.

e.1 Pencabutan hak-hak tertentu.


Pencabutan segala hak yang dipunyai atau diperoleh orang sebagai warga disebut
“burgerlijke dood”, tidak diperkenankan oleh undang-undang sementara (pasal 15 ayat 2).
Hak-hak yang dapat dicabut oleh keputusan, dimuat dalam pasal 35 KUHP, yaitu:
 Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu.
 Hak memasuki angkatan bersenjata.
 Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diakan berdasarkan aturan-aturan
umum.
 Hak menjadi penasihat (raadsman) atau pengurus menurut hukum (gerechtelijke
bewindvoerder), hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu
pengawas, atas orang yang bukan anaknya sendiri.
 Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas
anak sendiri.
 Hak menjalankan pencaharian (beroep) yang tertentu.
Untuk berapa lamanya hakim dapat menetapkan berlakunya pencabutan hak-hak
tersebut, hal ini dijelaskan dalam pasal 38 KUHP, yaitu:
 Dalam hal pidana atau mati, lamanya pencabutan seumur hidup.
 Dalam hal pidana penjara untuk waktu tertentu atau kurungan, lamanya pencabutan
paling sedikit 2 tahun dan paling banyak 5 tahun lebih lama dari pidana pokoknya.
 Dalam hal denda lamanya pencabutan paling sedikit 2 tahun dan palin banyak 5
tahun.
e.2 Perampasan barang-barang tertentu.
Perampasan merupakan pidana kekayaan, seperti juga halnya dengan pidana benda.
Dalam pasal 39 KUHP, dijelaskan barang-barang yang dapat dirampas, yaitu:
 Barang-barang yang berasal/diperoleh dari hasil kejahatan.
 Barang-barang yang sengaja digunakan dalam melakukan kejahatan.
Jika barang itu tidak diserahkan atau harganya tidak dibayar, maka harus diganti
dengan kurungan. Lamanya kurungan ini 1 hari paling sedikit dan 6 bulan paling lama. Jika
barang itu dipunyai bersama, dalam keadaan ini, perampasan tidak dapat dilakukan karena
sebagian barang kepunyaan orang lain akan terampas pula.

15
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hukum Pidana itu bukanlah suatu hukum yang mengandung norma-norma yang baru,
melainkan hanya mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap
norma-norma hukum yang mengenai kepentingan umum.
Hukum Pidana Formil atau Hukum Acara Pidana memuat peraturan-peraturan tentang
bagaimana memelihara atau mempertahankan Hukum Pidana Materiil, dan karena memuat
cara-cara untuk menghukum seseorang yang melanggar peraturan pidana, maka hukum ini
dinamakan juga Hukum Acara Pidana.
Hukum Pidana, sebagai salah satu bagian independen dari hukum public merupakan salah
satu isntrumen hukum yang sangat urgen eksistensinya dalam menjamin keamanan
masyarakat dari ancaman tindak pidana, menjaga stabilitas Negara dan bahkan merupakan
“lembaga moral” yang berperan merehabilitas para pelaku pidana. Hukum ini terus
berkembang sesuai dengan tuntutan tindak pidana yang ada di setiap masanya.

16
DAFTAR PUSTAKA

www.academia.com/MakalahHukumPidana
www.Hukumonline.com/HukumPidanaIndonesia
www.id.scribd.com/hukumyangmenjarattindakan
Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Frans Maramis, SH. MH, Rajawali Ekspres
Dasar – Dasar Hukum Pidana, Mahrus Ali, SH. MH Sinar Grafika
Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana, Kombes. Pol Dr. Ismu Gunadi, SH, CN, MM

17

Anda mungkin juga menyukai