Anda di halaman 1dari 22

TUGAS KELOMPOK 3

SISTEM HUKUM INDONESIA

“PEMBAGIAN HUKUM”

DOSEN PENGAMPU :
Aziwarti, S.H., M. Hum.

NAMA-NAMA ANGGOTA KELOMPOK :


1. Baihaqy Bintang (2010852021)
2. Liddya Ika Kristianty Zalukhu (2010852019)
3. Nadiyah Nilfannisa (2010852039)
4. Riski Triyusga Putra (2010852041)
5. Shafa Najwa Suherman (2010852013)

JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
2020

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Pembagian Hukum” ini tepat
pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas dari dosen pada mata kuliah Sistem Hukum Indonesia. Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan tentang pembagian hukum bagi para pembaca.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Aziwarti, S.H., M. Hum. selaku dosen mata
kuliah Sistem Hukum Indonesia yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan kami. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari, makalah yang kami susun ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah
ini.

Padang, Januari 2021


 

Penyusun

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................................................1
KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................3
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................4
C. Tujuan Penulisan.............................................................................................................5
BAB II. PEMBAHASAN
A. Pembagian Hukum menurut Sumbernya........................................................................6
B. Pembagian Hukum menurut Sifatnya...........................................................................10
C. Pembagian Hukum menurut Bentuknya.......................................................................11
D. Pembagian Hukum menurut Daerah Berlakunya..........................................................12
E. Pembagian Hukum menurut Isinya...............................................................................12
F. Pembagian Hukum menurut Cara Mempertahankannya..............................................12
G. Perbedaan Hukum Acara Perdata dan Acara Pidana....................................................13
BAB III. PENUTUP
Kesimpulan...................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................22

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada hakikatnya sebagai makhluk sosial, manusia secara akan selalu membutuhkan dan
bergantung satu sama lain. Mengenai hal itu, Aristoteles menyebutnya dengan sebutan zoon
politicon. Manusia lahir, berkembang, dan meninggal dunia dalam suatu perkumpulan yang
disebut masyarakat. Setiap individu berinteraksi dengan individu atau kelompok lainnya.
Interaksi yang dilakukan manusia senantiasa didasari oleh aturan, adat, atau norma yang berlaku
dalam masyarakat. Aturan yang didasarkan pada kontrak sosial dalam sebuah sistem masyarakat
disebut hukum.
Hukum dalam bahasa Inggris “Law”, Belanda “Recht”, Jerman “ Recht”, Italia “Dirito”,
Perancis “Droit” bermakna aturan. Terminologi menurut black’s law dictionary, hukum dalam
arti umum adalah keseluruhan peraturan bertindak atau berperilaku yang ditentukan oleh
kekuasaan pengendali, dan mempunyai kekuatan sah bersifat mengikat, atau hukum adalah apa
yang harus ditaati dan diikuti oleh warga negara dengan akibat sanksi atau konsekuensi sah.
Secara sempit, hukum dapat diartikan sebagai suatu ideal dan nilai, tentang norma dan kaidah
untuk menata dan menjawab masalah masyarakat sehingga merepresentasikan keadilan.
Meski hukum telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Hukum sulit
untuk didefinisikan dengan tepat dan seragam dikarenakan sifatnya yang abstrak. Selain itu
cakupan dari hukum sangat luas meliputi aspek kehidupan. Walaupun hukum itu terlalu luas
sekali sehingga orang tak dapat membuat defenisi singkat yang meliputi segala-galanya, namun
dapat juga hukum itu dibagi dalam beberapa jenis.
Dari masalah diatas, maka dalam makalah ini akan dibahas tentang Pembagian Hukum.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, beberapa rumusan permasalahan yang dapat kita ambil :
1. Apa saja pembagian hukum menurut sumbernya?
2. Apa saja pembagian hukum menurut sifatnya?
3. Apa saja pembagian hukum menurut bentuknya?
4. Apa saja pembagian hukum menurut daerah berlakunya?

4
5. Apa saja pembagian hukum menurut isinya?
6. Apa saja pembagian hukum menurut cara mempertahankannya?
7. Apa perbedaan hukum acara perdata dan acara pidana?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari pembahasan masalah diatas adalah :
1. Mengembangkan hasil belajar dan memenuhi nilai tugas yang diberikan.
2. Mengetahui jenis-jenis pembagian hukum.
3. Mengetahui perbedaan hukum acara perdata dan acara pidana.
4. Menambah wawasan tentang pembagian hukum bagi para pembaca.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pembagian Hukum menurut Sumbernya


Menurut sumbernya, hukum dapat dibagi dalam :
1. Hukum Undang-Undang
Undang-undang adalah suatu peraturan/ keputusan negara yang tertulis dibuat oleh alat
perlengkapan negara yang berwenang (bersama-sama oleh DPR dan Presiden) dan
mengikat masyarakat. Undang-undang dapat dibedakan menjadi dua macam arti, yaitu:
a) Undang-undang dalam arti materiil (luas), yaitu semua peraturan/keputusan
tertulis yang menurut isinya mengikat setiap orang secara umum dan dibuat oleh
penguasa (pusat ataupun daerah) yang sah. Undang-undang dalam arti materiil ini
yang ditekankan adalah segi isinya. Undang-undang dalam arti materiil ini juga
dapat digolongkan ke dalam dua golongan, yaitu:
1) Peraturan Pusat (Algemene Verordening), yakni peraturan tertulis yang
dibuat oleh pemerintah pusat yang berlaku di seluruh atau sebagian wilayah
negara. Contoh undang-undang/peraturan yang berlaku di seluruh wilayah
negara Indonesia seperti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
2) Peraturan setempat (Locale Verordening), yaitu peraturan tertulis yang
dibuat oleh penguasa setempat dan hanya berlaku di tempat atau daerah itu
saja. Seperti Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3/1981, Perda Nomor 7/1987
tentang Kebersihan, Ketertiban dan Keamanan di Kotamadya Palembang.
b) Undang-undang dalam arti formal (sempit), yaitu peraturan tertulis yang
dibentuk oleh alat perlengkapan negara yang berwenang (bersama-sama oleh DPR
dan Presiden). Undang-undang dalam arti formal ini yang ditekankan adalah segi
pembuatan dan bentuknya. Di Indonesia undang-undang dalam arti formal
dibentuk bersama-sama oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden
(Pasal 20 ayat (1), (2), dan (4) UUD 1945).

6
Suatu undang-undang juga bisa dikatakan tidak berlaku lagi sebagai sumber hukum
jika :
a) Undang-undang tersebut isinya bertentangan dengan undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945,
b) Jangka waktu yang telah ditentukan Undangundang itu sudah lampau,
c) Ditentukan oleh undang-undang itu sendiri,
d) Bertentangan dengan yurisprudensi tetap,
e) Keadaan atau hal yang mana undang-undang itu diadakan sudah tidak lagi ada.
f) Undang-undang itu dengan tegas dicabut oleh instansi yang membuat atau instansi
yang lebih tinggi.
g) Suatu keadaan yang diatur oleh undang-undang sudah tidak ada lagi (misalnya
undang-undang darurat perang atau keadaan bahaya mengatur penduduk keluar
malam. Setelah perang atau keadaan bahaya yang berakhir, maka keluar malam
tidak dilarang meskipun undang-undang darurat perang belum dicabut).
h) Telah diadakan undang-undang yang baru yang isinya bertentangan dengan
undang-undang yang berlaku sebelumnya atau menghapuskan ketentuan yang
berlaku.

2. Hukum Kebiasaan
Hukum kebiasaan adalah hukum yang terletak di dalam peraturan-peraturan kebiasaan
adat. Kebiasaan dapat diartikan sebagai perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang
sama, merupakan suatu bukti bahwa orang banyak menyukai perbuatan tersebut. Jadi
kebiasaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan orang secara tetap. Apabila suatu
kebiasaan tertentu diterima oleh masyarakat, dan kebiasaan selalu berulang-ulang
dilakukan sedemikian rupa, sehingga tindakan yang berlawanan dengan kebiasaan itu
dirasakan sebagai pelanggaran perasaan hukum, maka dengan demikian timbulah suatu
kebiasaan hukum.
Jadi, perilaku yang diulang itu mempunyai kekuatan normatif, mempunyai kekuatan
yang mengikat. Karena diulang oleh orang banyak maka mengikat orang-orang lain untuk
melakukan hal yang sama, karena menimbulkan keyakinan atau kesadaran, bahwa hal itu
memang patut dilakukan. Contoh : kebiasaan orang Dayak yang mengharuskan perkawinan

7
dilaksanakan melalui sistem endogami, yaitu sistem perkawinan yang terjadi antar keluarga
yang masih terkait dalam suatu rumpun suku bangsa yang bersangkutan.
Dengan demikian, di Negara Indonesia, kebiasaan merupakan sumber hukum.
Kebiasaan dapat menjadi hukum kebiasaan. Hukum kebiasaan dapat dirumuskan dari
kebiasaan oleh hakim dalam putusannya. Kebiasaan dalam lingkungan masyarakat tertentu
adalah suatu kenyataan yang dapat dilihat, dikonstatir oleh hakim sebagai suatu peristiwa
dan kemudian dirumuskan sebagai peraturan hukum. Apabila pembentukan peraturan itu
selalu dilakukan dalam pengadilan, maka terdapat hukum kebiasaan di samping undang-
undang.
Menurut Sudikno Mertokusumo, bahwa kebiasaan dapat menjadi hukum diperlukan
syarat-syarat sebagai berikut:
a) Syarat materiil, adanya kebiasaan atau tingkah laku yang tetap atau diulang,
yaitu suatu rangkaian perbuatan yang sama, yang berlangsung untuk beberapa
waktu lamanya (longa et invetarata consuetudo).
b) Syarat intelektual, kebiasaan itu harus menimbulkan opinio necessitatis
(keyakinan umum) bahwa perbuatan itu merupakan kewajiban hukum.
c) Adanya akibat hukum apabila hukum kebiasaan itu dilanggar.
Hukum kebiasaan terdapat kelemahan-kelemahan, sebab tidak dirumuskan secara jelas
dan pada umumnya sukar digali dikarenakan tidak tertulis. Di samping itu juga bersifat
aneka ragam sehingga tidak menjamin kepastian hukum.

3. Hukum Traktat
Hukum traktat adalah hukum yang ditetapkan oleh negara-negara di dalam suatu
perjanjian antara negara. Pemakaian istilah traktat lazimnya digunakan untuk perjanjian
Internasional khususnya perjanjian dalam bidang politik dan ekonomi. Traktat merupakan
perjanjian internasional yang kekuatan mengikatnya terhadap para peserta pembuat
perjanjian itu sangat ketat. Sebab sesuai ketentuan traktat, negara yang telah mengikatkan
dirinya dalam traktat tidak dapat menarik diri dari ketentuan kewajiban-kewajibannya
tanpa persetujuan pihak-pihak lainnya yang tergabung dalam perjanjian itu. Dengan
demikian, maka traktat adalah bentuk perjanjian yang paling formal.

8
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, bahwa perjanjian internasional adalah perjanjian
yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk
mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu. Apabila traktat itu diadakan antara dua
negara, maka traktat itu dinamakan bilateral.
Contohnya :
a. Perjanjian negara Republik Indonesia dengan negara Republik Rakyat Cina
tentang dwi kewarganegaraan tahun 1954.
b. Traktat antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Papua Nugini tentang
perjanjian perbatasan wilayah kedua negara.
c. Traktat antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Malaysia
tentang Ekstradisi yang diadakan di Jakarta tanggal 7 Juni 1974. Perjanjian ini
telah disahkan dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1974, Lembaran Negara
Nomor 63/1974, disahkan, diundangkan, dan mulai berlaku pada tanggal 16
Desember 1974.
Sedangkan traktat yang diadakan oleh banyak negara, atau beberapa negara maka
traktat (perjanjian) itu dinamakan perjanjian multilateral.
Contohnya :
1) Konvensi Jenewa tahun 1949 mengenai perlindungan korban perang.
2) Perjanjian 5 (lima) negara, yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Muangthai, dan
Philipina tentang kerja sama regional antara rumpun Asia Tenggara (ASEAN);
Indonesia meratifikasinya dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1976.
3) Perjanjian kerja sama beberapa negara di bidang pertahanan dan ideologi seperti
NATO (North Atlantic Treaty Organization).
4) Perjanjian antara tiga negara, Indonesia, Malaysia, dan Singapura tentang status
selat Malaka sebagai laut milik bersama ketiga negara tersebut dan bukan laut
internasional.

4. Hukum Yurisprudensi
Hukum yurisprudensi adalah hukum yang terbentuk karena keputusan hakim.
Keputusan hakim (yurisprudensi) suatu produk yudikatif, yang isinya berupa kaidah atau
peraturan hukum yang mengikat pihak-pihak yang bersangkutan atau terhukum. Dengan

9
demikian, keputusan hakim itu hanya mengikat kepada orang-orang tertentu saja dan tidak
mengikat setiap orang secara umum. Jadi, hakim menghasilkan hukum yang berlakunya
terbatas pada kasus dari piahak-pihak tertentu (kasus konkret).
Putusan hakim mempunyai kekuatan berlaku untuk dilaksanakan sejak putusan itu
memperoleh kekuatan hukum tetap. Perbedaannya dengan hukum yang dibentuk oleh
lembaga legislatif (undang-undang) adalah bahwa undangundang itu berisi peraturan-
peraturan yang bersifat abstrak dan berlakunya umum, serta mengikat setiap orang.
Adapun seorang hakim mempergunakan putusan hakim lain, disebabkan pertimbangan
sebagai berikut:
a) Pertimbangan psikologis, yakni karena keputusan hakim mempunyai
kekuasaan/kekuatan hukum terutama keputusan dari Pengadilan Tinggi dan
Mahkamah Agung. Keputusan seorang hakim lebih tinggi diturut, karena hakim
tersebut adalah pengawasan atas pekerjaan hakim di bawahnya, dan karena jasa-
jasanya hakim bawahan segan untuk tidak menghormati putusan tersebut.
b) Pertimbangan praktis, yakni apabila tidak mengikuti hakim yang lebih tinggi,
maka kemungkinan besar salah satu pihak akan minta banding.
c) Pendapat yang sama, yakni dari antara keputusan-keputusan hakim itu ada yang
disebut standard-arrest, yang dimaksudkan ialah keputusan hakim yang secara
tegas menjelaskan suatu persoalan yang menimbulkan keraguan-keraguan.
Dengan kata lain sependapat dengan apa yang telah diputuskan oleh hakim
lainnya.

B. Pembagian Hukum menurut Sifatnya


Menurut sifatnya, hukum dapat dibagi dalam :
1. Hukum yang memaksa, yaitu hukum yang dalam keadaan bagaimanapun juga harus
dan mempunyai paksaan mutlak dengan kata lain yaitu hukum yang wajib untuk
dilaksanakan dan tidak bisa dikesampingkan, misalnya mengenai larangan-larangan
dengan sanksi hukuman dimana bila dilakukan pelanggarannya maka yang melanggar
akan dikenakan sanksi.
2. Hukum yang mengatur, yaitu hukum yang dapat dikesampingkan apabila pihak-
pihak yang bersangkutan telah membuat peraturan sendiri dalam suatu perjanjian.

10
Misalnya tentang persyaratan untuk menjadi anggota DPR, apabila tidak memenuhi
persyaratan sebagaimana diatur maka tidak diperkenankan untuk menjadi anggota
DPR.

C. Pembagian Hukum menurut Bentuknya


Menurut bentuknya, hukum dapat dibagi menjadi 2 :
1. Hukum tertulis, ialah hukum yang berlaku di suatu negara atau wilayah yang
tercantum dalam peraturan perundang-undangan seperti Indonesia, hukum yang
berlaku tercantum di UUD 1945.
Hukum tertulis dibagi menjadi dua ;
a) Hukum tertulis yang dikodifikasi, ialah hukum yang telah tersusun secara
sistematis. Dapat berupa :
1) Hukum pidana yang telah dikodifikasikan dalam kitab UU hukum pidana
tahun 1918.
2) Hukum Sipil yang telah dikodifikasikan dalam kitab UU hukum sipil tahun
1848.
3) Hukum dagang yang telah dikodifikasikan dalam kitah UU hukum dagang
tajin 1848.
4) Hukum Acara Pidana yang telah dikodifikasikan dalam kitab UU hukum
acara pidana tahun 1981.
b) Hukum tertulis yang tak dikodifikasi, ialah hukum tertulis yang belum
diurutkan secara sistematis dan masih perlu aturan pelaksana dalam penerapannya
dapat berupa :
1) Peraturan tentang ikatan panen,
2) Peraturan ikatan perkreditan,
3) Keputusan Presiden,
4) Dan lain-lain.

2. Hukum tak tertulis, ialah hukum yang ada dalam keyakinan masyarakat dan
diberlakukan sebagai kaidah hukum. Biasanya hukum tak tertulis disuatu daerah bisa

11
saja berbeda di daerah lainnya tergantung dengan keyakinan atau norma yang berlaku
dimasyarakat tersebut

D. Pembagian Hukum menurut Daerah Berlakunya


Menurut tempat berlakunya, hukum dapat dibagi menjadi :
1. Hukum Nasional, yaitu hukum yang berlaku di dalam suatu negara.
Di indonesia hukum yang berlaku berupa UUD 1945.
2. Hukum Internasional, yaitu hukum yang mengatur hubungan hukum dalam dunia
internasional.
Contohnya ialah peraturan perdagangan, peraturan perang dan lain sebagainya
3. Hukum Asing, yaitu hukum yang berlaku dalam negara lain.
Sebagai contoh, saat kita berlibur ke luar negeri, kita harus mengikuti peraturan negara
tersebut. Bagi kita orang indonesia, peraturan negara tersebut merupakan hukum asing.

E. Pembagian Hukum menurut Isinya


Hukum menurut isinya dibagi menjadi :
1. Hukum privat (hukum sipil) adalah hukum yang mengatur kepentingan pribadi.
Atau disebut juga hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu
dengan orang lainnya dengan menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan.
Seperti : hukum perdata, hukum dagang dan sebagainya.
2. Hukum publik (hukum negara) adalah hukum yang mengatur hubungan antara
negara dengan alat-alat perlengkapan atau hubungan antara negara dengan
perseorangan.
Contoh : hukum pidana, hukum tata negara dan sebagainya.

F. Pembagian Hukum menurut Cara Mempertahankannya


Menurut cara mempertahankannya, hukum dibagi menjadi :
1. Hukum Materil adalah hukum yang memuat peraturan yang mengatur kepentingan
dan hubungan yang berwujud perintah dan larangan.
Contoh : hukum pidana, hukum perdata, hukum dagang, hukum Islam, hukum pidana
militer.

12
2. Hukum Formal adalah hukum yang mengatur bagaimana cara melaksanakan dan
mempertahankan hukum materil.
Contoh : hukum acara pidana, hukum acara perdata, hukum acara peradilan agama,
hukum acara peradilan militer, hukum acara peradilan tata usaha negara.

G. Perbedaan Hukum Acara Perdata dan Acara Pidana


1. Hukum Acara Perdata
a) Pengertian Hukum Acara Perdata
Wirjono Prodjodikoro dalam Hukum Acara Perdata di Indonesia, hukum acara
perdata ialah rangkaian peraturanperaturan yang memuat cara bagaimana orang harus
bertindak di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak, satu
sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.
Selanjutnya menurut H. Abdul Manan dalam Penerapan Hukum Acara Perdata di
Lingkungan Peradilan Agama, hukum acara perdata merupakan hukum yang
mengatur tentang tata cara mengajukan gugatan kepada pengadilan, bagaimana pihak
tergugat mempertahankan diri dari gugatan penggugat, bagaimana para hakim
bertindak baik sebelum dan sedang pemeriksaan dilaksanakan dan bagaimana cara
hakim memutus perkara yang diajukan oleh penggugat tersebut serta bagaimana cara
melaksanakan putusan tersebut sebagaimana mestinya sesuai dengan peraturan yang
berlaku, sehingga hak dan kewajiban sebagaimana yang telah diatur hukum perdata
dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Berdasarkan definisi tersebut dapat dikemukakan bahwa hukum acara perdata
atau disebut juga hukum perdata formal merupakan peraturan hukum yang mengatur
tentang bagaimana cara-cara mempertahankan hukum perdata materiil di persidangan.
Oleh karena itu, diharapkan dengan adanya hukum acara perdata, maka jika ada pihak-
pihak yang bersengketa dapat memulihkan hak-haknya yang telah dirugikan oleh
pihak lain melalui pengadilan, tidak main hakim sendiri.
b) Tujuan Hukum Acara Perdata
Hukum perdata bertujuan untuk melindungi atau memulihkan hak-hak seseorang.
Pemulihan terhadap hak seseorang diberikan oleh hukum acara perdata melalui

13
peradilan perdata. Dalam peradilan perdata hakim akan menentukan mana yang benar
dan mana yang salah setelah pemeriksaan dan pembuktian selesai.
c) Fungsi Hukum Acara Perdata
Untuk mengatur bagaimana cara-caranya seseorang mengajukan tuntutan haknya,
bagaimana negara melalui alat perlengkapannya (hakimnya) memeriksa dan
memutuskan kasus perdata yang diajukan kepadanya. Atau dapat juga dikatakan
bahwa fungsi hukum acara perdata adalah untuk sebagai sarana dalam menuntut dan
mempertahankan hak-hak seseorang yang telah dilanggar/hilang.
d) Asas Hukum Acara Perdata
1) Asas Hakim Bersifat Menunggu
Dalam beracara pada pengadilan perdata tergantung pada pihak yang
berkepentingan. Inisiatif untuk mengajukan perkara ada pada pihak yang
berkepentingan. Hakim hanya menunggu datangnya perkara atau gugatan dari
pihak atau masyarakat yang merasa dirugikan. Jika sudah ada tuntutan/ gugatan,
maka yang menyelenggarakan proses itu adalah negara. Hakim tidak boleh
menolak suatu perkara yang diajukan kepadanya.
2) Asas Hakim Bersifat Pasif
Dalam pemeriksaan perkara perdata, hakim bersifat pasif, maksudnya ruang
lingkup pokok perkara yang diajukan kepada hakim ditentukan oleh pihak-pihak
yang berkepentingan, bukan oleh hakim. Hakim hanya membantu para pencari
keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan untuk tercapainya peradilan.
Hal ini telah disebutkan di dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa pengadilan wajib saling memberi
bantuan yang diminta untuk kepentingan peradilan.
3) Asas Persidangan Bersifat Terbuka
Pada prinsipnya, bahwa setiap persidangan harus terbuka untuk umum. Hal
ini disebutkan di dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman yang mengatakan, bahwa semua sidang
pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang
menentukan lain. Maksud pemeriksaan persidangan terbuka untuk umum adalah
terbuka setiap orang boleh mendengarkan, menyaksikan dan mengikuti jalannya

14
persidangan, asalkan tidak mengganggu jalannya persidangan dan senantiasa
menjaga ketertiban.
4) Asas Mendengar Kedua Belah Pihak
Kedua belah pihak harus dipanggil dan diperlakukan sama di muka sidang.
Jadi proses peradilan dalam acara perdata wajib memberikan kesempatan sama
kepada para pihak yang bersengketa. Hakim tidak boleh menerima keterangan
dari salah satu pihak sebagai keterangan yang benar, sebelum pihak lain
memberikan pendapatnya.
5) Asas Putusan Harus Disertai Alasan-alasan
Putusan hakim harus memuat dasar hukum untuk mengadili dan alasan-
alasannya sehingga putusan itu dijatuhkan. Alasan-alasan tersebut dimaksudkan
sebagai pertanggungjawaban hakim atas putusannya terhadap masyarakat,
sehingga oleh karenanya mempunyai nilai objektif.
6) Asas Beracara Dikenakan Biaya
Pada dasarnya setiap orang yang mengajukan perkara di muka pengadilan
dikenai biaya perkara, yang rinciannya telah diperkirakan oleh pengadilan,
sehingga sejumlah uang yang dibayar akan diperhitungkan kemudian. Dasar
hukum tentang biaya perkara adalah ketentuan Pasal 121 ayat (4) HIR/145 R.Bg.
7) Asas Tidak Ada Keharusan Mewakilkan
Pada prinsipnya, bahwa berperkara di pengadilan tidak harus ada yang
mewakilkan kepada orang lain. Para pihak secara langsung menghadap di muka
hakim. Akan tetapi, para pihak boleh didampingi oleh wakilnya atau
pengacaranya secara penuh.
e) Sumber hukum acara perdata
Hukum Acara Perdata di Indonesia masih memberlakukan beberapa peraturan
perundang-undangan pada masa kolonial Belanda, di samping peraturan perundang-
undangan Indonesia, yaitu:
(1) Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (Reglement Hukum Acara
Perdata), yang berlaku bagi golongan Eropa di Jawa dan Madura.
(2) Herziene Inlandsch Reglement/HIR (Reglement Indonesia yang
diperbarui/RIB), yang berlaku bagi golongan Indonesia di Jawa dan Madura.

15
(3) Reglement Buitengewesten/RBg. (Reglemen untuk Daerah Seberang), yang
berlaku bagi peradilan Eropa dan Indonesia di daerah luar Jawa dan Madura.
(4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Banding.
(5) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
(6) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.
f) Asas-Asas Hukum Acara Perdata
Asas-asas yang terkandung dalam hukum acara perdata adalah sebagai berikut:
(1) Hakim bersifat pasif,
(2) Hakim bersifat terbuka,
(3) Persidangan bersifat terbuka,
(4) Putusan Hakim harus memuat alasan-alasan,
(5) Beracara tidak dengan Cuma-Cuma.

2. Hukum Acara Pidana


a) Pengertian Hukum Acara Pidana.
Hukum acara pidana disebut juga hukum pidana formal. Dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana 1981 Dengan Uraian Ringkas oleh M. Budiato, Hukum
acara pidana adalah himpunan ketentuan-ketentuan tentang tata cara menyidik,
mengusut, menuntut, dan mengadili orang yang dianggap melanggar suatu ketentun
dalam hukum pidana. Menurut R. Soehadi bahwa hukum acara pidana adalah hukum
yang mengatur bagaimana cara melaksanakan hukum pidana, mulai dari timbulnya
persangkaan adanya suatu perbuatan pidana (tindak pidana) sampai dengan
pelaksanaan putusan. Kemudian Lili Mulyadi dalam bukunya Hukum Acara Pidana
Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, mengemukakan bahwa hukum
acara pidana adalah peraturan hukum yang mengatur, menyelenggarakan dan
mempertahankan eksistensi ketentuan hukum pidana materiil (materieel strafrecht)
guna mencari, menemukan dan mendapatkan kebenaran materiil atau yang
sesungguhnya.
Berdasarkan beberapa definisi hukum acara pidana tersebut di atas, maka dapatlah
dijelaskan bahwa hukum acara pidana merupakan serangkaian peraturan hukum yang

16
mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan hukum pidana materiil di muka
pengadilan.
b) Tujuan Hukum Acara Pidana
Adapun tujuan hukum acara pidana menurut Pedoman Penjelasan Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana yaitu, sebagai berikut : mencari dan mendapatkan atau
setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-
lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan Hukum Acara
Pidana secara jujur dan tetap, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang
dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta
pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa
suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat
dipersalahkan.
c) Sumber Hukum Acara Pidana
Sumber hukum yang dimaksud dalam uraian ini adalah sumber hukum formal
pada hukum acara pidana di Indonesia, adalah sebagai berikut:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76,
dan Undang-Undang lain yang menyangkut acara pidana;
3) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
d) Asas-Asas Hukum Acara Pidana
Dalam Hukum Acara Pidana dikenal beberapa asas yang terjabar dalam peraturan
perundang-undangan yang menyangkut hukum acara pidana dan hukum pidana.
Asas-asas tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:
1) Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan.
Dimaksudkan dengan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan
adalah bahwa penyelengaraan pengadilan dilakukan dengan cepat (segera),
sederhana, dan biaya ringan.

17
2) Asas Praduga Tak Bersalah (Presumtion of Innocence)
Dimaksud dengan asas ini adalah bahwa setiap orang yang disangka,
ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan ke muka sidang pengadilan
wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang
menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
3) Asas Legalitas dan Oportunitas
Dalam hukum acara pidana, badan yang khusus diberikan kewenangan untuk
melakukan penuntutan pidana kepengadilan (sebagai penuntut umum) adalah
Jaksa. Wewenang melakukan penuntutan adalah monopoli penuntut umum
atau jaksa. Dalam melaksanakan tugasnya, jaksa berpedoman kepada dua
asas, yakni asas legalitas dan asas oportunitas.
4) Asas Pemeriksaan Pengadilan Terbuka untuk Umum
Dimaksud dengan asas ini adalah bahwa setiap pemeriksaan suatu perkara
dimuka sidang pengadilan, hakim harus menyatakan sidang terbuka untuk
umum. Pengecualian terhadap penerapan asas ini adalah bahwa hakim dapat
melaksanakan sidang secara tertutup dengan permintaan jaksa, terdakwa,
ataupun saksi dalam hal-hal yang menyangkut peradilan anak, perkosaan, dan
hal lain menyangkut kesusilaan.
5) Asas Kesamaan Perlakuan
Asas ini pada umumnya dianut oleh negara-negara yang berdasarkan hukum,
yakni bahwa pengadilan dalam mengadili adalah berdasarkan atas hukum
tanpa membeda-bedakan orang yang diadili
6) Tersangka/Terdakwa Berhak Mendapat bantuan Hukum
Dalam pemeriksaan pendahuluan ataupun pemeriksaan di muka sidang
pengadilan, tersangka/terdakwa mendapatkan hak-hak sebagai berikut :
a. Bantuan hukum dapat diberikan sejak saat tersangka ditangkap atau
ditahan.
b. Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan.
c. Penasihat hukum dapat menghubungi tersangka/terdakwa pada semua
tingkat pemeriksaan pada setiap waktu.

18
d. Pembicaraan antara penasihat hukum dan tersangka tidak didengar oleh
penyidik dan penuntut umum, kecuali pada delik-delik yang menyangkut
keamanan negara.
e. Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penasihat hukum
guna kepentingan pembelaan.
f. Penasihat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari
tersangka/terdakwa.
7) Pemeriksaan Oleh Hakim Langsung dan Lisan
Langsung artinya, pemeriksaan dimuka sidang pengadilan dilakukan oleh
hakim secara langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan saksi.
Hal ini berbeda dengan pada hukum acara perdata, di mana penggugat
ataupun tergugat dapat diwakili oleh kuasanya.
Lisan artinya, bukan tertulis. Dimana hakim berdialog langsung dengan
terdakwa dan saksi.

3. Perbedaan Hukum Acara Perdata dan Acara Pidana


Dengan demikian dapat kita simpulkan perbedaan hukum acara pidana dengan hukum
acara perdata sebagai berikut.
No. Titik perhatian Hukum acara perdata Hukum acara pidana
1. Pelaksanaan Datang dari pihak yang merasa Datang dari pihak penuntut umum
dirugikan (Penggugat) (Jaksa).
2. Penuntutan Penuntut adalah pihak yang Jaksa sebagai penuntut umum yang
merasa dirugikan, dan berhadapan memiliki wewenang atas nama
dengan tergugat. negara dan berhadapan dengan
pihak terdakwa
3. Alat-alat bukti Tulisan, saksi, persangkaan, Tulisan, saksi, persangkaan,
pengakuan, dan sumpah pengakuan
4. Kedudukan para Kedua belah pihak memiliki Jaksa mempunyai kedudukan lebih
pihak kedudukan yang sama. Hakim tinggi daripada terdakwa. Hakim
berperan sebagai wasit dan bersifat aktif
bersifat pasif

19
5. Macam hukum Hukum dapat berupa denda, atau Hukum dapat berupa hukuman
diganti dengan hukuman mati, penjara, kurungan, denda,
kurungan dan hukuman tambahan.

20
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Dari penjabaran diatas, dapat diperoleh bahwa pembagian hukum terbagi menjadi :
Menurut sumbernya, hukum terbagi menjadi hukum menurut undang-undang (materiil dan
formil), hukum kebiasaan, hukum traktat, dan hukum yurisprudensi.
Menurut sifatnya, hukum terbagi menjadi hukum memaksa (wajib dilaksanakan dan tidak
bisa dikesampingkan) serta hukum mengatur (bisa dikesampingkan apabila ada peraturan
tersendiri).
Menurut bentuknya, hukum terbagi menjadi hukum tertulis (hukum tertulis yang
dikodifikasi dan hukum tertulis yang tak dikodifikasi) serta hukum tak tertulis.
Menurut daerah berlakunya, hukum terbagi menjadi hukum nasional (berlaku di dalam
suatu negara), hukum internasional (dalam dunia internasional), dan hukum asing (berlaku dalam
negara lain.).
Menurut isinya, hukum terbagi menjadi hukum privat (mengatur kepentingan pribadi) dan
hukum publik (mengatur hubungan antara negara dengan alat-alat perlengkapan atau
perseorangan).
Menurut cara mempertahankannya, hukum terbagi menjadi hukum materil (perintah dan
larangan) serta hukum formal (melaksanakan dan mempertahankan hukum materil).
Sedangkan perbedaan hukum acara perdata dan acara pidana dapat dibedakan menurut cara
pelaksanaan, penuntutan, alat-alat bukti, kedudukan para pihak, dan macam hukum.

21
DAFTAR PUSTAKA

Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Departemen


Kehakiman Republik Indonesia, 1982), Cet. Ketiga, hlm. 1
Buku Ajar Pengantar Hukum Indonesia . (2017). Denpasar: Fakultas Hukum Universitas
Udayana.
Dr. Fence M. Wantu, S. (2015). Pengantar Ilmu Hukum. Kota Gorontalo: Reviva Cendekia.
Dr. H. Ishaq, S. M. (2018). Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Dr.H. Ishaq, S. (2018). Pengantar Hukum Indonesia (PHI). Depok: Rajawali Pers.
Dr.Yati nurhayati, S. (2020). Pengantar Ilmu Hukum. Bandung: Nusa Media.
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_dir/d3f97548ab16fac822508c98763ff2c9.pdf
diakses pada 26 Januari 2021

22

Anda mungkin juga menyukai