Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

Hukum Perdata Di Indonesia

DOSEN PENGAMPU :
Dr. H. Syamsir, S.H., M.H.

DISUSUN OLEH KELOMPOK 1 :


1. Muhammad Haider Hamid (B1A123381)
2. Anyelir Laetitia (B1A123385)
3. M.Iqbal Hamzah (B1A123401)
4. Lisa Ardila (B1A123420)
5. Deby Riski Aminati (B1A123427)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JAMBI
2023
KATA PENGANTAR

Rasa syukur saya panjatkan kepada Allah Swt., karena berkat rahmat dan hidayah-Nya kami
dapat menyusun makalah ini dengan baik dan selesai secara tepat waktu. Makalah ini kami beri
judul “Hukum Perdata Di Indonesia” Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas
perkuliahan dari dosen pengampu. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk memberikan
tambahan wawasan bagi kami sebagai penulis dan bagi para pembaca. Khususnya pengetahuan
mengenai Hukum Perdata.

Kami selaku penulis tidak lupa untuk mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. H. Syamsir,
S.H.,M.H. selaku dosen pengampu mata kuliah Pengantar Hukum Indonesia. Dan tidak lupa
bagi rekan-rekan kelompok yang telah mendukung penyusunan makalah ini juga mengucapkan
terima kasih.
Terakhir kami menyadari bahwa makalah ini masih belum sepenuhnya sempurna. Maka dari itu
kami terbuka terhadap kritik dan saran yang bisa membangun kemampuan kami, agar pada tugas
berikutnya bisa menulis makalah dengan lebih baik lagi. Semoga makalah ini bermanfaat bagi
saya dan para pembaca.

Tim Penulis

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................................
KATA PENGANTAR .........................................................................................................
DAFTAR ISI ........................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................
1.1 latar Belakang ...........................................................................................................
1.2 Rumusan Masalah .....................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN .....................................................................................................
2.1 Pengertian Hukum Perdata........................................................................................
2.2 Sumber Hukum Perdata.............................................................................................
2.3 Sejarah Hukum Perdata .............................................................................................
2.4 Sistematika Hukum Perdata.......................................................................................
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ...............................................................................................................
3.2 Lampriran...................................................................................................................
DAFTAR PUSAKA ............................................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada dasarnya kehidupan antara seseorang itu didasarkan pada adanya suatu “hubungan”, baik
hubungan atas suatu kebendaan atau hubungan yang lain. Adakalanya hubungan antara
seseorang atau badan hukum itu tidak berjalan mulus seperti yang diharapkan, sehingga
seringkali menimbulkan permasalahan hukum. Sebagai contoh sebagai akibat terjadinya
hubungan pinjam meminjam saja seringkali menimbulkan permasalahan hukum. Atau contoh
lain dalam hal terjadinya putusnya perkawinan seringkali menimbulkan permasalahan
hukum. Hal tersebut termasuk dalam masalah hukum perdata.
Hukum perdata di Indonesia adalah sekumpulan peraturan yang berisi perintah dan larangan
yang dibuat oleh pihak yang berwenang sehingga dapat dipaksakan pemberlakuaanya berfungsi
untuk mengatur masyarakat demi terciptanya ketertiban disertai dengan sanksi bagi
pelanggarnya. Salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada
subyek hukum dan hubungan antara obyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum privat
atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang
berkaitan dengan negara serta kepentingan umum (misalnya politik dan pemilu (hukum tata
negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara),
kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau
warga negara sehari- hari.
Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum
perdata Belanda pada masa penjajahan. Bahkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (dikenal
KUHPerdata.) yang berlaku di Indonesia tidak lain adalah terjemahan yang kurang tepat dari
Burgerlijk Wetboek (atau dikenal dengan BW) yang berlaku di kerajaan Belanda dan
diberlakukan di Indonesia (dan wilayah jajahan Belanda) berdasarkan azas konkordansi. Untuk
Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda, BW diberlakukan mulai 1859. Hukum
perdata Belanda sendiri disadur dari hukum perdata yang berlaku di Perancis dengan beberapa
penyesuaian.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa Yang Dimaksud Dengan Hukum Perdata ?
2. Apa Sumber Hukum Perdata ?
3. Bagaimana Sejarah Hukum Perdata ?
4. Apa Sistematika Hukum Perdata ?

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hukum Perdata
Hukum Perdata di Indonesia berasal dan bahasa Belanda yaitu Burgerlijk Recht, bersumber
pada Burgerlik Wetboek (B.W), yang di Indonesia di kenal dengan istilah Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUH Perdata). Hukum Perdata Indonesia yang bersumber pada KUH Perdata
ialah Hukum Perdata tertulis yang sudah dikodifikasikan pada tanggal 1 Mei 1848. Dalam
perkembangannya banyak Hukum Perdata yang pengaturannya berada di luar KUH Perdata,
yaitu di berbagai peraturan perundang-undangan yang dibuat setelah adanya pengkodifikasian.

Menurut Prof. Subekti pengertian Hukum Perdata dalam arti luas meliputi semua hukum
privat materiil, yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan
perseorangan. Selanjutnya menurut beliau, perkataan Hukum Perdata adakalanya dipakai dalam
arti yang sempit, sebagai lawan dan Hukum Dagang. Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo,
Hukum Perdata adalah keseluruhan peraturan yang mempelajari hubungan antara orang yang
satu dengan lainnya dalam hubungan keluarga dan dalam pergaulan masyarakat.

Dalam hubungan keluarga melahirkan Hukum Tentang Orang dan Hukum Keluarga,
sedangkan dalam pergaulan masyarakat melahirkan Hukum Benda dan Hukum Perikatan.
Menurut Prof. Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata adalah segala peraturan hukum yang
mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dan orang yang lain. Berdasarkan pengertian
yang dikemukakan oleh para ahli tersebut di atas, maka ada beberapa unsur dan pengertian
Hukum Perdata yaitu adanya peraturan hukum, hubungan hukum dan orang. Peraturan hukum
artinya serangkaian ketentuan mengenai ketertiban baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis
yang mempunyai sanksi yang tegas terhadap pelanggarnya. Hubungan hukum adalah hubungan
yang diatur oleh hukum, yaitu hubungan yang dapat melahirkan hak dan kewajiban antara orang
yang mengadakan hubungan tersebut. Orang (persoon) adalah subjek hukum yaitu pendukung
hak dan kewajiban. Pendukung hak dan kewajiban ini dapat berupa manusia pribadi maupun
badan hukum.

2.2 Sumber Hukum Perdata


Pada dasarnya sumber hukum dapat dibedakan menjadi 2 macam:
1. Sumber hukum materiil
Sumber hukum materiil adalah tempat dari mana materi hukum itu diambil. Misalnya
hubungan social,kekuatan politik, hasil penelitian ilmiah, perkembangan internasional, dan
keadaan georafis.
2. Sumber hukum formal
Sumber hukum formal merupakan tempat memperoleh kekuatan hukum. Ini berkaitan dengan
bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum formal itu berlaku.
Volamar membagi sumber hukum perdata menjadi empat mecam. Yaitu KUHperdata ,traktat,
yaurisprudensi, dan kebiasaan. Dari keempat sumber tersebut dibagi lagi menjadi dua macam,
yaitu sumber hukum perdata tertulis dan tidak tertulis. Yang di maksud dengan sumber hukum
perdata tertulis yaitu tempat ditemukannya kaidah-kaidah hukum perdata yang berasal dari
sumber tertulis. Umumnya kaidah hukum perdata tertulis terdapat di dalam peraturan perundang-
undanang, traktat, dan yurisprudensi. Sumber hukum perdata tidak tertulis adalah tempat
ditemukannya kaidah hukum perdata yang berasal dari sumber tidak tertulis. Seperti terdapat
dalam hukum kebiasaan.
Yang menjadi sumber perdata tertulis yaitu:
1. AB (algemene bepalingen van Wetgeving) ketentuan umum permerintah Hindia Belanda
2. KUHPerdata (BW)
3. KUH dagang
4. UU No 1 Tahun 1974
5. UU No 5 Tahun 1960 Tentang Agraria.

Yang dimaksud dengan traktat adalah suatu perjanjian yang dibuat antara dua Negara atau lebih
dalam bidang keperdataan. Trutama erat kaitannya dengan perjanjian internasioanl. Contohnya,
perjanjian bagi hasil yang dibuat antara pemerintah Indonesia denang PT Freeport Indonesia.
Yurisprudensi atau putusan pengadilan meruapakan produk yudikatif, yang berisi kaidah atau
peraturan hukum yang mengikat pidahk-pihak yang berperkara terutama dalam perkara perdata.
Contohnya H.R 1919 tentang pengertian perbuatan melawan hukum . dengna adanya putsan
tersebut maka pengertian melawan hukum tidak menganut arti luas. Tetapi sempit. Putusan
tersebut di jadikan pedoman oleh para hakim di Indonesia dalam memutskan sengketa perbutan
melawan hukum.

2.3 Sejarah Hukum Perdata


Sejarah Perkembangan hukum Perdata di Indonesia tidak terlepas dari sejarah perkembangan
Ilmu Hukum di negara-negara Eropa lainnya, dalam arti perkembangan hukum perdata di
Indonesia amat dipengaruhi oleh perkembangan hukum di negara-negara lain, terutama yang
mempunyai hubungan langsung.
Indonesia sebagai negara yang berada di bawah pemerintahan Hindia Belanda maka
kebijakan-kebijakan dalam hukum perdata tidak terlepas dari kebijakan yang terjadi dan
diterapkan di negara Belanda. Menurut Kansil (1993 : 63), tahun 1848 menjadi tahun yang amat
penting dalam sejarah hukum Indonesia. Pada tahun ini hukum privat yang berlaku bagi
golongan hukum Eropa dikodifikasi, yakni dikumpulkan dan dicantumkan dalam beberapa kitab
undang-undang berdasarkan suatu sistem tertentu.
Pembuatan kodifikasi dalam lapangan hukum perdata, dipertahankan juga asas konkordansi,
risikonya hampir semua hasil kodifikasi tahun 1848 di Indonesia adalah tiruan hasil kodifikasi
yang telah dilakukan di negeri Belanda pada tahun 1838, dengan diadakan beberapa perkecualian
agar dapat menyesuaikan hukum bagi golongan hukum Eropa di Indonesia dengan keadaan
istimewa.
Adapun yang dimaksud dengan asas konkordansi adalah asas penyesuaian atau asas
persamaan terhadap berlakunya sistem hukum di Indonesia yang berdasarkan pada ketentuan
Pasal 131 ayat (2) I.S. yang berbunyi “ Untuk golongan bangsa Belanda harus dianut atau
dicontoh undang-undang di negeri Belanda. Hal ini menurut Kansil (1993: 115) berarti bahwa
hukum yang berlaku bagi orang-orang Belanda di Indonesia harus disamakan dengan hukum
yang berlaku di negeri Belanda. Jadi jelasnya hukum kodifikasi di Indonesia dengan hukum
kodifikasi di negeri Belanda adalah berdasarkan asas konkordansi.
Sumber pokok Hukum Perdata ialah Kitab Undang-Undang Hukum Sipil disingkat KUHS
atau Burgerlijk Wetboek (BW). Sumber KUHS sebagian besar adalah hukum perdata Prancis,
yaitu Code Napoleon tahun 1811-1838 sebagai akibat pendudukan Prancis di Belanda maka
Hukum Perdata Prancis berlaku di negeri Belanda sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Sipil
yang resmi. Sedangkan dari Code Napoleon ini adalah Code Civil yang dalam penyusunannya
mengambil karangan pengarang-pengarang bangsa Prancis tentang Hukum Romawi (Corpus
Juris Civilis) yang pada zaman dahulu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna.
Peraturan-peraturan yang belum ada pada zaman Romawi tidak dimasukkan dalam Code Civil,
tetapi dalam kitab tersendiri ialah Code de Commerce.
Setelah pendudukan Prancis berakhir oleh pemerintah Belanda dibentuk suatu panitia yang
diketuai Mr. J.M. Kemper dan bertugas membuat rencana kodifikasi hukum perdata Belanda
dengan menggunakan sumber sebagian besar Code Napoleon dan sebagian kecil hukum Belanda
Kuno.
Meskipun penyusunan sudah selesai sebelum 5 Juli 1830, tetapi Hukum Perdata Belanda baru
diresmikan pada 1 Oktober 1838. Pada tahun itu, dikeluarkan:
1. Burgerlijk Wetboek (KUH Sipil);
2. Wetboek van Koophandel (KUH Dagang).
3. Berdasarkan asas konkordansi, kodifikasi hukum perdata Belanda menjadi contoh bagi
kodifikasi hukum perdata Eropa di Indonesia. Kodifikasi ini diumumkan tanggal 30-4-
1847 Staatsblad No. 23 dan mulai berlaku 1 Mei 1848 di Indonesia.
Adapun dasar hukum berlakunya peraturan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata di
Indonesia adalah Pasal 1 Aturan Peralihan UndangUndang Dasar 1945 hasil perubahan keempat,
yang menyatakan bahwa segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku
selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.
Dengan demikian, sepanjang belum ada peraturan yang baru maka segala jenis dan bentuk
peraturan perundang-undangan yang ada yang merupakan peninggalan dari zaman kolonial
masih dinyatakan tetap berlaku. Hal ini termasuk keberadaan Hukum Perdata. Hanya saja dalam
pelaksanaannya disesuaikan dengan asas dan falsafah negara Pancasila, termasuk apabila telah
lahir peraturan perundang-undangan yang baru maka apa yang ada dalam KUH Perdata tersebut
dinyatakan tidak berlaku. Contohnya, masalah tanah yang telah ada Undang-undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria, terutama yang mengenai Bumi, air serta kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan yang mengenai hipotek yang
masih berlaku pada mulainya berlaku undangundang ini; begitu juga masalah Perkawinan yang
telah ada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Perkawinan.
Ketentuan lain adalah dengan keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun
1963 yang menyatakan beberapa pasal yang ada dalam KUH perdata dinyatakan tidak berlaku
lagi. Adapun pasal-pasal tersebut di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Pasal 108 sampai dengan 110 BW tentang ketidakwenangan bertindak dari istri
konsekuensinya suami istri mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum. Hal ini
diperkuat oleh bunyi Pasal 31 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pokok-
pokok Perkawinan yang menyatakan bahwa hak dan kedudukan istri adalah seimbang
dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup
bersama dalam masyarakat, masing-masing pihak (suami istri) berhak untuk melakukan
perbuatan hukum

2. Pasal 284 ayat (3) BW tentang pengakuan anak luar kawin yang lahir dari wanita
Indonesia Asli. Konsekuensinya, yaitu tidak menimbulkan putusnya hubungan hukum
antara ibu dan anak. Dengan adanya pengakuan terhadap anak luar kawin ini maka dia
mendapatkan hak untuk mewarisi dari orang tuanya yang meninggal, misalnya kalau dia
bersama-sama dengan golongan 1, dia akan mendapatkan bagian 1/3- nya, apabila dia
bersama-sama dengan golongan 2, dia akan mendapatkan bagian ½ dari harta warisan
yang ditinggalkan pewaris tersebut.

3. Pasal 1579 BW: yang menentukan bahwa dalam sewa menyewa barang, pemilik tidak
dapat menghentikan sewa dengan alasan akan memakainya sendiri barangnya.
Konsekuensinya, yaitu boleh menghentikan, sekalipun demikian, apabila si pemilik akan
memakai kembali barang yang disewakannya tersebut, sementara si penyewa masih
mempunyai hak maka si pemilik harus memberikan kompensasi atau ganti kerugian
kepada si penyewa sesuai dengan kesepakatan bersama sehingga si penyewa tidak merasa
dirugikan.

4. Pasal 1682 BW yang mengharuskan penghibahan dengan akta notaris. Konsekuensinya,


yaitu tidak mengharuskan penghibahan melalui akte notaris, ini juga berarti bahwa
apabila terjadi proses hibah tidak perlu dilakukan melalui akte notaris, namun saksi-saksi
sebagai bukti harus tetap ada.

5. Pasal 1238 BW yang menentukan bahwa pelaksanaan suatu perjanjian hanya dapat
diminta di depan hakim jika didahului dengan penagihan tertulis. Konsekuensinya, yaitu
tidak harus didahului dengan penagihan tertulis

6. Pasal 1460 BW tentang risiko dalam perjanjian jual beli barang ditentukan risiko ada
pada pembeli. Konsekuensinya, yaitu risiko ditanggung bersama, artinya baik si pembeli
maupun si penjual sama menanggung risiko, bahkan apabila terdapat cacat barang yang
tersembunyi tidak tertutup kemungkinan risiko tersebut menjadi tanggung jawab si
penjual seluruhnya. Sebaliknya, apabila terjadi kasus overmatch atau keadaan memaksa,
risiko bisa menjadi tanggungan si pembeli seluruhnya. Jadi, mengenai risiko dari
perjanjian jual beli amat tergantung dari persetujuan bersama, kecuali hal-hal yang diatur
secara tegas dalam peraturan perundang-undangan.
7. Pasal 1630 BW yang mengadakan diskriminasi antara orang Eropa dan bukan Eropa
dalam perjanjian perburuhan. Konsekuensinya, yaitu tidak ada diskriminasi dalam
perburuhan.

2.4 Sistematika Hukum Perdata


Hukum perdata menurut ilmu pengetahuan hukum sekarang ini dibagi menjadi empat bagian,
yaitu hukum:
A. tentang diri seseorang (hukum perorangan);
B. kekeluargaan;
C. kekayaan terbagi atas hukum kekayaan yang absolut, hukum kekayaan yang relatif;
D. waris.

Penjelasan:
A. Hukum perorangan memuat peraturan tentang manusia sebagai subjek hukum, peraturan
perihal percakapan untuk memiliki hak dan percakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan
hak-haknya itu serta hal yang mempengaruhi kecakapan. Merupakan keseluruhan norma hukum
yang mengatur mengenai kedudukan orang mengenai manusia sebagai subjek hukum, kecakapan
bertindak dalam lalu lintas hukum, catatan sipil, ketidakhadiran, dan domisili. Termasuk
kedudukan badan hukum sebagai subjek hukum perdata.
B. Hukum keluarga merupakan keseluruhan keseluruhan norma hukum yang mengatur
hubungan hukum bersumber pada pertalian keluarga, misalnya perkawinan, kekuasaan orang tua,
perwalian, dan pengampuan.
C. Hukum kekayaan merupakan keseluruhan norma hukum yang mengatur antara subjek
hukum dan harta kekayaannya atau mengatur mengenai hak dan kewajiban yang dapat dinilai
dengan uang. Hukum kekayaan yang absolut berisi hak kebendaan, yaitu hak yang memberi
kekuasaan langsung atas suatu benda dan dapat dipertahankan terhadap setiap orang. Hukum
kekayaan yang relatif berisi hak perorangan, yaitu hak yang timbul dari suatu perikatan dan
hanya dapat dipertahankan terhadap pihak-pihak tertentu saja.
D. Hukum waris Pengertian Hukum Waris :
 Menurut pakar hukum Indonesia, Prof.Dr. Wirjono Prodjodikoro (1976), hukum waris
diartikansebagai hukum yang mengatur tentang kedudukan harta kekayaan seseorang
setelah ia meninggal dunia(pewaris),
 Wirjono mengemukakan pendapat bahwa sengketa pewarisan timbul apabila ada orang
yang meninggal, kemudian terdapat harta benda yang di tinggalkan, dan selanjutnya
terdapat orang-orang yang berhak menerima harta yang ditinggalkan itu, kemudian lagi
tidak ada kesepakatan dalam pembagian harta warisanitu.
BAB II
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan antar individu dalam pergaulan
masyarakat. Jadi, hukum perdata adalah hukum pokok yang mengaturkepentingan-kepentingan
perorangan. Dalam [eradilan hukum perdata diutamakan perdamaian karena hukum perdata itu
tidak hanya difungsikan untuk menghukumseseorang, tetapi juga sebagai alat untuk
mendapatkan keadilan dan perdamaian.

3.2 Lampiran
Pertanyaan :
1. Febby Valentika.S (B1A123415)
-Bagaimana hukum perdata mengatasi kasus pelanggaran hak kekayaan intelektual, seperti hak
cipta atau merek dagang?
Dijawab oleh : Anyelir Laetitia (B1A123385)
Hukum perdata memiliki peran penting dalam penyelesaian kasus pelanggaran hak kekayaan
intelektual, termasuk hak cipta. Beberapa cara di mana hukum perdata mengatasi kasus semacam
ini melibatkan:
Tuntutan Hukum: Pemilik hak cipta dapat mengajukan tuntutan hukum perdata melalui
pengadilan. Dalam hal ini, hukum perdata memberikan kerangka kerja untuk pihak yang merasa
hak ciptanya dilanggar untuk menuntut ganti rugi atau penghentian penggunaan tanpa izin.
Penyelesaian Sengketa Secara Perdata: Proses penyelesaian sengketa di lingkungan perdata
melibatkan pengajuan gugatan dan persidangan di hadapan pengadilan. Hakim akan
mempertimbangkan bukti-bukti yang ada dan menerapkan hukum perdata untuk menentukan
apakah pelanggaran hak cipta terjadi dan apa konsekuensinya.
Ganti Rugi: Hukum perdata memungkinkan pemilik hak cipta untuk menuntut ganti rugi atas
kerugian yang diakibatkan oleh pelanggaran hak cipta. Ganti rugi dapat mencakup kerugian
materiil dan non-materiil yang timbul akibat penggunaan tanpa izin.
Penghentian Penggunaan Tanpa Izin: Hakim dapat memerintahkan penghentian penggunaan
karya tanpa izin melalui injungsi atau perintah pengadilan. Ini memberikan perlindungan segera
kepada pemilik hak cipta sebelum persidangan selesai.
Mediasi dan Negosiasi: Selain melalui proses pengadilan, hukum perdata juga mendukung
penyelesaian sengketa melalui mediasi atau negosiasi. Pihak yang terlibat dapat mencapai
kesepakatan damai di luar pengadilan.
Dengan demikian, hukum perdata memberikan alat yang efektif untuk menangani pelanggaran
hak kekayaan intelektual, termasuk hak cipta, dengan memberikan kerangka hukum yang jelas
untuk penyelesaian sengketa dan perlindungan terhadap pemilik hak cipta.

2. Yeannette Irene Gultom (B1A123382)


-Apakah hukum kekayaan berhubungan dengan hukum waris?
Dijawab oleh : Deby Riski Aminati (B1A123427)
Hukum kekayaan (property law) dan hukum waris (inheritance law) memiliki keterkaitan karena
keduanya berkaitan dengan hak-hak atas harta benda. Namun, keduanya memiliki fokus yang
berbeda:
Hukum Kekayaan (Property Law): Merupakan cabang hukum yang mengatur hak-hak atas
kekayaan, termasuk kepemilikan, pemanfaatan, dan pemindahan hak atas harta benda. Hukum
kekayaan mencakup topik seperti kepemilikan tanah, kontrak, hak sewa, dan hak milik
intelektual.
Hukum Waris (Inheritance Law): Merupakan cabang hukum yang mengatur transfer atau
pemindahan kekayaan dan hak-hak setelah seseorang meninggal dunia. Hukum waris
menentukan bagaimana harta milik seseorang akan didistribusikan kepada pewaris atau ahli
waris setelah kematian.
Ketika seseorang meninggal, hukum waris akan menentukan siapa yang memiliki hak atas harta
warisan dan dalam proporsi apa. Dalam hal ini, konsep pemindahan kepemilikan dari satu
generasi ke generasi berikutnya menjadi pusat perhatian. Hak-hak waris ini kemudian diatur oleh
hukum waris.
Jadi, sementara hukum kekayaan membahas hak-hak atas kekayaan selama hidup seseorang,
hukum waris fokus pada transfer kekayaan setelah kematian dan hak-hak pewaris yang
menerima warisan. Keduanya bersifat terkait karena membahas aspek kepemilikan dan
pemindahan hak-hak atas kekayaan, tetapi pada tahapan yang berbeda dalam kehidupan dan
setelah kematian seseorang.

3. Vera Afridinata (B1A123406)


-Bagaimana prinsip tanggung jawab perdata diterapkan di dalam kasus kerugian akibat perbuatan
yang melawan hukum?
Dijawab oleh : M. Iqbal Hamzah (B1A123401)
Prinsip tanggung jawab perdata dalam kasus kerugian akibat perbuatan yang melawan hukum
(onrechtmatige daad) sering kali merujuk pada tanggung jawab hukum perdata atas tindakan
yang melanggar hukum dan menimbulkan kerugian pada pihak lain. Prinsip ini diterapkan
melalui beberapa tahap:
Perbuatan Melawan Hukum: Prinsip ini terutama relevan dalam situasi di mana seseorang
melakukan perbuatan yang melanggar hukum atau norma hukum yang berlaku. Ini bisa
mencakup pelanggaran kontrak, pencemaran nama baik, atau tindakan melawan hukum lainnya.
Adanya Kerugian: Untuk menuntut tanggung jawab perdata, harus ada kerugian yang
diakibatkan oleh perbuatan yang melawan hukum. Kerugian ini bisa bersifat materiil (misalnya,
kerugian finansial) atau non-materiil (misalnya, kerugian moral atau reputasi).
Kausalitas: Terdapat hubungan kausal yang jelas antara perbuatan yang melawan hukum dan
kerugian yang dialami. Artinya, kerugian tersebut harus secara langsung dan meyakinkan
disebabkan oleh perbuatan yang melawan hukum.
Tidak Adanya Pengecualian atau Pembelaan yang Sah: Tanggung jawab perdata dapat
dikecualikan jika terdapat pembelaan yang sah atau jika ada unsur-unsur tertentu yang
menghilangkan tanggung jawab. Misalnya, adanya persetujuan atau persetujuan tertulis untuk
melakukan perbuatan yang melawan hukum.
Dalam praktiknya, prinsip tanggung jawab perdata ini dapat memberikan dasar bagi korban
untuk menuntut ganti rugi atau reparasi atas kerugian yang mereka alami akibat perbuatan yang
melawan hukum. Pengadilan biasanya akan menilai fakta-fakta kasus dan menerapkan prinsip ini
untuk menentukan apakah pihak yang melakukan perbuatan yang melawan hukum harus
bertanggung jawab atas kerugian yang timbul.

4. Irsad (B1A123383)
-Apa yang menjadi dasar hukum mengenai hak waris dan bagaimana pembagian harta warisan
dilakukan?
Dijawab oleh : M. Iqbal Hamzah (B1A123401)
Dasar hukum mengenai hak waris dapat berbeda-beda di setiap yurisdiksi karena aturan-aturan
ini dapat bervariasi antara negara atau wilayah hukum. Pada umumnya, dasar hukum hak waris
ditemukan dalam perundang-undangan dan aturan-aturan hukum perdata. Beberapa prinsip
umum yang sering diakui dalam berbagai sistem hukum termasuk:
Undang-Undang Waris atau Hukum Keluarga: Setiap negara memiliki undang-undang waris atau
aturan dalam hukum keluarga yang mengatur hak waris dan pembagian harta warisan. Undang-
undang ini menetapkan siapa yang dianggap sebagai pewaris (ahli waris), bagaimana harta
warisan dihitung, dan prosedur pembagian.
Pewaris dan Ahli Waris: Hukum waris menentukan siapa saja yang berhak menjadi pewaris (ahli
waris) dan sejauh mana hak-hak mereka atas harta warisan. Biasanya, pewaris adalah anggota
keluarga langsung seperti anak-anak, pasangan, dan keturunan lainnya.
Pembagian Harta Menurut Hukum Waris: Undang-undang waris menetapkan cara pembagian
harta warisan. Pemisahan ini dapat melibatkan pembagian proporsional antara ahli waris atau
sesuai dengan keinginan tertentu yang dinyatakan dalam wasiat (jika ada).
Wasiat dan Hukum Waris: Beberapa yurisdiksi memperbolehkan seseorang untuk membuat
wasiat untuk mengatur distribusi harta warisan sesuai dengan keinginan pribadi. Namun,
pembuatan wasiat harus mematuhi persyaratan hukum yang berlaku.
Perlindungan Hak Waris Anak Luar Nikah: Banyak sistem hukum memberikan perlindungan
hak waris bagi anak-anak yang lahir di luar nikah, meskipun hak-hak ini mungkin berbeda dari
hak anak yang lahir dalam pernikahan.
Penting untuk dicatat bahwa ketentuan dan prosedur dapat bervariasi secara signifikan antara
negara dan wilayah hukum. Oleh karena itu, dalam kasus tertentu, sangat dianjurkan untuk
berkonsultasi dengan seorang ahli hukum untuk memahami secara rinci bagaimana hukum waris
diterapkan dalam konteks hukum yang berlaku.

5. Elisabeth A Sihaloho (B1A123408)


-Jelaskan prinsip-prinsip dasar kepemilikan dalam hukum perdata dan berikan contoh situasi di
mana kepemilikan dapat dipindahkan atau dipertahankan
Dijawab oleh : M. Haider Hamid (B1A123381)
Prinsip-prinsip dasar kepemilikan dalam hukum perdata mencakup sejumlah konsep yang
membentuk dasar hukum tentang siapa yang memiliki hak atas suatu properti atau harta.
Beberapa prinsip dasar kepemilikan meliputi:
Prinsip Otonomi Wils (Autonomi Wils): Hak kepemilikan dapat dipindahkan melalui kontrak
atau perjanjian antara pihak-pihak yang terlibat. Prinsip otonomi wils mengakui hak individu
untuk menentukan sendiri nasib kepemilikan harta mereka melalui perjanjian yang sah.
Contoh: Penjualan properti, sewa menyewa, atau perjanjian hibah harta.
Prinsip Pendaftaran (Nemo plus iuris transferre potest quam ipse habet): Seseorang tidak dapat
mentransfer hak yang lebih besar daripada yang dimilikinya sendiri. Prinsip ini menekankan
bahwa untuk memindahkan hak kepemilikan, seseorang harus memiliki hak tersebut pada
awalnya.
Contoh: Seseorang tidak dapat menjual atau memberikan hak kepemilikan atas tanah yang
sebenarnya dimilikinya oleh pihak lain.
Prinsip Posesori (Pemegang Hak Kepemilikan): Pemilik yang memiliki posisi fisik atau
pengendalian langsung atas properti memiliki hak lebih besar daripada pihak yang tidak
memiliki posisi tersebut.
Contoh: Seseorang yang secara teratur dan terus-menerus menduduki dan merawat properti
memiliki klaim lebih kuat terhadap kepemilikan dibandingkan dengan orang yang hanya
memiliki hak kepemilikan atas kertas.
Prinsip Non-Bona Fide Possession (Pemegang Hak Kepemilikan yang Tidak Baik): Prinsip ini
mengakui bahwa hak kepemilikan tidak dapat diberikan kepada pihak yang memperolehnya
dengan cara yang melanggar hukum atau dengan maksud yang tidak baik.
Contoh: Jika seseorang mencuri atau membeli barang hasil tindakan kriminal, hak
kepemilikannya mungkin tidak diakui secara sah.
Prinsip-prinsip ini memberikan kerangka kerja bagi hukum perdata untuk mengatur kepemilikan
dan pemindahan hak-hak tersebut. Contoh situasi di atas mencerminkan bagaimana hak
kepemilikan dapat dipindahkan atau dipertahankan berdasarkan prinsip-prinsip ini dalam
berbagai konteks perdata.

6. M Dzaky Arizyanto (B1A123422)


Bagaimanakah solusi mengenai pemalsuan data dari sisi perdata, contohnya kasus rafael ?
Dijawab oleh : Lisa Ardila (B1A123420)
Solusi terhadap pemalsuan data dari sisi perdata dapat melibatkan langkah-langkah hukum yang
dapat diambil oleh pihak yang merasa dirugikan. Berikut adalah beberapa solusi yang umumnya
ditempuh dalam kasus pemalsuan data dalam konteks hukum perdata:
Pembatalan Perjanjian atau Kontrak: Jika pemalsuan data terkait dengan suatu perjanjian atau
kontrak, pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan pembatalan perjanjian tersebut
berdasarkan pemalsuan data yang dilakukan oleh pihak lain.
Gugatan Ganti Rugi: Pihak yang mengalami kerugian akibat pemalsuan data dapat mengajukan
gugatan ganti rugi terhadap pihak yang melakukan pemalsuan. Gugatan ini dapat mencakup
kerugian materiil dan non-materiil yang timbul akibat pemalsuan.
Pengaduan ke Otoritas Hukum: Pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan pengaduan ke
otoritas hukum setempat, seperti kepolisian atau lembaga penegak hukum lainnya. Pemalsuan
data sering kali melibatkan pelanggaran hukum yang dapat ditindaklanjuti oleh pihak berwenang.
Pembetulan Data: Pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan permohonan untuk
memperbaiki atau membetulkan data yang telah dipalsukan. Hal ini dapat dilakukan melalui
prosedur hukum yang mengatur pembetulan data.
Mediasi atau Negosiasi: Sebelum memulai proses peradilan formal, pihak yang terlibat dapat
mencoba menyelesaikan sengketa melalui mediasi atau negosiasi. Ini dapat memberikan
kesempatan bagi pihak-pihak yang terlibat untuk mencapai kesepakatan damai.
Perlindungan Hukum Privasi: Jika pemalsuan data melibatkan pelanggaran privasi, pihak yang
dirugikan dapat mengajukan gugatan perlindungan privasi yang sesuai dengan undang-undang
yang berlaku.
Penting untuk dicatat bahwa langkah-langkah yang diambil dapat bervariasi tergantung pada
yurisdiksi hukum, sifat pemalsuan data, dan konteks hukum lokal. Konsultasi dengan ahli hukum
atau penasihat hukum dapat membantu menentukan solusi yang paling tepat dalam kasus
pemalsuan data.
DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Abdulkadi, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2014)

Syahrizal DardA, Kasus-Kasus Hukum Perdata di Indonesi, (Yogyakarta: Pustaka Grhatama,

2011)

Kansil, C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia ,(Jakarta: Balai Pustaka,

1989)

Kansil, C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, jilid 2 (Jakarta: Balai Pustaka, 1993)

Soetami Siti, Pengantar Tata Hukum Indonesia, (Bandung : PT Refika Aditama, 2007)

Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, Jilid I (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996)

Anda mungkin juga menyukai